Anda di halaman 1dari 13

KETERBATASAN ILMU KEALAMAN DALAM HUBUNGANNYA

DENGAN PEMBENTUKAN SIKAP ILMUWAN

Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar – Dasar Sains
Yang dibina oleh Prof. Dr. Dra. Utami Sri Hastuti, M.Pd

Disusun oleh :
Kelompok 5 Offering C 2017
1. Alfian Ramadhana (170342615101)
2. Dias Astari (170342615012)
3. Elistika Oktaviani (170342615062)
4. Eliza Fitri Kamaliya (170342615027)
5. Fustatul Qur’ani Anam (170342615080)
6. Putri Wahyuni Arofatun (170341615018)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI
November 2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................. i
KATA PENGANTAR.............................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................. 1
1.2 Tujuan.......................................................................... 1
1.3 Batasan Tulisan............................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Keterbatasan Ilmu Kealaman....................................... 2
2.2 Sikap Ilmiah................................................................. 3
2.3 Hubungan Keterbatasan Ilmu Kealaman dengan
Pembentukan Sikap Ilmuwan................................... 7

BAB III PENUTUP


1.1 Rangkuman.................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 10

KATA PENGANTAR

i
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan paper ini dengan keadaan sehat. Makalah berjudul Keterbatasan
Ilmu Kealaman Dalam Hubungannya Dengan Pembentukan Sikap Ilmuwan
penulis susun sebagai salah satu tugas mata kuliah Dasar-Dasar Sains. Dan juga
kami berterima kasih pada Ibu Prof. Dr. Utami Sri Hastuti M.Pd selaku Dosen
mata kuliah Dasar-Dasar Sains yang telah membimbing selama proses
perkuliahan.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan mengenai ilmu kealaman. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Akhir kata, dengan menyadari banyaknya kekurangan dalam paper ini, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga paper ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, 6 Desember 2017


