Anda di halaman 1dari 18

Studi Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat Kelenteng Tjoe

Hwie Kiong di Kota Kediri dalam Bingkai Bhineka


Tunggal Ika

Disusun oleh :

Muhammad Ni’am Khafidh NIS. 021478

X IIS-A / 13

CABANG DINAS PENDIDIKAN WILAYAH


KABUPATEN DAN KOTA KEDIRI
SMA NEGERI 1 KEDIRI
KOTA KEDIRI
2017
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Ni’am Khafidh

Alamat : Dusun Kebonagung Desa Wonojoyo Kecamatan Gurah


Kabupaten Kediri

Dengan ini kami menyatakan bahwa saya adalah penulis sekaligus inventor dari
karya tulis ilmiah yang berjudul “Studi Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat
Kelenteng Tjoe Hwie Kiong di Kota Kediri dalam Menghargai Suatu Perbedaan”
yang sayabuat untuk mendapatkan penilaian tugas proyek sejarah 2017 dan menyatakan
bahwa karya tulis ilmiah tersebut benar-benar merupakan hasil ide orisinil dan
pengembangan (studi pustaka) saya sendiri dan bukan merupakan invensi/karya tulis
orang lain atau hasil penjiplakan dari invensi/karya tulis orang lain. Apabila ada
konsekuensi hukum akibat adanya tuntutan dari pihak lain yang merasa dijiplak, hal
tersebut akan menjadi tanggung jawab kami sepenuhnya.
Demikian surat pernyataan orisinalitas karya saya buat dengan sebenarnya. Atas
perhatianya disampaikan terimakasih.

Kediri, 13 Mei 2017

Penyusun

M NI’AM KHAFIDH

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami ucapkan pada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya berupa waktu dan kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan proposal
karya ilmiah ini dengan tuntas. Adapun karya ilmiah yang akan kami laksanakan berjudul
“Studi Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat Tjoe Hwie Kiong di Kota Kediri dalam
Bingkai Bhineka Tunggal Ika ”.

Untuk menyelesaikan proposal Karya Tulis Ilmiah ini, tentunya tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak dan oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar
– besarnya kepada :
1. Bapak Widayat, S.Pd, M.M, selaku kepala SMAN 1 Kediri.
2. Bapak Bambang Yulianto, sebagai Wakil Kepala SMAN 1 Kediri Bidang
Kesiswaan.
3. Kedua Orang Tua kami dan teman-teman selaku inspirator dan motivator dalam
proses pembuatan dan penyusunan karya tulis ini.

Namun, kami sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan khilaf. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca sekalian, sangat kami
harapkan demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini
berguna dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kita semua. Amiin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Kediri, 13 Mei 2017

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ............................................................................................... i


Lembar Orisinalitas ........................................................................................... ii
Kata Pengantar ................................................................................................. iii
Daftar Isi ..................................................................................................... iv
Abstrak ..................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 1
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 1
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Masyarakat Tionghoa ....................................................................... 3
2.2 Kelenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri .................................................. 10
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian .................................................................................. 12
3.2 Metode Penelitian ................................................................................ 12
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 12
3.4 Instrumen Penelitian ......................................................................... 13
3.5 Teknik Analisis Data ........................................................................ 13
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Sosial Budaya ..................................................................... 15
4.2 Tradisi Kelenteng Tjoe Hwie Kiong ................................................... 15
BAB V PENUTUP
5.1 Penutup ............................................................................................... 17

Daftar Pustaka ................................................................................................... 18

iv
ABSTRAK

Penelitian dengan judul Studi Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat Tjoe Hwie
Kiong di Kota Kediri dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika pada tahun ini mengkaji
permasalahan bagaimana sejarah aktivitas sosial budaya berupa tradisi maupun interaksi
antar masyarakat. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa sejarah kedatangan
Etnis masyarakat Tionghoa berawal pada tahun 1887 sesuai dengan berdirinya kelenteng
Tjoe Hwie
Perkembangan Tradisi Masyarakat Tionghoa di Kota Kediri berawal dari
datangnya pedagang dari Cina di Kota Kediri yang kemudian berbaur dengan masyarakat
pribumi Kediri yang memiliki cirikhas yang unik, hal ini disebabkan oleh tradisi
masyarakat Tionghoa dengan tradisi dan budaya Kediri. Hal ini bisa dilihat dengan
adanya pernikahan antar penduduk asli Tionghoa dan penduduk asli pribumi yang
menghasilkan keturunan yang dapat mengkombinasikan antara tradisi masyarakat
Tionghoa dan tradisi budaya Kediri.

