Anda di halaman 1dari 74

Nama : Rudini Mulya

Nim : 122170056
Program Studi : Magister Manajemen
Mata kuliah : Strategi Daya Saing Industri

Soal TQM.
Jelaskan pengertian tentang Total Quality Manajemen (TQM)!
Berikan studi kasus!
Jawab.

Total quality control merupakan proses pengecekan kualitas bahan baku/material setengah jadi yang
dikirim dari supplier/subcontractor yang bertujuan agar bahan baku/material setengah jadi yang
diterima spesifikasinya sesuai standar mutu..pada proses input ikut serta peran manusia dan mesin
dalam menghasilkan produk yang baik.

Quality ansurance merupakan proses pengendalian mutu pada proses produksi mulai dari material
diterima bagian produksi dari gudang hingga proses pengkemasan. Pada proses produksi dibutuhkan
metode yang efektif dan efisien. Quality control merupakan proses dimana pengecekan barang jadi
yang telah diproduksi siap untuk dikirim kepelanggan.

Total quality control (TQM) merupakan gabungan dari ketiga proses pengecekan mutu diatas. Mutu
dijaga kualitasnya mulai dari penerimaan bahan baku hingga sampai produk jadi dikirim
kepelanggan. Ada sebuah moto tentang TQM seperti “tidak menerima barang cacat, tidak
memproses barang cacat dan tidak mengirim barang cacat”.

TQM dapat membantu semua strategi produksi. Quality yang dibangun dengan mendayagunakan
operator dapat mengurangi waktu pengecekan produk. Hal ini menyebapkan perusahaan dapat
memfokuskan pada pelanggan dan lebih fleksibel dalam memenuhi permintaan mereka. Ditambah
lagi, quality yang baik akan mengurangi limbah dan rework yang berakibat berkurangnya biaya dan
tercapainya low selling price.
Pengertian dari rumah TQM pada gambar diatas yaitu:
• Atap : Tujuan TQM yakni : kualitas terbaik, harga pantas, lead time paling pendek
• Penyangga : Just in Time dan Jidoka
• Tiang : JIT, Takt time, dan Sistem tarik sedangkan Jidoka mencegah ketidaknormalan dan
memisahkan kerja manusia dan mesin
• Dasar : Heijunka, Standarisasi kerja dan Kaizen.

Ada tujuh konsep pada penerapan TQM yaitu:


1. Perbaikan terus menerus.
2. Pemberdayaan karyawan.
3. Benchmarking.
4. Just-in-time (JIT).
5. Konsep taguchi.
6. Pengetahuan alat TQM
7. “six sigma”.

Muda,mura dan muri. Muda merupakan sesuati yang tidak menghasilkan nilai tambah. Mura
merupakan pemerataan beban kerja dan muri merupakan tidak membebani operator atau mesin
secara berlebihan. 3M memiliki kontribusi besar untuk mensukseskan konsep TQM, karena pada
penerapan dilapangan apabila salah satu dari 3M tidak terlaksana maka akan berpotensi timbul
masalah kualitas.

Perbaikan berkelanjutan akan tercapai bila perusahaan mempunyai standarisasi, dengan adanya
standarisasi memungkinkan meningkatkan efekifitas dan efisiensi produksi karena sudah ada acuan
awal yang terstandarisasi. Dengan adanya perbaikan berkelanjutan terutama dibidang mutu maka
potensi terjadinya cacat produksi semakin kecil.
Studi Kasus Total Total Quality Manajemen (TQM)

Deskripsi.
Indonesia memerlukan industri strategis pertahanan dengan kemampuan luas untuk memproduksi
berbagai sistem senjata yang diperlukan TNI. Industri strategis tersebut memiliki peluang besar untuk
dikembangkan menjadi pusat unggulan teknologi sesuai dengan jenis industrinya, termasuk dalam
mendukung industri militer. Meski menghadapi sejumlah tantangan, Indonesia masih memiliki
prospek dan peluang yang baik dalam membangun industri pertahanan yang dewasa ini telah
menuntut adanya pengembangan terhadap praktik-praktik manajemen yang inovatif dan relevan.
Perubahan ini menyebabkan terciptanya lingkungan baru pada manajemen. Seperti halnya dengan
perusahaan manufaktur lainnya, Industri Pertahanan, juga memerlukan standar Total Quality
Management (TQM). Dasar pemikiran perlunya Total Quality Management diterapkan di industri
pertahanan yakni bahwa cara terbaik agar dapat bersaing dan unggul dalam persaingan global
adalah dengan menghasilkan kualitas terbaik. Untuk menghasilkan kualitas terbaik diperlukan upaya
perbaikan berkesinambungan terhadap kemampuan manusia, proses, dan lingkungan secara terus-
menerus.

Indonesia merupakan satu dari tujuh Negara besar di dunia yang diprediksi bakal menguasai industri
pertahanan dunia. Negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Eropa Barat,
Brasil, India, dan Indonesia. Ketujuh negara tersebut juga akan memiliki pertahanan yang terkuat di
antara negara-negara di dunia. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam membangun industri
pertahanan hal ini disebabkan karena perdagangan senjata tidak dapat disamakan dengan bisnis
produk lain yang bebas diperdagangkan. Semakin banyak negara yang memproduksi senjata ringan,
semakin ketat pula persaingan yang terjadi. Esensi TQM adalah melibatkan dan memberdayakan
seluruh pegawai dalam mengadakan perbaikan kualitas barang dan jasa secara berkelanjutan, yang
dapat memberi kepuasan kepada konsumen. Pelaksanaan TQM didasarkan pada konstribusi dari
manajemen ilmiah, dinamika kelompok, pelatihan dan pengembangan pegawai, teori motivasi,
keterlibatan pegawai, mata rantai hubungan organisasi, sistem sociotechnical, pengembangan
organisasi, budaya perusahaan, serta teori kepemimpinan baru yang digunakan dalam menyusun
perencanaan strategi perusahaan.

Masalah.

Berdasarkan permasalahan di atas maka perumusan masalahnya adalah

 Komponen-komponen total quality management apa sajakah yang mendukung mutu kualitas
produksi dan bagaimanakah penerapannya di industri senjata?

 Bagaimana mengidentifikasi salah satu komponen total quality management yang


berpengaruh terkait peningkatan mutu kualitas terhadap perubahan terjadinya downtime pada
produksi klongsong dengan metode MVSM sehingga dapat menurunkan nilai downtime.

Solusi.

Untuk mengetahui mutu kualitas terpadu dan obsesi terhadap kualitas pada Industri pertahanan
dapat dilihat dari perencanaan, pengambilan tindakan, solusi masalah yang dihadapi, dan evaluasi
kinerja.

Salah satu analisis Total Quality Management yang mengimplementasikan obsesi terhadap kualitas
adalah hal perawatan yang mana untuk menjaga mutu kualitas tersebut, dengan menggunakan
metode yang bisa digunakan untuk mengatasi permasalahan aktivitas perawatan yang belum
terprogram dan keandalan mesin dikarenakan usia mesin yang sudah tua maka perlu dilakukan
adanya penggambaran sistem perawatan actual dengan menggunakan MVSM.

Value stream mapping (VSM).

Value stream mapping adalah tool grafik dalam Lean Manufacturing yang membantu melihat flow
material dan informasi saat produk berjalan melalui keseluruhan bisnis proses yang menciptakan
value mulai dari raw material sampai diantar ke customer.

VSM mampu memvisualisasikan aliran produk dan mengidentifikasi waste. VSM juga membantu
untuk memprioritaskan masalah yang akan diselesaikan. Sebuah VSM adalah salah satu bentuk dari
process mapping yang menunjukkan secara detil aliran material, aliran informasi, parameter
operational leadtime, yield, uptime, frequency pengiriman, jumlah manpower, ukuran batch, jumlah
inventory, setup time, process time, efisiensi proses secara keseluruhan, dll.

Manfaat dari VSM sangat banyak dan merupakan tools utama dalam Lean yang membantu untuk
melihat bisnis process secara keseluruhan saat ini. Sehingga kita bisa memvisikan seperti apa bisnis
process yang diimpikan, yang sangat efisien, dan bebas dari waste. Dari sinilah akan dimulai
beberapa project improvement berdasarkan prioritas yang teridentifikasi dari VSM.

VSM dibuat spesifik untuk produk tertentu yang memiliki demand rate yang specific. Penggolongan
untuk produk dengan tahapan proses yang sama disebut juga family grouping. Setelah specific
produk ditentukan, maka customer demand juga harus ditentukan untuk mengetahui takt time yaitu
lama waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi satu produk. Nilai takt time di dapat dari formula
waktu operational time yang tersedia terhadap customer demand.

Beberapa hal yang akan teridentifikasi dari VSM adalah penumpukan inventory berlebihan pada
proses tertentu, scrap yang tinggi, waktu uptime yang rendah, batch size yang terlalu besar, aliran
informasi yang tidak mencukupi, waktu tunggu yang terlalu lama, dan effisiensi waktu dari bisnis
proses secara keseluruhan. VSM mensyaratkan untuk memvalidasi data operational secara langsung
ke lapangan (gemba), berdiskusi dengan orang lapangan untuk memastikan keaktualan data. VSM
akan membantu dalam mengimprove bisnis proses secara menyeluruh dan menjadikannya sangat
efisien.

Maintenance value stream mapping.

Metode Maintenance Value Stream Map (MVSM) ini digunakan untuk memetakan aliran proses serta
informasi dalam aktivitas maintenance untuk sebuah peralatan. Metode ini merupakan
pengembangan dari Value Stream Mapping (VSM). Dalam MVSM ini, output yang didapat adalah
jumlah waktu yang tergolong sebagai waktu yang bernilai tambah atau value added (VA) dan yang
tidak bernilai tambah atau non value added (NVA) serta efisiensi perawatan. Berdasarkan map yang
dibuat, dapat ditemukan hal-hal yang berupa waste di setiap aliran proses.

Analisis Penerapan TQM


Industri senjata telah berhasil menerima sertifikat ISO 9002 dan ISO 9001 sebagai realisasi bahwa
perusahaan telah menerapkan Total Quality Management (TQM). Penerapan TQM yang telah
diterapkan yaitu:
A. Fokus pada pelanggan
Industri senjata telah melakukan langkah-langkah yang tepat dan sesuai permintaan pasar.
Penerapan karakteristik fokus pada pelanggan di Industri Senjata sudah dilakukan sesuai
International Standard Organization ialah top manajemen harus menjamin persyaratan/keinginan
pelanggan yang ditetapkan dan dipenuhinya tujuan meningkatkan kepuasan pelanggan. Karakteristik
Industri Senjata dalam membentuk fokus pada pelanggan, yaitu:
1) Visi, Komitmen dan suasana.
2) Penjajaran dengan pelanggan.
3) Kemauan untuk mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan pelanggan Industri Senjata
selalu berusaha untuk mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan para pelanggannya.
4) Memanfaatkan informasi dari pelanggan.
5) Industri Senjata dalam mendekati para pelanggan berdasarkan pendekatan TQM, tidak cukup
bila Industri Senjata hanya pasif dan menunggu umpan balik yang disampaikan oleh
pelanggannya.
6) Industri Senjata telah melakukan pemberdayaan pegawai sebagai profesional yang memiliki
kemampuan melakukan hal-hal yang dianggap perlu dalam rangka memuaskan kebutuhan
pelanggan.

Keenam karakteristik tersebut oleh Industri Senjata digunakan sebagai pedoman dan membentuk
fokus pada pelanggan. Pada tahap awal setiap Industri Senjata perlu melakukan analisis diri. Dalam
analisis ini akan ditentukan karakteristik mana yang sudah dan belum ada dalam Industri Senjata.
Industri Senjata perlu mewujudkan karakteristik yang belum ada tersebut sehingga fokus pada
pelanggan dapat terbentuk. Adapun untuk penerapan kepuasan pelanggan diarahkan ke sisi harga
(biaya) dan ketepatan delivery (sesuai kontrak), memberikan layanan produk khusus pada pelanggan
dimana produk tersebut tidak memperhatikan besaran margin profit.

B. Obsesi terhadap kualitas


Industri senjata selalu menjaga kualitas produknya sebaik mungkin. Hal ini sangat mendukung
penerapan Total Quality Management yang mengutamakan peningkatan kualitas dari waktu kewaktu.
Industri senjata telah menerapkan sistem manajemen mutu sesuai standar ISO 9001/9002 dan ISO
Guide 25, selain itu untuk mewujudkan tercapainya kualitas / kebijakan mutu dan K3LH, Industri
senjata menerapkan ISO 2001:9008 untuk sistem management mutu dan ISO 14001:2004 + OHSAS
18001:2007 untuk kesehatan & keselamatan kerja serta lingkungan hidup.

Pada analisis obsesi terhadap kualitas produk pada semua divisi yang ada di Industri senjata telah
sesuai product design, process management, SPC / feedback manajemen inti Industri Senjata,
namun guna peningkatan kualitas dimasa depan ada salah satu bagian yang harus dievaluasi
berkaitan dengan produktifitasnya. Berikut hasil data temuan masalah produktifitas pada bagian
proses produksi di Industri Senjata, data downtime pada tahun 2010-2012. Dapat diketahui hasil
pengolahan data seperti pada Gambar 1 dan Tabel 1.

Gambar 1. Pareto produksi klongsong


Tabel 1 Jumlah Downtime Setiap Komponen Pada Proses Bor Lubang Api

Gambar 2. Current State Value Stream Map Perbaikan Motor Spindle

MTTO : 1549,66 jam.


MTTR : 0,5 jam.
MTTY : 0,5 jam.

Berdasarkan analisis dari diagram sebab akibat maka dapat dilakukan usulan perbaikan dengan
melakukan pembuatan Pin Spindle bor lubang api. Permasalahan utama yang menyebabkan pin
spindle ini sering rusak adalah retak dan pecah. Hal ini diakibatkan oleh kualitas yang kurang baik
dari komponen. Proses pembuatannya Tabel 2, sebagai berikut:
Tabel 2 Proses Pembuatan Sambungan Rotor Spindle Bor.

Gambar 5. Future State Value Stream Map Perbaikan Motor Spindle


MTTO : 34,66 jam.
MTTR : 0,5 jam.
MTTY : 0,5 jam.

C. Pendekatan ilmiah.
Pendekatan ini sangat diperlukan dalam penerapan TQM, terutama untuk mendesain pekerjaan dan
dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan
yang didesain tersebut. Dengan demikian, data diperlukan dan dipergunakan dalam menyusun patok
duga (benchmark), memantau prestasi, dan melaksanakan perbaikan. Fokus dari kegiatan
benchmarking diarahkan pada praktik terbaik dari perusahan lainnya. Ruang lingkupnya kearah
proses, fungsi, kinerja organisasi, logistik dan pemasaran. Benchmarking di Industri Senjata juga
berwujud perbandingan yang terus-menerus, jangka panjang tentang praktik dan hasil dari
perusahaan yang terbaik dimanapun perusahaan itu berada. Top manajemen Industri Senjata sangat
menyadari tanpa benchmarking sebuah perusahan dapat menjadi picik dan cepat merasa puas.
Perusahaan mungkin saja telah menentukan sasaran yang kelihatannya agresif berdasarkan kinerja
yang ada sekarang, tetapi tidak menyadari mungkin saja di kemudian hari meleset dibandingkan
dengan pesaing-pesaing yang sangat berhasil.

C. Komitmen jangka panjang.


Komitmen jangka panjang Industri Senjata tergambar dalam visi dan misi perusahaan sebagai
berikut:

1) Visi Industri Senjata adalah menjadi produsen peralatan pertahanan dan keamanan terkemuka
di Asia pada tahun 2023 melalui upaya inovasi produk dan kemitraan strategik.
2) Misi utama melaksanakan usaha terpadu dibidang peralatan dan keamanan serta peralatan
industrial untuk mendukung pembangunan nasional, khususnya bidang pertahanan keamanan
negara Republik Indonesia.
3) Tujuan adalah mampu menyediakan kebutuhan Alat Utama Sistem Persenjataan secara
mandiri
4) untuk mendukung penyelenggaraan pertahanan dan keamanan Negara Republik Indonesia.
5) Sasaran adalah meningkatkan potensi perusahaan untuk mendapatkan peluang usaha yang
menjamin masa depan perusahaan melalui sinergi internal dan eksternal.
6) Prinsip Dasar adalah Loyalitas, Integritas dan Dedikasi, yang berarti: berpegang teguh pada
tujuan perusahaan, kejujuran dan keutuhan sikap dalam interaksi organisasi dan pengabdian
pada perusahaan. Ketiga hal ini merupakan sikap keseharian setiap anggota organisasi yang
mendasari setiap aksi individual dan organisasi. Semangat kelompok tidak boleh mengalahkan
prinsip pertama ini.

D. Kerjasama tim.
Industri senjata memiliki satu visi dan misi untuk menyatukan gerak langkah pegawainya dalam
mencapai tujuan. Seluruh pegawai industri senjata harus memiliki misi yang sama sehingga akan
terjadi kesamaan gerak menuju tercapainya misi dan terjalinnya kerjasama tim yang kuat antar
pegawai. Di industri senjata berusaha menghindari ketidaksamaan misi antara perusahaan dengan
pegawai. Perusahaan memiliki misi mengejar keuntungan sebesar-besarnya, sedangkan pegawai
mempunyai misi mencari gaji, jabatan, dan penghargaan setinggi-tingginya. Kondisi ini akan
membuat perusahaan hancur dengan sendirinya. Untuk menghindari hal tersebut, masing-masing
harus menyadari tujuan perusahaan. Sinergi selalu dilakukan di industri senjata untuk mencapai
kesamaan tujuan supaya semua langkah akan seiring dan sejalan. Kerjasama tim juga diperlukan
industry senjata untuk menyatukan gerak dan langkah perusahaan. Tim kerja yang solid akan
menciptakan suasana yang kondusif bagi para pegawai. Kegairahan masing-masing anggota tim
dalam menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya akan mempercepat penyelesaian
tugas tersebut dengan kualitas maksimal.

E. Perbaikan sistem secara berkesinambungan.


Setiap produk dan atau jasa dihasilkan industry senjata dengan memanfaatkan proses-proses
tertentu di dalam suatu sistem / lingkungan. Oleh karena itu sistem yang ada industri senjata selalu
diperbaiki secara terus-menerus agar kualitas yang dihasilkannya dapat makin meningkat. Perbaikan
berkesinambungan di industri senjata adalah usaha peningkatan di segala bidang dalam jangka
panjang. Usaha tersebut perlu dilandasi oleh mindset yang semestinya agar unsur berkelanjutan
dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Budaya kualitas di industri senjata adalah sistem nilai
organisasi yang menghasilkan sesuatu lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan
kualitas terus-menerus. Untuk itu industri senjata perlu melakukan proses sistematis dalam
melaksanakan perbaikan berkesinambungan. Konsep yang berlaku di industri senjata adalah PDSA
(Plan- Do-Study-Act) yang terdiri dari langkah-langkah :

1) Membentuk dewan kualitas.


2) Menyusun pernyataan tanggung jawab dewan kualitas.
3) Membangun infrastruktur yang diperlukan.

Kegiatan perbaikan berkesinambungan dengan berdasarkan partisipasi semua pegawai di industry


senjata melalui wadah CIT (Continual Improvement Team) dan 3I (Individual Improvement Idea) yang
ada di semua unit kerja. CIT dan 3I mengembangkan dan merumuskan ide atau gagasan inovasinya
berpedoman kepada ISO 9001:2008 tentang Pedoman Perbaikan Mutu Berkelanjutan dan Inovasi di
Lingkungan Industri Senjata. Pedoman ini digunakan sebagai acuan kegiatan perbaikan dan inovasi
yang terstruktur dan sistematis guna meningkatkan mutu proses maupun hasil kerja.

F. Pendidikan dan pelatihan


Industri senjata sangat memperhatikan kualitas pegawai untuk meningkatakan kemampuan pegawai
hal itu dibuktikan dengan Surat Keputusan Direksi Nomor: Skep/2a/P/BDNII/2007 tanggal 4 Juni
2012 tentang Peraturan Pengembangan dan Pembinaan Karir Pegawai.

G. Kebebasan yang terkendali


Industri senjata memberikan kebebasan seluasluasnya kepada karyawan untuk mengambil
keputusan dan memecahkan masalah selama masih dalam koridor Code of Conduct yang tercantum
pada Surat Keputusan Direksi Nomor: 00223/DIR/l/2009 tanggal 12 Januari 2009 tentang Kode Etik
Perilaku Perusahaan.

H. Kesatuan tujuan
Industri senjata telah menerapkan kesatuan tujuan yang berkaitan erat dengan kegiatan
menyamakan persepsi perusahaan terhadap pentingnya mengutamakan kualitas. Salah satu kunci
keberhasilan adalah bergantung pada kinerja sumberdaya manusia yang secara langsung atau tidak
langsung memberi kontribusi pada perusahaan, yang meliputi pemangku kepentingan eksternal
(stake holders) dan kepentingan internal (pegawai) yang dimiliki oleh perusahan. Untuk memperoleh
kinerja optimal dari keberadaan pegawai dalam perusahaan maka perusahaan perlu menetapkan
strategi yang tepat, yaitu memikirkan bagaimana mengelola pegawai agar mau mencapai tujuan
perusahaan yang telah ditetapkan. Strategi ini merupakan strategi yang berorientasi pada tujuan
dengan menyamakan persepsi antara tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan dengan tujuan yang
ingin dicapai oleh pegawai yang bekerja pada perusahaan tersebut. Hal tersebut karena kepentingan
tujuan perusahaan dan kepentingan tujuan pegawai tidak dapat dipisah-pisahkan karena berada
dalam satu kesatuan kebersamaan yang utuh.

I. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan pegawai


Industri senjata dalam menerapkan Total Quality Management, partisipasi penuh dari pegawai dan
pimpinan menjadi kunci utama dalam pencapaian produktivitas, efisiensi dan efektivitas produk.
Pemberdayaan pegawai di Industri Senjata terwujud dilandasi oleh tiga keyakinan dasar berikut ini:

1. Subsidarity. Prinsip subsidiarity mengajarkan bahwa departemen yang lebih tinggi


kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab dan harus dilaksanakan oleh
departemen yang berkedudukan lebih rendah. Artinya mengambil tanggung jawab orang
merupakan suatu kesalahan karena keadaan ini akhirnya menjadikan orang tersebut tidak
terampil.
2. Semua pegawai pada dasarnya baik. Inti pemberdayaan pegawai adalah keyakinan bahwa
orang pada dasarnya baik. Pemberdayaan pegawai dapat dipandang sebagai pemerdekaan,
karena dengan pemberdayaan, pimpinan tidak lagi menggunakan pengawasan, pengecekan,
verifikasi dan mengatur aktivitas orang yang bekerja dalam organisasi. Pimpinan melakukan
pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi yang memadai kepada pegawai,
memberikan arah yang benar, dan membiarkan pegawai untuk mengerjakan semua yang
dapat dikerjakan oleh mereka. Oleh karena konsep pemberdayaan di Industri Senjata dimulai
dari keyakinan bahwa pegawai pada dasarnya ingin mengerjakan pekerjaan baik, direktur
tidak perlu lagi menerapkan metode guna membujuk pegawai untuk mengerahkan usaha
mereka. Pimpinan telah memastikan bahwa pegawai memiliki pengetahuan dan teknologi
yang diperlukan untuk pekerjaan mereka, dan pimpinan harus mendukung usaha pegawai
dengan menghilangkan hambatan apa pun yang mencegah terwujudnya kinerja unggul.
3. Trust-based relationship. Pemberdayaan pegawai menekankan aspek kepercayaan yang
diletakkan oleh manajemen kepada pegawai. Dari pemberdayaan pegawai, hubungan yang
tercipta antara manajemen dengan pegawai adalah hubungan berbasis kepercayaan
(trustbased relationship) yang diberikan oleh manajemen kepada pegawai, atau sebaliknya
kepercayaan yang dibangun oleh pegawai melalui kinerjanya. Dalam pendelegasian
wewenang, manajer tingkat atas memiliki wewenang karena posisinya (position-based power)
dan kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pegawai yang lebih rendah
posisinya. Pegawai yang lebih rendah ini juga menerima wewenang karena posisinya,
sehingga diapun memperoleh position-based power. Sedangkan di dalam pemberdayaan
pegawai, pegawai memperoleh wewenang bukan berdasarkan posisinya, namun karena
kinerjanya (performance-based power). Tanpa kinerja, pegawai tidak akanmampu
menumbuhkan kepercayaan dalam diri manajemen, sehingga trust-based relationship tidak
akan dapat terwujud.

Keuntungan.

Secara keseluruhan Industri Senjata telah menerapkan Total Quality Management dengan optimal.
Hasil pengembangan analisis TQM pada Obsesi terhadap Kualitas di bagian proses produksi
klongsong didapat Current dan Future State Value Stream Map perbaikan Spindle Motor, sebagai
berikut:
a. MTTO = 1549,66 Ja
b.
c.
d. Komponen pin spindle bor lubang api untuk peningkatan keandalan mesin dan penurunan
biaya suku cadang.
Soal TPM.
Jelaskan pengertian (Total Productive Maintenance) TPM!
Berikan studi kasus TPM!
Jawab:

Total Productive Maintenance (TPM) terbagi menjadi 3 pengertian yaitu:


1. Total Effectiveness, suatu TPM program tujuan utamanya adalah memaksimalkan
profitability.TPM akan memperbaiki equipment efectiveness yaitu dengan mengurangi
downtime,speed losses dan defects.
2. Total Maintenance System, TPM adalah suatu system perawatan preventive,memperbaiki
maintainability,preventive dan predictive maintenance,dan meningkatkan reliability equipment
dengan melaksanakan suatu program continous improvement.
3. Total Participation dari semua karyawan ( pekerja ).TPM adalah perawatan mesin yang
secara otonom oleh operator melalui aktivitas dari kelompok kecil dan pihak manajemen
menciptakan lingkungan yang menciptakan suatu perasaan memiliki dan juga
memperdayakan karyawan didalam membuat suatu keputusan.Operator mesin digunakan
untuk melakukan aktivitas-aktivitas minor seperti kebersihan mesin,inspeksi
mesin,lubricating,dan minor adjustment.

TPM memiliki tujuan zero mechanical breakdown dan zero defect.

Dalam TPM alat ukur yang digunakan adalah Overall Equipment Effectiveness (OEE) atau efektivitas
mesin secara menyeluruh, dimana perhitungan OEE berdasarkan kerugian dari mesin yang berhenti
karena kerusakan, mesin harus diperlambat, dan produk yang dihasilkan cacat, Idealnya parameter
OEE tersebut adalah sebagai berikut :
 Availability > 90 %
 Performance Efficiency > 95 %
 Quality rate product > 99 %
Sehingga keberhasilan suatu program TPM adalah jika pencapain nilai OEEnya hingga > 85 %.
Adapun bentuk pengukuran terhadap efektivitas suatu mesin atau OEE mesin memiliki tiga
parameter ukur yang dimana tedapat variabel terkait dalam pembentukan tiap parameter tersebut
yang meliputi, diantaranya :
1. Availability (ketersediaan)
Adalah perbandingan antara aktual waktu operasi (actual operating time) dengan waktu
pembebanan (plane operating time). Parameter ini memperhatikan tingkat kesiapan alat yang ada
dan yang digunakan untuk beroperasi. Ketersediaan yang rendah merupakan cerminan dari
pemeliharaan yang buruk. Secara sederhana dan dasar perhitungan Availability atau ketersediaan
adalah:
Availability Rate (A) = Waktu Operasi / Waktu Pembebanan yang direncanakan.
Dimana waktu operasi adalah waktu mesin yang dalam keadaan siap dipakai. Dan waktu
pembebanan (planned operating time) adalah waktu yang direncanakan untuk mengoperasikan suatu
mesin, namun setelah dilakukannya pembebanan waktu kepada mesin atau peralatannya tersebut
kemungkinan dapat terjadi losses utilisasi disaat mesin menjalankan waktu pembebanan tersebut.
Hal ini bisa disebabkan karena adanya rencana-rencana pemberhentian mesin seperti produksi habis
atau adanya pemeriksaan periodic mesin (preventive maintenance). Waktu operasi dihitung sebagai
hasil dari pengurangan antara waktu pembebanan dengan waktu yang terbuang (misal down time).
Waktu yang terbuang tersebut dapat terjadi karena adanya kerusakan mesin, adanya perbaikan
mesin, penggantian spare part atau material dan lain-lain yang memerlukan waktu untuk
mengatasinya. Dibawah ini adalah beberapa rumus dari parameter availability :
 Waktu operasi yang terencana = Total Waktu tersedia – Utilisasasi losses
 Utilisasi Rate = Waktu Operasi yang direncanakan / Total waktu yang tersedia
 Aktual waktu Operating = Waktu operasi yang direncanakan – Availability losses
 Availability Losses (Stop Losses) = Waktu perbaikan, waktu proses star stop, waktu break down,
waktu set up.
Dengan adanya penjelasan tersebut, maka nilai ketersediaan (Availability) dapat dihitung
dengan formula sebagai berikut :
Availability Rate (A) = Aktual Waktu Operasi / Waktu operasi yang direncanakan

2. Performance (Efisiensi Kinerja)


Dalam penentuan kinerja suatu peralatan atau mesin hasilnya akan menunjukkan seberapa jauh
tingkat keberhasilan program pemeliharaan yang telah dilaksanakan diperusahaan tersebut. Efisiensi
kinerja tersebut menggambarkan kondisi pengoperasian mesin dimana sebuah mesin bisa saja
dioperasikan dibawah kapasitas sebenarnya dari mesin tersebut. Pada proses produksi sebuah
produk, terdapat output atau standard waktu yang telah ditetapkan oleh bagian engineering untuk
menentukan lamanya waktu dari suatu produk tersebut diproses. Namun dalam pelaksanaanya
seringkali mesin dioperasikan dibawah waktu standard atau output yang telah ditetapkan tersebut.
 Speed Losses = (Target Output X Waktu Aktual Operasi) – (Real Output X Waktu Aktual
Operasi) / Real Output.
 Waktu Operasi Bersih = Waktu Aktual Operasi – Speed Losses.
Dari variabel tersebut diatas, sehingga nilai Performance atau Efisiensi kinerja dapat dihitung sebagai
berikut:
Performance Rate (P) = (Waktu Bersih Operasi / Waktu Aktual Operasi)
3. Quality Rate (Produk Bermutu)
Penentuan nilai produk bermutu ini diukur dari kemampuan sebuah mesin untuk menghasilkan
sebuah produksi yang memenuhi syarat mutu yang telah distandardkan oleh pihak perusahaan.
Kemampuan sebuah mesin untuk menghasilhan sejumlah produk yang memenuhi syarat mutu ini
tergantung dari kondisi mesin tersebut, apakah siap dipakai atau tidak. Dalam hal ini faktor
kemampuan operator juga memegang peranan yang penting dalam setiap hasil produksi yang
dihasilkan oleh mesin tersebut. Adapun variabel dalam parameters ini meliputi :
 Cacat Proses EXT = Total (Bahan – Hasil) / Real Output
 Cacat Proses BE = Jumlah Cacat BE / Real Output
 Cacat Quality = Jumlah Cacat Quality / Real Output
 Useful Operating Time = Waktu Bersih Operasi – Total Waktu cacat.
Dari variabel tersebut diatas, untuk nilai produk bermutu dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
Quality Rate (Q) = (Useful Operating Time / Waktu Operasi Bersih

Hasil dari parameter tersebut akan menunjukkan produktivitas sebuah mesin untuk menghasilkan
produk yang bermutu. Semakin tinggi produk bermutu yang dihasilkan oleh sebuah mesin, maka
semakin kecil pula produk cacat yang dihasilkan dan semakin banyak pula produk baik yang
dihasilkan dalam satuan waktu tertentu.
Dalam perhitungan selanjutnya, untuk mengetahui nilai OEE atau efektivitas mesin itu sendiri
dapat dihitung dengan cara mengalikan ketiga faktor atau parameters tersebut yang sudah
disebutkan diatas yaitu sebagai berikut :

OEE (efektivitas mesin) = Nilai A x Nilai P x Nilai Q

Six Big Losses adalah enam kerugian yang harus dihindari oleh setiap perusahaan yang dapat
mengurangi tingkat efektifitas suatu mesin. Six Big Losses tersebut biasanya dikategorikan menjadi 3
kategori utama berdasarkan aspek kerugiannya, yaitu Downtime, Speed Losses dan Defects. Yang
dimaksudkan dengan downtime adalah waktu yang terbuang, dimana proses produksi tidak berjalan
seperti biasanya diakibatkan oleh kerusakan mesin. Downtime mengakibatkan hilangnya waktu yang
berharga untuk memproduksi barang dan digantikan dengan waktu memperbaiki kerusakan yang ada
(Nakajima, 1988). Downtime terdiri dari dua macam kerugian, yaitu breakdown dan setup and
adjustment. Speed Losses adalah suatu keadaan dimana kecepatan proses produksi terganggu,
sehingga produksi tidak mencapai tingkat yang diharapkan. Speed Losses terdiri dari dua macam
kerugian, yaitu idling and minor stoppages dan reduced speed. Defects adalah suatu keadaan
dimana produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang diminta. Bila suatu produk yang
dihasilkan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka produk tersebut tidak dapat memuaskan keinginan
konsumen. Hal ini tentu merugikan bagi konsumen, juga bagi perusahaan karena perusahaan harus
mengeluarkan biaya untuk memperbaiki produk cacat tersebut, sehingga produk tersebut sesuai
dengan spesifikasi yang diminta. Defects terdiri dari dua macam kerugian, yaitu defects in process
and rework dan reduced yield.

The relationship between the six big losses in equipment and overall equipment effectiveness

Equipment Six big losses Calculation of overall equipment effectiveness

Equipment Availability =
Loading time – down time
1 X 100
failure Loading time
Loading time (e.g.)
Setup and 460 mins. – 60 mins.
2 Availability = X 100 = 87%
adjustment 460 mins.

Operating Idling and minor


Down time

Performance Theoretical cycle time x processed amount


3 = X 100
time stoppages efficiency Operating time
Losses

(e.g.)
Reduced Performance 0.5mins./unit x 400 units
4 = X 100 = 50%
speed efficiency 400 mins.
Net
Speed Losses

Operating
Defect in Rate of quality processed amount – amount of defects
time 5 = X 100
process products Processed amount
(e.g.)
Reduced Rate of quality 400units – 8 units
Valuable 6 = X 100 = 98%
yield products 400 units.
Operating
Lossess
Defect

time

Overall equipment Performance


= Availability X X Rate of quality products
effectiveeness efficiency

(e.g.) 0.87 X 0.50 X 0.98 X 100 = 42.6%


Studi Kasus Total Productive Maintenance.

Deskripsi.
Terhentinya suatu proses pada lantai produksi sering kali disebabkan adanya masalah masalah
dalam mesin/peralatan produksi mesin, lamanya waktu setup dan adjusment, mesin menghasilkan
produk yang cacat dan mesin beroperasi tetapi tidak menghasilkan produk. Hal ini akan menimbulkan
kerugian pada perusahaan karena selain dapat menurunkan tingkat efisiensi dan efektifitas
mesin/peralatan mengakibatkan adanya biaya yang harus dikeluarkan akibat kerusakan tersebut.
Selain pelayanan dalam mill service PT Purna Baja Harsco (PT.PBH) juga memproduksi PS Ball,
bahan baku produksi ini tidak lain adalah hasil limbah dari PT KS yaitu slag padat yang telah di
recovery. PS Ball adalah Precious Slag Ball , merupakan hasil dari slag cair yang di pouring
menggunakan sistem Automizing plant yang kemudian di prosess untuk memisahkan ukuran.PS Ball
berfungsi sebagai alat pengamplas atau penghilang karat, media penyaring pengolahan air pada
limbah industri, pemberat, campuran beton dan jalan aspal. Untuk memenuhi target produksi PS Ball
dalam memenuhi kebutuhan konsumen maka di perlukan perawatan–perawatan mesin produksi agar
lebih efektive dan efisien dalam penggunaannya.Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas
masalah pokok yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah masih rendahnya
efisiensi dan efektivitas penggunaan mesin/peralatan, sehingga perlu dilakukan pengidentifikasian
terhadap faktor-faktor dominan dari kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan mesin dan melakukan
analisis terhadap penyebab besarnya kontribusi faktor-faktor tersebut sehingga menjadi masukan
dalam penererapan total productive maintenance. Penelitian ini dilakukan pada mesin produksi PS.
Ball ( Precious Slag Ball ) karena pada mesin ini sering mengalami kerusakan yang mengakibatkan
berhentinya proses produksi sehingga target produksi sering kali tidak tercapai.

Masalah.

1) Untuk mengetahi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai OEE dan six big losses dari peralatan.
2) Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor nilai OEE dan six big losses.
3) Untuk mengetahui penerapan TPM dianjurkan setelah nilai OEE.

Solusi.

Untuk memecahkan masalah dalam studi kasus, digunakan pendekatanpendekatan dengan metode
Total Productive Maintenance yang dimulai dengan :
 Pengolahan data
Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan metode Overall Equipment Effectiveness.
 Analisa dan pemecahanmasalah
Hasil dari pengolahan data yang berupa perhitungan akan dianalisa, dilakukan pemecahan masalah,
lalu diberikan rekomendasi perbaikan.
 Langkah terakhir menarik kesimpulan dari hasil penelitian.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode overall equipment effectiveness langkah-
langkah yang dilakukan sebagai berikut :
1) Perhitungan Availability.
Availability, adalah rasio waktu operation time terhadap loading time-nya.
2) Perhitungan Performance Efficiency.
Performance effeciency adalah rasio kuantitas produk yang dihasilkan dikalikan dengan waktu siklus
idealnya terhadap waktu yang tersedia untuk melakukan proses produksi (operation time).
3) Perhitungan Rate of Quality Product.
Rate of Quality Product adalah rasio produk yang baik (good products) yang sesuai dengan
spesifikasi kualitas produk yang telah ditentukan terhadap jumlah produk yang diproses.
4) Perhitungan Overall Equipment Effectivenes (OEE).
Setelah nilai availability, performance efficiency dan rate of quality product pada
mesin produksi PS Ball diperoleh maka dilakukan perhitungan nilai overall equipment effectiveness
(OEE) untuk mengetahui besarnya efektivitas penggunaan mesin.
5) Perhitungan Six Big Losses.

Perhitungan DowntimeLosses.
1. Perhitungan Equipment Failures (Breakdowns)Perhitungan Setup dan Adjustment
2. Perhitungan Speed Loss
3. Perhitungan Idling dan Minor Stoppages
4. Perhitungan Reduced Speed
5. Perhitungan Defect Loss
6. Perhitungan Rework Loss
7. Perhitungan Yield/Scrap Loss

Data waktu downtime


Waktu down time adalah waktu yang seharusnya digunakan untuk melakukan proses produksi akan
tetapi dikarenakan adanya kerusakan atau gangguan pada mesin mengakibatkan mesin tidak dapat
melaksanakan proses produksi sebagaimana mestinya.

Kerusakan (breakdowns) atau kegagalan proses pada mesin/pealatan yang terjadi tiba-tiba.
Downtime merupakan kerugian yang dapat terlihat dengan jelas karena terjadi kerusakan
mengakibatkan tidak adanya output yang dihasilkan disebabkan mesin tidak berproduksi. Data waktu
downtime dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Data Waktu Kerusakan (Breakdown) Mesin PS Ball.


Planned Downtime
Tabel 2. Data Waktu Pemeliharaan Mesin PS Ball.

Data Waktu Setup mesin PS Ball


Tabel.3. Data Waktu Setup Mesin Produksi PS Ball.

Setelah semua data dikumpulkan, selanjutnya dilakukan pengolahan data.


1. Perhitungan Availability.
Availability, adalah rasio waktu operation time terhadap loading timenya. Nilai availability mesin
produksi PS Ball Januari 2015 adalah sebagai berikut :
Loading Time = 744 – 22,76 = 721,24
Downtime = 4,41 + 35,78 = 40,19
Operation time = 721,24 – 40,19 = 681,05

681,05
𝐴𝑣𝑎𝑖𝑙𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑦 100% = 94,43%
721,24

2. Perhitungan Performance Efficiency


Performance effeciency adalah rasio kuantitas produk yang dihasilkan dikalikan dengan waktu siklus
idealnya terhadap waktu yang tersedia untuk melakukan proses produksi (operation time).

Ideal Cycle Time produksi PS Ball = 6 jam/ 51ton = 0,1176 jam/ton Untuk Produksi PS Ball bulan
Januari 2015 :
3748,78 𝑥 0,11
𝑃𝑒𝑟𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑛𝑐𝑒 𝐸𝑓𝑓𝑖𝑐𝑖𝑒𝑛𝑐𝑦 = 𝑥100% = 64,68%
681,05

3. Perhitungan Rate of Quality Product


Rate of Quality Product adalah rasio produk yang baik (good products) yang sesuai dengan
spesifikasi kualitas produk yang telah ditentukan terhadap jumlah produk yang diproses.

