Anda di halaman 1dari 14

KEGUNAAN SEMIOTIKA

OLEH :

MUNAWARA
NIM : 80400217008

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2018
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan pola pikir manusia merupakan sebuah bentuk

perkembangan yang mendasari terbentuknya suatu pemahaman yang merujuk

pada terbentuknya sebuah makna. Apabila kita amati, kehidupan kita saat ini tidak

pernah terlepas dari makna, persepsi, atau pemahaman terhadap apapun yang kita

lihat. Sekatang kita lihat benda-benda yang ada disekeliling kita. Sering sekali kita

tanpa memikirkan bentuk dan wujud benda tersebut kita sudah bisa mengetahui

apa nama dari benda itu. Ketika kita mengendarai sepeda motor atau mobil di

jalan raya, maka kita bisa memaknai setiap bentuk tanda lalu lintas yang

bertebaran dijalan raya. Seperti traffic light misalnya, atau tanda “Dilarang Parkir”

dan lain sebagainya. Pernahkah terlintas dalam benak kita sebuah pertanyaan

“mengapa tanda ini dimaknai begini?, meengapa symbol itu dimaknai sedemikian

rupa.” Kajian keilmuan yang meneliti tentang kajian simbol atau tanda dan

kontruksi makna yang terkandung dalam tanda tersebut dinamakan dengan

semiotik.

Semiotika atau semiology berarti ilmu tanda-tanda (sign) secara

sistematik. Semiotik menunjukkan bidang kajian khusus, yaitu sistem yang secara

umum dipandang sebagai tanda, seperti puisi, rambu-rambu lalu lintas, dan

sebagainya. Fungsionalitas elemen tanda bisa kita pahami dengan melihat apa

fungsi tanda tersebut dalam kehidupan bermasyarakat.


2

B. Rumusan Masalah

Dalam pembahasan makalah ini, penulis lebih berfokus pada satu

permasalahan saja, yaitu apa urgensi atau kegunaaan dari semiotika?


3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kegunaan Semiotika

Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam

teori komunikasi. Tradisi semiotic terdiri atas sekumpulan teori tentang

bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan

dan kondisi diluar tanda-tanda itu sendiri.1

Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung

dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui

bagaimana komikator mengkontruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak terlepas

dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang

menjadi ranah pemikiran masyarakat dimana simbol tersebut diciptakan. Kode

kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah symbol

menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda

tersebut. Konstruksi makna inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya

sebuah ideology dalam sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam

cultural studies. Semiotic tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan

pemikiran dari pembentukan makna dalam suatu tanda. Semiotic mempelajari

sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-

tanda tersebut mempunyai arti.2

1
Stephen W. Littejohn, Teori Komunikasi Theories of Human Communication, Edisi 9
(Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 53.
2
Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2007), h. 261
4

Perangkat pengertian semiotika dapat diterapkan pada semua bidang

kehidupan, asal saja prasyaratnya dipenuhi, yakni bahwa ada arti yang dapat

diberikan (interpretasi) kepadanya. Seorang semiotikus dapat mulai bekerja

dimanapun semiosis berlangsung, dimana tanda berfungsi, dimana tanda

dipergunakan, baik di dalam maupun di luar komunikasi. 3

Apabila muncul pertanyaan, “Apa tujuan penggunaan perangkat

pengertian itu?” dan „Apa yang hendak dikerjakan dengannya?‟ maka masalahnya

tidaklah terlalu sederhana. Jawaban yang dapat diberikan atas kedua pertanyaan

tersebut bergantung pada fungsi yang dipegang oleh semiotikus. Karena mereka

yang menguasai pengertian semiotic kecuali apabila ia seorang teoritikus murni

seperti seorang dokter, arsitek, sejarawan seni, ahli bahasa, mahasiswa sastra, ahli

antropologi budaya, dan lain sebagainya, bentuk pertanyaan tersebut tidaklah

mesti sama. Itulah sebabnya mengapa mengajukan permasalahan umum untuk

semiotika atau mengajukan suatu model untuk penelitian semiotis, menurut hemat

saya tidaklah masuk akal. Pada umumnya dapat ditetapkan adanya dua

kemungkinan arah pandangan. Seorang arsitek dapat melihat bidangnya dari sudut

semiotika, ia dapat mempertanyakan apa yang dapat ia kerjakan dengan

pengertian yang ia pinjam dari semiotika dalam arsitektur dan pertanyaan baru

yang mana yang dapat ia kemukakan. Jadi, arsitektur menjadi bidang terapan

semiotika. Seorang arsitek juga dapat melihat semiotika dari bidangnya sendiri,

3
Aart Van Zoest, Overteken, hoe ze werken en wat we armee doen, Terj. Ani Soekowati,
Semiotika, tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya (Cet. I; Jakarta:
Yayasan Sumber Agung, 1993), h. 54.
5

arsitektur, yakni apa yang dapat disumbangkannya bagi teori semiotika umum dari

penemuan-penemuannya dalam bidang arsitektur. Dalam hal ini arsitektur

menjadi bidang penelitian semiotika. Keadaannya akan sangat ideal apabila antara

dua sikap tersebut ada proses/kerja timbal balik, ahli tersebut mencobakan

perangkat yang ia peroleh dari suatu teori, kemudian memberikan umpan balik

(feed back) pada teori tersebut.