Tradisi masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Kediri diataranya adalah, CapG
Gome, Peringatan Hari besar Waisak, Ziarah Kubur, sembayang Arwah dan tradisi
pernikahan serta tradisi makanan sebagai cara ritual.

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia yang memiliki banyak keanekaragaman mulai dari suku bangsa, bahasa, maupun
budaya. Meskipun Indonesia memiliki banyak perbedaan tidaklah menjadi masalah bagi Indonesia
Hal ini sesuai dengan semboyan Negaranya yang berbunyi “Bhineka Tunggal Ika” berbeda-beda
tetapi tetap satu jua. Menurut Hildred Geertz dalam Nasikun (2001:37) menyebutkan bahwa
terdapat lebih dari 300 etnis atau suku bangsa yang ada di Indonesia.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, bahasa, dan budaya sering disebut sebagai ciri
masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Furnival dalam Wasino (2006:2) mendefinisikan
masyarakat majemuk sebagai masyarakat yang terdiri atas dua elemen atau lebih yang hidup
sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik.
Selain penduduk pribumi, terdapat juga aneka ragam penduduk keturunan asing yang
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik dari segi bahasa, identitas kultural maupun
kebudayaan. Salah satu suku asing tersebut adalah berasal dari keturunan Cina atau biasa disebut
etnis Tionghoa. Masyarakat Tionghoa Indonesia me-miliki kebudayaan yang berbeda dengan
masyarakat asli Indonesia. Koentjaraningrat (2002:83) menyatakan bahwa setiap kebudayaan
senantiasa berintikan seperangkat cita-cita, norma-norma, pandangan, aturan, pedoman,
kepercayaan, sikap dan sebagainya yang dapat mendorong kelakuan manusia. Seperti juga
masyarakat Tionghoa di Indonesia, kebudayaan yang mereka mili-ki berbeda dengan kebudayaan
masyarakat pribumi. Mereka memiliki norma-norma, pandangan, pedoman yang berbeda dalam
kehidupan sehari-hari, dengan masyarakat pribumi. Selain itu, perbedaan budaya yang paling
mencolok dari masyarakat Tionghoa dan pribumi adalah kepercayaannya. Masyarakat Tionghoa
kebanyakan memeluk agama Konghucu atau Tao yang merupakan kepercayaan dari negeri Cina.
Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki warga keturunan tionghoa yaitu di jalan Yos
Sudarso Kota Kediri. Mereka melaksanakan ibadah di kelenteng tjoe hwie kiong yang juga berada
di jalan Yos Sudarso. Meskipun keberadaan mereka merupakan suatu komunitas yang berbeda
dengan masyarakat pribumi namun mereka hidup membaur dalam suatu pemukiman dengan
masyarakat setempat (pribumi). Dan juga hingga saat ini tidak pernah ada masalah yang berarti
yang menyangkut keberadaan para etnis Tionghoa tersebut.
Kelenteng Tjoe Hwin Kiong tersebut digunakan oleh masyarakat Tionghoa setempat untuk
melakukan upacara keagamaan. Upacara atau ritual keagamaan yang sering dilakukan antara lain
upacara memperingati kelahiran dan kema-tian nabi Konghucu atau biasa disebut dengan ritual
kebaktian pada nabi Konghucu. Selain itu juga diselenggarakan ritual perayaan Imlek (yang
meliputi sembahyang pada Tuhan, upacara Tjoe Hwin Kiong dan perayaan Cap Gomeh), serta
masih banyak upacara keagamaan yang lain yang diselenggarakan setiap tahun. Keberadaan
kelenteng yang terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk masyarakat Tionghoa dan non
Tionghoa serta adanya perbedaan keyakinan pada masyarakat membuat mereka saling
menghormati dalam melaksanakan ibadahnya masing-masing.
Kerukunan masyarakat Tionghoa dan non-Tionghoa di kecamatan Kediri yang terwujud
dalam pergaulan mereka sehari-hari, khususnya aktivitas sosial budaya di Klenteng Tjoe Hwie
Kwin yang merupakan fenomena bidang sosial yang unik dan menarik untuk di kaji. Dalam
penelitian ini akan mengkaji tentang “Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat Kelenteng Tjoe Hwie
Kiong di Kota Kediri dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika”