Untuk Mesin Produksi PS Ball bulan Januari 2015 :


3745,775−340,53
𝑅𝑎𝑡𝑒 𝑜𝑓 𝑞𝑢𝑎𝑙𝑖𝑡𝑦 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡 = 𝑥100% = 90,91%
3745,775

4. Perhitungan OEE adalah perkalian nilai-nilai availability, performance efficiency dan rate of
quality product yang sudah diperoleh.
OEE (%) = Availability (%) × Performance Rate (%) × Quality Rate (%)

Untuk mesin produksi PS Ball bulan Januari 2015 :


OEE = (0,944277 × 0,6468 × 0,909091) x 100% = 55,52346%

Perhitungan Six BigLosses


1. Downtime Losses
Downtime adalah waktu yang seharusnya digunakan untuk melakukan proses produksi akan tetapi
karena adanya gangguan pada mesin (equipment failures) mengakibatkan mesin tidak dapat
melaksanakan proses produksi sebagaimana mestinya. Dalam perhitungan overall equipment
effectiveness OEE), equipment failures dan waktu setup and adjustment dikategorikan sebagai
kerugian waktu downtime (downtime losses).

a) Break down
perhitungan breakdowns loss sebagai berikut :
Untuk Mesin Produksi PS Ball bulan Januai 2015:
4,41
𝐵𝑟𝑒𝑎𝑘𝑑𝑜𝑤𝑛 𝑙𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠 = 𝑥100% = 0,61%
721,24

b) Setup dan Adjustment


Kerusakan pada mesin maupun pemeliharaan mesin secara keseluruhan akan mengakibatkan mesin
tersebut harus dihentikan terlebih dahulu. Sebelum mesin difungsikan kembali akan dilakukan
penyesuaian terhadap fungsi mesin tersebut yang dinamakan dengan waktu setup dan adjustment
mesin.
Untuk Mesin Produksi PS Ball bulan Januari 2015 :

35,78
𝑠𝑒𝑡𝑢𝑝 𝑎𝑑𝑗𝑢𝑠𝑡𝑚𝑒𝑛𝑡 𝑙𝑜𝑠𝑠𝑒𝑠 = 𝑥100% = 4,96%
721,21

2. Speed Loss
Speed loss terjadi pada saat mesin tidak beroperasi sesuai dengan kecepatan produksi maksimum
yang sesuai dengan kecepatan mesin yang dirancang.
a) Idling dan Minor Stoppages
Untuk Mesin Produksi PS Ball bulan Januari 2015 :
𝑁𝑜𝑛𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑒 𝑡𝑖𝑚𝑒 = 744 − 681,05 = 62,95

62,95
𝐼𝑑𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑎𝑛𝑑 𝑚𝑖𝑛𝑜𝑟 𝑠𝑡𝑜𝑝𝑝𝑎𝑔𝑒𝑠 = 𝑥100% = 8,73%
721,24
b) Reduced Speed
Untuk Mesin Produksi PS Ball bulan Januari 2015 :
Ideal Production Time = (0,1176 x 744) = 87,4944

681,05 − 87,4944
𝑅𝑒𝑑𝑢𝑐𝑒 𝑠𝑝𝑒𝑒𝑑 𝑙𝑜𝑠𝑠 = 𝑥100% = 0,82%
721,24

3. Defect Loss
Defect loss artinya adalah mesin tidak menghasilkan produk yang sesuai dengan spesifikasi dan
standar kualitas produk yang telah ditentukan dan scrap sisa hasil proses selama produksi berjalan.
Faktor yang dikategorikan ke dalam defect loss adalah rework loss dan yield/scrap loss.

a) Rework Loss
Dikarenakan hasil rework tidak ada maka Rework Loss bernilai 0 Untuk Mesin Produksi PS Bal bulan
Januari 2015:
0,1176 𝑥 0
𝑅𝑒𝑤𝑜𝑟𝑘 𝑙𝑜𝑠𝑠 = 𝑥100% = 0%
721,24

b) Yield/Scrap Loss
Untuk Mesin PS Ball bulan Januari 2015.
0,1176 𝑥 340,53
𝑌𝑖𝑒𝑙𝑑 𝑜𝑟 𝑠𝑐𝑟𝑎𝑝 𝑙𝑜𝑠𝑠 = 𝑥100% = 5,55%
721,24
Analisis Perhitungan Overall Equipment Effectiveness(OEE)
Analisa perhitungan Overall Equipment Effectiveness dilakukan untuk melihat tingkat efektivitas
produksi PS Ball selama periode Januari2015 – Desember 2015. Pengukuran Overall equipment
effectiveness ini merupakan kombinasi dari faktor waktu, kualitas pengoperasian mesin dan
kecepatan produksi mesin.

Selama periode Januari2015 – Desember 2015 nilai OEE yang diperoleh mesin Produksi PS Ball
adalah:
Selama periode Januari2015 – Desember 2015 diperoleh nilai Overall Equipment Effectiveness
(OEE) 55,19%, hasil ini menunjukan bahwa OEE PS ball tidak sesuai dengan standar benchmark
world class. Untuk standar benchmark world class yang dianjurkan JIPM, yaitu OEE = 85%. Nilai
OEE tertinggi pada produksi PS Ball hanya dicapai pada bulan November sebesar 62,36%, dengan
rasio availability 94,69%, performance efficiency 71,74% dan rate of quality product 91,80%.

Analisis Perhitungan OEE Six BigLosses Analisa OEE six big losses agar perusahaan mengetahui
faktor apa dari keenam faktor six big losses yang memberikan kontribusi terbesar yang
mengakibatkan rendahnya efektivitas penggunaan mesin produksi PS Ball yang menjadi perioritas
utama untuk diperbaiki.
Tabel 4. Persentase Faktor Six Big Losses mesin produksi PS Ball.

Gambar 1 diagram batang Six Big Losses mesin produksi PS Ball periode Jan 2015 – Des 2015.

Keuntungan.

Dengan melakukan perhitungan OEE dan six big losses dapat diketahui produktifitas mesin untuk
memproduksi PS Ball adalah sebagai berikut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai six big losses dari mesin produksi PS Ball.

Dengan nilai idling / minor stoppages terbesar yaitu 50,95%, setup/adjustment 26,22%, yield/ scrap
loss reduced 13,29% breakdown losses 5,35%, reduced speed losses 4,19% dan rework losse 0%.

Pengaruh dari faktor-faktor nilai OEE six big losses adalah produksi PS Ball tidak dapat secara
optimal karena masih tinggi kerugiannya.
Faktor idling / minor stoppages (Kerugian karena beroperasi tanpa beban maupun berhenti sesaat)
hal ini terjadi karena SOP yang digunakan harus membersihkan screen agar qualitas produksi
terjaga.

Penerapan TPM yang di anjurkan setelah menghitung nilai OEE dan six big lossess. 5 hal yang di
lakukan jika telah dihitung nilai OEE dan six big losses adalah sebagai berikut:
1. Melakukan Pelatihan operator dilakukan secara berkala.
2. Foreman atau koordinator meningkatkan pengawasan dalam proses produksi
3. Melakukan perbaikan peralatan dan perlengkapan kerja yang sesuai dengan standar.
4. Membersihkan mesin dan area kerja sebelum dan sesudah proses operasi.
5. Menentukan standar operasi yang sesuai (SOP), baik divisi operasi dan maintenance.

Just-In-Time (JIT).
Soal JIT.
Jelaskan pemahaman anda tentang just-in-time (JIT)!
Berikan studi kasus JIT.
Jawab.
Just-in-time mertupakan folosofi manajemen dari Jepang yang telah diterapkan sejak awal tahun
1970an diberbagai organisasi manufactur Jepang. JIT pertama kali dikembangkan dan
disempurnakan di pabrik Toyota Manufacturing oleh Taiichi Ohno. Secara sederhana JIT memiliki
pengertian sistem produksi yang hanya memproduksi diwaktu yang tepat dan jumlah yang tepat
sesuai waktu dan jumlah permintaan pelanggan. Just-in-time dapat mengeliminasi beberapa
pemborosan seperti:
1. Jangan memproduksi bila tidak ada permintaan. Kegiatan produksi dapat dilakukan apabila
ada permintaan dari pelanggan, serta pembelian bahan baku untuk produksi disesuaikan
dengan jumlah kebutuhan produksi, sehingga produk jadi hasil produksi sesuai dengan jumlah
permintaan dari pelanggan. dalam hal ini dapat mencegah terjadinya pemborosan
persediaan baik bahan baku maupun produk jadi dan mencegah pemborosan produksi
berlebih, karena kegiatan produksi hanya dilakukan sesuai permintaan pelanggan.
2. Menggunakan informasi produksi sistem tarik dengan alat visual komunikasi kanban, Pada
kartu kanban tarik terdapat informasi proses sebelumnya dan proses sesudahnya. Pada
desain manufacturing Job Shop yang memproses produk dengan proses dengan pola aliran
produksi tercampur (jumbled flow pattern), menggunakan kanban dapat mencegah karyawan
salah mengirim bahan baku kesetiap work station berikutnya (mencegah terjadinya
pemborosan gerakan pengiriman bahan baku).
3. Aliran yang berkelanjutan merupakan sebuah faktor penting dalam menentukan waktu proses.
Dengan adanya sistem aliran yang berkelanjutan, maka dapat membuah kecepatan produksi
menjadi lebih cepat. Terkadang sebelum dapat melanjutkan proses selanjutnya, sebuah
produk diharuskan menunggu terlebih dahulu. Hal ini dapat dikatakan sebuah pemborosan,
karena tanpa adanya sebuah runtutan proses yang berkelanjutan dapat menimbulkan sebuah
pemborosan menunggu.
Studi Kasus Just-In-Time
Deskripsi.
PT. Malang Indah Genteng Rajawali adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri
pembuatan batako, genteng dan paving stone. Kegiatan produksi pada PT. Malang Indah Genteng
Rajawali untuk memenuhi permintaan konsumen dipasarkan pada kota Malang dan sekitarnya.
Tujuan dari perusahaan ini adalah untuk meningkatkan volume penjualan dan mengadakan ekspansi
dengan mengoptimalkan laba. PT. Malang Indah Genteng Rajawali berpotansi dapat
mengaplikasikan just-in-time system karena sesuai dengan beberapa kriteria dari perusahaan yang
dapat menerapkan JIT system. Kriteria-kriteria tersebut adalah salah satu bahan baku yaitu semen
dalam perusahaan persediaanya mencapai 50.280 kg selama satu bulan, sedangkan kebutuhan
semen semestinya tidak sebesar itu, yang kedua lokasi perusahaan dengan tempat pembelian bahan
baku dekat, sehingga sesuai dengan JIT system dan perusahaan yang akan diteliti mempunyai
penjualan konstan.

Masalah.
Masalah yang terjadi adalah biaya produksi yang cukup besar. Padalah PT. Malang Indah Genteng
Rajawali memiliki tujuan untuk meningkatkan volume penjualan dan mengadakakan ekspansi dengan
mengoptimalkan laba.

Solusi.
Pengertian Just In Time
Ginting (2007:231) dalam bukunya yang berjudul Sistem Produksi menjelaskan bahwa Just In Time
adalah “Integrasi dari serangkaian aktivitas desain untuk mencapai produksi volume tinggi dengan
menggunakan minimum persediaan dan bahan baku, WIP dan produk jadi”. Hansen & Mowen
(2009:217) menyatakan bahwa Just In Time System adalah “Suatu sistem berdasarkan tarikan
permintaan yang membutuhkan barang untuk ditarik melalui sistem oleh permintaan yang ada, bukan
didorong ke dalam sistem pada waktu tertentu berdasarkan permintaan yang diantisipasi”. Render &
Haizer (2010:314) menyatakan bahwa Just In Time System adalah “Pendekatan berkelanjutan dan
penyelesaian masalah secara paksa yang berfokus pada keluaran dan pengurangan persediaan”.

Berdasarkan pemaparan di atas peneliti menyimpulkan bahwa Just In Time System adalah suatu
sistem dimana produk diproduksi ketika adanya permintaan dan dalam kegiatan produksinya
menghilangkan adanya pemborosan dan memproduksi sesuai dengan kebutuhan konsumen dengan
cara seefisien mungkin.

Pengertian Biaya
Menurut Mulyadi (2005:8) “Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang di ukur dalam uang,
yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tersebut”. Menurut Mursyidi
(2008:14) “Biaya adalah suatu pengorbanan yang dapat mengurangi kas atau harta lainnya untuk
mencapai tujuan, baik yang dapat dibebankan pada saat ini maupun pada saat yang akan datang”.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat peneliti simpulkan biaya adalah suatu pengorbanan yang
diukur dalam uang yang dapat mengurangi kas atau harta perusahaan yang digunakan untuk
mencapai tujuan perusahaan.

Jenis-Jenis Biaya Produksi


Biaya Bahan Baku Langsung
Carter, Usry (2006:40) menyatakan bahwa “Bahan baku langsung adalah semua bahan baku yang
membentuk bagian integral dari produk jadi dan dimasukkan secara eksplisit dalam perhitungan
biaya produk”. Menurut Mulyadi (2005:275) “Bahan baku merupakan bahan yang membentuk bagian
menyeluruh produk jadi”. Dapat disimpulkan bahwa biaya bahan baku langsung adalah biaya yang
dikeluarkan untuk semua bahan baku yang digunakan untuk membuat produk.
Biaya Tenaga Kerja Langsung
Carter, Usry (2006:40) menyatakan bahwa “Tenaga kerja langsung adalah tenaga kerja yang
melakukan konversi bahan baku langsung menjadi produk jadi dan dapat dibebankan secara layak
ke produk tertentu”. Menurut Mulyadi (2005:343) “Biaya tenaga kerja merupakan salah satu biaya
konversi, disamping biaya overhead pabrik, yang merupakan salah satu biaya untuk mengubah
bahan baku menjadi produk jadi”. Berdasarkan pengertian para ahli tersebut dapat peneliti simpulkan
bahwa biaya tenaga kerja langsung adalah biaya tenaga kerja (pegawai atau karyawan) yang
berhubungan langsung dengan produk yang dihasilkan (membuat produk).

Biaya Overhead Pabrik


Carter, Usry (2006:41) menyatakan bahwa “Overhead pabrik-juga disebut overhead manufaktur,
beban manufaktur, atau beban pabrik-terdiri atas semua biaya manufaktur yang tidak ditelusuri
secara langsung ke output tertentu”. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
biaya overhead pabrik antara lain adalah biaya bahan baku tidak langsung, biaya tenaga kerja tidak
langsung dan biaya-biaya lain yang tidak bisa dibebankan langsung ke produk.

Pengertian Line Balancing


Menurut Gaspersz (2004) “Line balancing merupakan penyeimbangan penugasan elemen-elemen
tugas dari suatu assembly line ke work stations untuk meminimumkan banyaknya work station dan
meminimumkan total harga idle time pada semua stasiun untuk tingkat output tertentu. Dalam
penyeimbangan tugas ini, kebutuhan waktu per unit produk yang dispesifikasikan untuk setiap tugas
dan hubungan sekuensial harus dipertimbangkan”. Menurut Ginting (2010:205) “Line balancing
adalah serangkaian stasiun kerja (mesin dan peralatan) yang dipergunakan untuk membuat produk.
Line balancing (lintasan perakitan) biasanya terdiri dari sejumlah area kerja yang dinamakan stasiun
kerja yang ditangani oleh seorang atau lebih operator dan ada kemungkinan ditangani dengan
menggunakan bermacam-macam alat”.

Berdasarkan pengertian Line Balancing menurut para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa Line
Balancing adalah penyeimbangan stasiun-stasiun kerja yang dipergunakan untuk membuat produk
yang memiliki waktu yang tidak melebihi waktu siklus dan stasiun kerja. Tujuan dalam menyusun line
balancing adalah untuk membentuk dan menyeimbangkan beban kerja yang dialokasikan pada tiap-
tiap stasiun kerja.

Teknik Perhitungan dalam Line Balancing


Menurut Ginting (2007:213-225) teknik-teknik dalam penyeimbangan lintasan perakitan adalah :

Metode Analitis
Metode 0-1 (zero-one)
Model zero-one dikemukakan oleh Patterson-Albracht untuk memberikan bentuk matematis yang
tepat bagi problem penyeimbang line balancing.
Metode Helgeson dan Birnie
Metode ini lebih dikenal dengan ranked potitional weight system atau sistem RPW. Langkah-langkah
dalam metode ini yaitu :
A. Membuat diagram precedence.
B. Membuat matrik precedence. Dalam hubungan precedence dapat dibuat dalam bentuk matrik
dimana setiap hubungan bernilai -1,0,1. Hubungan precendence yang bernilai 1 yaitu jika
elemen yang hendak dihubungkan tersebut dikerjakan sebelum elemen yang mau
dihubungkan dengannya, bernilai -1 jika sebaliknya dan 0 jika tidak ada hubungan.

Gambar diagram precedence.

Tabel1. matrix precedence.

C. Hitung bobot positional untuk setiap elemen yang diperoleh dari penjumlahan waktu
pengerjaan elemen tersebut dengan waktu pengerjaan elemen lain yang mengikuti elemen
tersebut.
D. Membuat urutan berdasarkan bobot posisi. Bobot yang paling besar menempati rank 1, bobot
yang terbesar berikutnya menempati rank 2, dan begitu seterusnya sampai semua elemen
terdaftar. Apabila terdapat elemen yang bobotnya sama, bisa diurut sesuai dengan urutannya
di dalam daftar.
E. Hitung antara waktu siklus dengan waktu elemen yang telah ditempatkan.
F. Menugaskan elemen-elemen dalam stasiun kerja mengikuti langkah-langkah berikut :
1. Elemen yang mempunyai bobot paling tinggi (rank 1) ditempatkan pada stasiun 1.
2. Menghitung selisih waktu operasi dengan waktu siklus (yang membatasi lamanya operasi).
3. Kemudian dipilih elemen dengan bobot terbesar berikutnya dan dilakukan pemeriksaan
terhadap :
a) Precedence, hanya elemen-elemen yang elemen pendahulunya telah dipilih dapat
diperhitungkan.
b) Waktu pengerjaan dari elemen kerja harus lebih kecil atau sama dengan waktu stasiun dari
hasil yang tersedia atau dari hitungan sebelumnya (ketentuan 2). Apabila kondisi a dan b telah
terpenuhi, operasi tersebut akan diletakkan pada pusat kerja pertama.
c) Untuk selanjutnya ketentuan a dan b diulang untuk operasi-operasi dengan bobot operasi
yang lebih rendah.
d) Ketentuan b dan c diulangi sampai tidak ada kemungkinan untuk menugaskan elemen lagi
pada stasiun kerja karena waktu lebih kecil dari waktu masing-masing elemen yang belum
ditugaskan.
e) Stasiun kerja kedua dimulai dari elemen yang belum ditugaskan yang bobotnya paling besar.
f) Ketentuan b, c, d dan e dilanjutkan sampai semua elemen kerja terpilih atau teralokasikan
pada pusat kerja atau stasiun kerja.

4. Menghitung efisiensi dengan rumus :


Ʃ𝑆𝑖
𝑛. 𝐶
Si= waktu masing-masing stasiun ke i
n = jumlah stasiun kerja
C= waktu siklus

Metode Heuristik
I. Metode Kilbridge and Wester (Region Approach)
Diagram precedence dengan elemen-elemennya dikelompokkan dalam sejumlah kolom dalam
metode ini. Semua elemen yang tergabung dalam sebuah kolom independen karena dapat
dipermutasikan dalam berbagai cara tanpa melanggar kaidah precedence
II. Metode Integer (berdasarkan formulasi problem Line Balancing-U)

Perakitan terdiri dari rangkaian stasiun kerja kumpulan dari tugas yang dinyatakan berdasarkan
rangkaian tugas-tugas. Masalah dalam pemilihan dan pengelompokan subjek pada rangkaian ini
terdiri atas rangkaian-rangkaian stasiun kerja yang diberikan berdasarkan langkah-langkah produksi
atau pemaksimalan rata-rata produksi diberikan berdasarkan jumlah stasiun kerja yang biasanya
dalam lintasan perakitan. Keterkaitan dan kompleksitas berdasarkan masalah line balancing
diselesaikan dengan metode reset operasi. Ketika perancangan dirancang pada garis lurus,
umumnya berhubungan dengan Traditional Line Balancing Problem (TLBP). Jika waktu proses untuk
tiap tugas diasumsikan tetap, kita akan memperoleh deterministik dari permasalahan tersebut yang
berhubungan pada Deterministik Traditional Line Balancing Problem (DTLBP).

Tabel2. Total Kebutuhan Bahan Baku Per Bulan dengan Menggunakan Metode Perusahaan Periode
Januari – Juni 2014 (dalam kg)

Berdasarkan tabel 2, dapat dilihat total kebutuhan bahan baku per bulan dan rata-rata pengiriman
barang tiap bulannya. Dari tabel 2 tersebut maka dapat dihitung besarnya biaya yang harus
dikeluarkan perusahaan yang berhubungan dengan biaya bahan baku. Biaya bahan baku dapat
dihitung dari total kebutuhan bahan baku dikalikan dengan harga bahan baku per kilogram,
sedangkan untuk biaya penyimpanan pada bulan Januari – Juni 2014 diperoleh dari total kebutuhan
bahan baku ditambah dengan persediaan minimal dan dikalikan dengan biaya penyimpanan bahan
baku per kilogram. Kecuali untuk bulan Januari total biaya penyimpanan diperoleh dari total
kebutuhan bahan baku ditambah dengan persediaan awal pada bulan Januari.

Setelah diketahui ketiga biaya tersebut, maka total biaya pembelian bahan baku sebelum diterapkan
Just In Time periode Januari-Juni 2014 adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Total Biaya Pembelian Bahan Baku Berdasarkan Sistem Perusahaan Periode Januari – Juni
2014

Menganalisis Persediaan Bahan Baku Setelah Diterapkan Just In Time


Penerapan Just In Time yang dilakukan oleh peneliti adalah menggunakan metode MRP. Metode ini
dilakukan dengan melalui tahap-tahap perhitungan yaitu netting, lotting, offsetting dan exploding.
Setelah dilakukan perhitungan dengan metode MRP, maka total kebutuhan bahan baku perusahaan
setelah diterapkan Just In Time pada periode Januari-Juni 2014 adalah sebagai berikut:

Tabel 4. Total Kebutuhan Bahan Baku Per Bulan dengan Menggunakan Just In Time Januari – Juni
2014 (dalam kg).

Pada tabel 4 hanya dihitung kebutuhan bahan baku per bulannya, pengiriman rata-rata tiap bulan
tidak dihitung pengiriman bahan baku disesuaikan dengan kebutuhan perusahan. Perusahaan jika
akan menerapkan persediaan dengan sistem Just In Time, maka diasumsikan bahwa pembelian
bahan baku sama dengan pemakaian bahan baku per hari sehingga tidak ada pemborosan
persediaan. Rencana pembelian bahan baku untuk bulan Januari tidak ada karena persediaan bahan
baku di gudang masih ada sehingga perusahaan tidak perlu membeli.

