DI LABORATORIUM RADIOLOGI
JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
OLEH
BAB I
PENDAHULUAN
Pemeriksaan diagnostik radiologi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan kita sehari-hari, terutama didalam penatalaksanaan klinis patient di dalam pelayanan
kesehatan. Sejak ditemukannya sinar X oleh Roentgen pada tahun 1895 dan kemudian
diproduksinya peralatan radiografi pertama untuk penggunaan diagnostik klinis, prinsip dasar
dari radiografi tidak mengalami perubahan sama sekali, yaitu memproduksi suatu gambar pada
film reseptor dengan sumber radiasi dari suatu berkas sinar-X yang mengalami absorbsi dan
attenuasi ketika melalui berbagai organ atau bagian pada tubuh.
Perkembangan teknologi radiologi telah memberikan banyak sumbangan tidak hanya
dalam perluasan wawasan ilmu dan kemampuan diagnostik radiologi, akan tetapi juga dalam
proteksi radiasi pada pasien-pasien yang mengharuskan pemberian radiasi kepada pasen
serendah mungkin sesuai dengan kebutuhan klinis merupakan aspek penting dalam pelayanan
diagnostik radiologi yang perlu mendapat perhatian secara kontinu. Karena selama radiasi sinar-
x menembus bahan/materi terjadi tumbukan foton dengan atom-atom bahan yang akan
menimbulkan ionisasi didalam bahan tersebut, oleh karena sinar-x merupakan radiasi pengion,
kejadian inilah yang memungkinkan timbulnya efek radiasi terhadap tubuh, baik yang bersifat
non stokastik , stokastik maupun efek genetik..
Dengan demikian diperlukan upaya yang terus menerus untuk melakukan
kegiatan keselamatan dan kesehatan kerja dalam medan radiasi pengion melalui
tindakan proteksi radiasi, baik berupa kegiatan survey radiasi, personal monitoring,
Jaminan Kualitas radiodiagnostik. Ketaatan terhadap Prosedur kerja dengan radiasi,
Standar pelayanan radiografi, Standar Prosedur pemeriksaan radiografi semua
perangkat tersebut untuk meminimalkan tingkat paparan radiasi yang diterima oleh
pekerja radiasi, pasien maupun lingkungan dimana pesawat radiasi pengion
dioperasikan.
I.2 Tujuan
Tujuan Umum : untuk mengetahui sejauh mana tindakan proteksi yang dilakukan oleh
pengguna radiasi pengion dalam upaya mengurangi tingkat paparan radiasi yang diterima
petugas radiasi dalam upaya pencapaian tingkat kompetensi mahasiswa.
Tujuan Khusus :
1. Mampu melakukan upaya tindakan proteksi radiasi
2. Mampu mengevaluasi tindakan proteksi radiasi yang telah dilakukan
3. Mampu melakukan tindakan – tindakan perubahan tindakan proteksi kearah yang lebih baik
efektif dan efesien.
4. Mampu patuh dan taat untuk melaksanakan standar prosedur operasional peralatan
radiasi, Standar Prosedur Kerja dengan Radiasi, Standar pelayanan Pemeriksaan
Radiografi dan Standar prosedur Pemeliharaan Peralatan Radiologi.
I. 3 Manfaat
BAB II
PERMASALAHAN
Undang-Undang No 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran sebagai
penyempurnaaan Undang Undang No 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga
Atom dimaksudkan agar dapat mengikuti perkembangan pemanfaatan tenaga nuklir di
Indonesia diberbagai bidang sehingga dalam pemanfaatannya dapat menjamin
keselamatan pekerja, masyarakat maupun lingkungan hidup.
Dalam pemanfatan tenaga nuklir termasuk sumber radiasi pengion dibidang
kesehatan khususnya dibidang pelayanan radiologi harus memiliki izin dan orang
tertentu yang mempunyai kualifikasi kompetensi khusus yang telah teruji tremasuk
didalamnya ahli radiografi ( Radiografer ). Hal ini disebabkan karena telah diketahui
bahwa selain banyak manfaatnya, radiasi pengion memiliki potensi bahaya bila tidak
dikelola oleh orang-orang yang profesional dibidang radiasi.
Salah satu potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pemanfaatan radiasi
pengion adalah timbulnya efek radiasi baik yang bersifat non stokastik, stokastik dan
efek genetik yang mungkin timbul akibat pekerja radiasi mendapat paparan radiasi.
Efek tersebut dapat berupa Radiation Sicknes, penyakit keganasan sampai timbul
penyakit yang timbul pada keturunannya ( akibat timbulnya efek Genetik ) yang
disebkan adanya penerimaan paparan radiasi eksterna dalam jumlah kecil namun
diterima dalam jangka waktu yang lama.
Oleh USEAC ( Unirted State Energy Atomic Commision ) tahun 1960 – 1968
dilaporkan bahwa efek yang timbul disebabkan adanya kecelakaan radiasi yang
diakibatkan adanya kecelakaan radiasi dan secara rinci kecelakaan tersebut
disebabkan oleh :
Kesalahan operator : 68 %
Kesalahan prosedur : 8%
Kerusakan perlengkapan : 15 %
Lain – Lain : 9%
Kesalahan Operator terperinci sebagai berikut :
Tidak melakukan survey radiasi : 46 %
Tidak mengikuti prosedur : 36 %
Tidak menggunakan peralatan proteksi : 6 %
Kesalahan manusiawi : 6%
Kesalahan menghitung paparan radiasi : 6%
Dari jenis kecelakaan yang terjadi antara tahun 1960 – 1968 ternyata jenis pekerjaan
radiografi memegang rekor. Dari 152 kejadian kecelakaan ditemukan bahwa :
Jenis Kegiatan Jumlah Kecelakaan
Radiografi 59
Laboratorium 44
Plant Operator 28
Perbaikan alat 12
Kedokteran 3
Pendidikan 2
Kontruksi 2
Pengangkutan 1
Tidak diketahui 1
Faktor Waktu
Besar Dosis atau tingkat paparan radiasi yang diterima seseorang yang sedang bekerja
dengan laju dosis tertentu berbanding lurus dengan lama waktu ia berada ditempat itu.