Penulis

Tim Penyusun

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu kealaman memiliki keterbatasan terhadap hal-hal yang nyata dan
konkrit. Hal yang nyata dan konkrit tersebut mengisyaratkan bahwa ilmu
kealaman banyak menggunakan pengamatan yang menggunakan panca indra.
Sedangkan panca indra sangatlah terbatas fungsinya dalam mengamati suatu
objek. Karena ada suatu objek yang tidak dapat diamati dengan panca indra.
Panca indra diciptakan sebagai alat untuk memberikan tanggapan terhadap
semua rangsangan atau kenyataan yang tejadi di hadapan kita. Pengamatan
yang dilakukan mewujudkan berupa pengalaman tersebut dapat muncul jika
manusia memiliki rasa ingin tahu terhadap kejadian di alam. Dari pengalaman
itulah kemudian mewujudkan pengetahuan.
Pada dasarnya setiap ilmu memiliki keterbatasan. Namun keterbatasan
tersebut dapat dipatahkan dengan berbagai teori yang dicetuskan oleh
ilmuwan. Hal ini dikarenakan sifat para ilmuwan yang selalu ingin tahu
terhadap hal-hal yang baru. Namun teori yang dicetuskan oleh ilmuwan
memilki beberapa kekurangan. Sehingga para ilmuwan mencoba menemukan
sebuah peralatan yang mendukung proses pengamatan yang mana peralatan
tersebut dapat meningkatkan kemampuan manusia dalam melihat kenyataan.
Aspek mendasar yang menjadi tantangan ilmuwan di era sekarang ini
adalah etika, ilmuwan sejati harus memiliki landasan etika yang kuat. Sikap
ilmuwan tersebut memiliki hubungan dengan keterbatasan ilmu kealaman
sehingga dapat menjadikan ilmu kealaman selalu berkembang dan dinamis.
1.2 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
keterbatasan ilmu kealaman dengan pembentukan sikap ilmuwan.
1.3 Batasan Tulisan
Agar makalah ini lebih terarah maka penyusun membatasi pada ruang
lingkup keterbatasan ilmu kealaman dan sikap ilmuwan.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Keterbatasan Ilmu Kealaman
Ilmu kealaman memiliki keterbatasan terhadap hal-hal yang nyata dan
konkrit. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa ilmu kealaman banyak
menggunakan pengamatan yang mengandalkan panca indra dan juga
pemikiran (otak). Sedangkan kemampuan panca indra sangatlah terbatas.
Menurut Sutarman, et al. (2016) keterbatasan alat indera manusia adalah
seperti berikut: (i) mata yang tidak mampu melihat pergerakan benda yang
sangat cepat atau tidak mampu melihat jasad yang ukurannya kurang dari 500
milimikron; (ii) alat pendengar manusia hanya mampu menangkap getaran
yang mempunyai ferkuensi 30 sampai 30.000 getaran perdetik, sehingga
frekuensi di luar kisaran itu tidak dapat didengar; (iii) bau dan rasa di luar rasa
manis, asam, asin dan pahit yang tidak dapat dideteksi indera pembau dan
perasa; (iv) rangsangan baik berbentuk suhu, kelembaban, tekstur pada tingkat
tertentu yang tidak terdeteksi oleh alat perasa. Karena keterbatasan inderanya
tersebut, manusia tidak dapat meneliti secara detail objek- objek yang diteliti.
Namun seiring berjalannya waktu selalu muncul fenomena baru, sehingga
dengan sifat selalu ingin tahunya para ilmuwan terus berusaha untuk
menciptakan sebuah peralatan yang digunakan untuk membantu indera
manusia untuk mengamati sebuah objek. Contohnya adalah penemuan sebuah
mikroskop oleh Zacharias Jansen (Putriyanti, 2015). Mata manusia tidak bisa
mengamati objek yang mikroskopis sehingga ilmuwan membuat alat yang
mampu melihat objek mikroskopis yang dinamakan mikroskop. Dengan
demikian mikroskop dapat membantu penglihatan manusia dalam mengamati
objek yang mikroskopis. Hal ini menjadikan ilmu kealaman selalu
berkembang dan dinamis. Disamping itu banyak pelurusan pola pikir manusia
yang mempercayai sebuah mitos menjadi berpikir rasional atau logik maupun
ilmiah (Suwono, 2014). Di dalam Suwono (2014) dicontohkan, dahulu orang
mempercayai bahwa saat terjadi gerhana bulan, maka di angkasa bulan
tersebut dimakan oleh kepala raksasa yang tubuhnya sudah jatuh dibumi
berubah wujud menjadi lesung (tempat menumbuk padi menjadi beras).

2
3

Apabila terjadi gerhana, diwajibkan orang memukul-mukul lesung tersebut


agar sang raksasa kesakitan, sehingga mau memuntahkan kembali bulan yang
sudah berada di mulutnya. Dengan demikian, orang dibumi dapat melihat
kembali keindahan bulan yang sedang menyinari bumi. Lambat-laun,
kepercayaan yang telah mengakar di masyarakat tersebut akan terkikis oleh
kebenaran tentang gerhana yang dijelaskan oleh ilmu kealaman, yang ternyata
hanya merupakan peristiwa alam biasa.
Dengan hadirnya ilmu kealaman masalah yang dianggap tabu dapat
terkuak. Itulah sebabnya perlu penjelasan dalam mengartikan ilmu kealaman.
Terbatas ini diartikan secara dinamis, dimana terbatasnya tersebut hanya
karena pada saat ini manusia belum mampu menciptakan peralatan yang
canggih dan akurat yang digunakan untuk membantu indera manusia dalam
mengamati objek yang diteliti.
2.4 Sikap Imuwan
Aspek mendasar yang menjadi tantangan ilmuwan di era sekarang ini
adalah etika. Realitas kehidupan yang sarat akan penyimpangan dan
pertentangan antara dua hal dengan etika menjadi tantangan yang tidak
mudah untuk ditundukkan. Pada kondisi semacam ini, seorang ilmuwan sejati
harus memiliki landasan etika yang kuat. Jika tidak maka ia akan kehilangan
arah dan titik pijak dalam menjalankan tugas dan perannya. Etika menjadi
signifikan perannya saat seorang ilmuwan melakukan interaksi. Salah satu
bentuk interaksinya adalah interaksi dengan kekuasaan. Seorang intelektual
tidak boleh mengorbankan ilmunya untuk kepentingan praktis. Hal ini penting
menjadi perhatian karena tidak jarang atas nama kepentingan diri dan
pragmatisme, seorang ilmuwan mengorbankan nilai kebenaran. Jika ini yang
terjadi maka sesungguhnya kaum intelektual itu telah berkhianat kepada
fungsinya yang mendasar.
Seorang ilmuwan seharusnya memang benar-benar menyadari keberadaan
dan fungsi dirinya. Kesadaran subjektifnya sebagai pengabdi kepada
kebenaran dan kemanusiaan, harus dapat mengalahkan tarikan-tarikan objektif
dari luar dirinya. Termasuk godaan dari pusat kekuasaan, ilmuwan yang
pengetahuannya luas dan ilmuwan yang cerdas dan kritis juga banyak. Tetapi
4

