MYELODYSPLASTIC SYNDROME
Hasbi Murdhani, Savita Handayani, Dairion Gatot, Henny Syahrini, Andri I. Mardia,
Senior Tawarta Perangin-angin
Divisi Hematologi, Onkologi, Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
RSUP H. Adam Malik Medan
I. PENDAHULUAN
MDS (Myelodysplastic Syndrome) adalah suatu kelainan dari sel punca (stem cell) darah
yang ditandai dengan terganggunya proliferasi dan pendewasaan sel hematopoiesis.
Karakteristik dari MDS adalah hematopoiesis yang tidak efektif dan adanya displasia sel
punca akibat proliferasi dan maturasi yang abnormal. Dua karakteristik inilah yang
menyebabkan terjadinya sitopenia pada penderita MDS. Gejala dan tanda klinis yang dialami
merupakan akibat dari menurunya jumlah sel darah, yaitu mudah lelah, rentan terkena infeksi
karena leukopenia, petekie, purpura, dan ekimosis karena trombositopenia. Meningkatnya
angka mortalitas pada pasien MDS terutama karena perdarahan dan infeksi. Selain itu,
penderita MDS memiliki resiko yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi leukemia akut.
1
II. EPIDEMIOLOGI
MDS pertama kali ditempatkan sebagai penyakit yanng terpisah adalah pada tahun 1976,
dan pada saat itu diestimasikan terdapat 1500 kasus baru tiap tahun nya. Insidensi MDS
meningkat, dahulu hanya pasien yang memiliki blast <5% saja yang diidentifikasikan ke
dalam penyakit ini, namun saat ini dengan peningkatan kriteria untuk diagnosis, jumlahnya
meningkat. Berdasarkan data dari National Cancer institute’s Surveillanve, Epidemyology, &
End Reports (SEER) sebanyakk 0,7 kasus per 100.000 penduduk yang berusia 30 tahun
sampai dengan 20,8-36,3 kasus per 100.000 penduduk pada usia >70 tahun mengidap
penyakit MDS. SEER mengindikasikan bahwa 865 kasus MDS terdiagnosis saat pasien
berusia 60 tahun atau lebih. MDS lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.
Data SEER pda tahun 2001-2003 menunjukkan insidensi laki-laki dibanding wanita adalah
4,5 vs 2,7 kasus dalam 100.000 penduduk.1,2
III. ETIOLOGI
Berdasarkan etiologinya, MDS dibagi menjadi MDS primer (idiopatik) dan MDS
sekunder. MDS sekunder erat hubungan nya dengan paparan kimia, infeksi virus, dan radiasi
dari lingkungan. Contohnya yakni: paparan benzene, bahan tambang seperti petroleum, efek
radiasi tinggi pada survival bom nuklir maupun pendudukk yang tinggal dekat dengan lokasi
smber nuklir juga memiliki resiko yang tinggi terkena MDS. MDS primer (idiopatik)
dihubungkan dengan perubahan biologis, seperti mutasi DNA.4 Kelainan sitogenetik yang
sering terjadi adalah delesi dari kromosom 5, 7, atau Y parsial atau total atau trisomi 8.
Hilang nya pita q13 sampai q33 kromosom 5 pda wanita lanjut usia dengan anemia
makrositik, hitung trombosit yang normal atau meningkat, serta mikromegakariosit atau
disebut dengan sindrom 5q- ,serta mutasi onkogen RAS (N-RAS) terjadi pada 20 % kasus
MDS, dan mutasi FMS pada15 % kasus MDS.1,3
IV. PATOFISIOLOGI
Paparan toksin dari lingkungan dapat bersumber dari tembakau, penggunaan alkohol, dan
infeksi. Salah satu contoh yang sudah melalui penelitian cohort adalah paparan benzena.