Dt = Do x t Dosis = Laju Dosis X Waktu
Dt = Dosis yang diterima
Do = Laju Dosis mula-mula
t = Waktu
Contoh :
Seorang pekerja radiasi diizinkan menerima dosis sebesar 100 m Rem/minggu, berapa jam
seminggu ia boleh bekerja dalam medan radiasi dengan laju dosis 10 mRem/Jam
Dari Rumus :
Dt = Do X t
100 mrem/minggu = 10 mRem / Jam X t
t = 100 mRem/minggu : 10 mRem /Jam
= 10 Jam / minggu
Dengan demikian berarti pekerja radiasi harus bekerja secepat mungkin bila bekerja
dengan radiasi.
Faktor Jarak.
Paparan radiasi berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber radiasi secara
matematis dapat ditulis sebagai berikut :
Dr1 x r12 = Dr2 x r22
Dr1 = Laju Dosis pada jarak r1
Dr2 = Laju Dosis pada jarak r2
Dari rumus diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
Jika Jarak diperbesar 2 kali maka laju dosis menjadi 1/2 2 lebih kecil, demikian pula bila
jarak diperkecil 2 kali maka laju dosis menjadi 2 2 lebih besar.
Contoh :
Sebuah sumber radiasi sinar – x memberikan laju dosis pada jarak 2 m dari sumber
sebesar 100 mRem/Jam, berapakah laju dosis pada jarak 4 m dari sumber radiasi.
Dari rumus : Dr1 x r12 = Dr2 x r22
100 m Rem x 22 = Dr2 x 42
= 25 mRem
Dengan cara lain : Jarak dari sumber diperkecil dari 4 m menjadi 2 m berarti diperbesar 2
kali, maka laju dosis menjadi lebih kecil 1/ 22 ( ¼ ) dari semula.
Dt = Doe -------------
HVL
Dt = Do ( ½ ) t/HVT
Dt = Do/ 2 t/HVT
Konsep HVL ini sangat berguna untuk menghitung secara cepat tebal bahan penahan
radiasi yang diperlukan.
Umpamanya :
1. Untuk mengurangi dosis menjadi setengahnya diperlukan bahan penahan radiasi
setebal 1 kali HVL.
2. Untuk mengurangi laju dosis hingga 1/4 atau ( ½ ) 2 diperlukan bahan penahan setebal 2
kali HVL, sedang untuk mengurangi dosis menjadi 1/8 atau ( ½) 3 diperlukan bahan
penahan setebal 3 kali HVL.
Contoh :
Berapa tebal bahan penahan yang dibutuhkan untuk mengurangi laju dosis disuatu titik
dari 160 mRem/jam menjadi 10 mRem/Jam ( diketahui HVL = 2 mm Pb ).
Laju Dosis dari 160 mRem menjadi 10 m Rem/jam, berarti terjadi pengurangan sebesar
faktor 16 atau 24. Jadi tebal bahan yang dibutuhkan adalah setebal : 4 x 2 mm Pb = 8
mmPb.
III.3 Efek Biologi Radiasi.
III.3.1 Efek Deterministik ( Non Stokastik )
Efek Deterministik ( Non Stokastik ) dapat terjadi akibat penyinaran lokal maupun
menyeluruh sehingga sejumlah cukup banyak sel mati dan tidak dapat dikompesasikan
oleh pembelahan sel yang masih hidup. Di Samping efek yang mematikan sel, radiasi
dapat merusak jaringan dengan cara menimbulkan reaksi peradangan yang
mempengaruhi permiabilitas sel dan jaringan, mempengaruhi migrasi alamiah sel pada
alat tubuh yang sedang berkembang, atau efek tak langsung melalui organ laian
( misalnya penyinaran pada hipopisis akan mempengaruhi fungsi kelenjar endokrin
yang lain )
1. Ciri-Ciri Efek Deterninistik ( Non Stokastik )
2. Mempunyai dosis ambang
3. Umumnya timbul tidak begitu lama setelah terkena radiasi.
4. Ada penyembuhan spontan ( tergantung keparahan )
5. Dosis radiasi mempengaruhi keparahan efek ( makin besar dosis, efek makin parah ).
Jika kematian masing-masing sel bersifat acak ( stokastik ), terganggunya fungsi
jaringan atau organ bersifat deterministik, karena memerlukan dosis ambang untuk
dapat menimbulkan terjadinya efek.
Menurut International Commission Radiation Protection ( ICRP ) besarnya dosis
ambang ini untuk efek deterministik pada testis, ovarium, lensa mata dan sumsun
tulang manusia dewasa adalah seperti yang di gambarkan pada Tabel dibawah ini :
Estimasi Dosis Ambang beberapa Efek Deterministik pada Manusia Dewasa
A ( Sv ) B ( Sv ) C ( Sv )
Testis
0,15 *) 0,4
Steril Sementara
3,5 – 6,0 *) 2,0
Steril menetap
0,5 *) 0,4
Kekeruhan yang teramati
Katarak
Sumsum Tulang
Keterangan :
A = Dosis ekivalen total yang diterima pada penyinaran tunggal yang singkat
B = Dosis ekivalen total yang diterima pada penyinaran berulang-ulang atau kronik
C = Laju dosis tahunan apabila penyinaran berulang-ulang diterima setiap tahun
atau penyinaran kronik berlangsung selama beberapa tahun
*) = Tidak berlaku karena dosis ambang untuk efek tersebut lebih bergantung pada
laju dosis dari pada dosis total
Pada kulit, efek deterministik yang berupa kemerahan ( erythema ) dan
pengelupasan kering ( dry desquamation ) terjadi pada dosis sekitar 3 – 5 Gray, kira-
kira 3 minggu setelah penyinaran. Pengelupasan kulit disertai dengan pelepuhan terjadi
pada dosis sekitar 20 Gray kira-kira 3 minggu setelah menerima penyinaran dengan
dosisi 50 Gray atau lebih.
Pada penyinaran seluruh tubuh akan timbul sindroma radiasi akut apabila dosis
cukup tinggi ( 1 Gray atau lebih ). Pada dosis yang tinggi, kematian organisme dapat
terjadi karena sel yang terbunuh cukup besar jumlahnya dan melibatkan organ-organ
vital ( organ pembuat darah, saluran pencernaan makanan, sistem jantung dan
pembuluh darah, susunan syaraf pusat ). Untuk orang dewasa sehat, dosis radiasi yang
menimbulkan kematian dalam waktu 60 hari pada 50% dari populasi yang terkena
radiasi seluruh tubuh ( LD ), menurut ICRP ( 1991 ) adalah antara 3 - 5 Gray.
