Pengembangan Kurikulum Dan Implementasin
Pengembangan Kurikulum Dan Implementasin
Yang pasti, keberadaan ilmu tentang kurikulum telah membantu para pelaku
dan pengambil kebijakan pendidikan untuk melakukan perencanaan secara lebih
sistematis guna memperoleh hasil pendidikan yang optimal. Di dunia akademik,
wacana tentang kurikulum tidak hanya berputar pada materi yang harus diajarkan,
tetapi telah menjadi sebuah sub disiplin ilmu yang menjadi kajian para akademisi.
Salah satu contohnya adalah diterbitkannya buku The Curriculum karya Franklin
Bobbit pada tahun 1918.
Seiring dengan berkembangnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan, ilmu
pendidikan pun mengalami perkembangan. Berbagai studi terhadap pola
pengembangan kurikulum yang dilakukan semakin meningkatkan efektivitas
penyelenggaraan pendidikan. Di samping itu, berbagai perubahan yang terjadi di
lingkungan pendidikan dan di luar pendidikan juga memiliki implikasi yang
terkadang cukup signifikan terhadap kurikulum. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika kurikulum senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke
waktu, baik dari segi isi (konten) maupun dari segi kemasan (pola pengembangan)-
nya.
Desain
Inovasi/
improvement
Pengembangan
Evaluasi
Implementasi
Supervisi
terkait dengan dunia pendidikan formal. Di samping itu perlu juga dipahami bahwa
pada kenyataannya jarang sekali perubahan kurikulum dilakukan berdasarkan hasil
evaluasi. Perubahan kurikulum yang seringkali terjadi dilakukan atas dasar tren
yang berkembang di dunia pendidikan ataupun kebijakan politik yang berimbas ke
dunia pendidikan.
Desain kurikulum
Kurikulum sebagai sebuah sub-sistem pendidikan terdiri atas berbagai
komponen yang berhubungan satu dengan lainnya. Hubungan antar komponen ini
dirumuskan melalui sebuah proses desain. Tujuan desain adalah untuk menentukan
pola atau organisasi kurikulum yang dianggap paling efektif. Untuk memulai proses
desain kurikulum, Ornstein dan Hunkins (1988) mengajukan pertanyaan: struktur
kurikulum yang bagaimana yang memungkinkan masing-masing komponen dapat
memberikan kontribusi pada kurikulum sebagai sebuah kesatuan?
Sebagaimana bervariasinya definisi, desain kurikulum juga memiliki beragam
pola. Dari pola yang beragam tersebut, secara garis besar desain kurikulum dapat
dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu: kurikulum yang berorinetasi pada
mata pelajaran (subject-centered), kurikulum yang berorientasi pada peserta didik
(learner-centered), kurikulum yang berorientasi pada tujuan (goal-centered) dan
kurikulum yang berorientasi pada persoalan (problem-based).
1. Kurikulum yang berorientasi mata pelajaran
Kurikulum yang berorientasi pada mata pelajaran adalah pola kurikulum
yang paling dahulu dikenal dalam desain kurikulum. Dengan pola ini, kurikulum
disusun berdasarkan jumlah dan jenis mata pelajaran yang akan diajarkan kepada
siswa. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dengan kurikulum pola ini, yaitu:
pola mata pelajaran terpisah (separated-subject), pola mata pelajaran berkorelasi
(correlated-subject), dan pola pengelompokkan mata pelajaran serumpun (broad-
fields).
2. Kurikulum yang berorientasi siswa
Perkembangan teori pendidikan yang menghendaki peran siswa yang lebih
aktif dalam proses pembelajaran memiliki implikasi pada desain kurikulum. Banyak
pakar, di antaranya John Dewey, yang mengemukakan bahwa kurikulum seharusnya
disusun berdasarkan kepentingan siswa. Ini dimaksudkan agar proses pendidikan
yang dilangsungkan benar-benar untuk kepentingan siswa, sehingga siswa merasa
6
terlibat (engaged) penuh dalam proses pendidikan. Beberapa pola yang termasuk
kategori ini adalah pola kurikulum berpusat pada anak didik (child-centered) dan
kurikulum berpusat pada pengalaman (experience-centered).
