Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH IDENTIFIKASI KEHALALAN DARI PRODUK

DAGING AYAM SIAP SAJI

Oleh:
Kelompok 6

Riska Oktafiani 240210150060


Suci Rahma 240210150063
Amartha Luwi 240210150065
Ilham Januaramadhan 240210150066
Shafira 240210150067
Egi Muhammad Fahmi 240210150069
Violita Widyaningtyas 240210150076

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Makanan halal merupakan salah satu kebutuhan hidup bagi umat muslim
karena ketentuannya telah diatur dalam Al-Quran. Makanan halal dapat
bersumber dari pangan hewani maupun nabati. Dalam surah Al-Baqarah ayat 173
disebutkan bahwa jenis-jenis makanan yang diharamkan adalah bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang disembelih dengan menyebut selain Allah.

Pangan yang bersumber dari hewan merupakan salah satu pangan sumber
protein bagi kebutuhan manusia. Salah satu jenis hewan yang sering dikonsumsi
adalah ayam. Ayam dapat dijadikan berbagai macam olahan makanan salah
satunya adalah ayam siap saji.

Ayam siap saji merupakan salah satu jenis makanan siap saji yang
digemari oleh masyarakat karena rasanya yang enak dan harganya yang relatif
murah. Franchise ayam siap saji saat ini telah tersebar di seluruh daerah di
Indonesia sehingga sangat mudah mendapatkannya.

Aspek kehalalan ayam siap saji dimulai dari proses penyembelihan hingga
produk disajikan kepada konsumen. Untuk menjaga kehalalan produk maka perlu
dianalisis titik kritis kehalalan produk agar kualitas dan kehalalan produk ayam
siap saji tersebut terjaga.

1.2. TUJUAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengidentifikasi titik


kritis kehalalan dalam proses penglahan ayam siap saji mulai dari penyiapan
bahan baku sampai penyajian kepada konsumen.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Ayam Goreng Siap Saji (Fried Chicken)


Makanan siap saji adalah makanan yang disajikan dengan caradipanaskan,
sehingga tidak membutuhkan proses yang rumit. Biasanya produknya berupa
sandwich, burger, pizza, fried chicken, french fries, chicken nuggets, fish and
chips, ice creamdan sebagainya. Mudahnya memperoleh makanan siap saji di
pasaran memang memudahkan tersedianya variasi pangan sesuai selera dan daya
beli. Selain itu, pengolahan danpenyiapannya lebih mudah dan cepat,cocok bagi
mereka yang selalu sibuk (Sulistijani, 2002).
Fried Chickenmerupakan olahan sepotong ayam yang dibalut dengan
tepung dan digoreng kering yang menjadi simbol makanan masyarakat modern.
Berasal dari negara Amerika yang sangat mendunia melalui jaringan restoran
fastfood. Banyak orang menyukai makanan ini karena renyah dan gurih. Fried
Chickenmerupakan makanan siap saji yang diolah dengan berbalut tepung dan
digoreng kering. Dengan kelezatannya ini, banyak masyarakat yang menyukainya.
Dari kalangan anak-anak hingga orangdewasa.
Fried Chickenmerupakan lauk yang terbuat dari bahan dasar daging ayam
(hewani). Yang bisa dikonsumsi oleh semua konsumen baik orang dewasa
maupun anak-anak. Produk makanan ini berbahan dasar daging ayam dengan
bumbu sederhana yaitu bawang merah, bawang putih dan merica, penggunaan
tepung beras dalam proses pemasakannya. Tahapan proses pemasakan yaitu
perebusan daging ayam, pelapisan ayam dengan tepung beras dan penggorengan
sehingga menghasilkan produk yang memiliki cita rasa lezat dan penampilan yang
menarik.
Daging ayam dapat diolah menjadi beberapa produk yang mempunyai
nilai komersial dan cukup digemari masyarakat. Pengolahan daging ayam
mempunyai beberapa keuntungan diantaranya memperbaiki sifat fisik sensori
(flavor, tekstur dan penampakan umum), inaktivasi enzim lisosom,
mempertahankan kestabilan warna pada produk curingdan menghilangkan
komponen yang tidak diinginkan serta mengurangi jumlah populasi mikroba
patogen (Dawson et al., 2005). Salah satu teknik pengolahan daging ayam yang
umum dilakukan adalah dengan penggorengan. Beragam inovasi dalam teknik
penggorengan dilakukan agar menghasilkan produk yang mempunyai nilai lebih
dan berdaya saing.
Jenis daging yang berasal dari unggas yang umum dikonsumsi adalah
daging ayam. Menurut SNI 01-3924-2009 karkas ayamialah bagian dari tubuh
ayam tanpa kepala, leher, kaki, paru-paru dan atauginjal setelah penyembelihan
halal, pencabutan bulu dan pengeluaran jeroan. Produk daging ayam banyak
dikonsumsi masyarakat global karena tidak ada faktor pembatas dengan kultur
budaya dan kepercayaan tertentu, sehat, bergizi, kandungan lemaknya sedikit
dengan asam lemak tidak jenuh yang lebih rendah dibanding daging lainnya
(Mead, 2004).
Daging unggas lebih seragam dalam komposisi, tekstur dan warna
dibanding dengan jenis daging mamalia sehingga lebih mudah dalam konsistensi
formulasi produk pangan (Sams, 2001). Protein dari jenis daging ini mengandung
asam amino essensial yang dibutuhkan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan
perkembangan. Selain itu, daging unggas juga merupakan sumber beberapa
mineral seperti fosfor, zat besi, kobalt dan seng serta vitamin B12dan B6 (Parker,
2003).Warna daging unggas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur
potong, jenis kelamin, strain, pakan, lemak intramuskular, kondisi sebelum
pemotongan dan perbedaan teknologi pengolahan (Parker, 2003).
2.2 Diagram Alir Proses Pembuatan Daging Ayam Siap Saji

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Ayam Goreng Siap Saji


Penjelasan tahap pembuatan ayam goreng siap saji :
a. Penerimaan bahan baku
Penerimaan bahan baku dibagi menjadi tiga tahap yaitu penerimaan ayam
segar yang dilakukan setiap pukul 10.00 WIB, penerimaan ayam beku yang
dilakukan setiap pukul 13.00 WIB, dan penerimaan bahan kering yang
dilakukan setiap pukul 16.00 WIB. Daging ayam yang dibawa oleh pemasok
(supplier) dengan menggunakan truk berpendingin diturunkan dari truk,
ditempatkan ke dalam palet, lalu didistribusikan ke dalam chiller (fresh
chicken) atau freezer (frozen chicken). Sebelum proses distribusi dilakukan,
daging ayam harus melewati pemeriksaan suhu terlebih dahulu. Pemeriksaan
suhu dilakukan dengan menggunakan termometer oleh stock kontrol. Kendala
yang paling sering dihadapi dalam proses penerimaan ayam adalah proses
serah terima yang terkadang kurang memperhatikan standar higienitas
sehingga menyebabkan persentase tingkat kontaminasi pada daging ayam
menjadi lebih tinggi. Kendala tersebut sebagian besar disebabkan oleh human
error.

b. Penyimpanan
Proses penerimaan ayam diikuti oleh proses pendistribusian dan
penyimpanan ayam ke dalam chiller (fresh chicken) dan freezer (frozen
chicken). Proses penyimpanan dilakukan untuk menjaga suhu ayam berada
pada kisaran 1 – 5oC untuk ayam segar dan (-23) – (-12)oC untuk ayam beku
selama belum diolah. Suhu chiller dan freezer yang digunakan harus dijaga
pada kisaran 3 – 4 oC dan (-18)– (-15)oC. Pemantauan terhadap suhu chiller
dan freezer dilakukan tiga kali sehari, yaitu pada pukul 07.00, 15.00, dan
23.00 WIB.

