Anda di halaman 1dari 14

STRATEGI PENGEMBANGAN KURIKULUM1*

Oleh: Muhammad Zuhdi, PhD**


Pendahuluan
Pendidikan dewasa ini dipahami sebagai sebuah upaya sadar dan terencana
untuk mengembangkan potensi positif yang dimiliki manusia. Pengembangan
potensi ini meliputi sekurang-kurangnya tiga aspek utama, yaitu: kognitif
(pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan). Pada
perkembangannya lebih lanjut, Howard Gardner mengemukakan teori kecerdasan
ganda (multiple intelligence theory) (Gardner, 1983). Teori ini mengatakan bahwa
sekurang-kurangnya ada delapan kecerdasan yang secara potensial dimiliki oleh
manusia.
Pada pendidikan modern, proses pengembangan potensi dan penanaman nilai
yang dilakukan senantiasa dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek
perkembangan fisik, psikis dan sosial peserta didik. Oleh karenanya perencanaan
mengenai apa yang akan diajarkan dan bagaimana mengajarkannya merupakan hal
penting yang menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian kegiatan pendidikan.
Salah satu hal krusial yang direncanakan adalah kurikulum, yang pada awalnya
hanya fokus pada materi yang akan diajarkan.
Kesadaran akan pentingnya perencanaan kurikulum mengemuka setelah para
ahli dan praktisi pendidikan menyadari bahwa kegiatan pendidikan yang baik harus
direncanakan dengan baik. Terlebih setelah ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang secara signifikan, pendidik dihadapkan pada persoalan banyaknya
ragam materi yang dirasa penting untuk disampaikan. Oleh karena itu, kurikulum
pada awalnya dipahami sebagai sebuah upaya untuk menyeleksi bahan pelajaran
yang harus diajarkan kepada peserta didik.
Pemaknaan kurikulum secara terbatas tersebut tercermin antara lain oleh
sebuah pertanyaan mendasar yang diajukan oleh Herbert Spencer “What
knowledge is of most worth?” (Spencer, 1955). Pertanyaan yang nampak sederhana
ini memiliki implikasi yang besar dalam dunia pendidikan, karena jawaban atas
pertanyaan tersebut akan berbeda jika ditanyakan kepada orang yang berbeda.

1 Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Perbandingan Pendidikan antara Negara


Maju dan Negara Berkembang”, yang diselenggarakan oleh Edunetwork. Karawang, Jawa
Barat, 8 Februari 2009.
*** Dosen pada Sekolah Pasca Sarjana dan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2

Yang pasti, keberadaan ilmu tentang kurikulum telah membantu para pelaku
dan pengambil kebijakan pendidikan untuk melakukan perencanaan secara lebih
sistematis guna memperoleh hasil pendidikan yang optimal. Di dunia akademik,
wacana tentang kurikulum tidak hanya berputar pada materi yang harus diajarkan,
tetapi telah menjadi sebuah sub disiplin ilmu yang menjadi kajian para akademisi.
Salah satu contohnya adalah diterbitkannya buku The Curriculum karya Franklin
Bobbit pada tahun 1918.
Seiring dengan berkembangnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan, ilmu
pendidikan pun mengalami perkembangan. Berbagai studi terhadap pola
pengembangan kurikulum yang dilakukan semakin meningkatkan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan. Di samping itu, berbagai perubahan yang terjadi di
lingkungan pendidikan dan di luar pendidikan juga memiliki implikasi yang
terkadang cukup signifikan terhadap kurikulum. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika kurikulum senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke
waktu, baik dari segi isi (konten) maupun dari segi kemasan (pola pengembangan)-
nya.

Beragam Makna Kurikulum


Ketika orang berbicara tentang kurikulum sekolah, maka makna yang
seringkali digunakan adalah sekelompok mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Oleh karena itu, diskusi tentang kurikulum seringkali membatasi orang untuk
berbicara tentang mata pelajaran di sekolah. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah,
tetapi juga bukan merupakan kebenaran satu-satunya.
Kurikulum sebagai sebuah kata yang diidentikkan dengan pendidikan memiliki
makna yang sangat beragam sesuai dengan keberagaman latar belakang orang yang
menekuni teori pendidikan. Menurut kajian Schubert, keragaman makna kurikulum
dirangkum dalam delapan wajah kurikulum atau yang dia sebut sebagai “the
images of curriculum”, yaitu: Kurikulum bermakna mata pelajaran (content or
subject matter), kurikulum bermakna program atau aktivitas terencana (program
or planned activities), kurikulum bermakna hasil belajar yang diharapkan
(intended learning outcomes), kurikulum bermakna reproduksi budaya (cultural
reproduction), kurikulum bermakna pengalaman (experience), kurikulum bermakna
tugas dan konsep tertentu (discrete task and concept), and kurikulum bermakna
3

