Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian fertilitas (kelahiran)
nyata dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain fertilitas ini
menyangkut banyaknya bayi yang lahir (FEUI, 1981). Dari pengertian ini, kelahiran
merupakan banyaknya bayi yang lahir dari wanita. Ada bayi yang disebut lahir hidup
Tanda-tanda kehidupan antara lain bernafas, ada denyutan jantung dan lain-lain. Ada
pula bayi lahir mati artinya bayi tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan
(Sinuraya, 1990).
1989). Disamping istilah fertilitas ada juga istilah fekunditas (fecundity) sebagai
menghasilkan anak lahir hidup (Mantra, 2006). Fertilitas biasanya diukur sebagai
frekuensi kelahiran yang terjadi di dalam sejumlah penduduk tertentu. Disatu pihak
mungkin akan lebih wajar bila fertilitas dipandang sebagai jumlah kelahiran per
15
hidup. Fertilitas merupakan hasil reproduksi nyata dari seorang atau sekelompok
lahir hidup. Menurut Ali (2011) yang mengutip pendapat Pollard (1984), fertilitas
menggambarkan jumlah anak yang benar- benar dilahirkan hidup. Fertilitas juga
diartikan sebagai suatu ukuran yang diterapkan untuk mengukur hasil reproduksi
wanita yang diperoleh dari statistik jumlah kelahiran hidup. Menurut Sukarno (2010)
Fertilitas merupakan jumlah dari anak yang dilahirkan hidup dengan pengertian
bahwa anak yang pernah dilahirkan dalam kondisi hidup menunjukkan tanda-tanda
kehidupan. Jika anak pada saat dilahirkan dalam kondisi hidup kemudian meninggal
pada waktu masih bayi tetap dikatakan anak lahir hidup (ALH).
mortalitas, karena seorang perempuan hanya meninggal satu kali, tetapi ia dapat
melahirkan lebih dari seorang bayi. Seorang perempuan yang telah melahirkan
seorang anak tidak berarti resiko melahirkan dari perempuan tersebut menurun.
dan istri), sedangkan kematian hanya melibatkan satu orang saja. Masalah lain yang
dijumpai dalam pengukuran fertilitas ialah tidak semua perempuan mengalami resiko
melahirkan karena ada kemungkinan dari mereka tidak mendapat pasangan untuk
kumulatif. Pengukuran fertilitas kumulatif ialah mengukur jumlah rata-rata anak yang
dilahirkan oleh seorang perempuan hingga mengakhiri batas usia subur. Sedangkan
suatu tahun tertentu tiap 1000 penduduk pada pertengahan tahun (Mantra, 2006).
Perhitungan CBR ini sangat sederhana karena hanya memerlukan keterangan tentang
jumlah anak yang dilahirkan dan jumlah penduduk pada pertengahan tahun, namun
CBR ini mempunyai kelemahan yakni tidak memisahkan penduduk laki-laki dan
perempuan yang masih anak-anak dan yang berumur 50 tahun ke atas sehingga angka
jumlah penduduk yang berarti termasuk penduduk yang tidak mempunyai peluang
melahirkan juga diikutsertakan, seperti anak-anak, laki-laki, dan wanita lanjut usia.
Angka ini dapat digunakan untuk menggambarkan tingkat fertilitas secara umum
Rumus :
CBR = xk
Dimana:
usia subur (15-49 tahun). Jadi sebagai penyebut tidak menggunakan jumlah penduduk
Rumus :
GFR= xk
Dimana :
B = Jumlah kelahiran
Pf(15-49) = Jumlah penduduk perempuan umur 15-49 tahun pada pertengahan tahun.
Rate/ASFR)
hidup oleh ibu pada golongan umur tertentu yang dicatat selama satu tahun per 1.000
penduduk wanita pada golongan umur tertentu pada tahun yang sama (Mubarak,
2012).
kemampuan melahirkan, karena itu perlu dihitung tingkat fertilitas perempuan pada
tiap-tiap kelompok umur (age specific fertility rate) (Mantra, 2006). Angka ini
kelompok umur antara 15-49 tahun per wanita pada kelompok umur yang sama.
Dengan demikian semakin banyak ibu yang berada di suatu kelompok umur tersbut
akan lebih memungkinkan kelompok umur tersebut memiliki angka kelahiran yang
kelemahan angka kelahiran kasar karena tingkat kesuburan pada setiap golongan
umur tidak sama hingga gambaran kelahiran menjadi lebih teliti. Perhitungan
fertilitas menurut golongan umur biasanya dilakukan dengan interval 5 tahun hingga
bila wanita dianggap usia subur terletak antara umur 15-49 tahun, akan di peroleh
frekuensi pada setiap golongan umur. Dari distribusi frekuensi tersebut, dapat
diketahui pada golongan umur berapa yang mempunyai tingkat kesuburan tertinggi.
Hal ini penting untuk menentukan prioritas program keluarga berencana (Mubarak,
2012).