Tugas seorang teoritikus semiotika, di satu pihak, adalah mengusahakan

bidang terapan bagi konsep yang diperlukan dan mengarahkan pertanyaan-

pertanyaan dan di lain pihak, menjadikan yang terakhir itu sebagai bidang

penelitian, pertama-tama dengan mengetahui pengalaman-pengalaman yang

diperoleh melalui semiotika dalam bidang itu, dan juga dengan mengkaitkan

konsekuensi-konsekuensi mengenai penambahan teori yang mungkin diperlukan

seperlunya.

Dalam paragraf-paragraf berikut saya menyoroti beberapa bidang terapan,

dalam pengertian bahwa semiotika sastra dibahas lebih panjang lebar, dan

sejumlah permasalahan dan pertanyaan yang mungkin muncul dalam bidang-

bidang terapan lainnya akan dipertanyakan secara singkat tanpa pretense untuk

membahasnya secara mendalam dan sistematis. Tetapi sebelumya saya akan

mengemukakan suatu pandangan, memberikan contoh, dan mengajukan sebuah

daftar bidang terapan dan penelitian.

Bagian gramatika semiotis yang pada akhirnya akan dibicarakan adalah

pragmatic. Tiada tanda, tiada pemakaian tanda, dan juga niscaya tanpa kesadaran

yang mengolah tanda. Yang menjadi pokok persoalan adalah mengetahui apa
6

yang dikerjakan dengan tanda-tanda; apa yang dikerjakan manusia kalau ia

dihadapkan pada tanda-tanda. Dengan perkataan lain, pertanyaan semiotis yang

paling menarik pada akhirnya adalah pertanyaan mengenai produksi dan

komsumsi arti. Meskipun demikian, pengajuan pertanyaan pragmatis seperti itu

selalu didahului oleh pengajuan pertanyaan sintaksis dan semantic. 4

Karya sastra merupakan dunia yang otonom, yang tidak terikat kepada

dunia nyata dan tidak menunjuk pada dunia nyata, kecuali melalui makna unsur

bahasa yang dipakai di dalamnya. 5 Karya sastra bukan hanya sebagai sarana

komunikasi yang biasa, dan mempunyai banyak segi aneh dan luar biasa kalau

dibandingkan dengan tindak komunikasi yang lain, tetapi pemahaman gejala ini

yang sesuai dan tepat tidak mungkin tanpa memperhatikan aspek komunikatif atau

dengan istilah lain karya sastra dapat dipandang sebagai gejala semiotik. 6 Di

dalam karya sastra terdapat aturan-aturan, sistem-sistem dan konvensi yang dapat

memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Salah satu karya sastra yang

merupakan gejala semiotik atau sebagai tanda adalah serat. Makna yang terdapat

di dalam karya sastra serat dapat mengacu kepada sesuatu yang ada di luar

maupun di dalam karya sastra.

Serat sebagai salah satu ragam puisi Jawa klasik yang dapat diterapkan

dalam kehidupan manusia karena mempunyai makna yang tinggi. Ajaran-ajaran

dan nilai-nilai yang ada dalam serat dapat dijadikan pedoman hidup masyarakat
4
Aart Van Zoest, Overteken, hoe ze werken en wat we armee doen, Terj. Ani Soekowati,
Semiotika, tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya, h. 55-56.
5
Teeuw, A.. Membaca dan Menilai Sastra (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), h.
21.
6
Teeuw, A., Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya,
1984), h. 43.
7

dalam melangsungkan kehidupannya sehari-hari. Masyarakat tradisional sastra

adalah alat yang sangat penting untuk mempertahankan model dunia yang sesuai

dengan adat-istiadat dan pandangan dunia konvensional dan untuk menanamkan

pada angkatan muda kode nilai tingkah laku dan kode etik (Teeuw 1983:8). Nilai-

nilai luhur yang ada dalam karya sastra yang berupa serat memberi tuntunan bagi

pendidikan moral, etika, dan budi pekerti yang sebaiknya dilakukan oleh

masyarakat.

