Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH EKSIPIEN

POLIMER PENINGKAT PENETRASI JARINGAN EPITEL

Disusun Oleh :

Kelompok 8

Adzdzikra Dzikrullah A. 11151020000026

Yusuf Nur Pradana 11151020000028

Rizqita Atikah Sari 11151020000029

Kinanthi Dwi Nurbaiti 11151020000030

Nurfita Amalina 11151020000031

Maulidina Safitri 11151020000034

Salman Al Farisi 11151020000035

Dosen Pengajar :

Estu Maharani, M. Si., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

OKTOBER 2018
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan segala puji syukur kehadirat Allah SWT atas terselesainya makalah
Eksipien, Tentang Polimer Peningkat Penetrasi Jaringan Epitel Tanpa ridha dan kasih sayang
serta petunjuk dari-Nya tidak mungkin makalah ini dapat terselesaikan .
Selaras dengan maksud pembelajaran ini, makalah ini difokuskan pada upaya
pengembangan kemampuan pemahaman tentang Polimer Peningkat Penetrasi Jaringan Epitel.
Sajian materi yang bersifat otentik , yakni yang bersumber dari media cetak , dan jaringan
informasi di dunia maya (internet), diharapkan dapat berguna untuk semua pihak yang
menggunakan makalah ini.
Makalah ini hanyalah alat bantu yang tidak dapat bekerja sendiri , tanpa usaha keras dari
sumber daya manusia. Agar dapat dipahami dengan baik diperlukan adanya ketekunan,
keterampilan, dan kemauan untuk selalu menggali setiap modul yang tersedia.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah
Eksipien, untuk tugas yang telah diberikan pada kami sebagai pembelajaran secara berkelompok.
Kami sepenuhnya menyadari bahwa makalah ini tidak terlepas dari sejumlah kekurangan.
Untuk itu, kami mengharapkan saran dan tanggapan untuk penyempurnaan makalah ini.

Jakarta ,Oktober 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit merupakan lapisan pelindung tubuh yang sempurna terhadap pengaruh luar (Aiache,
1993). Kulit berfungsi sebagai sistem epitel pada tubuh untuk menjaga keluarnya substansi-
subtansi penting dari dalam tubuh dan masuknya subtansi-subtansi asing ke dalam tubuh (Chien,
1987). Meskipun kulit relatif permeabel terhadap senyawa-senyawa kimia, namun dalam
keadaan tertentu kulit dapat ditembus oleh senyawa-senyawa obat atau bahan berbahaya yang
dapat menimbulkan efek terapetik atau efek toksik baik yang bersifat setempat maupun sistemik
(Aiache, 1993). Dari suatu penelitian diketahui bahwa pergerakan air melalui lapisan kulit yang
tebal tergantung pada pertahanan lapisan stratum corneum yang berfungsi sebagai rate-limiting
barrier pada kulit (Swarbirck dan Boylan, 1995).

Untuk mencapai aksinya secara maksimal pada kerja obat transdermal salah satunya dapat
melalui tahapan penetrasi kulit. Kecepatan penetrasi obat ke dalam kulit dapat diamati melalui
fluks obat. Fluks obat yang melalui membran dapat dipengaruhi oleh konsentrasi efektif obat
yang terlarut dalam pembawa, koefisien difusi dan partisi obat melewati stratum corneum
dengan cara mengganggu sistem penghalangan dari stratum corneum. Untuk meningkatkan fluks
obat yang melewati membran kulit dapat digunakan senyawa-senyawa peningkat penetrasi
(Williams dan Barry, 2004).