Rumus :
= xk
Dimana:
Rates/BOSFR)
kelahiran tergantung kepada jumlah anak yang telah dilahirkannya. Seorang istri
mungkin menggunakan alat kontrasepsi setelah mempunyai jumlah anak tertentu, dan
Rumus :
BOSFR = ∑ xk
Dimana :
GFR = ∑ xk
tiap 1000 perempuan yang hidup hingga akhir masa reproduksinya (BKKBN, 2006).
dan perempuan tiap 1.000 penduduk yang hidup hingga akhir masa reproduksinya
dengan catatan :
reproduksinya.
b. Tingkat fertilitas menurut umur tidak berubah pada periode waktu tertentu
(Mantra, 2006).
fertilitas dari sejumlah perempuan hipotesis selama masa reproduksinya. Hal ini
sesuai dengan riwayat kematian dari tabel kematian penampang lintang (cross
sectional life table). Dalam praktek Tingkat Fertilitas Total dikerjakan dengan
berjenjang lima tahunan, dengan asumsi bahwa fertilitas menurut umur tunggal sama
Kelemahan pada perhitungan TFR ialah pada TFR semua wanita selama masa
subur dianggap tidak ada yang meninggal, semuanya menikah, serta mempunyai anak
dengan pola seperti ASFR, padahal hal ini tidak sesuai dengan kenyataan (Mubarak,
2012).
Rumus :
TFR = 5 ∑
Dimana :
Gross Reproduction Rate ialah jumlah kelahiran bayi perempuan oleh 1.000
kelahiran total.
Rumus :
GRR = 5 ∑
Dimana :
tahunan.
reproduksinya. Misalnya sebuah kohor yang terdiri dari 1.000 bayi perempuan
tersebut mempunyai kesempatan melahirkan hingga umur 20, sebagian hingga umur
30, sebagian hingga umur 40, dan seterusnya dan hanya sebagian yang dapat
melewati usia 50 tahun (usia reproduksi). Jadi dari kohor tersebut dihitung jumlah
mengalihkannya dengan kemungkinan hidup dari waktu lahir hingga mencapai umur
tersebut.
Rumus :
NRR = ∑ x
adalah :
a. Jumlah Kelahiran
2.3.2 Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH)
2.3.3 Paritas
Lahir hidup (Life Birth), menurut WHO, adalah suatu kelahiran seorang bayi
tanda-tanda kehidupan, misal : bernafas, ada denyut jantungnya atau tali pusat atau
gerakan-gerakan otot.
Lahir mati (Still Birth) adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan yang
2.4.3 Abortus
Abortus adalah kematian bayi dalam kandungan dengan umur kurang dari 28
minggu. Ada dua macam abortus : disengaja (induced) dan tidak disengaja
(spontaneus). Abortus yang disengaja mungkin lebih sering kita kenal dengan istilah
aborsi dan yang tidak disengaja lebih sering kita kenal dengan istilah keguguran.
fertilitas dapat dibagi menjadi dua, yakni faktor demografi dan faktor non demografi.
Faktor demografi diantaranya adalah struktur umur, struktur perkawinan, umur kawin
Sedangkan faktor non demografi antara lain, keadaan ekonomi penduduk, tingkat
variabel di atas dapat berpengaruh langsung terhadap fertilitas, ada juga berpengaruh
kesehatan, dan penurunan angka kematian (UGM,1982). Kedua pendapat ini hampir
sama, yang perlu diambil kesimpulan dari kedua pendapat ini bahwa banyak faktor
sedangkan faktor lain merupakan penunjang dari pada keluarga berencana (Sinuraya,
1990).
Jumlah anak dari seorang wanita dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
melahirkan anak pertama, jumlah anak yang diinginkan, dan penggunaan metode
Menurut Davis dan Blake (1956) yang dikutip oleh Mantra (2009), dalam
antara. Dalam bukunya itu Davis dan Blake menulis mengenai proses reproduksi
seorang wanita usia subur melalui tiga tahap, yaitu hubungan seks, konsepsi,
Gambar 2.1 Skema dari Faktor Sosial yang Mempengaruhi Fertilitas Melalui
Variabel Antara
Sebelum disiplin lain membahas secara sistematis tentang fertilitas, kajian sosiologis
tentang fertilitas sudah lebih dahulu dimulai. Sudah amat lama kependudukan
kerangka teoritis tentang perilaku fertilitas yang pada hakekatnya bersifat sosiologis
(Mundiharno, 1997).
analytic framework (1956)” Kingsley Davis dan Judith Blake melakukan analisis
(intermediate variables). Menurut Davis dan Blake faktor-faktor sosial, ekonomi dan
budaya yang mempengaruhi fertilitas akan melalui “variabel antara”. Ada 11 variabel
ii. Selibat tetap : proporsi wanita yang tidak pernah kawin atau mengadakan
persetubuhan.
iii. Lamanya suatu reproduksi yang hilang setelah atau diantara masa
hubungan kelamin
a. Bila hidup sebagai suami istri itu putus karena perceraian, berpisah,
b. Bila hidup sebagai suami istri itu putus karena kematian sang suami.
kelamin.
dapat dielakkan).
Variables).
vii. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oeh hal-hal yang tidak
b. Dan lain-lain.
bawah penis sehingga semen tidak keluar melalui kepala penis), obat-
(Gestation Variables).
Menurut Davis dan Blake, setiap variabel diatas terdapat pada semua
Artinya, fertilitas dapat meningkat karena tidak ada pengguguran. Dengan demikian
bernilai negatip atau positip maka angka kelahiran yang sebenarnya tergantung
kepada neraca netto dari nilai semua variabel. Lebih lanjut dalam artikelnya Davis
dan Blake tersebut dalam ruang lingkup sosiologis yang lebih luas. Berdasarkan
bagi kaum wanita, tidak bisa secara langsung mempengaruhi fertilitas tetapi aspek-
aspek sosial itu bisa mempengaruhi fertilitas melalui beberapa variabel antara.
mempengaruhi tingkat kematian bayi dan oleh karena itu utuk mencapai jumlah
tertentu dari anak-anak yang hidup, diperlukan sejumlah kelahiran tertentu dan bisa
persetubuhan.
