Anda di halaman 1dari 10

KAIDAH FIQHIYAH

Pendahuluan

Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan


pedoman dalam mengali hukum islam yang berasal dari sumbernya,
Al-Qur’an dan Hadits, kaidah FIQHIYAH merupakan kelanjutannya,
yaitu sebagai petunjuk operasional dalam peng-istimbath-an hukum
islam. Kaidah Fiqhiyah disebut juga sebaagai Kaidah Syar’iyah

Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid dalam


meng-istimbath-kan hukum yang sesuai dengan tujuan syara dan
kemaslahatan manusia. Sementara Imam Abu Muhammad Izzuddin
Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah
sebagai suatu jalan untuk mendapat kemashalatan dan menolak
kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.

Adapun pengertian Kaidah Fiqhiyah, dapat diurai dari kaidah


dan Fiqih. Kaidah menurut Dr. Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i dalam
buku Ushul Fiqh Islami adalah: “Hukum yang bersifat universal (kulli)
yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”. Sementara
arti fiqih dari beberapa definisi yang dikemukankan fuqaha’ berkisar
pada rumusan berikut:2)

1. Fiqh merupakan bagian dari Syari’ah


2. Hukum yang dibahas mencakup hukum amali
3. Obyek hukum pada orang-orang mukallaf
4. Sumber hukum berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil
lain yang bersumber pada kedua sumber utama tersebut
5. Dilakukan dengan jalan istimbath atau ijtihad sehingga
kebenarannya kondisional dan temporer.

1
Dengan demikian pengertian Kaidah Fiqhiyah dapat diartikan
diantaranya sebagai, “Hukum–hukum yang berkaitan dengan asas
hukum yang dibangun oleh Syari’ serta tujuan-tujuan yang dimaksud
dalam pensyariatannya “ (Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i 1983:5), atau
“Sebagai suatu jalan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak
kerusakan” (Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam).

Urgensi Kaidah Fiqhiyah

Hal yang berhubungan dengan Fiqh sangat luas, mencakup


berbagai hukum furu’. Karena luasnya, maka itu perlu ada kristalisasi
berupa kaidah-kaidah umum (kulli) yang berfungsi sebagai klasifikasi
masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dan tiap-tiap
kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang
serupa. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam
mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan
menggolongkan masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaidah.

Dalam pembahasannya Kaidah Fiqhiyah sering menggunakan


sistematika atas dasar keabsahan kaidah, atas dasar abjad, atau
berdasarkan sistematika fiqh. Berdasarkan keabsahan kaidah, dibagi
atas kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah qhairu asasiah. Kaidah
asasiah oleh Imam Muhammad Izzudin bin Abdis Salam diringkas
menjadi kaidah “Menolak kerusakan dan menarik kemashlahatan”.
Kaidah ini merupakan kaidah yang oleh para Imam Mazhab telah
disepakati tanpa ada pihak yang memperselisihkan kekuatannya.
Adapun Kaidah asasiah ini terdiri atas 5 macam (panca kaidah) yaitu :

a. Segala masalah tergantung pada tujuannya.


b. Kemudharatan itu harus dihilangkan
c. Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum.
d. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
e. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.

2
Sedangkan kaidah-kaidah qhairu asasiah merupakan pelengkap
dari kaidah asasiah, dan keabsahannya masih tetap diakui, yang oleh
beberapa ulama dibagi atas beberapa macam, di antaranya:

a. Hasbi ash Shididiqi terdapat 19 macam kaidah


b. Abdul Mudjib terdapat 40 kaidah yang tidak dipertentangkan
dan 20 kaidah yang diperselisihkan.

Panca Kaidah Asasiah

Panca kaidah itu digali dari sumber-sumber hukum, baik


melalui Al Quran dan as sunnah maupun dalil-dalil istimbath. Karena
itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai
sebagai standar hukum fiqh, sehingga sampai dari nash itu dapat
diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam. Adapun bentuk-bentuk
panca kaidah itu adalah:

A. Kaidah Yang Berkaitan dengan Fungsi Tujuan

1. Teks Kaidahnya

” Setiap perkara tergantung pada tujuannya”

2. Dasar-dasar Nash Kaidah

Firman Allah SWT:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah


dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh
dari kesesatan.
3
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan kepada-Nya dalam agama yang lurus (QS:Al Bayyinah:5)

Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan
(pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi Balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.

Barang siapa yang menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan


kepadanya pahala di dunia itu, dan barang siapa yang menghendaki
pahala akhirat niscaya kami berikan pula pahala akhirat itu (QS: Ali
Imran:145)

Sabda Nabi SAW

Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya


bagi seorang itu hanyalah apa yang ia niati (HR Perawi Enam dari
Umar bin Khattab)

Tiada (pahala) bagi perbuatan yang tidak niat (HR Anas)

Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya (HR Ibnu


Majah dari Abu Harairah)

Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada perbuatan (HR Thabrani
dari Shalan Ibnu Said)

3. Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan Niat

Kaidah Pertama

4
”Sesungguhnya (amalan) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik
secara global maupun tafshili, apabila kemudian dipastikan dan
ternyata salah maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak
membatalkan)”.