Selama dalam kandungan, pada periode pembentukan alat-alat tubuh, kematian sejumlah
kecil sel yang kehadirannya bersifat esensial dapat berakibat cacat pembentukan organ. Efek
terpenting pada penyinaran terhadap janin dalam rahim adalah cacat mental mulai dari bentuk
ringan sampai kemunduran mental berat. Efek ini makin parah bila dosis radiasi yang diterima
makin besar. Kemunduran mental dapat ditemukan pada anak-anak yang menerima radiasi
selama dalam kandungan, terutama bila penyinaran itu terjadi pada umur kehamilan antara 8 –
15 minggu. Kemunduruan mental itu diduga terjadi karena salah hubung sel-sel s yaraf di otak
yang keparahannya tergantung pada besar dosis penyinaran. Salah hubung sel-sel syaraf ini
menyebabkan pergeseran ke arah IQ rendah pada kurva distribusi IQ pada suatu populasi yang
terkena radiasi. Dosis radiasi sebesar 1 Sv akan menambah sejumlah 40% kasus baru
kemunduran mental berat (IQ70) ( UNSCEAR, 1993 ).
III. 4. EFEK STOKASTIK
Efek Stokastik akibat radiasi mempunyai ciri-ciri :
Tidak mengenal dosis ambang
Timbul setelah melalui masa tenang yang lama
Tidak ada penyembuhan spontan
Dosis radiasi tidak mempengaruhi keparahan efek
Peluang timbulnya efek makin besar bila dosis semakin meningkat
Apabila perubahan kode genetik terjadi pada sel pembawa keturunan ( sel
sperma atau sel telur ) maka efek radiasi yang diterima oleh individu yang terkena
radiasi akan diwariskan kepada keturunannya. Penelitian pada hewan dan tanaman
menunjukkan bahwa efek itu dapat bervariasi dari yang ringan hingga kehilangan fungsi
dan kelainan anatomik yang parah bahkan kematian prematur.
Suatu kerusan tak mematikan pada sel pembawa keturunan pada prinsipnya akan
diwariskan lebih lanjut ke generasi berikutnya. Mutasi dominan yaitu perubahan kode
genetik yang berasal dari salah satu orang tua dan masih mempunyai pengaruh yang
dominan pada keturunan dan dapat menimbulkan penyakit yang diwariskan pada
keturunan generasi pertama. Beberapa diantara penyakit-penyakit ini sangat merugikan
individu yang menderita dan mempengaruhi lama hidup dan peluangnya untuk
bereproduksi. Mutasi resesif (perubhan kode genetik yang harus berasal dari kedua
orang tua agar dapat menimbulkan efek pewarisan pada keturunan) menghasilakn efek
yang kurang penting pada beberapa generasi pertama. Namun bila diingat bahwa
populasi merupakan pool genetik maka mutasi resesif yang berlansung dalam pool
terebut akan menimbulkan kerusakan pada generasi berikutnya karena peluang kedua
orang tua untuk membawa mutasi itu meningkat.
Efek somatik non stokastok pada organ reproduksi adalah sterilitas, sedangkan
efek genetik (pewarisan) terjadi karena mutasi gen atau kromosom pada sel kelamin.
Sistem syaraf termasuk tahan radiasi. Kematian karena kerusakan sistem syaraf
terjadi pada dosis puluhan Sievert.
III. 5. 5. Mata
Lensa mata peka terhadap radiasi. Katarak merupakan efek somatik non stokastik yang
masa tenangnya lama (bisa bertahun-tahun).
III. 5. 6. Kulit
Efek somatik non stokastik pada kulit bervariasi dengan besarnya dopsis, mulai
dengan kemerahan sampai luka bakar dan kematian jaringan.
Efek somatik stokastik pada kulit adalah kanker kulit.
III. 5. 7. Tulang
Bagian tulang yang peka terhadap radiasi adalah sumsum tulang dan selaput
dalam serta luar pada tulang. Kerusakan pada tulang biasanya terjadi karena
penimbunan Stontium-90 atau Radium-226 dalam tulang.
Efek somatik stokastik berupa kanker pada sel epithel selaput tulang.
III. 5. 9. Paru-paru
Paru-paru pada umumnya menderita kerusakan akibat penyinaran dari gas, uap
atau partikel dalam bentuk aerosol yang bersifat radioaktif yang terhirup melalui
pernafasan.
A. Kesimpulan
Dari pembahasan baik dari kajian teori maupun situasi dan kondisi instalasi Laboratorium
radiologi saat ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1. Kualitas Penyelenggaraan Pelayanan Laboratorium Radiologi masih berada dalam keadaan
cukup memadai, walaupun belum berada dalam tingkat kualitas yang ideal, karena belum
memenuhi standar pelayanan Laboratorium radiologi yang ditetapkan oleh Departemen
Kesehatan.
2. Kualitas hasil pelayanan radiografi yang berbentuk foto-foto radiografi belum mencapai taraf
kualitas yang memuaskan, hal ini dikarenakan karena semua peralatan radiologi khususnya
pesawat rontgen, alat prosesing film otomatis belum dikalibrasi secara berkala.
3. Sistem kegiatan Pemeliharaan sarana, fasilitas dan peralatan radiologi belum optimal karena
pemeliharaan dilakukan hanya secara insidentil, belum mengikuti Standar Pemeliharaan yang
dikeluarkan oleh Badan Pemeliharaan Fasilitas Kesehatan ( BPFK ) Departeman Kesehatan.
4. Belum meratanya pemikiran untuk sadar akan kualitas dikalangan pekerja instalasi Laboratorium
radiologi, sehingga pekerjaan yang dilakukan hanya sebagai pekerjaan rutinitas, akibat belum
meratanya pengetahuan tentang Jaminan Kualitas Radiodiagnostik dikalangan pekerja Instalasi
Laboratorium Radiologi.
5. Belum ada program pendidikan dan pelatihan bidang radiograf yang jelas dan mantap serta
bermakna bagi pekerja Instalasi Laboratorium Radiologi untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan pekerja Instalasi radiologi, sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan bidang
radiologi.
6. Masih kurangnya buku-buku kepustakaan bidang radiografi yang tersedia sehingga
menghambat untuk mendapatkan perkembangan ilmu dan teknologi bidang radiologi
yang ternyata berkembang dengan pesat.