c. Dress-up
Dress-up memiliki tiga fungsi utama, yaitu mengurangi lemak-lemak yang
menempel pada kulit, menghilangkan jeroan pada paha atas, dan mematahkan
persendian paha atas. Proses dress-up diawali dengan mengeluarkan ayam dari
dalam chiller (ayam segar) atau bak thawing (ayam beku) dan
menempatkannya di dalam wadah. Daging ayam kemudian dikeluarkan dari
kemasan, dipersiapkan (dress-up), dan ditempatkan ke dalam wadah lainnya
sebelum akhirnya dilakukan proses marinating.

d. Marinating
Ayam yang telah selesai dipersiapkan (dress-up) kemudian dimasukkan ke
dalam marinator bersama larutan bumbu marinade untuk selanjutnya
dilakukan marinating selama 15 menit. Kegiatan marinating dilakukan dengan
menggunakan mesin marinator putar (rolling marinator). Industri umumnya
lebih menyukai proses marinating yang dilakukan dengan cara diputar
daripada direndam. Proses marinating dengan cara diputar akan memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan proses rendam, sebab bumbu
marinade akan meresap dengan lebih merata.

e. Repacking
Satu plastik harus berisi 9 potong daging ayam yang terdiri atas 1 buah
dada daging, 2 buah dada rusuk, 2 buah paha atas, 2 buah paha bawah (drum
stick), dan 2 buah sayap (wing). Jumlah daging ayam yang dikemas harus
sesuai dengan jumlah daging ayam yang dikeluarkan. Satuan yang digunakan
untuk potongan daging ayam tersebut adalah head. Satu head mewakili 1 ekor
ayam yang akan menghasilkan 9 potongan komersial. Jumlah daging ayam
yang dikeluarkan untuk diproses (dress-up dan marinating) bervariasi,
tergantung pada kebutuhan dan persediaan daging ayam marinade. Daging
ayam marinade yang telah dikemas selanjutnya akan dimasukkan kembali ke
dalam chiller selama 24 jam sebelum diolah pada tahap berikutnya.

f. Breading
Proses breading harus dilakukan sebelum daging ayam digoreng. Proses
ini juga harus dilakukan dengan perhitungan yang tepat, sebab daging ayam
yang telah dibalut tepung hanya boleh berada pada keadaan terbuka selama
sekitar lima menit. Daging ayam breading yang berada pada keadaan terbuka
dalam waktu lama tidak layak untuk digoreng, karena akan menghasilkan
ayam goreng yang sangat kering. Proses breading hanya boleh dilakukan pada
daging ayam marinade yang telah terlebih dahulu disimpan di dalam chiller
selama 24 jam. Proses breading diawali dengan mengeluarkan ayam marinade
siap breading dari dalam chiller dan ditempatkan di dalam wadah yang sudah
disiapkan sebelumnya di atas meja breading.

g. Penggorengan
Metode penggorengan yang dapat digunakan antara lain adalah deep-fat
frying. Deep-fat frying merupakan salah satu metode penggorengan yang
dilakukan dengan menggunakan minyak goreng dalam jumlah banyak,
sehingga bahan pangan yang digoreng akan terendam seluruhnya di dalam
minyak goreng (Muchtadi, 2008).

h. Holding
Proses penggorengan akan dilanjutkan dengan proses penyimpanan di
dalam holding cabinet. Holding cabinet tersebut memiliki fungsi sebagai
tempat penyimpanan produk sementara sebelum dipasarkan. Suhu di dalam
holding cabinet harus berada pada kisaran 68 – 82oC. Holding cabinet
umumnya digunakan apabila produk yang dipasarkan belum habis terjual,
sedangkan produk yang baru telah selesai dimasak (telah matang).
Penyimpanan di dalam holding cabinet bertujuan untuk menjaga agar produk
tetap hangat, akan tetapi tidak boleh terlalu lama (+ 5 menit) agar produk tidak
kering.

i. Pemasaran dan Rejecting


Ayam yang telah digoreng dapat juga langsung dipasarkan di dalam
display holding cabinet. Suhu di dalam display holding cabinet dijaga pada
suhu 65oC + 3oC. Ayam yang telah matang hanya memiliki waktu penyajian
selama 90 menit dari saat matang sebelum akhirnya ayam tersebut ditarik dari
display holding cabinet (reject) dan dijadikan bahan baku pembuatan side item
(perkedel, cream soup, dan chicken soup).
2.3 Titik Kritis Kehalalan Ayam Siap Saji

Codex Alimentarius Commission (1997) mendefinisikan titik kendali


kritis (CCP) sebagai suatu titik lokasi atau tahapan atau prosedur yang
memerlukan proses pengendalian untuk mencegah, mengurangi, maupun
mengeliminasi bahaya keamanan pangan ke tingkat yang dapat diterima. Brown
(2000) menambahkan bahwa titik kendali kritis (CCP) adalah suatu titik yang
memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya kesehatan apabila tidak ditangani
dan dipantau dengan baik. Proses penentuan CCP dilakukan dengan menggunakan
“diagram pohon penentuan titik kendali kritis“. Diagram pohon penentuan titik
kendali kritis dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan jenis proses yang
diamati, yaitu diagram pohon penentuan titik kendali kritis untuk bahan baku,
formulasi, dan tahapan proses. Diagram pohon berisi urutan pertanyaan mengenai
bahaya yang muncul dalam suatu langkah proses, bahan baku, dan formulasi
untuk mengidentifikasi proses, bahan baku, maupun formulasi yang sensitif
terhadap bahaya atau untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang (Badan
Standarisasi Nasional, 1998).

Setelah menetapkan titik kendali kritis, selanjutnya adalah penetapan batas


kritis untuk setiap CCP. Batas kritis harus ditetapkan secara spesifik dan
divalidasi, apabila mungkin, untuk setiap CCP. Batas kritis didefinisikan sebagai
suatu kriteria yang memisahkan atau membedakan antara kondisi produk atau
parameter yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima (Badan
Standarisasi Nasional, 1998). Thaheer (2005) menambahkan bahwa batas kritis
merupakan satu atau lebih toleransi mutlak yang harus dipenuhi untuk menjamin
keamanan pangan dari suatu produk.
2.3.1 Bahan Baku

Tabel 1. Penentuan CCP Bahan

Tahap Bahan Jenis Bahaya Justifikasi Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP? Alasan Keputusan

DagingAyam Biologi: Biologis: kontaminasi Ya Ya - - CCP Karena bahaya


mikroorganisme mikroorganisme dari pada bahan baku
patogen sanitasi pekerja dan alat daging ayam tidak
(Salmonella, S. yang digunakan dalam dapat dihilangkan
Aureus, Listeria pemotongan, serta air melalui proses atau
monocytogenes, yang digunakan dalam konsumen.
E. Coli) pencucian. Jenis
mikroorganisme antara
Fisik: lain S. Aureus dan
Debu, bulu E.coli.
ayam, pasir, Fisik : Alat pemotong
benda asing lain yang digunakan
Tahap Bahan Jenis Bahaya Justifikasi Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP? Alasan Keputusan
berkarat, bulu ayam,
tulang ayam yang
terbawa.