itu saja tidak cukup. Seorang ilmuwan harus juga memiliki integritas pribadi
dan moral kebangsaan yang tinggi. Moralitas yang ditopang oleh kesadaran
yang penuh atas fungsinya sebagai pengabdi kebenaran.
Adapun sikap yang dimiliki ilmuwan adalah sebagai berikut.
1. Sikap Jujur dan Objektif
Sikap ilmiah pertama yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan
adalah jujur dan obyektif. Nilai kejujuran dan obyektif ini merupakan nilai
interinsik yang ada di dalam ilmu pengetahuan, sehingga harus integral
masuk dalam etos semua aktor ilmu pengetahuan di dalam lembaga
akademis. Tanpa kejujuran tidak akan di dapat kebenaran sebagaimana apa
adanya, sedangkan motif dasar ilmu pengetahuan adalah memenuhi rasa
ingin tahu untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Sikap ilmiah
tercermin pada sikap jujur dan obyektif dalam mengumpulkan faktor dan
menyajikan hasil analisis fenomena alam dan sosial melalui cara berpikir
logis. Sikap jujur dan obyektif menghasilkan produk pemikiran berupa
penjelasan yang lugas dan tidak bias karena kepentingan tertentu
(Wilujeng, 2013). Seorang ilmuwan dalam melakukan pengamatan harus
mengutamkan kenyataan (obyektif), penalaran, kejujuran, dan kreatifitas
analisis.
2. Sikap Sadar Kebenaran Relatif
Kebenaran relatif atau tentatif adalah kebenaran yang tidak pernah
mutlak, artinya kebenaran bersifat sementara dan terus menerus dapat
diperbaiki. Dikatakan bersifat sementara karena seorang ilmuwan belum
dapat menemukan kebenaran baru yang dapat menumbangkan kebenaran
sebelumnya. Hal ini dikarenakan pancaindera manusia terbatas
kemampuannya, sehingga berdampak pada peningkatan manusia dalam
melihat kenyataan. Menyadari ciri dari kebenaran ilmu kealaman, seorang
ilmuwan harus mengembangkan antusiasme (keinginan terus-menerus)
dalam mengikuti perkembangan ilmu kealaman, selalu menghargai
pendapat orang lain, rendah hati atau tidak sombong, dan berani
melakukan penelitian-penelitian sebagai wujud dari realisasi sifat ingin
tahu (curiousity).
5