fertilitas pada dasarnya juga dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku di suatu
yang ada yaitu norma tentang besarnya keluarga dan norma tentang variabel antara
itu sendiri. Selanjutnya norma-norma tentang besarnya keluarga dan variabel antara
di pengaruhi oleh tingkat mortalitas dan struktur sosial ekonomi yang ada di
Mortalitas
L
G antara Fertilitas
N KB variabel antara
Gambar 2.2 Faktor yang Mempengaruhi Fertilitas oleh Ronald Freedman 1962
sudah mapan diterima masyarakat dengan jumlah anak yang dimiliki (outcome). Ia
masyarakat dapat sesuai dengan fertilitas yang dinginkan seseorang. Selain itu, norma
social dianggap sebagai faktor yang dominan. Secara umum Freedman mengatakan
bahwa:
“Salah satu prinsip dasar sosiologi adalah bahwa bila para anggota suatu
merupakan serangkaian aturan tentang bertingkah laku dalam suatu situasi tertentu,
para anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma tersebut baik melalui
ganjaran (rewards) maupun hukuman (penalty) yang implisit dan eksplisit. ... Karena
jumlah anak yang akan dimiliki oleh sepasang suami isteri itu merupakan masalah
yang sangat universal dan penting bagi setiap masyarakat, maka akan terdapat suatu
tertentu pada berbagai situasi yang sama. Norma merupakan unsur kunci dalam teori
fertilitas yang cenderung terus menurun di beberapa negara pada dasarnya bukan
berubahnya motivasi fertilitas akibat bertambahnya penduduk yang melek huruf serta
tingginya tingkat modernisasi tipe Barat bukan merupakan syarat yang penting
terjadinya penurunan fertilitas. Pernyataan yang paling ekstrim dari suatu teori
bahwa “masalah ekonomi adalah masalah sekunder bukan masalah normatif” jika
kaum miskin mempunyai anak lebih banyak daripada kaum kaya, hal ini disebabkan
karena kaum miskin lebih kuat dipengaruhi oleh norma-norma pro-natalis daripada
keluarga, struktur sosial ekonomi dan juga norma mengenai variabel antara
(Urip, 2014).
banyak faktor. Diawali dengan keadaan lingkungan yang memberi pengaruh terhadap
tingkat kematian dan struktur sosial ekonomi. Keadaan ini sangat bervariasi antar-
daerah karena setiap daerah memiliki ciri dan karakteristik penduduk yang berbeda.
Lingkungan dan struktur sosial ekonomi saling mempengaruhi satu sama lain.
Tingkat kematian dan struktur sosial ekonomi memberi pengaruh pada norma ukuran
rumah tangga. Sementara struktur sosial ekonomi berkorelasi timbal balik dengan
ukuran keluarga. Begitupula hubungan antara struktur sosial ekonomi dengan norma
tentang variabel antara. Norma yang terbentuk dalam masyarakat ini secara langsung
1) Variabel perkawinan
2) Kemandulan permanen
4) Kemampuan melahirkan
1) Perkawinan
2) Kontrasepsi
3) Laktasi (menyusui)
4) Pengguguran
Menurut Urip (2014) yang mengutip pendapat Moni Nag (1979), seorang
Ada 4 faktor utama yang dapat dikemukakan dalam pemikiran Moni Nag,
yaitu :
turunnya fertilitas :
menyusui anaknya. Hal ini juga dipengaruhi oleh gencarnya susu kaleng,
laktasi.
2) Fekunditas dalam hal ini amenorrhea (periode mati haid atau berhentinya
menarche, sehingga usia reproduksi meningkat dan menopause bisa lebih lama.
meningkat.
8) Usia kawin dan proporsi wanita yang tidak pernah kawin (selibat). Usia
kawin meningkat dan proporsi wanita tidak kawin menurun karena ekonomi
10) Abstinensi terpaksa atau tidak sengaja berkurang, sehingga fertilitas naik.
Menurut Fawcett (1984) yang mengutip pendapat Hill, Stycos, dan Back
1. Tempat tinggal
2. Pekerjaan
3. Pendidikan
4. Agama
6. Pola perkawinan
2. Rekan kerja
3. Teman kelas
2. Tradisionalisme – modernism
1. Kebahagiaan perkawinan
3. Kepuasan seksual
pemakaiannya
2. Tingkat keberhasilan
g. Fertilitas
terhadap fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama dari teori
„transisi demografis‟ yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan dengan
proses ekonomis dari pada proses biologis. Berbagai metode pengendalian fertilitas
oleh pasangan suami isteri yang tidak menginginkan mempunyai keluarga besar,
dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti memikul beban ekonomis
dan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan material. Bahkan sejak awal
pertengahan abad ini, sudah diterima secara umum bahwa hal inilah yang
menyebabkan penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara dalam abad 19.
Leibenstein dapat dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang dikenal dengan “teori
adalah:
menentuka jumlah kelahiran anak yang dinginkan per keluarga. Tentunya, besarnya
juga tergantung pada berapa banyak kelahiran yang dapat bertahan hidup (survive).
