Anda di halaman 1dari 30

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI 1
DAFTAR GAMBAR 2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penulisan 4
1.4 Manfaat Makalah 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kelenjar Adrenal 6
2.2 Histologi Kelenjar Adrenal 7
2.3 Biokimia Hormon Kortisol 13
2.4 Fisiologi Produksi dan Sekresi Hormon Kortisol 16
2.5 Mekanisme Transportasi Hormon Kortisol 23
2.6 Mekanisme Kerja Hormon Kortisol 24
2.7 Pengaturan Kerja Hormon Kortisol 26
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 29
3.2 Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30

Page 1
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Pankreas. 6


Gambar 2. Kelenjar Adrenal (Suprarenal) 7
Gambar 3. Kelenjar Adrenal: Korteks dan Medula. 9
Gambar 4. Korteks Adrenal 10
Gambar 5. Medula Adrenalis 12
Gambar 6. Struktur Kortikosteroid dan Beberapa Turunan Sintesinya 14
Gambar 7. Struktur Kimia Kortisol 14
Gambar 8. Sintetik Kortisol dari Kolestrol 15
Gambar 9. Kontrol Sekresi Kortisol 22
Gambar 10. Mekanisme Kerja Hormon Kortisol 25

Page 2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem endokrin adalah adalah sistem dalam tubuh manusia yang memiliki salah
satu fungsi menghasilkan hormon. Organ tubuh manusia yang dapat mensekresikan
hormone bisa dikatatakan sebagai sebuah kelenjar. Dalam tubuh manusia memiliki
beberapa kelenjar yang membantu untuk menjalakan fungsi tubuh dengan normal. Salah
satu kelenjar yang ada dalam tubuh yaitu kelenjar adrenal. Tubuh manusia memiliki
sepasang kelenjar adrenal yang terletak di kutub atas ginjal. Kelenjar adrenal bisa dikatakan
sebagai kelenjar anak ginjal atau suprarenal. Kelenjar adrenal terdiri atas dua bagian yaitu
korteks sebagai bagian luar dan medula sebagai bagian dalam. Medula adrenal adalah
bagian dalam dari kelenjar adrenal yang berfungsi untuk mensekresikan katekolamin
(epinefrin dan norephinefrin). kedua zat tersebut dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah
sedikit.

Korteks adrenal dibagi menjadi tiga zona berdasarkan hormon yang dihasilkan.
Dari luar ke dalam ada zona glumerulosa, zona fasciculata, dan zona retikularis. Pada
bagian zona glumerulosa disekresikan jenis hormon mineralokortikoid terutama
aldosteron. Zona fasciculata tempat disekresikannya jenis hormon glukokortikoid terutama
kortisol. Sementara pada zona paling dalam korteks adrenal zona retikularis mensekresikan
hormon seks.

Pembahasan hormon kortisol akan lebih mendalam dibandingkan hormon lainnya


yang sama-sama dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon kortisol adalah hormon yang
temasuk dalam golongan glukokortikoid yang bahan pembentuknya berasal dari kolesterol.
Hormon kortisol berfungsi untuk meningkatkan kadar nutrisi dalam darah. Nutrisi yang
dimaksud berupa glukosa, asam amino dan asam lemak. Nutrisi ini digunakan oleh tubuh
ketika tubuh menghadapi stress dan saat berpuasa. Karena pada kedua keadaan ini tubuh
membutuhkan nutrisi lebih banyak dari ukuran normal.

Kortisol pada kedua keadaan tadi akan menghambat penyerapan glukosa pada
seluruh sel tubuh kecuali sel-sel otak. Sel-sel otak pada keadaan tersebut akan
membutuhkan lebih banyak energi untuk mengatur organ-organ tubuh. Ketika menghadapi
kedua keadaan di atas hipotalamus pada otak akan mensekresikan CRH (Corticotropin-
releasing Hormone). CRH ini nantinya akan merangsang hipofisis anterior untuk

Page 3
mensekresi ACTH (Adenocorticotropic Hormone). ACTH juga nantinya akan merangsang
kelenjar adrenal untuk mensekresikan kortisol.

Menurut Sherwood kortisol akan mempengaruhi enzim-enzim yang berperan


dalam proses glukoneogenesis. Glukoneogensis adalah proses pembentukan glukosa dari
bahan non-organik. Glukosa ini nantinya akan dibawa ke otak sebagai bahan untuk
metabolisme sel nya (Sherwood, 2014). Kortisol juga merangsang sel-sel otot dan sel
limfoid untuk meningkatkan katabolisme protein untuk menjadi asam amino dan
dilepaskan ke dalam darah. Kortisol juga merangsang jaringan adipose untuk melepaskan
asam lemak ke dalam darah. Kadar nutrisi-nutrisi tersebut akan meningkat dalam darah dan
akan digunakan oleh sel-sel tubuh untuk menghadapi keadaan seperti yang diatas tadi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan kelenjar adrenal ?
2. Bagaimanakah anatomi kelenjar adrenal ?
3. Bagaimanakah histologi kelenjar adrenal ?
4. Apa yang dimaksud dengan hormon kortisol ?
5. Bagaimanakah biokimia hormon kortisol ?
6. Bagaimana fisiologi dari produksi dan sekresi hormon kortisol ?
7. Bagaimana mekanisme transportasi hormon kortisol ?
8. Bagaimana mekanisme kerja hormon kortisol ?
9. Bagaimana pengaturan kerja hormon kortisol ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui definisi kelenjar adrenal
2. Mengetahui anatomi kelenjar adrenal
3. Mengetahui histologi kelenjar adrenal
4. Mengetahui definisi hormon kortisol
5. Mengetahui biokomia dari hormon kortisol
6. Mengetahui fisiologi dari produksi dan sekresi hormon kortisol
7. Mengetahui mekanisme transportasi hormon kortisol
8. Mengetahui mekanisme kerja hormon kortisol
9. Mengetahui pengaturan kerja hormon kortisol

Page 4
1.4 Manfaat Makalah
1.4.1 Bagi Penulis
Dengan adanya pembuatan makalah ini, wawasan dan pengetahuan penulis
mengenai kelenjar adrenalin,hormon kortisol, dan tata cara penulisan karya ilmiah
semakin bertambah.

1.4.2 Bagi Pembaca


Makalah ini tentu bermanfaat sebagai sumber informasi tambahan bagi pembaca
dan bagi mahasiswa program studi pendidikan dokter khususnya serta memperluas
wawasan dan pandangan pembaca tentang kelenjar adrenal dan hormon kortisol.

Page 5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kelenjar Adrenal (Suprarenalis)

Gambar 1. Anatomi kelenjar pankreas.


Sumber : Makalah Anatomi Fisiologi Manusia, Sekolah Tinggi
Farmasi Bandung S1 Farmasi Kelas B Semester IV, 2013

Kelenjar adrenal adalah sepasang organ yang terletak dekat kutub atas ginjal.
Dikatakan sepasang berarti terdapat 2 kelenjar adrenal yang masing-masing terbenam di
atas masing-masing ginjal kanan maupun kiri dalam suatu kapsul lemak (ad artinya “di
samping” ; renal artinya “ginjal”). Kelenjar adrenal memiliki struktur pipih yang berbetuk
bulan sabit, dengan panjang sekitar 4-6 cm, lebar 1-2 cm, dan tebal 4-6 mm pada orang
dewasa. Kelenjar adrenal memiliki berat sekitar 8 gram, tetapi ukuran dan berat kelenjar
adrenal bervariasi tergantung umur dan keadaan fisiologi perseorangan. Kelenjar adrenal
masing-masing dibungkus oleh jaringan ikat padat yang mengirimkan septa tipis ke bagian
dalam kelenjar sebagai trabekula. Kelenjar adrenal terdiri atas dua lapisan konsentris :
lapisan perifer kekuningan, yaitu korteks adrenal, dan lapisan pusat berwarna coklat
kemerahan, yaitu medula adrenalis (Mescher, 2011).
Korteks dan medula adrenalis dapat dikatakan sebagai dua organ dengan asal,
fungsi, dan ciri morfologi yang bersatu dalam masa perkembangan embrionik. Kedua
struktur tersebut berasal dari lapisan germinal yang berbeda. Korteks berasal dari
mesoderm dan medula terdiri dari sel-sel yang berasal dari neural crest sehingga memiliki
sifat neural, yang juga merupakan asal dari sel-sel ganglion simpatis (Mescher, 2011).