Pada bulan Februari perusahaan mulai membeli bahan baku ketika persediaan di gudang sudah
sangat minim sehingga mulai bulan Februari perusahaan dapat membeli bahan baku sesuai
kebutuhan per harinya tanpa harus menyimpan banyak persediaan di dalam gudang. Biaya
pemesanan bahan baku dalah hal biaya bongkar muat didasarkan pada biaya per kgnya bukan
berdasarkan rata-rata pengiriman.
Setelah diketahui total kebutuhan atau rencana bahan baku, maka dapat dihitung biaya bahan baku,
biaya pemesanan dan biaya penyimpanan persediaan perusahaan setelah diterapkannya Just In
Time. Total biaya pembelian bahan baku setelah diterapkannya Just In Time dapat dilihat pada tabel
5 berikut:

Tabel 5. Total Biaya Pembelian Bahan Baku Berdasarkan Just In Time Periode Januari – Juni 2014.

Berdasarkan total biaya pembelian bahan baku berdasarkan sistem JIT dan berdasarkan metode
pembelian yang diterapkan perusahaan selama ini, dapat terlihat perbedaannya dimana sebelum
menerapkan Just In Time total biaya bahan baku perusahaan periode Januari-Juni 2014 adalah
sebesar Rp 472.245.498,26 dan sesudah diterapkannya Just In Time total biaya bahan baku
perusahaan periode Januari-Juni 2014 adalah sebesar Rp 193.868.757,16.

Selisih dari total biaya pembelian bahan baku perusahaan periode Januari-Juni 2014 adalah sebesar
Rp 278.376.741,10. Hal ini dikarenakan dengan Just In Time pembelian bahan baku hanya sebesar
kebutuhan bahan baku paving segi empat per hari yang juga akan mengurangi persediaan bahan
baku sehingga biaya penyimpanan juga ikut berkurang.

Analisis Data Biaya Tenaga Kerja Langsung dan Biaya Pemakaian Mesin Langsung
Analisis dari efisiensi biaya tenaga kerja langsung dan pemakaian mesin langsung dihitung
menggunakan metode Line Balancing. Metode Line Balancing digunakan untuk menentukan waktu
siklus yang optimal yang digunakan agar biaya produksi tenaga kerja langsung dan pemakaian mesin
langsung lebih efisien adalah dengan metode rank positional weight.

Tabel 6. Waktu Siklus yang Diperlukan dalam Produksi Paving Segi Empat

Waku siklus yang diperlukan dalam produksi paving segi empat pada tabel 6 adalah waktu siklus di
dalam perusahaan sebelum dilakukannya analisis dengan Line Balancing. Setelah dilakukan analisis
dengan Line balancing waktu siklus menjadi seberti pada tabel berikut:
Tabel 7. Tugas dalam Produksi Paving Segi Empat dan Waktu yang Diperlukan Setelah Penerapan
Rank Positional Weight dengan Line Balancing.

Berdasarkan tabel 7 maka waktu siklus baru adalah 4,9 detik untuk stasiun kerja I, 5 detik untuk
stasiun kerja II dan 2,83 detik untuk stasiun kerja III, sehingga untuk waktu siklus produksi paving
segi empat yang baru adalah 5 detik. Setelah diketahui waktu siklus sebelum dan sesudah dilakukan
RPW, maka dapat dibuat dua kombinasi untuk menghitung tingkat efisiensi. Dua kombinasi tersebut
adalah sebagai berikut:

Tabel 8. Kombinasi Tugas Produk Paving Segi Empat

Dari dua kombinasi tersebut maka tingkat efisiensinya adalah sebagai berikut:

1) Kombinasi 1, efisiensi :
Ʃ𝑆𝑖 12,73 12,73
= = = 79,61%
𝑛. 𝐶 5,33 𝑥 3 15,99
2) Kombinasi efisiensi :
Ʃ𝑆𝑖 12,73 12,73
= = = 84,87%
𝑛. 𝐶 5𝑥3 15

Dari perhitungan efisiensi dapat dilihat bahwa kombinasi kedua adalah yang terbaik dengan waktu
siklus sebesar 5 detik. Kemudian, dapat diketahui waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi paving
segi empat selama 6 bulan.

Tabel 9. Waktu Produksi Paving Segi Empat setelah Line Balancing.


Dari data dari tabel tersebut dapat dihitung biaya tenaga kerja langsung dan biaya pemakaian mesin
langsung selama periode Januari-Juni 2014 yang dapat dilihat di bawah ini :

Tabel 10. Biaya TKL dan Biaya Pemakaian Mesin Langsung Periode Januari-Juni 2014.

Perbandingan Biaya Produksi Sebelum dan Sesudah Menggunakan Just In Time System
Tabel 11. Perbandingan Biaya Produksi Sebelum dan Sesudah menggunakan Just In Time Periode
Januari-Juni 2014

Perhitungan biaya overhead pabrik pada tabel 11 didapat dari rata-rata biaya overhead pada tahun
2013 tiap bulan dikalikan 6 (Januari-Juni) kecuali untuk biaya bongkar muat dan biaya gudang. Pada
tabel 11 dapat diketahui bahwa sebelum dilakukan analisis menggunakan Just In Time total biaya
produksi dalam perusahaan periode Januari-Juni 2014 adalah sebesar Rp 665.269.387,18 dan
setelah dilakukan analisis menggunakan Just In Time total biaya produksi dalam perusahaan periode
Januari-Juni 2014 adalah sebesar Rp 364.473.393,95.

Penggunaan Just In Time System dalam perusahaan dapat menghemat dana perusahaan sebesar
Rp 300.795.993,22 pada periode Januari-Juni 2014. Dana yang mengalami penghematan cukup
besar adalah pada biaya overhead khususnya biaya gudang untuk penyimpanan bahan baku, biaya
gudang untuk penyimpanan bahan baku sebelum dilakukan analisis Just In Time System adalah
sebesar Rp 211.943.894,85 dan setelah dilakukan analisis Just In Time System berubah menjadi
sebesar Rp 30.567.823,57. Selisih dari biaya gudang untuk penyimpanan bahan baku sebelum dan
sesudah dilakukan analisis Just In Time System adalah sebesar Rp 181.376.071,28.

Keuntungan.

 Biaya Bahan Baku Langsung.


Selama ini persediaan dalam perusahaan menyebabkan biaya bahan baku langsung cukup besar,
yaitu Rp 259.353.862,33 selama bulan Januari-Juni 2014. Ketika dilakukan perhitungan dengan
menggunakan Just In Time, dimana perusahaan hanya membeli bahan baku ketika dibutuhkan,
biaya bahan baku langsung perusahaan menjadi sebesar Rp 162.511.134,99 selama bulan Januari-
Juni 2014. Sehingga, selisih dari biaya bahan baku langsung sebelum dan sesudah menggunakan
sistem Just In Time adalah sebesar Rp 96.842.727,34.

 Biaya Tenaga Kerja Langsung.


Biaya tenaga kerja langsung didapat dari gaji karyawan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi paving segi empat. Biaya tenaga kerja langsung pada PT. Malang Indah Genteng Rajawali
sebesar Rp 26.518.880,00 untuk bulan Januari-Juni 2014. Setelah dihitung dengan menggunakan
Line Balancing menjadi berkurang dari 6,5 jam menjadi 6,04 jam. Sehingga, setelah penerapan
sistem Just In Time biaya tenaga kerja langsung menjadi Rp 23.087.055,68 bulan Januari-Juni 2014.
Selisih dari biaya tenaga kerja langsung debelum dan sesudah menggunakan sistem Just In Time
adalah sebesar Rp 3.431.824,32. Penerapan Just In Time dalam perusahaan khususnya untuk
tenaga kerja dapat diberikan batasan waktu menganggur untuk tenaga kerja langsung, karena dalam
kenyataannya tenaga kerja adalah manusia yang tidak bisa terus-menerus bekerja seperti mesin,
sehingga membutuhkan istirahat.

 Biaya Pemakaian Mesin Langsung.


Biaya pemakaian mesin langsung pada PT. Malang Indah Genteng Rajawali sebelum dilakukan
penerapan sistem Just In Time adalah sebesar Rp 108.000.000,00 untuk bulan Januari-Juni 2014.
Setelah penerapan sistem Just In Time dengan perhitungan metode Line Balancing, waktu produksi
dari paving segi empat menjadi berkurang dari 6,5 jam menjadi 6,04 jam, sehingga biaya pemakaian
mesin langsung menjadi Rp 89.989.581,11 untuk bulan Januari-Juni 2014. Selisih dari biaya
pemakaian mesin langsung sebelum dan sesudah menggunakan sistem Just In Time adalah sebesar
Rp 18.010.418,89.

 Biaya produksi.
Biaya produksi pada PT. Malang Indah Genteng Rajawali sebelum penerapan sistem Just In Time
adalah sebesar Rp 665.269.387,18 untuk bulan Januari-Juni 2014. Setelah penerapan sistem Just In
Time biaya produksi dalam perusahaan menjadi sebesar Rp 364.473.393,95 untuk bulan Januari-
Juni 2014. Selisih biaya produksi sebelum dan sesudah menggunakan Just In Time adalah sebesar
Rp 300.795.993,22.
Soal BPR.

Jelaskan pengertian bisnis proses reengineering!

Berikan studi kasus bisnis proses reengineering (BPR)!

Jawab:

Business Process Reengineering (BPR) merupakan suatu pendekatan manajemen yang bertujuan
untuk memperbaiki dengan cara efisiensi dan efektifitas dari proses yang ada. Peningkatan kerja
dengan melakukan perbaikan proses bisnis, terutama memikirkan kembali dan mendesain ulang cara
kerja yang dilakukan dalam proses bisnis yang dilakukan, disaat seperti ini Business Process
Reengineering (BPR) digunakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemikiran dan perancangan
ulang suatu sistem bisnis secara mendasar adalah Fundamental, Radikal, Dramatis, Orientasi
Proses.

 Fundamental, Mengapa perlu melakukan proses BPR? Ini hal fundamental hal BPR memulai
sesuatu dari awal, tanpa asumsi dan menentukan apa yang harus dilakukan perusahaan dan
bagaimana cara melakukannya
 Radikal, Desain radikal dari proses bisnis berarti mendesain ulang sesuatu dari awal, tidak
memperbaiki prosedur yang sudah ada, dan berusaha melakukan optimasi. Jadi Radikal
mengabaikan seluruh struktur dan prosedur yang sudah ada dan menemukan cara baru yang
berbeda dengan sebelumnya dalam menyelesaikan pekerjaan
 Dramatis, BPR bukanla suatu usaha mencapai perbaikan sedikit demi sedikit dan bertahap,
tetapi merupakan usaha mencapai lompatan besar dalam memperbaiki dan upaya mencapai
kinerja perusahaan dimana perusahaan dalam menghadapi kesulitan.
 Orientasi Proses, Orientasi pada proses merupakan kata kunci terpenting dalam proses BPR
untuk memberikan solusi terhadap proses tersebut dalam menghasilkan suatu produk, tidak
hanya berfokus pada tugas, struktur, orang. BPR berfokus pada proses dan menentukan
bagaimana membuat proses untuk memperbaiki cara melakukan bisnis

Tujuan Utama suatau perusahaan melakukan Business Process Reengineering (BPR)

 Membantu organisasi fundamental memikirkan kembali bagaimana melakukan pekerjaan dan


melakukan proses bisnis dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada
parapelanggan, mengurangi biaya operasional.
 Membantu perusahaan secara radikal melakukan merestrukturisasi organisasi dengan
berfokus pada desain proses bisnis menjadi lebih efisien dan efektif
Studi Kasus Bisnis Proses Re-engineering

Deskripsi.
Pernahkah terfikirkan oleh kita semua saat kita melihat iklan di televisi. Bahwa sebuah produk
”katakanlah salah satu merk pasta gigi terkenal”, setiap hari masih kita lihat terus iklannya tampil di
televisi dengan tambahan inovasi produk. Padahal dalam benak kita, tanpa iklan dan onavasi pun
hampir semua orang memakai produk tersebut. Bahkan pada saat kita membelinya, langsung kita
menyebutkan merknya dan tidak lagi menyebutkan pasta gigi. Ajaibnya si pemilik toko sudah sangat
paham dengan hal itu.

Gambaran di atas menunjukkan pentingnya pengembangan produk yang berorientasi terhadap


pelanggan (customer oriented). Jadi point pentingnya adalah meskipun sebuah produk sudah
memiliki predikat baik dan dikenal oleh masyrakat, tetapi produsen tidak boleh berhenti berinovasi
demi kepuasan pelanggan (customer satisfaction) dan selalu berada di depan pesaing produk
sejenis. Hal tersebutlah yang mendasari bahwa sebuah produk maupun proses tidak boleh statis
namun harus selalu dinamis. Perlu terus dilakukan rekayasa ulang (re-engeneering) terhadap proses
yang berjalan agar customer atau bahkan user sendiri tidak akan jenuh.

Masalah.

Pada STMIK Potensi Utama, terdapat hal penting yang memerlukan proses re-engeneering, yaitu
Sistem Presensi Mahasiswa. Hal ini dipandang sangat penting disebabkan beberapa faktor :
1. Sistem presensi kehadiran mahasiswa di STMIK Potensi Utama masih bersifat manual. Form
presensi di-generate dari sebuah sistem yang berbasis web, kemudian di-print out sehingga
menghabiskan banyak kertas. Bayangkan untuk 1 kelas saja harus di-print out sebanyak
jumlah dosen yang mengajar di kelas tersebut.
2. Form presensi harus dicetak setiap bulan. Dikarenakan mekanisme pembayaran uang kuliah
bulanan, maka absensi juga harus dicetak setiap bulan untuk menandai mahasiswa yang
belum membayar uang kuliah. Hal itu dilakukan sebagai punishment bagi mahasiswa yang
belum melakukan pembayaran (dianggap tidak hadir).
3. Presentase keterlambatan mahasiswa cukup tinggi. Dikarenakan sistem presensi yang bersifat
manual tersebut, banyak mahasiswa yang hadir tidak tepat waktu. Sehingga pihak akademik
mengeluarkan kebijakan pengecekan absensi ke kelas-kelas setelah 15 menit berlangsungnya
proses belajar mengajar untuk menyetempel nama mahasiswa yang belum hadir. Sehingga
dosen tidak dapat menceklist nama mahasiswa tersebut apabila mahasiswa tersebut nanti
datang (terlambat).

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut maka perlu untuk melakukan Rekayasa Ulang Proses
Bisnis (Bussiness Process Reengineering) terhadap Sistem Presensi Mahasiswa di STMIK Potensi
Utama.
Gambar 1. Presensi Mahasiswa STMIK Potensi Utama (Bersifat Manual).

Solusi.

1. Konsep Bussiness Process Reengineering.


Jauh sebelum konsep Bussiness Process Reengenering (BPR) muncul, banyak perusahaan yang
menganut prinsip Continiously Process Improvement atau perbaikan yang dilakukan secara terus-
menerus. Dimana sebuah proses yang berjalan akan diukur tingkat keberhasilannya pada jangka
waktu tertentu. Kemudian apabila hasil evaluasinya tidak memuaskan maka proses tersebut akan
diperbaiki dan dievaluasi kembali. Begitu seterusnya, seperti gambaran berikut :

Gambar 2. Model Continiously Process Improvement.

Namun apabila perbaikan tersebut diperlukan secara cepat untuk menyelematkan kondisi bisnis
perusahaan, maka konsep Continiously Improvement tidak lagi tepat untuk diimplementasikan. Oleh
karena itu muncullah Bussiness Process Reengineering (BPR) sebagai sebuah konsep baru untuk
melakukan perubahan secara cepat dan dramatis. BPR sangat jauh berbeda dengan Continiously
Process Improvement, dimana BPR menganggap secara ekstrem bahwa proses yang lama tidak lagi
relevan dan sudah kuno sehingga harus dilupakan saja. Sehingga harus dibuat konsep dari sebuah
proses yang benar-benar baru. Berubah secara radikal tentunya.

Gambar 3. Model Bussiness Process Reengineering.

2. Penyebab dilakukannya Reengineering.


Suatu proses bisnis tentunya tidak serta merta memerlukan Reengineering tanpa ada penyebabnya.
Beberapa penyebab perlunya dilakukan Reengineering adalah :
a) Biaya/produktivitas.
b) Mutu/layanan.
c) Kecepatan/fleksibilitas.

Tentunya dalam hal ini peran pemanfaatan teknologi informasi sebagai suatu sarana penunjang tidak
dapat diabaikan. Bahkan menjadi sebuah keharusan. Terdapat 5 indikator strategis untuk menjawab
pertanyaan apakah Reengineering perlu dilakukan atau tidak, yaitu :
a) Analisa kelebihan kompetitor terhadap biaya, mutu dan fleksibilitas.
b) Analisa terhadap kebutuhan operasional yang baru.
c) Analisa terhadap pasar baru yang akan dimasuki atau produk baru/jasa baru.
d) Analisa modernitas teknologi yang digunakan pada core process perusahaan.
e) Analisa terhadap perubahan besar yang terjadi di pasar.

3. Fase Reengineering
Terdapat 4 fase yang merupakan langkah besar atau big step dalam pelaksanaan proses
reengenering, yaitu :
1. Fase 1 : Position for change, yaitu memposisikan diri untuk perubahan yang merupakan
analisa dan implementasi terhadap beberapa hal, antara lain :
a) Tentukan alasan perubahan
b) Tentukan bentuk perubahan yang diinginkan
c) Kembangkan fokus dan SDM untuk proses implementasi
d) Mulai implementasi dari sekarang.

2. Fase 2 : Diagnose the existing process, yaitu melakukan diagnosa terhadap proses yang
berjalan sekarang. Merupakan analisa dan pemahaman mengenai alas an mengapa proses
tersebut didesain seperti itu. Kemudian kaitkan dengan keinginan customer untuk membentuk
landasan proses yang baru nantinya.

3. Fase 3 : Redesign the process, yaitu mendesain kembali proses yang baru dengan
membayangkan cara baru agar terpenuhi keinginan dan tujuan customer. Serta diperlukan
masukan dari core user untuk perbaikan proses.

4. Fase 4 : Transition to the new design, yaitu transisi menuju desain baru yang dapat dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut :
a) Pengembangan strategi serta bussiness plan sesuai dengan perubahan visi.
b) Melakukan testing terhadap proses baru untuk melihat kinerja serta menimbulkan
antusiasme bagi user,
c) Mengelola perubahan yang dilakukan pada semua level yang ada.
Gambar 4. Fase dalam Reengineering.

4. Pelaku Reengineering
Untuk menyukseskan proses reengineering sehingga dapat menghasilkan proses bisnis baru yang
handal dan dapat diterima oleh seluruh user dan customer maka terdapat beberapa pihak yang harus
dilibatkan pada proses tersebut. Adapun pihak-pihak sebagai pelaku re-engeneering tersebut antara
lain :

a) Pimpinan puncak
Proses reengenering membutuhkan akses yang sangat luas dan tidak terbatas. Bahkan terhadap
aturan-aturan yang berlaku pada perusahaan yang dapat menghambat proses reengineering. Oleh
karena itu komitmen dan kewenangan dari pimpinan puncak terhadap tim re-engineering sangat
diperlukan agar tidak ada hambatan selama proses reengineering berlangsung.
b) Champion
Mereka adalah orang-orang yang memiliki pengaruh di perusahaan, sehingga dapat menyebarkan
opini terhadap reengineering kepada lingkungan perusahaan. Mereka juga identik dengan orang
orang yang menyukai perubahan dan selalu siap untuk membantu berlangsungnya proses tersebut.
c) Strategic and Steering Team
Merupakan tim yang berperan dalam konsep strategis dan pemecahan masalah selama proses
reengineering berlangsung termasuk kaitannya dengan organisasi. Tim ini akan memantau proses
yang berjalan dan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan.

5. Hasil Reengineering
Terdapat 3 hal yang merupakan hasil dari proses reengineering. Ketiga hal tersebut nantinya yang
akan menjadi dasar analisa dalam penelitian ini sebagai dampak atas proses reengineering yang
dilakukan terhadap Sistem Presensi Mahasiswa di STMIK Potensi Utama. Adapun hasil
reengineering yang diharapkan tersebut adalah :
a) Adanya perbaikan proses (50 – 100%)
b) Terjadi penghematan biaya secara drastis
c) Peningkatan mutu, kecepatan dan jasa secara drastis.

6. Teknik Pengumpulan Data


Salah satu teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah wawancara yang dilakukan
kepada user (pengguna sistem), yaitu staff-staff yang ada di bagian admin dosen, staff admin
kemahasiswaan, staff checking, dan mahasiswa.

Tabel 1. Hasil Wawancara Efektifitas Sistem Presensi Mahasiswa.


Selanjutnya model yang digunakan dalam pengukuran kinerja proses atau biasa disebut KPI (Key
Performance Indikator) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Key Performance Indikator.

7. Review sistem sebelumnya.


I. Evaluasi Sistem yang Berjalan.
Sistem presensi mahasiswa yang berjalan saat ini di STMIK Potensi Utama dapat digambarkan
dalam bentuk work flow berikut ini.

Gambar 5. Workflow Sistem Presensi Mahasiswa.

Gambar di atas menunjukkan Admin kemahasiswaan mengakses website sistem untuk mencetak
(print-out) presensi mahasiswa kemudian menyerahkannya kepada bagian admin dosen. Lalu admin
dosen membagikan presensi tersebut ke masing-masing dosen. Dosen membawa berkas presensi
tersebut ke kelasnya masing-masing untuk me-presensi mahasiswanya. Lalu setelah 15 menit
datanglah staff checking untuk memeriksa berkas presensi dosen tersebut, lalu menyilang kolom
kehadiran mahasiswa yang belum datang. Kemudian setiap menjelang ujian, maka admin dosen
masih harus menghitung jumlah kehadiran tiap mahasiswa berdasarkan berkas presensi tersebut.