Peningkat penetrasi (enhancer) dapat bekerja melalui tiga mekanisme, yaitu dengan cara
mempengaruhi struktur stratum corneum, berinteraksi dengan protein intraseluler dan
memperbaiki partisi obat, coenhancer atau cosolvent ke dalam stratum corneum (Swarbrick dan
Boylan, 1995). Cosolvent dapat meningkatkan kelarutan bahan obat sehingga dapat
meningkatkan penetrasinya melalui membran kulit untuk mencapai tempat aksinya (Boylan dkk,
1994). Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi antara lain air, sulfoksida
dan senyawa sejenis azone, pyrrolidones, asam-asam lemak, alkohol dan glikol, surfaktan, urea,
minyak atsiri, terpen dan fosfolipid (Swarbrick dan Boylan, 1995; Williams dan Barry, 2004).
Kandungan air yang tinggi dalam basis gel dapat juga berfungsi sebagai peningkat penetrasi
dengan mekanisme hidrasi pada lapisan stratum corneum.
Banyak manfaat yang didapat dari penggunaan eksipien dari polimer peningkat penetrasi ke
jaringan epitel, oleh karena itu dalam makalah ini kami mencoba menganalisis dan menguraikan
sifat, syarat, masalah yang dapat diatasi dari penggunaan polimer ini, manfaat, contoh dan
aplikasi dalam penggunaannya dalam sediaan obat terutama yang ditujukan untuk penggunaan
pada kulit.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sifat dan syarat suatu polimer dapat tergolong sebagai polimer peningkat penetrasi
jaringan epitel pada sediaan obat?

2. Bagaimana mekanisme kerja polimer peningkat penetrasi jaringan epitel?

3. Bagaimana manfaat penggunaan polimer peningkat penetrasi jaringan epitel untuk


meningkatkan kerja obat dalam sediaan?

4. Apa saja contoh polimer peningkat penetrasi jaringan epitel dan bagaimana mekanisme
kerjanya serta aplikasi penggunaanya?

1.3 Tujuan

Untuk memahami sifat, syarat, masalah yang dapat diatasi dari penggunaan polimer ini,
manfaat, contoh dan aplikasi dalam penggunaannya dalam sediaan obat terutama yang ditujukan
untuk penggunaan pada kulit.

1.4 Manfaat

Mahasiswa dapat memahami sifat, syarat, masalah yang dapat diatasi dari penggunaan
polimer ini, manfaat, contoh dan aplikasi dalam penggunaannya dalam sediaan obat terutama
yang ditujukan untuk penggunaan pada kulit.
BAB II

ISI

2.1 Pengertian dan Sifat Polimer Peningkat Penetrasi ke Jaringan Epitel

Polimer merupakan molekul yang sangat besar yang tersusun dari gabungan satuan-satuan
kecil pembentuknya yang berupa molekul-molekul kecil. Satuan molekul pembentuk itu disebut
monomer. (Cowd, 1991) Ciri utama polimer adalah mempunyai rantai yang panjang dan berat
molekul yang besar. (Rahmat, 2008) Berdasarkan sumbernya polimer dapat dibedakan menjadi
polimer alam dan sintesis. (Billmeyer, 2010) Polimer dalam farmasi telah banyak digunakan
terutama sebagai eksipien dalam pengembangan sediaan farmasi. Polimer alam seperti
polisakarida dan gom sangat efektif digunakan dalam variasi formulasi sediaan farmasi. Polimer
alam digunakan secara luas dalam industri farmasi dan sangat cocok untuk pengembangan
produk farmasi dan kosmetik. Penggunaan polimer alam untuk aplikasi farmasi sangat
menguntungkan karena mudah didapat, relative murah, non toksik, stabil, kemampuan
modifikasi kimia dan berpotensi kompatibel karena berasal dari bahan alami. Polimer ala mini
memiliki kemampuan sebagai peningkat kekentaan, disintegran, suspending agent, pengemulsi,
gelling agent, bioadhesif dan pengikat. (Abitha, 2015)

Sedangkan penggunaan polimer sintetik juga banyak digunakan karena dapat diatur
sedemikian rupa sehingga memiliki karakteristik eksipien yang diinginkan. Penggunaan polimer
alami maupun sintetik dapat digunakan untuk sediaan dengan model khusus atau dimaksudkan
untuk sistem penghantaran obat khusus seperti polimer yang bersifat mukoadhesif untu
penghantaran obat diperlambat karena polimer dalam obat menempel pada mukosa di dalam
tubuh, poimer yang peka terhadap perubahan fisik dan lingkungan, polimer yang menghambat
aktivitas suatu enzim, polimer yang meningkatkan penetrasi ke jaringan epitel, dan yang lainnya.