B. Saran-Saran.
Dari hasil kesimpulan tersebut diatas disarankan bahwa untuk dapat meningkatkan
kualitas pelayanan radiologi dan kualitas keselamatan dan kesehatan kerja yang cukup
memadai adalah sebagai berikut :
1. Perlu adanya kebijakan Pimpinan untuk membuat Struktur Organisasi Proteksi di
Instalasi Laboratorium Rdiologi.
2. Perlu adanya kebijakan Pimpinan untuk membuat Tim yang mempelajari dan membuat
Standar Pelayanan Laboratorium Radiologi, Standar Pelayanan Radiografi yang baku
untuk diberlakukan di Instalasi Laboratorium Radiologi ( seuai dengan SK Menkes
No: )
3. Merencanakan kegiatan Kalibrasi bagi sarana, fasilitas dan peralatan radiologi minimal
satu tahun sekali, dan perbaikan peralatan radiologi yang sudah lama rusak tetapi
belum diperbaiki, hal ini tentu saja akan berkaitan dengan biaya.
4. Membuat Standar Pemeliharan Peralatan ( Standar Maintenace Prosedure ) seperti
yang direkomendasikan oleh BPFK, dengan demikian kerjasama dengan IPRS perlu
ditingkatkan.
5. Perlu adanya Works Shop Jaminan Kualitas Radiodiagnostik bagi Petugas yang
megelola Instalasi Laboratorium Radiologi , agar semua mampu melakukan tarnsfr
pengetahuan kepada peserta didik..
6. Perlu dibuat program pendidikan dan pelatihan keprofesian khususnya bagi radiografer
yang jelas dan berkesinambungan sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan ketingkat yang memadai. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama
dengan institusi pelayanan Radiologi dan atau dengan profesi Radiografer ( PARI
).serta vendor yang bergerak dibidang Alkes.
7. Melengkapi buku-buku kepustakaan tentang ilmu dan teknologi radiografi yang
dirasakan sangat kurang sehingga dapat digunakan untuk sebagai acuan pekerja
apabila diperlukan.
Demikian juga maintenance alat secara teratur dan juga penyediaan dana untuk
perbaikan kerusakan pada alat merupakan faktor lain yang tidak kalah pentingnya.
Peralatan seperti conventional darkroom fluoroscopy ( fluoroscopy pada ruang gelap )
dan mass chest yang masih sering sering digunakan menunjukkan beban radiasi yang
tinggi tidak hanya bagi pasien, tapi juga untuk staf radiologi, perlu dipertimbangkan ijin
penggunaannya. Operator/radiografer maupun radiolog dapat memberikan
kontribusinya dalam pengurangan beban radiasi pada pasien dengan menentukan
teknik radiografi dan factor eksposi yang tepat tanpa mengurangi kualitas dari
pencitraan yang dihasilkan.
Pelaksanaan training yang tepat dan bermakna pada staf radiologi, menurut
pengalaman dan statistik, dapat mengurangi dosis radiasi pada pasien sampai 40%.
Quality control / assurance juga faktor lain yang dirasa perlu disosialisasikan karena,
karena kegiatan Quality control yang dilakukan secara terus menerus ternyata dapat
mengurangi frekuensi pengulangan pemeriksaan akibat hasil gambar yang berkualitas
rendah juga berdampak pada pengurangan dampak radiasi pada pasien.
Disain standard bangunan ruang radiasi dengan kontruksi dinding, pintu dan
jendela yang dilengkapi dengan bahan penahan radiasi ( Pb ) dengan ketebalan yang
memadai merupakan upaya untuk mengurangi paparan radiasi yang diterima baik oleh
pasien, pekerja radiasi maupun masyarakat dimana pesawat sinar-X dioperasikan. Hal
ini penting untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya tingkat paparan radiasi yang
melebihi dari yang diizinkan ( Maksimum Permisiable Dose ) dimana untuk pekerja
radiasi adalah 0,5 mSv / Jam sedangkan untuk masyarakat dan lingkungan adalah 0.10
dari MPD pekerja radiasi. Tingkat paparan tersebut merupakan salah satu tindakan
proteksi yang disebut Limitasi.
Standarisasi pemeriksaan radiografi sangat efektif untuk mengurangi dosis
permukaan yang diterima pasien, oleh sebab itu untuk setiap pelayanan radiologi
diwajibkan untuk membuat standarisasi baik standar pelayanan radiologi, maupun
standar pemeriksaan radiolgi dan radiografi, termasuk standarisasi pemeriksaan
kegawatan radiolgi serta, standar pelayanan penanganan kegawat daruratan akibat
pemakaian bahan kontras radiografi. Teknik Prosedur Kerja alat dan fasilitas radiologi
seperti pesawat rontgen, USG, dental unit dan peralatan serta fsilitas radiologi lainnya
perlu dibakukan untuk mengurangi kea;paan / kesalahan operasional oleh pekerja
radiasi, termasuk teknik prosedur pemakaian dan pemeliharaan prosesing film otomatis
yang merupakan alat yang sangat menentukan baik/ buruknya gambaran radiografi.
Pemonitoran paparan radiasi perorangan ( personal monitoring ) dengan
pemakaian film badge merupakan suatu tindakan yang harus dipnuhi oleh setiap
pekerja radiasi, sehingga tingkat paparan radiasi yang diterima pekerja radiasi dapat
terukur secara berkala dan berkesinambungan, sehingga bila terjadi peningkatan
paparan radiasi diatas normal ( > 50 % ) dari biasanya merupakan suatu tanda awal
yang dapat membahayakan personil, sehingga harus mendapat perhatian yang serius
sampai terindentifikasi penyebab terjadinya peningkatan paparan radiasi pada pekerja
radiasi. Hal ini dapat disebabkan adanya kebocoran tabung, teknik tindakan proteksi
radiasi yang kurang efektif dan efesien pada saat melakukan kerja dalam medan radiasi
dan sebab-sebab lainnya, ataupun adanya kesengajaan melakukan penyinaran film
badge secara langsung.