6
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana aktivitas sosial masyarakat pribumi dengan dengan warga Tionghoa di Kota
Kediri ?
2. Bagaimana aktivitas sosial budaya di kelenteng Tjoe Hwie Kiong dalam menghargai
Bhineka Tunggal Ika?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikat :

1. Untuk mengetahui lebih jelas tentang aktivitas-aktivitas sosial budaya sehingga bisa
mejalin kerukunan
2. Untuk mengetahui aktivitas sosial budaya di kelenteng Tjoe Hwie Kiong.

1.4 Manfaat Kegiatan

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat yang sebanyak – banyaknya
sebagai berikut :

1. Dapat menambah wawasan para pembaca dalam mengetahui dan memahami aktivitas
sosial budaya warga tionghoa
2. Dapat menjadi pembelajaran bagi kita untuk bisa mengembangkan toleransi antar
masyarakat

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masyarakat Tionghoa

Masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku sesuai
dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dimana setiap anggota masyarakat terikat suatu
rasa identitas bersama (Koentjaningrat, 1985:60). Masyarakat manusia juga merupakan sistem
hubungan sosial (social relation system) yang utama. Hubungan ini ditentukan oleh kebudayaan
manusia. Untuk mencapai persatuan dan integrasi melalui kebudayaan anggota masyarakat perlu
belajar dan memperoleh warisan kebudayaan, termasuk apa yang diharapkan oleh mereka dalam
suatu keadaan tertentu. Tionghoa adalah adat istiadat yang dibuat sendiri oleh orang diIndonesia
berasal dari kata zhinghuo dalam Mandarin. Zhonghua dalamdialek Hokkian dilafalkan sebagai
Tionghoa. Suku bangsa Tionghoa diIndonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang
berimigrasi secaraperiodik dan bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatanliteratur
Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan kerajaan kuno di Nusantaratelah berhubungan erat dengan
dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok.Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan
dan lalu lintasbarang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

Dari penelitian pendahuluan dapat diketahui, bahwa terbentuknya kawasan Pecinan tidak
terlepas dari sejarah kedatangan orang-orang Cina di Indonesia. Memang belum didapat bukti
historis yang memberi informasi secara pasti kapan orang-orang Cina datang ke Indonesia. Namun
diperkirakan orang tionghoa datang sejak zaman neolithikum dikarenakan banyak ditemukan
peninggalan-peninggalan yang sama dengan peninggalan di china . Puncak migrasi besar besaran
orang Tionghoa terjadi pada abad ke-15 dan permulaan abad ke-20 an ke Nusantara dengan hanya
membawa secarik kertas keterangan izin menetap dari pemerintah hindia belanda (ongji).
Sebenarnya orang tionghoa bermigrasi ke Indonesia bukan untuk menjajah tetapi untuk mengadu
nasibnya. Mereka dianggap sebagai tenaga yangmurah penurut patuh, efisien dan rajin. Di
Indonesia mereka menjadi pedagang, petani, pandei besi dan juga kuli. Selain itu, beberapa ahli
sejarah seperti Lombard (1996) dan Reid (1999) menyebutkan bahwa sekitar tahun 1416 sudah
terjalin hubungan dagang dan kemaritiman yang cukup aktif antara Cina dan Jawa, yang dalam hal
ini adalah kerajaan Majapahit.

Masyarakat Cina dalam kehidupannya selalu memperhatian keharmonisan dan


keselarasan, terutama di lingkungan hidupnya termasuk tempat tinggal, tempat mencari rejeki,
tempat ibadah, jalan, pasar dan lain sebagainya. Untuk menciptakan keselarasan dan keseimbangan
di lingkungan sekitarnya penerapan konsep feng shui yang berasal dari negeri leluhurnya masih
digunakan. Konsep feng shui ini erat kaitannya dengan dasar pemikiran orang Cina yaitu bahwa
manusia harus dapat menjaga harmoni atau keseimbangan dengan ritme alam semesta ,melalui
hubungan dengan langit, bumi, angin dan air (Hidayat, 1993: 15).