Polimer peningkat penetrasi ke jaringan epitel merupakan salah satu polimer yang
digunakan dalam pengembangan sediaan farmasi untuk mengurangi resistensi stratum corneum
dan variasi biologis dari stratum corneum (Swarbrick dan Boylan, 1995). Bahan-bahan yang
dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi perkutan antara lain bersifat tidak toksik, tidak
mengiritasi dan tidak menyebabkan alergi; tidak memiliki aktivitas farmakologik baik lokal
maupun sistemik; dapat mencegah hilangnya substansi endogen dari dalam tubuh; dapat
bercampur dengan bahan aktif dan bahan pembawa dalam sediaan; dapat diterima oleh kulit dan
dengan segera dapat mengembalikan fungsi kulit ketika dihilangkan dari sediaan; membantu
penetrasi obat melintasi kulit namun tidak memfasilitasi keluarnya senyawa endogen, tidak
bereaksi dengan obat maupun senyawa lain dalam sediaan (Swarbrick dan Boylan, 1995;
Williams dan Barry, 2004).

Peningkat penetrasi dapat digunakan dalam formulasi obat transdermal untuk memperbaiki
fluks obat yang melewati membran. Fluks obat yang melewati membran dipengaruhi oleh
koefisien difusi obat melewati stratum corneum, konsentrasi efektif obat yang terlarut dalam
pembawa, koefisien partisi antara obat dengan stratum corneum dan dengan tebal lapisan
membran. Peningkat penetrasi yang efektif dapat meningkatkan penghalangan dari stratum
corneum (Williams dan Barry, 2004).

2.2. Tujuan Eksipien Peningkat Penetrasi

Peningkat penetrasi yang digunakan pada formulasi obat transdermal bertujuan untuk
memperbaiki fluks obat yang melewati membran. Fluks obat yang melewati membran dapat
dipengaruhi oleh koefisien difusi membran melalui stratum corneum, konsentrasi efektif obat
yang terlarut dalam pembawa, koefisien partisi antar obat dengan stratum corneum dan tebal
lapisan membran. Peningkat penetrasi yang efektif dapat meningkatkan koefisien difusi obat ke
dalam stratum corneum dengan cara mengganggu sifat penghalangan stratum corneum (Williams
dan Barry, 2004). Peningkatan penetrasi akan mengurangi waktu laten (lag time) pada pemberian
obat sehingga akan segera dihasilkan efek terapetik.

2.3. Syarat enhancer yang boleh digunakan pada formulasi sediaan topikal
Syarat enhancer yang boleh digunakan pada formulasi sediaan topikal adalah (Barry,
1983):
1. Tidak toksik, tidak menyebabkan iritasi dan alergi.
2. Onset of action dalam meningkatkan penetrasi obat cepat, durasi efeknya dapat diprediksi
dan reprodusibel.
3. Tidak memiliki efek farmakologis dan tidak berinteraksi dengan reseptor pada kulit.
4. Saat enhancer dibersihkan dari kulit, jaringan kulit harus dapat kembali seperti semula
dengan fungsi sawar normal.
5. Ketika menggunakan enhancer, cairan tubuh, elektrolit atau bahan- bahan endogen tidak
boleh hilang dari tubuh.
6. Kompatibel secara fisika dan kimia dengan bahan obat dan bahan- bahan penunjang
lainnya.
7. Enhancer mudah menyebar di kulit dan aseptabel.
8. Tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, aseptabel secara kosmetika, dan murah.