Oleh sebab itu Petugas Proteksi Radiasi yang mempunyai Lisensi ( SIB )
haruslah dimiliki oleh setiap Instalasi Radiologi. ( UU No 10 Th 2000 ) sebagai
penanggung jawab terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dengan radiasi sesuai
dengan kompetensi dan kewenangannya.PPR mempunyai kewajiban untuk membuat
prosedur kerja dengan zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya, perencananaan
tindakan keselamatan kerja, pengukuran tingkat paparan radiasi lingkungan ( Survey
Radiasi ) dan evalusi terhadap tindakan keselematan kerja yang telah dilakukan,
apakah sudah efektif dan efesien atau perlu memperbaikinya.
Management Keselamatan kerja dengan Radiasi :
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penerimaan paparan radiasi adalah sebagai
berikut :
Perizinan pemanfaatan pesawat radiologi
Standarisasi disain bangunan radiologi.
Perkembangan peralatan radiologi, accessories dan bangunan.
Teknik prosedur pemeriksaan radiologidan radiografi medik
Rujukan / Referensi
Pendidikan dan Training.
Kalibrasi dan Dosimetri.
Kriteria kualitas dan reference dose levels
Hal ini perlu dilaksanakan secara berkala dikarenakan pemanfaatan pesawat radiologi
sebagai sumber radiasi pengion selain besar manfaatnya bagi manusia, tetapi juga
mempunyai dampak negatif bagi pasien, pekerja radiasi maupun bagi lingkungan
dimana pesawat radiologi tersebut dioperasikan, dampak negatif dapat berbentuk efek
Stokastik ( Efek radiasi yang dapat timbul apabila dosis ambang dilampaui ) maupun
efek Non Stokastik ( Efek radiasi yang timbul akibat penyinaran yang kecil terus
menerus tanpa adanya dosis ambang ).
Oleh sebab itu tanpa adanya perhatian yang serius terhadap sarana, fasilitas, peralatan
radiologi serta kepatuhan terhadap standar prosedur kerja maka dimungkinkan
keselamatan kerja dengan radiasi sangat mungkin tidak dapat tercapai.
1. Perkembangan peralatan radiologi dan accessories-nya.
Salah satu perkembangan teknik radiografi yang sangat revolusioner dan dapat mengurangi dosis
radiasi pada pasien adalah ditemukan intesifying screen yang tergantung dari jenis screen dan
jenis film yang dipakai, dapat mengurangi dosis radiasi sebesar faktor 15 – 500, dimana jenis
intensifying rare earth screen (gadolinium dan lanthanum) menunjukkan effisiensi dosis 3 sampai
5 kali lebih baik dibanding dengan calcium tungstate screen. Selain itu spectral sensitivity dari
film yang digunakan harus sesuai dengan spectrum emissi dari intensifying screen, karena emisi
dari intensifying jenis rare earth merupakan cahaya tampak berwarna hijau, maka pemakaian
film radiografnyapun haruslah dipakai film yang sensitif terhadap cahaya hijau ( Green Sensitif ).
Dampak lain dari penggunaan intensifying screen adalah pengurangan pemakaian faktor
exposure, sehingga selain rendahnya dosis yang diterima pasien, juga menyebabkan beban
terhadap X-ray tube menurun sehingga automatis akan memperpanjang masa hidup / usia dari X-
ray tube.
Sering kali peralatan dengan safety dan kualitas yang kurang memuaskan dan di
bawah standar masih dipakai, oleh sebab itu kalibrasi secara berkala fungsi peralatan,
sarana dan fasilitas perlu dilakukan termasuk peralatan radiografi apakah itu Casette
dan kontak film screen, safe light, prosesing film otomatis termasuk kesegaran cairan
kimia untuk prosesing film. Karena hasil akhir gambaran radiograf sangat ditentukan
oleh kualitas peralatan kamar gelap.
Dari pengalaman bekerja ditemukan, bahwa sekitar 80% dari alat-alat baru yang di-
install menunjukkan adanya malfungsi pada satu atau beberapa parameter radiologis,
termasuk kilovoltage, timer, kolimator, milliamper second linearity dll. Selain itu masih
sering kita temukan alat-alat radiologi yang berumur kebih adri 10 tahun, akan tetapi
masih terus digunakan, meskipun sudah menunjukan satu atau lebih malfungsi
parameter radiologis, apalagi apabila pada alat-alat tersebut jarang dilakukan
maintenance seperti yang seharusnya.
Peralatan seperti conventional darkroom fluoroscopy (fluoroscopy diruang gelap) dan
mass chest yang masih sering digunakan di negeri kita ini menunjukkan beban radiasi
yang tinggi tidak hanya bagi pasien, tetapi juga untuk staf radiologi, perlu
dipertimbangkan ijin penggunaannya.
Oleh karena itu izin atau approval dan registrasi dari penggunaan peralatan radiologi
serta pengontrolan secara rutin selama penggunaannya merupakan suatu kebutuhan
yang tidak bisa ditunda-tunda pelaksanaannya dan sebaiknya diterapkan dalam
perundang-undangan (Bapeten).
Penggunaan filter pada X-ray tube sangat penting untuk mengurangi atau
menghilangkan sinar-X berenergi rendah yang dapat menambah beban radiasi pada
pasien dan oleh karenanya sudah seharusnya merupakan perlengkapan standart pada
setiap alat X-ray. Direkomendasikan untuk menggunakan filter setebal 2 mm Al untuk
energi sampai 100 kV dan 2.5 mm untuk pesawat radiologi dengan pemakaian energi
antara 100 – 150 kV.
Meja pemeriksaan maupun mattress merupakan accessories yang kelihatannya simple,
akan tetapi juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap radiasi pada pasien
disebabkan oleh penyerapan sebagian sinar-X. penggunaan serat carbon untuk meja
X-ray menunjukkan absorbsi sinar-X yang rendah dengan nilai transmisi yang tinggi
(89%), sedangkan untuk mattress sekitar 81-98%. Oleh karena itu penggantian
accessories seperti di atas tidak dapat dilakukan tanpa memperhatikan dampaknya
seperti tertera di atas.
Demikian juga penggunaan apron merupakan suatu hal yang mutlak bagi staf maupun
pasien dalam kondisi tertentu, seperti fluroskopi, dan terutama bagi anak-anak dan
wanita masa subur yang belum dipastikan hamil untuk menutupi organ-organ
reproduksi merupakan suatu kewajiban.