Sebagai pemukiman dan tempat beraktivitas masyarakat Cina, Pecinan mempunyai ciri-
ciri atau karakter khusus yang berkaitan dengan bangunan rumah tinggal, tempat ibadah, dan jalan
dan publik space (ruang publik). Secara umum rumah tradisional atau tempat tinggal orang Cina di
Pecinan berbentuk rumah-rumah petak dalam satu atap yang berderet di sepanjang jalan yang ada
di sana. Rumah-rumah ini tidak mempunyai halaman di bagian depan, tetapi masing-masing rumah
mempunyai halaman di bagian tengah rumah yang fungsinya sebagai ruang keluarga, tempat
bersantai, tempat melakukan aktivitas rumah tangga seperti memcuci dan menjemur pakaian,

8
taman kecil dan lain sebagainya. Fungsi ruang depan adalah sebagai ruang tamu dan
menempatkan altar pemujaan untuk leluhur atau meja abu. Pada perkembangannya kemudian
rumah tinggal sering juga difungsikan sebagai toko, sehingga dikenal istilah rumah toko (ruko).
Toko biasanya terletak di ruang depan dari rumah tinggal, sehingga penempatan altar pemujaan
leluhur diletakkan pada ruang di belakangnya. Ruang tidur terletak pada sisi kiri dan kanan
bangunan yang dipisahkan oleh gang/lorong sempit yang menghubungkan antara ruang depan dan
ruang belakang. Dapur dan kamar mandi biasanya terletak di ruang belakang. Bentuk atap dari
bangunan rumah tradisional di Pecinan mempunyai bentuk yang khas yaitu pada bagian ujung atap
meruncing dan kadang-kadang dihias dengan ukiran naga. Bentuk bangunan rumah toko yang ada
di Pecinan dipengaruhi oleh bentuk bangunan yang ada di provinsi Guangdong ( dulu dikenal
dengan Kwangtung, terletak di Cina Selatan) yang diterapkan oleh para imigran Cina yang datang
ke Indonesia pada sekitar abad ke-13. Bentuk rumah dari provinsi Guangdong ini cocok diterapkan
dalam pembangunan rumah komunitas Cina di Indonesia karena iklim di Guangdong mirip atau
bahkan sama dengan iklim di Indonesia. Bentuk rumah toko di Pecinan dengan langit-langit yang
tinggi , lubang angin/ udara pada dinding atas dimaksudkan untuk mengurangi panas dan lembab,
serta untuk menahan angin yang terlalu kencang. Atap yang dibentuk memanjang dimaksudkan
untuk mengurangi pancaran silau dan radiasi matahari (Tjahjono, 2002: 114). Bentuk bangunan
rumah yang ada sekarang ini sudah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan
dinamika masyarakatnya.

Orang-orang Cina yang datang ke Indonesia pada umumnya sebagian besar berasal dari
propinsi Fukien dan Kwang Tung. Mereka ini terdiri dari berbagai suku bangsa yaitu Hokkian,
Hakka, Teociu dan Kanton. Mereka mempunyai bidang keahlian yang berbeda-beda yang
nantinya dikembangkan di tempat baru (Indonesia). Orang Hokkian merupakan orang Cina yang
paling awal dan paling besar jumlahnya sebagai imigran. Mereka mempunyai budaya dan tradisi
dagang yang kuat sejak dari daerah asalnya. Orang Teociu yang berasal dari daerah pedalaman
Swatow di bagian timur propinsi Kwantung mempunyai keahlian di bidang pertanian, sehingga
mereka banyak tersebar di luar Jawa. Orang Hakka/Khek berasal dari daerah yang tidak subur di
propinsi Kwang Tung, sehingga mereka berimigrasi karena kesulitan hidup dan di antara orang-
orang Cina yang datang ke Indonesia mereka merupakan golongan yang paling miskin. Orang-
orang Hakka dan orang-orang Teociu sebagian besar bekerja di daerah-daerah pertambangan di
Indonesia seperti Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Sumatra.

Kerja keras bagi masyarakat Cina identik dengan upaya untuk membahagiakan orang tua
dan leluhur, yang balasannya adalah pahala dan kesejahteran abadi di akherat kelak. Selain itu
ajaran Confucius juga mengajarkan kesederhanaan, sikap hemat, disiplin, tekun dan teliti, yang
kesemuanya sangat menunjang keberhasilan usaha perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang
Cina di Indonesia.