Manfaat yang dapat diambil dari memahami dan mempelajari makna dan

ajaran-ajaran yang ada di dalam serat adalah mengenal kebudayaan yang berupa

karya sastra pada masa silam untuk kepentingan masa sekarang dan masa yang

akan datang. Sekarang banyak masyarakat yang tidak mengerti pentingnya moral

dan prinsip hidup dalam hidupnya sehari-hari. Moral yang bobrok karena

kurangnya pendidikan tentang etika, sopan santun dan pengendalian diri.

Pimpinan yang belum bisa membuat rakyatnya makmur sejahtera karena hanya

mengutamakan kepentingan pribadi, sehingga rakyat menjadi menderita dan

timbul kesenjangan sosial.

Sebuah contoh yang langsung membuka kemungkinan bidang terapan

adalah hubungan antara pasien dengan dokter. Seorang pasien pergi ke dokter, dan

ia menyampaikan keluhannya. Anggap saja ia mengeluh tentang rasa lelah yang

teramat sangat. Rasa lelah itu oleh dokter dianggap sebagai tanda, yakni simtom.

Sementara ia menentukan denotasinya (katakanlah, hati yang kurang berfungsi) ia

menginterpretasikannya (pasien itu sakit kuning). Dokter melihat tanda tersebut

sebagai tanda, merupakan kejadian pragmatis yang sama sekali tidak menjadi
8

masalah bagi dokter itu. Tanda itu didahului oleh tanda lain yang lebih global,

pasien itu mendatangi dokter, dan itu merupakan tanda, sinyal, yang menjadikan

dokter itu waspada dalam menyeleksi tanda-tanda yang mengarahkannya pada

suatu diagnose. Maka ia pun berkata, “Katakanlah, apa keluhan anda.” Dengan itu

ia mengundang si pasien untuk mengemukakan simtom-simtom.

Menginterpretasikan simtom merupakan kerja semantic si dokter.

Tetapi seringkali pasien terlalu sedikit mengemukakan simtom pada

dokter, dan berdasarkan itu dokter tidak mau beranggapan bahwa kerja

semantisnya sudah selesai, yakni dengan menyatakan diagnose. Ia ingin

mengetahui simtom-simtom lain yang dapat memberinya dasar yang lebih kuat

dalam menyatakan pendapatnya. Maka ia bertindak sebagai sintaksikus semiotis.

Karena sementara ia menginterpretasikan simtom yang pertama, ia akan

mempergunakan pengetahuannya tentang tanda dan system tanda yang dapat

mendetonasikan kurang berfungsinya hati; ia memeriksa putih matah pasiennya

dan menyuruh memeriksakan paeces dan urinenya. Ia melakukannya berdasarkan

pengetahuannya mengenai kerjasama tanda-tanda dari system tanda yang

berlainan yang mempunyai denotasi yang sama yang dapat mengarahkan pada

interpretasi yang sama pula.

Saya disini menekankan pentingnya mengakui kenyataan, bahwa untuk

menjadi seorang dokter yang baik, dokter yang dapat mengetahui arti simtom

serta mengetahui apa yang mesti diperbuat dengan simtom tersebut, tidak cukup

dengan hanya sekedar menjadi seorang semantikus dan pragmatikus semiotis yang

baik. Bahwa dokter itu membuat diagnose yang akurat dan sesudah konsultasi dia
9

menyampaikannya pada pasien secara tepat, kemudian menuliskan resep dengan

tepat, tentu saja penting. Tetapi untuk keperluan tersebut, setidaknya sama

pentingnya, dokter itupun seorang sintaktikus semiotika yang baik, orang yang

mengetahui tanda yang mana yang harus diperhatikan dan bagaimana ia harus

menghubungkan tanda-tanda itu satu sama lain. Mungkin dia harus

memperhatikan kerut vertical di atas hidung pasien, muka yang pucat,

pembengkakan, hidung yang memerah, perut buncit dan mata tanpa sinar;

bagaimana pasien itu bergerak, duduk, dan bagaimana ia hidup, apakah dalam

hidupnya ia kerja keras, cukup tertawa, cukup bergembira atau tidak. Tambahan

pula, dokter itu harus pula memperhatikan hal-hal pragmatic pada diri pasien.

Apakah simtom-simtom tersebut betul-betul merupakan simtom atau mungkin

merupakan sinyal-sinyal tersembunyi? Apakah semua keluhan dalam kunjungan

kedokter itu mungkin tidak lain adalah ratapan diam-diam pasien untuk

mendapatkan perhatian? Apakah pasien sebetulnya hanya datang dengan akal

bulus untuk mengalihkan perhatian dari tanda-tanda yang mendenotasikan

kekurangan lain yang lebih mendalam, sehingga harus diinterpretasikan secara

lain? Apabila halnya demikian, maka kesimpulannya harus lain, bukan resep

untuk pil atau minuman.

