Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

SEDIAAN TRANSDERMAL

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Formulasi Sediaan Likuid
Semi Solid pada Program Studi Ilmu Farmasi

Dosen Pembina
Apt. Yola Desnera Putri, M.Farm

Oleh
Anggie Melinda H ( A 181 004 )
Annisa Haniefah ( A 181 006 )
Bagus Fitra S ( A 181 008 )
Ima Susilawati ( A 181 017 )
Indri Febryanti ( A 181 019 )

PROGRAM STUDI FARMASI


SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
YAYASAN KHAZANAH
BANDUNG
2020
A. Definisi
Sediaan transdermal merupakan salah satu alternatif rute pemberian yang
sudah banyak mengalami perkembangan. Berbagai obat dalam sediaan
transdermal banyak beredar dipasaran diantaranya sediaan gel, krim, patch dan
bentuk lainnya (Prausnitz et al., 2004). Penggunaan transdermal dapat mencegah
first pass effect di hati, mengurangi efek samping dari obat daripada sediaan oral
(Goodman, 2012; Langford et al., 2006). Sediaan transdermal merupakan suatu
sediaan yang mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit
untuk memberikan efek sistemik (Pathan and Setty, 2009).
Transdermal sangat dipengaruhi oleh absorpsi perkutan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi absorpsi perkutan, antara lain :
1. Konsentrasi obat. Semakin tinggi konsentrasi obat di transdermal, maka
semakin tinggi jmlah yang diabsorpsi perkutan.
2. Semakin lebar transdermal, semakin banyak diabsorpsi.
3. Obat pada transdermal harus memiliki daya tarik fisika kimia ke kulit
lebih tinggi daripada ke pembawa agar obat dapat segera berpindah ke
kulit dari pembawa.
4. Obat dengan berat molekul 100 sampai 800 dan lemak yang cukup serta
kelarutan larutan dapat menembus kulit. Berat molekul yang ideal untuk
obat transdermal adalah 400 atau kurang.
5. Hidrasi kulit secara umum meningkatkan absorpsi perkutan. Obat
transdermal bekerja sebagai penghambat kelembaban sehingga keringat
tidak dapat keluar dan meningkatkan hidrasi.
6. Absorpsi perkutan lebih besar saat obat transdermal digunakan pada
tempat dengan lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal.
7. Secara umum, semakin lama obat boleh berkontak dengan kulit, semakin
besar total absorpsi obat.
Kulit merupakan target masuknya obat dari sediaan transdermal. Kulit
merupakan barrier penghalang yang terdiri dari berbagai lapisan. Lapisan paling
luar dari kulit, yaitu stratum korneum, terdiri dari keratin dan dikelilingi oleh
lapisan lipid interseluler sehingga sulit untuk ditembus. Agar zat aktif dari sediaan
transdermal dapat masuk ke dalam kulit dan mencapai target kerjanya dengan
maksimal, maka penetrasi zat aktif melalui kulit perlu ditingkatkan (Walters,
2004).

B. Peningkat Penetrasi
Salah satu cara meningkatkan penetrasi obat melalui kulit yang umum 103
digunakan adalah dengan menambahkan zat peningkat penetrasi pada sediaan
transdermal (Williams and Barry, 2012). Peningkat penetrasi bekerja
meningkatkan permeasi zat aktif pada sediaan transdermal dengan beberapa
mekanisme diantaranya (Pandey et al., 2014; Gupta et al., 2005) :
1. Meningkatkan kelarutan atau fluidisitas dari stratum korneum sehingga
dapat menurunkan fungsi kulit sebagai barrier penghalang.
2. Meningkatkan aktivitas termodinamik dari obat dan kulit.
3. Mempengaruhi koefisien partisi dari obat sehingga meningkatkan
pelepasan obat pada kulit.
4. Mengganggu korneosit pada kulit dengan berinteraksi dengan filamen
keratin
Peningkat penetrasi yang ideal dalam sediaan transdermal harus memiliki
beberapa sifat, diantaranya (Ramteke et al., 2012; Ahmed and Sushma, 2015) :
1. Tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi.
2. Tidak memberikan efek farmakologis bagi tubuh.
3. Bekerja pada kulit secara reversibel.
4. Kompatibel dan stabil dengan banyak zat aktif. 5. Dapat diterima baik oleh
kulit.
Beberapa zat dapat digunakan sebagai peningkat penetrasi diantaranya air,
hidrokarbon, alkohol, asam lemak dan ester, amida, urea, sulfoksida, dan terpen
dan terpenoid (Williams and Barry, 2012).

