Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HUBUNGAN ZAT GIZI MIKRO (MINERAL)


DENGAN SISTEM IMUN
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Imunologi Lanjut yang diampu oleh
Meirina Dwi Larasati, SST, M.Gizi

Disusun oleh:

1. Adelia Anggit Utami (P1337431216045)


2. Nahdiyan Utami (P1337431216046)
3. Devi Fitri Anggraini (P1337431216049)
4. Rahma Fitria W. (P1337431216047)
5. Anita Argawati (P1337431216057)
6. Endah Mardyanti (P1337431216058)
7. Elma Nurmalisa Dina (P1337431216070)
8. Malina Huda Laely (P1337431216072)

KELAS REGULER B SEMESTER IV


PROGRAM STUDI DIV GIZI
JURUSAN GIZI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan kuasa yang
dilimpahkan-Nya sehingga makalah yang berjudul “Hubungan Zat Gizi Mikro (Mineral)
dengan Sistem Imun” dapat terselesaikan dengan baik.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis sampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Ibu Wiwik Wijaningsih, STP, M.Si selaku ketua Jurusan Gizi Politeknik
Kesehatan Kemenkes Semarang.
2. Ibu Susi Tursilowati, SKM, M.Sc selaku ketua Program Studi DIV Gizi
Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang.
3. Ibu Meirina Dwi Larasati, SST, M.Gizi selaku dosen mata kuliah Imunologi
Lanjut
4. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan makalah ini.
Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca
dengan senang hati. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Semarang, 27 Maret 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 2
1.4. Manfaat Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Hubungan Tembaga dengan Sistem Imun .................................................. 3


2.2. Hubungan Flour dengan Sistem Imun ......................................................... 4
2.3. Hubungan Iodium dengan Sistem Imun ...................................................... 6
2.4. Hubungan Magnesium dengan Sistem Imun .............................................. 7
2.5. Hubungan Mangan dengan Sistem Imun .................................................... 9
2.6. Hubungan Zat Besi dengan Sistem Imun .................................................... 10
2.7. Hubungan Zink dengan Sistem Imun .......................................................... 11
2.8. Hubungan Selenium dengan Sistem Imun .................................................. 12

BAB III PENUTUP

3.1. Simpulan ..................................................................................................... 14


3.2. Saran ............................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LatarBelakang
Sistem pertahanan tubuh merupakan gabungan sel, molekul, dan jaringan
yang berperan dalam resistensi terhadap bahan atau zat yang masuk kedalam
tubuh. Jika bakteri patogen berhasil menembus garis pertahanan pertama, tubuh
melawan dengan reaksi radang (inflamasi) atau reaksi imun yang spesifik.
Reaksi yang dikoordinasikan sel-sel dan molekul terhadap banda asing yang
masuk kedalam tubuh disebut respon imun. Untuk melawan benda asing, tubuh
memiliki sistem pertahanan yang kuat dengan menjaga keoptimalan kerjanya
melalui asupan gizi yang seimbang.
Salah satu zat gizi yang berperan dalam sistem imun adalah mineral.
Mineral adalah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia untuk mendukung
proses tumbuh dan berkembang dalam jumlah yang sedikit. Mineral dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu makro mineral dan mikro mineral. Dalam sistem
imunitas, kelompok mikro mineral yang paling mempunyai efek terhadap sistem
imun.
Dengan demikian, penulisan makalah ini untuk menguraikan hubungan
mineral dengan sistem imun. Tidak semua mineral berhubungan dengan
imunitas tubuh.Penulis membuat makalah dengan judul “Hubungan Zat Gizi
Mikro (Mineral) dengan Sistem Imun”. Penulis berharap pembaca dapat
mengambil manfaat dari makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimanahubungan Cu (tembaga) dengan sistem imunitas?
1.2.2. Bagaimanahubungan fluordengan sistem imunitas?
1.2.3. Bagaimanahubungan iodiumdengan sistem imunitas?
1.2.4. Bagaimanahubungan magnesiumdengan sistem imunitas?
1.2.5. Bagaimanahubungan mangandengan sistem imunitas?
1.2.6. Bagaimanahubungan zatbesidengan sistem imunitas?
1.2.7. Bagaimanahubungan zinkdengan sistem imunitas?