1. Pemetaan Proses
Berdasarkan workflow yang telah dijelaskan, maka dapat digambarkan diagram proses presensi
mahasiswa sebelum dilakukannya Reengeneering.

Gambar 6. Diagram Proses Sebelum dilakukan Reengineering.


2. Metode Bussiness Process Reengineering
Berdasarkan workflow dari proses di atas, penulis akan menerapkan metode Bussiness Process
Reengineering untuk memberikan solusi perbaikan terhadap sistem presensi mahasiswa di STMIK
Potensi Utama. Terdapat 3 pendekatan yang digunakan, yaitu : Restructure, Informate, dan Mind.

Tabel 3. Aktivitas Bussiness Process Reengineering.


Tabel di atas menunjukkan aktivitas-aktivitas berdasarkan konsep bussiness proses Reengineering
untuk membentuk sistem baru yang akan mengeliminasi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada
sistem yang lama.

Terdapat beberapa point penting dalam konsep Bussiness Process Reengineering di atas, yaitu :
1. Sistem secara paperless
2. Metode berbasis waktu
3. Perhitungan jumlah kehadiran secara otomatis

Gambar 7. Workflow Sistem Presensi Mahasiswa yang baru.


Gambar di atas menunjukkan work flow setelah dilakukan Bussiness Process Reengenering. Sistem
Presensi Mahasiswa menjadi lebih simple dan tanpa penggunaan kertas (paperless). Admin
Kemahasiswaan, Admin Dosen, dan dosen harus melakukan login untuk dapat masuk ke sistem.

Gambar 9. Diagram Proses Setelah dilakukan Reengineering.

3. Prototyping
Prototype sistem presensi mahasiswa yang baru menggunakan sistem berbasis web seperti berikut :
Gambar 9. Protoype Aplikasi Presensi Mahasiswa STMIK Potensi Utama.

Prototype sistem di atas secara garis besar memiliki mekanisme penggunaan aplikasi sebagai
berikut:
1. Dosen melakukan login dengan menggunakan username dan password yang telah ditentukan.
2. Setelah dosen berhasil login, maka akan ditampilkan presensi mahasiswa sesuai dengan
jadwal kelasnya pada saat ini.
3. Kemudian dosen hanya diberikan waktu 15 menit setelah login untuk melakukan presensi
terhadap mahasiswanya. Karena setelah 15 menit maka nama mahasiswa yang belum
diceklist tidak dapat di-ceklist lagi. Sehingga tidak memerlukan staff checking, dimana staff
checking membutuhkan waktu 30 menit untuk menyisir seluruh kelas. Namun dengan sistem
yang baru hanya membutuhkan waktu tunggu 15 menit.
4. Setelah selesai dosen harus melakukan logout.
5. Sistem ini dapat diakses dengan menggunakan browser pada laptop setiap dosen.

II. Analisa
Setelah sistem diujicoba maka dilakukan analisa perbandingan sistem lama terhadap sistem yang
baru berdasarkan key performance indikator yang digunakan, yaitu

:
Tabel 3. Key Performance Indikator

Tabel di atas menunjukkan prosentase peningkatan yang dihasilkan oleh sistem baru dibandingkan
dengan sistem lama setelah dilakukan Bussiness Process Reengineering. Hasilnya menunjukkan
kegiatan pada kategori input tidak menghasilkan value added, namun sudah tidak lagi dilakukan
dengan cara manual. Sedangkan untuk kategori proses mengalami peningkatan sebesar 66,67 %.
Kemudian untuk Output sebesar 50%.

Keuntungan.

1. Konsep Bussiness Process Reengineering dalam penelitian ini menggunakan 3 pendekatan,


yaitu restructure, informate, dan mind dengan menghasilkan sebuah prototype sistem berbasis
web dan memangkas beberapa proses sehingga menjadi lebih simple.
2. Ditinjau dari kategori Input, maka penerapan sistem baru berdasarkan konsep Bussiness
Process Reengineering ternyata tidak memberikan kontribusi positif (0%). Namun mekanisme
presensi sudah tidak lagi dilakukan secara manual sehingga dapat menjadi nilai tambah
tersendiri.
3. Kemudian pada kategori proses, sistem yang baru mampu memberi nilai tambah sebesar
66,67%, sedangkan pada kategori output hanya sebesar 50%.
Soal RCFA dan 5S.
Soal.
Jelaskan pengertiab RCFA dan 5S!
Berikan masing-masing studi kasus untuk RCFA dan 5S!

Jawab.
RCFA merupakan Metode penggalian dan pengumpulan informasi akarpenyebab masalah/ Failure
Cause suatu mode kegagalan/ Failure Mode peralatansehingga didapatkan FDT untuk mengatasi
Failure Cause tersebut, atau dalampengertian lain RCFA merupakan tindakan investigasi terhadap
mode kegagalanyang tidak diketahui akar penyebab masalahnya. Latar belakang dilakukannyaRCFA
adalah :
a) Merupakan analisa untuk melakukan kegiatan Continuous Improvement.
b) Mengatasi masalah pada sasaran yang tepat.
c) Mengatasi masalah yang mengakibatkan kerugian yang besar (produksi,biaya, manhours).
d) Menghindari penanganan masalah yang bersifat sementara (mengatasi masalah, jika belum
pada root cause -nya, masalah yang sama akan terulang lagi).

Metode RCFA yang digunakan adalah :


a) Fish Bone Diagram.
b) Identifikasi semua kemungkinan penyebab & masing-masing penyebabdiidentifikasi sampai
dengan ditemukan penyebab awalnya.
c) Verifikasi setiap akar penyebab.
d) Menentukan akar penyebab yang sesungguhnya.
e) Workshop dengan bidang terkait.
f) Menentukan alternatif solusi atas akar masalah (yang benar-benar sebagaiakar penyebab).
Adapun tujuan pelaksanaan RCFA adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan akar penyebab permasalahan secara pasti dari suatu modekagagalan/ Failure
Mode peralatan yang merupakan :
a) Chronic Problem (Permasalahan peralatan yang terjadi berulang danbelum diketahui akar
penyebabnya).
b) Permasalahan peralatan yang berpotensi mengakibatkan unittrip/derating dan gagal start.
c) Kelanjutan dari workshop FMEA dimana tidak diketahui secara pastipenyebab dari Failure
Mode suatu topic peralatan.
2. Menghasilkan Failure Defense Task (FDT) : Task yang dihasilkan untukmengatasi,
menghilangkan dan meminimalisasi terhadap modekegagalan/Failure Mode peralatan yang
telah dan mungkin terjadi yangberupa Planned Maintenance/Tactical Maintenance
(PreventiveMaintenance, Predictive Maintenance, OH dan Proactive Maintenance) danUn-
planned Maintenance/Non Tactical Maintenance (CorrectiveMaintenance)

5 S merupakan konsep yang sangat sederhana sehingga dapat mudah dimengerti dan
penerapannya oleh siapa saja. Tetapi sangat susah untuk menerapkannya dengan benar, hal ini
dikarenakan kebiasaan kita yang ingin senang sendiri dan tidak mau diikat oleh aturan-aturan yang
ada.
Penerapan 5S di perusahaan-perusahaan harus diikuti oleh semua level mulai dari operator sampai
ke Top Management (Manajemen puncak). Dengan menerapkan 5S dengan baik, kita dapat
meningkatkan produktivitas kerja kita dan juga dapat bekerja dengan se-efektif serta se-efisien
mungkin dan meningkatkan keamanan (Safety) di tempat kerja kita. Di samping itu juga dapat
meningkatkan citra atau Image kita di hadapan Customer maupun manajemen kita sendiri karena
penataan dan kerapian di tempat kerja kita juga mencerminkan sikap kita terhadap pekerjaan kita.

Kepanjangan dari 5s sebagai berikut:

 S Pertama = Seiri – Ringkas, Membuang barang yang tidak diperlukan.


 S Kedua = Seiton – Rapi, Membenahi dan men-standar-kan tempat penyimpan / meletakkan barang
atau peralatan pada tempatnya.
 S Ketiga = Seiso – Resik, Menjaga kebersihan tempat kerja (membersihkan tempat kerja agar bebas
dari debu dan sampah).
 S Keempat = Seiketsu – Rawat, Mempertahankan tempat kerja agar tetap Ringkas, bersih/Resik dan
Rapi.
 S Kelima = Shitsuke – Rajin, Disiplin diri sendiri.

Studi kasus RCFA.


Deskrpsi.

Pompa merupakan salah satu alat yang banyak digunakan dalam dunia industri. Hampir pada setiap
industri menggunakan pompa sebagai sarana penunjang proses produksi yang ada. Pompa
digunakan untuk memindahkan fluida cair dari tekanan rendah ke tekanan yang lebih tinggi atau
tempat yang rendah ke tempat yang lebih tinggi. Pompa memiliki berbagai macam jenis dan fungsi,
salah satunya adalah pompa sentrifugal dengan hisapan tunggal P951E yang digunakan oleh
Petrokimia Gresik sebagai alat bantu pengairan untuk suplai air pada proses produksi.

Mengingat pentingnya peran pompa ini, maka maintenance yang dilakukan juga harus diperhatikan
dengan baik. Penyusunan startegi maintenance yang tepat dilakukan agar pompa terlindung dari
bahaya kerusakan yang dapat terjadi seperti kavitasi, misalignment, unbalance, coocked bearing,
dan kerusakan lainnya sehingga kinerja pompa tidak terganggu. Gambar 1 merupakan berbagai
macam kerusakan yang sering terjadi pada pompa sentrifugal.
Gambar 1 Kerusakan pada komponen pompa dan motor

Dari data yang didapatkan diketahui bahwa pompa sentrifugal dengan hisapan tunggal P951E sering
mengalami masalah karena impelernya bergesekan dengan casing pompa sehingga, menyebabkan
keausan pada material impeler. Pada umumnya apabila hal ini terjadi dilakukan penggantian bearing
yang frekuensinya lebih cepat dari penjadwalan maintenance pompa tersebut.

Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan life time dari pompa sentrifugal dengan cara menjaga
reliability pompa tersebut dari kerusakan yang dapat terjadi.

Masalah.
Permasalhan yang dibahas pada penelitian ini adalah mengetahui apa saja jenis kerusakan yang
terjadi pada pompa sentrifugal dengan hisapan tunggal P951E, menganalisa bagaimana kerusakan-
kerusakan tersebut dapat terjadi. dan memberikan solusi yang tepat terhadap kerusakan yang
tersebut.

Penelitian ini dimulai dengan melakukan peninjauan di lapangan untuk mengetahui kondisi terkini dari
pompa dan historisis kerusakan yang selama ini terjadi serta upaya perbaikan yang telah dilakukan.
Metode yang digunakan adalah metode visual atau pengamatan langsung pada unit pompa
sentrifugal P951E dan wawancara di lapangan.

Dari peninjauan yang dilakukan, diketahui masalah apa yang terjadi pada pompa tersebut. Salah satu
upaya preventive maintenance yang dilakukan pihak PT. Petrokimia Gresik adalah menganalisa
kondisi motor dan pompa (condition monitoring) dengan menggunakan pengamatan secara visual
dan vibration monitoring.

Pengamatan secara visual dilakukan pada komponen pompa atau motor yang mengalami kerusakan
saat pembongkaran berlangsung. Sedangkan untuk pengambilan data vibrasi, dilakukan pada 4
bagian yaitu sisi dalam dan luar pompa, serta dalam dan luar motor. Pada setiap sisi dilakukan
pengambilan data sebanyak 3 kali, yaitu pada sisi horizontal, vertical, dan axial. Lokasi dan arah
pengambilan data vibrasi seperti yang ditampilkan pada gambar 2.
Gambar 2 Lokasi dan arah pengambilan data vibrasi

Solusi.
Hasil yang didapat pada pemeriksaan vibrasi berupa nilai dari besarnya vibrasi yang terjadi, Namun
data tersebut masih harus diolah terlebih dahulu menjadi spektrum getaran agar dapat dianalisa
gejala kerusakan yang ada. Proses pengolahan data awal hingga terbentuknya spektrum pada
vibration inspection dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3 Proses terbentuknya spektrum

Nilai getaran akan dibaca oleh sensor dalam satuan mm/s menggunakan accelerometer yang
diinterpretasikan dalam grafik percepatan per waktu. Lalu hasil tersebut diubah menggunakan
metode Fast Fourier Transformation (FFT) sehingga diperoleh hasil berbentuk grafik spectrum dari
kecepatan (velocity) terhadap frequency dari getaran.

Setelah grafik spektrum didapat, nilai vibrasi tersebut dianalisa dan dibandingkan dengan standar
ISO 10816-3 yang ditampilkan seperti pada gambar 4. Analisa dilakukan sesuai dengan nilai batas
aman kategori pompa dan motor yang digunakan. Identifikasi permasalahan dan pemilihan perlakuan
yang tepat untuk masalah pada motor dan pompa diperoleh dari analisa hasil inspeksi data grafik
vibrasi.
Gambar 4 ISO 10816-3 [4]

Setelah kerusakan-kerusakan yang terjadi pada pompa sentrifugal P951E diketahui, selanjutnya
dilakukan Root Cause Faure Analysis (RCFA) dengan menngunakan konsep Ishikawa diagram.
Konsep Ishikawa diagaram digunakan untuk menetukan akar penyebab dari kerusakan-kerusakan
yang terjadi, seperti yang ditampilkan pada gambar 5.

Gambar 5 Ishikawa diagram.

Ishikawa diagram dibuat pada keseluruhan komponen yang ada pada pompa sentrifugal dan
dianalisa pada komponen yang mengalami kerusakan. Komponen yang mengalami kerusakan ini
nantinya akan dianalisa lagi dengan menggunakan Ishikawa diagram yang lebih mendalam pada
jenis kerusakan yang terjadi. Langkah seperti ini dilakukan terus hingga didapat akar dari penyebab
kerusakan dan gejala kerusakan yang paling dominan.

Setelah akar kerusakan dan lokasi kerusakan diketahui, maka selanjutnya adalah merumuskan
strategi perbaikan dan perawatan dengan menggunakan konsep Failure Modes and Effect Analysis
(FMEA).
Dalam perumusan FMEA suatu objek, terdapat beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan
antara lain :

1. Menentukan objek atau sistem yang akan dianalisa .


2. Membuat hierarki equipment dari objek yang telah dipilih.
3. Merumuskan mode dan penyebab kegagalan.
4. Menganalisa dampak dari kerusakan yang terjadi.
5. Menentukan target yang akan dilindungi.
6. Menetapkan nilai severity.
7. Menetukan probabilitas kerusakan yang terjadi.
8. Menentukan risk code dengan menggunakan risk matrix.
9. Merumuskan langkah perbaikan dari setiap mode kegagalan.

1. Kerusakan Pada Pompa Sentrifugal P951E


Pemeriksaan dilakukan saat pompa mengalami gangguan berupa kebisingan. Pemeriksaan dengan
menggunakan metode inspeksi vibrasi dilakukan saat pompa sedang beroperasi sedangkan
pemeriksaan secara visual dilakukan dengan membongkar pompa dan melihat langsung kerusakan
yang terjadi. Dari pemeriksaan yang telah dilakukan didapat beberapa kerusakan yang terjadi, antara
lain :

Terdapat keausan pada bagian dalam casing dan bagian luar impeler pompa

Gambar 6 Kerusakan impeler dan casing

Bearing mengalami kerusakan berupa kekeringan pelumas di bagian dalam, kerusakan berupa
retakan memanjang dengan arah bagian tengah outer bearing, goresan-goresan dan deformasi pada
permukaan akibat gesekan dan benturan.

Gambar 7 Kerusakan pada bearing.


2. Analisa Spektrum Getaran.
Untuk menentukan beberapa jenis kerusakan, selain dilakukan analisa berdasarkan trend grafik juga
diperlukan analisa secara perhitungan. Salah satu jenis kerusakan tersebut adalah kerusakan yang
terjadi pada bearing seperti band pass inner dan outer frequency, rolling element, dan defect on
cage.

Setelah pengambilan nilai vibrasi, hasil pengukuran yang didapat dari 4 posisi pada pompa dan
motor serta 3 arah untuk masing-masing posisi, dibandingkan dengan ISO10816-3.

Gambar 8 Spektrum vibrasi pada motor ouboard vertical.


Grafik spektrum vibrasi pada motor outboard vertical seperti pada gambar 8 menunjukkan pada
1xRPM nilai velocity vibrasi masih berada dalam batas aman di bawah garis kuning dengan nilai 2.15
mm/s. Sedangkan pada 2xRPM sudah melewati batas aman yang diizinkan atau garis kuning
berdasarkan ISO 10816-3 dengan nilai 3.3 mm/s, sementara itu pada 3xRPM masih dalam batas
aman dengan nilai 0,45 mm/s. Dari trend grafik menunjukkan adanya indikasi paralel misalignment di
mana muncul amplitudo yang besar pada 1xRPM lalu bertambah besar pada 2xRPM dan mengalami
penurunan pada 3xRPM.

Analisa spektrum getaran dilakukan pada seluruh bagian pompa, di mana gejala kerusakan yang
didapat dibuat dalam tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1 Hasil pemeriksaan spektrum getaran pompa sentrifugal P951E


Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pompa memiliki beberapa indikasi kerusakan, namun gejala
kerusakan yang paling dominan adalah unbalance dan structure looseness, di mana gejala
kerusakan ini terjadi pada pump outboard vertical yang memiliki nilai vibrasi paling tinggi
dibandingkan yang lain, yaitu 5.2 mm/s. Selain itu, indikasi kerusakan yang terjadi adalah
kelonggaran pada pondasi pompa dan paralel misalignment.

3. Analisa Akar Kerusakan


Berdasarkan analisa vibrasi yang telah dilakukan diketahui kerusakan-kerusakan apa saja yang
terjadi pada pompa sentrifugal P951E, kemudian langkah selanjutnya dibuatlah Ishikawa digram
untuk memudahkan analisa kerusakannya.

Untuk menganalisa hingga akar penyebab kerusakan, maka Ishikawa diagram pompa secara
keseluruhan dibuat lebih detail pada komponen pompa yang mengalami kerusakan agar didapat akar
penyebab kerusakannya.

Gambar 9 Ishikawa diagram gesekan impeler dengan casing.

Analisa akar penyebab gesekan antara impeler dan casing dengan menggunakan Ishikawa diagram
seperti pada gambar 9, di mana gesekan yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti
kesalahan dalam pemasangan, kegagalan pada poros pompa, kegagalan pada bearing, dan
unbalance.

Dari pemeriksaan yang telah dilakukan, diketahui bahwa gesekan antara impeler dan casing
disebabkan oleh kegagalan pada bearing. Hal ini dapat diketahui pada saat pembongkaran pompa
ternyata bearing mengalami kerusakan. Kerusakan pada bearing ini yang menyebabkan poros
bergerak maju pada putaran tinggi dan mengakibatkan putaran impeler mengenai casing pompa.

Gambar 10 Kerusakan pada bearing


Analisa kerusakan dilakukan terus pada setiap jenis kerusakan yang muncul hingga didapat akar dari
kerusakan yang terjadi pada ishikawa diagram yang paling akhir seperti yang terlihat di gambar 10.

Gambar 11 Ishikawa diagram structural looseness

Dari pemeriksaan yang telah dilakukan, diketahui bahwa looseness disebabkan oleh unbalance, hal
ini dapat dilihat pada hasil inspeksi vibrasi di mana terdapat indikasi unbalance pada pump outboard
vertical yang memiliki nilai vibrasi paling tinggi dibandingkan gejala kerusakan yang lain sehingga
menimbulkan efek kerusakan yang paling dominan.

Unbalance mengakibatkan munculnya vibrasi dan menyebabkan looseness pada pondasi, kopling
dan baut pengikat. Kerusakan looseness juga dapat menyebabkan perubahan kondisi alignment
yang telah dilakukan (misalignment).

4. Solusi Permasalahan
Berdasarkan kerusakan yang terjadi dan analisa akar penyebab kerusakannya, maka dirumuskan
strategi perbaikan yang tepat dengan menggunakan FMEA untuk mencegah kerusakan tersebut
terulang kembali. Penyusunan FMEA difokuskan pada komponen yang mengalami kerusakan, yaitu
bearing dan impeler.

Untuk masalah unbalance, masih belum diketahui jenis unbalance yang terjadi. Untuk menentukan
jenis unbalance, dapat dilakukan pengecekan nilai vibrasi saat motor diberi beban. Nilai vibrasi
diambil dan dicatat saat motor dioperasikan hingga beban motor dihentikan. Apabila nilai vibrasi
mengalami penurunan secara perlahan maka hal ini menunjukkan bahwa unbalance adalah
mechanical unbalance, sedangkan electrical unbalance terjadi jika nilai vibrasi motor menurun secara
drastis apabila beban dihentikan.

Dari masalah unbalance, langkah terpenting untuk mengatasi masalah tersebut adalah melakukan
balancing pada rotor dengan penambahan massa pembalans atau pengurangan massa rotor
(pengeboran). Jika masalah adalah electrical unbalance akibat kumparan stator motor, maka
dilakukan rewinding (penggulungan ulang kumparan).

