Anda di halaman 1dari 28

HUKUM OHM

Alya Rizkiyani (17020010) ,Kimia Tekstil (K1), Politeknik STTT BANDUNG

Email : rizkiyanialya@gmail.com

Phone : (+62)85794044403

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Praktikum


Jika suatu penghantar diberikan tegangan atau potensial yang berbeda di kedua
ujungnya, maka dalam penghantar itu akan muncul arus listrik. Hukum Ohm menjelaskan
hubungan antara tegangan listrik dengan kuat arus listrik yang di temukan pertama kali oleh
George Simon Ohm.

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai pengaplikasian dari Hukum Ohm.
Seperti pada penggunaan alat-alat elektronik dan listrik seperti televisi, lampu, kulkas, dan
lain sebagainya. Hukum Ohm menyatakan bahwa besar arus listrik yang mengalir melalui
sebuah penghantar selalu berbanding lurus dengan beda potensial yang diterapkan
kepadanya. Maka bila alat listrik diberi tegangan listrik yang lebih kecil dari seharusnya, arus
akan mengecil sehingga alat itu tidak bekerja normal (misalnya lampu akan redup).

Pada praktikum kali ini dilakukan 6 kali percobaan. Disediakan dua buah gambar
dengan rangkaian yang berbeda, dan disediakan dua buah lampu yang disusun seri dan
parallel. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan arus yang mengalir di setiap
tegangan yang berberda dan pengaruhnya pada hambatan yang terjadi di setiap rangkaian
yang berbeda.

1.2 Tujuan Praktikum


Berikut adalah tujuan praktikum hukum ohm :
1. Untuk mengetahui arus listrik yang mengalir disetiap rangkaian yang berbeda.
2. Untuk mengetahui hambatan dalam (R) dari pada lampu – lampu dengan
mempergunakan Amperemeter dan Voltmeter.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hukum Ohm


Hukum Ohm adalah suatu pernyataan bahwa besar arus listrik yang mengalir melalui
sebuah penghantar selalu berbanding lurus dengan beda potensial yang diterapkan
kepadanya. Sebuah benda penghantar dikatakan mematuhi hukum Ohm apabila
nilai resistansinya tidak bergantung terhadap besar dan polaritas beda potensial yang
dikenakan kepadanya. Walaupun pernyataan ini tidak selalu berlaku untuk semua jenis
penghantar, namun istilah "hukum" tetap digunakan dengan alasan sejarah.

Secara matematis hukum Ohm diekspresikan dengan persamaan:

V=I.R E=I.R

Di mana :

 I adalah arus listrik yang mengalir pada suatu penghantar dalam satuan Ampere.
 V atau E adalah tegangan listrik/ beda potensial yang terdapat pada kedua ujung
penghantar dalam satuan volt.
 R adalah nilai hambatan listrik (resistansi) yang terdapat pada suatu penghantar dalam
satuan ohm.

Hukum ini dicetuskan oleh George Simon Ohm, seorang fisikawan dari Jerman pada
tahun 1825 dan dipublikasikan pada sebuah paper yang berjudul The Galvanic Circuit
Investigated Mathematically pada tahun 1827.

Untuk menghitung power yang diberikan pada lampu, diekspresikan dengan persamaan :

P=E.I

Di mana :
 P adalah daya / laju energi yang dihantarkan dalam satuan watt.
 E adalah tegangan listrik/ beda potensial yang terdapat pada kedua ujung penghantar
dalam satuan volt.
 I adalah arus listrik yang mengalir pada suatu penghantar dalam satuan Ampere.

2
BAB III
ISI

3.1 Alat – Alat Praktikum


1. AC Amperemeter
2. AC Voltmeter
3. Lampu 1 (100 watt)
4. Lampu 2 (60 watt)
5. Kabel Penghubung
6. Sumber Arus

3.2 Langkah Kerja


Dalam percobaan untuk mengukur E (V) dan I dipergunakan dua metode rangkaian
seperti gambar dibawah ini :

Gambar 1 (metode I) Gambar 2 (metode II)