Tekanan yang utama adalah bahwa cara bertingkah laku itu sesuai dengan yang
demikian ini tergantung pada keseimbangan antara kepuasan atau kegunaan (utility)
yang diperoleh dari biaya tambahan kelahiran anak, baik berupa uang maupun
psikis. Ada tiga macam tipe kegunaan yaitu (a) kegunaan yang diperoleh dari anak
sebagai suatu „barang konsumsi‟ misalnya sebagai sumber hiburan bagi orang tua;
(b) kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni, dalam
beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu
dan menambah pendapatan keluarga; dan (c) kegunaan yang diperoleh dari anak
Menurut H. Leibenstein yang dikutip oleh FEUI (2007), anak dilihat dari 2
segi yaitu segi kegunannya (utility) dan biaya (cost). Kegunaannya ialah memberikan
kepuasan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan
berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa
mempunyai anak tersebut. Apabila ada kenaikan pendapatan, aspirasi orang tua akan
berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kwalitas yang baik. Ini berarti
memberikan kepuasan akan tetapi balas jasa ekonominya turun. Di samping itu orang
tua juga tak tergantung dari sumbangan anak. Jadi biaya membesarkan anak lebih
besar dari pada kegunaannya. Hal ini mengakibatkan demand terhadap anak turun
(a) orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam
jumlah yang hanya sedikit sehingga “harga beli” meningkat; (b) bila pendapatan dan
pendidikan meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya waktu ibu) yang
digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal (Saragih, 2012).
biaya memiliki tambahan seoarang anak dapat dibedakan atas biaya langsung dan
biaya tidak langsung. Yang dimaksud biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan
dalam memelihara anak seperti memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak
sampai ia dapat berdiri sendiri. Yang dimaksud biaya tidak langsung adalah
kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seoarang anak. Misalnya, seoarang
ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak, kehilangan penghasilan
selama masa hamil, atau berkurangnya mobilitas orang tua yang mempunyai
maka aspirasi orang tua akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas
S.Becker (1960) dengan artikelnya yang cukup terkenal yaitu “An Economic Analysis
of Fertility”. Menurut Becker anak dari sisi ekonomi pada dasarnya dapat dianggap
memberikan suatu kepuasan (utility) tertentu bagi orang tua. Bagi banyak orang tua,
fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, biaya memiliki anak dan selera.
Karya Becker kemudian berkembang terus antara lain dengan terbitanya buku A
kemudian membentuk teori baru yang disebut sebagai ekonomi rumah tangga
kemudian diikuti pula oleh beberapa ahli lain seperti Paul T. Schultz, Mark Nerlove,
Robert J. Willis dan sebagainya. Dalam tulisannya yang berjudul Economic growth
“Ekonomi rumah tangga terdiri dari empat unsur utama, yaitu (a) suatu
fungsi kegunaan. Yang dimaksud kegunaan disini bukanlah dalam arti komoditi fisik
melainkan berbagai kepuasan yang dihasilkan rumah tangga; (b) suatu teknologi
produksi rumah tangga; (c) suatu lingkungan pasar tenaga kerja yang menyediakan
sarana untuk merubah sumber-sumber daya rumah tangga menjadi komoditi pasar;
dan (d) sejumlah keterbatasan sumber-sumber daya rumah tangga yang terdiri dari
harta warisan dan waktu yang tersedia bagi setiap anggota rumah tangga untuk
melakukan produksi rumah tangga dan kegiatankegiatan pasar. Waktu yang tersedia
dapat berbeda-beda kualitasnya, dan dalam hal ini tentunya termasuk juga
manusia dilakukan oleh suatu generasi baik untuk kepentingan tingkah laku
sendiri”
berkurang bila pendapatan meningkat; yakni apa yang menyebabkan harga pelayanan
meningkat? New household economics berpendapat bahwa (a) orang tua mulai lebih
menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam jumlah yang hanya sedikit
sehingga “harga beli” meningkat; (b) bila pendapatan dan pendidikan meningkat
maka semakin banyak waktu (khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk merawat
menganggap anak sebagai barang konsumsi tahan lama (durable goods). Orang tua
mempunyai pilihan antara kuantitas dan kualitas anak. Kualitas diartikan pengeluaran
(biaya) rata-rata untuk anak oleh suatu keluarga yang didasarkan atas 2 asumsi, a)
selera orang tua tidak berubah; b) harga anak dan barang-barang konsumsi lainnya
tidak dipengaruhi keputusan rumah tangga untuk berkonsumsi. Jika seandainya harga
anak (Ha) = Rp.3.000,- dan harga televise (Htv) = Rp.2.000,- sedangkan pendapatan
hasil dari suatu keputusan rasional yang didasarkan atas usaha untuk memaksimalkan
fungsi utility ekonomis yang cukup rumit yang tergantung pada biaya langsung dan
FERTILITAS
Menurut Robinson dan Harbinson (1982), yang dikutip oleh Saragih (2012),
ekonomi dalam menentukan fertilitas terkait dengan income, biaya (langsung maupun
tidak langsung), selera, modernisasi dan sebagainya. Menurut Bulatao (1982) yang
children dalam kaitan membuat latent demand menjadi efektif. Menurut Bulatao,
demand for children dipengaruhi (determined) oleh berbagai faktor seperti biaya
anak, pendapatan keluarga dan selera. Dalam artikel tersebut Bulato membahas
masing-masing faktor tersebut (biaya anak, pendapatan, selera) secara lebih detail.
hidup dari suatu pasangan jika mereka tidak berpisah/cerai pada suatu batas tertentu.
Supply tergantung pada banyaknya kelahiran dan kesempatan untuk bertahan hidup.