Apabila masalah unbalance telah terselesaikan, langkah selanjutnya adalah melakukan perbaikan
pondasi, kopling dan baut-baut pengikat. Hal ini penting dilakukan karena komponen-komponen
tersebut selain berfungsi membuat lebih rigid konstruksi motor dan pompa juga berfungsi sebagai
peredam getaran.
Keuntungan.
Kesimpulan yang diperoleh dari inspeksi dan analisa kerusakan yang dibahas dalam tugas akhir ini
antara lain:
 Kerusakan yang terjadi pada pompa sentrifugal P951E adalah gesekan antara casing dengan
impeler pompa, unbalance, looseness, misalignment, dan vibrasi.
 Kerusakan yang terjadi pada pompa sentrifugal P951E disebabkan oleh :
 Kerusakan pada impeler dan bearing, di mana kerusakan ini diakibatkan oleh gesekan antara
impeler dengan casing pompa.
 Kerusakan pada bearing mengakibatkan poros bergerak maju saat pompa bekerja pada
putaran tinggi, sehingga impeler bergesekan dengan casing pompa.
 Kerusakan pada bearing disebabkan oleh misalignment pada kopling, selain itu juga
disebabkan oleh pemasangan yang salah dan kekurangan pelumas.
 Misalignment pada kopling disebabkan oleh kerusakan looseness yang menyebabkan
alignment yang telah dilakukan menjadi tidak sejajar kembali.
 Kesalahan dalam pemasangan disebabkan oleh ketidaksesuaian tipe bearing yang digunakan,
yaitu bearing 6305 (deep grove ball bearing) dengan bearing 7305 (angular contact ball
bearing), selain itu kekurangan pelumas yang terjadi disebabkan oleh kebocoran seal yang
mengalami gangguan karena gejala looseness.
 Gejala kerusakan looseness disebabkan oleh indikasi kerusakan unbalance pada pondasi
pompa dan motor

Strategi maintenance yang dilakukan untuk setiap kompenen yang mengalami kerusakan adalah
sebagai berikut :

Studi Kasus 5S.


Deskripsi.
Setiap perusahaan tentunya menginginkan setiap kegiatan produksinya berjalan dengan baik, efektif,
dan efisien. Tetapi, hal tersebut akan terwujud apabila setiap elemen pada perusahaan dapat
bekerjasama dan saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya, untuk tercapainya tujuan
yang diinginkan perusahaan. Salah satu usaha dalam peningkatan efektifitas dan efisiensi kerja
adalah dengan menciptakan suatu sistem kerja yang baik di dalam perusahaan. Dengan sistem kerja
dan kondisi kerja yang baik, tentunya akan berdampak pada produktivitas dari karyawan. Hal
tersebut juga akan berdampak pada profit atau pemasukan perusahaan.

Industri Jepang merupakan salah satu industri yang berkembang. Salah satu factor pendukung atau
pendorong perindustrian Jepang adalah adanya program-program yang selalu mereka taati bersama.
Salah satunya adalah Just in Time, inovasi-inovasi yang dilakukan secara terus menerus. Tetapi, hal
tersebut dapat mereka lakukan karena langkah pertama yang selalu mereka kedepankan yaitu
proses kerja 5S. 5S adalah singkatan dari Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke, di mana bila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pemilahan, Penataan, Pembersihan,
Pemantapan, dan Pembiasaan. Sepertinya hal-hal tersebut sangat mudah dilakukan. Tetapi, itulah
salah satu kunci sukses kenapa industri Jepang bisa maju seperti sekarang ini.

Akan terlihat sekali bedanya antara perusahaan-perusahaan yang menerapkan 5S dalam kegiatan
atau proses kerjanya dengan perusahaan yang tidak menerapkan 5S. Mungkin sekilas tidak terlalu
jauh bedanya. Tetapi, apabila dilihat dengan seksama akan terlihat sekali perbedaannya. Begitupun
dampak yang bisa terjadi apabila kita tidak menerapkan 5S. Mungkin dari hal-hal yang terlihat mudah
seperti itu apabila dianggap tidak penting akan berakibat besar. Perusahaan akan mengeluarkan
biaya-biaya tambahan untuk mesin-mesin yang rusak akibat tidak dilakukannya pembersihan dengan
mesin produksinya. Dengan tidak adanya pemilahan antara barang-barang yang masih terpakai dan
yang tidak terpakai, juga akan mengurangi produktivitas kerja para karyawan karena mereka harus
memilah kembali barang-barang yang seharusnya tidak terpakai lagi. Masalah penataan ruang dan
alat produksi juga menjadi hal penting karena bila penataan tidak dilakukan dengan mengikuti
pedoman-pedoman ataupun aturan-aturan penataan akan berpengaruh pada kegiatan kerja para
karyawan, yang akhirnya akan berujung pada hasil produksi perusahaan.

Masalah.
Karena pentingnya penerapan 5S pada kegiatan perusahaan, maka sudah seharusnya perusahaan
menerapkan proses kerja 5S tersebut. Pada hasil pengamatan PT Bakrie Metal Industries,
didapatkan bahwa perusahaan belum menerapkan prinsip kerja 5S; terlihat dengan tidak adanya
pemisahan antara mesin-mesin produksi dengan bahan-bahan sisa hasil produksi yang bisa
menyebabkan terhambatnya proses produksi dan adanya potensi kecelakaan kerja. Begitu juga
dengan penataan mesin-mesin produksi yang apabila dicermati masih kurang maksimal
penataannya, yang akan berdampak pada waktu proses produksi. Begitu juga masalah kebersihan,
baik itu kebersihan mesin, peralatan kerja maupun keadaan lingkungan kerja yang berantakan dan
kotor yang tentunya juga akan berdampak pada hasil kerja.

Solusi.
1. Analisis Kelompok Pertanyaan I
Berdasarkan pengumpulan data yang didapat, ada beberapa hal yang dapat diperhatikan berkaitan
dengan tingkat kebutuhan karyawan akan 5S. Pertama, apakah perlu dilakukan pemisahan antara
mesin produksi dan bahan sisa hasil produksi (Seiri). Jumlah koresponden yang menjawab sangat
perlu adalah 34 orang dan menjawab perlu 19 orang, sedangkan menjawab kurang perlu 2 orang.
Jumlah tersebut menunjukkan bahwa para karyawan sudah menyadari bahwa untuk mencapai
tingkat efisiensi dan efektifitas yang lebih tinggi, maka seharusnya lantai produksi lebih
memperhatikan pemisahan antara mesin produksi dengan bahan sisa hasil produksi yang sudah
tidak terpakai lagi. Hasil perhitungan rata-rata bobot nilai untuk jawaban ini adalah {(34 x 2 ) + (19 x
1) + (2 x – 1) } / 55 = 1.55.

Kedua, apakah penataan mesin-mesin produksi perlu dilakukan agar proses produksi berjalan
dengan lancar (Seiton). Jumlah koresponden yang menjawab sangat perlu adalah 23 orang,
menjawab perlu 28 orang, dan menjawab kurang perlu 3 orang serta yang menjawab tidak perlu 1
orang. Ini menunjukkan para karyawan sudah menyadari bahwa untuk meningkatkan produktivitas
dan mempunyai tempat kerja yang tertata rapi, maka seharusnya letak mesin produksi harus ditata
ulang. Hasil perhitungan rata-rata bobot nilai untuk jawaban ini adalah {(23 x 2)+(26 x1)+(3x-1)+ (3x-
2)} / 55 = 1.15.

Ketiga, apakah kebersihan (mesin, peralatan dan lingkungan) perlu dijaga dan diperhatikan (Seiso).
Jumlah koresponden yang menjawab sangat perlu 31 adalah orang, menjawab perlu 20 orang, dan
menjawab kurang perlu 4 orang. Dari jumlah tersebut, dapat diketahui bahwa kebersihan juga sangat
penting dalam beraktivitas. Jika tempat kerja kotor, maka mereka menyadari akan merasa kurang
nyaman berada di area kerja tersebut. Hasil perhitungan rata-rata bobot nilai untuk jawaban ini
adalah {(31x2) + (22x1) + (2 x -1)} / 55 = 1.49.

Keempat, apakah perlu dilakukan pemeliharaan (mesin, peralatan dan lingkungan) agar teratur, rapi
dan bersih (Seiketsu). Jumlah koresponden yang menjawab sangat perlu adalah 32 orang dan
menjawab perlu 23 orang. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa para karyawan sudah mengerti
akan pentingnya memelihara peralatan dan lingkungan karena akan berdampak terhadap
produktivitas mereka. Apabila mesin rusak akibat tidak adanya perawatan, maka hal tersebut akan
mengakibatkan produktivitas akan turun karena mesin yang rusak. Hasil perhitungan rata-rata bobot
nilai untuk jawaban ini adalah {(32 x 2)+(23x1)}/55 = 1.58.

Kelima, apakah kebiasaan berdisiplin perlu dilakukan dalam lingkungan kerja (Shitsuke). Jumlah
koresponden yang menjawab sangat perlu adalah 37 orang dan menjawab perlu 18 orang. Ini
menunjukkan bahwa karyawan sudah menyadari bahwa untuk melakukan kebiasaan yang baik dan
menaati peraturan, maka para karyawan seharusnya melakukan sesuatu yang benar sebagai suatu
kebiasaan. Hasil perhitungan rata-rata bobot nilai untuk jawaban ini adalah {(37x2) + (18 x1)}/55 =
1.67.
Tabel 1 Kelompok Pertanyaan I

2. Analisis Kelompok Pertanyaan II.


Dari pengumpulan data yang didapat, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sesuai dengan
keadaan perusahaan saat ini. Pertama, bagaimana pemisahan antara mesin produksi dan bahan-
bahsan sisa hasil produksi saat ini (Seiri). Jumlah koresponden yang menjawab baik adalah 16 orang
dan menjawab kurang baik 39 orang. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan lantai produksi saat ini
belum melakukan pemisahan antara mesin produksi dengan bahan-bahan sisa hasil produksi
sehingga menghambat pekerjaan mereka. Hasil perhitungan rata-rata bobot nilai untuk jawaban ini
adalah { ( 16 x 1 ) + ( 39 x -1 ) } / 55 = -0.42.

Kedua, bagaimana penataan mesin produksi saat ini (Seiton). Jumlah koresponden yang menjawab
sangat baik adalah 4 orang, menjawab baik 10 orang, menjawab kurang baik 33 orang, dan
menjawab tidak baik 8 orang. Ini menunjukkan bahwa keadaan lantai produksi saat ini belum tertata
dengan baik sehingga perlu dilakukan penataan ulang guna meningkatkan produktivitas kerja. Hasil
perhitungan rata-rata bobot nilai untuk jawaban ini adalah { ( 4 x 2 ) + ( 10 x 1 ) + ( 33 x -1 ) + ( 8 x -2
) } / 55 = -0.56.

Ketiga, bagaimana tingkat kebersihan (mesin, peralatan dan lingkungan) saat ini (Seiso). Jumlah
koresponden yang menjawab baik adalah 8 orang, menjawab kurang baik 34 orang, dan menjawab
tidak baik 13 orang. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa tingkat kebersihan saat ini, naik pada
peralatan, mesin ataupun lingkungan masih kurang baik sehingga perlu diperhatikan lagi untuk
masalah kebersihan. Hasil perhitungan rata-rata bobot nilai untuk jawaban ini adalah { ( 8 x 1 ) + ( 34
x -1 ) + ( 13 x -2 ) } / 55 = -0.95.

Keempat, bagaimana kondisi dan pemeliharaan (mesin, peralatan dan lingkungan) saat ini
(Seiketsu). Jumlah koresponden yang menjawab baik adalah 16 orang, menjawab kurang baik 31
orang, dan menjawab tidak baik 8 orang. Dari jumlah jawaban tersebut, terlihat bahwa kondisi
pemeliharaan saat ini kurang maksimal atau belum maksimal sehingga perlu dimaksimalkan lagi, di
mana langkah ini dipengaruhi oleh Seiri, Seiton, dan Seiso tersebut. Hasil perhitungan rata-rata bobot
nilai untuk jawaban ini adalah { ( 16 x 1 ) + ( 31 x -1 ) + ( 8 x -2 ) } / 55 = -0.56.

Kelima, bagaimana tingkat kedisiplinan karyawan saat ini (Shitsuke). Jumlah koresponden yang
menjawab sangat baik adalah 2 orang, menjawab baik 14 orang, menjawab kurang baik 29 orang,
dan menjawab tidak baik 10 orang. Ini menunjukkan bahwa para karyawan di lantai produksi belum
melakukan pembiasaan untuk berdisiplin dalam melakukan aktivitas produksi. Hasil perhitungan rata-
rata bobot nilai untuk jawaban ini adalah { ( 2 x 2 ) + ( 14 x 1 ) + ( 29 x -1 ) + ( 10 x -2 ) } / 55 = -0.56.

Tabel 2 Kelompok Pertanyaan II

Setelah didapat hasil perhitungan rata-rata dari bobot nilai (Tabel 3), maka selanjutnya pembuatan
scatter diagram yang bertujuan untuk mengetahui bagian mana yang membutuhkan penerapan
prinsip 5S (Gambar 1).

Tabel 3 Hasil Perhitungan Rata-rata dari Bobot Nilai.

Gambar 1 Scatter Diagram.


Dari diagram (Gambar 1) bisa dilihat bahwa semua prinsip 5S yaitu Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan
Shitsuke berada pada kuadran I, yaitu nilai kebutuhan ( + ), tetapi keadaan ( - ). Hal ini menunjukkan
bahwa kelima hal ini memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, bagian Pabrikasi I memerlukan kelima
perancangan dalam 5S tersebut dan memerlukan perubahan agar lebih teratur dengan baik.

3. Hasil Perancangan
Setelah melakukan analisis, tahapan selanjutnya adalah pembuatan rencana atau konsep penerapan
5S yang akan diterapkan pada bagian Pabrikasi I. Pertama, Seiri. Proses Seiri di sini adalah proses
pemilahan atau pemisahan antara mesin produksi dengan bahan-bahan sisa hasil produksi. Dari
hasil pengamatan, terlihat banyak bahan-bahan sisa hasil produksi yang tidak terpakai lagi
berserakan di area cutting proses dan drilling proses. Terlihat di sana kalau bahan-bahan tersebut
tidak dikondisikan dengan baik, melainkan dibiarkan berserakan sampai sore (selesai jam kerja). Di
sana tidak disediakan tempat untuk menaruh bahan-bahan sisa tersebut sehingga menyatu dengan
mesin produksi, dan hal tersebut tentunya sangat mengganggu kegiatan produksi. Pada proses Seiri,
akan dilakukan proses pemisahan atau pemetaan antara mesin produksi dengan sisa hasil produksi
sehingga tidak terlihat berantakan dan lebih rapi serta jelas batas pemisah antara mesin produksi,
area kerja dengan bahan sisa hasil produksi tadi.

Proses pemisahan dilakukan agar proses atau kegiatan produksi dapat berjalan lebih efektif dan
mengurangi gangguan atau hambatan yang diakibatkan oleh bahan sisa hasil produksi yang
berserakan di mana-mana. Dengan dibuatkan pembatas, akan terlihat lebih rapi dan para karyawan
bisa melakukan pemisahan tersebut saat selesai proses pengerjaan pemotongan bahan. Dengan
demikian, produktivitas akan meningkat dan resiko kecelakaan kerja akibat tersandung sisa bahan
produksi tadi bisa diminimalisir.

Gambar 2 Sebelum penerapan 5S.

Gambar 3 Setelah penerapan 5S.


Kedua, Seiton. Proses Seiton adalah bagaimana dan di mana mesin dan barang akan diletakkan.
Penataan di sini bertujuan agar proses produksi berjalan dengan lancar dan meningkatkan efisiensi
dari waktu proses pengerjaan sebuah panel dari sebuah jembatan. Pemaksimalan ruangan juga
sangat diperlukan agar penempatan mesin-mesin ataupun alat produksi lainnya pas dan tepat agar
tidak ada ruang ataupun area yang tersisa. Tetapi, jarak antara mesin yang satu dengan yang lainnya
juga harus diperhatikan, begitu pula dengan ruang gerak para karyawan agar para karyawan dapat
bekerja dengan leluasa dan resiko kecelakaan dapat dihindarkan.

Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa proses pengerjaan tidak selalu sesuai alur kerja karena
memang ada beberapa kegiatan produksi yang tidak dilakukan untuk beberapa item. Begitu juga
dengan pengerjaan panel-panel lainnya, juga pada jenis jembatan lainnya. Proses pengerjaannya
tidak selalu melalui tahapan proses yang sama. Ada juga yang hanya melewati pospos pengerjaan
beberapa saja tidak semua proses dilalui. Terlihat bahwa tidak semua proses dilalui oleh setiap
bagian yang akan dikerjakan sehingga alur prosesnya sedikit berantakan. Untuk itu, perlu dilakukan
relay-out atau perubahan layout guna mendapatkan waktu yang efektif dalam setiap pengerjaan
(Gambar 4 dan 5). Dengan penyusunan mesin dilihat dari banyaknya jumlah part yang akan melalui
proses yang sama, maka akan didapat hasil yang lebih baik dari sebelumnya dan akan berdampak
pada produktivitas para karyawan.

Proses 1 adalah proses pada bagian/part yang melewati semua proses produksi (Marking Plate,
Cutting, Pithing, Welded beam, Stratening, Marking Hole, Drilling, Finishing); Proses 2 adalah proses
pada bagian/part yang hanya melewati beberapa alur proses saja (Marking Plate, Cutting, Marking
Hole, Drilling dan Finishing); Proses 3 adalah proses pada bagian/part yang hanya melewati
beberapa alur proses saja (Marking Plate, Cutting, Pithing, Welded Beam, Stratening dan Finishing).
Karena menurut hasil survey, proses yang paling banyak adalah proses 2 dan 3 dibandingkan
dengan proses 1, maka perlu adanya relay-out/penataan ulang pada bagian Pabrikasi I sehingga
proses produksi dapat berjalan lebih cepat serta tidak mengganggu proses yang lain yang sedang
berlangsung.

Gambar 4 Sebelum relayout.


Gambar 5 setelah relayout

Ketiga, Seiso. Seiso memiliki pengertian membersihkan lingkungan kerja, termasuk di dalamnya
mesin, peralatan kerja, lantai kerja, dan berbagai daerah di area tempat kerja. Membersihkan sama
dengan memeriksa; dengan kita melakukan pembersihan secara otomatis, kita juga turut aktif dalam
melakukan pengontrolan dan pengecekan. Hal ini tentunya akan sama dengan melakukan perawatan
pada setiap mesin dan peralatan kerja lainnya agar umur dari mesin atau peralatan tersebut dapat
bertahan lebih lama, dan keuangan perusahaan tidak diberatkan pada keadaan mesin yang rusak
yang membutuhkan perbaikan. Untuk itu, perlu dibuat sistem atau peraturan-peraturan yang
berkenaan dengan masalah kebersihan, di antaranya adalah (1) Menugaskan atau pembuatan
jadwal piket atau membersihan pada area kerjanya masing-masing setelah melakukan pekerjaan; (2)
Pembuatan SOP dalam melakukan pembersihan pada mesin ataupun peralatan yang akan
dibersihkan, yang ditempelkan pada mesin tersebut atau di area mesin tersebut; (3) Menyiapkan atau
menyediakan peralatan yang menunjang pada masalah kebersihan, yang diletakkan dekat dengan
area produksi pada lokasi tertentu yang memudahkan para karyawan mudah untuk menjangkaunya;
(4) Membuat aturan-aturan yang berkenaan dengan masalah kebersihan.

Ketiga, Seiketsu. Seiketsu merupakan tahap yang bisa dilakukan setelah kita menerapkan Seiri,
Seiton, dan Seiso. Jadi, tahap ini merupakan tahap kelanjutan setelah ketiga tahap tersebut. Untuk
itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan agar proses atau tahap ini dapat dilaksanakan, yaitu (1)
Selalu memeriksa semua peralatan dan mesin yang ada untuk menjaga kenormalan kondisi karena
bila tidak diperiksa dapat menyebabkan produk yang dikerjakan keluar dari spesifikasi; (2) Memberi
tanda pada setiap benda agar tiap karyawan tidak lupa nama mesin atau peralatan dan barang-
barang tersebut sehingga membantu para karyawan dalam pencarian peralatan tersebut apabila
dibutuhkan; (3) Untuk pengunaan mesin- mesin produksi, harus dibuat simbol penggunaan dan
simbol bahaya yang ditempelkan pada bagian yang memerlukannya; (4) Pembuatan form evaluasi
5S untuk memastikan penerapan 5S sudah dilakukan dengan benar atau belum. Perusahaan dapat
menunjuk seseorang yang bertanggung jawab untuk pengisian form tersebut.

Ketiga, Shitsuke. Shitsuke bisa diartikan mendisiplinkan atau mengajak para karywan untuk
membiasakan para karyawan untuk melakukan perilaku atau kebiasaan yang baik, meskipun akan
sulit untuk merubah kebiasaan seseorang. Tetapi, hal tersebut tetap harus dilakukan perusahaan
guna mendapatkan hasil atau tujuan perusahaan. Setiap orang mungkin tahu arti dari disiplin itu
sendiri, tetapi mereka terkadang sulit melakukannya karena sudah terbiasa. Untuk itu, pihak
manajemen bisa memberikan contoh-contoh yang baik kepada para karyawannya agar para
karyawan dapat termotivasi untuk berdisiplin. Apabila dari atasan saja sudah tidak disiplin, maka
karyawannya pun akan mengikuti kebiasaan tersebut.

Selain tahap pemantapan berdisiplin ini bisa dilakukan dengan penerapan reward and punishment
jadi memberi penghargaan kepada para karyawan yang menaati peraturan-peraturan yang ada dan
akan ada konsekuensinya bila mereka melanggar aturan tersebut. Hal ini juga bisa membuat para
karyawan untuk berpikir ulang apabila akan melakukan tindakan.