1
2

1.2.8. Bagaimanahubungan seleniumdengan sistem imunitas?

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1. Mengetahuihubungan Cu (tembaga) dengan sistem imunitas
1.3.2. Mengetahuihubungan fluordengan sistem imunitas
1.3.3. Mengetahuihubungan iodiumdengan sistem imunitas
1.3.4. Mengetahuihubungan magnesiumdengan sistem imunitas
1.3.5. Mengetahuihubungan mangandengan sistem imunitas
1.3.6. Mengetahuihubungan zatbesi dengan sistem imunitas
1.3.7. Mengetahuihubungan zinkdengan sistem imunitas
1.3.8. Mengetahuihubungan seleniumdengan sistem imunitas

1.4. Manfaat Penulisan


Manfaat penyusunan makalah ini adalah agar penulis pribadi lebih
memahami materi-materi mata kuliah Imunologi Lanjut, terutama materi
hubungan mineral dengan system imunitas. Penyusunan makalah ini juga
bermanfaat membantu pembaca untuk mendapatkan informasi lebih luas.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hubungan Tembaga dengan Sistem Imun


Tembaga (Cu) berperan pada sintesis hemoglobin yang normal, dan
merupakan komponen ceruloplasmin, dismutase superoksida (SOD), oksidase
lysil dan oksidase sitokrom. Ceruloplasmin berperan dalam penyerapan dan
transpor Fe yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin dan dapat berfungsi
sebagai antioksidan dan agen pertahanan. Cu telah terbukti dapat menekan
pematangan dan fungsi sel T helper limfa dan aktivitas bakterisida sel
promonocytic dan makrofag.
Pada bayi, neutropenia merupakan tanda klinis defisiensi Cu yg
merespon treatmen Cu. Pada manusia dewasa, defisiensi Cu eksperimental
disebabkan oleh diet rendah CU (0,38 mg per hari) menghasilkan penurunan
kemampuan darah perifer. Sel mononuklear akan dapat berkembang bila
dirangsang dengan mitogens. Persentase sel B yang beredar (CD 19+) juga
meningkat, sedangkan populasi sel kekebalan tubuh lainnya (misalnya leukosit,
limfosit, monosit, neutrofil, dan sebagainya) tidak terpengaruh. Bila diberikan
diet yang cukup dalam Cu, maka indeks status Cu dapat dinormalisasi.
Defisiensi Cu berat dapat menyebabkan anemia, hipoplasia timus, dan
splenomegali. Indeks stimulasi limfosit yang lebih rendah untuk
Phytohemagglutinin dan Concanavalin A, serta konsentrasi Ig M juga lebih
rendah. Kecukupan Cu telah terbukti menekan pematangan dan fungsi sel T-
helper limpa serta aktivitas bakterisida sel promonocytic dan makrofag. Ketika
asupan makan rendah Cu, neutropenia dapat terjadi dan kemampuan neutrofil
serta makrofag dalam menghasilkan anion superoksida berkurang, sehingga
menyebabkan aktivitas bakterisida menurun.
Penurunan proliferasi dan diferensiasi sel T dapat dikaitkan dengan
defisiensi Cu yang mengakibatkan penurunan IL-2 (sitokin yang berperan
penting dalam metabolisme sel-T yang normal). Kekurangan Cu menyebabkan
penurunan IL-2 mRNA karena penghambatan transkripsi gen IL-2. Defisiensi
Cu juga dapat menurunkan produksi antibodi, mengurangi produksi interferon

3
4

dan faktor necrosis tumor oleh sel mononuklear. Fungsi sistem imun yang
terganggu dapat menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi mikroba
dan endotoksin. Kelainan genetik dalam metabolisme Cu dapat memicu
defisiensi Cu. Dalam model murine untuk sindrom Menkes, gangguan genetik
manusia menunjukkan atrofi jaringan limfoid kecuali jika diobati dengan Cu.
Meskipun defisiensi Cu yang parah jarang terjadi, namun defisiensi Cu
marginal mungkin lazim pada manusia. Lingkungan atau fisiologis kondisi yang
mengganggu metabolisme tembaga dapat memicu defisiensi Cu subklinis.
Misalnya olahraga, infeksi, peradangan, diabetes, hipertensi, konsumsi
suplemen zinc dan diet tinggi fruktosa dapat mengubah metabolisme Cu.
Tingkat asupan zinc yang tinggi (100–300 mg/hari) dapat menginduksi
defisiensi Cu yang mengakibatkan neutropenia, anemia, dan gangguan fungsi
kekebalan tubuh.
Pemenuhan Cu dengan cepat mengembalikan imunokompetensi dan
merangsang pertumbuhan thymus yang menunjukkan peran imunomodulator
daru Cu. Peningkatan serum tembaga dan ceruloplasmin juga dapat menurunkan
respon in vitro limfosit terhadap mitogen, menunjukkan bahwa Cu mungkin
imunosupresif dalam jumlah tinggi.