3. Sikap Tidak Purbasangka


Ilmu kealaman tidak memperbolehkan purbasangka. Ilmu
kealamaan menetapkan “kebenaran obyektif” yang ditempatkan paling
tinggi atau utama. Oleh sebab itu, dalam ilmu kealamaan pernyataan-
pernyataan yang bersifat purbasangka tidak boleh berhenti disitu, tetapi
harus ditindaklanjuti sampai dengan pengujian kebenarannya. Sikap tidak
purbasangka mengacu pada tercapainya kebenaran yang nyata tersebut,
berarti harus berani menahan diri samapi adanya bukti bahwa kebenaranya
memang sesuai dengan kenyataannya
4. Sikap Cinta Keharmonisan Alam
Paham fenomenalisme berpendapat bahwa fenomena hasil
pengamatan sajalah yang dianggap benar. Hasil pengamatan tersebut
dipandang sebagai suatu kenyataan alam. Atas dasar itu, maka ilmu
kealamaan terdiri dari identifikasi, klasifikasi, dan kondifikasi dari gejala
atau fenomena alam. Menyadari ciri dari paham fenomenalisme yang
demikian itu, maka sikap cinta keharmonisan alam mengacu pada
keterarutan-keteraturan yang ada di alam semesta, berarti harus terus
menerus konsisten menjaga keharmonisan yang ada di alam semesta ini.
5. Sikap Toleran
Bidang telaah ilmu kealamaan begitu luas sehingga memberikan
keleluasaan setiap orang untuk mengembangkan kreatifitasnya sesuai
dengan interes masing-masing untuk melakukan penelitian. Hal ini juga
memacu penciptaan alat-peralatan yang semakin canggih dan akurat yang
digunakan untuk “menyambung” indera manusia, sehingga terjadi
perkembangan dan pendalaman temuan-temuan yang dihasilkan. Dengan
demikian, dikalangan para ilmuwan terdapat hubungan yang saling
percaya, baik dari kalangan parailmuwan pada suatu masa maupun antar
suatu masa. Diperlukannya sikap toleran antar ilmuwan yang berarti harus
konsisten yaitu tidak memaksakan pendapatnya untuk di terima oleh orang
lain, begitupun sebaliknya.
6

6. Sikap Optimis
Ilmu kealaman di masa lalu tentunya akan berlanjut ke masa yang
akan datang, maka sikap optimistis mengacu pada keberanian untuk
mencoba penelitian dengan masalah-masalah yang dianggap “tabu” bagi
ilmu kealaman atau dimustahilkan didekati dengan ilmu kealaman.
Implomentasi dari sikap optimistis ini adalah sikap tidak putus asa. Bagi
ilmuan yang senantiasa bekerja dengan metode ilmiah, sikap tidak putus
asa ini sudah sangat familiar. Sebagai gambaran, mekanisme operasi dari
metode ilmiah,dimana apabila hipotesis ditolak, maka harus ditelusuri
kembali dari awal hingga akhir untuk kemuadian dicoba kembali,
demikian seterusnya. Dengan demikian, para ilmuan telah terbiasa bekerja
dengan sabra, tekun, tidak putus asa, dan penuh optimistis karena pda
dasranya tidak ada permasalahan yang tidak dapat di pecahkan.
7. Sikap Teliti dan Hati-hati
Akar dari kata penilitan adalah “teliti” ; sehingga sikap teliti itu
sudah merupakan suatu keharusan pada ilmu kealaman. Implementasi dari
sikap teliti ini adalah sikap hati-hati. Bagi ilmuan yang senantiasa bekerja
dengan metode ilmiah, sikap teliti dan hati-hati ini sudah sangat familiar.
Dari aspek lain, dalam ilmu kealaman ketelitian dan kehati-hatian tersebut
ternyata mutlak diperlukan, mengingat banyak sekali materi ilmu
kealaman yang dapat menimbulkan bencana, karena fenomena kimia,
fisika, dan biologi. Sikap teliti dan hati-hati membentuk etos kerja ilmuan
yang metodik dan sistematik.
8. Sikap Ingin Tahu
Rasa ingin tahu yang merupakan naluri manusia tidak hanya
sekedar ingin tahu, tetapi mendalam dan secara terus menerus. Pada ingin
tahu yang mendalam, jawaban hal yang dipertanyakan tersebut tidak akan
dapat dicapai dengan panca indra saja, sehingga orang harus berpikir
mendalam melampaui batas kemampuan panca indra yang sifatnya fisik,
menembus sampai pada metafisik. Sebaliknya apabila pertanyaan-
pertanyaan yang muncul dari rasa ingin tahu tersebut dapat terjawab dalam
jangkauan panca indra yang sifatnya fisik, nyata, atau obyektif, maka
7