Tabel 4. Perhitungan waktu kerja.

Keuntungan.
Dari hasil penelitian, dapat ditarik simpulan sebagai berikut. Pertama, setelah mengamati keadaan
pabrik, khususnya area Pabrikasi I dan diketahui bahwa bagian bagian tersebut memerlukan prinsip-
prinsip 5S, kemudian dilakukan pengumpulan data melalui kuesioner, dilanjutkan dengan pembuatan
scatter diagram untuk menentukan prinsip S mana dari 5S yang diperlukan bagian tersebut.
Perancangan dibuat dengan langkah-langkah yang teratur sesuai dengan kebutuhan sikap kerja 5S
pada bagian tersebut. Selain itu, mempermudah bagian tersebut dalam mengimplementasikan
prinsip 5S. Kedua, penerapan metode 5S pada bagian Pabrikasi I pada proses pembuatan item C30-
SGD 3 dapat mengurangi waktu kerja. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan waktu baku sebelum
dan sesudah penerapan prinsip 5S.

Tabel 5 Perbandingan Waktu Baku Sebelum dan Sesudah Penerapan Prinsip 5S

Adanya penghematan waktu dalam proses pembuatan item C30-SGD3, yaitu sebesar 2986.01
(50 menit) atau sekitar 16.87%.

Soal Strategi Value.


Soal.
Apa yang dimaksud dengan stategi value?
Berikan studi kasus tentang strategi value!
Jawab.
Nilai yang diterima pelanggan merupakan salah satu unsur penting yang perlu dipertimbangkan
ketika proses perumusan konsep suatu produk. Hal tersebut sangat penting karena pelanggan saat
ini menghadapi beraneka ragam pilihan produk, merk, harga dan pemasok, dan Kotler (2003:60)
mendefinisikan nilai sebagai berikut:

“Total Customer Value is the bundle of benefit customers expect from a given product or service.
Total Customer Cost is bundle of costs customer expect to incure in evaluating, obtaining, using the
product or service and disposing of the product or service. Customer Delivered Value is difference
between Total Customer value and Total customer Cost”

Lovelock (2002:174) mendefinisikan Value sebagai “what I get for what I give” dan memperkenalkan
konsep Net value dimana konsumen akan mempertimbangkan perbedaan antara benefit yang
diterima dengan penngorbanan yang harus dikeluarkan. Semakin besar benefit yang diterima
konsumen dibandingkan dengan pengorbanannya, maka semakin besar pula nilai yang diterima.

Pada strategi value produk yang dijual dibagi beberapa kelas seperti:
Market leader. Yaitu, Market leader adalah perusahaan yang memegang bagaian terbesar dalam
pasar yang memiliki karakteristik memiliki pangsa pasar 40% dan menjadi pusat orientasi pesaing
untuk diserang, ditiru dan dijauhi. Pemimpin pasar dominan di industri itu itu. Ini memiliki pangsa
pasar yang besar dan seringkali luas distribusi pengaturan dengan pengecer. Ini biasanya adalah
pemimpin industri dalam mengembangkan inovasi baru model bisnis dan produk baru (walaupun
tidak selalu). Ini cenderung di ujung tombak teknologi baru dan proses produksi baru.Kadang-kadang
memiliki beberapa kekuatan pasar dalam menentukan baik harga atau keluaran. Dari empat strategi
dominasi, ia memiliki fleksibilitas yang paling dalam kerajinan strategi. Ada beberapa pilihan tidak
terbuka untuk itu. Namun berada dalam posisi yang sangat terlihat dan dapat menjadi target
ancaman kompetitif dan menggabungkan anti-tindakan pemerintah.

Market Challenger dapat dikatakan perusahaan pesaingan yang selalu menyerang Market
Leader untuk memperluas pangsa pasarnya. Market Challenger adalah perusahaan runner
up dibawah Market Leader. Sebuah penantang pasar adalah suatu perusahaan dalam yang kuat,
tetapi bukan posisi dominan yang mengikuti strategi agresif mencoba untuk mendapatkan pangsa
pasar. Ini biasanya menargetkan pemimpin industri (misalnya, target Pepsi Coke), tetapi juga dapat
menargetkan lebih kecil, pesaing lebih rentan.

Market Follower adalah suatu perusahaan dalam yang kuat, tetapi bukan posisi dominan yang konten
untuk tetap pada posisi itu. Alasannya adalah bahwa dengan mengembangkan strategi yang sejajar
dengan orang-orang dari pemimpin pasar, mereka akan mendapatkan banyak pasar dari pemimpin
sementara yang terkena resiko yang sangat kecil. Ini "bermain aman" strategi adalah bagaimana
Burger King tetap dapat mempertahankan posisi di belakang McDonalds Dalam strategi ceruk
perusahaan berkonsentrasi pada beberapa pilih target pasar. Hal ini juga disebut strategi
fokus. Diharapkan bahwa dengan upaya pemasaran yang memfokuskan pada satu atau dua segmen
pasar yang sempit dan menyesuaikan Anda bauran pemasaran ke pasar-pasar khusus.
Studi Kasus Strategi Value.

Deskripsi.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu sektor usaha yang memberikan
sumbangan besar bagi perekonomian terutama dalam penyerapan tenaga kerja. Kontribusi UMKM
dalam penyerapan tenaga kerja mencapai 99,45% (Ikhsan, 2004). Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa
Timur mencatat adanya kenaikan penyerapan tenaga kerja di sektor industri kecil sebesar 4,58% dari
jumlah pekerja di Jawa Timur pada Agustus 2011 yang mencapai 19,76 juta. Karena besarnya
kontribusi UMKM tersebut maka kelangsungan hidup UMKM tetap harus terjaga. Namun banyak
UMKM yang tidak mampu mempertahankan eksistensinya di pasar karena persaingan yang sangat
ketat baik dengan sesama UMKM maupun perusahaan besar. UMKM dituntut mempunyai daya saing
tinggi agar mampu bertahan di tengah persaingan bisnis. Hal ini dapat dilakukan dengan
menerapkan konsep pemasaran bahwa perusahaan mendapat keunggulan bersaing dengan
memuaskan keinginan konsumen sasaran lebih baik dari yang dilakukan pesaing.

Industri kripik tempe di Desa Sanan Malang yang merupakan bagian dari UMKM mengalami
perkembangan yang cukup baik. Hingga kini berjumlah kurang lebih 386 pengrajin dari total
penduduk yang ada di Desa Sanan. 272 pengrajin dari 386 pengrajin tersebut tergabung dalam
wadah koperasi produsen kripik tempe Sanan. Bahkan saat ini Sanan sudah menjadi sentra industri
kecil penghasil kripik tempe dan menjadi salah satu produk unggulan Kota Malang. Namun dalam
perjalanannya UMKM ini banyak mengalami masalah antara lain banyaknya pesaing yang terus
masuk dalam bisnis ini. Hal ini mengakibatkan persaingan yang semakin ketat sehingga para pelaku
atau produsen kripik tempe harus dapat menentukan strategi untuk dapat memenangkan persaingan.

Masalah.
Untuk menentukan strategi pemasaran yang tepat dapat dirumuskan jika perusahaan mampu
mengidentifikasi posisi bersaingnya. Posisi bersaing terdiri dari pemimpin pasar (market leader),
penantang pasar (market challenger), pengikut pasar (market follower), dan penceruk pasar (market
nicher).

Solusi.
1. Menentukan Posisi Bersaing.
Perusahaan-perusahaan yang bersaing pada pasar sasaran yang sama, pada waktu tertentu
mempunyai sasaran dan sumber daya yang berbeda. Sebagian perusahaan mempunyai banyak
sumber daya sedangkan yang lain tidak, sebagian merupakan perusahaan yang sudah tua dan
mapan sedangkan yang lain masih baru, dan sebagainya. Perusahaan menempati posisi bersaing
yang berbeda-beda dalam satu pasar sasaran. Posisi bersaing yang didasarkan pada peran yang
dimainkan perusahaan dalam pasar sasaran dibagi menjadi empat (Kotler & Amstrong, 2001), yaitu :
1) Pemimpin pasar (Market leader). Perusahaan dalam suatu industri dengan pangsa pasar terbesar,
perusahaan ini biasanya memimpin perusahaan lain dalam perubahan harga, pengenalan produk
baru, cakupan distribusi, dan intensitas promosi. 2) Penantang pasar (Market challenger)
Perusahaan peringkat kedua dalam suatu industri yang sedang berjuang keras untuk meningkatkan
pangsa pasarnya. 3) Pengikut pasar (Market follower). Perusahaan peringkat kedua dalam suatu
industri yang ingin mempertahankan pangsa pasarnya tanpa mengganggu keseimbangan. 4)
Perelung pasar (Market nicher). Perusahaan dalam suatu industri yang melayani segmen kecil yang
dilupakan atau diabaikan perusahaan lain.

Shimaguchi (2006) mengemukakan Matriks Posisi Bersaing (Competitive Position Matrix) sebagai
berikut :

Quantitative managerial resources terdiri dari jumlah penjualan, kekuatan modal, kapasitas produksi,
dan sebagainya. Sedangkan qualitative managerial resources terdiri dari kekuatan merek,
pemasaran, teknologi, kepemimpinan, dan lain-lain. Hasil dari mapping inilah yang digunakan
sebagai dasar penentuan strategi bersaing bagi masing-masing perusahaan.

2. Strategi Bersaing.
Untuk mempersiapkan strategi pemasaran yang efektif perusahaan harus memperhatikan pesaing
dan pelanggannya. Perusahaan harus terus menganalisis pesaing dan mengembangkan strategi
pemasaran bersaing yang mampu melawan pesaing secara efektif dan memberi keunggulan
bersaing. Analisis pesaing pertama-tama melibatkan pengidentifikasian pesaing utama perusahaan.
Kemudian menilai sasaran, strategi, kekuatan dan kelemahan, serta pola reaksi pesaing. Dengan
menggunakan informasi ini dan ditambah dengan pengetahuan tentang posisi bersaing, perusahaan
dapat memilih pesaing yang akan diserang atau dihindari.

3. Operasional Variabel.
Variabel dalam penelitian terdiri dari penjualan, jumlah produksi, harga, modal, lama usaha, dan
jumlah tenaga kerja. Penjualan adalah total pemasukan yang diperoleh dari penjualan sebelum
dikurangi biaya yang dikeluarkan. Jumlah produksi kripik tempe yang dihasilkan per bulan dalam
satuan kilogram (kg). Harga merupakan harga jual per kilogram dari setiap produk yang ditawarkan
oleh perusahaan. Modal adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dalam satu
kali proses produksi tidak termasuk biaya peralatan. Lama usaha adalah lamanya profesi yang
dijalani oleh pengusaha kripik tempe yang dinyatakan dalam tahun. Sedangkan jumlah tenaga kerja
adalah jumlah tenaga kerja yang ada saat ini.

4. Model Analisis Data.


Penelitian ini menggunakan metode analisis cluster yang bertujuan untuk mengelompokkan obyek
berdasarkan kesamaan karakteristik diantara obyek-obyek tersebut (Malhotra, 2006). Tujuan utama
dalam analisis cluster adalah mempartisi suatu set obyek menjadi dua kelompok atau lebih
berdasarkan kesamaan karakteristik khusus yang dimiliki. Kelompok atau cluster yang terbentuk
merefleksikan struktur yang melekat pada data seperti yang didefinisikan oleh variabel-veriabel.
5. Model Perhitungan.
Responden dalam penelitian ini adalah para pengrajin kripik tempe di Dusun Sanan sebanyak 30
orang terdiri dari 22 orang laki-laki dan 8 orang perempuan. Tingkat pendidikan responden bervariasi
mulai dari tamat SD sebanyak 14 orang, SMP sebanyak 11 orang, dan SMA sebanyak 5 orang.
Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan rata-rata memiliki jumlah tenaga
kerja berkisar antara 1-4 orang. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki
jumlah tenaga kerja berkisar antara 1-4 orang sebanyak 18 perusahaan yang digolongkan sebagai
usaha mikro, sedangkan perusahaan yang memiliki jumlah tenaga kerja berkisar antara 5-19 orang
sebanyak 12 perusahaan yang digolongkan sebagai usaha kecil.

Mengenai sumber modal yang dimiliki oleh perusahaan diketahui bahwa sebanyak 27 perusahaan
atau 90% dari total perusahaan menggunakan modal dari kekayaan pribadi atau modal sendiri, dan
sebanyak 3 perusahaan atau sebesar 10% masih menggunakan modal yang berasal dari pinjaman.
Besarnya modal masing-masing perusahaan antara lain di bawah Rp. 5 juta sebanyak 3 perusahaan,
Rp. 5 juta-Rp. 10 juta sebanyak 10 perusahaan, dan di atas 10 juta sebanyak 17 perusahaan. Lama
usaha responden dibagi menjadi tiga yaitu, 4-8 tahun sebanyak 16 orang, 5-13 tahun sebanyak 8
orang, dan diatas 14 tahun sebanyak 6 orang.

Tingkat produksi 125-300 kg sebanyak 13 perusahaan, 301-476 kg sebanyak 7 perusahaan, 477-652


kg sebanyak 7 perusahaan, dan diatas 653 kg sebanyak 3 perusahaan. Sedangkan harga jual yang
ditawarkan juga bervariasi yaitu di bawah Rp. 50.000/kg sebanyak 7 perusahaan, Rp. 25.000-Rp.
30.000/kg sebanyaak 21 perusahaan, dan di atas Rp. 30.000/kg sebanyak 2 perusahaan. Data
mengenai hasil penjualan di bawah Rp. 5 juta sebanyak 7 perusahaan, Rp. 5 juta-Rp. 10 juta
sebanyak 12 perusahaan, dan di atas Rp. 10 juta sebanyak 11 perusahaan.

Karena data yang digunakan memiliki variabilitas satuan maka dilakukan proses
standarisasi/transformasi data terlebih dahulu. Setelah itu baru dilakukan proses analisis cluster.
Hasil analisis cluster dijelaskan sebagai berikut :

Tabel 1. Iteration History

Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa untuk mendapatkan cluster yang tepat, proses
clustering yang dilakukan melalui 4 tahapan iterasi dengan jarak minimum antar pusat cluster yang
terjadi dari hasil iterasi adalah 4, 456.
Tabel 2. Final Cluster Centres.

Output final cluster centres tersebut masih terkait dengan proses standarisasi data sebelumnya, yang
mengacu pada z-score dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Nilai negatif (-) berarti data berada di
bawah rata-rata total, 2) Nilai positif (+) berarti data berada di atas rata-rata total.

Tabel 2 dapat didefinisikan sebagai berikut : Cluster 1 terdiri dari perusahaan atau usaha yang
mempunyai jumlah penjualan, jumlah produksi, jumlah modal, dan jumlah tenaga kerja di atas rata-
rata. Sedangkan harga dan lama usaha di bawah rata-rata. Dengan demikian maka dapat
disimpulkan bahwa cluster 1 merupakan pengelompokan dari perusahaan yang termasuk kategori
pemimpin pasar (leader) dicirikan dengan jumlah penjualan, jumlah produksi, jumlah modal, dan
jumlah tenaga kerja di atas rata-rata.

Cluster 2 terdiri dari perusahaan atau usaha yang mempunyai harga di atas rata-rata sedangkan
jumlah penjualan, jumlah produksi, jumlah modal, lama usaha, dan jumlah tenaga kerja di bawah
rata-rata. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa cluster 2 merupakan pengelompokan
dari perusahaan yang termasuk kategori penceruk pasar (nicher).

Cluster 3 terdiri dari perusahaan atau usaha yang mempunyai jumlah penjualan, jumlah produksi,
jumlah modal, dan lama usaha di atas rata-rata, sedangkan harga dan jumlah tenaga kerja di bawah
rata-rata. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa cluster 3 merupakan pengelompokan
dari perusahaan yang termasuk kategori penantang pasar (challenger).

Cluster 4 terdiri dari perusahaan atau usaha yang mempunyai jumlah modal dan jumlah tenaga kerja
di atas rata-rata sedangkan jumlah penjualan, jumlah produksi, harga, dan lama usaha di bawah rata-
rata. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa cluster 4 merupakan pengelompokan dari
perusahaan yang termasuk kategori pengikut pasar (follower).
Tabel 3. Hasil ANOVA.

Nilai F dan nilai probabilitas (sig) masing-masing variabel digunakan untuk melihat nilai perbedaan
variabel pada cluster yang terbentuk. Semakin besar nilai F dan (sig < 0,05), maka semakin besar
perbedaan variabel pada cluster yang terbentuk. Berdasarkan tabel 3 di atas maka diketahui bahwa
perbedaan variabel pada cluster yang terbesar ada pada jumlah produksi dengan nilai F sebesar
37,965 dan sig = 0,00.

Tabel 4. Jumlah setiap cluster.

Tabel 4 menunjukkan bahwa :


Cluster 1 (pemimpin pasar/market leader)beranggotakan 1 perusahaan atau usaha yaitu usaha
tempe yang dimiliki oleh Abdul Majid. Cluster 2 (penceruk pasar/market nicher) beranggotakan 13
perusahaan atau usaha yaitu usaha tempe yang dimiliki oleh Suwono, Kasturi, Bambang, Djumadi,
Darto, Laili, Abd. Sholeh, Darmadji, Suci, Priyo, Rokhim, Abdul Rochman, dan Wawan. Cluster 3
(penantang pasar/market challenger) beranggotakan 6 perusahaan atau usaha yaitu usaha tempe
yang dimiliki oleh Hasan, Djuari, Kutiya, Priyo, Tumiran, dan Setyowati. Cluster 4 (pengikut
pasar/market follower) beranggotakan 10 perusahaan atau usaha yaitu usaha tempe yang dimiliki
oleh Choiri, Ema, Maslikah, Gunari, Suparmi, M. Ainur, H. Taufik, Agus, Chifni, dan Hj. R. Jannah.

Dengan demikian maka telah diketahui posisi bersaing masing-masing perusahaan sebagai
pemimpin pasar, penceruk pasar, penantang pasar, dan pengikut pasar. Hal ini dapat dijadikan dasar
dalam penentuan strategi pemasaran selanjutnya karena strategi pemasaran berbeda pada tiap-tiap
posisi.

Perusahaan atau usaha yang termasuk cluster 1 merupakan perusahaan berposisi sebagai
pemimpin pasar/market leader. Beberapa strategi pemasaran yang dapat diterapkan oleh pemimpin
pasar antara lain : 1, mengembangkan pasar keseluruhan dapat dilakukan dengan mencari pemakai
baru, mencari kegunaan baru, penggunaan yang lebih banyak (lebih sering); 2, melindungi pangsa
pasar dapat dilakukan dengan pertahanan posisi, pertahanan samping, pertahanan aktif mendahului,
pertahanan serang balik, pertahanan bergerak, dan pertahanan penciutan; 3, memperluas pangsa
pasar dapat dilakukan dengan keunggulan operasional, kepemimpinan produk, dan keakraban
dengan pelanggan.

Perusahaan atau usaha yang termasuk cluster 2 merupakan perusahaan berposisi sebagai penceruk
pasar/market nicher. Beberapa strategi pemasaran yang dapat diterapkan oleh penceruk pasar
adalah spesialisasi antara lain spesialis pemakai akhir, tingkat vertikal, ukuran pelanggan, pelanggan
tertentu, geografis, produk atau lini produk, sifat (karakteristik) produk, pesanan, kualitas atau harga,
jasa, dan saluran distribusi.

Perusahaan atau usaha yang termasuk cluster 3 merupakan perusahaan berposisi sebagai
penantang pasar/market chalenger. Beberapa strategi pemasaran yang dapat diterapkan oleh
penantang pasar antara lain : strategi pemotongan harga, strategi produk murah, strategi produk
prestise, strategi pengembangbiakan produk, strategi inovasi produk, strategi penyempurnaan
layanan, strategi inovasi distribusi, strategi penekanan biaya produksi, dan strategi romosi yang
intensif.

Perusahaan atau usaha yang termasuk cluster 4 merupakan perusahaan berposisi sebagai pengikut
pasar/market follower. Beberapa strategi pemasaran yang dapat diterapkan oleh pengikut pasar
antara lain : cloner yaitu meniru dan menyamai segmen pasar dan bauran pemasaran pemimpin
pasar, imitiator yaitu membuat beberapa differensiasi namun tetap meniru pemimpin pasar dalam hal
pembaruan pasar dan bauran pemasaran, dan adapter yaitu mencontoh produk-produk pemimpin
pasar, memproduksinya namun dengan improvisasi.

Keuntungan.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, diperoleh kesimpulan bahwa posisi bersaing UKM produsen
kripik tempe di Sanan terbagi menjadi empat cluster atau kelompok yaitu kelompok pemimpin pasar
terdiri dari 1 perusahaan, kelompok penceruk pasar terdiri dari 13 perusahaan, kelompok penantang
pasar terdiri dari 6 perusahaan, dan kelompok pengikut pasar terdiri dari 10 perusahaan. Setiap
perusahaan dapat menerapkan strategi pemasaran sesuai dengan posisi bersaing masing-masing.
Soal Strategi Service.
Soal.
Jelaskan tentang strategi service!
Berikan studi kasus strategi service!

Jawab:
Pada strategi service terdapat 3 elemen yang perlu dikontrol seperti grafik dibawah ini.

Grafik hubungan service management.