Indikator Status Cu
Indikator status Cu termasuk serum, plasma, dan konsentrasi Cu di urin,
aktivitas ceruloplasmin plasma, tembaga eritrosit, aktivitas Seng Superoxide
Dismutase (CuZnSOD), dan aktivitas sitokrom coxidase leukosit atau platele.
Stresor fisiologis seperti peradangan, infeksi, dan penyakit dapat menghasilkan
respons fase akut dengan produksi seruloplasmin berikutnya. Jadi,
ceruloplasmin dan kadar Cu plasma mungkin tidak akurat mencerminkan status
Cu dan disarankan untuk menggunaan lebih dari satu indikator status tembaga.

2.2. Hubungan Fluordengan Sistem Imun


Fluor atau yang biasa diseut dengan nama fluorine, merupakan elemen
kimia dengan sifat elektronegatif yang sangat tinggi. oleh karena itu fluor tidak
dapat ditemukan dalam bentuk elemen bebas, namun pada umumnya dapat
ditemukan bersama elemen lain membentuk garam-garam fluoride, sebagai
contoh adalah calcium fluoride.
5

Fluor adalah salah satu zat gizi mikro yang dibutuhkan oleh tubuh
terutama pada tulang dan gigi. karena merupakan zat gizi mikro maka kebutuhan
akan zat ini juga hanyalah sedikit, adapun peningkatan dan penurunan
kebutuhan dapat dipengaruhi oleh kondisi tertentu, seperti pada saat hamil, bayi
dan menyusui kebutuhan tubuh akan fluor akan meningkat dibandingkan pada
orang dewasa normal.

Manfaat Fluor
Fluor merupakan mikromineral atau elemen sisa yang dibutuhkan tubuh
manusia. terutama terdapat dan dibutuhkan oleh tulang dan gigi. Fluor
diperlukan gigi unluk melindungi email dan dentin terhadap serangan karies,
kemampuan gigi mencegah karies terutama berhubungan dengan banyaknya
kadar fluor terkandung dalam suatu gigi. penggunaan fluor dalam rangka
pencegahan karies sebaiknya perlu mempertimbangkan adanya fluor dialam
bebas, metabolisme, dan dosis optimal yang dianjurkan.

Mekanisme Fluor dan Imun


Ion fluor dalam rongga mulut berikatan dengan magnesium membentuk
magnesium fluoride². Magnesium adalah ion yang dibutuhkan bersama enolase
untuk mengubah 2P-gliserat menjadi fosfoenolpiruvat (PEP). Akibatnya bakteri
penyebab karies tidak menghasilkan energi yang cukup dan perkembangannya
terhambat.
Pada tahap awal pelekatan bakteri yang membentuk acquired pellicle,
bakteri akan diikat oleh reseptor protein, namun pada kondisi bakteri yang
bertambah banyak maka akan diaktifkan protein air liur dan juga sistem
peroksidase sehingga bakteri hancur. Namun apabila pemberian fluor berlebih
akan menghambat kerja peroksidase, hal ini dikarenakan fluor memiliki muatan
negative sehingga dapat mempengaruhi pH lingkungan rongga mulut menjadi
asam. sedangkan enzim tidak dapat bekerja maksimal dalam suasana asam,
sehingga enzim atau perokside tidak mampu mencegah agregasi bakteri pada
permukaan gigi.
6

2.3. Hubungan Iodiumdengan Sistem Imun


Iodium merupakan komponen dari hormone tiroid yaitu tiroksin dan
triiodotironin, yang membantu mengatur aktivitas sel dan metabolisme. Hormon
ini juga penting untuk sintesis protein, pertumbuhan jaringan (termasuk
pembentukan system saraf yang sehat), mencegah penyakit gondok dan
meningkatkan kesehatan tulang.
Iodium adalah zat gizi mikro yang esensial. Sebagai unsur halogen,
iodium tidak ditemukan di alam dalam keadaan bebas, karena sangat reaktif.
Unsur-unsur ini terdapat di alam sebagai senyawa garam. Iodium terdapat di
alam dalam bentuk senyawa iodat dan iodide dalam lumut-lumut laut. Terdapat
juga dalam bentuk iodide dari air laut yang terasimilasi dengan rumput laut,
sendawa Chili, tanah kaya nitrat, air garamdari air laut yang disimpan, dan di
dalam air payau dari sumur minyak dan garam (Sandjaja, 2009).