Page 6
2.2 Histologi Kelenjar Adrenal (Suprarenalis)

Gambar 2. Kelenjar adrenal (suprarenal). Pulasan: Hematoksilin dan eosin. Pembesaran lemah.
Sumber : Atlas Histologi diFiore Ed.12, 2013

Dalam buku Atlas Histologi diFiore Ed.12, Kelenjar adrenal (suprarenalis) terdiri
atas: korteks di sebelah luar dan medula di sebelah dalam, dikelilingi oleh kapsul jaringan
ikat tebal yang rnengandung cabang-cabang pembuluh darah adrenal, vena, saraf
(kebanyakan tidak mielin), dan pembuluh limfa adrenal. Sekat jaringan ikat dengan
pembuluh darah berjalan dari kapsul ke dalam korteks. Sekat jaringan ikat lainnya

Page 7
membawa pembuluh darah ke medula. Kapiler sinusoid berpori dan pembuluh darah besar
ditemukan di seluruh korteks dan medula (Atlas Histologi diFiore Ed.12, 2013).
Korteks adrenal dibagi lagi menjadi tiga zona konsentrik. Tepat dibawah kapsul
jaringan ikat adalah zona glomerulosa luar. Sel-sel di zona glomerulosa tersusun menjadi
kelompok yang berbentuk lonjong dan dikelilingi oleh banyak kapiler sinusoid. Sitoplasma
sel ini berwarna merah muda dan mengandung beberapa butiran lemak (Atlas Histologi
diFiore Ed.12, 2013).
Lapisan sel di tengah dan paling lebar adalah zona fasciculata. Sel-sel zona
fasciculate tersusun dalam kolom vertikal atau lempengan radial. Banyaknya butiran lemak
di dalam sitoplasma menyebabkan sel zona fasciculata terlihat terang atau bervakuola pada
pembuatan sediaan normal. Kapiler sinusoid di antara kolom-kolom sel mengikuti arah
vertikal atau radial. Lapisan sel ketiga dan paling dalam adalah zona reticularis. Lapisan
sel ini berbatasan dengan medula adrenal. Sel-sel di zona reticularis membentuk pita
(korda) yang saling berhubungan (anastomotik) dan dikelilingi oleh kapiler sinusoid (Atlas
Histologi diFiore Ed.12, 2013).
Batas medula dengan korteks tidak berbatas tegas. Sitoplasma sel sekretorik
medula terlihat jernih. Setelah fiksasi jaringan dalam kalium bikromat, yaitu reaksi
kromafin, granula coklat yang halus menjadi kelihatan di sel-sel medula. Granula ini
menunjukkan adanya katekolamin epinefrin dan norepinefrin di dalam sitoplasma. Medula
juga mengandung neuron simpatis yang terlihat tunggal atau dalam kelompok kecil.
Neuron memperlihatkan nukleus vesikular dengan nukleolus yang mencolok dan sedikit
kromatin perifer. Kapiler sinusoid mengalirkan isi medula ke dalam pembuluh darah
medula utama (Atlas Histologi diFiore Ed.12, 2013).

Page 8
Gambar 3. Kelenjar Adrenal: Korteks dan Medula. Pulasan H&E. 25x
Sumber : Atlas Histologi diFiore Ed.12, 2013

Korteks Adrenal
Sel-sel korteks adrenal memiliki gambaran khas sel penyekresisteroid. Gambaran
tersebut mencakup inti sentral dan sitoplasma asidofilik, yang biasanya kaya akan droplet
lipid, droplet lipid adalah organel sel utama untuk penyimpanan lipid netral. Sitoplasmanya
dapat terlihat secara ultrastruktural memiliki sangat banyak RE halus dengan tubulus yang
saling berhubungan yang mengandung enzim untuk sintesis kolesterol dan konversi
prohormon steroid, pregnenolon menjadi hormon steroid aktif yang spesifik. Mitokondria
sering berbentuk sferis, dengan krista berbentuk tubular bukan menyerupai rak. Selain
menjadi tempat produksi ATP, mitokondria ini mengandung perlengkapan enzimatik untuk
pengubahan kolesterol menjadi pregnenolon dan diperlukan untuk beberapa tahap sintesis
hormon steroid. Karena itu, berbagai fungsi sel penghasil steroid timbul dari kerja sama
erat antara RE halus dan mitokondria. Sel penyekresi hormon steroid tidak menyimpan
produknya di dalam granul. Sebagai molekul larut lipid dengan berat molecular rendah,
steroid berdifusi bebas melalui membran plasma dan tidak memerlukan eksositosis yang
akan dilepaskan dari sel (Mescher, 2011).

Page 9
Gambar 4. Korteks Adrenal
Sumber : Histologi Dasar JUNQUEIRA Teks & Atlas. Ed.12, 2011

Menurut Anthony L. Mescher tahun 2011, Korteks adrenal memiliki tiga zona
konsentris dengan deretan sel epitel yang tersusun agak berbeda dan dikhususkan untuk
menghasilkan berbagai kelas hormon steroid. Berikut tiga zona konsentris :

1. Zona glomerulosa
Lapisan yang berada tepat di dalam simpai jaringan ikat, dengan deretan
sel-sel kolumnar atau pyramidal yang berhimpitan dan membentuk deretan bundar
atau melengkungt yang dikelilingi kapiler dan membentuk sekitar 15% korteks .
Steroid yang dibentuk oleh sel-sel ini disebut mineralokortikoid karena hormon ini
memengaruhi ambilan Na-, K-, dan air oleh sel epitel. Produk utama adalah
aldosteron, regulator utama keseimbangan garam, yang bekerja merangsang
reabsorpsi Na- pada tubulus kontortus distal ginjal. Sekresi aldosteron dalam zona
glomerulosa terutama dirangsang oleh angiotensin II dan juga oleh peningkatan
kadar K- plasma, tetapi hanya sedikit dirangsang oleh ACTH (Mescher, 2011).

Page 10
2. Zona fasciculata
Zona tengah menempati 65-80% korteks dan terdiri atas deretan panjang
setebal satu atau dua sel polihedral panjang yang dipisahkan oleh kapiler-kapiler
sinusoid bertingkap. Sel-sel tersebut paling padat terisi dengan droplet lipid dalam
sitoplasmanya dan sebagai akibat disolusi lipid selama proses persiapan jaringan
sering tampak bervakuol atau berbusa pada sediaan histologis rutin. Sel-sel zona
ini menyekresi glukokortikoid, terutama kortisol, yang memengaruhi metabolisme
karbohidrat dengan merangsang produksi glukosa dari asam amino atau asam
lemak (glukoneogenesis) pada banyak sel dan konversi glukosa menjadi glikogen
pada hati. Kortisol menginduksi mobilisasi lemak di jaringan adiposa subkutan dan
pemecahan protein di otot. Kortisol juga menekan banyak aspek respons imun,
termasuk pelepasan sitokin dan limfopoiesis, dan memiliki efek lain dalam
jaringan lain. Sekresi glukokortikoid di zona fasciculata diatur oleh ACTH dari
hipofisis anterior, dan umpan balik negatif yang sesuai dengan kadar
glukokortikoid sirkulasi dilepaskan pada tingkat hipofisis dan hipotalamus. Sel-sel
zona fasciculata juga menyekresi sejumlah kecil androgen (Mescher, 2011).