Kaidah Kedua

”Suatu (amalan) yang disyaratkat untuk dijelaskan, maka kesalahannya


akan membatalkan perbuatannya.”

Kaidah Ketiga

”Suatu (amalan) yang harus dijelaskan secara garis besarnya dan tidak
disyaratkan untuk terperinci, kemudian disebutkan secara terperinci
dan ternyata salah maka membahayakan.”

Kaidah Keempat

”Niat dalam sumpah mengkhususkan lafal umum, dan tidak pula


menjadikan umum pada lafal yang khusus.”

Kaidah Kelima

”Maksud dari lafal menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali


dalam satu tempat yaitu dalam sumpah dihadapan qodli, dalam
keadaan demikian maksud lafal menurut niat qodli”.

Kaidah tersebut sesuai dengan kaidah Nabi SAW:

”Sumpah itu (maksudnya) menurut niat orang yang menyumpah.”


5
Kaidah Keenam

”Yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafal
atau bentuk perkataan.”

Dalam suatu akad, bila terjadi perbedaan antara maksud (niat) si


pembuat dengan lafal yang diucapkan, maka yang dianggap akad
adalah niat/maksudnya, selama yang demikian itu masih diketahui.

Kaidah Ketujuh

”Seseorang yang tidak dapat melaksanakan ibadah karena suatu


halangan, padahal ia berniat untuk melakukannya jika tiada halangan,
maka ia mendapatkan pahala.”

Kaidah tersebut berkaitan dengan sabda Nabi SAW”

Apabila seorang sakit atau berpergian maka ia dianggap beramal


sebagaimana ia dalam keadaan sehat atau tetap di rumah”.

4. Contoh Aplikasi

a. Dalam shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah


rakaat, maka bila seoarang muslim berniat melaksanakan shalat
magrib 4 rakaat, tetapi ia tetap dalam melaksanakan tiga
rakaat, maka shalatnya tetap saja sah.
b. Seseorang yang akan melaksanakan shalat Zhuhur, tapi niatnya
menunaikan shalat Ashar, maka shalatnya tidak sah.
c. Seseorang yang bersumpah tidak akan berbicara dengan
seseoarang, dan maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya
hanya berlaku pada Ahmad saja.

6
B. Kaidah Yang Berkenaan Dengan Keyakinan

1. Teks Kaidahnya

”Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”

Yang dimaksud yakin adalah: sesuatu yang tetap, baik dengan


penganalisaan maupun dengan dalil.

Sedang yang dimaksud ”syak” adalah: ” sesuatu yang tidak menentu


antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan itu sama antara
batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah
satunya.”

2. Dasar-dasar Nash Kaidahnya

Firman Allah SWT

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.


Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk
mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
mereka kerjakan.

”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.


Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk
mencapai kebenaran.” (QS Yunus:36).

Sabda Nabi SAW

”Apabila seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam


perutnya kemudian ia sangsi, apakah telah keluar sesuatu dari
perutnya atau belum, maka janganlah keluar masjid sehingga
mendapatkan baunya.” (HR Muslim)

7
”Nabi mendapat pengaduan bahwa seseorang merasa bingung oleh
sesuatu dalam shalatnya, Nabi bersabda,” ”Janganlah ia pergi sehingga
benar-benar mendengar suara atau mendapatkan baunya.” (HR
Bukhari dan Muslim)

”Apabila seseorang ragu-ragu di dalam shalatnya, tidak tahu sudah


berapa rakaatkah shalatnya, tiga ataukah empat, maka buanglah
keraguan tersebut dan berpeganglah kepada yang meyakinkan.” (HR
Tarmidzi).

Menurut Logika

”Keyakinan adalah lebih kuat daripada keraguan, sebab dalam


keyakinan terdapat keputusan (hakim) yang pasti yang tidak hilang
oleh keraguan.”

3.Kaidah–kaidah yang berkaitan dengan Yakin

Kaidah Pertama

”Asal itu tetap sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaanya”

Kaidah Kedua

”Asal itu bebas dari tanggungan”

Kaidah Ketiga

”Asal itu tidak ada”

Kaidah Keempat

”Asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat”

8
Kaidah Kelima

” Asal dari sesuatu adalah kebolehan.”

Kaidah Keenam

” Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman”

Kaidah Ketujuh

”Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”

4. Contoh Aplikasinya

a. Apabila seorang sedang melakukan shalat Ashar, kemudian dia


ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka
ambillah yang lebih yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum
salam disunnahkan sujud sahwi dua kali.
b. Seorang musafir yang membaca takbiratul Ihram (bermakmum)
dibelakang orang yang tidak diketahui apakah dia seorang
musafir atau bukan, maka qasharnya tidak memenuhi syarat.
c. Seorang yang dalam perjalanan, kemudian ragu apakah sudah
sampai di negerinya atau belum, maka tidak boleh mengambil
rukhshah.

DAFTAR PUSTAKA :

1. Muchlis Usman. Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah


Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta.
Raja Grafindo Persada. 1993.
2. Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih,
Bandung Pustaka Setia 1998
9
3. Paper Dwi Iswahyuni, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, Program
Studi Timur Tengah dan Islam, Program Pascasarjana,
UI, 2007

10

Anda mungkin juga menyukai