Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TEKNIK PENGELOLAAN DAN PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

“PENYAMAKAN KULIT SAPI”


Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah TPPHP

Disusun Oleh:

Sonna Cahyadi Nugraha

125009005

FAKULTAS PERTANIAN

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

UNIVERSITAS SILIWANGI

2014
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaaniraahiim

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Dengan mengucapkan puji dan syukur kekhadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat dan Karunia-Nya, akhirnya saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Penyamakan Kulit Sapi” . Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknik Pengelolaan dan Pengolahan Hasil
Pertanian.

Dalam penyusunan makalah ini, saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah


ini masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan
waktu. Namun demikian, penyusun berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat.
Maka dari itu diharapkan saran dan kritik yang membangun guna memperbaiki dalam
penyusunan makalah di masa yang datang.

Dengan segala kerendahan hati, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membimbing, membantu mengarahkan dan memotivasi saya
dalam penyusunan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tasikmalaya, 14 Januari 2014

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ···································································· i

DAFTAR ISI ················································································ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ···························································· 1


B. RUMUSAN MASALAH ························································· 2
C. TUJUAN ············································································ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. KULIT ··············································································· 3
B. PENGAWETAN ·································································· 4
C. PENYAMAKAN ·································································· 5

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ···································································· 13
B. SARAN ············································································· 13

DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kulit sapi ialah bagian paling luar daging sapi. Kulit sapi biasanya dikeringkan
dan digoreng menjadi rambak. Kulit merupakan organ tunggal tubuh paling berat,
pada sapi sekitar 6-8%, dan domba 8-12%, dengan demikian kulit juga merupakan
hasil ikutan ternak yang paling tinggi nilai ekonominya yaitu sekitar 59% dari nilai
keseluruhan by-product yang dihasilkan oleh seekor ternak.

Epidermis merupakan bagian kulit paling atas tersusun dari sel epitel pipih
kompleks, pada lapisan ini juga terdapat asesori epidermis seperti rambut, kelenjar
minyak, kelenjar keringat, dan otot penegak rambut. Di bawahnya terletak lapisan
dermis atau kulit jangat yang tersusun dari jaringan ikat padat. Pada lapisan paling
bawah terdapat hipodermis yang tersusun dari jaringan ikat longgar, jaringan
adiposa, dan sisa daging.

Pada proses penyamakan, kulit jangat inilah yang akan disamak dan diubah
menjadi kulit samak yang bersifat lentur, fleksibel, kuat dan tahan terhadap
pengaruh cuaca dan serangan mikroba. Lapisan epidermis tersusun dari jaringan
ikat keratin yang relatif tahan terhadap serangan bahan kimia maupun
agen biologi (mikroba dan ensim). Pada kulit terdapat dua jenis keratin yaitu
keratin lunak yang menyusun akar rambut dan lapisan epidermis bawah, dan
keratin keras menyusun batang rambut. Keratin lunak mudah larut dan mudah
diserang oleh ensim (misal alkalin protease), sedangkan keratin keras sangat tahan
terhadap bahan kimia dan ensim kecuali sulfida dan keratinase.

Kulit samak adalah kulit hewan yang telah diubah secara kimia guna
menghasilkan bahan yang kuat, lentur, dan ntahan terhadap pembusukan. Hampir
semua kulit samak diproduksi dari kulit sapi, domba dan kambing. Kadang-kadang
kulit samak juga dihasilkan dari kulit kuda, babi, kangguru, rusa, reptil, lumba-
lumba dan singa laut. Akhir-akhir ini kulit ikan kakap, kulit ikan pari dan
ikan tuna juga telah disamak.

1
Kulit samak digunakan untuk menghasilkan berbagai macam barang
seperti sepatu, sendal, tas, ikat pinggang, koper, jaket, topi, jok mobil,
sarung HP, dompet dan cindera mata seperti gantungan kunci. Barang kerajinan
lain yang dihasilkan dari kulit mentah misalnya wayang kulit, hiasan
dinding, kaligrafi, beduk, genderang, kendang, dan kipas.

Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolah kulit mentah


menjadi kulit jadi. Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri yang
didorong perkembangannya sebagai penghasil devisa non migas. Industri
Penyamakan kulit sebagai salah satu industri yang berpotensi menghasilkan
limbah, terutama tanin, kromium, suspensi solid, BOD, COD dan klorida.

Ditinjau dari pentingnya proses penyamakan kulit dalam industri kerajinan


kulit, maka saya mengangkat judul “Penyamakan Kulit Sapi”, proses ini
merupakan pra pengolahan kulit sapi sebelum dijadikan produk kerajinan seperti
sepatu, sabuk, jaket, dll.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu penyamakan kulit sapi?
2. Bagaimana proses penyamakan kulit sapi?
3. Apa tujuan proses penyamakan kulit sapi?
4. Apa hasil dari penyamakan kulit sapi?

C. TUJUAN

Adapun tujuan dari makalah ini adalah :

1. Mengetahui pengertian penyamakan kulit itu sendiri


2. Mengetahui proses penyamakan kulit sapi
3. Mengetahui kegunaan dari penyamakan kulit dalam industry
4. Mengetahui apa yang didapat dari hasil penyamakan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. KULIT

Komoditas kulit digolongkan menjadi kulit mentah dan kulit samak


(Purnomo, 1985). Menurut Judoamidjojo (1974), kulit mentah adalah bahan
baku kulit yang baru ditanggalkan dari tubuh hewan sampai kulit yang
mengalami proses-proses pengawetan atau siap samak. Kulit mentah
dibedakan atas kulit hewan besar (hides) seperti sapi, kerbau, steer, dan
kuda, serta kelompok kulit yang berasal dari hean kecil (skins) seperti kambing,
domba, calf, dan kelinci (Purnomo, 1985) termasuk di dalamnya kulit hewan
besar yang belum dewasa seperti kulit anak sapi dan kuda.

Menurut Judoamidjojo (1974), secara topografis kulit dibagi menjadi 3


bagian. Gambar 1 menunjukkan topografi kulit hewan secara umum.

a. Daerah krupon, merupakan daerah terpenting yang meliputi kira-


kira 55% dari seluruh kulit dan memiliki jaringan kuat dan rapat serta
merata dan padat.
b. Daerah leher dan kepala meliputi 3% bagian dari seluruh kulit.
Ukurannya lebih tebal dari daerah krupon dan jaringannya bersifat
longgar serta sangat kuat.
c. Daerah perut, paha, dan ekor meliputi 22% dari seluruh luas kulit.
Bagian tersebut paling tipis dan longgar.

Komposisi kimia kulit terdiri atas air, protein, lemak, garam mineral, dan
zat lainnya (Fahidin, 1977). Kandungan air pada tiap bagian kulit tidaklah
sama. Bagian yang paling sedikit mengandung air adalah krupon (bagian
punggung), selanjutnya berturut-turut adalah bagian leher dan perut (Purnomo,
1985). Kadar air berbanding terbalik terhadap kadar lemak. Jika kadar
lemaknya tinggi maka kadar airnya rendah (Purnomo, 1985). Tabel 1
menunjukkan komposisi kimia kulit mentah segar. Terlihat dalam Tabel 1
bahwa kandungan protein pada kulit memiliki presentasi yang tinggi sehingga

3
harus segera dilakukan proses pengawetan dan penyamakan agar kulit tahan
lama.