Kemajuan dan keberhasilan usaha perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Cina
ditunjang oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang memberi mereka peran sebagai
pedagang perantara dan status sebagai warga Timur Asing yang kedudukannya lebih tinggi dari
status pribumi. Pada perkembangan selanjutnya orang-orang Cina diberi peran yang cukup besar
dalam kegiatan eksport dan perdagangan dalam negeri (Burger, 1970: 61). Kebijakan dari
pemerintah Hindia Belanda ini mengakibatkan orang-orang Cina lebih siap dalam persaingan
perdagangan ketika pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia. Pemberian status sebagai
warga Timur Asing berdampak pada sikap superior dan ekslusif orang-orang Cina, sehingga dalam
aktivitas ekonomipun mereka membentuk jaringan antar sesama warga Cina. Selain itu bisnis yang
dilakukan oleh orang-orang Cina mempunyai ciri khas, yaitu sebagian besar bisnis mereka adalah

9
bisnis keluarga, yang modalnya hanya berputar di antara keluarga dan keteurunan-keturunannya.
Pihak-pihak di luar keluarga dan di luar kelompok masyarakat Cina sangat sulit masuk dalam
bisnis yang dikelola oleh orang-orang Cina ini. Bisnis yang demikian ini merupakan benteng
keluarga dalam upaya melindungi diri dari serangan atau intervensi pihak-pihak luar (Zein, 2000:
128).

2.2 Kelenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri


Sebagai kota tua, Kediri menyimpan memori sejarah yang cukup banyak. Salah satunya
adalah kawasan pecinan (China Town) yang banyak dihuni oleh orang Tionghoa. Dalam literatur
sejarah, orang Tionghoa terkenal sebagai orang yang ulet dalam berdagang sehingga setiap daerah
yang ada permukiman Tionghoa pada umumnya memiliki basis ekonomi yang kuat dan sekaligus
terhubung dengan dunia luar. Hal ini karena terkait dengan supply chain komoditas yang
diperjualbelikan yang menjadi andalan orang Tionghoa.
Selain itu, di daerah ini juga berdiri sebuah tempat ibadah bagi pemeluk Tri Dharma yang
masih cukup megah yang bernama Klenteng Tjoe Hwie Kiong. Klenteng ini terletak di Jalan Yos
Sudarso No. 148 RT.15 RW.03 Kelurahan Pakelan, Kecamatan Kota, Kota Kediri, Provinsi Jawa
Timur. Lokasi klenteng ini berada di tepi Sungai Brantas.
Menurut informasi yang didapat, Klenteng Tjoe Hwie Kiong dibangun pada tahun 1895
oleh warga Tionghoa yang telah bermukim di Kediri. Mereka menggalang dana dengan
menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk mewujudkan tempat ibadah pada waktu itu. Pada
waktu itu, banyak orang Tionghoa yang berasal dari Fujian, Tiongkok yang meninggalkan
negerinya untuk mengadu nasib di tempat lain. Termasuk di antaranya ada yang menuju ke Kediri
melalui Sungai Brantas.
Dulu, Klenteng straat sudah menjadi kawasan yang ramai. Klenteng straat, yang sekarang berubah
menjadi Jalan Yos Sudarso merupakan bagian dari kota lama di wilayah Kota Kediri yang banyak
dihuni oleh orang-orang Tionghoa. Deretan rumah khas Tiongkok yang membentuk hunian
pemukiman, banyak menghiasi daerah ini. Mereka berjualan segala kebutuhan masyarakat, mulai
dari sembako, pakaian hingga perlengkapan lainnya di sepanjang hampir dua kilometer jalan
tersebut. Pemukimannya pun sudah cukup padat. Hal ini dikarenakan daerah ini dekat dengan
Sungai Brantas yang dulu merupakan jalur transportasi utama dari Kediri menuju Surabaya atau
sebaliknya.
Memasuki halaman klenteng yang begitu luas ini terlihat bangunan utama klenteng berikut
bangunan pendukung lainnya. Sebelum masuk bangunan utama, tepat di depan pintu terdapat hiolo
(tempat menancapkan hio) yang terbuat dari kuningan. Di sebelah kiri dan kanan pintu masuk ada
kan chuang (jendela rendah yang dapat memberikan pemandangan keliling dan berbentuk bulat. Di
atas wuwungan, terlihat huo zhu (mutiara api berbentuk bola) ditaruh di atas kepala orang dan
diapit oleh dua xing long (naga berjalan). Sedangkan, di kanan di depan bangunan utama terdapat
kim lo (tempat pembakaran kertas persembahyangan).