Tepung Biologi: Kontaminasi bahan Ya Tidak Tidak - Non Karena bahaya pada
kapang, baku CCP bahan tambahan
serangga dapat dikurangi/
Fisik: debu dihilangkan melalui
pasir, benda proses tertentu atau
asing lainnya konsumen.

Air Biologi: Air tidak bersih Ya Tidak Tidak - Non Karena bahaya pada
E.coli CCP bahan tambahan
Fisik: dapat dikurangi/
Benda asing dihilangkan melalui
Tahap Bahan Jenis Bahaya Justifikasi Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP? Alasan Keputusan
proses tertentu atau
konsumen.

Minyak Goreng Kimia: Kerusakan lemak pada Ya Ya - - CCP Karena bahaya pada
FFA (Free minyak bahan baku daging
Fatty Acid), ayam tidak dapat
bilangan asam, dihilangkan melalui
bilangan proses atau
peroksida konsumen.

Bumbu dan Biologi: Lingkungan pengolahan Ya Tidak Tidak - Non Karena bahaya pada
rempah-rempah kapang, yang kurang bersih, CCP bahan tambahan
serangga bahan baku, tempat dapat dikurangi/
pengolahan dihilangkan melalui
Fisik: benda proses tertentu atau
asing konsumen.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)


a. Daging Ayam

Sebanyak 60% dari total volume darah dapat dikeluarkan dari praktik
penyembelihan yang baik, sementara itu, sebanyak 10% darah akan tertinggal di
jaringan otot hewan dan 20-25 % darah berada pada organ hewan tersebut (Piske
1982; Hedrick et al.1994; Swatland 2000 diacu dalam Roca 2002). Menurut
Warris (1977) diacu dalam Roca (2002) bahwa efisiensi perdarahan dapat
dianggap sebagai suatu persyaratan penting dalam penyembelihan untuk
memperoleh produk daging berkualitas tinggi.

Hikmah dari pengeluaran darah ini adalah meminimalisir kandungan


hemoglobin yang tertinggal di dalam hewan ternak. Beberapa hasil penelitian
tentang protein heme khususnya hemoglobin ini diketahui dapat meningkatkan
produksi produk oksidasi lemak dalam tubuh. Hewan yang tidak disembelih atau
hewan yang sakit menyebabkan darah tidak keluar secara sempurna. Darah
banyak tertinggal dalam karkas, sehingga membuat daging berwarna gelap. Razali
et al. (2007b) mengemukakan mengenai pendataan nilai biologis yang merupakan
suatu cara yang penting untuk dapat membedakan daging yang berasal dari daging
ayam bangkai yang berasal dari ayam lemas disembelih dan ayam yang telah mati
beberapa waktu kemudian disembelih dan dibandingkan dnegan daging yang
berasal dari hasil penyembelihan yang halal atau benar.Darah yang tertinggal pada
pembuluh pada ayam dengan kondisi kesehatan yang tidak baik disajikan dalam
Gambar 2.

Gambar 2. Penampakan pembuluh darah arteri (atas) dan vena (bawah)

(Sumber: Razali et al.2007b)


Keterangan : (tanda panah) pada AHS (ayam sehat hidup disembelih) tidak
mengalami kongesti darah, sedangkan pada ALS (ayam lemas disembelih) dan
AMS (ayam mati disembelih) dipenuhi oleh darah (bar) = 50 μm

Berdasarkan pengamatan terhadap sistem vaskular baik pada otot dada


maupun pada otot paha AHS dapat dikatakan bahwa pembuluh darah arteri dan
vena tampak kosong dari darah. Ini membuktikan bahwa sebagian besar darah
telah keluar dari tubuh setelah proses pemotongan. Berbeda halnya dengan
pembuluh darah arteri dan vena yang terdapat pada AMS dan ALS, sebagian
besar rongganya dipenuhi oleh darah yang tertahan (Gambar 4). Retensi darah di
dalam sistem sirkulasi menyebabkan gambaran pembuluh vena pada AMS dan
ALS terlihat membengkak jika dibandingkan dengan pembuluh darah vena pada
AHS, sedangkan pada ayam yang disembelih secara benar memperlihatkan
pembuluh darah vena telah kosong sehingga tampak memipih (AHS bawah)
(Razali et al. 2007b).

Adanya darah yang banyak tertinggal pada pembuluh vena dan arteri yang
ditemukan pada hewan bangkai ini tidak baik bila dikonsumsi. Hal ini
dikarenakan konsumsi darah telah diteliti dapat meningkatkan risiko timbulnya
kanker. Protein-heme dalam bentuk hemoglobin (yang terdapat pada darah) lebih
cepat menuju kolon dibandingkan dalam bentuk mioglobin (Pierre et al. 2004).
Oleh karena itu, dari segi kesehatan, konsumsi daging bangkai yang selain
mengandung mikroba dalam jumlah tinggi, daging bangkai juga mengandung
darah yang dapat memicu timbulnya kanker.

Adanya darah yang tertinggal diasumsikan dapat menyebabkan daging


cepat membusuk, karena darah merupakan medium yang sangat baik bagi
pertumbuhan mikroorganisme. Pada hewan yang mengalami perlakukan yang
buruk (stres atau sakit) sebelum disembelih, dagingnya akan memiliki kadar
glikogen daging rendah dan asam laktat rendah. Kedua hal tersebut dapat
menurunkan mutu daging, terutama karena pH, keempukan, dan aroma menjadi
berkurang. Bakteri usus juga dapat memasuki jaringan daging melalui peredaran
darah, sehingga daging terkontaminasi mikroba usus yang berbahaya bagi
kesehatan konsumen (Girindra, 2008).
Titik kritis kehalalan dari bahan baku berasal dari daging ayamnya sendiri.
Bahan pangan asal ternak (daging) serta olahannya mudah rusakdan merupakan
media yang sangat baikbagi pertumbuhan mikroba. Cemaranmikroba pada pangan
asal ternak yangdapat membahayakan kesehatan manusiaadalah Coliform,
Escherichia coli,Enterococci,Staphylococcus aureus,Clostridium sp.,Salmonella
sp.,Champhylobacter sp., dan Listeria sp.(Syukur 2006). Beberapa cemaran
mikrobayang berbahaya pada produk segar antaralain adalah Salmonella
sp.,Shigella sp.,dan E. coli.(Pusat Standarisasi danAkreditasi 2004). Jumlah dan
jenis mikrobaberbahaya pada daging ayam yang dijualdi pasar tradisional cukup
mengkhawatirkan, terlebih lagi bila pemotongan ayamdilakukan di pasar
tradisional (Budi-nuryanto et al, 2000).