lahirlah ilmu kealaman. Ciri dari rasa ingin tahu ilmu kelaman adalah yang
secara terus menerus yaitu apa yang telah diketahui akan diteliti lebih
lanjut, baik dari segi pendalaman maupun dari segi perluasan atau
perkembangannya. Hal tersebut dimungkinkan, karena bidang telaahilmu
kealaman begitu luas, yaitu alam semesta beserta isinya. Dengan
demikian, ilmu kealaman memberikan keleluasan setiap orang untuk
mengembangkan kreatifitasnya sesuai dengan intres masing-masing untuk
melakukan penelitian. Hal ini menyyebabkan ilmu terus berkembang,
sehingga ilmu sering dipandang sebagai kumpulan produk penelitian yang
dinamis selalu bertambah banyak, yang sering dijuluki sebagai badan
ilmu. Disamping itu sifat ingin tahu manusia dalam melihat kenyataan
memacu penciptaan alat peralatan yang semakin canggih dan akurat yang
digunakan untuk “menyambung” indra manusia, sehingga terjadi
perkembangan dan pendalaman temuan-temuan yang dihasilkan. Dampak
dari sikap raasa ingin tahu ini diharapkan akan menjadi pendorong
munculnya penelti-peneliti baru yang memiliki kemampuan untuk
berkontribusi pada “perbanyakan” badan ilmu yang merupakan ciri khas
ilmu kealaman yang dinamis terus berkembang.
2.5 Hubungan Keterbatasan Ilmu Kealaman dengan Pembentukan Sikap
Ilmuwan
Sebagaimana telah diterangkan bahwa manusia sebagai makhluk hidup
melalui panca inderanya memberikan tanggapan terhadap semua rangsangan,
termasuk gejala di alam semesta ini. Tanggapan terhadap gejala-gejala atau
peristiwa-peristiwa merupakan suatu pengalaman. Pengalaman tersebut dari
zaman ke zaman akan berakumulasi karena manusia mempunyai rasa ingin
tahu atau kuriositas terhadap segalanya di alam semesta ini. Pengalaman
merupakan salah satu cara terbentuknya pengetahuan yakni kumpulan fakta-
fakta. Pengalaman itu akan bertambah terus selama manusia ada dimuka bumi
ini dan mewariskan pengetahuan itu kepada generasi berikutnya.
Ilmu kealaman memiliki keterbatasan pada hal-hal yang nyata dan
konkret. Hal-hal nyata tersebut mengisyaratkan bahwa dalam ilmu kealaman
banyak menggunakan pengamatan yang berarti sangat mengandalkan kerja
8