3. Zona reticularis
Zona reticularis yang terdalam membentuk sekitar 10% korteks dan
berkontak dengan medula. Zona ini terdiri atas sel kecil yang tersebar di suatu
jalinan korda irregular dengan kapiler yang lebar. Sel-sel ini biasanya terpulas lebih
kuat ketirnbang sel di zona lain karena mengandung lebih sedikit droplet lipid dan
lebih banyak pigmen lipofuscin. Sel-sel zona reticularis juga menghasilkan
kortisol, tetapi terutama menyekresikan androgen lemah, dehidroepiandrosteron
(DHEA) yang diubah menjadi testosteron pada beberapa jaringan lain. Sekresi oleh
sel-sel tersebut juga dirangsang oleh ACTH dan diatur oleh umpan balik dengan
hipofisis dan hipotalamus. Dengan kata lain zona ini mensekresikan hormone seks
(Mescher, 2011).

Korteks Adrenal Fetus


Menurut Anthony L. Mescher tahun 2011, saat lahir pada manusia (tetapi
tidak pada kebanyakan mamalia lainnya) kelenjar adrenal lebih besar daripada
kelenjar adrenal orang dewasa dan menghasilkan hingga 200 mg kortikosteroid per
hari, dua kali kadar yang dihasilkan orang dewasa. Pada usia ini, suatu lapisan yang
dikenal sebagai kortes adrenal fetus atau korteks sementara (prooisional cortex)

Page 11
yang membentuk sekitar 80% total kelenjar, berada di antara korteks Permanen
yang tipis dan medula yang kurang berkembang. Korteks adrenal fetus tebal dan
terutama mengandung korda sel besar penghasil-steroid di bawah kendali hipofisis
fetus. Fungsi utama sel tersebut adalah sekresi DHEA yang dikonversi dalam
plasenta meniadi estrogen (dan androgen) aktif yang sebagian besar memasuki
sirkulasi maternal. Korteks adrenal fetus merupakan suatu bagian penting unit
fetoplasenta yang memengaruhi kedua sistem endokrin selama kehamilan tetapi
makna fisiologisnya masih belum jelas. Setelah lahir, korteks sementara
mengalami involusi, sedangkan korteks permanen menyusun ketiga lapisan (zona)
yang disebutkan sebelumnya (Mescher, 2011).

Medula Adrenalis

Gambar 5. Medula adrenalis Sel penyekresi-hormon di medula adrenalis adalah sel kromafin yang menyerupai neuron
simpatis.
Sumber : Histologi Dasar JUNQUEIRA Teks & Atlas. Ed.12, 2011

Medula adrenalis terdiri atas sel-sel polihedral besar yang terpulas pucat dan
tersusun berupa deretan atau kelompok dan ditunjang jalinan serat retikular. Sejumlah
besar suplai kapiler sinusoid terdapat di antara deretan-deretan yang bersebelahan dan
terdapat sejumlah sel ganglion parasimpatis. Sel parenkim medula, yang dikenal sebagai
sel kromafin berasal dari sel krista neuralis, seperti halnya neuron pascaganglionik dari
ganglion simpatis dan parasimpatis. Sel parenkim medula adrenalis dapat dipandang
sebagai modifikasi neuron pascaganglionik simpatis, yang telah kehilangan akson dan

Page 12
dendrit serta dikhususkan sebagai sel-sel sekretoris. Tidak seperti sel korteks, sel kromafin
medula memiliki banyak granula padat-elektron yang berdiameter 150-350 nm untuk
sekresi dan penyimpanan hormonn (Mescher, 2011).

Granula-granula ini mengandung salah satu dari dua katekolamin epinefrin atau
norepinefrin. Secara ultrastrukfural, granula sel penyekresi, epinefrin kurang bersifat padat
elektron dan umumnya lebih kecil daripada sel penyekresi-norepinefrin. Katekolamin
beserta Ca2+ dan ATP, terikat pada kompleks simpanan granula dengan protein 49 kDa
yang disebut chromogranin. Sel penyekresi norepinefrin juga ditemukan di paraganglia
(kumpulan sel penyekresi katekolamin yang berdekatan dengan ganglia autonom).
Konversi norepinefrin menjadi epinefrin (adrenalin) hanya terjadi pada sel kromafin
medula adrenalis. Sekitar 80% katekolamin yang disekresikan dari adrenal adalah
epinefrin. Sel kromafin rnedula dipersarafi oleh ujung saraf kolinergik dari neuron simpatis
praganglionik; dari neuron ini, impuls memicu pelepasan hormone melalui eksositosis.
Epinefrin dan norepinefrin dilepaskan ke darah dalam jumlah besar selama reaksi
emosional yang intens, seperti ketakutan dan menimbulkan vasokonstriksi, peningkatan
tekanan darah, perubahan frekuensi denyut jantung, dan efek metaboli seperti peningkatan
kadar gula darah. Efek ini mempermudah berbagai reaksi pertahanan terhadap stressor
(fight or Flight response). Selama aktivitas normal, medula adrenalis secara kontinyu
menyekresi sejumlah kecil hormon. (Mescher, 2011)

2.3 Biokimia Hormon Kortisol

Kortisol atau hidrokortison merupakan glukokortikoid utama , disebut


glukokortikoid karena hormon ini mempunyai efek penting yang meningkatkan konsentrasi
glukosa darah. Selain itu, kortisol berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein. Memiliki efek permisif signifikan bagi aktivitas hormon lain, dan membantu
seseorang menahan stress (Sherwood, 2014).
Konsentrasi kortisol dalam darah rata-rata 12 ɥg/100ml dan kecepatan sekresinya 15
sampai 20 mg/hari . Tetapi konsentrasi kortisol dalam darah dan laju sekresi nya dalam
keseharian berfluktuasi yaitu naik diwaktu dini hari dan turun di sore hari (Fisiologi
Kedokteran Ed.12, 2016).

Page 13
Gambar 6. Struktur dan tata nama produk kortikosteroid dan beberapa turunan sintesinya
Sumber : Dasar Farmakologi Terapi Vol.4, 2012

Gambar 7. Struktur kimia kortisol


Sumber : Basic & Clinical Pharmacology, 2012

Struktur hidrokortison diperlihatkan dalam bentuk dua dimensi. Sistem cincin steroid
tidak seutuhnya berupa bidang datar dan orientasi gugus yang menempel pada cincin
steroid sangat menentukan aktivitas biologinya. Gugus metil di C 18 dan C 19 serta gugus
hidroksil di C 11 mengarah ke atas (menghadap depan pada gambar dua dimensi dan
ditunjukkan dengan garis tebal yang menghubungkan atom-atom) dan dinamakan β. Gugus
hidroksil di C 17 mengarah ke bawah pada bidang datar (menghadap belakang pada gambar
dua dimensi dan terlihat dengan garis putus-putus yang menghubungkan atom-atom) dan
dinamakan α (Dasar Farmakologi Terapi Vol.4, 2012).