Pengembangan kurikulum
Sebagaimana dikemukakan di atas, kurikulum terdiri atas berbagai komponen
yang tak berkaitan satu sama lain dalam menentukan arah dan pelaksanaan proses
pembelajaran. Dalam proses pengembangan kurikulum, komponen-komponen ini
dirumuskan dan dirangkai satu dengan lainnya sehingga menjadi sebuah konsep
yang integral untuk dirujuk oleh pendidik dan peserta didik dalam proses
pembelajaran. Dengan kata lain, pengembangan kurikulum dapat dipahami sebagai
proses perumusan komponen-komponen kurikulum dan penyusunannnya menjadi
sebuah rencana yang utuh.
7
Kritik yang mendasar terhadap teori ini adalah bahwa kurikulum seperti ini
seringkali ditetapkan secara sepihak oleh pemegang otoritas pendidikan. Meskipun
sebenarnya baik Tyler maupun Taba tidak pernah mengindikasikan bahwa teori ini
hanya dapat diterapkan oleh pemegang kebijakan. Namun, teori ini berkembanga
ketika otoritas pendidikan di berbagai negara sangat sentralistik, sehingga teori ini
dianggap sepihak dan kurang demokratis.
Humanistic
Menyadari akan perlunya teori pengembangan kurikulum yang lebih membumi
dan melibatkan peserta didik, Weinstein dan Fentini (1970) mengemukakan apa
yang disebut dengan kurikulum pendidikan humanistik. Teori kurikulum yang
berkembang, termasuk yang dikemukakan oleh Tyler dan Taba, menurut Weinstein
dan Fentini, sangat cenderung kepada aspek kognitif, sehingga hasil pendidikan
menjadi hampa nilai. Untuk itu diperlukan pola pengembangan kurikulum yang
lebih melibatkan peserta didik.
Menurut Weinstein dan Fentini, untuk menyentuh afektif siswa,
pengembangan kurikulum harus memperhatikan kepentingan dan suara siswa,
sehingga mereka merasa bahwa kurikulum tersebut benar-benar mewakili
kebutuhan mereka. Untuk itu, Weinstein dan Fentini merumuskan langkah-langkah
pengembangan kurikulum sebagai berikut:
1. Memahami identitas dan kebutuhan kelompok yang akan belajar.
2. Mengidentifikasi kebutuhan dan kepentingan bersama
3. Mendiagnosa factor-faktor yang mempengaruhi sikap dan identitas siswa
4. Merumuskan perilaku yang diharapkan sebagai hasil
5. Mengorganisasikan ide-ide
6. Menentukan materi pelajaran
7. Menentukan kemampuan belajar yang diperlukan
8. Merumuskan prosedur pembelajaran
Langkah-langkah tersebut mengindikasikan bahwa kurikulum sebaiknya
dikembangkan secara lokal dengan memperhatikan kebutuhan dan keunikan peserta
didik sebagai kelompok. Ini berarti pengembangan kurikulum yang dilakukan secara
sentralistik dianggap tidak menguntungkan buat peserta didik.
9
Dialogis
Pelibatan siswa lebih lanjut dalam pengembangan kurikulum dapat dijumpai
pada pola pengembangan kurikulum yang dialogis. Menurut teori ini, yang
dikembangkan atas dasar pendidikan kritis (critical pedagogy), pengembangan
kurikulum yang dilakukan secara sepihak oleh guru ataupun otoritas pendidikan
lain seperti yang berlangsung selama ini tidak menguntungkan buat siswa. Hal ini
karena siswa hanya dijadikan obyek pendidikan, yaitu orang yang harus menerima
apa yang dirancang dan disampaikan oleh orang lain. Padahal sebagai manusia
berakal, mereka juga punya pendapat yang harus diperhatikan. Oleh karena itu,
untuk memberdayakan siswa sebagai pembelajar sejati, mereka harus terlibat
dalam pengembangan kurikulum.