agenda rekonstruksi social (agenda for social reconstruction), dan kurikulum


bermakna track yang dilalui (curere)(Schubert, 1986: 26-33).
Hasil analisis Schubert di atas menjelaskan bahwa makna kurikulum tidak
tunggal dan sederhana. Perbedaan padangan tentang kurikulum tidak berarti satu
pandangan lebih baik atau lebih benar dari yang lain. Berbagai definisi tersebut
memiliki konteksnya masing-masing yang dipengaruhi oleh pandangan orang
terhadap teori pendidikan yang dipercayainya. John Dewey, misalnya meyakini
bahwa pendidikan adalah proses belajar dari pengalaman yang dijumpai langsung
oleh siswa. Oleh karenanya, kurikulum menurut Dewey adalah pengalaman siswa
itu sendiri (curriculum as experience). Meski demikian, dapat juga dipahami bahwa
pengertian kurikulum juga mangalami evolusi seiring dengan perkembangan ilmu
pendidikan. Kurikulum yang secara tradisional dipahami sebagai sekumpulan mata
pelajaran, saat ini dimaknai sebagai sebuah rencana lengkap yang mencakup
berbagai komponen pembelajaran.
Dewasa ini pengertian kurikulum yang berkembang di Indonesia merujuk pada
apa yang dituangkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pasal 1 UU tersebut mendefinisikan kurikulum sebagai “seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.” (UU No 20 tahun 2003).

Kurikulum sebagai sebuah proses


Sebagai bagian dari sebuah sistem pendidikan, kurikulum memiliki proses
yang berkesinambungan. Secara sederhana, proses tersebut dapat dirumuskan
dalam sebuah siklus berikut:
4

Desain
Inovasi/
improvement

Pengembangan

Evaluasi

Implementasi

Supervisi

Skema di atas menggambarkan bahwa kurikulum, sekurang-kurangnya secara


teoritis, dapat dipahami sebagai sebuah siklus yang terus bergerak dan
berkembang selama prose pendidikan berlangsung. Siklus tersebut diawali dengan
tahap desain. Pada tahap ini dirumuskan pola kurikulum yang akan dikembangkan.
Pola dimaksud akan menentukan komponen-komponen kurikulum yang diperlukan,
bagaimana komponen itu dikembangkan dan hubungan antara satu komponen
dengan yang lainnya.
Berikutnya adalah tahap pengembangan. Pada tahap ini kurikulum disusun
dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai.
Pengembangan kurikulum sering didefinisikan sebagai sebuah proses
pengembangan atau penyusunan komponen-komponen kurikulum hingga siap untuk
dijadikan acuan bagi guru dalam melaksanakan tugas mereka. Kurikulum yang
telah disusun dan dikembangkan komponen-komponennya, kemudian
diimplementasikan di lembaga-lembaga pendidikan sesuai dengan pola
implementasi yang direncanakan.
Selanjutnya, untuk memastikan kesesuaian antara kurikulum yang
diimplementasikan dengan konsepnya, maka supervisi menjadi bagian penting dari
siklus ini. Setelah itu kurikulum dievaluasi guna memastikan bahwa kurikulum yang
telah diimplementasikan dapat mengantarkan siswa untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Lalu pada gilirannya, hasil evaluasi ini menjadi bahan untuk
pengembangan kurikulum pada waktu berikutnya.
Perlu dipahami bahwa siklus di atas merupakan penyederhanaan dari sebuah
rangkaian proses kurikulum yang sesungguhnya terjadi di lembaga-lembaga yang
5

terkait dengan dunia pendidikan formal. Di samping itu perlu juga dipahami bahwa
pada kenyataannya jarang sekali perubahan kurikulum dilakukan berdasarkan hasil
evaluasi. Perubahan kurikulum yang seringkali terjadi dilakukan atas dasar tren
yang berkembang di dunia pendidikan ataupun kebijakan politik yang berimbas ke
dunia pendidikan.