Fungsi Iodium terhadap Imun


Kelainan defisiensi iodium (gondok, keterbelakangan mental,
hipotiroidisme, kretinisme, dan berbagai kelainan pertumbuhan dan
perkembangan lainnya) adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat utama
di dunia, dengan lebih dari satu miliar individu tinggal di daerah di mana tanah
dan makanan kurang menghasilkan iodium. Iodium adalah komponen penting
dari dua hormon tiroid, tiroksin (T4) dan triiodothyronine (T3), dan aktivitas
hormonal ini adalah satu-satunya fungsi fisiologis yang dikonfirmasi. Namun,
secara in vitro, iodium telah diteliti berhasil bekerja dengan myeloperoxidase
dari sel darah putih untuk membunuh bakteri.Iodium dapat merangsang sintesis
IgG pada limfosit manusia secara in vitro.
Iodium diperkirakan dapat melindungi perut dari risiko terkena kanker
lambung melalui mekanisme antioksidan. Defisiensi Iodium telah dilaporkan
menjadi faktor risiko pengembangan defisiensi imun, mekanisme yang
mendasari kekurangan putatif ini belum teridentifikasi. Suplementasi iodium di
daerah yang ditandai dengan tingginya defisiensi iodium berat dikaitkan dengan
penurunan angka kematian bayi, walaupun diperkirakan bahwa ini terutama
sebagai hasil pencegahan hipotiroidisme daripada akibat perbaikan pada
pertahanan kekebalan tubuh. Di Cina, populasi yang ditandai dengan asupan
iodium rendah sering juga ditandai dengan asupan selenium dan tembaga
7

rendah. Dengan demikian, kelainan imun yang diamati pada populasi ini dapat
memiliki banyak asal-usul. Asupan iodium yang berlebihan dapat menyebabkan
hipotiroidisme, serta hipertiroidisme akut, yang dapat ditandai dengan gangguan
aktivitas sel pembunuh alami. Intake iodium berlebih dikaitkan dengan
peningkatan risiko tiroiditis autoimun. Iodium dapat menyebabkan perubahan
stereokimia dalam konformasi tiroglobulin yang meningkatkan antigenisitasnya.
Meskipun konsentrasi serum antibodi tiroid telah dilaporkan dalam beberapa
penelitian lebih rendah pada individu dengan defisiensi iodium ringan
dibandingkan pada individu dengan defisiensi sedang, tetapi ini bukan temuan
yang konsisten. Indikator status iodin iodium urin adalah metode standar untuk
menilai status iodium dan kecukupan asupan. Tingkat di bawah 20 μg / L
menunjukkan defisiensi berat, defisiensi 20-49 μg / L sedang, dan defisiensi
ringan 50-99 μg / L. Nilai antara 100 dan 200 μg / L dianggap memuaskan. Tes
fungsi tiroid harus dilakukan saat konsentrasi iodium urin rendah.

2.4. Hubungan Magnesium denganSistemImun


Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting
dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan
memberantas benda asing tersebut agar bisa dikeluarkan dari tubuh. Dalam
melangsungkan fungsi tersebut, tubuh melibatkan berbagai jenis sel, yang satu
sama lain berinteraksi dalam upaya untuk melenyapkan benda asing tersebut
(Subowo, 2010).
Salah satu mineral yang sangat berlimpah dalam tubuh adalah
magnesium. Magnesium diketahui dapat mendukung sistem kekebalan tubuh
yang sehat. Selain itu, magnesium juga dapat membantu menjaga otot normal
dan fungsi saraf, menjaga irama jantung agar tetap stabil, menjaga tulang yang
kuat, mengatur tingkat gula darah, mengatur tekanan darah, serta terlibat dalam
metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000).
Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa asupan
magnesium yang sehat dapat menunjang fungsi insulin yang efisien, sedangkan
diet rendah magnesium dapat memicu resistensi insulin (Rayssiguieret al.,
2006). Perubahan aktivasi inflamasi ini dapat menghambat sinyal insulin dan
menyebabkan resistensi insulin. Kondisi inflamasi menginduksi sel sehingga
mengalami disfungsi sel beta yang dalam kombinasi dengan resistensi insulin
8