Di dalam kelenteng ada beberapa altar untuk memuja para dewa, di antaranya altar Tri
Nabi Agung. Altar sebelah kiri yang berlogo Yin-Yang berisi rupang Lao Tze yang digunakan
sebagai altar pemujaan penganut Tau. Di tengah ada altar berlogo Swastika berisi rupang Buddha
Sakyamuni yang diperuntukkan bagi penganut Budda, dan yang di sebelah kanan berupa altar
berlogo Genta adalah rupang Kong Hu Cu yang digunakan bagi penganut Kong Hu Cu.
Pada bangunan utama searah mata memandang ke barat, terdapat bangunan mirip rumah
panggung berukuran kecil bercat merah. Panggung ini digunakan untuk pertunjukkan wayang
potehi. Tepat di belakang panggung wayang Potehi, berdiri menjulang patung Makco Thian Siang
Sing Boo. Patung seberat 18, 7 ton dengan tinggi 5 meter ini sengaja didatangkan dari Desa

10
Buthien, Tiongkok, yang diyakini sebagai asal Makco pada 9 Oktober 2011. Makco, di kalangan
orang Tionghoa dikenal sebagai dewi penolong yang welas asih. Sehingga, harapan dipasangnya
patung Makco yang menghadap langsung ke Sungai Brantas ini adalah untuk menjaga keamanan,
ketertiban dan kedamaian masyarakat Kota Kediri.
Selain bangunan utama klenteng yang menghadap ke barat atau Sungai Brantas, di sebelah kanan
terdapat gedung Mitra Graha berlantai 2. Gedung ini digunakan untuk mendukung bagi bangunan
klenteng secara keseluruhan. Sedangkan, di sebelah kiri klenteng terdapat gedung Pasada Graha.
Gedung ini dibangun oleh PT. Gudang garam Tbk pada 24 Mei 2011. Selain untuk acara yang
berhubungan dengan agenda klenteng, gedung berlantai 3 ini juga bisa disewakan untuk umum.

11
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian tentang “Studi Aktivitas Sosial Budaya Masyarakat Kelenteng Tjoe
Hwie Kiong di Kota Kediri dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika” merupakan
penelitian sosial dengan jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/ melukiskan
keadaan subjek/objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada
saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Hadari
Namawi, 1998:63).
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan
pada jenis data yang ingin diperoleh yaitu mengenai kajian-kajian yang berkaitan
dengan aktivitas sosial budaya yang ada di Kelenteng Kota Kediri. Kemudian data
yang digunakan dalam penelitian ini berupa data deskriptif yaitu mengenai adat dan
interaksi sosial masyarakat dalam kehidupan di Kelenteng Tjoe Hwin Kiong, yang
dapat meningkatkan solidaritas sosial dan mengembangkan integrasi sosial.
Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik, dalam hal ini tidak
boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis tetapi
perlu juga memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

3.3. Lokasi Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini sedang dilaksanakan di SMAN 1 Kediri dan wilayah Kelenten
Tjoe Hwie Kiong di Kota Kediri. Adapun jadwal kegiatan dapat dilihat pada tabel
berikut.

12
N Jenis Waktu (Tahun 2017)
o Kegiatan April Mei
1
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
1
Menentukan
1 judul
penelitian
Menyusun
2 Rumusan
Masalah
Mencari Data
3
Pendukung
Menyusun
4 Metode
Penelitian
Penyusunan
5 Proposal
Penelitian
6 Evaluasi
Pencarian
8
Data
Pengolahan
9
data
Pengumpulan
data dan
15
pengolahan
data
Pengetikan
16
Karya Tulis
17 Evaluasi
Pengumpulan
18
Karya Tulis

3.4. Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah foto untuk dokumentasi, catatan harian dan sarana untuk
pengetikan. Dengan instrumen sederhana ini, diharapkan dapat mempertajam dan melengkapi data
yang diperoleh di lapangan.
3.5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian ini disesuaikan dengan metode penelitian yang digunakan,
yaitu penelitian kualitatif. penelitian ini meliputi: metode literatur, dan dokumentasi. Validitas data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan data. Triangulasi yang dipakai dalah triangulasi sumber yang membandingkan dan

13
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam metode kualitatif (Patton dalam Moleong, 2002:178).