Kasus mengenai daging bangkai yang ditemukan di Indonesia, yakni


mengenai penjualan ayam daging bangkai atau dikenal dengan ayam tiren(mati
kemaren) di pasar tradisional. Kematian ayam dapat mencapai 10% dari kuantitas
ayam yang siap dipotong tiap harinya (Nareswari 2006). Perbedaan karakteristik
sensori karkas ayam normal dan karkas ayam bangkai (berasal dari hewan dengan
kondisi kesehatan yang buruk) disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan Kenampakan Fisik antara Ayam Normal dan Ayam


Bangkai

Karakteristik Ayam Normal Ayam Bangkai

Sebelum pemotongan Bergerak aktif, bulu Kaku, bulu kusam dan


tidak kusam mudah lepas

Sesudah pemotongan Darah keluar sempurna Darah tidak keluar


sempurna

Leher Bekas pemotongan tidak Bekas pemotongan rata


rata

Kepala Paruh dan jengger Paruh terlihat lebam,


terlihat bersih dan kering jengger merah pucat dan
basah
Karakteristik Ayam Normal Ayam Bangkai

Dada Cerah, mengkilap, tanpa Warna merah pucat,


bercak darah, kenyal terdapat bercak

Punggung Cerah, tidak ada luka Warna merah, terdapat


memar dan bercak darah memar pada kulit
pada kulit

Viscera (organ) Cerah tidak ada sisa Hati berwarna merah


darah pada hati maupun kehitaman, terdapat sisa
usus darah, usus terlihat
kebiruan

(Sumber: Bintoro et al., 2006)

Daging ayam bangkai (ayam tiren) berasal dari ayam yang telah
mengalami kematian sebelum disembelih. Kematian ini dapat diakibatkan stress
ataupun sakit. Hal ini mengakibatkan kadar glikogen rendah sehingga asam laktat
yang terbentuk menjadi berkurang. Setelah enzim tidak aktif lagi dan persediaan
glikogen habis, bakteri tetap tumbuh terus. Menurut Bintoro et al.(2006) total
mikroba pada daging ayam bangkai lebih tinggi dibandingkan ayam normal. Hasil
penelitian total mikroba pada daging ayam bangkai yang dibandingkan dengan
daging ayam segar disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Total Mikroba pada Daging Ayam Segar dan Daging
Ayam Bangkai

Sampel Rata-rata Total Standar SNI 3924:2009


Mikroba (Kol/g) (TPC) kol/g

Daging ayam segar 3,3 x 105 a


Mentah: 1,0 x 106
7b
Daging ayam bangkai 8,9 x 10

(Sumber: Bintoro et al., 2006)

Ketarangan: huruf abpada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (p < 0.01)
b. Minyak Goreng

Minyak yang digunakan dalam proses penggorengan umumnya akan


mengalami tiga jenis reaksi kimia, yaitu hidrolisis, oksidasi, dan polimerisasi,
sehingga akan menghasilkan senyawa-senyawa volatil dan nonvolatil. Sebagian
besar dari senyawa volatil akan menguap di atmosfer, sedangkan senyawa non-
volatil akan mengalami reaksi kimia lanjutan atau terserap ke dalam pangan.
Senyawa nonvolatil yang dihasilkan akan mempengaruhi karakteristik fisik dan
kimia dari bahan pangan maupun minyak itu sendiri. Senyawa nonvolatil juga
akan mempengaruhi kualitas dan stabilitas rasa serta tekstur dari pangan yang
digoreng selama proses penyimpanan (Choe dan Min, 2007).
Tabel 4. CCP Plan Proses

Alasan
Tahap Proses Jenis Bahaya Justifikasi Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Keputusan

Penerimaan Fisik : debu, Prosedur penerimaan Ya Tidak - - CP Karena bahaya di


bahan baku rambut, yang sedikit kurang proses ini memiliki
serangga sesuai dengan standar tindakan
Kimia : residu hygiene dan sanitasi pencegahan serta
antibiotik, Proses penerimaan bahaya tidak dapat
residu asap dilakukan pada meningkat.
kendaraan tempat yang kurang
Biologi : tertutup
Salmonella, Suhu penerimaan
Clostridium yang kurang sesuai
perfringens, dengan standar suhu
E.coli yang telah ditetapkan
O157:H7, Kontaminasi yang
Arcobacter sp., sudah terjadi sejak
Listeria berada pada pihak
Alasan
Tahap Proses Jenis Bahaya Justifikasi Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Keputusan
monocytogenes, pemasok

Campylobacter
sp.

Penyimpanan Biologi : Fluktuasi suhu chiller Tidak Tidak - - Non Karena bahaya di
di chiller atau Salmonella, dan freezer CCP proses ini memiliki
freezer E.coli Perilaku pekerja yang tindakan
O157:H7, terkadang sedikit pencegahan serta
Listeria kurang sesuai dengan bahaya tidak dapat
monocytogenes standar hygiene dan meningkat.
sanitasi pada saat
melakukan
penyimpanan ke
dalam chiller dan
freezer

Dress-up Fisik : rambut, Dilakukan pada Ya Tidak Tidak - Non Karena bahaya di
serangga, debu tempat yang kurang CCP proses ini memiliki
Alasan
Tahap Proses Jenis Bahaya Justifikasi Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Keputusan
Biologi : tertutup tindakan
E.coli Kondisi fisik pekerja pencegahan serta
O157:H7, terkadang kurang bahaya tidak dapat
Arcobacter sp., prima sehingga meningkat.
Salmonella, berpotensi melakukan
Clostridium kegiatan yang kurang
perfringens, sesuai dengan standar
Listeria hygiene dan sanitasi
monocytogenes,

Campylobacter
sp.

Marinating Fisik : rambut, Dilakukan pada Ya Tidak Tidak - Non Karena bahaya di
serangga, debu tempat yang kurang CCP proses ini memiliki
Biologi : tertutup tindakan
E.coli Kondisi fisik pekerja pencegahan serta
O157:H7, terkadang kurang bahaya tidak dapat
Alasan
Tahap Proses Jenis Bahaya Justifikasi Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Keputusan
Arcobacter sp., prima sehingga meningkat.
Salmonella, berpotensi melakukan
Clostridium kegiatan yang kurang
perfringens, sesuai dengan standar
Listeria hygiene dan sanitasi
monocytogenes,

Campylobacter
sp.

Repacking Fisik : rambut, Dilakukan pada Ya Tidak Tidak - Non Karena bahaya di
serangga, debu tempat yang kurang CCP proses ini memiliki
Biologi : tertutup tindakan
E.coli Kondisi fisik pekerja pencegahan serta
O157:H7, terkadang kurang bahaya tidak dapat
Arcobacter sp., prima sehingga meningkat.
Salmonella, berpotensi melakukan
Clostridium kegiatan yang kurang
Alasan
Tahap Proses Jenis Bahaya Justifikasi Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Keputusan
perfringens, sesuai dengan standar
Listeria hygiene dan sanitasi
monocytogenes,

Campylobacter
sp.

Penyimpanan Biologi : Fluktuasi suhu chiller Tidak Tidak - - Non Karena bahaya di
di chiller E.coli Perilaku pekerja yang CCP proses ini memiliki
O157:H7, terkadang sedikit tindakan
Listeria kurang sesuai dengan pencegahan serta
monocytogenes standar hygiene dan bahaya tidak dapat
sanitasi pada saat meningkat.
melakukan
penyimpanan ke
dalam chiller
Alasan
Tahap Proses Jenis Bahaya Justifikasi Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Keputusan

Breading dan Fisik : rambut, Dilakukan di tempat Ya Tidak Tidak Non Karena bahaya di
penyusunan serangga, debu yang kurang tertutup CCP proses ini memiliki
Kimia : residu Perilaku pekerja yang tindakan
klorin terkadang sedikit pencegahan serta
Biologi : kurang sesuai dengan bahaya tidak dapat
E.coli standar hygiene dan meningkat.
O157:H7, sanitasi pada saat
Listeria melakukan proses

monocytogenes breading

Pekerja terkadang
kurang bijaksana
dalam mengelola sisa
tepung hasil proses
breading

Penggorengan Kimia : Sering terjadi over Ya Ya - - CCP Karena bahaya di


heterocyclic cooking capacity proses ini memiliki
Alasan
Tahap Proses Jenis Bahaya Justifikasi Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP/CP
Keputusan
amines, tindakan
acrylamide, pencegahan, tetapi

senyawa hasil proses tidak

reaksi oksidasi dirancang untuk


mengurangi
bahaya serta
bahaya dapat
meningkat.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2018)


2.3.2 Proses Pengolahan

a. Penggorengan (Deep-Fat Frying)

Titik kritis kehalalan dari prosesnya berasal dari penggorengan. Proses


penggorengan umumnya hanya berlangsung pada waktu singkat, sebab selama
penggorengan, perubahan pada bahan pangan sangat cepat terjadi akibat suhu
penggorengan yang tinggi. Proses penggorengan bersifat efisien, sebab energi panas
yang diberikan tidak banyak terbuang selama proses penggorengan, dan media pindah
panas (minyak goreng) juga dapat dipakai kembali (Fellows, 2000).