menyebabkan diabetes tipe 2 (Sjoholm and Nystrom, 2005; Sjoholm and


Nystrom, 2006). Kekurangan magnesium jika terjadi pada tikus dapat
menyebabkan krisis alergi secara spontan (Rayssiguier and Mazur, 2005; Mazur
et al., 2006; Malpuech-Brugere et al., 2000). Respons inflamasi yang diamati
pada tikus yang kekurangan magnesium menunjukkan bahwa respons
tergantung pada kondisi eksperimental tikus (Nasulewicz et al., 2004; Sabbagh
et al., 2005). Respons inflamasi dan konsekuensi hanya diamati pada tikus
jantan. Hewan betina dilindungi karena estrogen mungkin akan protektif dan
berpengaruh terhadap efek proinflamasi saat kekurangan magnesium (Bussiere
et al., 2001).
Peradangan subklinis kronik merupakan faktor patogenik dalam
pengembangan resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular. Respons dari
peradangan tersebut adalah fase akut protein, sitokin dan mediator yang terkait
dengan aktivasi endotel (Dandona et al., 2004; Fantuzzi, 2005). Peradangan
merupakan reaksi pertahanan tubuh yang diawali oleh infeksi atau kerusakan
jaringan karena trauma fisik atau kimia. Dalam daerah yang mengalami
peradangan akan ditemui kumpulan lekosit yang mencakup granulosit, limfosit,
dan monosit (Subowo, 2010). Granulosit mencakup polymorphonuclear yaitu
netrofil. Netrofil merupakan lekosit yang paling melimpah di dalam darah
dengan jumlah 4.000-10.000 µL. Sebagai respons terhadap infeksi, produksi
netrofil dari sumsum tulang mengalami kenaikan dengan cepat dan naik menjadi
20.000 µL dalam darah (Abbas and Lichtman, 2011).
Penanda lain saat terjadi infeksi atau peradangan adalah sitokin. Sitokin
merupakan peptida pengatur (regulator) yang dapat diproduksi oleh hampir
semua jenis sel yang berinti di dalam tubuh. Interleukin-1 (IL-1),
TumorNecrosis Factor-alpha (TNF-α), Interferon-a(IFN-α), dan Interleukin-
6(IL-6) merupakan sitokin yang berperan dalam peradangan. Hampir semua
proses peradangan mengakibatkan aktivasi jaringan makrofag dan infiltrasi
monosit darah. Aktivasi ini menyebabkan banyak perubahan termasuk produksi
dari TNF-a, IL-1, dan IL-6 (Subowo, 2009; Subowo, 2010).
Peningkatan kadar sitokin proinflamasi (IL-6 dan TNF-α) telah
dilaporkan pada hewan yang kekurangan magnesium selama 3 minggu yang
dikemukakan oleh Weglicki et al. (1992). Sekresi sitokin ini bisa maksimal di
hari ke-5 (IL-4 dan IL-5) atau hari ke-7 (IL-2, IL-10 dan INF-ɣ) setelah
9

mengalami kekurangan magnesium. Malpuech-Brugere et al. (2000) juga


melaporkan peningkatan kadar IL-6 hanya dalam 4 hari setelah kekurangan
magnesium. Jumlah dan fungsi polymorphonuclear (PMN) juga telah terbukti
diubah pada tikus yang kekurangan magnesium selama 8 hari. Jumlah PMN
(netrofil) mengalami peningkatan terkait dengan peningkatan aktivitas
fagositosis (Tam et al., 2003).

2.5. HubunganMangandenganSistemImun
Mangan (Mn) adalah mineral yang ditemukan dalam tubuh, meskipun
jumlahnya memang sangat sedikit semua orang memiliki kandungan mangan
setidaknya 20 mg dalam beberapa bagian tubuh termasuk prankeas, tulang, hati
dan ginjal. Mangan bisa mengendalikan fungsi system saraf dan berpusat pada
otak dan membantu semua bagian tubuh melakukan fungsi dengan tepat.
Laki-laki dewasa sehat yang diberi diet rendah mangan untuk 39 d yang
ditandai dengan kadar mangan darah rendah dan tingginya insiden dermatitis
sekilas. Meskipun frekuensi kekurangan mangan parah pada manusia mungkin
langka, kondisi kekurangan marjinal mangan mungkin umum karena
penggunaan suplemen zat besi yang dapat mengganggu penyerapan mangan.
Limfosit MnSOD aktivitas dilaporkan rendah pada wanita dewasa yang
menerima suplemen gabungan ironmanganese 124 d, dibandingkan dengan
wanita yang menerima suplemen mangan sendirian. Demikian pula, diet tinggi
asupan besi telah dikaitkan dengan kadar mangan darah rendah dan limfosit
rendah MnSOD kegiatan di wanita sehat.
Mangan juga memainkan peran dalam proses kekebalan tubuh melalui
aktivitas antioksidan dalam MnSOD. MnSOD diberikan sebagai terapi gen di
plasmid atau vektor adenoviral atau administrasi berat molekul rendah MnSOD
mimetis (suatu senyawa logam redoks-aktif pusat superoksida dismutases itu
dan dapat dengan mudah melewati membran sel dan nonimmunogenic), telah
ditunjukkan untuk mempengaruhi proses kekebalan dan autoimun dalam
berbagai studi, termasuk mengurangi peradangan jaringan karena iradiasi,
memperpanjang waktu untuk penolakan dalam pankreas islet sel allografts dan
menghambat peradangan paru-paru akibat tembakau asap.
Kebutuhan mangan terutama dibutuhkan untuk beberapa fungsi tubuh.
Berikut ini adalah beberapa manfaat mangan terhadap imunitas tubuh:
10

Merupakan Stimulan Antioksidan


Tubuh sebenarnya bisa memproduksi sistem antioksidan mereka sendiri
secara alami. Jadi secara alami tubuh bisa mengusir pergi toksin dari dalam
tubuh. Namun dibutuhkan sejumlah stimulan untuk mendorong produksi
senyawa alami ini. Dan mangan memiliki peran sebagai stimulan anti oksidan
Superoxide Dismutase (SOD) dalam hati untuk membantu menetralisir sejumlah
toksin, kelebihan gula, dan kelebihan garam dalam darah.