Bangunan dan material dimana peralatan radiologi tersebut di-install perlu
mendapatkan perhatian yang serius. Pelapisan dengan Pb. Merupakan hal yang mutlak
untuk ruang pemeriksaan, demikian juga pembagian ruang pemeriksaan yang hanya
boleh dimasuki oleh pasien atau yang berkepentingan, ruang operator maupun ruang
tunggu pasien dengan tingkat paparan radiasi harus cukup rendah ( 2.5 mR/Jam ) yang
merupakan hasil pengukuran oleh petugas yang kompeten merupakan kewajiban yang
tidak dapat diabaikan oleh pengusaha pelayanan radiologi.
2. Teknik Radiologi dan Radiografi Medik
Dalam hal ini ALARA (as low as reasonably achieveable) perlu diterapkan pada setiap
pemeriksaan radiologis. Dan ini dapat tercapai apabila teknik-teknik radiologis yang
dipergunakan terseleksi dengan baik dan tepat guna, terutama dengan memperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas gambar dan dosis pada pasien, seperti
pembatasan luas lapangan penyinaran yang terkena sinar (field of view), dan juga
pemilihan exposure factors yang tepat, seperti kV, mAs, target to skin distance, air gap,
angulasi, instruksi atau aba-aba ke pasien untuk menahan napas dan juga penglabelan
film yang telah ter-expose.
Apabila faktor-faktor tersebut di atas tidak diperhatikan maka ratio pengulangan
pemeriksaan akan menjadi tinggi dan menurut statistik bahkan dikabarkan bisa
mencapai 10-30% ( RS pendidikan ). Oleh sebab itu penilaian dan analisa terhadap film
yang ditolak ( Reject Film Analisis ) sangat dianjurkan. Hal ini dapat dihindari dan paling
tidak bisa ditekan dengan pelaksanaan prosedur quality control yang konsekuen
dengan mengikutsertakan tidak hanya pada peralatan radiologis, akan tetapi juga
operator dan staf untuk selalau sadar berkualitas.
3. Rujukan.
Pemeriksaan diagnostik radiologi merupakan informasi klinis yang sangat membantu
dalam menegakkan diagnostik penyakit yang diderita pasien dan sangat berpengaruh
dalam penatalaksanaan dan terapi pasien, akan tetapi suatu report yang dikeluarkan
oleh British Medical Journal relatif mengejutkan, karena diberitakan bahwa sekitar 1/5
dari pemeriksaan radiologis yang dilakukan di England secara klinis dinyatakan tidak
menolong/ mendukung, hal ini disebabkan oleh karena indikasi pemeriksaan tersebut
maupun kualitasnya tidak tepat. Kemungkinan situasinya di Instalasi radiologi lain tidak
berbeda jauh, termasuk juga di Indonesia. Oleh karena itu kasus-kasus seperti ini perlu
dihindari dan ditekan angka kejadiannya, karena dapat mengurangi beban dosis radiasi
pada pasien secara individual maupun kolektif. Dalam hal ini perlu disosialisasikan
buku-buku rujukan dan rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh badan-badan
internasional maupun nasional ( IAEA, BATAN, BAPETEN ) yang berkaitan dengan
radiasi maupun indikasi pemeriksaan radiologis agar dapat dijadikan pedoman bagi
operator atau radiografer.
Dengan sendirinya usaha dari organisasi profesi untuk mengeluarkan buku pedoman
pelayanan medis bagi tiap-tiap perhimpunan kedokteran, termasuk juga Perhimpunan
Dokter Spesialis Radiologi Indonesia ( PDSRI ), Persatuan Ahli Radiografi Indonesia
( PARI ) merupakan hal yang sangat kita sambut dengan baik dan harapan ini ternyata
telah terlaksana dalam waktu yang tidak terlalu lama telah tersedia buku-buku
pedoman yang diterbitkan oleh organisasi profesi baik oleh PDSRI maupun oleh PARI.
4. Pendidikan dan Training
Salah satu faktor penting yang dapat mengurangi dosis radiasi pada pasien adalah pengetahuan
dan skill dari pada SDM yang berkecimpung dalam diagnostik radiologis. Oleh karenanya
pendidikan dan training pada SDM di atas merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Dari pengalaman-pengalaman yang lalu dibeberapa negara industri dapat dilaporkan, bahwa
melalui pendidikan dan training seperti di atas dan sosialisasi informasi yang diperoleh di
masing-masing tempat kerja oleh peserta membebani pasien sampai sekitar 40%. Kursus-kursus
yang diselenggarakan oleh BAPETEN dalam konteks Petugas Proteksi Radiasi ( PPR ) dan
kursus keterampilan bidang radiografi oleh profesi PARI tidak saja meningkatkan keterampilan
dan kemahiran profesional tetapi diharapkan juga dapat membuahkan hasil yang memadai
sehingga dapat mengurangi penerimaan dosis pasien , tentunya hal ini memerlukan evaluasi
lebih lanjut, setelah pelaksanaannya mencakup seluruh pekerja radiasi.
5. Dosimerti.
Pengetahuan mengenai dosis radiasi yang diberikan pada pasien dalam pemeriksaan
radiologis sangat penting dan sangat berguna sebagai usaha pengurangan dosis
radiasi. Survey dari beberapa negara menunjukkan bahwa dosis yang diterima pasien
di berbagai rumah sakit sangat bervariasi satu sama lain meskipun pada pemeriksaan
radiologis yang sama. Oleh karenanya diperlukan pengembangan protokol dosimetri
untuk pemeriksaan diagnostik radiologis bagi masing-masing negara yang dapat
diterapkan di rumah sakit-rumah sakit dan memenuhi standart internasional (IAEA).
Setiap pekerja radiasi di rumah sakit atau bagian radiologi diharapkan dapat mengecek
atau mengevaluasi kondisi dan performance mereka untuk dibandingkan dengan
standart nasional maupun internasional.
Secara garis besar dosis yang dihitung secara kuantitatif pada pemeriksaan diagnostik
direkomendasikan sebagai berikut :
Dosis masuk yang diukur pada permukaan pasien pada senter dari sinar-X untuk
radiografi individual ( sebanding dengan pemakaian kV dan mAs yang digunakan )
Produk dosis area kumulatif untuk pemeriksaan dengan teknik fluroscopi.
Tentunya pengukuran dosis kepada pasien harus dilakukan oleh tenaga yang kompetan
( Fisika Medik ) dan dilakukan dengan alat ukur yang telah dikalibrasi dengan teknik
dan prosedur pengukuran yang sesuai sehingga hasil pengukuran yang didapat dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya.