Dalam hal ini, Michael Apple, salah seorang proponent pendidikan kritis
mengatakan:
“Saya tidak melihat pengembangan dan desain kurikulum sebagai sebuah
persoalan teknis yang bisa dilakukan dengan menerapkan pola-pola yang
dianggap rasional. Saya lebih memahami konsep kurikulum sebagai sebuah
proses mendesain sebuah lingkungan yang rumit dan berlangsung secara
berkesinambungan, seperti yang dilakukan oleh para pendidik terdahulu
seperti Dewey dan Huebner. Oleh karena itu saya tidak melihat kurikulum
sebagai sebuah entitas, silabus ataupun mata pelajaran tertentu. Saya lebih
memahami kurikulum sebagai sebuah simbolisme, materi dan lingkungan
kemanusiaan yang terus menerus dikembangkan. Karenanya proses
pengembangan kurikulum tidak hanya melibatkan aspek tehnik, melainkan
juga estetik, etik dan etik, jika memang kurikulum diharapkan dapat
merespon persoalan sosial dan individual.” (Apple, 2000:138)
Implementasi Kurikulum
Implementasi kurikulum adalah bagian yang paling menentukan dalam siklus
kurikulum. Ini karena seringkali kegagalan kebijakan pendidikan yang menyangkut
kurikulum terjadi bukan karena tidak tepatnya kebijakan yang dikeluarkan,
melainkan implementasinya yang tidak tepat. Oleh karena itu, sebaik apapun
kurikulum dirumuskan, tentu tidak akan bermakna apapun bila implementasinya
tidak sesuai dengan yang direncanakan.
Banyak orang beranggapan bahwa implementasi kurikulum merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari pengembangan kurikulum, karenanya tidak perlu
diperhatikan secara khusus. Padahal, implementasi kurikulum, terlebih sebuah
kurikulum baru, memerlukan berbagai pra-kondisi baik teknis maupun non-teknis
yang sangat menentukan bagi sukses atau tidaknya sebuah kurikulum. Dalam
banyak kasus, implementasi kurikulum menghendaki adanya perubahan
pemahaman, kemampuan dan pola hubungan di lembaga-lembaga pendidikan.
Miller dan Seller (1985: 246-247) mengidentifikasi tiga makna implementasi
yang umum dipahami. Pertama, implementasi adalah sebuah proses di mana guru
menggunakan kurikulum baru di saat mereka mengajar. Kedua, implementasi
adalah sebuah proses interaksi antara pembuat kurikulum dan guru (jika kurikulum
tidak dibuat sendiri oleh guru). Dalam interaksi ini terjadi dialog antara pembuat
kurikulum dan guru sebagai pelaksana kurikulum di lapangan. Keduanya
memastikan bagaimana kurikulum yang telah direncanakan dapat diterapkan
secara tepat dengan mempertimbangkan keadaan setempat. Ketiga, implementasi
dianggap sebagai sebuah bagian tersendiri dari siklus kurikulum yang perlu
direncanakan dan diorganisasikan secara khusus.
Pola implementasi dapat disusun dan disesuaikan dengan pola pengembangan
kurikulum yang digunakan dan kondisi di mana implementasi itu berlangsung. Yang
penting untuk diperhatikan adalah bahwa implementasi harus dilakukan dengan
persiapan dan perencanaan yang matang guna memastikan kurikulum yang
dikembangkan tidak menjadi sia-sia.
Penutup
Ada ungkapan bahwa “kurikulum yang terbaik adalah guru yang cakap”.
Artinya, tanpa rencana kurikulum sekalipun jika guru tahu apa yang harus
dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, pendidikan akan berhasil baik. Ini
terbukti dengan keberhasilan lembaga-lembaga pendidikan tradisional di masa
lalu. Ungkapan itu ada benarnya, tetapi tidak dengan sendirinya mengabaikan
pentingnya arti kurikulum.
Kurikulum dibuat tidak untuk menggantikan peran seorang guru yang cakap
dan memadai, sebaliknya ia disusun untuk membantu tugas guru dalam merancang
kegiatan pembelajaran di kelas. Karena, dengan kurikulum sekalipun, tuntutan
atas kecakapan seorang guru mutlak diperlukan untuk keberhasilan pendidikan.
Perbedaan cara pandang dalam memperhatikan persoalan pendidikan
membuat para pakar pendidikan memiliki konsep yang berbeda mengenai
kurikulum. Meski demikian, semua berorientasi pada terwujudnya pendidikan yang
berkualitas. Oleh sebab itu, selama memiliki konsep yang jelas dan dijalankan
secara konsisten, kurikulum yang baik (tentu saja kata ‘baik’ di sini bermakna
13
Referensi
Gardner, H. (1983) Frames of Mind: The theory of Multiple Intelligence. New York:
Basic Books.
Grundy, S. (1987) Curriculum: Product or Praxis? New York: The Falmer Press.
Miller, J.P. and Seller, W. (1985) Curriculum: Perspectives and Practice. New York:
Longman.
Ornstein, A.C. dan Hunkins, F.P. (1988) Curriculum: Foundations, Principles and
Theory. Boston: Allyn and Bacon.