Berperan dalam Menjaga Kualitas DNA


Meski hanya dalam kadar yang sangat kecil, keberlangsungan DNA
dalam tubuh membutuhkan mangan. mangan akan mengambil peran
mempertahankan regenerasi sel berjalan secara normal dan mencegah kerusakan
DNA. Ini juga membuat mangan dapat berperan sebagai anti kanker.

Membantu Menstabilkan Kadar Gula dalam Darah


Mangan bekerja dalam pankreas untuk membantu mengendalikan fungsi
insulin dan produksi insulin. Peran ini sangat penting untuk membantu menjaga
kadar normal gula dalam darah. mangan juga mengendalikan sistem
metabolisme terhadap glukosa yang menjadi aspek penting dalam menjaga
kondisi pengidap diabetes.

Membantu Memperbaiki Fungsi Tiroid


Ada beberapa alasan kenapa sistem tiroid juga bisa dikaitkan dengan
asupan mangan, yakni karena dalam menjalankan fungsi imunitas tubuh
membutuhkan vitamin yang penyerapannya membutuhkan peran mangan.
Kedua karena mangan berperan dalam setiap sistem hormonal dan enzim dalam
tubuh, termasuk hormon tiroid.

2.6. HubunganZatBesidenganSistemImun
Zat besi dalam tubuh berperan dalam sintesa hemoglobin yang berkaitan
dengan penyakit anemia. Sebagian besar zat besi terdapat pada hemoglobin yang
berfungsi membawa oksigen dari paru – paru ke seluruh tubuh dan membawa
karbon dioksida dari seluruh sel ke paru – paru untuk kemudian di keluarkan.
Zat besi juga berperan dalam sistem imunitas dan pembentukan sel – sel
11

limfosit. Terdapat dua protein pengikat besi yaitu transferrin dan laktofirin.
Keduanya mampu mencegah terjadinya infeksi dengan memisahkan antara besi
dan mikroorganisme karena mikroorganisme memerlukan zat besi untuk
berkembang biak.
Defisiensi zat besi menyebabkan terganggunya kemampuan untuk
membunuh bakteri intraseluler secara nyata. Hal ini disebabkan karena ketika
tubuh kekurangan zat besi reaksi imunitas berupa aktivitas neutrophil akan
menurun. Akibat lain dari defisiensi zat besi adalah menurunnya sistem
kekebalan tubuh karena kemampuan sel NK untuk membunuh bakteri menjadi
rendah. Apabila kebutuhan zat besi tidak terpenuhi maka fungsi tubuh akan
menurun. Kekurangan zat besi dapat disebabkan karena berbagai faktor, antara
lain penuruna tingkat penyerapan, kurang mengonsumsi sumber makanan berzat
besi, peningkatan kebutuhan zat besi, dan perdarahan.
Asupan zat besi setiap hari diperlukan untuk mengganti kehilangan zat
besi yang dikeluarkan melalui tinja, air kencing, kulit, dan darah haid. Volume
darah haid seorang wanita relatif konstan dari bulan ke bulan namun bervariasi
dari satu wanita ke wanita lain. Asupan zat besi dapat diperoleh dari makanan
yang mengandung zat besi seperti hati, tiram, daging merah, daging unggas,
telur, sereal tumbuk, kacang – kacangan, sayuran hijau seperti bayam, kedelai,
dan umbi umbian.

2.7. Hubungan Zink denganSistemImun


Zn berfungsi bagi komponen membran sel, menstabilkan fungsi RNA,
DNA dan ribosom, menstabilkan kompleks hormon dan reseptornya, serta
peranannya dalam meregulasi polimerisasi tubulin. Sehingga fungsi
fisiologisnya penting bagi pertumbuhan sel dan jaringan, replikasi sel,
bekerjanya berbagai hormon dan antioksidan dalam tubuh.
Tanda klasik defisiensi Zn meliputi diare, dermatitis, gangguan pada
sistem kekebalan tubuh, resistensi host yang menurun terhadap penyakit
menular, gangguan penyembuhan luka, dan retardasi pertumbuhan.
Pada keadaan diare, seng berperan sebagai antioksidan, mempengaruhi
absorpsi air dan natrium, meningkatkan metabolisme vitamin A, mencegah
defisiensi enzim disakaridase, meningkatkan sistem imun, dan sebagai ko-faktor
enzim (Artana, 2005).
12