6. Quality Control / Assurance.
Quality control / assurance juga faktor lain yang perlu disosialisasikan karena dapat
mengurangi frekuensi pengulangan pemeriksaan akibat hasil gambar yang berkualitas
rendah yang juga berdampak pada pengurangan dampak radiasi pada pasien.
Pengecekan kualitas setiap harinya pada alat Roentgen, Kontak Film Screen , film
radiografi dan mesin cuci merupakan langkah-langkah yang perlu dijadikan usaha rutin
dalam memenuhi tuntutan quality assurance.
Untuk mendapatkan gambar Roentgen yang berkualitas tinggi dengan menggunakan
dosis sinar-X yang dapat dipertanggungjawabkan, Commission for European
Communities (CEC) telah mengeluarkan buku petunjuk mengenai kriteria gambar
radiologis yang baik, kriteria dosis radiasi yang diperlukan dan juga contoh-contoh
mengenai teknik radiologis yang baik dan kiranya dapat juga dijadikan asupan untuk
kita di Indonesia.
Oleh karena situasi dan kondisi suatu instalasi radiologi sangat berbeda disetiap rumah
sakit, tentunya pekerja radiasi di Rumah Sakit tersebutlah yang paling mengetahuinya,
sehingga kesadaran akan keselamatan kerja serta kesadaran akan kualitas perlu
dikembangkan oleh setiap pekerja radiasi di rumah sakit tersebut, sehingga manfaat
dari pemakaian radiasi sinar-X dalam tercapai dengan meminimalkan dosis radiasi yang
diterima oleh pasien dan pekerja.
PERMASALAHAN
Dari uraian diatas ternyata situasi dan kondisi di Instalasi Laboratorium Radiologi Jur
Tro Poltekkes Jakarta II belum dapat dikatakan cukup memadai baik sistem
pemeliharaan peralatan radiologi, apalagi untuk dilakukan kalibrasi, sehingga sampai
saat ini kegiatan pemeriksaan radiografi yang dilakukan khususnya pemilihan faktor
eksposi hanya dilakukan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh
radiografer yang tentunya mempunyai keterbatasan. Dengan demikian timbul
permasalahan “ Mampukah Radiografer Instalasi Laboratorium Radiologi
meningkatkan kualitas keselamatan dan kesehatan kerja dengan kondisi
fasilitas , peralatan radiologi serta sumber daya manusia yang terbatas “.
Tentunya permasalahan ini harus di identifikasi terlebih sehiingga ditemukan
penyebabnya, khususnya penyebab yang paling dominan guna dilakukan alternatif
tindakan –tindakan pemecahannya yang paling memungkinkan.
IDENTISIFIKASI PERMASALAHAN.
Instalasi Laboratorium Radiologi saat ini sudah memiliki beberapa pesawat rontgen dari
berbagai jenis dan merk, baik yang telah lama usianya maupun yang relatif baru. Untuk
pesawat radiologi yang baru tentu saja parameter faktor eksposi masih berfungsi
dengan baik dengan keakurasian yang cukup memadai. Namun tidaklah demikian
dengan pesawat rontgen yang sudah cukup lama beroperasi tentunya parameter
faktor eksposi baik kV, mA, maupun timer perlu pengkajian dan pengukuran tingkat
keakurasiannya yang sampai saat ini belum mampu dilakukan oleh radiogafer
berhubung keterbatasan/ tidak dimilikinya alat – alat ukur radiasi. Padahal kesesuaian
besarnya kV, linear nilai mA yang diseting/dipilh pada saat eksposi dengan besarnya
tenaga sinar-x yang terukur haruslah dalam batas toleransi sangatlah mengurangi
kesalahan pada pemotretan yang memungkinkan adanya pengulangan foto yang
berarti adanya penambahan dosis bagi pasien yang secara tidak langsung
meningkatkan penerimaan paparan radiasi bagi pekerja.
Begitu pula peralatan proteksi radiasi, baik berupa Apron, sarung tangan timbal tirai Pb
pada pesawat rontgen, perisai radiasi, kontruksi dinding serta bangunan dapat
dikatakan memenuhi persyaratan keamanan pekerja radiasi maupun lingkungan
dimana pesawat dioperasikan.
Perlengkapan lain yang masih dan kurang mendapat perhatian adalah, lampu merah
pada pintu masuk ruang radiasi yang harus menyala pada saat pesawat rontgen
dihidupkan serta tanda-tabda adanya radiasi belum terpasang.
Begitu pula pengukuran tingkat paparan radiasi lingkungan belum dapat dilakukan,
sehingga evaluasi penerimaan dosis petugas proteksi radiasi hanyalah dari catatan
dosis perorangan yang ditunjukan oleh hasil pengukuran film badge setiap bulannya
yang berkisar antara 10 – 20 Rem/ bulan.
Melihat dari besarnya dosis radiasi yang diterima menunjukan bahwa tindakan proteksi
yang selama ini dilakukan oleh petugas masih cukup efektif dan efesien,
mengaplikasikan semua faktor utama proteksi radiasi pada saat bekerja dengan radiasi,
baik itu faktor Perisai, Waktu maupun jarak kesumber radiasi serta kepatuhan petugas
kepada standar prosedur bekerja dengan radiasi pada waktu melakukan dan
melaksanakan tugasnya sebagai tenaga kesehatan bidang radiologi.
Didalam pelaksanaan pemeriksaan radiografi, telah diusahakan dilakukan sesuai
dengan Standar Prosedur Pemeriksaan radiografi, sehingga hasil foto yang dibuat
sesuai dengan kriteria gambar, namun demikian untuk meningkatkan kualitas gambaran
radiografi tentunya diperlukan upaya-upaya lain diantaranya melalui kegiatan Jaminan
Kualitas Radiodiagnostik. Tentu saja kegiatan Jaminan Kualitas radiodiagnostik yang
dilakukan tidak dapat dilakukan secara menyeluruh hal ini disebabkan keterbatasannya
peralatan Jaminan Kualitas Radiodiagnostik ( QA Tool Set ), sehingga pengukuran
akurasi out put sinar-x, linearisasi, mA, serta kalibrasi pesawat rontgen tidak dapat
dilakukan. Sehingga kegiatan Jaminan Kualitas Radiodiagnostik yang dapat dikerjakan
adalah pengukuran yang sangat sederhana dengan memakai alat bantu yang dibuat
sendiri, diantaranya pengukuran ketepatan luas lapangan penyinaran ( Light Beam
Aligment ), ketepatan sentrasi sinar – x.