Menurut Bongart dan Menken fertilitas alami dapat diidentifikasi melalui lima hal
biaya (langsung maupun tidak langsung), selera, modernisasi dan sebagainya. Sejalan
dengan apa yang telah dikemukakan Becker (1960) dan Bulatao (1982) menulis
tentang konsep demand for children and supply of children. Konsep demand for
Bulatao mengartikan konsep demand for children sebagai jumlah anak yang
dinginkan. Termasuk dalam pengertian jumlah adalah jenis kelamin anak, kualitas,
waktu memliki anak dan sebagainya. Konsep demand for children diukur melalui
pertanyaan survey tentang “jumlah keluarga yang ideal atau diharapkan atau
jumlah anak yang dinginkan? Menurut Bulato, jika pasangan tidak dapat
memformulasikan jumlah anak yang dinginkan secara tegas maka digunakan konsep
latent demand dimana jumlah anak yang dinginkan akan disebut oleh pasangan ketika
permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh karakteristik latar belakang individu
seperti agama, pendidikan, tempat tinggal, jenis/tipe keluarga dan sebagainya. Setiap
determinan ketiga (disamping dua determinan lainnya: permintaan anak dan biaya
regulasi fertilitas) yaitu mengenai pembentukan kemampuan potensial dari anak. Hal
ini pada gilirannya tergantung pada fertilitas alami (natural fertility) dan
kemungkinan seorang bayi dapat tetap hidup hingga dewasa. Fertilitas alami
sebagian tergantung pada faktor-faktor fisiologis atau biologis, dan sebagian lainnya
terjadilah perubahan “suplai” anak karena perbaikan gizi, kesehatan dan faktor-faktor
pendapatan, harga dan “selera”. Pada suatu saat tertentu, kemampuan suplai dalam
mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah, karena terdapat pengekangan
(excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah besar orang yang benar-benar tidak
tinggi, maka akan menimbulkan suplai “berlebihan” (over supply) dan meluasnya
ekonomi sosiologis. Tesis fundamentalnya adalah bahwa tingkah laku fertilitas dalam
bersifat rasional dalam kaitannya dengan tujuan ekonomi yang telah ditetapkan dalam
masyarakat, dan dalam arti luas dipengaruhi juga oleh faktor-faktor biologis dan
arus kekayaan netto (net wealth flows) antar generasi dan juga perbedaan yang tajam
laku fertilitas terhadap individu (atau keluarga inti) oleh suatu kelompok keluarga
yang lebih besar (bahkan yang tidak sedaerah) dari pada oleh “norma-norma” yang
sudah diterima masyarakat. Seperti diamati oleh Caldwell, didalam keluarga selalu
terdapat tingkat eksploitasi yang besar oleh suatu kelompok (atau generasi) terhadap
status “kawin”, misalnya perubahan dari status “belum kawin” atau bujangan (single)
fertilitas yang merupakan salah satu unsur pertumbuhan penduduk (FEUI, 2007).
Faktor utama yang mempengaruhi kemungkinan seorang wanita untuk hamil selain
perkawinan adalah ikatan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Batasan untuk kawin yang ditetapkan
oleh UU ini adalah minimal berusia 19 tahun bagi laki-laki boleh kawin sedangkan
bagi perempuan adalah minimal usia 16 tahun. Dan jika mereka menikah dibawah
usia 21 tahun harus dengan ijin kedua atau salah satu orang tua atau yang ditunjuk
sebagai wali.
Kawin adalah status dari mereka yang terikat dalam perkawinan pada saat
pencacahan, baik tinggal bersama maupun terpisah. Dalam hal ini tidak saja mereka
yang kawin sah secara hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya) tetapi juga
mereka yang hidup bersama oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sah sebagai
suami istri. BPS mengambil kriteria “kawin” selain terkandung unsur legalitas
hukum, juga termasuk sepasang laki-laki dan perempuan yang oleh masyarakat
Status kawin termasuk salah satu dari faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya fertilitas. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli, diantaranya 1) Hill,
Stycos, Back (1959) tentang pola perkawinan; 2) Bongaarts (1979) tentang variabel
Usia kawin memegang peranan yang penting dalam fertilitas (jumlah anak
lahir hidup), alasannya adalah bahwa peningkatan usia kawin wanita berarti
kelamin, umumnya digunakan pendekatan umur ketika pertama kali menikah. Pada
kelamin diluar pernikahan, baik yang menghasilkan kelahiran maupun tidak. Seorang
perempuan yang menikah pada usia yang sangat muda, sangat dimungkinkan
memiliki beberapa orang anak sebelum mereka menyelesaikan masa subur. Pada
program keluarga berencana, maka penundaan umur kawin pertama merupakan salah
status dari belum kawin menjadi berstatus kawin. Kedua, perubahan dari status cerai
menjadi status kawin. Dalam kaitan dengan penelitian ini, defenisi yang digunakan
adalah yang pertama, yaitu perubahan dari status belum kawin menjadi kawin
Umur kawin pertama adalah umur pada saat wanita melakukan perkawinan
secara hukum dan biologis yang pertama kali (BPS, 2012). Usia perkawinan dalam
suatu pernikahan berarti umur terjadinya hubungan kelamin antara individu pria dan
wanita yang terkait dalam suatu lembaga perkawinan dengan berbagi ketentuan
mengenai hak dan kewajiban dari masing-masing individu. Pada masyarakat yang
fertilitasnya tinggi. Dengan kata lain semakin cepat usia kawin pertama, semakin
jika sudah ada ikatan perkawinan. Hubungan seksual merupakan awal seseorang
beresiko hamil. Dengan demikian umur kawin pertama merupakan indikator sosial
melakukan perkawinan pertama pada umur muda, angka kelahirannya lebih tinggi
melalui suatu proses biologis, yaitu melahirkan sampai dengan masa menopause, oleh
reproduksi. Semakin muda seorang wanita menikah, maka semakin panjang usia
dkk, 2014).