Beberapa penelitian menyatakan pemberian seng selain berperan dalam


sistem imun nonspesifik dan spesifik, juga berperan penting dalam metabolisme
dan transport vitamin A. Seng berperan dalam sintesis retinol binding protein
(RBP). Jika terjadi defisiensi seng maka akan menimbulkan gangguan dalam
proses sintesis RBP, sehingga vitamin A akan banyak dalam hati dan rendah
dalam sirkulasi darah, berakibat vitamin A tidak dapat berfungsi secara optimal.
Seng berperan dalam sel kekebalan tubuh. Yaitu dalam fungsi sel T dan
dalam pembentukan antibodi oleh sel B. Karena seng berperan dalam reaksi-
reaksi yang luas, kekurangan seng akan berperan dalam reaksi-reaksi yang luas,
kekurangan seng akan berpengaruh banyak terhadap jaringan tubuh terutama
pada saat pertumbuhan serta pada imunitas tubuh terutama penyakit infeksi
seperti diare (Almatsier, 2003).
Seng berpengaruh baik secara langsung pada sistem gastrointestinal
maupun secara tidak langsung dalam sistem imun. Seng berperan dalam
menjaga integritas mukosa usus melalui fungsinya dalam regenerasi sel dan
stabilitas membran sel. Defisiensi seng merusak epidermis dan mukosa saluran
cerna sehingga memudahkan invasi kuman pada saluran cerna (Fedriyansyah,
2010).
Kekurangan seng akan berpengaruh banyak terhadap jaringan tubuh
terutama pada saat pertumbuhan serta pada Kadar seng rendah akan berpengaruh
pada fungsi seng sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi imunitas tubuh
terutama penyakit infeksi seperti diare.

2.8. Hubungan Selenium denganSistemImunitas


Selenium merupakan mineral yang merupakan bagian esensial dari
enzim glutation peroksidase (GSH-PX). Pada makanan, Selenium berbentuk
selenometionin dan selenosistein. Selenium diabsorpsi pada bagian atas usus
halus secara aktif. Enzim glutation peroksidase berperan sebagai katalisator
dalam pemecahan peroksida agar tidak menjadi ikatan yang bersifat toksik
(berbahaya), sehingga tidak menjadi radikal bebas di dalam tubuh.
Ada empat jenis dari enzim glutation peroksidase, antara lain: GSHPx-1
(paling sering ditemukan pada beberapa jaringan), GSHPx-2 (berada di saluran
gastrointestinal), GSHPx-3 (di plasma), dan GSHPx-4 (di testis dan dapat
mengurangi hidroperoksida asam lemak). Peran lain dari selenium terhadap
13

imunitas, yaitu meningkatkan produksi leukotrin yang berperan sebagai


proinflamasi (membantu sel untuk menghancurkan zat asing). Selain itu,
meningkatkan produksi prostaglandin dan tromboksan yang berperan sebagai
antiinflamasi (mengatur respon inflamasi agar tidak berlebihan).
Kombinasi antara selenium dan vitamin E dapat berperan sebagai
antioksidan. Dalam kolaborasi tersebut, selenium mencegah terjadinya radikal
bebas dengan menurunkan kadar peroksida dalam sel, sehingga tidak merusak
asam lemak tidak jenuh pada membrane sel, meningkatkan integritas membrane,
dan melindungi DNA dari kerusakan. Sedangkan peran vitamin E yaitu
menghalangi kerja radikal bebas setelah terbentuk. Selenium berkerja di dalam
sitosol dan mitokondria sel, sedangkan vitamin E di dalam membrane sel.
Integritas membrane sel berperan penting dalam menjaga reseptor pada
membrane sel yang dapat menstimulasi produksi sitokin. Hal tersebut
merupakan peran penting selenium terhadap imunitas seluler. Selenium berperan
dalam mencegah kerusakan DNA yang akan mempengaruhi makrofag dalam
fagositosis. Defisiensi selenium akan berdampak pada system imun, yaitu
menurunkan konsentrasi IgG dan IgM sebagai bagian dari immunoglobulin,
mengganggu neutrophil dan produksi antibody oleh limfosit, mengganggu
dalam peningkatan sel CD4+ dan menurunkan CD8+ , berpengaruh terhadap
kondisi stress yang dapat meningkatkan radikal bebas dan berpengaruh pada
virulensi virus, merusak proliferasi limfosit yang menstimulasi mitogenensis,
dan dapat mengurangi jumlah makrofag karena kemotaksis rusak.
Untuk mencegah defisiensi selenium, terdapat upaya suplementasi.
Suplemen selenium juga dapat berperan dalam system imun, yaitu memperbaiki
respon limfosit. Bahan makanan yang merupakan sumber selenium antara lain
daging, unggas, makanan laut, hati, ginjal, sumber dari nabati yang bergatung
pada kondisi tanah.
BAB III
PENUTUP