Komposisi substansi kimia kulit domba mentah segar

Komponen Presentase (%)


Air 64
Protein 33

Protein fibrous

-elastin 0.3

-kolagen 29

Lemak 2
-keratin 2
Garam mineral 0.5
Zat lain 0.5
Protein globular
Sumber: Sharephouse (1978)

-albumin, globulin
B. PENGAWETAN 1

Proses pengawetan dilakukan


-mucin, mucoidpaling lambat lima jam setelah proses
0.7
pengulitan menjadi kulit mentah segar. Proses pengawetan meliputi proses
penggaraman dan pengeringan bertujuan untuk mencegah serta membatasi
pertumbuhan bakteri pembusuk Proses pengawetan dapat dilakukan dengan
beberapa cara:

1. Pementangan

Kulit mentah yang sudah dibersihkan pada suatu bingkai segi empat
yang terbuat dari kayu, bambu atau papan, kemudian dijemur dengan
kemiringan 60o dari tanah dan permukaan daging mengarah ke atas.
Lama penjemuran untuk kulit sapi antara 2 sampai 4 hari, sedang kulit

4
kambing dan domba cukup 1 sampai 2 hari.

2. Pickle

Yaitu cairan yang terdiri dari larutan garam dapur (NaCl) dengan
asam sulfat (H2SO4) atau asam formit (H3COOH) dengan perbandingan
tertentu. Pengerjaan dengan pickle harus melalui proses siap samak,
sehingga telah bersih dari segala kotoran. Kulit siap samak tersebut
dimasukkan ke dalam asam, diaduk perlahan-lahan dan kemudian
didiamkan selama satu malam. Menurut Aten (1966), pengawetan
dengan cara penggaraman terbagi menjadi penggaraman kering (dry
salting) dan penggaraman basah (wet salting). Stanley (1993),
menambahkan bahwa penggaraman merupakan metode pengawetan yang
paling mudah dan efektif. Reaksi osmosis dari garam mendesak air
keluar dari kulit hingga tingkat kondisi yang tidak memungkinkan
pertumbuhan bakteri.

Menurut Fahidin dan Muslich (1999), garam yang digunakan dalam


pengawetan kulit memiliki beberapa fungsi yaitu: 1) mengambil air
dari kulit sehingga menghalangi pertumbuhan bakteri busuk; 2)
membentuk reaksi plasmolisis mikroorganisme; dan 3) meracuni
mikroorganisme. Garam yang biasa dipakai adalah garam dapur (NaCl)
dan garam khari (NaCl 50% dan Na2SO4

50%) (Judoamidjojo, 1974). Fahidin dan Muslich (1999)


menambahkan bahwa syarat-syarat garam yang digunakan sebagai
berikut: butiran garam 1 mm, kadar Ca dan Mg tidak boleh lebih dari
2%, serta bebas dari besi.

C. PENYAMAKAN

Kulit mentah segar bersifat mudah busuk karena merupakan media


yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya organisme. Kulit mentah
tersusun dari unsur kimiawi seperti: protein, karbohidrat, lemak, dan mineral.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan proses pengwetan kulit sebelum kulit diolah

5
lebih lanjut.

Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan.


Dengan demikian, kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap
serangan mikroorganisme (Judoamdjojo, 1981). Prinsip mekanisme
penyamakan kulit adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam anyaman
atau jaringan serat kulit sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak
dan serat kulit (Purnomo, 1991).

Menurut Fahidin dan Muslich (1999), teknik penyamakan kulit


dikelompokkan menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra penyamakan,
penyamakan, dan pasca penyamakan.

1. Prapenyamakan

Proses pra-penyamakan (Beam Open House Operation) meliputi


perendaman, pengapuran, pembuatan daging, pembuangan kapur, pengikatan
proten, pemucatan dan pengasaman (Purnomo, 1992).

a. Perendaman (soaking) merupakan tahapan pertama dari proses


penyamakan yang bertujuan mengembalikan kadar air kulit yang hilang
selama proses pengawetan sehingga kadar airnya mendekati kadar air
kulit segar. Bienkiewicz (1983) menambahkan bahwa tujuan perendaman
adalah membuang zat padat seperti pasir, kerikil, parasit, sisa darah,
urin, dan kotoran. Pencegahan proses pembusukan dalam
perendaman dapat dilakukan dengan cara: 1) mengusahakan agar air
perendaman tetap dingin, terutama di musim panas perlu digunakan
thermometer; 2) penambahan sedikit bakterisida (Mann, 1980).