Menurut BKKBN (2011) yang mengutip pendapat Mosley dan Chen (1984),
umur kawin pertama merupakan salah satu indikator demografi yang penting, karena
dapat hamil dan melahirkan. Umumnya wanita yang menikah pada usia muda
mempunyai masa reproduksi yang lebih panjang, yang dapat berakibat pada angka
kelahiran yang lebih tinggi dibanding wanita yang menikah pada usia lebih tua. Di
Usia kawin pertama ini sangat penting karena pada umumnya pada wanita
usia menikah terlalu muda mempunyai waktu reproduksi yang panjang sehingga
angka kelahirannya akan tinggi dibanding wanita yang menikah pada usia tua. Usia
menikah terlalu muda dapat menjadi masalah bila tidak berKB karena akan
berkontribusi langsung terhadap angka kelahiran atau fertilitas. Usia Kawin Pertama
(UKP) akan menjadi alternatif untuk mengatur jarak kelahiran selain berKB
(Sukarno, 2011).
mempengaruhi tinggi rendahnya fertilitas. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli,
diantaranya 1) Moni Nag (1979) tentang usia kawin; 2) Hill, Stycos, Back (1959)
tentang usia ketika kawin; 3) FEUI (1984) tentang umur pada waktu perkawinan
pertama; 4) Mantra (2009) tentang umur kawin pertama; 5) Sukarno (2010) tentang
didefenisikan sebagai proporsi wanita kawin umur 15-49 tahun yang pada waktu
banyaknya PUS yang sedang memakai kontrasepsi pada saat pencacahan (BPS,
2015). CPR (Contraception Prevalence Rate) adalah persen cakupan peserta KB aktif
dibandingkan dengan jumlah pasangan usia subur di suatu wilayah kerja pada kurun
hampir selalu dilaporkan bagi perempuan menikah atau dalam hubungan seksual.
seksual, selibat permanen dan mortalitas janin. Kemudian menurut Kingsley Davis
dan Judith Blake yakni penurunan fertilitas diakibatkan oleh adanya faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya konsepsi salah satunya adalah dengan pemakaian alat
kelahiran. Pada teori Malthus dan Neo-Malthus juga dijelaskan penggunaan alat
2011).
meningkat, sementara tren Angka Fertilitas atau Total Fertility Rate (TFR)
usia 15-49 tahun yang melakukan KB sejalan dengan menurunnya angka fertilitas
nasional. Bila dibandingkan dengan target RPJMN 2014, CPR telah melampaui target
(60,1%) dengan capaian 61,9%, namun TFR belum mencapai target (2,36) dengan
lanjut dan keberlangsungan pelayanan; dan 6) pelayanan yang tepat. Bentuk layanan
keluarga berencana yang diberikan oleh provider bukan sekedar menyediakan alat
cara pencegahan terhadap penyakit menular seksual, mengerti pemakaian metode dan
kapan untuk kembali, serta tanda dan cara mengatasi efek samping.
yang mempengaruhi tinggi rendahnya fertilitas. Hal ini sejalan dengan pendapat para
ahli, diantaranya 1) Kingsley Davis dan Judith Blake (1956) tentang menggunakan
atau tidak menggunakan alat-alat kontrasepsi; 2) Hill, Stycos, dan Back (1959)
kontrasepsi.
yang tidak terpenuhi. Kebutuhan keluarga berencana yang belum terpenuhi (unmet
need) didefinisikan sebagai kesenjangan antara niat wanita usia reproduksi dengan
perilaku penggunaan kontrasepsi. Beberapa wanita yang menikah dan tidak menikah
kematian ibu dicegah dengan upaya pemenuhan kebutuhan keluarga berencana bagi
wanita, sehingga kehamilan yang tidak diinginkan, kejadian aborsi tidak aman dan
persalinan yang beresiko dapat dikurangi. Definisi unmet need menurut DHS
(Demographic Health Survey) adalah proporsi wanita usia subur yang menikah atau
hidup bersama (seksual aktif) yang tidak ingin punya anak lagi atau yang ingin
menjarangkan kelahiran berikutnya dalam jangka waktu minimal 2 tahun tetapi tidak
dengan demand keluarga berencana. Demand KB adalah niat atau motivasi individu
atau pasangan untuk mengontrol fertilitas dimasa yang akan datang. Demand KB
terbagi dalam 3 kategori yaitu keinginan untuk menunda kelahiran anak pertama,
Untuk menunda, mengatur jarak dan membatasi kelahiran ditentukan oleh penilaian
ekonomi dan sosial yang memiliki kekuatan untuk motivasi pengendalian kesuburan.
adalah populasi yang menjadi perhatian khusus dari program keluarga berencana.