Kortisol mempunyai keto-oksigen pada atom karbon nomor 3 dan mengalami


hidroksilasi pada atom nomor 11 dan 21. Ikatan rangkap 4,5 dan gugus 3-keto pada cincin

Page 14
A penting untuk aktivitas glukokortikoid dan mineralokortikoid. Satu gugus 11β-hidroksil
pada cincin C diperlukan untuk aktivitas glukokortikoid tetapi tidak untuk aktivitas
mineralokortikoid. Gugus hidroksil di C 21 pada cincin D terdapat dalam semua
kortikosteroid alami dan pada sebagian besar analog sintesis yang aktif dan tampaknya
mutlak diperlukan untuk aktivitas mineralokortikoid, tetapi tidak untuk aktivitas
glukokortikoid. Gugus 17α-hidroksil pada cincin D merupakan substituen pada kortisol dan
semua glukokortikoid sintesis yang kini digunakan (Dasar Farmakologi Terapi Vol.4,
2012).

Masuknya ikatan rangkap tambahan di posis 1,2 pada cincin A, seperti prednisolon
atau prednison secara selektif meningkatkan aktivitas glukokortikoid sekitar empat kali
lipat dibandingkan dengan hidrokortison yang menghasilkan peningkatan rasio potensi
glukokortikoid terhadap mineralokortikoid. Pertambahan ini juga menghasilkan senyawa-
senyawa yang dimetabolisme lebih lambat daripada hidrokortison (Dasar Farmakologi
Terapi Vol.4, 2012).

Fluorinasi di posisi 9α pada cincin B meningkatkan aktivitas glukokortikoid dan


mineralokortikoid serta kemungkinan terkait efek penarikan-elektron pada gugus 11β-
hidroksil yang berdekatan (Dasar Farmakologi Terapi Vol.4, 2012).

Gambar 8. Sintetik kortisol dari kolestrol


Sumber : Basic & Clinical Pharmacology, 2012

Page 15
17-hydroxypregnenolone adalah prekursor utama atau senyawa pertama dari kortisol.
Ketika enzim khusus berkurang, produksi hormon akan terhalang (pada gambar 3)
ditunjukkan oleh garis bercorak hijau muda (Basic & Clinical Pharmacology, 2012).

Sintesis kortisol diatur oleh sistem saraf pusat dan disintesis oleh kolestrol.
Corticosteroid Binding Globulin (CBG) yaitu globulin α2 disintesis oleh hati, mengikat
sekitar 90% circulating hormone pada keadaan normal. Sisanya bebas sekitar 5-10% atau
lepas mengikat albumin sekitar 5% dan dapat menggunakan efeknya pada sel target. Ketika
level plasma kortisol melebihi 20-30 mcg/dL, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi dari
kortisol bebas meningkat dengan cepat. CBG meningkat pada kehamilan dan
hipertiroidisme, serta akan menurun pada hipotiroidisme, cacat genetik pada sintesis, dan
keadaan kekurangan protein (Basic & Clinical Pharmacology, 2012).

2.4 Fisiologi Produksi dan Sekresi Hormon Kortisol

Efek Metabolik
Efek keseluruhan dari pengaruh kortisol pada metabolisme adalah peningkatan
konsentrasi glukosa darah dengan mengorbankan simpanan lemak dan protein. Menurut
Sherwood, secara spesifik, kortisol melakukan fungsi-fungsi berikut :

1. Kortisol merangsang gluconeogenesis di hati, yaitu perubahan sumber-sumber


non-karbohidrat (yaitu asam amino) menjadi karbohidrat (gluko artinya “glukosa”;
neo artinya “baru”; genesis artinya “produksi”. Di antara waktu makan atau selama
puasa, ketika tidak ada nutrient baru yang diserap ke dalam darah untuk digunakan
dan disimpan, glikogen (glukosa simpanan) di hati cenderung berkurang karena
dgunakan untuk membebaskan glukosa ke dalam darah. Gluconeogenesis adalah
faktor penting untuk menganti simpanan glikogen hati dan karenanya
mempertahankan kadar glukosa darah tetap normal diantara waktu makan. Hal ini
esensial karena otak hanya dapat menggunakan glukosa sebagai bahan bakar
metabolic, tetapi jaringan saraf sama sekali tidak dapat menyimpan glikogen.
Karen itu, konsentrasi harus dipertahankan pada tigkat yang sesuai agar otak yang
bergantung pada glukosa mendapat nutrient yang memadai.
2. Kortisol menghambat penyerapan dan pemakaian glukosa oleh banyak jaringan,
kecuali otak, sehingga glukosa tersedia bagi otak, yang membutuhkan bahan ini
sebagai bahan bakar metabolic. Efek ini, seperti gluconeogenesis, meningkatkan
glukosa darah.

Page 16
3. Kortisol merangsang penguraian protein di banyak jaringan, khususnya otot.
Dengan menguraikan sebagian protein otot menjadi konstituennya (asam amino),
kortisol meningkatkan konsentrasi asam amino darah. Asam-asam amino yang
dimobilisasi ini tersedia untuk gluconeogenesis atau di manapun mereka
dibutuhkan, misalnya untuk memperbaiki jaringan yang rusak atau sintesis struktur
sel baru.
4. Kortisol mempermudah lipolysis, penguraian simpanan lemak (lipid) di jaringan
adipose sehingga asam-asam lemak dibebaskan ke dalam darah. Asam-asam lemak
yang dimobilisasi ini tersedia sebagai bahan bakar metabolic alternative bagi
jaringan yang dapat menggunakan sumber ini sebagai pengganti glukosa sehingga
dihemat untuk otak.

Efek Kortisol terhadap Metabolisme Karbohidrat

Perangsangan Glukoneogenesis.

Sejauh ini efek metabolic yang paling terkenal dari kortisol dan glukokortikoid
lainnya terhadap metabolisme adalah kemampuannya untuk merangsang proses
gluconeogenesis (pembentukan karbohidrat dari protein dan beberapa zat lain) oleh
hati, sering kali meningkatkan kecepatan gluconeogenesis sebesar 6 sampai 10 kali
lipat. Keadaan ini terutama disebabkan oleh dua efek kortisol.

1. Kortisol meningkatkan enzim-enzim yang dibutuhkan untuk mengubah asam-


asam amino menjadi glukosa dalam sel-sel hat. Hal ini dihasilkan dari efek
glukortikoid untuk mengaktifkan transkripsi DNA di dalam inti sel hati dengan
cara yang sama seperti fungsi aldosterone di dalam sel-sel tubulus ginjal,
disertai dengan pembentukan RNA cara yang selanjutnya dapat dipakai untuk
menyusun enzim-enzim yang dibutuhkan dalam proses gluconeogenesis.
2. Kortisol menyebabkan pengangkutan asam-asam amino dari jaringan
ekstrahepatik, terutama otot. Akibatnya, semakin banyak asam amino tersedia
dalam plasma untuk masuk dalam proses gluconeogenesis di hati dan oleh
karena itu akan meningkatkan pembentukan glukosa.

Salah satu efek peningkatan gluconeogenesis adalah sangat meningkatnya jumlah


penyimpanan glikogen dalam sel-sel hati. Pengaruh kortisol tersebut membuat

Page 17
hormon glikolitik lain, seperti epinefrin dan glucagon memobilisasi glukosa pada
saat diperlukan nanti, seperti pada keadaan di antara makan (Guyton, 2014).

Penurunan pemakaian glukosa oleh sel.