Untuk kegiatan Jaminan Kualitas Kamar Gelap, pengukuran kecepatan film, gamma
film, dan pengukuran daerah radiografi sebagai pedoman pemakaian faktor ekposi
untuk suatu pemotretan serta pengukuran densitas film belum dapat dilakukan karena
tidak adanya alat sensitometer dan densitometer. Dengan demikian Kegiatan Jaminan
Kualitas Radiogarfi hanya meliputi, pemeriksaan dan pemeliharaan Casette dan kontak
film screen, pemeliharaan mesin prosesing film otomatis, sehingga dari evaluasi analisa
film yang ditolak ( Reject Film Analisis ) menunjukan tingkat penolakan film semakin
menurun, secara konkrit kerusakan film akibat kesalahan petugas rata-rata berkisar 1-3
% setiap bulan yang berarti terjadi penghematan alat dan bahan yang cukup signifikan
apabila di konversi kedalam rupiah.
Dengan demikian jelaslah bahwa kegiatan Jaminan Kualitas Radiodiagnostik sangat
dianjurkan untuk dilaksanakan secara berkala dan terus menerus.
Perkembangan Teknologi Radiografi khususnya perkembangan jenis kontak film screen
yang mutakhir yaitu kontak film screen jenis rare earth dengan green emited telah
diterapkan di Instalasi radiologi, konsekwensinya harganya relatif lebih mahal
dibandingkan dengan jenis blue emitted begitu pula film yang dipakai harus diganti dari
jenis film blue sensitif menjadi film green sensitif yang juga harganyapun relatif lebih
mahal. Namun demikian keuntungan pemakaian kombinasi kontak film screen jenis
green emited dengan film green sensitif dibandungkan dengan pemakaian kombinasi
kontak film screen dengan film blue sensitif adalah pemakaian faktor ekposure untuk
pemeriksaan radiografi menjadi lebih kecil, yang berarti selain dosis radiasi yang
diterima pasien jauh lebih berkurang juga pembebanan pesawat menjadi lebih rendah.
Tentang rujukan ataupun acuan tindakan keselamatan dan kesehatan kerja dengan
radiasi, selama ini masih mengacu kepada Undang-undang No 31 tahun 1964 tentang
Ketentuan Pokok Tenaga Atom serta Surat Edaran Dirjen BATAN No PN 001/92/DJ/87
tentang Pedoman Keselamatan Kerja dengan zat Radioaktif dan atau sumber radiasi
lainnya. Sampai saat ini belum dimiliki buku Undang-Undang No10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran sebagai pengganti Undang-Undang No 31 Tahun 1984. Begitupula
buku rujukan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja dengan radisi yang
diterbitkan oleh IAEA ( International Atomic Energy Agency ) dalam bentuk buku Basic
Safety Report dan yang terbaru adalah Basic Safety No 115, termasuk didalamnya
Refereal Dose untuk setiap pemeriksaan dengan radiasi sinar-X baik secara radiografi
maupun fluoroscopy.
Mengenai Pelayanan Radiologi dipakai acuan Undang-Undang No:23 Tahun 1997
Tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No 366/MENKES/PER/V/97 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Radiologi dan Keptusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
436/MENKES/SK/VI/1993 tentang Berlakunya Standar Pelayanan Rumah Sakit dan
Standar Pelayanan Medik di Rumah Sakit.
Pendidikan dan Pelatihan bidang radiologi dan teknologi radiologi yang langsung dapat
meningkatkan kualitas profesionalisme tenaga kesehatan khususnya Radiografer
sampai saat ini masih dirasakan sangat kurang, padahal sangat dirasakan perlunya,
karena perkembangan Ilmu radiologi dan Teknologi Radiologi sangat pesat sehingga
sulit untuk diantisipasi apabila tidak dilakukan dengan peningkatan kualitas radiografer
melalui keikutsertaan di dalam pendidikan dan pelatihan bidang radiologi baik yang
diselenggarakan oleh rumah sakit maupun oleh organisasi profesi radiografer. Keikut
sertaan Radiografer hanya dalam kegiatan seminar atau Kongres Ahli Radiografi yang
dilaksanakan oleh Profesi minimal satu tahun sekalai dan empat tahun sekali untuk
Kongres Nasional.
PEMECAHAN MASALAH
Dari uraian mengenai identivikasi masalah yang dihadapi telah dilakukan upaya
pemecahan masalah melalui beberapa alternatif yang dapat segera dilakukan
diantaranya adalah :
1. Perpanjangan Perizinan Pemanfaatan Pesawat Radiologi yang sekarang masih
berlaku sampai ……………….. Th ………..
2. Penyediaan alokasi dana melalui DIPA Poltekkes Kemkes Jakarta II yang
diperuntukan untuk kalibrasi, pemeliharaan dan pengadaan alat dan bahan,agar
pesawat selalu ddalam keadaan laik pakai.
5. Penambahan Phantom sebagai alat simulasi yang sampai saat ini dirasakan
kurang memadai dalam jumlah yg tersedia.
6. Penambahan alat roentgen baru yg lebih mutakhir, termasuk alat-alat USG,
panoramic, Digital Radiologi.
7. Membuat MOU dengan BAPETEN agar Institusi Pendidika Jur Tro dapat
melakukan penyelenggaraan Pelatihan PPR secara berkesinambungan.
8. Membuat MOU dengan Pelayanan Radiiologfi di Rumah sakit agar para dosen
dapt melakukan magang untuk memperdalam wasan pengetahuan bidang
radiology.
9. Penambahan Alat diteksi dan Dosimetri radiasi, bila memungkinkan berupa TLD
agar dapat dialkukan penelitian tentang penerimaan dosis intrance pada suatu
pemeriksaan.
Alternatif pemecahan masalah perlu dikaji ulang agar dana yang tidak tak terbatas
memang digunakan secara efekif dan efesien guna tercapainya pelayanan pendidikaan
yang lebih bermakna dalam upaya pencapaian tujuan institusi pendidikan dan tujuan
pembelajaran dalam rangka dimilikinya kompetensi setiap mahasiswa secara bertahap.