b. Tujuan pengapuran adalah menghilangkan epidermis dan bulu,


kelenjar keringat dan lemak, dan menghilangkan semua zat-zat yang
bukan collagen yang aktif menghadapi zat-zat penyamak. Oleh karena
semua proses penyamakan dapat dikatakan berlangsung dalam
lingkungan asam maka kapur di dalam kulit harus dibersihkan sama
sekali. Kapur yang masih ketinggalan akan mengganggu proses
penyamakan. Proses ini menggunakan enzim protese untuk melanjutkan
pembuangan semua zat- zat bukan collagen yang belum terhilangkan

6
dalam proses pengapuran antara lain:

1) Sisa- sisa akar bulu dan pigmen

2) Sisa- sisa lemak yang tak tersabunkan

3) Sedikit atau banyak zat- zat kulit yang tidak diperlukan artinya
untuk kulit atasan yang lebih lemas membutuhkan waktu proses
bating yang lebih lama Sisa kapur yang masih ketinggalan (Purnomo,
1992).

c. Proses buang daging (fleshing) bertujuan menghilangkan sisa-sisa


daging (subcutis) dan lemak yang masih melekat pada kulit. Proses buang
bulu (scudding) bertujuan menghilangkan sisa-sisa bulu beserta
akarnya yang masih tertinggal pada kulit (Fahidin dan Muslich, 1999).

d. Pembuangan kapur (deliming) bertujuan untuk menurunkan pH


yang disebabkan sisa kapur yang masuk masih terdapat pada kulit
(Purnomo,

1992). Proses buang kapur biasanya menggunakan garam ammonium


sulfat (ZA). Garam itu memudahkan proses pembuangan kapur karena
tidak ada pengendapan-pengendapan dan tidak terjadi pembengkakan
kulit (Fahidin dan Muslich, 1999).

Ca(OH)2+(NH)2SO4 CaSO4+2NH4OH

e. Pelumatan (bating) bertujuan untuk membuka atau melemaskan kulit


lebih sempurna secara enzimatik. Bahan yang digunakan adalah
oropon/enzilen, yaitu bahan paten yang dibuat dari pankreas dan garam-
garam ammonium sebagai aktivator (Judoamidjojo et al., 1979).
Menurut Purnomo (1985), tujuan dari proses bating adalah
menghilangkan sisa-sisa akar bulu dan pigmen, sisa lemak yang tidak
tersambungkan, dan menghilangkan sisa kapur yang masih tertinggal.
Proses bating diperlukan terutama untuk pembuatan kulit halus dan lemas,
misalnya kulit box, pakaian, dan sarung tangan (Fahidin dan Muslich,
1999).

7
Menurut Mann (1980), waktu bating yang berlebihan dapat
menyebabkan kulit menjadi lepas dan menipis karena banyak protein
yang terhidrolisis sehingga mengakibatkan kekuatan tarik menjadi
rendah. O’ Flaherty (1956) menyatakan bahwa waktu bating yang terlalu
singkat menyebabkan terjadinya pemisahan serat-serat fibril yang tidak
sempurna, penetrasi bahan penyamak kurang merata, permukaan terluar
dari serabut lebih tersamak sehingga kulit menjadi mudah patah, kaku,
dan keras.

f. Pengasaman (pikling) berfungsi untuk mengasamkan kulit sampai


pH tertentu sebelum proses penyamakan krom, jadi dilakukan penurunan
pH kulit menjadi 3 (Jayusman, 1990). Selain itu, pengasaman juga
dilakukan untuk menghilangkan noda hitam pada kulit akibat proses
sebelumnya atau unsur besi pada kulit, serta hilangnya noda putih
karena pengendapan CaCO3 yang menyebabkan cat dasar tidak merata
(Purnomo, 1992).

