Kehidupan bangsa arab sebelum datangnya islam disebut dengan istilah bangsa
jahiliyah, karena mereka belum mengenal peradaban. Dalam kehidupannya, mereka
bersifat fanatisme, baik dalam hal keyakinan maupun kebudayaan.1
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang
dibenarkan oleh syara'. perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[1216] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi
sesudah datangnya Islam.
[1217] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah s.a.w.
1
Hamka, Sejarah Umat Islam, pustaka nasional PteLtd, Singapura, 2005 hlm.24
berada dalam lingkungan miskin pengetahuan. Situasi yang penuh dengan kegelapan dan
kebodohan tersebut, mengakibatkan mereka sesat jalan, tidak menemukan nilai-nilai
kemanusiaan, membunuh anak dengan dalih kemuliaan, memusnahkan kekayaan dengan
perjudian, membangkitkan peperangan dengan alasan harga diri dan kepahlawanan.
Suasana semacam ini terus berlangsung hingga datang Islam di tengah-tengah mereka.
Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah
Yaman yang terkenal subur. Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tengah
Jazirah Arab, bengisnya alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang
merupakan faktor-faktor penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta
adanya tatanan politik yang benar. Mereka tidak mungkin menetap. Mereka hanya bisa
loyal ke kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik
di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.2
Sementara menurut Nicholson, tidak terbentuknya Negara dalam struktur
masyarakat Arab pra Islam, disebabkan karena konstitusi kesukuan tidak tertulis. Sehingga
pemimpin tidak mempunyai hak memerintah dan menjatuhkan hukuman pada
anggotanya.3
Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem
keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang
banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan
keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari
orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak,
terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada
masa itu, hingga kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang
sedang bersaing mencari simpati.4
Model organisasi politik bangsa Arab lebih didominasi kesukuan (model kabilah).
Kepala sukunya disebut Shaikh, yakni seorang pemimpin yang dipilih antara sesama
anggota. Shaikh dipilih dari suku yang lebih tua, biasanya dari anggota yang masih
2
‘Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr al-Islam, 2007, Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah al-
‘Arabīyah, hal. 41.
3
R.A Nicholson, A Literary History of The Arabs, 1997, Cambridge: Cambridge University Press, hal. 83.
4
Sulasman & Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa , 2013, Bandung : Pustaka Setia, hal. 23
memiliki hubungan famili. Fungsi pemerintahan Shaikh ini lebih banyak bersifat penengah
(arbitrasi) daripada memberi komando. Shaikh tidak berwenang memaksa, serta tidak dapat
membebankan tugas-tugas atau mengenakan hukuman-hukuman. Hak dan kewajiban
hanya melekat pada warga suku secara individual, serta tidak mengikat pada warga suku
lain.5
a. Kabilah kabilah Badui (Pedalaman)
Orang badui hidup dalam kabilah kecil yang terpencar didusun-dusun. Kesatuan
kabilah itu diikat oleh ikatan darah dan fanatisme. Sangat sulit membangun ikatan
diantara sejumlah besar kabilah itu untuk membangun sebuah kerajaan, karena adanya
tradisi pembangkangan ditengah-tengah mereka dan ketidak tundukan kabilah yang
satu dengan kabilah yang lainnya.6
b. Kerajaan-kerajaan di Perkotaan
Kerajaan-kerajaan arab dipusat perkotaan terpusat pada tiga kawasan yaitu yaman,
wilayah utara dan hijaz.
1. Kerajaan-kerajaan diyaman :
- Kerajaan ma’in dan kerajaan Qatban (1200SM-700SM)
Kerajaan Ma’in dan Kerajaan Qatban hidup di satu zaman. Keduanya adalah
kerajaan paling awal di Yaman. Namun, sejarah tentang kedua kerajaan itu
sangatlah sedikit.
- Kerajaan Saba’ (955 SM-155 M)
Kerajaan Saba’ ini berdiri setelah runtuhnya kerajaan Ma’in dan Qatban. Kerajaan
Saba’ juga meliputi Hadharmaut. Ibu kotanya adalah Ma’rab. Kerajaan ini menjadi
terkenal disebabkan dua hal.