Kortisol juga menyebabkan penurunan kecepatan pemakaian glukosa oleh kebanyakan


sel tubuh. Walaupun penyebab penurunan ini tidak diketahui, sebagian besar ahli fisiologi
percaya bahwa pada suatu tempat yang terletak di antara tempat masuknya glukosa ke
dalam sel dan tempat pecahnya yang terakhir, kortisol secara langsung memperlambat
kecepatan pemakaian glukosa. Dugaan mekanisme ini didasarkan pada pengamatan yang
menunjukan bahwa glukokortikoid menekan proses oksidasi nikotinamid-adenin-
dinukleotida (NADH) untuk membentuk Oleh karena NADH harus dioksidasi agar
menimbulkan glikolisis, efek ini dapat berperan dalam mengurangi pemakaian glukosa
oleh sel (Guyton, 2014).

Peningkatan Kosentrasi Glukosa Darah dan Diabetes Adrenal

Peningkatan kecepatan gluconeogenesis dan berkurangnya kecepatan pemakaian


glukosa oleh sel-sel dapat meningkatan konsentrasi glukosa darah. Peningkatan glukosa
darah selanjutnya merangsang sekresi insulin. Peningkatan kadar plasma insulin, walaupun
demikian, menjadi tifak efektif falam menjaga glukosa plasma seperti ketika dalam kondisi
normal. Oleh karena alasan yang belum sepenuhnya jelas, tingginya kadar glukokortikoid
menurunkan sensitivitas banyak jaringan, terutama otot rangka dan jaringan lemak,
terhadap efek perangsangan insulin pada pemakaian glukosa. Satu penjelasan yang
mungkin adalah bahwa kadar asam lemak yang tinggi, disebabkan pengaruh glukokortikoid
memobilisasi lipid dari simpanan lemak, dapat merusak kerja insulin pada jaringan.
Dengan cara ini, sekresi glukokortiroid berlebihan dapat menimbulkan gangguan
metabolisme karbohidrat dengan cara yang sama, yang ditemukan pada pasien dengan
kadar hormon pertumbuhan berlebih (Guyton, 2014).

Efek Kortisol terhadap Metabolisme Protein

Pengurangan Protein Sel

Salah satu efek utama kortisol terhadap sistem metabolisme tubuh adalah
kemampuannya untuk mengurangi penyimpanan protein di seluruh sel tubuh, kecali protein
dalam hati. Keaaaan ini disebabkan oleh berkurangnya sintesis protein dan meningkatnya
katabolisme protein yang sudah ada di dalam sel. Kedua efek ini mungkin sebagian

Page 18
merupakan akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam jaringan
ekstrahepatik, keadaan ini mungkin bukan merupakan satu-satunya penyebab, oleh karena
kortisol juga menekan pembentukan RNA dan sintesis protein selanjutnya di sebagian
besar jaringan ekstrahepatik, terutama di otot dan jaringan limfoid (Guyton, 2014).

Kortisol Meningkatkan Protein Hati dan Protein Plasma

Bersamaan dengan berkurangnya protein di seluruh tubuh, ternyata protein di


dalam hati justru meningkat. Selanjutnya, proten plasma (yang dihasilkan oleh hati dan
kemudian dilepaskan ke dalam darah) juga akan meningkat. Penngkatan ini merupakan
pengecualian dari penurunan protein yang terjadi di bagian tubuh yang lain. Dipercaya
bahwa perbedaan ini dihaslkan oleh suatu efek yang memungkinkan kortisol meningkatkan
pengangkutan asam amino ke dalam sel-sel hati dan meningkatkan jumlah enzim-enzim
hat yang dbutuhkan untuk sintesis protein (Guyton, 2014).

Mobilisasi Asam Lemak

Mekanisme apa yang dipakai oleh kortsol untuk meningkatkan mobilisasi asam
lemak masih belum sepenuhnya diketahui. Alkan tetapi, sebagian efek ni mungkin
dihasilkan daari berkurangnya pengangkutan glukosa ke dalam sel-sel lemak. α-
gliserofosfat, yang berasal dari glukosa, dibutuhkan untuk penyimpanan dan
mempertahankan jumlah trigliserida di dalam sel-sel lemak. bila bahan ini tidak ada makan
sel-sel lemak itu akan milai melepaskan asam-asam lemaknya. Peningkatan mobilisasi
lemak oleh kortisol, digabung dengan peningkatan oksidasi asam lemak di dalam sel,
membantu menggeser sistem metabolisme sel dan penggunaan glukosa untuk energi
menjadi penggunaan asam lemak. akan tetapi, mekanisme kortisol ini membutuhkan waktu
beberapa jam untuk bekerja penuh, tidak secepat atau sekuat efek pergeseran yang
disebabkan oleh penurunan insulin. Peningkatan penggunaan asam lemak untuk energi
metabolisme merupakan faktor penting untuk penyimpanan glukosa tubuh dan glikogen
jangka panjang (Guyton, 2014).

Berperan dalam Adaptasi terhadap Stres

Kortisol berperan kunci dalam adaptasi terhadap stres. Segala jenis stres
merupakan salah satu rangsangan utama bagi peningkatan sekresi kortisol. Meskipun peran
persis kortisol dalam adaptasi terhadap stres belum diketahui, penjelasan yang spekulasi
tetapi masuk akal adalah sebagai berikut: manusia primitive atau hewan yang terluka atau

Page 19
menghadapi situasi yang mengancam nyawa harus melupakan makan. Pergeseran dari
penyimpanan protein dan lemak ke peningkatan simpanan karbohidrat dan ketersediaan
glukosa darah yang ditimbulkan oleh kortisol akan membantu melindungi otak dari
malnutrisi selama periode puasa terpaksa tersebut. Karena itu, terjadi peningkatan
cadangan glukosa, asam amino, dan asam lemak yang dapat digunakan sesuai kebutuhan
(Sherwood, 2014).

Menurut Guyton, hampir semua stres menyebabkan peningkatan sekresi ACTH


dengan segera dan bermakna oleh kelenjar hipofisis anterior yang diikuti dengan
peningkatan sekresi hormon adrenokortikoid berupa kortisol dalam waktu beberapa menit.
Beberapa jenis stres yang meningkatkan pelepasan kortisol adalah sebagai berikut:

1. Hampir semua jenis trauma


2. Infeksi
3. Kepanasan atau kedinginan yang hebat
4. Penyuntikan norepinefrin dan obat-obat simpatomimetik lainnya
5. Pembedahan
6. Penyuntikan bahan yang bersifat nekrotikans di bawah kulit
7. Mengekang seekor binatang sehingga tidak dapat bergerak
8. Hampir setiap penyakit yang menyebabkan kelemahan

Efek Anti Inflamasi dan Imunosupresif

Ketika stres ditemani oleh luka jaringan, respon imun dan inflamasi akan menyertai
respon stres. Kortisol memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresif untuk menolong
agar respon sistem imun ini berada dalam suatu keseimbangan. Respon inflmasi yang
berlebihan menimbulkan bahaya. Kortisol turut berperan dalam setiap langkah
inflamasi, seperti dengan menekan migrasi neutrophil ke tempat yang terluka dan ikut
serta dalam aktivitas fagositiknya dan dengan menghambat sebagian produksi mediator
kimia inflamasi. Kortisol menghambat respom imun dengan mengganggu produksi
antibodi oleh limfosit (Sherwood, 2014)

Menurut Guyton, bila ada banyak sekali kortisol yang disekresikan atau yang
diinjeksikan pada seseorang, maka kortisol mempunyai dua efek dasar anti-inflamasi:
(1) kortisol dapat menghambat tahap awal proses inflamasi bahkan sebelum inflamasi
itu sendiri mulai terjadi, atau (2) bila proses inflamasi sudah dimulai, proses ini akan