2. Penyamakan

Penyamakan adalah seni atau teknik dalam mengubah kulit mentah yang
bersifat labil menjadi kulit samak yang lebih permanen (Judoamidjojo,
1984; Brotomulyono et al., 1986). Penyamakan bertujuan mengubah kulit
mentah yang memiliki sifat tidak stabil menjadi kulit tersamak yang
mempunyai sifat stabil dan bahan pokok dari proses ini adalah kulit siap
samak dan bahan samak (Purnomo,

1992). Fahidin dan Muslich (1999) juga menyebutkan bahwa bahan mineral
yang digunakan pada proses penyamakan adalah garam yang berasal dari
logam alumunium, zirkanium, ferum, cobalt, dan kromium. Keuntungan
penggunaan krom adalah penyamakan lebih cepat, murah, serta mudah
diwarnai.

Penyamakan kulit dapat dikelompokkan berdasarkan bahan penyamak


yang digunakan, yaitu: 1) samak nabati, menggunakan bahan penyamak asal
tumbuhan; 2) samak mineral, menggunakan bahan penyamak mineral seperti

8
Al, Cr, atau Zn; 3) samak sintesis, menggunakan bahan penyamak sintetik
seperti aromatic syntans, resin, dan apiphatic syntans; 4) samak aldehid,
menggunakan bahan penyamak aldehid seperti minyak ikan, gluteraldehid,
formaldehid (Shapouse, 1983).

Cara penyamakan dengan bahan penyamakan mineral dengan


menggunakan bahan penyamak krom, yaitu zat penyamak krom yang biasa
digunakan adalah bentuk kromium sulfat basa. Basisitas dari garam krom
dalam larutan menunjukkan berapa banyak total velensi kroom diikat oleh
hidriksil sangat penting dalam penyamakan kulit. Pada basisitas total antara
0-33,33%, molekul krom terdispersi dalam ukuran partikel yang kecil
(partikel optimun u ntuk penyamakan). Zat penyamak komersial yang paling
banyak digunakan memunyai basisitas 33,33%. Jika zat penyamak krom ini
ingin difiksasikan didalam substansi kulit, maka basisitas dari cairan krom
harus dinaikkan sehingga mengakibatkan bertambah besarnya ukuran partikel
zat penyamak krom. Dalam penyamakan diperlukan 2,5- 3,0% Cr2O3 hanya
25 %, maka dalam pemakainnya diperlukan 100/25 x 2,5 % Cromosol B=
10% Cromosol B. Obat ini dilarutkan dengan 2-3 kali cair, dan direndam
selama 1 malam. Kulit yang telah diasamkan diputar dalam drum dengan
80- 100%air, 3-4 % garam dapur (NaCl), selma 10-15 menit kemudian bahan
penyamak krom dimasukkan sbb:

 1/3 bagian dengan basisitas 33,3 % putar selama 1 jam

 1/3 bagian dengan basisitas 40-45 % putar selama 1 jam

 1/3 bagian dengan basisitas 50 % putar selama 3 jam.

Cara penyamakan dengan bahan penyamak aluminium (tawas putih),


yaitu kulit yang telah diasamkan diputar dengan:

 40- 50 % air

 10% tawas putih

 1- 2% garam, putar selama 2-3 jam lu ditumpuk selama 1 malam

 Esok harinya kulit diputar lagi selama ½ – 1 jam, lalu digantung

9
dan dikeringkan pada udara yang lembab selama 2-3 hari. Kulit diregang
dengan tangan atau mesin sampai cukup lemas (Shapouse, 1983).

Penyamakan kulit dapat juga dilakukan dengan kombinasi bahan


penyamak misalnya menggunakan alumunium pada tahap pendahuluan
kemudian dilanjutkan dengan bahan nabati seperti mimosa-puder (Oetojo et al.,
1987).