C. Rancangan Obat Transdermal


Secara teknik, rancangan obat transdermal terbagi dua tipe, yaitu sistem
monolitik dan sistem membran terkontrol. Sistem monolitik menggabungkan
lapisan matriks obat diantara lapisan depan dan belakang. Lapisan matriks obat
terdiri dari bahan polimerik yang menyebabkan obat terurai didalamnya. Matriks
polimer mengatur kecepatan obat yang dilepaskan untuk absorpsi perkutan.
Sistem membran terkontrol dirancang mengandung tempat penyimpanan obat
berupa kantung dalam bentuk cairan atau gel, membran yang mengatur kecepatan,
pendukung, bahan perekat dan lapisan pelindung. Selama obat di tempat
penyimpanan tidak jenuh, maka kecepatan perilisan obat akan tetap konstan.
Rancangan dan tujuan utama pengaturan jumlah dari sistem penyampaian obat
secara transdermal adalah sebagai berikut :
1. Memberikan bahan obat pada laju yang terkendali ke dalam kulit utuh
pasien untuk diabsorpsi ke dalam sirkulasi sistemik
2. Sistem harus memiliki ciri-ciri fisika dan kimia yang tepat agar
memungkinkan bahan obat mudah terlepas dan membantu partisipasinya
dari sistem pemberian ke dalam stratum corneum
3. Sistem harus menutup kulit untuk menjamin arus searah dari bahan obat
4. Sistem transdermal harus mempunyai kelebihan terapeutik daripada
bentuk sediaan dan sistem pemberian lainnya
5. Daya rekat sistem, pembawa dan zat aktif harus tidak mengiritasi kulit
pasien
6. Serpihan harus melekat pada kulit pasien dan ukuran serta penampilan
maupun penampatannya pada tubuh harus tidak menghalangi penggunaan
obat
7. Sistem harus tidak memungkinkan pengembangbiakan bakteri kulit di
dalam keadaan tertutup
Dua tipe dasar pada sistem penyampaian obat secara transdermal :
1. Yang dapat mengatur laju obat untuk diberikan pada kulit
2. Yang dapat memungkinkan kulit untuk mengatur absorpsi obat
Tipe kedua ini berguna untuk obat-obat yang daya cakupan konsentrasi
plasmanya luas terhadap efektivitas obat,tetapi tidak menjadi racun. Untuk
tipe ini,bentuk sediaan transdermal dapat dikembangkan ke dalam
berbagai ukuran dan konsentrasi obat dalam darah melalui penambahan
ukuran pemakaian transdermal sehingga tercapai efek yang diinginkan.
D. Keuntungan dan Kekurangan
Keuntungan-keuntungan sistem pemberian obat secara transdermal adalah
sebagai berikut :
1. Menghindari kesulitan absorpsi obat melalui saluran cerna disebabkan
oleh pH saluran cerna, aktivitas enzim, interaksi obat dengan makanan,
minuman atau pemberian obat secara oral lainnya.
2. Menggantikan pemakaian obat melalui mulut bila tidak sesuai karena
muntah dan/atau diare
3. Menghindari first-pass effect , yaitu penglepasan pertama suatu bahan obat
melalui sistemik dari sirkulasi portal,yang menyertai absorpsi pada saluran
cerna(dengan cara demikian mungkin menghindari obat nonaktif oleh
saluran cerna dan enzim-enzim dalam hati)
4. Menghindari risiko dan ketidaksesuaian terapi secara parenteral dan
bermacam-macam absorpsi serta metabolisme yang berhubungan dengan
terapi secara oral
5. Menyediakan kemampuan untuk terapi berhari-hari dengan pemakaian
tunggal , dengandemikian akan memperbaiki keadaan pasienpada
pemakaian bentuk-bentuk sediaan lainnya yang memerlukan penggunaan
dosis yang lebih sering
6. Memperpanjang aktivitas obat yang mempunyai waktu paruh yang pendek
melalui penyimpanan obat yang ada pada sistem pemberian terapeutik dan
sifat pengaturan dan penglepasannaya yang terkendali
7. Menyediakan kemampuan menghentikan efek obat secara tepat (apabila
diperlukan secara klinik ) dengan cara melepaskan pemakaian obat dari
permukaan kulit
8. Menyediakan kemudahan identifikasi secara cepat tentang pengobatan
dalam keadaan darurat (misalnya tidak menerima,tidak sadar,atau pasien
dalam keadaan koma)
Kekurangan-kekurangan sistem pemberian secara transdermal adalah sebagai
berikut :
1. Cara pemberian melalui kulit tidak sesuai untuk obat-obat yang
menimbulkan iritasi atau peka pada kulit
2. Hanya obat-obat yang relatif mempunyai potensi yang sesuai disampaikan
melalui kulit oleh karena sifat impermeabilitas kulit , sehingga obat yang
masuk menembus pada kulit terbatas
3. Kesukaran teknis sehubungan dengan pelekatan dari sistem pada kulit
dengan tipe yang berbeda-beda, dan di bawah kondisi lingkungan yang
bermacam –macam serta perkembangan gambaran penyampaian obat
dengan laju terkendali yang menguntungkan baik secara terapeutik
maupun secara ekonomi zat obat yang lebih banyak.