kawin yang tidak ingin mempunyai anak lagi atau ingin menjarangkan kelahiran anak
berikutnya, akan tetapi tidak memakai alat atau cara kontrasepsi. Berdasarkan definisi
tersebut, dari total jumlah unmet need 11,4% pada tahun 2012 sebesar 6,9% wanita
pasangan usia subur lebih banyak yang unmet need untuk pembatasan dan sebesar
4,5% yang bertujuan untuk menjarangkan kelahiran. Unmet need wanita pasangan
usia subur secara umum lebih banyak yang bertujuan untuk membatasi kelahiran dari
pada menjarangkan kelahiran. Pada tahun 1997 perbedaan unmet need antara
pembatasan dan penjarangan kelahiran adalah sebesar 0,8 dan pada SDKI tahun 2012
diinginkan, wanita yang belum haid (amenorhoe) setelah melahirkan anak yang tidak
diinginkan, dan wanita yang tidak hamil atau belum haid setelah melahirkan dan tidak
memakai kontrasepsi tetapi ingin menunggu dua tahun atau lebih sebelum kelahiran
berikutnya. Wanita yang belum memutuskan apakah ingin anak lagi tapi belum tahu
kapan juga termasuk dalam kelompok unmet need. Wanita yang hamil akibat
kegagalan metode kontrasepsi, wanita yang mengalami infecund yaitu mereka telah
menikah lima tahun atau lebih tetapi tidak pernah melahirkan, menopause dan
tradisonal termasuk ke dalam kelompok unmet need, karena metode yang digunakan
Usia perkawinan yang terlalu muda, pendidikan wanita yang rendah, jarak ke
layanan dan diskriminasi gender terhadap pemilihan jenis kelamin anak adalah
kelahiran lebih tinggi pada wanita dengan usia lebih dari 35 tahun, tidak memiliki
pendidikan formal dan paritas lebih dari empat. Sedangkan untuk penjarangan
kelahiran lebih tinggi pada wanita usia dibawah 25 tahun, pendidikan menengah atau
Unmet Need termasuk salah satu dari faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi
rendahnya fertilitas. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli, diantaranya 1)
Easterlin (1975) tentang unmet need KB; 2) Carrasco (1991) tentang kejadian
alat kontrasepsi.
adalah keluhan mengenai sarana dan prasarana pendidikan yang kurang memadai dan
tenaga pengajar yang kurang berkualitas. Untuk itu berbagai cara dilakukan oleh
dapat menciptakan lulusan yang berkualitas yang dapat meningkatkan mutu sumber
akan lebih baik dan utamanya tingkat melek huruf terutama pada penduduk usia
sekolah (7-24 tahun). Untuk mendapatkan pendidikan yang memadai harus ditunjang
suatu kemampuan baik itu dari pemerintah untuk dapat menyediakan sarana yang
memadai dan juga ditunjang dengan kemampuan masyarakat, karena sampai saat ini
kendala dalam dunia pendidikan. Realita ini senantiasa banyak ditemui di sekeliling
kita, dimana bamyak sarana pendidikan yang sangat tidak layak dan juga banyak
anak-anak usia sekolah seharusnya belajar, namun sudah harus bekerja untuk
Program Wajib Belajar sekolah dasar enam tahun pada Tahun 1984 dan kemudian
disusul dengan Wajib Belajar Pendidikan dasar Sembilan Tahun mulai tahun 1994.
Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain ditandai dengan
unsur kreativitas dan produktivitas yang direalisasikan dengan hasil kerja yang
kemampuan yang diperoleh melalui pendidikan formal. Titik berat pendidikan formal
pelayanan pendidikan dasar dan menengah serta perluasan layanan pendidikan tinggi.
manusia.
Agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan
Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of Child) dan Millenium Development
Goals (MDGs) yang secara jelas menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah
kehidupan bangsa. Demikian pula dijelaskan dalam Batang tubuh UUD 1945 pasal 28
dan pasal 31 yang mengamanatkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapat
pendidikan. Oleh sebab itu peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang
lebih berkualitas merupakan amanat yang harus dilaksanakan bangsa ini karena
oleh seseorang yang sudah tidak sekolah lagi atau sedang diduduki oleh seseorang
yang masih sekolah. Menurut Apriyanti (2014), pendidikan merupakan salah satu
faktor yang sangat penting dan mempunyai kaitan dengan pengetahuan dan
pandangan dalam pembatasan jumlah anak dengan pendidikan yang semakin tinggi
dari anak dan menyebabkan jumlah anak yang diharapkan juga berkurang.
pengetahuan dan pola pikirnya dan diduga semakin besar pula kemungkinan untuk
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori sosiologi Davis dan Blake melalui variabel
antara usia kawin pertama yang menyatakan bahwa hubungan tingkat pendidikan
dengan usia kawin pertama yaitu dengan pendidikan yang semakin tinggi ditempuh
seseorang, berarti menunda usia kawin pertama yang dapat mempengaruhi jumlah
pendidikan meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya waktu ibu) yang
digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal. Sehingga hal ini
hidup dan tata nilai orang sedemikian rupa sehingga ia tidak begitu saja lagi
menerima tata cara bertingkah laku tradisional orang tuanya atau tokoh orang tua
yang lain. Orang berpendidikan atau pandai baca-tulis lebih terbuka pada pikiran-
pikiran baru dan lebih banyak mempuyai kesempatan untuk bertemu muka dengan
program keluarga berencana. Pendidikan yang makan waktu lama kemungkinan besar
akan menyebabkan perkawinan tertunda dan membuka pilihan antara bekerja dan
membesarkan anak. Pendidikan yang lebih tinggi mungkin pula berarti kehidupan
ekonomi yang lebih terjamin, dan ini biasanya berarti keluarga yang lebih kecil.
