http://sarifudinbastra.blogspot.co.id/2011/12/tindak-tutur-lokusi-ilokusi-
dan.html
1) Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu dan hanya bersifat
informatif.
Contoh:
1. Jari tangan manusia jumlahnya sepuluh.
2. Kerbau merupakan binatang bermamah biak.
3. Kendari Ibu Kota Sulawesi Tenggara terletak di jazirah tenggara pulau
Sulawesi yang memiliki 10 kabupaten dan 2 kota.
4. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Hasan Wirayuda mengatakan bahwa
hubungan antara RI dan Malaysia semakin renggang akhir-akhir ini.
5. Mamat belajar membaca.
Kelima kalimat di atas dituturkan oleh penuturnya semata-mata untuk
menginformasikan sesuatu tanpa ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi
untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
Kalimat tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962:
100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus,
yaitu:
Tindak Tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti
“berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.
Misalnya, “ ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya”. Searle menyebut
tindak tutur lokusi ini dngan istilah tindak bahasa preposisi karena tindak tutur ini
hanya berkaitan dengan makna.
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan
kalimat performatif yang eksplisit. Tindak ilokusi ini biasanya berkenaan dengan
pemberian izin, mengucapkan terima kasih, menyuruh menawarkan, dan
menjanjikan. Misalnya, ibu guru menyuruh saya agar segera berangkat”. Kalau tindak
tutur ilokusi hanya berkaitan dengan makna, maka makan tindak tutur ilkusi berkaitan
dengan nilai, yang dibawakan preposisinya.
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan
orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non linguistik dari orang lain itu.
Misalnya, karena adanya ucapan dokter (kepada pasiennya) “ mungkin ibu menderita
penyakit jantung koroner”, maka si pasien akan panik atau sedih. Ucapan si dokter itu
adalah tindak tutur perlokusi.
http://www.guruberbahasa.com/2016/05/pengertian-tindak-tutur-menurut-
para.html
Austin mengemukakan bahwa aktivitas bertutur tidak ha nya terbatas pada penuturan
sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu. Pendapat Austin ini
didukung oleh Searle (dalam Rusminto 2010: 22) dengan mengatakan bahwa unit
terkecil komunikasi bukanlah kalimat, melainkan tindakan tertentu, seperti membuat
pernyataan, pertanyaan, perintah, dan permintaan.
Chaer (2004: 16) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual,
bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si
penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada
makna atau arti tindakan dalam tuturannya , sedangkan Tarigan (1990: 36)
menyatakan bahwa berkaitan dengan tindak tutur maka setiap ujaran atau ucapan
tertentu mengandung m aksud dan tujuan tertentu pula. Dengan kata lain, kedua
belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu tujuan kegiatan yang
berorientasi pada tujuan tertentu. Sesuai dengan keterangan tersebut, maka instrumen
pada penelitian ini mengacu pa da teori tindak tutur.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah teori yang
mengkaji makna bahasa yang didasarkan pada hubungan tuturan dengan tindakan
yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tuturnya dalam berkomunikasi. Arti - nya,
tuturan baru bermakna jika direalisasikan dalam tindakan komunikasi nyata.
ANALISIS BENTUK TINDAK TUTUR (SPEECH
ACT) BERDASARKAN KONTEKS
Posted on Januari 15, 2011by meldawatifirman
1. II. LANDASAN TEORITIS
2. A. Tindak Tutur (Speech Act)
Austin (1962: 94-95) dan Searle (1969: 16) sama-sama menganggap tuturan adalah
tindakan yadn disebut tindak tutur (speech act). Austin (1962: 109-120) membagi
tindak tutur menjadi tiga, yaitu tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak
perlokusioner. Tindak lokusioner adalah tindak tutur dengan makna tuturan itu persis
sama dengan makna kata-kata yang di dala kamus atau makna gramatikal. Tindak
illokusioner adalah tindak tutur yang penutur menumpangkan maksud tertentu di
dalam tuturan itu. TIndak perlokusioner adalah tindakan yang muncul akibat
seseorang melakukan tindak tutur tertentu.
Searle (1976:1-24) mengelompokkan tindak tuturan menjadi lima jenis, yaitu (1)
tindak tutur representarif, (2) direktif, (3) ekspresif, (4) komisif, dan (5) deklaratif.
Tindak tutur representative adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya atas
kebenaran yang dikatannya. Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan
oleh penutur agar petutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Tindak tutur direktif mencakupi tindak tutur menyuruh, memohon, menyarankan,
menghimbau, dan menasihati. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yagn
dilakukan dengan maksud untuk menilai atau mengevaluasi hal yang disebutkan di
dalam tuturannya itu. Memuji dan mengkritik tergolong tindak tutur ekspresif. Tindak
tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan hal
yang disebutkan di dalam tuturan itu. Berjanji atau bersumpah termasuk dalam tindak
tutur komisif. Tindak tutur deklaratif adalah tindak tutur yang dilakukan denan
maksud menciptakan keadaan yang baru. Membatalkan dan mengizinkan termasuk
tindak tutur deklarasi. Topik penkajian analisis ini adalah analisis bentuk tindak
tutur (speech act) berdasarkan konteksnya.