Deep-fat frying adalah salah satu metode penyajian makanan yang terkenal di
dunia. Metode deep-fat fryingadalah salah satu metode penggorengan yang dilakukan
dengan menggunakan minyak goreng dalam jumlah banyak sehingga bahan pangan
yang digoreng akan terendam seluruhnya di dalam minyak goreng. Proses
perpindahan panas dan massa yang terjadi pada metode penggorengan deep-fat frying
merupakan kombinasi antara proses perpindahan panas secara konveksi melalui
media pindah panas minyak goreng dan proses perpindahan panas secara konduksi
melalui bagian dalam bahan pangan yang terjadi secara simultan (Muchtadi, 2008;
Lui-ping et al, 2005).

Proses penggorengan dengan metode deep-fat frying akan menyebabkan


terjadinya beberapa hal, antara lain pembentukan komponen rasa (flavor), perubahan
warna dan tekstur, serta perubahan kualitas nutrisi pada pangan yang digoreng (Choe
dan Min, 2007). Metode deep-fat frying memungkinkan bahan pangan memperoleh
panas secara lebih merata selama proses penggorengan, sehingga akan menghasilkan
hasil gorengan yang masak secara merata dengan warna dan penampakan yang
seragam. Metode deep-fat frying sering digunakan untuk menciptakan rasa dan
tekstur yang unik dalam proses pengolahan pangan (Patterson et al., 2004). Metode
deep-fat frying merupakan metode yang sesuai untuk digunakan dalam proses
penggorengan berbagai jenis bahan pangan, akan tetapi, bahan pangan yang memiliki
bentuk yang tidak merata akan cenderung memerangkap minyak dalam jumlah yang
lebih banyak pada saat produk pangan tersebut diangkat dari penggorengan (Fellows,
2000).

Reaksi Oksidasi Selama Proses Penggorengan

Proses penggorengan umumnya dilakukan secara terbuka pada tekanan


atmosfer. Proses penggorengan yang dilakukan pada keadaan terbuka memungkinkan
terjadinya kontak antara permukaan minyak goreng dengan oksigen. Minyak yang
mengalami kontak dengan oksigen pada saat proses penggorengan akan mengalami
reaksi oksidasi sehingga terjadi penurunan kualitas. Lapisan minyak yang terpapar
langsung oleh oksigen adalah bagian yang paling rentan mengalami reaksi oksidasi.
Reaksi oksidasi antara minyak dan oksigen terjadi dalam tiga tahap, yaitu inisiasi
(initiation), perambatan (propagation), pembentukan cabang (branching), dan
penghentian (termination). Tahap inisiasi pada reaksi oksidasi diawali dengan
terjadinya pelepasan hidrogen dari asam lemak tidak jenuh secara homolitik sehingga
terbentuk radikal alkil karena adanya inisiator (panas, oksigen aktif, logam, dan
cahaya). Radikal alkil kemudian bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi
(propagation) yang selanjutnya akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh
membentuk hidroproksida dan radikal alkil. Radikal alkil yang baru kemudian akan
bereaksi dengan oksigen. Hidroperoksida asam lemak tak jenuh yang terbentuk dari
reaksi oksidasi sangat tidak stabil dan mudah mengalami pemecahan (dekomposisi)
menjadi berbagai senyawa flavor dan produk nonvolatil (branching). Dekomposisi
hidroperoksida akan menyebabkan terjadinya pemutusan gugus -OOH sehingga
terbentuk radikal alkoksi dan radikal hidroksi. Radikal alkoksi kemudian mengalami
pemutusan beta pada rantai C-C sehingga terbentuk aldehid dan radikal alkil
(termination). Berbagai senyawa hasil proses degradasi lipida, yaitu hidrokarbon,
aldehid, keton, asam karboksilat, alkohol, dan heterosiklik. Oksidasi lipida akan
membentuk suatu radikal bebas yang bersifat karsinogen. Selain reaksi oksidasi,
reaksi hidrolisis dan hidrogenasi pada minyak juga dapat menurunkan kualitas
minyak (Wasowicz et al., 2004).
Potensi Cemaran Kimia pada Proses Pengolahan Pangan

Proses pengolahan pangan pasti melibatkan berbagai reaksi kimia. Reaksi


kimia yang terjadi pada saat proses pengolahan dapat menghasilkan senyawa kimia
yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Sebagian besar senyawa kimia yang
tidak diinginkan memiliki tingkat toksisitas yang tinggi. Jumlah keseluruhan senyawa
kimia toksik belum diketahui secara pasti, akan tetapi beberapa diantaranya telah
teridentifikasi. Polycyclicaromatic hydrocarbons (PAH), heterocyclic amines,
nitrosoamines, oxidised sterols, oxidised triacylglycerols, 3-monochloropropane-
1,2diol (3-MCPD) adalah contoh senyawa-senyawa kimia toksik yang dihasilkan
selama proses pengolahan pangan. Acrylamide juga termasuk dalam kelompok
senyawa kimia toksik, akan tetapi belum teridentifikasi secara sempurna (Luning et
al., 2006; Svejkovska et al., 2006).

Senyawa 3-monochloropropane-1,2-diol atau 3-MCPD dikenal sebagai


senyawa kimia yang terbentuk dari proses pengolahan bahan pangan kaya akan
acylglycerols, gliserol, dan natrium klorida pada suhu tinggi, yaitu 100 – 230 oC.
Daging dan serealia adalah dua contoh bahan pangan yang kaya akan lemak.
Pembentukan senyawa 3-MCPD umumnya terjadi pada proses pengolahan pangan
seperti pemanggangan, penggorengan, maupun pembakaran. Senyawa 3-MCPD
terkait erat dengan peristiwa karsinogenesis (Svejkovska et al., 2006).

Proses pengolahan pangan kaya protein hewani pada kondisi normal dapat
memicu terbentuknya senyawa mutagenik yang dikenal sebagai heterocyclic amines.
Sekarang ini, sekitar dua puluh jenis senyawa heterocyclic amines telah teridentifikasi
dengan baik. Beberapa senyawa heterocyclic amines juga telah terbukti bersifat
karsinogenik melalui studi genetik jangka panjang. Dua jenis senyawa heterocyclic
amines yang paling banyak ditemukan adalah 2-amino-3,8dimethylimidazo[4,5-
f]quinoxaline yang merupakan senyawa imidazoquinoline (IQ) dan 2-amino-1-metil-
6-imidazo[4,5b]piridin yang juga dikenal sebagai senyawa imidazoquinoxaline.
Imidazoquinoxaline atau PhIP umumnya diproduksi pada jumlah yang lebih tinggi
(480 ng/g) dibandingkan imidazoquinoline atau MelQx (50 ng/g). Reaksi Maillard
dianggap memiliki kaitan erat dengan produksi senyawa imidazoquinoline (IQ).
Produk samping hasil reaksi Maillard yang dikenal sebagai degradasi Strecker, seperti
pyrazines dan pyridines, diperkirakan bereaksi dengan senyawa karbonil dan amino
sehingga membentuk senyawa heterocyclic amines. Produksi senyawa heterocyclic
amines dapat dihambat melalui penambahan senyawa-senyawa aditif, seperti asam
sulfit, nitrit atau asam sitrat. Produk pangan yang dimasak umumnya mengandung
senyawa heterocyclic amines dalam jumlah yang sangat rendah dan bahkan tidak
terdeteksi (Luning et al., 2006).