Semua penjelasan ini menolong kita memahami mengapa ada kaitan yang sangat erat
Para orang tua akan tergerak untuk mementingkan kualitas dari pada kuantitas
anak, atau memberi kesempatan kepada istri dan ibu untuk bekerja demi menunjang
pemeliharaan anak. Dengan demikian, salah satu cara untuk mendorong para keluarga
mempengaruhi tinggi rendahnya fertilitas. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli,
tingkat pendidikan.
dilakukan oleh para ahli terutama ahli bidang sosial dan kependudukan serta bidang
ekonomi. Hal ini dikarenakan semakin kompleknya permasalahan sosial dan ekonomi
yang timbul akibat pertambahan penduduk (terutama yang disebabkan oleh faktor
ketergantungan rasio. Hal ini terlihat pada jumlah orang yang tergantung dengan
jumlah orang dewasa di tempat kerja. Data yang ada menunjukkan bahwa masalah
pelayanan yang tersedia untuk para penduduk miskin. Lalu adanya rasa takut akan
efek samping medis, serta hambatan sosial, budaya dan agama untuk menggunakan
rendahnya pengetahuan dan akses untuk alat KB. Di seluruh wilayah Asia, fertilitas
cenderung lebih tinggi pada penduduk miskin. Hal itu menyebabkan, faktor lainnya
seimbang, dalam peningkatan proporsi penduduk yang hidup miskin (Iyas, 2013).
dalam hal pengetahuan dan akses terhadap alat KB. Contohnya, angka pemakaian
fertilitas yang lebih tinggi di antara penduduk miskin dapat merefleksikan kebutuhan
yang besar untuk mempunyai anak. Di negara yang sukses mengurangi fertilitas,
Negara itu juga mendapat keuntungan dari tabungan sektor publik dengan makin
sedikitnya jumlah anak yang butuh sekolah dan pelayanan kesehatan (Iyas, 2013).
memiliki anak antaranya adalah pengaruh memiliki anak terhadap pola pembelanjaan
rumah tangga, alokasi waktu orang tua, jumlah pendapatan yang harus dibelanjakan
untuk anak-anak mereka dan jumlah tambahan pendapatan suatu keluarga yang
memiliki anak, jika dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki anak
pendidikannya rendah, bekerja pada sektor tradisional serta tingkat kesehatan yang
masih rendah, memandang anak dari sudut kepentingan sosial ekonomi. Konsep anak
dipandang sebagai suatu investasi ekonomi yang nanti diharapkan akan dapat
membantu keluarga baik dalam bentuk tenaga kerja cuma-cuma keluarga dan
bila pendapatan dan pendidikan meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya
waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal.
Menurut H. Leibenstein yang dikutip oleh FEUI (2007), anak dilihat dari 2
segi yaitu segi kegunannya (utility) dan biaya (cost). Kegunaannya ialah memberikan
kepuasan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan
berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa
mempunyai anak tersebut. Apabila ada kenaikan pendapatan, aspirasi orang tua akan
berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kwalitas yang baik. Ini berarti
memberikan kepuasan akan tetapi balas jasa ekonominya turun. Di samping itu orang
tua juga tak tergantung dari sumbangan anak. Jadi biaya membesarkan anak lebih
besar dari pada kegunaannya. Hal ini mengakibatkan demand terhadap anak turun
S.Becker (1960) dengan artikelnya yang cukup terkenal yaitu “An Economic Analysis
of Fertility”. Menurut Becker anak dari sisi ekonomi pada dasarnya dapat dianggap
memberikan suatu kepuasan (utility) tertentu bagi orang tua. Bagi banyak orang tua,
fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, biaya memiliki anak dan selera.
Karya Becker kemudian berkembang terus antara lain dengan terbitanya buku A
kemudian membentuk teori baru yang disebut sebagai ekonomi rumah tangga
kemudian diikuti pula oleh beberapa ahli lain seperti Paul T. Schultz, Mark Nerlove,
Robert J. Willis dan sebagainya. Dalam tulisannya yang berjudul Economic Growth
Menurut Robinson dan Harbinson (1982), yang dikutip oleh Saragih (2012),
ekonomi dalam menentukan fertilitas terkait dengan income, biaya (langsung maupun
tidak langsung), selera, modernisasi dan sebagainya. Menurut Bulatao (1982) yang
children dalam kaitan membuat latent demand menjadi efektif. Menurut Bulatao,
demand for children dipengaruhi (determined) oleh berbagai faktor seperti biaya
PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Per kapita merupakan salah satu
Meningkatkan PDRB per kapita tidak hanya dengan meningkatkan PDRB tetapi juga
dengan menekan jumlah penduduk. Di sisi lain kelahiran merupakan salah satu faktor
Provinsi Sumatera Utara yang ditunjukkan dengan nilai indeks williamson dari tahun
jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial lainnya,
Provinsi Sumatera Utara menurut lapangan usaha Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
dengan migas tahun tahun 2012 mencapai 351,118 miliar rupiah lebih tinggi
Utara menyumbang sebesar 5,22 persen terhadap PDB nasional (33 provinsi).
provinsi ini, terlihat dari terdapatnya gap antara kabupaten atau kota dengan PDRB
Sumatera Utara adalah di Kota Binjai dan Kota Sibolga. Kota Binjai memiliki
pendapatan perkapita tinggi di Sumatera Utara yang didukung oleh fungsinya sebagai
kota penyangga untuk ibu kota Provinsi Sumatera Utara sehingga menerima dampak
kedalaman lautnya memadai untuk kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu
gerbang keluar masuknya barang dan penumpang melalui Pantai Barat Sumatera
Utara. Kota Sibolga selain berfungsi sebagai kota pelabuhan juga merupakan pusat
termasuk salah satu dari faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya fertilitas.
Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli, diantaranya 1) H. Leibenstein (1958)
tentang anak dilihat dari 2 segi yaitu segi kegunannya (utility) dan biaya (cost); 2)
Becker (1960) tentang ekonomi rumah tangga; 3) Robinson, Harbinson dan Bulatao
(1982) tentang demand for children dan supply of children; 4) Richard A. Easterlin
(1983) tentang analisis ekonomi dalam fertilitas; 5) John C. Caldwell (1983) juga
1. Status kawin
5. Tingkat pendidikan
6. Status ekonomi