Pertama, adanya Ratu Bilqis. Kisah tentang ratu ini dengan Nabi Sulaiman
disebutkan dalam surah an-Naml. Kedua, Bendungan Ma’rab yang besar.
Bendungan ini menjadikan Yaman menjadi sebuah negeri yang makmur dan
sejahtera.
Namun, kemudian bendungan ini hancur. Maka, terjadilah sebuah bencana air bah
yang dahsyat. Akhirnya, penduduk setempat banyak yang pindah ke wilayah utara.
5
Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial, Budaya dan Peranan
Islam, terj. Said Jamhuri, 1994, Jakarta: Ilmu Jaya, hal. 10.
6
Ahmad Al-Usairy, Sejarah IslamSejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, Akbar Media Eka Saena,
Jakarta, 2008, hal. 63-64
Peristiwa ini sekaligus menjadi tanda kehancuran Saba’ dan berdirinya kerajaan
Himyar.7
Allah berfirman :
Artinya : 15. Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di
tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
16. Tetapi mereka berpaling, Maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang
besardan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi
(pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr (QS.
Saba’ [34] : 15-16)
- Kerajaan Himyar
Kerajaan ini berdiri setelah runtuhnya kerajaan Saba’ dan menjadikan Zhafar
sebagai ibukotanya. Raja-rajanya memberikan gelar kepadanya Tababi’ah. Saba’
dan Himyar meninggalkan peninggalan-peninggalan yang menunjukkan
keagungan kemajuan yang dicapai dua kerajaan ini.Kerajaan ini kemudian
semakin mundur di akhir-akhir pemerntahannya. Sehingga,Yaman diduduki oleh
7
A.Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam¸Jakarta : Pustaka Al-Husna 1983, hal 38
orang-orang Romawi dan disusul kemudian oleh Persia.
- Penduduk Romawi di Yaman
Dzunuwas raja Himwar yang memeluk agama Yahudi memberi pilihan
kepadaorang-orang Masehi Najran antara memeluk agama Yahudi atau mereka
harus mati. Temyata mereka lebih baik memiliki mati daripada dipaksa harus
memeluk agama Yahudi. Maka, dia segera menggali parit dan mereka dibakar di
dalam parit itu.
“Binasalah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan)
kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya.”(QS. al-Buruj [85]: 4-6)
Sebagian mereka melarikan diri dan meminta bantuan kepada penguasa Habasyah
yang menganut agama Kristen (an-Najasyi) yang kemudian meminta bantuan pada
kaisar Romawi-pelindung agama Kristen. Kaisar kemudian mengirimkan kapal
perang dan senjata. Maka, Najasyi mampu menaklukkan kota Yaman berkat
komandannya yang bernama Arbath.
Pada saat itu salah seorang pembantu dekatnya yang bernama Abrahah melakukan
pemberontakan dan akhirnya membunuhnya. Maka, jadilah Abrahah penguasa di
Yaman. Peristiwa ini terjadi pada saat hidupnya Abdul Mutthalib bin Hasyim,
kakek Rasulullah.
2. Kerajan-kerajaan di Utara Jazirah Arab
- Kerajaan Hirah
Sejarah kerajaan Hirah ini mulai sejak abad 111 M. dan terus berdiri sampai
lahirnya Islam. Kerajaan ini telah berjasa juga terhadap kebudayaan Arab, karena
warna negaranya, banyak mengadakan perjalanan-perjalanan diseluruh Jazirah
Arab terutama untuk berniaga, dalam pada itu mereka juga menyiarkan kepandaian
menulis dan membaca. Karena itu mereka dapat dianggap sebagai penyiar ilmu
pengetahuan di Jazirah Arab.