Peningkat penetrasi (enhancer) dapat bekerja melalui tiga mekanisme, yaitu dengan cara
mempengaruhi struktur stratum corneum, berinteraksi dengan protein intraseluler dan
memperbaiki partisi obat, coenhancer atau cosolvent ke dalam stratum corneum (Swarbrick dan
Boylan, 1995)
2.4. Mekanisme kerja peningkat penetrasi (Enhancer)
1. Mempengaruhi struktur stratum corneum (membrane kulit)
Peningkat penetrasi dapat mengembangkan stratum korneum dengan mengurangi
ketahanan difusi stratum korneum dan meningkatkan permeabilitas membrane. Ketahanan
difusi stratum korneum dapat dikurangi dengan merusak stratum korneum secara reversible
sehingga permeabilitas dari kuit terhadap bahan obat menjadi meningkat.
Selain itu peningkat penetrasi juga dapat meningkatkan permeailitas kulit terhadap
bahan obat dengan mengubah sifat fisikokimia stratum korneum dengan cara meningkatkan
kelembaban kulit sehingga penguapan keringat tertahan dan hidrasi kulit meningkat
(Lachman, 1986; Barry, 1983)
2. Berinteraksi dengan protein intraseluler dan memperbaiki partisi obat
3. Coenhancer atau cosolvent ke dalam stratum corneum
Cosolvent dapat meningkatkan kelarutan bahan obat sehingga dapat meningkatkan
penetrasinya melalui membran kulit untuk mencapai tempat aksinya (Boylan dkk, 1994).
Hal ini dilakukan dengan cara meningkatkan kelarutan bahan obat dalam pembawa sehingga
penetrasi dari bahan obat itu sendiri menjadi meningkat. Makin banyak bahan obat yang
tersedia dalam keadaan terlarut maka makin besar pula bahan obat yang berpenetrasi.
2.5. Polimer Peningkat Penetrasi Jaringan Epitel
2.5.1. TWEEN 80
a. Preformulasi (Anonim, 1994 ; Rowe, 2009)

Nama lain : Polisorbat 80


Rumus Molekul : C64H124O26
Berat Molekul : 1310
Titik didih : >100oC
Nilai HLB : 15
Pemerian : Cairan seperti minyak, jernih berwarna kuning mudahingga
coklat muda, bau khas lemah, rasa pahit dan hangat.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, larutan tidak berbau dan praktis
tidak berwarna, larut dalam etanol, dalam etil asetat, tidak larut
dalam minyak mineral.
Konsentrasi : 1-10%
Stabilitas : Stabil pada elektrolit dan asam lemah, dan basa. Berangsur-angsur
akan tersaponifikasi dengan asam kuat dan basa.
OTT : Akan berubah warna atau mengendap dengan phenol, dan tannin.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, lindungi dari cahaya, ditempat sejuk
dan kering
b. Mekanisme Kerja
Polioxyethilen sorbitan monooleat (Tween 80) merupakan ester asam lemak dari
sorbitol dan bagian anhidridanya mengalami kopolimerisasi dengan 20 mol etilen
oksida. Polioxyethilen sorbitan monooleat merupakan jenis surfaktan non ionik.
Surfaktan dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi dengan cara melarutkan
senyawa yang bersifat lipofilik dan melarutkan lapisan lipid pada stratum corneum.
Surfaktan non ionik lebih aman untuk digunakan karena tidak menyebabkan
kerusakan pada kulit (Williams dan Barry, 2004). Terdapat dua mekanisme yang
menentukan laju penetrasi obat menggunakan surfaktan nonionik. Mula-mula
Surfaktan nonionik berpenetrasi ke dalam area intrasel stratum korneum lalu
menginduksi fluidisasi lipid pada stratum korneum (Scheuplein, 1970). Kemudian
melarutkan komponen lipid dengan mekanisme mengekstraksi lapisan lemak dari
stratum korneum sehingga menurunkan retensi dinding dari lapisan lemak ganda dari
stratum korneum. Selanjutnya, penetrasi surfaktan pada matriks interseluler diikuti
dengan interaksi dan ikatan pada filamen keratin sehingga menghasilkan gangguan
pada korneosit (Breuer, 1979).
3.1.2. SPAN 20
a. Preformulasi (Anonim, 1994 ; Rowe, 2009)