Page 20
menyebabkan resolusi inflamasi yang cepat dan meningkatkan kecepatan
penyembuhan. Efek ini dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Kortisol menstabilkan membran lisosom. Hal ini merupakan salah satu efek
anti-inflamasi kortisol yang paling penting, karena kortisol membuat membran
lisosom intrasel menjadi lebih sulit pecah daripada keadaan normal. Oleh
karena itu, sebagian besar enzim proteolitik yang dilepaskan oleh sel-sel yang
rusak untuk menimbulkan inflamasi, dilepaskan dalam jumlah yang sangat
berkurang.
2. Kortisol menurunkan permeabilitas kapiler, mungkin sebagai efek dari
penurunan pelepasan enzim proteolitik. Hal ini mencegah terjadinya
kehilangan plasma ke dalam jaringan.
3. Kortisol menurunkan migrasi sel darah putih ke daerah inflamasi dan
fagositosis sel yang rusak. Efek ini mungkin dihasilkan dari kenyataan bahwa
kortisol menghilangkan pembentukan prostaglandin dan leukotriene yang jika
tidak, akan meningkatkan vasodilatasi, permeabilitas kapiler, dan mobilitas sel
darah putih.
4. Kortisol menekan sistem imun, menyebabkan reproduksi limfosit menurun
secara nata. Limfosit T terutama sangat ditekan. Selanjutnya jumlah sel T dan
antibody yang berkurang di daerah inflamasi akan mengurangi reaksi jaringan
yang jika tidak, akan memacu proses inflamasi lebih lanjut.
5. Kortisol menurunkan demam tertama karena kortisol mengurangi pelepasan
interleukin-1 dari sel darah putih, yang merupakan salah satu perangsang
utama terhadap sistem pengatur temperature hipotalamus. Penurunan
temperature selanjutnya mengurangi derajat vasodilatasi.

Sekresi Kortisol
Sekresi kortisol oleh korteks adrenal diatur oleh sistem umpan-balik negative yang
melibatkan hipotalamus dan hipofisis anterior. ACTH dari kotikrop hipofisis anterior,
bekerja melalui jalur cAMP, merangsang korteks adrenal untuk menyekresikan kortisol.
Karena bersifat tropic bagi zona fasikulata dan zona retikularis, ACTH merangsang
pertumbuhan dan sekresi kedua lapisan dalam korteks pada ketiadaan sejumlah ACTH
yang kuat, lapisan ini mengerut dan sekresi kortisol menurun secara drastic. Ingat kembali
bahwa yang mempertahankan ukuran zona glomerulusa adalah angiotensin, bukan ACTH.
Nantinya hanya mengeluarkan produknya atas perintah corticotropin-releasing-hormne
(CRH) dari hipotalamus. CRH merangsang kortikotrop melalui jalur cAMP. Lengkung

Page 21
kontrol pada sekresi CRH dan ACTH masing-masing oleh hipotalamus dan hipofisis
anterior (Sherwood, 2014).

Gambar 9. Kontrol sekresi kortisol


Sumber : Sherwood, 2014

ACTH merangsang sekresi kortisol. Tidak seperti aldosterone oleh zona


glomerulusa, yang terutama diatur oleh kalium dan angiotensin yang bekerja secara
langsung terhadap sel-sel adrenokortikoid, sekresi kortisol hampir seluruhnya diatur oleh
ACTH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Hormon ini disebut juga
kortikotropin atau adrenokortikopin , juga meningkatkan produksi androgen adrenal
(Sherwood, 2014).
Sekresi ACTH diatur oleh factor pelepasan kortikotropin dari hipotalamus.
Seperti hormone hipofisis lain yang sekresinya diatur oleh factor pelepas dari hipotalamus,
sekresi ACTH juga diatur oleh suatu factor pelepas penting. Factor pelepas ini disebut

Page 22
factor pelepas kortikotropin (CRF). Factor pelepas kortikotropin disekresikan ke dalam
pleskus kapiler utama dari system portal hipofisis di eminensia mediana hipotalamus dan
kemudian dibawa ke kelenjar hipofisis anterior, tempat factor pelepas kortikotropin
merangsang sekresi ACTH. CRF merupakan suatu peptide yang terdiri atas 41 asam amino.
Badan sel neuron yang menyekresi CRF terutama terletak di nukleus paraventrikular
hipotalamus. Nukleus ini selanjutnya menerima banyak hubungan saraf dari system limbic
dan batang otak bagian bawah (Sherwood, 2014).
Bila tidak ada CRF, maka kelenjar hipofisis anterior ini hanya dapat menyekresi
sedikit ACTH. Sebaliknya, sebagian besar kondisi yang menyebabkan tingginya kecepatan
sekresi ACTH, mengawali sekresi ini melalui sinyal yang dimulai di daerah basal otak,
termasuk hipotalamus, dan kemudian dihantarkan oleh CRF ke kelenjar hipotalamus
anterior (Sherwood, 2014).
ACTH mengaktifkan sel adrenokortikoid untuk memproduksi steroid melali
peningkatan siklik adenosine monofsfat (cAMP). Efek utama ACTH terhadap sel-sel
adrenokortikoid adalah mengaktifkan adenill siklase dalam membrane sel. Adenilil siklase
ini selanjutnya akan menginduksi pembentukan cAMP dalam sitoplasma sel, mencapai
efek maksimumnya dala waktu kira-kira 3 menit. cAMP ini selanjutnya adakan
mengaktifkan enzim-enzim intrasel yang menyebabkan terbentuknya hormone
adenokortikoid. Hal ini merupakan contoh lain cAMP yang bekerja sebagai system sinyal
cara kedua (Sherwood, 2014).
Langkah yang paling penting dari ACTH yang sudah dirangsang dalam mengatur
sekresi adrenokortikoid adalah mengaktifkan enzim protein kinase A, yang menyebabkan
perubahan awal dari kolesterol menjadi pegnenolon. Perubahan awal ini adalah langkah
“pembatas kecepatan” untuk semua hormone adrenokortikoid, yang akan menjelaskan
mengapa untuk pembentukan hormone adrenokortikoid secara normal dibutuhkan ACTH.
Perangsangan dalam jangka wkatu panjang pada korteks adrenal oleh ACTH tidak hanya
akan meningkatkan aktivitas sekretoriknya namun juga menyebabkan hipertrofi dan
poliferasi sel-sel adrenokortikoid, khususnya pada zona fasikulata dan retikularis, tempat
kortisol dan androgen disekresikan (Sherwood, 2014).

2.5 Mekanisme Transportasi Hormon Kortisol

Setelah hormone steroid disekresi oleh kelenjar endokrin asalnya, 95-98% dari
hormone tersebut bersirkulasi dalam aliran darah dan terikat dengan protein transpor
spesifik. Hormone yang terikat protein tidak menembus membrane plasma sel. Dua sampai
lima persen sisanya bebas berdifusi ke dalam semua sel. Setelah berada di dalam sel, steroid

Page 23
hanya bisa menghasilkan respons dalam sel yang memiliki reseptor intraseluler spesifik
untuk hormone tersebut. Pengikatan reseptor spesifik merupakan kunci untuk kerja steroid
pada jaringan targetnya. Reseptor glukokortikoid ditemukan di semua sel karena
glukokortikoid diperlukan untuk mengatur fungsi-fungsi umum seperti metabolisme dan
stress (At a Glance Sistem Reproduksi Ed.2, 2008)