Senyawa acrylamide, meskipun belum lama ditemukan, dinilai memiliki


kaitan yang sangat erat dengan senyawa heterocyclic amines. Kehadiran senyawa
acrylamide dalam produk pangan juga dinilai sebagai hasil dari reaksi Maillard.
Sedikit berbeda dengan heterocyclic amines, senyawa acrylamide umumnya banyak
diproduksi pada produk pangan yang kaya akan karbohidrat, seperti kentang dan
serealia. Selain faktor endogen, proses pengolahan juga berperan dalam pembentukan
senyawa acrylamide, seperti pemasakan, pemanggangan, dan penggorengan. Proses
pengolahan pangan dengan perebusan dinilai akan menghasilkan senyawa acrylamide
yang lebih rendah, karena air dapat menghambat pembentukan senyawa acrylamide.
Proses penggorengan dan pemanggangan dinilai akan menghasilkan senyawa
acrylamide dalam jumlah yang cukup besar (Luning et al., 2006).
2.4. Tindakan Penanganan Titik Kritis terhadap Kehalalan Ayam Siap Saji

Salah satu agar tindakan penanganan titik kritis terhadap kehalalan ayam siap
saji terlaksana adalah dengan diterapkannya sistem jaminan halal. Menurut LPPOM
MUI (2005) bahwa pada dasarnya, sistem jaminan halal merupakan bagian dari
kebijakan perusahaan yang disusun dalam suatu dokumen tertulis yang terpisah dari
dokumen sistem manajemen mutu lainnya. Adanya sistem jaminan halal
menunjukkan bahwa pihak pimpinan perusahaan memiliki niat dan kesungguhan
dalam memproduksi produk yang halal dan memungkinkan adanya tindakan preventif
terhadap kemungkinan bahaya ketidakhalalan terhadap produk, serta adanya tindakan
kontrol dalam menghasilkan produk halal.

Dalam pelaksanaannya, sistem jaminan halal didokumentasikan dalam bentuk


manual halal yang berisi uraian sistem jaminan halal yang dijalankan produsen, serta
berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan
produk yang dihasilkan. Setidaknya ada lima komponen dalam sistem jaminan halal,
yaitu: 1) Standardisasi manajemen halal dan sistem halal ; 2) Standardisasi audit
sistem halal; 3) Haram analysis critical control point; 4) Panduan halal; 5) Adanya
data base halal (Apriyantono, 2001).

Ada tiga konsep dalam menghasilkan sistem jaminan halal yang ideal yaitu:
1) Zero limit, artinya tidak boleh ada sama sekali bahan haram, najis dan kotoran di
dalam bahan mentah, bahan tambahan dan produk pada semua rangkaian produksi; 2)
Zero defect, artinya tidak boleh ada sama sekali produk haram yang dihasilkan,
mengingat risiko besar yang ditanggung perusahaan apabila ada klaim produknya
haram dan ternyata benar; 3) Zero risk, dengan diterapkannya dua prinsip
sebelumnya, maka tidak ada risiko buruk yang akan ditanggung perusahaan
(Apriyantono, 2001).

Dalam pelaksanaan sistem jaminan halal, akan terbentuk suatu siklus


kerangka kerja yang harus dipantau terus menerus dan dilakukan pengkajian secara
periodik untuk memberikan arahan dan masukan yang efektif bagi pelaksanaan
proses produksi halal. Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya peluang perubahan,
baik secara internal maupun eksternal. Menurut LPPOM MUI (2005) bahwa siklus
sistem jaminan halal dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Siklus Sistem Jaminan Halal


(Sumber: LLPOM MUI, 2005)

Selain itu, dilakukan sertifikasi halal pada produk ayam siap saji. Sertifikasi
halal merupakan pemeriksaan yang rinci terhadap kehalalan produk, yang selanjutnya
diputuskan kehalalannya dalam bentuk fatwa MUI (Marina, 2003). Sertifikasi halal
perlu dilakukan untuk membuktikan kebenaran klaim halal pihak produsen yang
biasanya dilakukan dengan pencantuman label halal pada kemasan produknya.
Dengan perkembangan teknologi pengolahan pangan yang ada, pemeriksaan
kehalalan suatu produk pangan tidak bisa dilakukan sembarangan, perlu keahlian
dalam bidang rekayasa proses, penentuan asal-usul bahan serta pemahaman hukum
Islam yang mendalam. Di Indonesia sendiri sertifikasi halal dilakukan oleh LPPOM
MUI yang memang paling memenuhi kriteria sebagai lembaga pemeriksa kehalalan.
Prosedur sertifikasi halal di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Prosedur Sertifikasi Halal
(Sumber: LPPOM MUI, 2005)

2.4.1 Bahan Baku

a. Daging Ayam

Salah satu cara penanganan agar kehalalan daging ayam tetap terjamin adalah
dengan cara menyembelih. Metode penyembelihan yang diatur oleh syariat islam
terbukti memberikan hasil yang terbaik. Penyembelihan dalam Islam mengharuskan
hewan dalam keadaan hidup dan tidak disiksa. Menurut Warris (2000) diacu dalam
Adzitey dan Nurul (2011) bahwa hewan yang mengalami penanganan yang kasar
sebelum penyembelihan akan tampak memar, bercak darah, cacat kulit dan patah
tulang pada karkasnya. Adanya bercak darah mengakibatkan penampakan daging
yang kurang baik dan dapat menjadi salah satu celah bagi mikroorganisme untuk
tumbuh. Selain itu, dari segi keamanan batin, proses penyembelihan yang sempurna
akan menghasilkan daging yang halal. Sedangkan, dari segi mutu daging,
pengeluaran darah secara tuntas dapat menghasilkan daging yang bermutu baik, tidak
mudah rusak dan tidak mudah busuk.

Teknik penyembelihan ayam yang dilakukan adalah sebagai berikut: sebelum


melakukan proses berikutnya ayam harus benar-benar mati selama 2 menit. Menurut
Wahab (2004) dalam Yana et al., (2017) bahwa penyembelih adalah seorang muslim
yang mengerti dasar dan kondisi yang berhubungan dengan penyembelihan, cara
penyembelihan dengan mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim” hal ini sesuai
dengan Al-Qur’an bahwa “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang
tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya” (QS. Al An’am:121). Cara
penyembelihan hewan yaitu disembelih pada bagian leher dengan memotong bagian
tubuh yaitu trakea, esofagus, dan pembuluh darah. Hal ini merupakan aspek fisik
yang berperan penting dalam penyembelihan. Hewan yang dihalalkan sekalipun, tetap
tidak dapat dimakan kecuali dengan pemotongan halal, hal yang paling penting
adalah bertujuan untuk mematikan hewan tersebut dapat dimakan dengan cara yang
baik (Sayyid, 1987 dalam Yana et al., 2017). Sempurnanya suatu penyembelih adalah
dengan memutuskan tiga saluran yaitu esophagus, trakea dan pembuluh darah.
Penyembelihan dianggap sah bila sudah memutuskan kerongkongan dan
tenggorokan. (Syafi’Iet al, 2005 dalam Yana et al., 2017).