Contoh dokter sebagai seorang semitikus yang saya uraikan di atas berulah

setengahnya. Dokter itu hanya tampil sebagai penerima tanda. Ini tentu saja

merupakan persoalan paling penting dalam bidang pekerjaannya. Meskipun

demikian, juga penting untuk disadari bahwa ia pun penting sebagai pengirim

tanda. Saya mengenal seorang dokter yang para pasiennya, sebelum diperkenalkan
10

masuk ke ruang praktek untuk diperiksa, harus menunggu di ruang tunggu

sedikitnya dua jam, sekalipun pasien telah membuat janji sebelumnya. Ruang

tunggunya gersang tanpa hiasan. Kuda buta tidak akan menyebabkan kerugian di

situ. Satu tanda lagi, tanda ketiga, ruang tunggu itu penuh dengan pasien-pasien

lain. Tanda pertama dapat diinterpretasikan sebagai, „Saya harus rela berkorban

untuk bisa menebus jalan hingga menemui dokter.‟ Tanda kedua, „saya tidaklah

berarti.‟ Tanda ketiga, „saya adalah salah satu diantara sekian banyak orang.‟

Semua tanda itu mendenotasikan kedudukan pasien di hadapan dokter. Tanda-

tanda lain ikut mendukung denotasi tersebut: suara nyaring dari loket ikut

memanggil oasien yang mendapat giliran, bacaan yang sudah tua di ruang tunggu,

perawat berbaju putih yang menjaga jarak diri bagai pendeta-perantara, peralatan

menakutkan yang tidak dipahami pasien yang ada di dalam kamar praktek, meja

biro yang kokoh mengesankan. Kemudian berbagai tanda lain yang langsung

melekat pada dokter: pandangannya, logat bicaranya, waktu yang dipakai sebelum

mulai angkat bicara dengan pasien, cara memakai dan melepaskan kacamata, cara

ia mengngkapkan sesuatu pada pasien. Semua tanda yang diberikan oleh dokter

itu mempengaruhi perilaku semiotis pasien. Dan keseluruhan kompleks dari

pengiriman dan penerimaan tanda itu harus diperhitungkan dalam kegiatan

interpretasi.

Ccontoh cara kerja tanda dalam praktek ini sengaja saya berikan. Contoh

penerapan konsep-konsep semiotis dalam melukiskan dan kalau perlu

menerangkan proses-proses tanda ini saya harap lebih meyakinkan ketimbang

contoh-contoh lain yang mungkin ada. Hal ini tentu saja merupakan kegiatan
11

semiotis yang tidak terabaikan. Uraian apa yang terjadi dimana tanda berperan,

dapat memberikan gambaran tentang berfungsinya (sebuah) tanda dan bahkan

dapat membuka kemungkinan untuk membuat suatu perbaikan yang diharapkan.

Uraian dan analisis seperti itu biasanya terlintas dalam pikiran pada waktu bidang

terapan semiotika dibicarakan. Tetapi tidak ada salahnya untuk menyadari bahwa

disinipun berlaku ‘the taste of the pudding in the eating.’ Hanya analisis demi

analisis, akan tetap merupakan membuat pudding tanpa memakannya.‟ Jumlah

bidang terapan semiotika yang mungkin, sebagaimana telah dikemukakan

sebelumnya pada prinsipnya tidaklah terbatas. Jadi tidak dapat disebutkan satu

persatu.7

7
Aart Van Zoest, Overteken, hoe ze werken en wat we armee doen, Terj. Ani Soekowati,
Semiotika, tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya, h. 56-58.
12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah ini berdasarkan rumusan masalah yang diangkat

bahwa kegunaan semiotika adalah mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan

tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal. Sebagai

pengetahuan praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda, khususnya

yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas

kehidupan melalui efektivitas dan efesiensi. Jadi, pemanfaatan sistem tanda secara

benar mempermudah aktivitas kehidupan. Jadi fungsi dari semiotik itu intinya

adalah membuat kita peka terhadap apa yang ada disekitar kita.
13

DAFTAR PUSTAKA

Kriyantono, Rahmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2007.


Littejohn, Stephen W. Teori Komunikasi Theories of Human Communication,
Edisi 9. Jakarta: Salemba Humanika, 2009.
Teeuw, A. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1983.
Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya,
1984.
Zoest, Aart Van. Overteken, hoe ze werken en wat we armee doen, Terj. Ani
Soekowati, Semiotika, tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita
Lakukan Dengannya. Cet. I; Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993.

Anda mungkin juga menyukai