Transportasi Plasma Glukokortikoid


 Kortisol beredar dalam plasma dalam bentuk terikat protein dan dalam bentuk bebas.
 Protein pengikat utama dalam plasma adalah suatu α-globulin yang disebut trans-kortin
atau globulin pengikatkortikosteroid (CBG=Cortocosteroid-binding globulin), CBG
diproduksi di hati, ditingkatkan oleh esterogen.
 CBG mengikat sebagian besar hormon tersebut bila kadarnya dalam plasma berada pada
kisaran normal. Kortisol dalam jumlah yang lebih kecil akan akan terikat ke albumin.
 Kekuatan pengikatan membantu menentukan usia paruh biologik (t ½) hormon
glukokortikoid. Kortisol terikat erat pada CBG dan memiliki t ½ 1,5-2 jam, sedangkan
kortikosteron yang kurang terikat erat mempunyai t ½ kurang dari 1 jam.
 CBG tidak hanya berikatan dengan glukokortikoid tapi juga dengan deoksikortikosteron
dan progesteron. Mereka bersaing dalam berikatan dengan Kortisol.
 Dalam bentuk bebas kortisol ditemukan sekitar 8% dari jumlah kortisol dalam plasma
dan merupakan fraksi kortisol yang biologik aktif (Biokimia Harper Ed.29, 2014)

2.6 Mekanisme Kerja Hormon Kortisol

Mekanisme kerja kortisol

Setelah di sekresi oleh zona fasikulata di korteks adrenal, kortisol akan dilepaskan
melalui aliran darah. Kortisol akan terbawa di plasma darah hingga mencapai sel atau organ
target. Menurut Brunton, Lazo dan Parker ketika sel atau organ target telah dicapai, kortisol
akan langsung menuju reseptornya. Kortisol masuk ke dalam sel melalui difusi karena
struktur nya yang berasal dari kolesterol. Reseptor dari kortisol terdapat di sitoplasma yang
bernama glucocorticoid receptors (GR). GR ini adalah protein yang bertugas menerima
sinyal dari ligand yang merupakan faktor dari proses transkripsi. Reseptor ini pada
umumnya memiliki 2 zona utama yaitu zinc fingers yang berinteraksi langsung dengan
sekuen DNA dan carboxyl terminus yang berinteraksi dengan ligand. (Brunton, Lazo dan
Parker, 2006)

Page 24
Menurut Brunton, Lazo dan Parker GR berada dalam sitoplasma dalam bentuk
inaktif dan akan aktif ketika telah berikatan dengan ligand nya dalam konteks ini kortisol.
GR dalam sitoplasma, selama inaktid berikatan dengan protein yang bernama HSP-90
(Heat-Shock Protein) dan HSP-70. HSP adalah protein yang berhubungan dengan respon
stress dalam tubuh. Kedua protein HSP ini (baik HSP-90 dan HSP-70) akan melepaskan
ikatannya dengan GR ketika GR telah berikatan dengan ligand nya (dalam konteks ini
ligand berupa hormon kortisol). Hormon kortisol sendiri berfungsi untuk merubah fungsi
atau intensitas fungsi dari suatu aktivitas sel seperti penyerapan glukosa. Hormon kortisol,
seperti yang telah disebutkan di atas, menghambat penyerapan glukosa. Karena hormon
kortisol merubah atau mempengaruhi suatu susunan sekuen dalam DNA sel tentang
penyerapan glukosa. Perubahan ini dilakukan oleh GR yang telah berikatan dengan
kortisol. (Brunton, Lazo dan Parker, 2006)

Gambar 10. Mekanisme Kerja Hormon Kortisol


Sumber: Goodman The Pharmacological Basis and Therapeutics

Menurut buku “Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis and


Therapeutics” oleh Brunton, Lazo dan Parker, sekuen DNA yang berinteraksi dengan
protein GR bernama glucocorticoid responsive element’s (GREs). Sekuen DNA ini
mengandung urutan basa nitrogen palindrome yang tidak sempurna

Page 25
(GGTACAnnnTGTTCT) dimana terdapat komponen basa n yang bisa digantikan oleh basa
nitrogen yang lain. Proses perubahan sekuen DNA ini masih belum sepenuhnya dimengerti
oleh para peneliti karena mekanisme dari proses ini begitu kompleks. Para peneliti, untuk
saat ini, hanya bisa memastikan bahwa dalam proses perubahan sekuen DNA oleh GR,
yang telah berikatan dengan kortisol, dibantu oleh transkripsi koaktivator dan protein yang
menyusun dasar dari badan transkirpsi (Brunton, Lazo dan Parker, 2006)

Keberadaan glukokortikoid (dalam konteks ini kortisol) dan GR dalam tubuh


sangat penting karena kedua komponen ini digunakan untuk mekansime bertahan hidup.
Kedua komponen ini penting dalam keadaan stress dan berpuasa karena pada saat stress
manusia atau hewan akan berada dalam keadaan “forego eating” dimana otak
membutuhkan banyak asupan nutrisi berupa glukosa (Brunton, Lazo dan Parker, 2006)

2.7 Pengaturan Kerja Hormon Kortisol

Sekresi kortisol diatur oleh ACTH yang disekresi oleh hipofisis. Pengeluaran
ACTH ini dirangsang oleh CRH (Corticotropin Releasing Hormone) dari hipotalamus.
Sebelum sekresi, prekursor besar ini dipotong menjadi ACTH dan beberapa peptida lain
yang aktif secara biologis, yaitu melanocyte-stimulating hormone (MSH) dan suatu bahan
mirip morfin, β-endorfin. ACTH mengaktifkan sel adrenokortikal untuk memproduksi
steroid melalui peningkatan siklik adenosin monofosfat (cAMP) (Sherwood, 2009)
Hormon-hormon ini berhubungan melalui siklus umpan balik negatif lekung
panjang yang melibatkan hipotalamus dan hipofisis anterior. Sistem umpan balik negatif
(penghambatan) untuk kortisol mempertahankan kadar sekresi hormon ini relatif konstan
disekitar titik patokan. Pada kontrol umpan balik dasar ini terdapat dua faktor tambahan
yang mempengaruhi konsentrasi plasma dengan mengubah titik patokan: irama diurnal dan
stres, dimana keduanya bekerja pada hipotalamus untuk mengubah tingkat sekresi CRH
(Sherwood, 2009).
Pada sistem hipotalamus-hipofisis-adrenal, corticotropin releasing hormone
(CRH) menyebabkan hipofisis melepaskan ACTH. Kemudian ACTH merangsang korteks
adrenal untuk mensekresi kortisol. Selanjutnya Apabila kortisol telah berlebih akan
menimbulkan umpan balik negatif kepada sekresi ACTH dan CRH. Kortisol kembali
memberikan umpan balik terhadap hipotalamus-hipofisis dan menghambat produksi CRH-
ACTH yang masing-masing mengarah agar sekresi ketiganya kembali normal (Guyton and
Hall, 2007).