1. B. Konteks
Konsep teori konteks dipelopori oleh antropolog Inggris Bronislow Malinowski. Dia
berpendapat bahwa untuk memahami ujaran harus diperhatikan konteks situasi.
Berdasarkan analisis konteks situasi dapat dipecahkan aspek-aspek bermakna bahasa
sehingga aspek-aspek linguistic dan aspek nonlinguistic dapat dikorelasikan (Pateda,
1994).
Selanjutnya Pateda mengatakan pada intinya teori konteks adalah (1) makna tidak
terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata. Tetapi terpadu pada ujaran
secara keseluruhan dan (2) makna tidak boleh ditafsirkan secara dualis (kata dan
acuan) atau secara trialis (kata, acuan dan tafsiran) tetapi merupakan satu fungsi atau
tugas dalam tutur yang dipengaruhi oleh situasi.
Hymes (1964) mengemukakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan
komponen yang tersimpulkan dalam akronim SPEAKING. Kedelapan komponen
tersebut adalah:
Beberapa aturan atau norma berbahasa yang berfungsi dalam suatu tindak tutur sering
terdapat dalam peristiwa bahasa adalah: (a) tindak tutur memberitahu adalah
memberitahu sesuatu kepada lawan tuturnya, (b) tindak tutur perintah atau imperative
merupakan peristiwa atau kalimat yang meminta lawan tutur untuk melakukan
tindakan sesuai dengan maksud penutur, (c) tindak tutur bertanya adalah dimana
penutur ingin mendapatkan suatu informasi dari lawan tutur, (d) tindak tutur minta
maaf merupakan permintaan penutur kepada lawan tutur untuk menyampaikan
penyesalannya karena telah melakukan suatu kesalahan atau suatu kejadian yang
dirasakan kurang sopan, (e) tindak tutur basa basi merupakan adat sopan santun atau
tata krama pergaulan penutur kepada lawan tutur, (f) tindak tutur mengritik adalah
penutur memberikan kecaman dan tanggapan atau pertimbangan, (g) tindak
pernyataan merupakan hal tindakan mengatakan atau menyelaskan, permakluman,
dan pemberitahuan, (h) tindak tutur penegasan merupakan penjelasan atau penentua
atau menerangkan, (i) tindak tutur persetujuan merupakan persetujuan merupakan
pernyataan setuju dan mufakat, cocok, sesuai, (j) tindak tutur pengulangan, balik lagi
dan kembali ke semula, kembali mengungkapkan apa yang sudah dikatakan, (h)
tindak tutur permohonan merupakan meminta sesuatu dengan hormat terhadap
mendapat sesuatu.
Werth (dalam yasin 1991) membagi konteks atas : konteks situasional (ekstra
linguistik) dan konteks linguistik. Konteks situasional diperinci lagi menjadi konteks
budaya dan konteks langsung. Pembagian itu digambarkan pada diagram berikut:
Konteks langsung terdiri atas lima unsur (1) setting, meliputi tempat, waktu dan
situasi, (2) partisipan, ialah pihak-pihak yang terlibat, (3) saluran bentuk bahasa lisan
atau tulisan, (4) topik pembicaraan, (5) fungsi bahasa.
Topik : Bertetangga
1. 1. Transkripsi Percakapan
Setting: Waktu percakapan sekitar pukul 08.15 WIB di depan rumah petakan yang
disewa oleh Ibu I dan Ibu II. Ibu I berusia kira-kira 26 tahun, suku Minang,
mempunyai anak satu orang masih bayi, menyewa petakan di sebelah petakan sewaan
Ibu II. Ibu II berusia kira-kira 37 tahun, suku Minang, Panggilan akrabnya Bunda,
mempunyai dua orang anak bertetangga dengan Ibu I.
Pagi itu Ibu I akan menjemur pakaian di jemuran depan rumahnya, terlihat Ibu II
sedang bersih-bersih di halamannya.
Ibu I : (Sambil menjemur pakaian, Ia menyapa Ibu II) “ Lagi bersih-bersih Nda?”
Ibu II : (Senyum, sambil menoleh sedikit ke arah Ibu I tanpa mengubah posisi
duduknya, tangannya sibuk mencabuti rumput liar yang tumbuh di halamannya) “Ya,
sudah terlalu panjang. Sudah hampir sampai ke pintu.” (tertawa kecil)
Ibu I : (Ikut tertawa juga) “Iya, ya, Nda. Apalagi musim hujan begini, tumbuhnya
cepat sekali.”
Ibu II : “Ho Oh.”
Ibu I : “Kami juga… Ntar Nda, Tiara terbangun..” (Tiba-tiba pembicaraan terputus.
Ibu I berlari ke dalam rumahnya karena terdengar tangis anaknya yang tadinya lagi
tidur)
1. 2. Analisis
2. Secara umum percakapan dalam wacana lisan di atas terkesan sangat akrab
karena Ibu I dan Ibu II sudah lama saling mengenal. Walaupun Ibu I sudah tahu
bahwa Ibu II sedang bersih-bersih, tetap saja menanyakannya.