Ayam yang akan dipotong atau disembelih terlebih dahulu diperiksa


kesehatannya oleh petugas kesehatan dan diistirahatkan terlebih dahulu. Sebelum
dipotong, ayam diistirahatkan selama 12-24 jam. Pengistirahatan dimaksudkan agar
ayam tidak mengalami stress, darah dapat keluar sebanyak mungkin saat dipotong,
dan cukup energi. Kemudian ayam dipotong dibagian leher dengan posisi menghadap
kiblat sebagaimana dianjurkan oleh agama islam bahwa hewan yang akan disembelih
harus menghadap kiblat, membaca Bismillah dan memotong saluran pernafasan,
pencernaan, dan urat syaraf sekaligus. Soeparno, (2004); Abubakar, et al. (2000) dan
soekarto (2007), menyatakan bahwa teknik penyembelihan ayam yang baik yaitu
dengan cara memotong arteri carotis, vena jugularis, dan oesofagus sehingga darah
keluar secara keseluruhan dan berlangsung sekitar 60-120 detik (tergantung besar
kecilnya ternak) yang berdampak terhadap kebersihan dan kesehatan karkas ayam.

Pada tahap penyembelihan, pekerja yang bertugas adalah 2 orang yang


merupakan seorang muslim. Tiap pekerja mempunyai fungsi yang berbeda yaitu,
untuk restrain dan penyembelihan. Penyembelihan ayam menggunakan pisau yang
terbuat dari bahan stainless steel. Sedangkan pada proses pengeluaran darah, ayam
tidak digantung dengan posisi kepala di bagian bawah. Ayam yang telah disembelih
ditempatkan didalam wadah tempat pemotongan ayam agar tidak melompat keluar
dan ditunggu selama 3-5 menit. Proses pemingsanan dilakukan agar ayam terbebas
dari rasa takut dan stress (Duncan dan Fraser, 1997 dalam Yana et al., 2017).

Penirisan darah merupakan salah satu tahap dari beberapa tahapan proses
pemotongan ayam. Penyembelihan dan penirisan darah merupakan tahapan yang
kritis dalam pemotongan ayam jika dikaitkan dengan kesempurnaan pengeluaran
darah (Wulandari et al., 2008 dan Razali et al., 2007). Pada proses pemotongan ini,
hal yang sangat memeengaruhi adalah peralatan, lingkungan dan pengeluaran darah
ayam dengan sempurna. (Murtidjo, 2003). Selain itu, menurut Girindra (2008) bahwa
ada banyak faktor yang mempengaruhi keluarnya darah, diantaranya, kondisi
kesehatan hewan, pemingsanan, dan penyembelihan (semakin lama jarak jarak antara
pemingsanan dan penyembelihan maka semakin sedikit darah yang keluar),
kerusakan medulla oblongata (otak) dan tidak cukupnya energi kontraksi dari otot
(berdasarkan kandungan glikogen).

Pembahasan yang dilakukan dalam mengidentikasi hikmah keharaman daging


bangkai adalah dilihat dari dampak yang ditimbulkan pada daging yang berasal dari
hewan mati dengan penyebab tertentu (stres dan penyakit). Landasan dasar hipotesis
ini dikarenakan menurut Girindra (2005), yakni sebelum hewan disembelih harus
diistirahatkan dan tidak boleh dibunuh secara kejam. Hewan yang cukup istirahat
sebelum disembelih memberikan daging yang enak, tahan lama dalam penyimpanan
dan mudah diproses lebih lanjut.

b. Minyak Goreng
Cara penangan terhadap titik kritis kehalalan bahan baku selanjutnya adalah
pada minyak goreng. Minyak goreang adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat
Indonesia. Sebagian masyarakat menggunakan minyak goreng hanya untuk sekali
pakai, ada juga yang menggunakan minyak goreng untuk berkali-berkali, bahka
mencampurkan minyak goerang nabati maupun hewani dengan menggunakan lemak
babi. Oleh karena itu, perlu adanya metode untuk mendeteksi mutu minyak goreng
dan tingkat kehalalannya.

aspek seperti batas kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida, warna, bau
dan sebagainya (SNI-7709, 2012 dan SNI-3741, 2013). Variasi parameter mutu
minyak tersebut diukur menggunakan berbagai macam metode dan perangkat alat
standar. Untuk mengeliminasi banyaknya parameter standar, para peneliti saat ini
cenderung hanya memfokuskan pada dua variabel yang paling penting yaitu, asam
lemak bebas (ALB) dan bilangan peroksida (PV). Dua parameter itu dapat diukur
dengan metode konvensional yakni titrasi.

Namun seiring dengan perlunya informasi yang cepat, perkembangan


instrumen atau metode pengukuran juga mengalami peningkatan seperti penggunaan
FTIR, NMR, DigitalScanning Calorimeter dan sebagainya. Banyaknya varisi metode
untuk uji mutu standar tersebut memiliki beberapa kelemahan, di antaranya adalah
peralatan yang digunakan sebagian sangat mahal, beberapa menggunakan perlakuan
awal sehingga kurang praktis, dan waktu pengujian yang cukup lama (Firdausi et al.,
2012). Ide baru untuk menggabungkan beberapa parameter mutu dalam satu variabel
telah diteliti melalui sifat elektrooptis minyak goreng (Firdausi et al., 2012 dan
Firdausi et al., 2013). Meskipun tidak secara eksplisit semua variabel terkait
langsung, setidaknya sifat elektrooptis menggabungkan hampir semua komponen
yang disinyalir penyebab terjadinya degradasi mutu minyak. Penurunan kualitas
minyak akibat pemanasan, kenaikan suhu, perulangan pemakaian, dan juga
kadaluarsa dapat dibedakan dengan mudah menggunakan sifat elektrooptis melalui
nilai perubahan sudut polarisasi yang besar akibat sampel yang terimbas medan listrik
luar. Namun metode elektrooptis memerlukan medan listrik dari catu daya tegangan
tinggi yang, bagi kalangan tertentu, dinilai tidak praktis.

Ide untuk membuat metode elektrooptis menjadi lebih sederhana adalah


dengan meniadakan medan listrik eksternal, sehingga cahaya praktis hanya
terpolarisasi alami oleh minyak goreng. Pada studi awal (Firdausi et al., 2013) nilai
perubahan polarisasi alami memungkinkan menjadi indikator mutu awal minyak
goreng. Seperti yang telah diketahui bahwa polarisasi alami (sifat optis aktif alami)
juga dijumpai pada minyak goreng sebagai akibat keberadaan molekul trigliserida
yang asimetri (Morris, 1965). Namun perubahan sudut polarisasi ini relatif kecil dan
sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagai parameter uji minyak.