E. PENGUJIAN PELEPASAN OBAT RUTE TRANSDERMAL


Pengujian ini bertujuan untuk menentukan kesesuaian pelepasan obat
dengan persyaratan yang tercantum pada masing-masing monografi. Gunakan
alat yang tercantum pada monografi.
RUTE TRANSDERMAL –PELEPASAN OBAT SECARA UMUM
Alat 5 ( Dayung di atas Cakram )
Gunakan dayung dan labu dari Alat 2 seperti tertera pada Uji Disolusi
<1231> dengan penambahan suatu cakram baja tahan karat yang dirancang
untuk menahan sediaan transdermal pada dasar labu. Cakram untuk menahan
sediaan transdermal dirancang agar volume tak terukur antara dasar labu
dengan cakram minimal. Cakram menahan sediaan secara datar ditempatkan
sedemikian rupa sehingga permukaan pelepasan sejajar dengan bilah dayung
(Lihat Gambar 1). Jarak 25 mm ± 2 mm antara bilah dayung dengan
permukaan cakram dipertahankan selama penetapan. Alat-alat yang sesuai
lainnya dapat digunakan asalkan tidak menyerap, tidak bereaksi dengan zat
aktif atau tidak mengganggu cuplikan yang diuji.
Gambar 1. Dayung di atas cakram (Semua pengukuran dinyatakan dalam mm
kecuali jika dinyatakan lain).
Prosedur
Masukkan sejumlah volume media disolusi ke dalam labu, pasang alat
tanpa cakram dan biarkan media hingga mencapai suhu 32 ± 0,5°. Lekatkan
sediaan uji pada cakram, pastikan agar permukaan pelepasan sediaan serata
mungkin. Sediaan dapat dilekatkan pada cakram dengan menggunakan perekat
yang sesuai pada cakram. Keringkan selama 1 menit. Tekan sediaan,
permukaan pelepasan menghadap ke atas pada sisi cakram yang dilapisi
perekat. Jika digunakan suatu membran sebagai penyangga sediaan, tidak
boleh terdapat gelembung antara membran dan permukaanpelepasan.
Letakkan cakram secara mendatar pada dasar labu dengan permukaan
pelepasan menghadap ke atas dan sejajar dengan ujung bilah dayung dan
permukaan media disolusi.Ujung dayung bagian bawah berjarak 25 mm ± 2
mm dari permukaan cakram. Labu dapat ditutup selama penetapan untuk
mengurangi penguapan.Segera jalankan alat pada kecepatan seperti
terterapada masing-masing monografi. Pada setiap interval waktu
pengambilan cuplikan, ambil cuplikan dari bagian tengah antara permukaan
media disolusi dan bagian atas bilah dayung, tidak kurang 1 cm dari dinding
labu. Lakukan penetapan kadar tiap cuplikan seperti tertera pada masing-
masing monografi, jika perlu lakukan koreksi terhadap setiap kehilangan
volume. Ulangi pengujian dengan sediaan transdermal lainnya.
Waktu
Waktu pengambilan cuplikan umumnya tiga titik, dinyatakan dalam
satuan jam. Cuplikan harus diambil dalam batas toleransi ± 15 menit atau ± 2
% dari waktu yang tertera pada masing-masingmonografi. Pilih toleransi yang
menghasilkan interval waktu paling sempit.
Interpretasi
Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan
dipenuhi jika jumlah bahan aktif yang dilepas dari sediaan dan larut dalam
media disolusi memenuhi kriteria Tabel keberterimaan 1 untuk rute
transdermal. Lakukan penetapan hingga tahap 3 kecuali hasil pada tahap
sebelumnya telah memenuhi syarat L1 atau L2.