Nama Lain : Sorbitan monolaurate


Rumus Molekul : C18H34O6
Berat Molekul : 346
Pemerian : Cairan kental seperti minyak berwarna kuning.
Kelarutan : Praktis tidak larut tetapi terdispersi dalam air dan propilenglikol,
tercampur dalam alcohol dan methanol, 1 bagian span larut dalam
100 bagian minyak biji kapas, sedikit larut dalam etil asetat.
Bobot jenis : 1,01 g/ml.
Konsentrasi : 1-10%
Stabilitas : Stabil terhadap asam dan basa lemah.
Penyimpanan : Wadah bertutup rapat dan pada tempat sejuk dan kering.
HLB : 8,6
OTT : Dengan asam atau basa kuat, terjadi pembentukan sabun dengan
basa kuat.
b. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerjanya hampir sama dengan tween 80 karena termasuk dalam golongan
surfaktan yaitu bekerja dengan cara melarutkan bahan aktif lipofilik, sehingga
berpotensi melarutkan lipida di dalam stratum korneum.
3.1.3. SIKLODEKSTRIN
a. Preformulasi (Rowe, 2009)
Siklodekstrin murni dihasilkan dari degradasi starch oleh cycloglycosyl transferase
amylases (CGTases). Kondisi reaksi yang sesuai akan menghasilkan 3 kelompok
utama siklodekstrin yaitu: α-, β-, dan γsiklodekstrin yang terdiri atas 6, 7, dan 8 unit
α(1,4)- linked D(+)-glucopyranose.

α-Siklodekstrin
β-Siklodekstrin

Siklodekstrin Α β ˠ
Unit glukopiranosa 6 7 8
Bobot Molekul 972 1135 1297
Diameter rongga (A) 5.3/4.7 6.5/6.0 8.3/7.5
Kelarutan dalam Air 14.5 1.85 23.2
(Suhu 25oC, g/100 ml)
Titik leleh 250-260oC 255-265oC 240-245oC

Siklodekstrin merupakan molekul cincin yang kehilangan rotasi bebas pada ikatan
antara unit-unit glucopyranose. Hal tersebut menyebabkan bentuk siklodekstrin tidak
silinder, tetapi toroidal atau bentuk kerucut. Rongga pusat siklodekstrin yang tersusun
dari residu-residu glukosa bersifat hidrofobik, sedangkan bagian luar bersifat
hidrofilik karena hadirnya gugus-gugus hidroksil. Dalam larutan, molekul air di
dalam rongga siklodekstrin dengan mudah tergantikan molekul non-polar atau bagian
non-polar dari molekul guest (obat) dan melakukan pergerakan bolak-balik menuju
kompleks inklusi host-guest.
b. Mekanisme Kerja
Molekul obat dalam bentuk kompleks berada dalam kesetimbangan yang cepat
dengan molekul dalam bentuk bebas dalam larutan (Loftsson dkk., 2005).
Dibandingkan dengan bentuk molekul bebas, molekul guest (misal: molekul obat)
yang terkompleks siklodekstrin memiliki sifat fisika kimia yang baru, salah satunya
yaitu kelarutannya di dalam air meningkat. Senyawa ini dapat membentuk kompleks
inklusi dengan obat lipofilik dengan peningkatan kelarutannya, terutama pada larutan
berair. Namun, siklodekstrin saja kurang efektif sebagai peningkat penetrasi
dibandingkan dengan dikombinasikan dengan asam lemak dan propilen glikol (Amrit,
et al., 2016).
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Polimer merupakan molekul yang sangat besar yang tersusun dari gabungan satuan-
satuan kecil pembentuknya yang berupa molekul-molekul kecil. Satuan molekul pembentuk
itu disebut monomer (Cowd, 1991). Ciri utama polimer adalah mempunyai rantai yang
panjang dan berat molekul yang besar (Rahmat, 2008).
Peningkat penetrasi (enhancer) dapat bekerja melalui tiga mekanisme, yaitu dengan cara
mempengaruhi struktur stratum corneum, berinteraksi dengan protein intraseluler dan
memperbaiki partisi obat, coenhancer atau cosolvent ke dalam stratum corneum (Swarbrick
dan Boylan, 1995).
Peningkat penetrasi dapat digunakan dalam formulasi obat transdermal untuk
memperbaiki fluks obat yang melewati membran. Fluks obat yang melewati membran
dipengaruhi oleh koefisien difusi obat melewati stratum corneum, konsentrasi efektif obat
yang terlarut dalam pembawa,
DAFTAR PUSTAKA