Page 26
Sistem dapat mengalami fluktuasi yang bervariasi menurut kebutuhan fisiologis
akan kortisol. Jika sistem menghasilkan terlalu banyak ACTH, sehingga terlalu banyak
kortisol, maka kortisol akan mempengaruhi kembali dan menghambat produksi CRH oleh
hipotalamus serta menurunkan kepekaan sel-sel penghasil ACTH terhadap CRH dengan
bekerja secara langsung pada hipofisis anterior. Melalui pendekatan ganda ini, kortisol
melakukan kontrol umpan balik negatif untuk menstabilkan konsentrasinya sendiri dalam
plasma. Apabila kadar kortisol mulai turun, efek inhibisi kortisol pada hipotalamus dan
hipofisis anterior berkurang sehingga faktor-faktor yang merangsang peningkatan sekresi
kortisol (CRH-ACTH) akan meningkat. Sistem ini peka karena produksi kortisol atau
pemberian kortisol atau glukokortikoid sintetik lain secara berlebihan dapat dengan cepat
menghambat hipotalamus-hipofisis dan menghentikan produksi ACTH (Nugroho, 2011)

Kadar glukokortikoid bebas yang berlebihan melakukan kontrol umpan balik


negatif (penghambatan) cepat dan lambat pada hipofisa anterior, hipotalamus atau kedua-
duanya. Respon cepat nampak dengan diikuti tingginya kadar glukokortikoid yang
selanjutnya timbul aksi glukokortikoid pada membran sel hipotalamus. Efek lambat
tergantung pada kadar absolut glukokortikoid dan diusahakan pada sel basofilik hipofisa
anterior melalui penghambatan produksi mRNA proopiomelanokortin (POMC).
Perangsangan adrenal dalam waktu cukup lama dengan ACTH mengakibatkan peningkatan
ukuran dan jumlah sel, serta dapat menentukan besar respon steroidogenik terhadap
rangsang ACTH yang mendadak. Sebaliknya kekurangan ACTH dalam jangka lama
menyebabkan atrofi korteks adrenal, penurunan steroidogenesis dan respon yang sangat
lambat terhadap ACTH (Aprizal Lukman, 2008)

Pelepasan ACTH dan sekresi glukokortikoid terjadi melalui pengontrolan oleh


input saraf dari sejumlah tempat dalam sistem saraf. Sekresi glukokortikoid juga
dipengaruhi oleh stress fisik dan emosional. Input dari nucleus amigdala menghambat
respon ACTH terhadap stress emosional, kekhawatiran, takut dan kecemasan sedangkan
serabut spinotalamik dan formasi ini dapat melampaui kedua sistem umpan balik negatif
dan irama diurnal (Aprizal Lukman, 2008)

Karena bersifat tropik bagi zona fasikulata dan zona retikularis, maka ACTH
merangsang pertumbuhan dan sekresi kedua lapisan dalam korteks ini. Jika ACTH tidak
terdapat dalam jumlah memadai maka lapisan-lapisan ini akan menciut dan sekresi kortisol
merosot drastis. Sel penghasil ACTH selanjutnya, hanya mengeluarkan produknya atas
perintah corticotropin-releasing hormone (CRH) dari hipotalamus. Lengkung kontrol

Page 27
umpan balik menjadi lengkap oleh efek inhibisi 13 kortisol pada sekresi CRH dan ACTH
masing-masing oleh hipotalamus dan hipofisis anterior (Sherwood, 2009).

Beberapa data menunjukkan bahwa jam biologis (biologic clock) mengatur


produksi ACTH dan krotisol di dalam tubuh melalui siklus terang gelap dan siklus tidur.
Jam biologis yang berpusat di otak ini memberikan pola atau ritme sehari-hari (diurnal
rhythm), dimana didapati sekresi maksimum dari ACTH dan kortisol diantara tengah
malam dan pagi hari dan sekresi kedua hormon yang paling rendah akan didapati pada
waktu tengah hari dan petang. Pola ini akan dijumpai pada individu yang normal yaitu yang
tidur pada malam hari dan terjaga pada siang hari. Sekresi ACTH tidaklah berkepanjangan
tetapi dalam bentuk interal. Sekresi ACTH dan kortisol yang intensif akan diikuti oleh
waktu-waktu dimana sama seali tidak terjadi sekresi kedua hormon tersebut. Efek ACTH
terhadap sekresi cortisol dapat dikatakan cepat sekali. Percobaan yang dilakukan terhadap
manusia atau hewan dengan menyuntikkan ACTH akan mengakibatkan peningkatan kadar
kortisol dalam darah dalam waktu 2 sampai 3 menit (Hernawati, 2007).

Page 28
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kortisol adalah hormon steroid dari golongan glukokortikoid yang umumnya
diproduksi oleh sel di dalam zona fasikulata pada kelenjar adrenal sebagai respon terhadap
stimulasi hormon ACTH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis. Hipotalamus
mensekresikan hormon pembebas kortikotropik yang akan merangsang melalui kelenjar
hipofisis (pituitari). Selanjutya pituitari merespon perintah dari hipotalamus dengan
mensekresikan hormon ACTH yang akan merangsang kelenjar adrenal untuk
mensekresikan hormon-hormonnya salah satunya adalah kortisol. Pelepasan hormon
adrenal ini masih berkaitan dengan kondisi yang mencekam, “stres”, sesuatu yang dapat
meningkatkan pelepasan hormon-hormon adrenal.
Pengaruh utama kortisol adalah pada metabolisme glukosa di dalam tubuh.
Kortisol berfungsi untuk meningkatkan kadar glukosa di dalam tubuh dengan membantu
mobilisasi glukagon dari pankreas, serta meningkatkan metabolisme pembentukan glukosa
dari bahan non-karbohidrat (lemak dan protein). Dalam kondisi yang mencekam (stress),
tubuh cenderung memiliki laju metabolisme yang tinggi, oleh karena itu dibutukan begitu
banyak glukosa sebagai bahan bakar pembentuk energi. Kortisol membantu penyediaan
akan kebutuhan glukosa yang meningkat. Kortisol akan mempengaruhi sel-sel otot yang
akan merangsang perombakan protein otot. Hasil perombakan ini dibawa menuju hati dan
ginjal untuk dibentuk glukosa (oleh glukagon) lalu dibebaskan ke darah. Kortisol dapat
menghabiskan gula cadangan dari dalam sel otot termasuk senyawa non karbohidrat untuk
diubah menjadi glukosa, namun dengan demikian kadar glukosa darah meningkat.

3.2 Saran
Hormon kortisol ini merupakan yang salah satu jenis hormon yang sangat penting
dalam tubuh, oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui lebih dalam tentang
hormon kortisol. Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan dijadikan bahan untuk belajar
dan menambah ilmu pengetahuan dalam memahami hormon kortisol. Selain itu pembaca
juga harus bersyukur atas apa yang diberikan tuhan baik itu berupa hormon kortisol ataupun
nikmat-nikmat yang lain.

Page 29
DAFTAR PUSTAKA

Arifin & Herlyana P. 2013. Makalah Anatomi Fisiologi Manusia. Sekolah Tinggi
Farmasi Bandung S1 Farmasi Kelas B Semester IV.
Brunton, L.L, Lazo, J.S, Parker, K.L, 2006. Goodman and Gilman’s The
Pharmacological Basis and Therapeutics eleventh edition. New York: The McGraw-Hill
Companies Inc.
Eroschenko, V.P. 2013. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional.
Ed.12. Jakarta: EGC.
Guyton, A.C. 2016. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta : Elsevier
Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : EGC.
Guyton, Hall. 2014. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Singapore:
Elsevier.
Hardman, J.G., Limbird, L.E. 2012. Dasar Farmakologi Terapi Vol.4. Jakarta :
EGC.
Hernawati. 2007. Bahan Kuliah Endokrinologi Pada Materi Aspek Fisiologis
Kelenjar Endokrin. Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia.
Katzung, B.G., Masters, S.B., Trevor, A.J. 2012. Basic & Clinical Pharmacology.
United States : The McGraw-Hill Companies Inc.
Lukman, Aprizal. 2008. Mekanisme Dan Regulasi Hormon Glukokortikoid Pada
Manusia. Jambi. Universitas Jambi.
Mescher, A.L. 2011. Histologi Dasar JUNQUEIRA Teks & Atlas. Ed.12. Jakarta:
EGC.
Murray, R.K., et.al. 2014. Biokimia Harper Edisi 29. Jakarta : EGC.
Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta:
EGC.
Sherwood, Lauralee. 2014. Introduction to Human Physiology. China: Yolanda
Cossio.

Page 30

Anda mungkin juga menyukai