- Kerajaan Ghassan
Nama Ghassan itu berasal dari mata air di Syam yang disebut Ghassan. Kaum
Ghassan memerintah di bagian selatan dari negeri Syam dan di bagian utara dari
Jazirah Arab. Mereka telah mempunyai kebudayaan yang tinggi, dan menganut
agama Masehi yang diterimanya dari bangsa Romawi dan merekalah yang
memasukkan agama Masehi itu ke Jazirah Arab.8
3. Hijaz
Hijaz adalah tempat pertama dakwah islam. Ditempat inilah rasulullah lahir dan
berkembang.9
C. Agama dan Kepercayaan Masa Jahiliyah
Ahli-ahli sejarah agama berpendapat bahwa manusia itu menurut wataknya suka
beragama. Naluri suka beragama dan suka memikirkan Allah. Sebahagian dari mereka
berpendapat bahwa naluri beragama akan tmbuh dan berkembang, bila pikiran telah maju
dan kecerdasan telah tinggi. Bila manusia telah sampai pada taraf dapat berpikir tentang
dirinya, bagaimana dirinya itu dijadikan, tenaga- tenaga dan daya-daya apa yang ada pada
dirinya itu, bagai mana dia bisa melihat dan mendenganr dan sebagainya.10
Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang adalah Hanifiyah, yaitu
8
Badri yatim, Sejarah peradaban Islam, 1996, Jakarta, raja Grafindo Persada. Hal 15
9
Sulasman & suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, Pustaka Setia, Bandung, 2013 hal. 28
10
A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam,
sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi
oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun
Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang
benar di sisi Allah adalah Hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan
ini menyebar luas ke berbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz,
yaitu Yathrib, Taif, dan Mekah.11
b. Paganisme
Sanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat dari
batu. Nusub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia
yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan
dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke
tempat itu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri.12 Ini
membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak berabad-abad
penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik pada masa kehadiran
permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi yang muncul di Syiria dan
Mesir.13
c. Yahudi
Agama Yahudi dianut oleh para imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman.
Tidak banyak data sejarah tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah
Arab, kecuali di Yaman. Dzū Nuwās merupakan penguasa Yaman yang condong ke
11
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 2003. Yogyakarta: LKiS, hal. 15-16.
12
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah, 2011. Jakarta; Litera Antar Nusa,
hal. 19-20.
13
M.M. al-A‘zamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, 2005. Jakarta: Gema Insani, hal.
23.
Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Dia
meminta penduduk Najran agar masuk agama Yahudi. sehingga kalau mereka menolak,
maka akan dibunuh. Namun yang terjadi justru menolak, maka digalilah sebuah parit
dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu, serta dibunuh
dengan pedang atau dilukai sampai cacat bagi yang selamat dari api tersebut. Korban
pembunuhan itu mencapai dua puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif
fanatisme agama ini diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang
membuat parit” (Ashab al-Ukhdud).14
d. Kristen
14
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hal. 10-11. Lihat: Al-Qur-an, 85 (al-Buruj): 4-6.
sekitarnya.15
Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah. Mereka termasuk ras atau
rumpun bangsa kaukasoid, sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah Mediteranian,
Nordic, Alpine dan Indic.18
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah (nomad). Demikian ini karena kondisi tanah
tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim turun hujan.
Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa
(padang rumput) yang muncul secara sporadis di sekitar oasis atau genangan air
setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan badui Arab untuk kebutuhan makan
binatang ternak seperti kuda, onta dan domba.
15
Muhammad ‘Abid Al-Jābirī, Madkhal ila al-Qur`ān al-Karīm, 2007. Beirut: Markaz Dirāsah al-Waḥdah
al-‘Arabīyah, hal. 38-46.
16
A.Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam¸Jakarta : Pustaka Al-Husna 1983, hal 34
17
Badri yatim, Sejarah peradaban Islam, 1996, Jakarta, raja Grafindo Persada. Hal 12
18
Ali Mufrrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 1997, Jakarta: Logos, hal. 5.
pertanian, peternakan dan perdangangan, dapat berkembang dengan baik di daerah
tersebut. Hal inilah tentunya yang membuat kehidupan masyarakat pesisir lebih
makmur daripada masyarakat pedalaman (badui). Dari realitas ini, maka timbullah
reaksi antara penduduk kota atau pesisir dengan penduduk pedalaman atau badui.