Alat 6 (Silinder)
Gunakan labu dari Alat 1 seperti tertera pada Uji Disolusi <1231>,
kecuali keranjang dan tangkai pemutar diganti dengan elemen pemutar silinder
yang terbuat dari baja tahan karat, dengan spesifikasi seperti tertera pada
Gambar 2.Sediaan uji ditempatkan pada silinder pada permulaan tiap
penetapan. Jarak antara bagian dalam labu dan silinder dipertahankan pada 25
mm ± 2 mm selama penetapan.
Media Disolusi
Gunakan media seperti tertera pada Uji Disolusi <1231>.
Prosedur
Masukkan sejumlah volume media disolusi ke dalam labu dari alat
yang ditentukan dalam tiap monografi, pasang alat dan panaskan Media
disolusi hingga mencapai suhu 32 ± 0,50. Kecuali dinyatakan lain dalam
monografi, siapkan sistem uji sebagai berikut. Ambil garis pelindung dari
sistem dantempatkan sisi perekat pada sepotong Curophan yang lebih besar,
tidak kurang 1 cm pada semua sisi sistem.[Catatan Gunakan Curophan tipe
150 pm, tebal 11 ± 0,5 µm, inert, bahan selulosa berpori yang tersedia dari
Medicell International Ltd 230 Liverpool Road, London]. Tempatkan sistem
dan Curophan (menutup sisi bawah) pada permukaan yang bersih dan gunakan
bahan perekat yang sesuai pada batas Curophan yang terpapar. Keringkan
selama 1 menit. Gunakan sisi sistem yang terlapisi perekat secara hati-hati
pada bagian luar silinder sehingga sumbu axis yang panjang tetap di sekeliling
silinder. Tekan lapisan/Curophan untuk menghilangkan gelembung udara
yang terperangkap. Tempatkan silinder dalam alat dan dengan segera putar
pada kecepatan seperti tertera pada masing-masing monografi.
Dalam interval waktu yang dinyatakan, ambil sejumlah Media disolusi untuk
analisis dari daerah tengah antara permukaan media disolusi dan ujung silinder
yang berputar, tidak kurang 1 cm dari dinding labu. Lakukan analisis seperti
tertera pada masing-masing monografi, jika perlu lakukan koreksi kehilangan
volume. Jika perlu ulangi pengujian menggunakan sediaan tambahan.
Waktu
Lakukan seperti tertera pada Alat 5.
Interpretasi
Kecuali dinyatakan lain dalam masing- masing monografi, persyaratan
dipenuhi jika jumlah bahan aktif yang dilepas dari sediaan dan larut dalam
media disolusi memenuhi kriteria Tabel keberterimaan 1 untuk rute
transdermal. Lakukan penetapan hingga tahap 3 kecuali hasil pada tahap
sebelumnya telah memenuhi syarat L1 atau L2.