Intangibility (tidak berwujud) Jasa bebeda dengan barang. Bila barang merupakan suatu objek, alat,
atau benda; maka jasa adalah suatu perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja
(performance), atau usaha. Oleh sebab itu, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau
diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi. Bagi para pelanggan, ketidakpastian dalam pembelian jasa
relatif tinggi karena terbatasnya search qualities, yakni karakteristik fisik yang dapat dievaluasi
pembeli sebelum pembelian dilakukan. Untuk jasa, kualitas apa dan bagaimana yang akan diteriman
konsumen, umumnya tidak diketahui sebelum jasa bersangkutan dikonsumsi.

Inseparability (tidak dapat dipisahkan) Barang biasa diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi.
Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi pada
waktu dan tempat yang sama.

Inconsistency (berubah-ubah) Jasa bersifat variabel karena merupakan non-standarized output,


artinya banyak variasi bentuk, kualitas, dan jenis tergantung kepada siapa, kapan dan dimana jasa
tersebut diproduksi. Hal ini dikarenakan jasa melibatkan unsur manusia dalam proses produksi dan
konsumsinya yang cenderung tidak bisa diprediksi dan cenderung tidak konsisten dalam hal sikap
dan perilakunya.

Inventory (tidak tahan lama) Jasa tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Kursi pesawat yang
kosong, kamar hotel yang tidak dihuni, atau kapasitas jalur telepon yang tidak dimanfaatkan akan
berlalu atau hilang begitu saja karena tidak bisa disimpan.

Pada 5 dimensi pengertiannya seperti berikut:

1. Tangibility – kewujudan, seberapa baik physical evidence yang ada pada layanan. Layout
ruangan, kerapihan frontline, kecanggihan alat , dan lain-lain
2. Empathy – seberapa baik staf pelayanan kita memahami kesulitan pelanggan. hal ini tercermin
dari keramahannya, kemauan untuk mendengarkan keluhan dan layanan lain yang diberikan.
3. Responsiveness – kecepat tanggapan, yaitu seberapa cepat staf kita menanggapi keluhan,
permintaaan produk, dan pemberian informasi .
4. Reliability – kehandalan, yaitu seberapa konsisten perusahaan memberikan kualitas seperti
yang dijanjikan kepada pelanggan.
5. Yang terakhir, Assurance atau keyakinan, yaitu seberapa yakin pelanggan bahwa kita mampu
mendeliver pelayanan dengan kualitas tertentu.

Studi Kasus Strategi Value.


Deskripsi.

Dalam industri pelayanan kesehatan, kualitas pelayanan, hal yang sangat penting dalam
mewujudkan kepuasan pelanggan, apalagi hal ini berhubungan dengan hidup mati seseorang. Di
dalam lingkungan yang semakin penuh dengan persaingan, rumah sakit mesti semakin sadar tentang
perlunya memberikan kualitas pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya. Kualitas pelayanan
didefinisikan sebagai perbedaan antara harapan pelanggan dengan kenyataan yang diterima.
Kepuasan merupakan pernyataan psikologi yang dihasilkan dari terpenuhi atau tidaknya harapan
dengan pelayanan yang diterima secara nyata. Industri jasa merupakan sebuah sektor yang berbeda
dibanding dengan sektor manufaktur. Salah satu contoh daripada sektor jasa ialah industri pelayanan
kesehatan misalnya rumah sakit. Dalam industri perawatan kesehatan, rumah sakit menyediakan
jenis-jenis pelayanan yang sama, tetapi mereka tidak menyediakan kualitas pelayanan yang sama.
Sedangkan, pelanggan sekarang lebih cerdas untuk memilih alternatif-alternatif yang ditawarkan dan
meningkatkan tingkat pelayanan yang telah menaikkan harapan mereka. Dalam industri pelayanan
kesehatan, pasien merupakan pelanggan dan ia merupakan bagian yang sangat penting dalam
perkembangan industry kesehatan ini.

Pengukuran terhadap taraf kualitas pelayanan sangatlah penting terutama untuk meningkatkan
kualitas pelayanan dan mendapatkan pelanggan yang setia. Keuntungan yang sebenarnya bukan
datang dari pelanggan yang puas saja, melainkan dari pelanggan yang setia. Pemberian kualitas
pelayanan yang buruk dan mengecewakan pelanggan merupakan beberapa sebab dari kegagalan.
Sehingga, memenuhi keperluan pasien dan berusaha menjaga pelanggan merupakan keutamaan
dari organisasi kesehatan.

Sebagai rumah sakit akademik yang menjadi referensi bagi seluruh negara, maka dinamika-dinamika
yang terjadi dalam tubuh Rumah Sakit X harus selalu mendapatkan pengawasan. Beberapa
pengawasan yang perlu dilakukan adalah pengawasan terhadap kepuasan pelanggan. Penelitian
terhadap tingkat kepuasan pelanggan sangatlah penting untuk memungkinkan manajemen Rumah
Sakit X memahami kehendak sebenarnya pelanggan, membantu dalam perencanaan tindakan,
investasi, manajemen, membuat keputusan dan menyediakan layanan yang berkualitas dan
kompetitif tidak hanya secara lokal, melainkan juga di tingkat global. Penelitian ini diharapkan dapat
dimanfaatkan oleh manajemen Rumah Sakit X untuk merencanakan tujuan masa depan setelah
mengidentifikasi dimensi mana di dalam layanan yang harus ditingkatkan.

Masalah.
1) Bagaimana tingkat kualitas pelayanan Rumah Sakit X berdasarkan kepuasan pasien, selaku
konsumen dengan menggunakan SERVPERF?
2) Atribut apa saja yang perlu dilakukan perbaikan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan
Rumah Sakit X?

Solusi.
i. Service Performance.
Service performance lebih bisa menjawab permasalahan yang muncul dalam menentukan kualitas
jasa karena bagaimanapun konsumen hanya akan bisa menilai kualitas yang mereka terima dari
suatu produsen tertentu bukan pada persepsi mereka atas kualitas jasa pada umumnya

ii. Lean Service.


Lean service adalah sekumpulan peralatan dan metode yang dirancang untuk mengeliminasi waste,
mengurangi waktu tunggu, memperbaiki performance, dan mengurangi biaya.
1) Spesifikasi secara tepat nilai produk yang diinginkan oleh pelanggan.
2) Identifikasi transformasi (Value Stream) untuk setiap proses jasa.
3) Eliminasi semua pemborosan yang terdapat dalam aliran proses jasa (Moment of Truth) agar
nilai mengalir tanpa hambatan.
4) Menetapkan sistem anti kesalahan setiap proses jasa untuk menghindari pemborosan dan
penundaan.
5) Mengejar keunggulan untuk mencapai kesempurnaan (Zero Waste) melalui peningkatan terus-
menerus secara radikal.

iii. Importance-Performance Analysis (IPA).


Analisis ini diperkenalkan oleh Martilla & James yang digunakan dalam pemasaran untuk
mengidentifikasi target audiens dan laju produk tertentu atau atribut pelayanan, berdasar pada tingkat
kepentingan dan dampaknya bagi performance perusahaan secara keseluruhan. Dengan
menggunakan matrix ini, managemen dapat memiliki gambaran ke dalam terhadap atribut-atribut
yang dikehendaki dan memberikan pempatbahbaikan, dan dapat dibandingkan dengan atribut-atribut
yang boros dalam penggunaan sumber daya dan memberi keuntungan minimal bagi kepuasan
konsumen. Awalnya IPA hanya memiliki 2 dimensi, x dan y saja. Sumbu X menunjukkan performance
(kepuasan konsumen), sedangkan y- menunjukkan tingkat kepentingan.

Matriks ini sangat bermanfaat sebagai pedoman dalam mengalokasikan sumber daya organisasi
yang terbatas pada bidang-bidang spesifik, dimana perbaikan kinerja bisa berdampak besar pada
kepuasan pelanggan total. Selain itu, matriks ini juga menunjukkan bidang atau atribut tertentu yang
perlu dipertahankan dan aspek-aspek yang perlu dikurangi prioritasnya.

Gambar Matrix IPA.

Keempat kuadran tersebut mengandung pengertian sebagai berikut ini :


 Kuadran I, menunjukkan daftar keinginan konsumen yang memiliki tingkat kepentingan yang
rendah, namun masih memiliki kinerja yang tinggi.
 Kuadran II, menunjukkan daftar keinginan konsumen yang memiliki tingkat kepentingan yang
tinggi dan sudah menunjukkan kinerja yang tinggi.
 Kuadran III, menunjukkan daftar keinginan konsumen yang memiliki tingkat kepentingan yang
rendah,serta menunjukkan kinerja yang rendah.
 Kuadran IV, menunjukkan daftar keinginan konsumen yang memiliki tingkat kepentingan yang
tinggi namun telah menunjukkan kinerja yang rendah.

iv. Uji Reabilitas Data.

Dari uji reliabilitas di atas, semua nilai Cronbach Alpha data berada > 0.7, sehingga data reliable
untuk disebarkan lebih lanjut. Penyebaran data kedua kemudian diberikan secara random kepada
290 orang responden.
Data demografi, khususnya identitas responden diperbolehkan tidak dinyatakan dengan jelas apabila
responden merasa kurang nyaman. Akan tetapi, peneliti menjamin kerahasiaan data responden
dalam penelitian ini. Informasi dan jawaban yang diberikan hanya untuk kepentingan penelitian ini
belaka. Di bawah ini adalah rekapitulasi responden dalam penelitian ini.

Tabel 2. Data Demografi Koresponden.

Berdasarkan hasil pengolahan kuesioner yaitu perhitungan skor rata-rata tingkat kepentingan dan
kinerja pelayanan untuk masing-masing dimensi, maka langkah selanjutnya adalah dilakukan
pemetaan kuadran dengan membandingkan rata-rata angka kepentingan dengan rata-rata angka
kinerja pelayanan untuk masing- masing atribut berdasarkan karakteristik, akan diperoleh kualifikasi
kualitas pelayanan dalam empat kuadran. Dimana garis yang dijadikan titik point kuadran adalah
rata-rata angka kepentingan sebagai sumbu (X) dan rata-rata angka kinerja sebagai sumbu (Y) dari
jumlah rata-rata berdasarkan karakteristik. Peta kuadra tingkat kepentingan dan kinerja pelayanan
seperti yang tercantum dibawah ini :
Gambar 1. Hasil Pemetaan Kuadran.

Berdasarkan hasil pemetaan kuadran pada metode Servperf diatas menunjukkan bahwa terdapat
enam belas atribut dalam dimensi kualitas pelayanan di Rumah sakit X yang memiliki tingkat
kepentingan tinggi namun masih memiliki kinerja yang rendah. Keenam belas atribut tersebut dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3. Atribut Kepentingan Tinggi dan Kinerja Randah.


Keenam belas atribut di atas merupakan aspek CTQ yang perlu untuk dilakukan perbaikan.
Berdasarkan CTQ yang telah teridentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah mendefinisikan
pemilihan proses yang akan diperbaiki dengan memetakan proses pelayanan Rumah sakit X untuk
memberikan gambaran umum tentang aliran fisik dan aliran informasi dari proses layanan yang
diamati. Kemudian menentukan rencana atau rekomendasi tindakan dan menentukan prioritas
rencana tindakan.

v. Analisis Pengukuran Lean Service.


Keenam belas atribut diatas merupakan aspek Critical To Quality (CTQ) yang perlu untuk dilakukan
perbaikan. Berdasarkan Critical To Quality (CTQ) yang telah teridentifikasi, maka langkah selanjutnya
adalah mendefinisikan pemilihan proses yang akan diperbaiki dengan memetakan proses bisnis
untuk memberikan gamba

vi. Mengidentifikasi Proses yang Akan Diperbaiki.


1) Karyawan ramah, salah satu atribut dari Assurance ini memiliki kinerja rendah karena :
 Beban kerja yang besar dalam tugas, sehingga karyawan terkadang
 kurang ramah terhadap pasien.
2) Pelayanan yang diberikan tidak memihak, atau memberi keutamaan kepada pihak-pihak
tertentu, salah satu atribut responsiveness ini memiliki kinerja rendah karena :
 Rasa sungkan terhadap kenalan atau keluarga, sehingga karyawan memberikan prioritas
kepada orang yang dikenalnya.
 Kurang pengawasan di setiap counter
3) Karyawan rumah sakit memahami keperluan spesifik pasien, salah satu atribut dari empathy
ini memiliki kinerja rendah karena :
 Faktor pendidikan karyawan berpengaruh pada tingkat pemahaman karyawan dalam melayani
pasien
 Karyawan tidak mengetahui seluruh keperluan pasien, karena bekerja secara spesifik di
bidangnnya.
4) Pasien diberi pilihan untuk memilih dokter yang merawat berdasarkan keahlian, salah satu
atribut dari empathy ini memiliki kinerja rendah karena :
 Rujukan dari dokter.
 Ketidaktahuan pasien tentang penyakitnya
 Dokter kurang atau tidak menjelaskan secara jelas penyakit pasien.
5) Dokter cukup perhatian kepada pasien, salah satu atribut dari empathy ini memiliki kinerja
rendah karena :
 Beban kerja dokter yang padat, sehingga kurang memberikan perhatian kepada pasien secara
personal
6) Perawat cukup perhatian kepada pasien, salah satu atribut dari empathy ini memiliki kinerja
rendah karena :
 Beban kerja dokter yang padat, sehingga kurang memberikan perhatian kepada pasien secara
personal
7) Karyawan cukup perhatian kepada pasien, salah satu atribut dari empathy ini memiliki kinerja
rendah karena :
 Beban pekerjaan karyawan terlalu banyak menyebabkan karyawan kurang fokus dan tidak
bisa melayani pasien secara maksimal
 Faktor usia karyawan mempengaruhi tingkat produktivitas kerja dalam ketepatan waktu
8) Dokter senantiasa meluangkan waktu untuk pasien apabila diperlukan, salah satu atribut dari
empathy ini memiliki kinerja rendah karena :
 Beban kerja dokter yang padat, sehingga kurang memberikan perhatian kepada pasien secara
personal
9) Kerjasama yang baik diberikan oleh pembantu pelayanan sosial di kamar, contoh pengantar
makanan, salah satu atribut dari empathy ini memiliki kinerja rendah karena:
 Beban pekerjaan karyawan terlalu banyak menyebabkan karyawan kurang dapat
bersosialisasi dengan pasien maupun dengan rekan
 Kurangnya solidaritas karyawan dalam koordinasi pekerjaan
10) Suasana menunggu yang nyaman diberikan oleh karyawan untuk penunggu pasien, salah
satu atribut dari empathy memiliki kinerja rendah karena :
 Beban pekerjaan karyawan terlalu banyak menyebabkan karyawan kurang dapat
bersosialisasi dengan penunggu pasien
 Fokus karyawan hanya pada pasien saja
11) Biaya perawatan sesuai, salah satu atribut dari empathy ini memiliki kinerja rendah karena :
 Perlengkapan yang digunakan adalah perlengkapan yang terbaik
 Biaya obat-obatan yang tidak murah
12) Lokasi kamar mudah dikunjungi oleh pembesuk, salah satu atribut dari akses ini memiliki
kinerja rendah karena :
 Rumah Sakit sangat luas sehingga lokasi kamar tidak mudah dijangkau
13) Tempat parkir luas, salah satu atribut dari akses ini memiliki kinerja rendah karena :
 Ruang lingkup Rumah Sakit sangat luas, sehingga tempat parker yang tersedia dianggap
kurang luas untuk mempatpung pasien maupun pembesuk.
14) Waktu membesuk diperlama, salah satu atribut dari akses ini memiliki kinerja rendah karena :
 Waktu pembesuk hanya sedikit, untuk memberi kesempatan kepada pasien beristirahat
15) Prosedur untuk uji lab mudah, salah satu atribut dari akses ini memiliki kinerja rendah karena :
 Daerah yang luas, menyebabkan pasien mesti lama mencari tempat uji lab.
 Banyaknya persyaratan untuk uji lab, yang mungkin kurang diinformasikan kepada pasien.
16) Proses mengadakan appointment mudah, salah satu atribut dari akses ini memiliki kinerja
rendah karena :
 Banyaknya pasien, kurang seimbang dengan tenaga dokter yang ada
 Sistem data base Rumah Sakit masih belum memadai

vii. Identifikasi NVA (Non Value Added), NNVA (Necessary but Non Value Added), dan VA (Value
Added)
Identifikasi NVA (Non Value Added), NNVA (Necessary but Non Value Added), dan VA (Value
Added) dilakukan pada setiap atribut yang memiliki aliran proses diantaranya :
1) Perawat cukup perhatian kepada pasien, dimana setelah dilakukan pengamatan didapat:
o NVA (Non Value Added) :
 Dalam memberikan perhatian terhadap keluhan pasien, perawat kurang terperinci karena
banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan
o VA (Value Added) :
 Menjawab pertanyaan pasien
 Memberikan solusi terhadap pasien
2) Karyawan cukup perhatian kepada pasien
o NVA (Non Value Added)
 Banyaknya prosedur yang harus dilakukan dalam menindaklanjuti proses pelayanan
selanjutnya. Hal ini menyebabkan pasien harus antri.
 NNVA (Necessary but Non Value Added) :
 Memasukkan data kedalam data base pasien
o VA (Value Added) :
 Memeriksa data pasien
 Menjawab pertanyaan pasien
 Mengisi form pelayanan
3) Dokter senantiasa meluangkan waktu untuk pasien apabila diperlukan:
o NVA (Non Value Added) :
 Aktifitas dokte yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan, contoh : berbicara
dengan rekan kerja lain (perawat, karyawan, dsb)
o VA (Value Added) :
 Memeriksa rekam medis pasien
 Menanyakan keluhan pasien
 Memberi penjelasan kepada pasien tentang penyakitnya
4) Tempat parkir luas
o NVA (Non Value Added) :
 Tempat parkir tidak mudah dijangkau/jauh
 NNVA (Necessary but Non Value Added) :
 Terhalang atau digunakan untuk penghijauan
o VA (Value Added) :
 Memberikan peta parkir secara jelas
 Area parkir dipisahkan dalam beberapa cluster wilayah, sehingga memperpendek jarak
pasien/pengunjung dengan poli/tempat yang akan dikunjunginya

viii. Menentukan waste yang paling berpengaruh dan menentukan CTQ (Critical To Quality) dari
masing-masing waste terbesar tersebut
1) Perawat cukup perhatian kepada pasien
 Dalam memberikan perhatian terhadap keluhan pasien, perawat kurang terperinci karena
banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan
2) Karyawan cukup perhatian kepada pasien
 Banyaknya prosedur yang harus dilakukan dalam menindaklanjuti proses pelayanan
selanjutnya. Hal ini menyebabkan pasien harus antri.
3) Dokter senantiasa meluangkan waktu untuk pasien apabila diperlukan:
 Aktifitas dokter yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan, contoh : berbicara
dengan rekan kerja lain (perawat, karyawan, dsb)
4) Tempat parkir luas
 Tempat parkir tidak mudah dijangkau/jauh
ix. Menentukan alternatif rencana/ rekomendasi tindakan (recommended action) dan menentukan
prioritas rencana tindakan (action plan priority)
1) Perawat cukup perhatian kepada pasien
 Memberikan pemahaman kepada perawat bahwa pasien adalah konsumen yang harus
diperhatikan dengan sangat baik.
 Memperbanyak jumlah perawat sehingga rasionya seimbang dengan membludaknya pasien
2) Karyawan cukup perhatian kepada pasien
 Memberikan pemahaman kepada karyawan bahwa pasien adalah konsumen yang harus
diperhatikan dengan sangat baik.
 Memperbanyak jumlah karyawan sehingga rasionya seimbang dengan jumlah banyaknya
pekerjaan yang harus ditangani
3) Dokter senantiasa meluangkan waktu untuk pasien apabila diperlukan:
 Memberikan pemahaman kepada dokter bahwa pasien adalah konsumen yang harus
diperhatikan
 Menambah jumlah dokter, sehingga beban kerjanya seimbang dengan jumlah pasien
4) Tempat parkir luas
 Menambah jumlah papan petunjuk parkir secara jelas
 Area parkir dipisahkan dalam beberapa cluster wilayah, sehingga memperpendek jarak
pasien/pengunjung dengan poli/tempat yang akan dikunjunginya

Keuntungan.
Tingkat kualitas pelayanan di Rumah Sakit X berdasarkan tingkat kepuasan pasien selaku
konsumen, dibuktikan berdasarkan hasil penyebaran kuesioner bahwa sebagian besar pasien masih
merasa kurang puas. Itu terbukti dari banyaknya atribut yang perlu dilakukan perbaikan dari hasil
pengolahan data.

Atribut-atribut pelayanan yang perlu dilakukan perbaikan untuk meningkatkan kualitas pelayanan di
Rumah Sakit X adalah sebagai berikut :
a) Karyawan ramah
b) Pelayanan yang diberikan tidak memihak, atau memberi keutamaan kepada pihakpihak
tertentu
c) Karyawan rumah sakit memahami keperluan spesifik pasien
d) Pasien diberi pilihan untuk memilih dokter yang merawat berdasarkan keahlian
e) Dokter cukup perhatian kepada pasien
f) Perawat cukup perhatian kepada pasien
g) Karyawan cukup perhatian kepada pasien
h) Dokter senantiasa meluangkan waktu untuk pasien apabila diperlukan
i) Kerjasama yang baik diberikan oleh pembantu pelayanan sosial di kamar, contoh : pengantar
makanan
j) Suasana menunggu yang nyaman diberikan oleh karyawan untuk penunggu pasien
k) Biaya perawatan sesuai

Anda mungkin juga menyukai