Desain kurikulum
Kurikulum sebagai sebuah sub-sistem pendidikan terdiri atas berbagai
komponen yang berhubungan satu dengan lainnya. Hubungan antar komponen ini
dirumuskan melalui sebuah proses desain. Tujuan desain adalah untuk menentukan
pola atau organisasi kurikulum yang dianggap paling efektif. Untuk memulai proses
desain kurikulum, Ornstein dan Hunkins (1988) mengajukan pertanyaan: struktur
kurikulum yang bagaimana yang memungkinkan masing-masing komponen dapat
memberikan kontribusi pada kurikulum sebagai sebuah kesatuan?
Sebagaimana bervariasinya definisi, desain kurikulum juga memiliki beragam
pola. Dari pola yang beragam tersebut, secara garis besar desain kurikulum dapat
dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu: kurikulum yang berorinetasi pada
mata pelajaran (subject-centered), kurikulum yang berorientasi pada peserta didik
(learner-centered), kurikulum yang berorientasi pada tujuan (goal-centered) dan
kurikulum yang berorientasi pada persoalan (problem-based).
1. Kurikulum yang berorientasi mata pelajaran
Kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran adalah pola kurikulum
yang paling dahulu dikenal dalam desain kurikulum. Dengan pola ini, kurikulum
disusun berdasarkan jumlah dan jenis mata pelajaran yang akan diajarkan kepada
siswa. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dengan kurikulum pola ini, yaitu:
pola mata pelajaran terpisah (separated-subject), pola mata pelajaran berkorelasi
(correlated-subject), dan pola pengelompokkan mata pelajaran serumpun (broad-
fields).
2. Kurikulum yang berorientasi siswa
Perkembangan teori pendidikan yang menghendaki peran siswa yang lebih
aktif dalam proses pembelajaran memiliki implikasi pada desain kurikulum. Banyak
pakar, di antaranya John Dewey, yang mengemukakan bahwa kurikulum seharusnya
disusun berdasarkan kepentingan siswa. Ini dimaksudkan agar proses pendidikan
yang dilangsungkan benar-benar untuk kepentingan siswa, sehingga siswa merasa
6

terlibat (engaged) penuh dalam proses pendidikan. Beberapa pola yang termasuk
kategori ini adalah pola kurikulum berpusat pada anak didik (child-centered) dan
kurikulum berpusat pada pengalaman (experience-centered).

3. Kurikulum yang berorientasi tujuan


Pola desain kurikulum yang paling populer dewasa ini adalah pola kurikulum
yang berorientasi pada tujuan. Hal ini karena pola manajemen modern seringkali
berorientasi pada hasil sebagai tujuan. Dengan pola ini komponen-komponen
kurikulum dikembangkan dengan terlebih dahulu menentukan tujuan atau hasil
yang diharapkan. Pola yang sering digunakan untuk desain kurikulum yang
berorientasi tujuan adalah kurikulum berpusat pada tujuan (goal-oriented) dan
kurikulum berbasis kompetensi (competence-based)
4. Kurikulum yang berorientasi problem
Pada beberapa jenis lembaga pendidikan, seperti kedokteran, desain
kurikulum sering diorientasikan pada persoalan-persoalan yang berkembang,
dengan asumsi bahwa para peserta didik telah menguasai ilmu-ilmu dasar yang
mutlak diperlukan. Desain seperti ini dianggap efektif karena beberapa disiplin
ilmu tertentu berkembang berdasarkan persoalan yang dihadapi dalam kenyataan.
Persoalan-persoalan itulah yang membuat seseorang menjadi ahli atau spesialis
dalam bidang tertentu. Beberapa contoh pola desain kurikulum yang berorientasi
pada problem adalah kurikulum berorientasi pada situasi hidup (life-situations)
dan kurikulum berorientasi pada rekonstuksi sosial (social-reconstruction).