Alat 7 (Penyangga Bolak-balik)


Catatan Alat ini terutama digunakan untuk sediaan transdermal, tetapi
dapat juga digunakan untuk berbagai bentuk sediaan lain.
Alat
Terdiri dari 1 set wadah larutan yang terkalibrasi secara volumetri atau
tertara, terbuat dari kaca atau bahan inert1lain yang sesuai, motor dan kemudi
yang dipasang untuk menggerakkan sistem turun naik secara vertikal dan
mengarahkan sistem secara horizontal secara otomatis ke deret labu yang
berbeda jika diinginkan, dan satu set penyangga cuplikan yang sesuai (Lihat
Gambar 3 dan Gambar 4a – 4d).
Wadah larutan sebagian dicelupkan dalam tangas air dengan ukuran
yang sesuai sehingga memungkinkan terpeliharanya suhu, T, di dalam wadah
pada 32 ± 0,50 atau dalam rentang yang diinginkan, seperti dinyatakan
dalam tiap monografi, ĺselama uji. Tidak ada satupun bagian alat
termasuklingkungan di mana alat dipasang yang berkontribusi pada
pergerakan, agitasi atau getaran yang bermakna yang mempengaruhi
kehalusan, gerakan turun naik penyangga cuplikan secara vertikal. Alat yang
memungkinkan pengamatan sistem dan penyangga selama uji lebih disukai.
Gunakan ukuran wadah dan tempat sampel sebagaimana ditentukan pada
masing-masing monografi.
Media Disolusi
Gunakan seperti tertera pada monografi, lihat Uji Disolusi <1231>.
Sampel B (Sediaan Rute Transdermal)
Tekan sistem ke dalam selembar Curophan kering yang belum pernah
digunakan, jaring nilon atau yang setara dengan sisi perekamenghadap
substrat terpilih dengan berhati-hati untuk mengurangi gelembung udara
antara permukaan substrat dengan permukaan pelepasan. Pasang sistem pada
penyangga sampel yang ukurannya sesuai dengan cincin-O yang sesuai
sehingga bagian belakang sistem erdekatan/berbatasan dan di tengah-tengah
dasar penyangga sampel berbentuk cakram atau berpusat mengelilingi
lingkaran luar penyangga sampel berbentuk silinder. Buang kelebihan substrat
dengan pisau yang tajam.
Interpretasi
Kecuali dinyatakan lain dalam monografi, uji memenuhi syarat jika
jumlah bahan aktif yang dilepaskan dari sistem dan larut dalam Media disolusi
memenuhi kriteria Tabel keberterimaan 3 untuk tablet bersalut pada Uji
Disolusi <1231>; Tabel keberterimaan 6 untuk sediaan transdermal. Lakukan
penetapan hingga tahap 3 kecuali hasil pada tahap sebelumnya telah
memenuhi syarat L1 atau L2.
F. SISTEM PENGANTARAN OBAT TRANSDERMAL
Sistem penghantaran obat transdermal umumnya disebut film, merupakan
sediaan obat dirancang untuk menghantarkan obat melalui kulit mencapai efek
terapetik. Sistem penghantaran obat transdermal bertujuan menurunkan efek
samping yang disebabkan oleh terapi secara oral. Prinsip sediaan transdermal
yaitu menghantarkan obat melalui epidermis untuk mencapai efek sistemik
dalam waktu tertentu (Patel dkk., 2012). Sistem penghantaran obat
transdermal memudahkan penghantaran sejumlah bahan obat terapetik
melewati kulit dan masuk dalam sirkulasi sistemik (Ansel dkk., 2011).
Kombinasi polimer diperlukan agar mendapatkan karakteristik fisik yang baik
dan pelepasan obat yang efektif.
Komponen film transdermal meliputi
a. Obat
Obat merupakan komposisi yang penting dalam system penghantaran obat
transdermal. Parameter yang digunakan dalam obat yang ideal yaitu dengan