3.1. Simpulan
Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting
dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan
memberantas benda asing tersebut agar bisa dikeluarkan dari tubuh. Dalam
melangsungkan fungsi tersebut, tubuh melibatkan berbagai jenis sel, yang satu
sama lain berinteraksi dalam upaya untuk melenyapkan benda asing tersebut.
Mineral merupakan salah satu zat gizi yang berperan dalam sistem imunitas
tubuh. Mineral tersebut antara lain Cu, F, I, Mg, Mn, Fe, Zn, dan Se.

3.2. Saran
Dengan penulisan makalah ini, diharapkan pembaca dapat mengonsumsi
makanan yang mengandung mineral-mineral tersebut untuk meningkatkan
sistem imunitas tubuh.Selain itu, diharapkan pembaca dapat mensosialisasikan
pengetahuan dari makalah ini kepada pihak lain.

14
DAFTAR PUSTAKA

Agtini, Magdarina Destri. 2005. “Fluor dan Kesehatan Gigi”. Media Litbang Kesehatan.
Volume XV Nomor 2.

Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Arthur, J.R., McKenzie, R.C., and Beckett, G.J. 2003.“Selenium in the Immune
System”. J. Nutr. 133, 1457S–1459S.

Dai, Y.D., Rao, V.P., and Carayanniotis, G. 2002. “Enhanced Iodination of


Thyroglobulin Facilitates Processing and Presentation of a Cryptic Pathogenic
Peptide”.J. Immunol. 168, 5907–5911.

DeLong, G.R., Leslie, P.W., Wang, S.H., et al. 1997.“Effect on Infant Mortality of
Iodination of Irrigation Water in a Severely IodineDeficient Area of China”.
Lancet350, 771–773.

Djamil, Melanie S. 2000. “Mekanisme Fluor Menghambat Kerja Enzim Air Liur”. Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Vol.7 (Edisi khusus): 1-6

Djamil, Melanie.S. 2000. “Mekanisme Fluor Menghambat Kerja Enzim Air Liur”. Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Jilid 7 (Edisi Khusus) 1-6.

Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. 2001.Dietary ReferenceIntakes for


Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese,
Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. National Academy,
Washington, DC.

Loviselli, A., Velluzzi, F., Mossa, P., et al. 2001. “The Sardinian Autoimmunity Study:
3.Studies on Circulating Antithyroid Antibodies in Sardinian Schoolchildren:
Relationship to Goiter Prevalence and Thyroid Function”. Thyroid 11, 849–857.

Marani, L. and Venturi, S. 1986.“Iodine and Delayed Immunity”. Minerva. Med. 77,
805–809.

Pedersen, I.B., Knudsen, N., Jorgensen, T., Perrild, H., Ovesen, L., and Laurberg, P.
2003.“Thyroid Peroxidase and Thyroglobulin Autoantibodies an A Large Survey
ofPopulations With Mild and Moderate Iodine Deficiency”. Clin. Endocrinol.
(Oxf.) 58, 36–42.

Setyatwan, Hendi. 2005. “Pengaruh Suplementasi Fitase, Seng Oksida (ZnO) dan
Tembaga Sulfat (CuSO4) Terhadap Performans Ayam Broiler”. Jurnal Ilmu
Ternak. Vol. 5, Nomor 2, Desember.
Siswanto, dkk. 2013. “Peran Beberapa Zat Gizi Mikro Dalam Sistem Imunitas”. Jurnal
Gizi Indonesia, Volume 1, Nomor 36.

Venturi, S., Donati, F.M., Venturi, A., Venturi, M., Grossi, L., and Guidi, A.2000. “Role
of Iodine in Evolution and Carcinogenesis of Thyroid, Breast and Stomach”.Adv. Clin.
Path. 4, 11–17.

Weetman, A.P., McGregor, A.M., Campbell, H., Lazarus, J.H., Ibbertson, H.K., and
Hall, R. 1983.“Iodide Enhances Igg Synthesis by Human Peripheral Blood
Lymphocytes in Vitro”. Acta. Endocrinol. (Copenh.) 103, 210–215.

Wenzel, B.E., Chow, A., Baur, R., Schleusener, H., and Wall, J.R. 1998.“Natural Killer
CellActivity in Patients with Graves’ Disease and Hashimoto’s
Thyroiditis”.Thyroid 8, 1019–1022.

Anda mungkin juga menyukai