14
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Sosial Budaya


Perkembangan Tradisi Masyarakat Tionghoa di Kota Kediri berawal dari
datanngnya pedagang dari Cina di Kota Kediri yang kemudian berbaur dengan
masyarakat pribumi Kediri yang memiliki cirikhas yang unik, hal ini disebabkan
oleh tradisi masyarakat Tionghoa dengan tradisi dan budaya Kediri. Hal ini bisa dilihat
dengan adanya pernikahan antar penduduk asli Tionghoa dan pendduk asli pribumi
yang menghasilkan keturunan yang dapat mengkombinasikan antara tradisi masyarakat
Tionghoa dan tradisi budaya Kediri.

Pada umumnya penduduk penganut agama Budha di Kota Kediri merupakan


masyarakat Tionghoa yang sudah menetap di Kota Kediri. Salah satu faktor masyarakat
Tionghoa menetap tinggal di Kota Kediri adalah untuk berdagang.
Perdagangan merupakan salah satu factor utama dalam peningkatan ekonomi
masyarakat Tionghoa di Kota Kediri. Hal ini terbukti dengan adanya bangunan-
bangunan toko besar maupun kecil yang di rintis oleh masyarakat Tionghoa di Kota
Kediri.
Soal pemukiman. yang sekaligus merupakan pusat perdagangan misalnya, pada
awalnya pada awalnya merupakan kumpulan bangunan-bangunan tempat usaha (toko)
sekaligus sebagai rumah tinggal. Dewasa ini fungsi sebagai rumah tinggal itu semakin
berkurang dan banyak warga Tionghoa memilih untuk menetap di pemukiman-
pemukiman warga setempat.

Hasil amatan menunjukkan bahwa warga komunitas etnis Kediri lebih banyak
beraktivitas di wilayah ini dibandingkan dengan warga Tionghoa. Warga etnis Kediri
umumnya berjualan di emperan atau juga di bagian pintu toko-toko warga Tionghoa,
ada yang merupakan bagian dari toko-toko yang ada, namun lebih banyak menjalankan
usaha sendiri seperti halnya para pembeli emas, reparasi jam tangan dan sebagainya.
Keadaan seperti ini membuahkan interaksi aktif antara mereka, mulai dari soal ijin
berjualan di depan pintu toko, dan sebagainya
4.2 Tradisi Kelenteng Tjoe Hwie Kiong

Salah satu kelenteng tua yang ternama dan bersejarah di kawasan Pecinan Kediri adalah
Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Disini banyak melakukantradisi seperti tradisi Hari Raya Tri Suci
Waisak adalah salah satu dari empat hari raya Agama Budha. Hari raya ini disebut Tri Suci

15
Waisak karena pada hari waisak terjadi tiga peristiwa penting, yakni kelahiran pangeran
Sidharta Gautama, tercapainya penerangan sempurna oleh Pertpa Gautama, dan
mangkatnya sang Budha Gautama. Tiga kejadian tersebut (kelahiran, Penerangan,
Kematian) terjadi pada hari yang sama ketika bulan purnama di bulan Waisak. Masyarakat
Tionghoa di Kota Kediri merayakan Hari Tri Suci Waisak dengan mengikuti Puja Bhakti
di Vihara dan bermeditasi pada saat detik-detik Waisak.
Selanjutnya tradisi Sembhayang para arwah bagi masyarakat Tionghoa di Kota
Kediri lebih menekankan pada etika kehidupan yang bersifat duniawi. Hal ini dapat kita
simak pada ucapan Confucius yaitu bahwa bagaimana manusia dapat mengetahui hal-hal
yang berhubungan dengan kematian, jika hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan
belum mereka ketahui (Koentjaraningrat, 2002: 367).
Pengaruh budaya dan tradisi yang hidup dalam masyarakat Tionghoa juga
mempengaruhi peran gender mereka. Kepercayaan dan ajaran moral Taoisme dan
Confucianisme telah mengajarkan keharmonisan hubungan-hubungan antara anggota-
anggota keluarga dan hubungan-hubungan dalam masyarakat. Taisme mengajar hubungan-
hubungan yang harminis antara orangtrua dan anak, suami dan istri, Raja dan rakyat,
saudara yang lebih tua dan saudara yang lebih muda. Confucianisme juga mengatur
hubungan-hubungan sosial secara harminis, antara pemerintah dengan para menteri dan
rakyat, ayah dengan anak laki-laki, saudara laki-laki tertua dengan yang lebih muda, suami
dengan istri dan teman dengan istri.
Hari Ceng Beng telah menjadi hari penting peringatan nenek moyang bagi
masyarakat Tionghoa Indonesia. Tidak peduli seberapa jauh, tidak peduli seberapa sibuk
bekerja, masyarakat Tionghoa Indonesia semuanya akan membawa seluruh anggota
keluarga pergi berziarah. Masyarakat berharap dapat mengikuti adat kebiasaan orang tua
dengan penuh rasa hormat, mengenali dan melaksanakan adat nenek moyang, mengingat
asal usul, melanjutkan tradisi baik leluhur dan mengajarkan budaya tradisional kepada
generasi berikutnya.