melihat sifat fisika kimia dan sifat farmakologi yang tepat diantaranya obat
mengalami metabolisme lintas pertama oleh hati dan obat yang memiliki
indeks terapi sempit atau obat yang memiliki waktu paruh pendek, memiliki
berat molekul kurang dari 1000 dalton, sehingga diberikan melalui rute
transdermal (Dhiman dkk., 2011).
b. Polimer
Polimer merupakan tulang punggung dari system penghantaran obat
transdermal dan dirancang dengan memperhatikan kriteria tertentu untuk
mendapatkan system penghantaran obat yang efektif. Polimer tidak hanya
mempengaruhi pengontrol pelepasan obat tetapi juga menjaga keseimbangan
adhesi dan kohesi sifat fisika kimia obat, kompaktibilitas dan stabilitas dengan
komponen kulit (Patel dkk., 2012). Polimer yang digunakan harus non reaktif,
tidak terurai pada penyimpanan, tidak beracun, dan biayanya tidak mahal.
Contoh dari polimer antara lain derivat selulosa, silikon, polivinil alkohol,
polivinil klorida, polivinil pirolidon (Dhiman dkk., 2011).
c. Peningkat penetrasi
Peningkat penetrasi (enhancer) merupakan komponen yang digunakan
membantu dalam penyerapan penetran melalui kulit dengan menurunkan
impermeabilitas kulit. Peningkat penetrasi harus inert, tidak mengiritasi, tidak
beracun, tidak menimbulkan alergi, kompatibel dengan obat dan eksipien,
tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, murah dan juga memiliki sifat
pelarut yang baik (Gupta dkk., 2005).
d. Pelekat
Pelekat merupakan komponen yang digunakan perekat sensitif terhadap
tekanan yang dapat di tempatkan pada bagian depan maupun belakang sediaan
transdermal. Beberapa syarat perekat antara lain dapat melekat pada kulit,
mudah untuk dihilangkan, tidak meninggalkan sisa pada kulit yang sukar
dicuci, tidak mengiritasi kulit (Hafeez dkk., 2013).
e. Plasticizer
Plasticizer merupakan komponen yang digunakan untuk memperbaiki
kerapuhan polimer dan memberikan sifat fleksibel pada film transdermal.
Plasticizer umumnya berupa cairan organik yang tidak mudah menguap atau
mencair pada suhu rendah, bila ditambahkan pada polimer dapat terjadi
perubahan sifat fisik dan kimianya (Gungor dkk., 2012).
f. Backing laminates
Backing laminates digunakan sebagai bahan penunjang. Lapisan backing
harus tahan terhadap bahan kimia dan bahan pembantu yang kompatibel
karena kontak yang lama antara lapisan backing dan eksipien dapat
menyebabkan sifat aditif atau permeasi melalui lapisan. Backing laminates
harus memiliki tingkat kelembaban uap air yang rendah dan harus memiliki
elastisitas yang optimal, fleksibilitas, dan kekuatan tarik). Contohnya etilen
vinil asetat, polietilen, polipropilen, polivinil crolid dan poliuretan (Gungor
dkk., 2012).
g. Release linear
Fungsi dari Release linear untuk melindungi film selama penyimpanan dan
linear dilepas terlebih dahulu sebelum digunakan pada kulit. Contoh release
linier polyester foil dan metal laminasi (Patel dkk., 2012). Release linier
dianggap sebagai bagian dari bahan kemasan primer bukan bagian dari bentuk
sediaan untuk memberikan obat (Gungor dkk., 2012).
h. Pelarut
Berbagai pelarut seperti kloroform, metanol, aseton, isopropanol dan
diklorometana digunakan untuk melarutkan atau menyiapkan obat (Gungor
dkk., 2012).