Pengembangan kurikulum
Sebagaimana dikemukakan di atas, kurikulum terdiri atas berbagai komponen
yang tak berkaitan satu sama lain dalam menentukan arah dan pelaksanaan proses
pembelajaran. Dalam proses pengembangan kurikulum, komponen-komponen ini
dirumuskan dan dirangkai satu dengan lainnya sehingga menjadi sebuah konsep
yang integral untuk dirujuk oleh pendidik dan peserta didik dalam proses
pembelajaran. Dengan kata lain, pengembangan kurikulum dapat dipahami sebagai
proses perumusan komponen-komponen kurikulum dan penyusunannnya menjadi
sebuah rencana yang utuh.
7

Sebagaimana beragamnya makna kurikulum, pengembangan kurikulum


memiliki beberapa sudut pandang yang berbeda pula. Berikut ini adalah berbagai
teori tentang pengembangan kurikulum yang sering digunakan:

Tyler Rationale (Linear-expert)


Tyler rationale adalah teori pengembangan kurikulum yang paling awal
dikembangkan dan dianggap paling populer. Dalam teorinya, Tyler mengemukakan
empat pertanyaan penting yang harus dijawab dalam proses pengembangan
kurikulum. Empat pertanyaan ini sekaligus juga merupakan langkah-langkah
pengembangan kurikulum. Keempat pertanyaan tersebut adalah:
“1. Apa tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh sekolah?
2. Apa saja pengalaman pendidikan yang harus diberikan agar tujuan
tersebut dapat tercapai?
3. Bagaimana rencana pengalaman belajar tersebut dapat
diorganisasikan secara efektif?
4. Bagaimana kita memastikan bahwa tujuan yang telah ditetapkan di
atas telah tercapai?” (Tyler, 2004: 51)
Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh Tyler diatas dapat
diterjemahkan menjadi komponen-komponen kurikulum, yaitu: tujuan, materi/isi,
organisasi mata pelajaran/pengalaman belajar, dan evaluasi.
Pada perkembangannya, teori Tyler ini menginspirasi banyak ahli pendidikan
yang terus mencoba merumuskan teori pengembangan kurikulum yang dianggap
paling efektif. Komponen-komponen kurikulum pun mengalami perkembangan
sehingga kurikulum menjadi sebuah entitas yang kompleks. Hilda Taba,
sebagaimana dikutip oleh Ornstein dan Hunkins (1988: 268-269), misalnya,
mengembangkannya menjadi tujuh komponen, yaitu:
1. Diagnosa kebutuhan;
2. Perumusan tujuan;
3. Seleksi materi/isi;
4. Pengorganisasian materi;
5. Seleksi pengalaman belajar;
6. Pengorganisasian pengalaman belajar;
7. Evaluasi.
8

Kritik yang mendasar terhadap teori ini adalah bahwa kurikulum seperti ini
seringkali ditetapkan secara sepihak oleh pemegang otoritas pendidikan. Meskipun
sebenarnya baik Tyler maupun Taba tidak pernah mengindikasikan bahwa teori ini
hanya dapat diterapkan oleh pemegang kebijakan. Namun, teori ini berkembanga
ketika otoritas pendidikan di berbagai negara sangat sentralistik, sehingga teori ini
dianggap sepihak dan kurang demokratis.

Humanistic
Menyadari akan perlunya teori pengembangan kurikulum yang lebih membumi
dan melibatkan peserta didik, Weinstein dan Fentini (1970) mengemukakan apa
yang disebut dengan kurikulum pendidikan humanistik. Teori kurikulum yang
berkembang, termasuk yang dikemukakan oleh Tyler dan Taba, menurut Weinstein
dan Fentini, sangat cenderung kepada aspek kognitif, sehingga hasil pendidikan
menjadi hampa nilai. Untuk itu diperlukan pola pengembangan kurikulum yang
lebih melibatkan peserta didik.
Menurut Weinstein dan Fentini, untuk menyentuh afektif siswa,
pengembangan kurikulum harus memperhatikan kepentingan dan suara siswa,
sehingga mereka merasa bahwa kurikulum tersebut benar-benar mewakili
kebutuhan mereka. Untuk itu, Weinstein dan Fentini merumuskan langkah-langkah
pengembangan kurikulum sebagai berikut:
1. Memahami identitas dan kebutuhan kelompok yang akan belajar.
2. Mengidentifikasi kebutuhan dan kepentingan bersama
3. Mendiagnosa factor-faktor yang mempengaruhi sikap dan identitas siswa
4. Merumuskan perilaku yang diharapkan sebagai hasil
5. Mengorganisasikan ide-ide
6. Menentukan materi pelajaran
7. Menentukan kemampuan belajar yang diperlukan
8. Merumuskan prosedur pembelajaran
Langkah-langkah tersebut mengindikasikan bahwa kurikulum sebaiknya
dikembangkan secara lokal dengan memperhatikan kebutuhan dan keunikan peserta
didik sebagai kelompok. Ini berarti pengembangan kurikulum yang dilakukan secara
sentralistik dianggap tidak menguntungkan buat peserta didik.
9