Abitha, MH. 2015. Natural Polymers In Pharmaceutical Formulation. International Journal of


Institutional Pharmacy and Life Sciences. 5(1): 205-231

Amrit, Pal Singh, Prakash, Dr. Dev, Nishant Singh Katiyar, Dr. Kamla Pathak, Dr. Devender
Pathak and Arti. 2016. Penetration Enhancers: Adjuvants In Transdermal Drug Delivery
System. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences.5(5)

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Barry, B.W., 1983. Dermatological Formulation Percutaneous Absorption. New York,


Basel : Marcell Dekker Inc.,
Barry, B. W. 1987. Mode of action of Penetration Enhancers in Human Skin dalam: Anderson
James M dan Sung Wan Kim. 1987. Advancves in Drug Delivery. European Journal of
Pharmaceutical Sciences 101-104

Bestari, Angi Nadya. 2014. Penggunaan Siklodekstrin Dalam Bidang Farmasi. Majalah
Farmaseutik, Vol. 10 No. 1. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Boylan, J.C, Copper, Zakt, 1994, Handbook of Pharmaceutical Excipient, 2nd edition,
Washington: American Pharmaceutical Association, 1994: 71-73, 176-179, 310-313.
Breuer MM. 1979. The interaction between surfactants and keratinous tissues. Journal of Soc
Cosmet (30)
Duchene, D., 2011, Cyclodextrins and Their Inclusion Complexes, dalam Bilensoy, E., 2011,
Cyclodextrins in Pharmaceutics, Cosmetics, and Biomedicine, John Wiley & Sons, Inc.,
New Jersey, Canada
Lachman, L., Lieberman. HA., Kanig, J.L. 1986. The Theory and Practice of Industrial
Pharmacy. Third Edition. Philadelphia: Lea & Febiger.
Loftsson, T1., D. Hreinsdottir, M. Masson, 2005, Evaluation of Cyclodextrin Solubilization of
Drugs, Int. Journal of Pharmaceutics, No.302
Rowe R, Sheckey P and Quinn M.Handbook of Pharmaceutical Excipients,Sixth
Edition.Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association,London.2009.
Scheuplein, RJ., Ross, L. 1970. Effects of surfactants and solvents on the permeability of
epidermis. Journal of the Society of Cosmetic Chemists (21)
Swarbick, J dan Boylan J. 1995. Percutaneous Absorption in Encyclopedia of Pharmaceutical
Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc, New York. 413-445

Sukmawati, Anita, dkk. 2009. Efek Berbagai Peningkat Penetrasi Terhadap Penetrasi Perkutan
Gel Natrium Diklofenak Secara In Vitro. Surakarta: FF Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Williams, A. C. dan Barry, B., 2004, Penetration enhancer, Adv Drug Deliv
Rev,56: 603-618

William, A.C dan Barry, B.W. 2007. Chemical permeation echancement. New York: CRC Press.

Anda mungkin juga menyukai