2.4.2 Proses Pengolahan


a. Penggorengan
Pemanasan minyak terputus (dipanaskan-didinginkandipanaskan) selama
beberapa hari menyebabkan destruksi makin cepat dan mengalami dekomposisi, bila
kemudian didinginkan (malam hari) akan menyebabkan dekomposisi pada saat
minyak dipanaskan kembali. Minyak goreng yang digunakan lebih dari 4 (empat) kali
pemanasan akan mengalami oksidasi (reaksi dengan udara) yang ditandai dengan
terbentuknya peroksida (Ananta, 1991).
Umumnya kerusakan oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh (memiliki
ikatan rangkap), tetapi bila minyak dipanaskan suhu 100 oC atau lebih, asam lemak
jenuhpun dapat teroksidasi. Proses menggoreng pada suhu 200 oC lebih memudahkan
kerusakan berupa reaksi oksidasi terutama pada minyak dengan derajat
ketidakjenuhan tinggi (Stender dan Jorn, 2003). Ketaren menyebutkan bahwa
kerusakan minyak diakibatkan oleh proses penggorengan pada suhu tinggi (200-250
o
C) (Ketaren, 1986)
Penelitian yang dilakukan oleh Ananta menyebutkan bahwa semua asam
lemak esensial mudah rusak oleh reaksi oksidasi dan pemanasan (Joeliani, 1996).
Pada suhu tinggi, asam linoleat dapat mengalami polimerisasi serta terbentuk asam
lemak rantai pendek (Jacobson, 1967). Kerusakan minyak setelah proses deep frying
tergantung dari jenis minyak, mutu minyak goreng segar serta perlakuan terhadap
minyak ulangan. Minyak yang telah rusak tidak hanya memberikan efek negatif bagi
gizi dan kesehatan tetapi juga berdampak pada tekstur dan rasa makanan yang
dihasilkan (Khomsan, 2003).
Cara penanganan terhadap titik kritis kehalalan penggorengan ayam siap saji
dengan menggunakan deep fat frying dimana jika dilihat dari awal terbentuknya asam
lemak trans, sebaiknya proses menggoreng dilakukan dengan api sedang (<200 OC)
dan minyak goreng yang digunakan sebaiknya tidak melebihi 2 (dua) kali
pengulangan (Sartika, 2009).
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas mengenai identifikasi kehalalan dari produk


daging ayam siap saji, dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut ;

1. Titikkritis kehalalan dari bahan baku berasal dari daging ayamnya sendiri,
minyak goreng dan penggorengan,
2. Tigakonsepdalam menghasilkan system jaminan halal yang ideal yaitu: zero
limit, zero defect, dan zero risk.
3. Teknik penyembelihan harus benar – benar mati selama 2 menit. Menurut
ajaran islam penyembelihan harus mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”
ha lini sesuai dengan Al-Qur’an bahwa “Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidakdisebut nama Allah ketika menyembelihnya”
(QS. Al An’am:121).
4. Adanya metode untuk mendeteksi mutu minyak goreng, mengetahui
kandungan minyak goreng yang digunakan halal atau tidak.
5. Cara penanganan terhadap titikkritis kehalalan penggorengan ayam siap saji
dengan menggunakan deep fat frying dimana jika dilihat dari awal
terbentuknya asam lemak trans, sebaiknya proses menggoreng dilakukan
dengan api sedang (< 200 OC) dan minyak goreng yang digunakan sebaiknya
tidak melebihi 2 (dua) kali pengulangan.
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar. Triyantini, H. Sentiyanto, Supriyati, SugiartodanM.Wahyudi. 2000.


Survey PotensiKetersedianBuluAyam. Cara
PengolahandanPemotonganTernakAyam di RPA: LaporanPenelitian
.BalaiPenelitian Ternak.30:33.

Adzitey, F. danNurul H. 2011. Pale Soft Exudative and Dark Firm Dry Meats:
Causes and Measures to Reduce these Incidences–a Mini
Review.J.International Food Research: 18, 11-20.

C.M. Ananta. 1991. SkripsiSarjana, FakultasTeknologiPertanian, InstitutPertanian


Bogor. Bogor.

Apriyantono, A., 2001. Halal Assurance System. Makalahpada Seminar


InternasionalProduk Halal, 1 Maret 2001. Jakarta.

BadanStandarisasi Nasional. 2012. SNI-7709, 2012, MinyakGorengSawit,


BadanStandardisasi Nasional. Jakarta

BadanStandarisasi Nasional. 2013. SNI-3741, 2013. MinyakGoreng,


BadanStandardisasi Nasional. Jakarta.

Firdausi, K.S., A.I Susan. dan K. Triyana 2012. An Improvement of New Test Method
for Determination of Frying Oil Quality Based on Electrooptics Parameter,
BerkalaFisika ISSN:1410-9662, Juli, Vol. 15, No. 3, hal 77 – 86.

Firdausi, K.S., H. Sugito., R. Amitasari, dan S. Murni, 2013,


MetodeElektrooptissebagaiPendeteksiRadikalBebasdanProspekuntukEvaluasi
Total MutuMinyakGoreng, Indonesian Journal of Applied Physics ISSN:
2089-0133, April, Vol.3 No. 1 hal 72-78.

Firdausi, K.S., Suryono.,Priyono., R. Amitasari., dan S. Murni. 2013.


EvaluasiDegradasiMutuMinyakGorengKemasanBerdasarkanPolarisasiCahaya
denganVariasiSuhuSampel, Prosiding Seminar Nasional Fisika, ISBN: 978-
979-028-528-6, UNESA Surabaya, 26 Januari, pp. 56–59.
Girindra, A. 2005. LPPOM MUI PengukirSejarahSertifikasi Halal. LPPOM MUI.
Bogor.

Jacobson, G.A. 1967. Quality Control of Commercial Deep Fat Frying. Chemistry &
Technology of Deep Fat Frying, Food Technology Symposium, p.42-48.
Joeliani, L.D. 1996. SkripsiSarjana, FakultasTeknologiPertanian. InstitutPertanian
Bogor. Bogor.

Khomsan, A. 2003. PangandanGiziuntukKesehatan. PT Raja GrafindoPersada,


Jakarta. p. 47-53.

Ketaren, S. 1986. PengantarTeknologiMinyakdanLemakPangan, PenerbitUniversitas


Indonesia. Jakarta. p.61-143.

LembagaPengkajianPangan, Obat-obatandanKosmetika, 2005.


PanduanPenyusunanSistemJaminan Halal. LembagaPengkajianPangan,
ObatobatandanKosmetikaMajelisUlama Indonesia. Jakarta.

Marina, S.J. 2003. SurveiImplementasiSistemSertifikasidanLabelisasi Halal di


Indonesia. Skripsi. DepartemenIlmudanTeknologiPangan,
FakultasTeknologiPangan, InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Morris, L.J. 1965. The Detection of Optical Activity in Natural Assymetric


Triglycerides, Biochemical and Biophysical Research Communication. 20(3):
340-345.

Razali., Denny. W.I., Srihadi, A., danMirnawati. B.S. 2007.


Pengujiandagingayambangkaiditinjaudaribeberapa parameter nilaibiologis.
Jurnal forum Pascasarjana, IPB. Bogor.

Sartika, R.A.D. 2009. PengaruhSuhudan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying)


terhadapPembentukanAsamLemak Trans. Makara, Sains. 13(1): 23-28.

Soekarto, S.T. 2007. Komunikasilangsungtentang proses pemotonganayam yang


benar. Fateta IPB. Bogor.
Soeparno. 2004. IlmudanTenologidaging. GadjahMada University Press.
Yogyakarta.

Stender, S., D. Jorn. 2003. The Influence of Trans Fatty Acids on Health, A Report
From The Danish Nutrition Council. 4th ed., The Danish Nutrition.

Wulandari, W.A.,E. WiwitdanGunawan. 2008. Pengembangankonsep model system


halal produkdagingayamprodukdagingayam di RumahPotongAyam.
Prosidding, Lokakarya Nasional KeamananPanganProdukPeternakan. Bogor.

Yana, O., Razali. dan M. Jalaluddin, 2017.


PenilaianPemotonganAyamDitinjaudariAspekFisikdanEstetika di RPU
Peunayong Kota Banda Aceh. JIMVET. 1(2): 218-225.

Anda mungkin juga menyukai