Dialogis
Pelibatan siswa lebih lanjut dalam pengembangan kurikulum dapat dijumpai
pada pola pengembangan kurikulum yang dialogis. Menurut teori ini, yang
dikembangkan atas dasar pendidikan kritis (critical pedagogy), pengembangan
kurikulum yang dilakukan secara sepihak oleh guru ataupun otoritas pendidikan
lain seperti yang berlangsung selama ini tidak menguntungkan buat siswa. Hal ini
karena siswa hanya dijadikan obyek pendidikan, yaitu orang yang harus menerima
apa yang dirancang dan disampaikan oleh orang lain. Padahal sebagai manusia
berakal, mereka juga punya pendapat yang harus diperhatikan. Oleh karena itu,
untuk memberdayakan siswa sebagai pembelajar sejati, mereka harus terlibat
dalam pengembangan kurikulum.
Dalam hal ini, Michael Apple, salah seorang proponent pendidikan kritis
mengatakan:
“Saya tidak melihat pengembangan dan desain kurikulum sebagai sebuah
persoalan teknis yang bisa dilakukan dengan menerapkan pola-pola yang
dianggap rasional. Saya lebih memahami konsep kurikulum sebagai sebuah
proses mendesain sebuah lingkungan yang rumit dan berlangsung secara
berkesinambungan, seperti yang dilakukan oleh para pendidik terdahulu
seperti Dewey dan Huebner. Oleh karena itu saya tidak melihat kurikulum
sebagai sebuah entitas, silabus ataupun mata pelajaran tertentu. Saya lebih
memahami kurikulum sebagai sebuah simbolisme, materi dan lingkungan
kemanusiaan yang terus menerus dikembangkan. Karenanya proses
pengembangan kurikulum tidak hanya melibatkan aspek tehnik, melainkan
juga estetik, etik dan etik, jika memang kurikulum diharapkan dapat
merespon persoalan sosial dan individual.” (Apple, 2000:138)

Shirley Grundy mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum model ini


tidak ditentukan dengan langkah-langkah tehnis seperti pola lain. Ia lebih
merupakan proses berkesinambungan yang melibatkan pendidik dan peserta didik
secara bersamaan. Secara praktis, hal ini dapat dilakukan oleh penelitian tindakan
(action research). Lebih lanjut, menurut Grundy, penelitian tindakan itu sekurang-
kurangnya memerlukan langkah-langkah observasi, refleksi, perencanaan dan aksi.
(Grundy, 1987: 147)
Pola pengembangan kurikulum dalam perspektif ini nampak lebih bermakna
luas dari pola-pola yang lain. Di samping itu, karena prosesnya yang
berkesinambungan, maka dia nampak lebih fleksibel dan hanya dapat diterapkan
pada tingkat lembaga pendidikan.
10