“Lagi bersih-bersih Nda?” Kalimat ini walaupun bersifat interogatif sesungguhnya
hanya berfungsi sebagai sapaan untuk membuka percakapan.
1. Jawaban “Ya” dari Ibu II menyatakan persetujuan bahwa dia memang sedang
bersih-bersih. “Sudah terlalu panjang. Sudah hampir sampai ke pintu.”(kalimat
deklaratif) Pernyataan ini hanya untuk memperakrab suasana. Walaupun
rumputnya sudah panjang dan tumbuh banyak tidak beraturan, tidak mungkin
sampai ke pintu karena antara pintu dengan halaman ada teras.
2. Pernyataan Ibu I “Iya, ya, Nda. Apalagi musim hujan begini, tumbuhnya
cepat sekali.” (kalimat deklaratif) menyetujui perkataan Ibu II dan seolah-olah
mempertegas dan mencarikan penyebab dari pernyataan Ibu II tadi.
3. Pernyataan Ibu II “Ho Oh.” Juga merupakan persetujuan dari penegasan Ibu
I. Dari pernyataan ini terlihat bahwa Ibu I dan Ibu II sesungguhnya mempunyai
pemikiran yang sama mengenai topik yang sedang mereka bicarakan.
4. Pernyataan selanjutnya dari Ibu I memang belum selesai, tetapi kalau diteliti
dari dua kata yang baru saja diucapkan (“Kami juga…”) dapat dikatakan kalau
Ibu I akan menyatakan sesuatu bahwa keadaan halaman rumahnya sama halnya
dengan Ibu II.
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan percakapan antara Ibu I
dengan Ibu II hanyalah untuk menjaga keakraban di antara mereka. Suasana itu
terlihat dari hampir seluruh pembicaraan yang diwarnai oleh senyum dan tertawa.
Memang terdapat kalimat yang tidak sempurna, kadang-kadang sulit diberi label. Hal
itu juga dapat diterima dalam percakapan lisan karena konteks percakapan dan unsur-
unsur paralinguistic sangat membantu untuk memahami ilokusi masing-masing.
Dapat bahwa upaya menjaga keakraban dengan orang lain dapat dilakukan dengan
banyak cara. Orang bisa menyatakan keadaan keluarga, menyapa, bercanda, dan hal
ringan lainnya. Akan tetapi yang sangat penting adalah percakapan itu perlu dihiasi
dengn senyum atau ketawa. Hampir tidak ada percakapan mengakrabkan diri yang
terkesan kaku.
Kesimpulannya, wacana lisan di atas mempunyai konteks sebagai berikut:
S : Setting, dalam wacana “bertetangga” adalah pukul 08.15 WIB di depan rumah
petakan yang disewa oleh Ibu I dan Ibu II.
P : Participant, yang terlibat dalam pembicaraan wacana “bertetangga” adalah Ibu I
berusia kira-kira 26 tahun, suku Minang, mempunyai anak satu orang masih bayi,
menyewa petakan di sebelah petakan sewaan Ibu II. Ibu II berusia kira-kira 37 tahun,
suku Minang, Panggilan akrabnya Bunda, mempunyai dua orang anak bertetangga
dengan Ibu I.
E : End, tujuan pembicaraan dalam wacana “bertetangga” adalah untuk menjaga
keakraban di antara ibu I dan ibu II.
A : Act Sequeces, dalam wacana “bertetangga” ada berupa lokusi, perlokusi dan
illokusi
K : Key, Penutur dalam wacana “bertetangga’ menggunakan basa-basi dalam
menjaga keakraban
I : Instrument, bahasa yang digunakan dalam wacana “bertetangga” adalah ragam
lisan.
N : Norm, dalam wacana “bertetangga” ada berupa kalimat interogaif yang
sebenarnya hanya berfungsi sebagai sapaan, dan beberapa kalimat deklaratif untuk
menyatakan persetujuan dalam menjaga keakraban.
G : Genre, penutur dalam wacana “bertetangga” adalah ibu rumah tangga dalam
kegiatan sehari-harinya.
IV. PENUTUP
Konteks sangat penting dalam memahami dan menafsirkan wacana. Konteks sesuatu
yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika orang berusaha memperoleh makna yang
sesungguhnya dari informasi yang didengar atau dibacanya. Menentukan konteks
dalam pemahaman wacana tentu saja dengan memberikan penafsiran terhadap
SPEAKING (setting, participant, end, act sequences, key, instrument, norm, and
genre)
Daftar Pustaka
Djajasudarma, T. Fatimah. 1991. Wacana ke Arah Pemahaman Teks. Bandung:
Program Pascasarjana UNPAD.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKIS.
Hymes, Dell (Ed). 1964. language In Culture and Society. New York: Harper and
Row.
Van Dijk, Teun. 1997. Text and Context, Exploration In The Semantics and
Pragmatics of Discourse. London: Longman Group Limited.
https://duniapengetahuan2627.blogspot.co.id/2013/02/tindak-tutur-dan-jenis-
jenisnya.html