Mekanisme yang dapat meningkatkan kejadian MDS adalah genotoksik dan non –
genotoksik. Mekanisme Genotoksik diakibatkan oleh terbentuknya oksigen radikal bebas dari
metabolit benzene dengan kerusakan DNA. Ini dibuktikan dengan adanya abnormalitas pada
kromosom +9 (trisomi), -5 atau -7 (delesi) dan t(8,21) (translokasi). Selain itu, mutasi
somatik selain dikarenakan oleh paparan benzena, juga disebabkan oleh penuaan dan paparan
agen genotoksik yang lain. MDS paling sering terdiagnosis pada pasien berumur >70 tahun,
hal ini menunjukan hubungan MDS dan proses aging sangat erat. Dimana aging dapat
menyebakan mutasi genetik dan perubahan biologis yang dapat menyebabkan MDS. 3,5
Salah satu dari akibat dari paparan lingkungan adalah kerusakan DNA. Berikut adalah
tabel penyebab dari kerusakan DNA, serta kromosom apa saja yang mengalami kerusakan.3,5
Disregulasi sistem imun merupakan dampak dari penyakit kanker.Hal ini dibuktikan dengan
penggunaan terapi imunosupresif seperti siklosporin-A, Anti-timosit globulin, dapat
menyebakan sitopenia. Perubahan sel B dan sel T juga merupakan dampak pada
perkembangan MDS.6
V. DIAGNOSIS
Subtipe menurut FAB Blast pada hapusan Blast pada sumsum tulang
darah perifer (%) (%)
Refractory anemia (RA) <1 <5
Refractory anemia with <1 <5
ringed sideroblast (RARS)
Refractory anemia with <5 5-20
excess blasts (RAEB)
Refractory anemia with >/ sama dengan 5 21-30
excess blasts in
transformation (RAEB-T)
CMML (Monosit >1000/mcL <5 5-20
Pada kasus RCUD, biasanya juga ditemukan refractory Anemia (RA). Anemia paling
sering jenis makrositik. Tidak ditemukan blast pada darah, bahkan maksimal hanya 1% yang
dapat saat differential count. Sumsum tulang pada RCUD biasanya hiperselular disebabkan
oleh displasia erythroid. Displasia ini juga ditandai oleh adanya sel megakariosit dan
granulositik. Tidak ditemukan adanya Auer Rods, pada anamnesis dapat diketahui bahwa
pasien biasanya mengeluhkan anemia yang tak kunjung sembuh hingga 6 bulan lamanya.
Kasus RA pada RCUD dapat digolongkan menjadi kasus yang prognosisnya tinggi, dengan
angka survival 6-7 tahun dam hanya 5%-10% yang berkembang menjadi leukemia akut.5,6
RARS pada MDS memiliki karakteristik anemia yang tidak dapat ditemukan
penyebabnya, displasia erythroid, dan ring sideroblast pada >15% prekursor erythroid dan
sumsum tulang. Bentukan eritrosit adalah dismorfik (campuran maksrositik normokromik
dan hiperkromik). Pasien dengan RARS memiliki angka ketahanan hidup sebesar 7-9 tahun,
dan <5% yang berkembang menjadi leukemia akut.5,6
RCMD memiliki karakteristik satu atau lebih sitopenia pada darah perifer dan terdapat
dua atau lebih displasia pada prekursor myeloid (erytroid, granulositik, dan/atau
megakariositik). Terdapat <1% blast pada darah dan <5% blast pada sumsum tulang, serta
tidak terdapat Auer Rods. Pasien dengan RCMD memiliki prognosis yang kurang baik, yakni
7-13 bulan.1,5
RAEB adalah MDS dengan blast sebanyak 5%-19% pada sumsum tulang atau darah.
RAEB-1 memiliki karakteristik ditemukan nya blast sebanyak <5% di sumsum tulang dan
2%-4% pada darah tepi. Sedangkan RAEB-2 ketika blast ditemukan sebanyak >10% pada
sumsum tulang dan 5% pada darah. Pasien dengan RAEB-2 memiliki prognosis yang buruk,
yaitu kurang dari 2 tahun, serta 30%-40% kasusnya berkembang menjadi leukemia akut.1,5
Tiga kemungkinan yang masuk pada kriteria unclassified MDS adalah: 1,5
MDS subtipe ini memiliki karakteristik anemia dengan atau tanpa sitopenia, dengan
kelainan sitogenetik berupa delesi pada kromosom 5q, terutama delesi pada kromosom 5q21
and 5q32. Pasien dengan delesi pada kromosom 5q ini memiliki respon yang baik tehadap
pengobatan dengan lenalidomide.1,5
VI. TREATMENT
- Terapi suportif
Terapi suportif mencakup tranfusi eritrosit (RPC) pada anemia, atau transfusi trombosit pada
trombositopenia. Pada pasien dengan transfusi yang sering, dikhawatirkan akan terjadi
disfungsi organ, maka dari itu selain diberikan transfusi, monitoring juga sangat penting
untuk dilakukan, salah satunya dengan pemberian terapi kelasi sampai tingkat ferritin
menurun hingga <1000 mcg/L. 6
- Hypomethylating Agents
Transisi MDS menuju leukemia akut dapat dicegah dtau diperpanjang waktunya dengan
kemoterapi intensitas rendah menggunakan DMTI (DNA methyltransferase inhibitor), 5-
azacytidine (AzaC) dan decitabine (5-aza-2’-deoxycytidine). Penggunaan hypomethylating
agen memiliki dampak yang semakin baik apabila dimulai lebih dini penggunaannya.
Dosis penggunaan AzaC 75 mg/hari selama 7 hari setiap 28 hari sekali melalui suntikan
subkutan menunjukkan 10-17% pasien yang berhasil remisi.6
DAFTAR PUSTAKA