panca indera. Pengindraan merupakan langkah pertama dari metode ilmiah,


walaupun pengindraan tidak selalu langsung. Misalnya, mengenai
mikroorganisme yang tidak dapat kita indera secara langsung, tetapi efek-
efeknya dapat ditunjukkan melalui alat-alat. Seperti halnya pikiran, tidak dapat
kita indera secara langsung, tetapi efeknya dapat ditunjukkan dalam bentuk
tingkah laku. Agar pengindraan tepat dan benar, maka perlu pengulangan, dan
pengulangan itu dapat juga oleh orang lain. Penginderaan yang tepat adalah
sulit, memerlukan waktu yang lama, dan setelah dicoba berkali-kali sering
mengalami kegagalan. Setiap orang dapat melakukan penginderaan melalui
kelima inderanya, tetapi penginderaan yang tepat sukar dilakukan karena
sering adanya prasangka yang melekat pada penginderaan melalui kelima
inderanya, tetapi penginderaan yang tepat sukar dilakukan karena sering
adanya prasangka yang melekat pada penginderaan itu. Untuk meminimalkan
subjektivitas penginderaan, sering kali pengamatan menggunakan instrumen
standar. Contohnya, untuk mengetahui suhu air, tidak cukup dengan kulit atau
tangan, tetapi perlu dibantu dengan termometer.
Adanya keterbatasan ilmu kealaman sikap ilmuwan diperlukan untuk
mengatasi keterbatasan tersebut. Etika diperlukan dalam mengatasi
keterbatasan ilmu kealaman tersebut. Seorang ilmuwan harus benar-benar
menyadari keberadaan dan fungsi dirinya, serta dapat menempatkan dirinya
pada posisi yang tepat sebagai seorang ilmuwan. Kesadaran subjektifnya
sebagai pengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan, harus dapat
mengalahkan tarikan-tarikan objektif dari luar dirinya. Termasuk godaan dari
pusat kekuasaan, ilmuwan yang pengetahuannya luas dan ilmuwan yang
cerdas dan kritis juga banyak. Tetapi itu saja tidak cukup. Seorang ilmuwan
harus juga memiliki integritas pribadi dan moral kebangsaan yang tinggi.
Moralitas yang ditopang oleh kesadaran yang penuh atas fungsinya sebagai
pengabdi kebenaran.
BAB III
RANGKUMAN
Ilmu kealaman memiliki keterbatasan terhadap hal-hal yang nyata dan
konkrit sehingga ilmu kealaman banyak menggunakan pengamatan yang
mengandalkan panca indra dan juga pemikiran (otak). Sedangkan kemampuan
panca indra sangatlah terbatas yang membuat manusia tidak dapat meneliti
secara detail objek- objek yang diteliti. Namun ilmuwan terus berusaha untuk
menciptakan sebuah peralatan yang digunakan untuk membantu indera
manusia untuk mengamati sebuah objek. Hadirnya ilmu kealaman masalah
yang dianggap tabu dapat terkuak. Terbatasnya ilmu kealaman ini diartikan
secara dinamis, dimana terbatasnya tersebut hanya karena pada saat ini
manusia belum mampu menciptakan peralatan yang canggih dan akurat yang
digunakan untuk membantu indera manusia dalam mengamati objek yang
diteliti.
Sikap – sikap Seorang ilmuwan
1. Sikap Jujur dan Objektif
2. Sikap Sadar Kebenaran Relatif
3. Sikap Tidak Purbasangka
4. Sikap Cinta Keharmonisan Alam
5. Sikap Toleran
6. Sikap Optimis
7. Sikap Teliti dan Hati-hati
8. Sikap Ingin Tahu
Adanya keterbatasan ilmu kealaman sikap ilmuwan diperlukan untuk
mengatasi keterbatasan tersebut. Etika diperlukan dalam mengatasi
keterbatasan ilmu kealaman tersebut. Seorang ilmuwan harus benar-benar
menyadari keberadaan dan fungsi dirinya, serta dapat menempatkan dirinya
pada posisi yang tepat sebagai seorang ilmuwan. Kesadaran subjektifnya
sebagai pengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan, harus dapat
mengalahkan tarikan-tarikan objektif dari luar dirinya. Termasuk godaan dari
pusat kekuasaan, ilmuwan yang pengetahuannya luas dan ilmuwan yang
cerdas dan kritis juga banyak. Tetapi itu saja tidak cukup. Seorang ilmuwan
harus juga memiliki integritas pribadi dan moral kebangsaan yang tinggi.
Moralitas yang ditopang oleh kesadaran yang penuh atas fungsinya sebagai
pengabdi kebenaran.

9
DAFTAR RUJUKAN
Kurnia, ilham.2014.Tugas Ilmu Alamiah Dasar Catatan Kuliah.
(http://www.academia.edu/8083608/Tugas_ILMU_ALAMIAH_DASAR_C
ATATAN_KULIAH diakses pada 06 Desember 2017)
Maftukhin. 2015. Ilmuwan, Etika, dan Strategi Pengembangan Ilmu Kealaman di
Indonesia. Tulungagung : IAIN
Putriyani, N. 2015. Mikroskop. Pontianak.
Sutarman., Sartika, S., Wulandari, R., dan Wulandari, F. 2016. Buku Ajar Imu
Kealaman Dasar. Sidoarjo : Umsida Press.
Suwono, H. 2014. Filsafat Ilmu Kealaman dan Etika Lingkungan. Malang :
Penerbit & Percetakan UM.

10

Anda mungkin juga menyukai