Implementasi Kurikulum
Implementasi kurikulum adalah bagian yang paling menentukan dalam siklus
kurikulum. Ini karena seringkali kegagalan kebijakan pendidikan yang menyangkut
kurikulum terjadi bukan karena tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan,
melainkan implementasinya yang tidak tepat. Oleh karena itu, sebaik apapun
kurikulum dirumuskan, tentu tidak akan bermakna apapun bila implementasinya
tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Banyak orang beranggapan bahwa implementasi kurikulum merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari pengembangan kurikulum, karenanya tidak perlu
diperhatikan secara khusus. Padahal, implementasi kurikulum, terlebih sebuah
kurikulum baru, memerlukan berbagai pra-kondisi baik teknis maupun non-teknis
yang sangat menentukan bagi sukses atau tidaknya sebuah kurikulum. Dalam
banyak kasus, implementasi kurikulum menghendaki adanya perubahan
pemahaman, kemampuan dan pola hubungan di lembaga-lembaga pendidikan.
Miller dan Seller (1985: 246-247) mengidentifikasi tiga makna implementasi
yang umum dipahami. Pertama, implementasi adalah sebuah proses di mana guru
menggunakan kurikulum baru di saat mereka mengajar. Kedua, implementasi
adalah sebuah proses interaksi antara pembuat kurikulum dan guru (jika kurikulum
tidak dibuat sendiri oleh guru). Dalam interaksi ini terjadi dialog antara pembuat
kurikulum dan guru sebagai pelaksana kurikulum di lapangan. Keduanya
memastikan bagaimana kurikulum yang telah direncanakan dapat diterapkan
secara tepat dengan mempertimbangkan keadaan setempat. Ketiga, implementasi
dianggap sebagai sebuah bagian tersendiri dari siklus kurikulum yang perlu
direncanakan dan diorganisasikan secara khusus.
Pola implementasi dapat disusun dan disesuaikan dengan pola pengembangan
kurikulum yang digunakan dan kondisi di mana implementasi itu berlangsung. Yang
penting untuk diperhatikan adalah bahwa implementasi harus dilakukan dengan
persiapan dan perencanaan yang matang guna memastikan kurikulum yang
dikembangkan tidak menjadi sia-sia.

Kebijakan Kurikulum di Indonesia


Sering kita mendengar ungkapan “ganti menteri = ganti kurikulum”.
Ungkapan ini merujuk pada berbagai kebijakan mengenai kurikulum yang sering
berubah di Indonesia. Sebenarnya, perubahan kurikulum adalah sebuah
11

keniscayaan, mengingat perubahan-perubahan sosial-politik dan perkembangan


ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Sayangnya perubahan
kebijakan pendidikan seringkali, untuk tidak mengatakan selalu, tidak diimbangi
dengan kebijakan implementasi yang jelas. Karena itu, ungkapan di atas keluar
dengan nada keberatan.
Tambahan lagi, kebijakan perubahan kurikulum diambil tidak berdasarkan
hasil penelitian atau evaluasi dari kebijakan yang sebelumnya. Hal seperti ini, yang
tidak hanya terjadi di Indonesia, diafirmasi oleh Apple (2000: xi) dengan
ungkapannya yang populer “Perubahan-perubahan yang berlangsung lama di dunia
pendidikan seringkali bukan didasarkan atas hasil kajian ahli pendidikan ataupun
peneliti, melainkan merupakan pengaruh dari gerakan-gerakan sosial yang
mendorong institusi-institusi politik, ekonomi dan budaya untuk bergerak ke arah
tertentu”
Bila kita menengok sejarah pendidikan kita, telah banyak perubahan
kurikulum dilakukan dengan menggunakan pola-pola yang berbeda. Kurikulum yang
pernah berlaku di Indonesia adalah:
1. Kurikulum berorientasi mata pelajaran
2. Kurikulum CBSA (Active Learning)
3. Kurikulum berorientasi tujuan (+ muatan lokal)
4. Kurikulum berorientasi kompetensi (KBK)
5. Kurikulum berorientasi independensi lembaga pendidikan (KTSP)
Kelima kurikulum tersebut diberlakukan atas dasar kebijakan pemerintah
untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Sayangnya, sebagaimana
disinggung diatas, kebijakan-kebijakan tersebut gagal karena dua hal: Pertama,
tidak ada kebijakan impelementasi yang jelas. Kedua, lembaga-lembaga
pendidikan, termasuk guru, tidak dipersiapkan untuk menterjemahkan kebijakan
itu dalam tataran praktis yang tepat.
Contoh yang paling mutakhir adalah penerapan KBK dan KTSP dalam sistem
pendidikan nasional. KBK lahir sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan
melalui kurikulum. KBK juga merupakan upaya pemerintah untuk mengikuti tren
pendidikan di Negara-negara maju yang menerapkan kurikulum berbasis
kompetensi. Kurikulum berbasis kompetensi menghendaki standar kompetensi
minimal yang harus dikuasai peserta didik, dengan demikian diharapkan kualitas
hasil pendidikan kita memiliki standar yang jelas. Sekolah-sekolah diharapkan
12

dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang merujuk kepada standar


kompetensi tersebut.
Belum lagi Kurikulum Berbasis Kompetensi tersosialisasikan dan
terimpelementasikan dengan baik, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sebenarnya antara KBK dan KTSP
tidak saling menggantikan, karena prinsipnya berbeda. KBK adalah ketentuan
mengenai kompetensi lulusan, sementara KTSP adalah otoritas pengembangan
kurikulum yang diserahkan kepada sekolah. Tetapi karena pada kenyatannya KTSP
disosialisasikan dengan pedoman resmi yang nampak mengikat, maka seolah-olah
KTSP menggantikan KBK yang belum terlaksana.
Seperti dikemukakan di atas, kedua kebijakan ini tidak diiringi dengan
kebijakan implementasi yang memadai. Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh
Miller dan Seller di atas, impelementasi bermakna perubahan cara pandang dan
kesiapan orang untuk menerima hal baru. Sementara tidak mudah bagi pelaksana
di lapangan untuk merubah mind-set dari pelaksana kurikukum menjadi penyusun
sekaligus pelaksana di tingkat sekolah.

Penutup
Ada ungkapan bahwa “kurikulum yang terbaik adalah guru yang cakap”.
Artinya, tanpa rencana kurikulum sekalipun jika guru tahu apa yang harus
dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, pendidikan akan berhasil baik. Ini
terbukti dengan keberhasilan lembaga-lembaga pendidikan tradisional di masa
lalu. Ungkapan itu ada benarnya, tetapi tidak dengan sendirinya mengabaikan
pentingnya arti kurikulum.
Kurikulum dibuat tidak untuk menggantikan peran seorang guru yang cakap
dan memadai, sebaliknya ia disusun untuk membantu tugas guru dalam merancang
kegiatan pembelajaran di kelas. Karena, dengan kurikulum sekalipun, tuntutan
atas kecakapan seorang guru mutlak diperlukan untuk keberhasilan pendidikan.
Perbedaan cara pandang dalam memperhatikan persoalan pendidikan
membuat para pakar pendidikan memiliki konsep yang berbeda mengenai
kurikulum. Meski demikian, semua berorientasi pada terwujudnya pendidikan yang
berkualitas. Oleh sebab itu, selama memiliki konsep yang jelas dan dijalankan
secara konsisten, kurikulum yang baik (tentu saja kata ‘baik’ di sini bermakna
13

relatif) dapat mengantarkan sebuah proses pendidikan untuk memperoleh hasil


yang terbaik.
Kenyataannya, kurikulum tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik, baik
pada level negara, daerah, bahkan hingga ke tingkat sekolah. Ini terjadi karena
pertanyaan penting yang dikemukakan oleh Spencer di atas, yaitu “pengetahuan
apa yang paling penting diajarkan kepada anak?” dijawab secara berbeda oleh
berbagai pihak. Akibatnya, kebijakan mengenai kurikulum di berbagai level,
seringkali bias dengan kepentingan individu atau kelompok tertentu, baik
pemerintah, kelompok masyarakat, maupun orangtua. Itulah sebabnya pertanyaan
Spencer di rubah menjadi “pengetahuan siapa yang paling penting untuk
diajarkan” (Apple, 2004: xix).
14

Referensi

Apple, M.W. (2004) Ideology and Curriculum. New York: RoutledgeFalmer.

Apple, M.W. (2000) Official Knowledge: Democratic Education in a Conservative


Age New York: Routledge.

Gardner, H. (1983) Frames of Mind: The theory of Multiple Intelligence. New York:
Basic Books.

Grundy, S. (1987) Curriculum: Product or Praxis? New York: The Falmer Press.

Miller, J.P. and Seller, W. (1985) Curriculum: Perspectives and Practice. New York:
Longman.

Ornstein, A.C. dan Hunkins, F.P. (1988) Curriculum: Foundations, Principles and
Theory. Boston: Allyn and Bacon.

Schubert, W.H. (1986) Curriculum: Perspective, Paradigm and Possibility. New


York: MacMillan.

Spencer, H. (1898) Education: Intellectual, Moral, and Physical. New York:


Appleton

Tyler, R. W. (2004) ‘Basic Principles of Curriculum and Instruction’ dalam D.J.


Flinders dan S.J. Thornton (editor) The Curriculum Studies Reader. Edisi
kedua. New York: RoutledgeFalmer, hal. 51-59.

Weinstein, G. dan Fantini, M.D. (1970), Toward Humanistic Education: A


Curriculum of Affect. New York: Praeger Publisher.

Anda mungkin juga menyukai