3. Pasca Penyamakan

Pasca penyamakan bertujuan membentuk sifat-sifat tertentu pada kulit terutama


berhubungan dengan kelemasan, kepadatan, dan warna kulit. Proses tersebut
terdiri dari netralisasi, pewarnaan, perminyakan, pengecatan, pengerinngan
dan peregangan (Fahidin dan Muslich, 1999).

a. Penetralan (neutralization) bertujuan mengurangi kadar asam dari kulit


wet blue agar tidak menghambat proses pengecatan dasar dan
perminyakan (Purnomo, 1992). Menurut Judoamidjojo (1974),
penetralan bertujuan memperlambat reaksi pengikatan zat warna pada
substansi kulit sehingga zat warna dapat meresap ke dalam substansi
kulit sebelum berikatan.

b. Pewarnaan dasar memiliki fungsi sebagai pemberian warna dasar pada


kulit tersamak seperti yang diinginkan (Purnomo, 1992). Pemberian
warna disesuaikan dengan bentuk produk akhir yang direncanakan.
Warna coklat sering digunakan pada tahap pengecatan dasar.

c. Perminyakan (fat liquoring) bertujuan melicinkan serat kulit sehingga


lebih tahan terhadap gaya tarikan, menjaga serat kulit agar tidak lengket
sehingga lebih lunak dan lemas, dan memperkecil daya serap.
Selain itu, dimaksudkan agar kulit menjadi lebih fleksibel atau lebih
mudah dilekuk- lekukan dan tidak mudah sobek. Caranya dapat
dilakukan dengan meminyaki permukaan dengan mengulas, pelemasan
dengan tong berputar atau pencelupan dalam lemak panas (Purnomo,
1992). Hal itu penting untuk menarik konsumen saat pemasaran produk.

10
Menurut Thorstensen (1985), jenis minyak yang umum digunakan dalam
proses peminyakan adalah trigliserida yang diperoleh dari tumbuh-
tumbuhan, ikan laut, dan hewan.

d. Pengecetan bertujuan untuk memenuhi selera konsumen. Pengecatan


zat warna hanya melekat di permukaan dalam media bahan perekat yang
fungsinya melekatkan warna dan memperbaiki permukaan kulit.

e. Pengeringan bertujuan untuk menghentikan semua reaksi kimia di


dalam kulit. Biasanya dilakukan selama 1-3 hari pada udara biasa agar
kulit menyesuaikan kelembaban udara sekitarnya.

f. Peregangan dilakukan dengan tujuan untuk menarik kulit sampai


mendekati batas kemulurannya, agar jika dibuat barang kerajinan tidak
terlalu mulur, tidak merubah bentuk ukuran.

Mutu kulit samak (leather) selain dipengaruhi oleh proses yang dilakukan
di industri penyamakan kulit, juga sangat bergantung pada mutu kulit
mentah sebagai bahan dasarnya. Sementara itu, mutu kulit mentah dipengaruhi
oleh kerusakan kulit yang terjadi pada saat hewan hidup, pemotongan, dan
pengawetan (Willamson dan Payne, 1993). Tancous et al. (1981) membagi
kerusahan kulit mentah menjadi:

a. Kerusakan antemoterm, yaitu kerusakan yang terjadi pada hewan hidup.

b. Kerusakan postmortem, yaitu kerusakan yang terjadi pada waktu


pengulitan, pengawetan, penyimpanan, dan transportasi.

Selain kerusakan tersebut, mutu kulit juga dipengaruhi oleh bangsa, jenis
kelamin, dan umur ternak waktu dipotong (Tancous et al., 1981). Menurut
Mann (1966), bangsa sapi untuk produksi susu atau domba untuk produksi
wool mempunyai kulit yang tipis karena nutrisi makanan yang diserap tubuh
digunakan untuk memproduksi susu/wool. Tingginya kadar lemak dalam
kroium maupun subcutis merupakan faktor penurunan kualitas lainnya yang
dipengaruhi bangsa domba (Tancous et al., 1981). Kulit seperti itu juga dapat
mempengaruhi kualitas kulit samak karena kekuatan tarik dan kemuluran kulit
samak menjadi rendah.

