Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh berdiri dan muncul sebagai kekuatan baru di Selat Malaka, pada
abad ke-16 setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Para pedagang Islam tidak
mengakui kekuasaan Portugis di Malaka dan segera memindahkan jalur perniagaan ke
bandar-bandar lainnya di seluruh Nusantara. Peran Malaka sebagai pusat perdagangan
internasional digantikan oleh Aceh selama beberapa abad. Di Selat Malaka, Kerajaan Aceh
bersaing dengan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaysia.
A. Kehidupan Politik
Kerajaan Aceh didirikan Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1530 setelah
melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pidie. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah
pimpinan Sultan Alaudin al-Kahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang
kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri
dan menentang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang
pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang
di Aceh.
Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa
dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin
melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil.
Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636,
kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di
wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar,
Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615-1619).
Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan
oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642.
Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih
mementingkan pembangunan dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa
pemerintahannnya yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan
sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan
bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer.
Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang
pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin
tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar
Sani. Maka dari itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini
terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku).
Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang
sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul
Alam (1641- 1675), janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu
Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat
Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada
1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali.
Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul
Alam Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris,
Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh
Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah
digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu
berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat
bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816,
menggantikan Sultan Saiful Alam.
Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London,
Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan
praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera,
Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh.
Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan
Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh
terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh,
pria-wanita, di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim.
Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik
perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi
Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan
Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada
tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh ~ Salah Satu Peninggalan Kerajaan/Kesultanan
Aceh
B. Kehidupan Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat Aceh adalah dalam bidang pelayaran dan
perdagangan. Pada masa kejayaannya, perekonomian berkembang pesat. Penguasaan Aceh
atas daerah-daerah pantai barat dan timur Sumatra banyak menghasilkan lada. Sementara
itu, Semenanjung Malaka banyak menghasilkan lada dan timah. Hasil bumi dan alam
menjadi bahan ekspor yang penting bagi Aceh, sehingga perekonomian Aceh maju dengan
pesat.
Bidang perdagangan yang maju menjadikan Aceh makin makmur. Setelah Sultan
Ibrahim dapat menaklukkan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh makin bertambah
makmur. Dengan kekayaan melimpah, Aceh mampu membangun angkatan bersenjata yang
kuat. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kejayaan.
Dari daerah yang ditaklukkan didatangkan lada dan emas sehingga Aceh merupakan
sumber komoditas lada dan emas.
Aceh cepat tumbuh menjadi kerajaan besar karena didukung oleh faktor sebagai
berikut.
1. Letak ibu kota Aceh sangat strategis, yaitu di pintu gerbang pelayaran dari India
dan Timur Tengah yang akan ke Malaka, Cina, atau ke Jawa.
2. Pelabuhan Aceh (Olele) memiliki persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang.
Pelabuhan itu terlindung oleh Pulau We, Pulau Nasi, dan Pulau Breuen dari ombak
besar.
3. Daerah Aceh kaya dengan tanaman lada sebagai mata dagangan ekspor yang
penting. Aceh sejak dahulu mengadakan hubungan dagang internasional.
4. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menyebabkan pedagang Islam banyak yang
singgah ke Aceh, apalagi setelah jalur pelayaran beralih melalui sepanjang pantai
barat Sumatra.
C. Kehidupa Sosial-budaya
Letak Aceh yang strategis menyebabkan perdagangannya maju pesat. Dengan
demikian, kebudayaan masyarakatnya juga makin bertambah maju karena sering
berhubungan dengan bangsa lain. Contoh dari hal tersebut adalah tersusunnya hukum adat
yang dilandasi ajaran Islam yang disebut Hukum Adat Makuta Alam.
Menurut Hukum Adat Makuta Alam pengangkatan sultan haruslah semufakat
hukum dengan adat. Oleh karena itu, ketika seorang sultan dinobatkan, ia berdiri di atas
tabal, ulama yang memegang Al-Qur’an berdiri di kanan, sedangkan perdana menteri yang
memegang pedang berdiri di kiri.
Hukum Adat Makuta Alam memberikan gambaran kekuasaan Sultan Aceh, seperti berikut:
Dalam menjalankan kekuasaan, sultan mendapat pengawasan dari alim ulama, kadi,
dan Dewan Kehakiman. Mereka terutama bertugas memberi peringatan kepada sultan
terhadap pelanggaran adat dan syara’ yang dilakukan.
Sultan Iskandar Muda berhasil menanamkan jiwa keagamaan pada masyarakat
Aceh yang mengandung jiwa merdeka, semangat membangun, rasa persatuan dan
kesatuan, serta semangat berjuang antipenjajahan yang tinggi. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan jika Aceh mendapat sebutan Serambi Mekah. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa
Barat tidak mampu menembus pertahanan Aceh.