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, B.M.G. and Sushma, S., 2015. Chemical Permeation Enhancement
Through Skin. International Journal, 3(8), pp.644-651.
Ansel, Howard C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press).
Ansel, Howard C. 2011. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Dhiman, S., Singh, T., dan Rehni, A,. 2011. Transdermal Patch: A Recent
Approach to New Drug Delivery System. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Science, 3, 26-34.
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI. 2020. Farmakope
Indonesia. Edisi 6. Jakarta
Goodman, M.P., 2012. Are all estrogens created equal? A review of oral vs.
transdermal therapy. Journal of Women's Health, 21(2), pp.161-169.
Gungor, S., Erdal, M.S, and Ozsoy, Y. 2012. Plasticizer in Transdermal Drug
Delivery System, in Luqman, M., Recent Advances in Plasticizers, In
Tech, Shanghai, pp 91-112.
Gupta, P.N., Mishra, V., Rawat, A., Dubey, P., Mahor, S., Jain, S., Chatterji, D.P.
and Vyas, S.P., 2005. Non-invasive vaccine delivery in transfersomes,
niosomes and liposomes: a comparative study. International journal of
pharmaceutics, 293(1), pp.73-82.
Hafeez, A., Jain U., Singh J., Mauray A., Rana L,. 2013. Recent Advences in
Transdermal Drug Delivery System (TDDS): An Overview, Journal of
Scientific and Innovative Research. Vol 2 (3): 695-709.
Langford, R., McKenna, F., Ratcliffe, S., Vojtassák, J. and Richarz, U., 2006.
Transdermal fentanyl for improvement of pain and functioning in
osteoarthritis: A randomized, placebo‐controlled trial. Arthritis &
Rheumatism, 54(6), pp.1829-1837.
Loyd V. Allen, J. P. (2011). Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and Drug
Delivery Systems, Ninth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins, Wolters Kluwer Health.
Pandey, A., Mittal, A., Chauhan, N., & Alam, S. 2014. Role of Surfactants as
Penetration Enhancer in Transdermal Drug Delivery System. J Mol Pharm
Org Process Res, 2(113), 2.
Patel, D., Chaudhary, S.A., Parmar, B, and Bhura, N. 2012. Transdermal Drug
Delivery System: A Review, The Pharma Journal, (14): 16-75.
Pathan, I.B. and Setty, C.M., 2009. Chemical penetration enhancers for
transdermal drug delivery systems. Tropical Journal of Pharmaceutical
Research, 8(2).
Prausnitz, M.R., Mitragotri, S. and Langer, R., 2004. Current status and future
potential of transdermal drug delivery. Nature Reviews Drug Discovery,
3(2), pp.115-124.
Ramteke, K. H., Dhole, S. N., & Patil, S. V. 2012. Transdermal drug delivery
system: a review. Journal of Advanced Scientific Research, 3(1), 22-35.
Syamsuni. 2006. FARMASETIKA DASAR DAN HITUNGAN FARMASI. Jakarta :
EGC.
Walters, K.A. 2004. Dermatological and Transdermal Formulation. Marcel
Dekker. New York. 18, 25-26, 33, 103-105, 210, 337-338.
Williams, A. C., & Barry, B. W. 2012. Penetration enhancers. Advanced drug
delivery reviews, 64, 128-137.

Anda mungkin juga menyukai