11
Dikatakan pula pada setiap spesies terapat perbedaan antara kulit
hewan jaantan dan betina. Perbedaan pokoknya adalah kulit hewan betina
mempunyai rajah yang lebih halus daripada kulit hewan jantan. Pada umumnya,
kulit hewan betina mempunyai bobot rata-rata lebih ringan dari kulit hewan
jantan tetapi mempunyai daya tahan renggang yang lebih besar. Namun
demikian, karena permintaan kulit di pasar sangat besar maka perbedaan kedua
jenis kelamin dapat diabaikan dan tidak dianggap sebagai suatu defek.

Perbedaan yang dipengaruhi oleh umur hewan dapat menurunkan mutu


setelah menjadi kulit samak. Kulit yang berasal dari hewan muda pada
umumnya mempunyai struktur yang halus tetapi kompak, berajah sangat halus
tetapi kurang tahan terhadap pengaruh dari luar dibandingkan kulit hewan yang
lebih tua. Sebaliknya bila hewan semakin tua, lapisan rajah makin kuat
dan kasar. Disamping itu, akan semakin banyak yang mengalami luka-luka
sehingga makin banyak tenunan parutnya, bekas luka oleh penyakit parasit,
guratan, cap bakar, dan lainnya.

12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai penyamakan kulit di atas dapat kita


ketahui bahwa proses penyamakan kulit terdiri dari beberapa proses, yaitu
pengawetan, pengurangan kadar garam, perontokan bulu, pencucian,
pembuangan daging, pembuangan kapur, pencucian, pengasaman (pikel),
penyamakkan (tanning), penipisan atau penyerutan, pewarnaan dasar, pencucian,
pengeringan, perenggangan, spraying, penyetrikaan, serta pengukuran dan
penyortiran. Pada proses produksi industri ini menghasilkan beberapa jenis
limbah yang digolongkan berdasarkan bentuk yaitu limbah padat dan limbah
cair. Limbah padat diantaranya adalah garam yang berwarna kemerahan,
daging sisa, dan serbuk kulit. Sedangkan limbah cair adalah air sisa pencucian,
larutan kapur, larutan asam, dan larutan chrom.

B. SARAN
Hal yang perlu diperhatikan dalam proses penyamakan adalah pengolahan
limbah dari proses penyamakan kulit, karena sisa-sisa bahan yang terbuang dari
proses penyamakan akan menjadi limbah yang akan menimbulkan dampak
lingkungan, baik dari segi kesehatan maupun secara sosial. hal ini diperhatikan
mengingat selain dari sisi ekonomi suatu uasa perlu juga diperhatikan dari sisi
kesehatan dan dampaknya terhadap lingkungan. Dalam suatu system pebangunan
yang baik tentunya akan mempertimbangkan dampak yang akan timbul dari suatu
usaha tersebut. Apakah layak dan aman untuk dijalankan atau tidak.

13
DAFTAR ISI

Aten ARF. 1966. Flying and Curing of Hide and Skin as A Rural Industry. FAO
Fahidin dan Mislich. 1999. Ilmu dan Teknologi Kulit. Fateta. IPB. Bogor.
Judoamidjojo M. 1974. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Departemen
eknologi Hasil Pertanian. Fateta. IPB. Bogor.
Mann I. 1980. Rural Tanning Techniques. Food and Agriculture Organization
of The United Nations. Rome
Oetojo B. 1996. Penggunaan Campuran Kuning Telur dan Putih Telur
untuk Peminyakan Kuit. Majalah Barang Kulit, Karet, dan Plastik. 12
(24):47-53.
O’Flaheri, Reddy FOT, Lollar MR. 1956. The Cemicals and Technology
of Leather. Reinhold Publishing Corporation. New York.
Purnomo E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit.
Akademi Teknologi Kulit. Departemen Perindustrian. Yogyakarta.

14

Anda mungkin juga menyukai