Aksi dan reaksi antara penduduk kota dengan masyarakat gurun dimotivasi
oleh desakan kuat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Orang-orang nomad bersikeras
mendapatkan sumber-sumber tertentu pada orang-orang kota terhadap apa yang tidak
mereka miliki dari lingkungan mereka tinggal. Hal itu dilakukan baik melalui
kekerasan (penyerbuan kilat) atau jalan damai (barter). Orang-orang badui nomaden
dikenal sebagai perampok darat dan makelar. Gurun pasir, yang merupakan daerah
operasi mereka sebagai perampok, memiliki kesamaan karakteristik dengan laut.19
Sementara dikelas masyarakat lainnya, Para wanita dan laki-laki begitu bebas
bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih
parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus.
Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan
19
Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 28.
20
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2010, Jakarta: Rajawali Press, hal. 11.
masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita
pelacur.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan.
Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan
menghalalkannya menurut kemauannya.21
c. Syair
Kehidupan bangsa arab pada waktu itu sangat dekat sekali dengan syair. Mereka
sangat pandai bermain bahasa dan menyajikannya dalam bentuk syair dan puisi. Syair
adalah salah satu seni paling indah yang sangat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa
arab. Mereka berkumpul mengelilingi para penyair untuk mendengarkan syair-
syairnya. Seorang penyair mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam
masyarakat bangsa arab. Bila pada suatu kanilah muncul seorang penyair,
berdatanganlah utusan-utusan kabilah lain untuk mengucapkan selamat pada kabilah
itu. Kemudian kabilah itu mengadakan perhelatan dan jamuan besar-besaran dengan
menyembelih binatang-binatang ternak, kemudian para wanita-wanita keluar untuk
menari, bernyanyi dan bermain musik.22
Ahmad Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa
kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.23 Pengetahuan itu diperoleh
melalui syair-syair yang beredar di kalangan para pe-rawi syair. Dengan begitulah
21
Sulasman & suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa , 2013, Bandung : Pustaka Setia, hal. 21
22
Ibid, hal 22
23
A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief , 1983, Jakarta: Pustaka Al-
Husna, hal. 29.
sejarah dan sifat masyarakat Arab dapat diketahui, yang antara lain bersemangat tinggi
dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai
masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat badui
pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni
dari bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan
dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan
budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk badui adalah
penyair.24
Orang yang membaca syair arab, akan melihat kehidupan bangsa arab
tergambar dengan jelas pada syair itu. Syiar itu akan mengisahkan peperangan, adat
istiadat dan budi pekerti bangsa arab. Juga dengan syair itu kita bisa mengetahui
bagaimana kondisi sosial dan budaya pada masa itu. 26
24
Gustav Leboun, Hadarat al-‘Arab, Kairo: Matba‘ah ‘Isa al-Babi al-Halabi, hal. 72.
25
Badri Yatim, Sejarah Peradaban, hal. 12.
26
A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief , 1983, Jakarta: Pustaka Al-
Husna, hal. 59
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim.
‘Abd al-‘Azīz al-Dawrī, Muqaddimah fī Tarīkh Ṣadr al-Islam, 2007, Beirut: Markaz
Dirāsah al-Waḥdah al-‘Arabīyah.
A. Shalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, buku I, terj. M. Sanusi Latief , 1983,
Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ahmad Mujahidin, “Arab Pra Islam; Hubungan Ekonomi dan Politik dengan
Negara-Negara Sekitarnya”, Maret 2003, Jurnal Akademika, Volume 12, Nomor 2.
Ali Mufrrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 1997, Jakarta: Logos.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2010, Jakarta: Rajawali Press.
Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah dari Segi Geografi, Sosial,
Budaya dan Peranan Islam, terj. Said Jamhuri, 1994, Jakarta: Ilmu Jaya.
Fadil, SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintas Sejarah, 2008, Malang: UIN
Malang Press.
Gustav Leboun, Hadarat al-‘Arab, Kairo: Matba‘ah ‘Isa al-Babi al-Halabi.
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan, 2003. Yogyakarta:
LKiS.
M.M. al-A‘zamī, Sejarah Teks al-Quran dari Wahyu sampai Kompilasi, 2005.
Jakarta: Gema Insani.
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riadi, 2010, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
R.A Nicholson, A Literary History of The Arabs, 1997, Cambridge: Cambridge
University Press.
Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Arab Pra Islam”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, I, 2002, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Sulasman, Suparman, “ Sejarah Islam Di Asia dan eropa”, 2013, Bandung : Pustaka
Setia