Menurut penanggalan masehi, hari Ceng Beng diperingati setiap tahun antara
tanggal 4 sampai 6 pada bulan April, atau bertepatan dengan waktu munculnya dedaunan
berwarna hijau zamrud sebagai penanda dimulainya musim semi yang cerah, juga
bertepatan dengan waktu yang baik untuk mulai bertamasya, maka zaman dahulu ada
kegiatan tamasya Ceng Beng, serta serangkaian kegiatan olah raga mulai dilaksanakan.
Ketika berziarah, kita harus membawa makanan, minuman, buah-buahan, kertas uang,
dupa, lilin dan barang-barang lain ke pemakaman.

Kini kelenteng ini merupakan kelenteng umum, artinya tidak secara khusus
diperuntukkan sebagai tempat pemujaan bagi salah satu agama/aliran saja, tetapi boleh

16
BAB V
PENUTUP

Perkembangan Tradisi Masyarakat Tionghoa di Kota Kediri berawal dari


datanngnya pedagang dari Cina di Kota Kediri yang kemudian berbaur dengan
masyarakat pribumi Kediri yang memiliki ciri khas yang unik, hal ini disebabkan oleh
tradisi masyarakat Tionghoa dengan tradisi dan budaya Kediri. Hal ini bisa dilihat dengan
adanya pernikahan antar penduduk asli Tionghoa dan penduduk asli pribumi yang
menghasilkan keturunan yang dapat mengkombinasikan antara tradisi masyarakat
Tionghoa dan tradisi budaya Kediri.

Tradisi masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Kediri diataranya adalah, CapG
Gome, Peringatan Hari besar Waisak, Ziarah Kubur, sembayang Arwah dan tradisi
pernikahan serta tradisi makanan sebagai cara ritual.

17
DAFTAR PUSTAKA

Listiyani, Titin. Partisipasi Masyarakat Sekitar dalam Ritual di Kelenteng Ban Eng
Bio Adiwerna. Jurnal Komunitas 3 (2) (2011) : 124-130. Universitas Negeri
Semarang.

Warda, Natia. Identitas Tionghoa pada Masyarakat Bandung Kontemporer. Jurnal


Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa. Insitut Teknologi Bandung.

Setono, Benny G. 2008. Buku Tionghoa dalam Pusaran Politik. diterbitkan oleh
TransMedia Pustaka.

Mayendra, Derry. Kebudayaan Tionghoa dan Budaya. Tersedia di


http://derrymayendra.blogspot.co.id/2011/11/kebudayaan-tionghoa-dan-budaya.html
diakses pada tanggal 27 April 2017.

Makalah kehidupan politik sosial budaya. Tersedia di


http://puksipuksi.blogspot.co.id/2011/04/makalah-kehidupan-politik-sosial-
budaya.html dikses pada tanggal 27 April 2017.

Hasan, Ibrahim. Perkembangan Tradisi Etnik Masyarakat Tionghoa di Kota Kediri.


Jurnal Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Kediri.

Revida, Erika. Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina dengan Pribumi di Kota
Sumatera Utara. Dosen Dapertemen Administrasi Negara FISIP USU.

Anda mungkin juga menyukai