1. Siapkan alat-alat yang dibutuhkan yaitu sumber arus, voltmeter, amperemeter, lampu
1 dan dua, dan kabel penghubung.
2. Susunlah rangkaian seperti pada gambar 1, dengan memakai lampu 1 (100 watt) dan
belum dihubungkan dengan sumber arus jaringan tegangan. Perhatikan besarnya
tegangan listrik yang harus digunakan (output 220 V)
3. Setelah rangkaian diperiksa kebenarannya oleh dosen pembimbing, barulah
rangkaian dihubungkan dengan sumber arus.
4. Catatlah kuat arus untuk harga potensial 50 V, 75 V, dan 100 V
5. Ulangi percobaan diatas menggunakan lampu 2 (60 watt)
6. Ulangi percobaan 2 s/d 3 menggunakan lampu 1 yang dipasang seri dengan lampu 2.
Perhatikan perbedaan nyala lampunya dan kuat arusnya.
7. Ulangi percobaan 6, tetapi kedua lampu dipasang paralel. Perhatikan nyala lampu dan
kuat arusnya.

3
8. Ulangi percobaan 1 s/d 7 untuk rangkaian seperti pada gambar 2.

3.3 Data Percobaan


 Gambar 1
LAMPU 1 (100 W) LAMPU 2 (60 W) LAMPU 1 & 2 SERI LAMPU 1 & 2 PARALEL
E (v) I (mA) KET. E (v) I (mA) KET. E (v) I (mA) KET. E (v) I (mA) KET.
L1 TIDAK
50 200 R 50 120 SR 50 100 MENYALA, 50 340 L1 R, L2 SR
L2 SR
L1 TIDAK
75 240 T 75 140 R 75 130 MENYALA, 75 400 L1 T, L2 R
L2 R
100 300 ST 100 170 T 100 150 L1 SR, L2 T 100 460 L1 ST, L2 T

 Gambar 2
LAMPU 1 (100
LAMPU 2 (60 W) LAMPU 1 & 2 SERI LAMPU 1 & 2 PARALEL
W)
E I KE E I KE E I E I
KET. KET
(v) (mA) T. (v) (mA) T. (v) (mA) (v) (mA)
L1 TIDAK MENYALA,
50 200 R 50 120 SR 50 100 50 300 L1 R, L2 R
L2 SR
L1 TIDAK MENYALA,
75 240 T 75 140 R 75 120 75 380 L1 T, L2 T
L2 R
L1 TIDAK MENYALA, L1 ST, L2
100 280 ST 100 160 T 100 140 100 440
L2 R ST

Keterangan :
L1 = Lampu 1
L2 = Lampu 2
SR = Sangat Redup
R = Redup
T = Terang
ST = Sangat Terang

3.4 Tugas Akhir dan Pembahasan

1. Hitunglah tahanan setiap lampu, pada setiap pasang kuat arus dan beda potensial
untuk setiap metoda.

E=I.R
4
Di mana :

 I adalah arus listrik yang mengalir pada suatu penghantar dalam satuan Ampere.
 E adalah tegangan listrik yang terdapat pada kedua ujung penghantar dalam
satuan volt.
 R adalah nilai hambatan listrik (resistansi) yang terdapat pada suatu penghantar dalam
satuan ohm.
Maka untuk mencari tahanan atau hambatan pada setiap lampu, dapat diekspresikan
menggunakan persamaan :

𝑬
R=
𝑰

Karena Amperemeter yang digunakan menggunakan satuan miliampere, maka untuk


menghitung hambatan lampu harus di ubah dahulu dari miliampere menjadi satuan Ampere.
1 mA = 10-3 Ampere.

 Gambar 1
LAMPU 1 (100 W) LAMPU 2 (60 W)
E (v) I (mA) R (Ω) E (v) I (mA) R (Ω)
50 200 250 50 120 416,67
75 240 312,5 75 140 535,71
100 300 333,33 100 170 588,24

V dR 1 dR
RL = ,  , V
I dV I dI

𝑑𝑅 2 2 𝑑𝑅 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 + | | ∆𝐼 2
𝑑𝑉 𝑑𝑙

12 2

∆𝑅 = | | ∆𝑉 + (𝑉)2 ∆𝐼 2
𝐼

Maka:

5
 Metoda 1
LAMPU 1 (100 W)
E (v) I (A) R (Ω)
50 0,2 250
75 0,24 312,5
100 0,3 333,33

I1 = 0,2 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (volt)
R1 = 250 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼2 = √| | (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = √156,5 = 12,509996 Ω
𝐼 0,2

RL1 = 250 ± 12,51 ohm

I2 = 0,24 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (volt)
R2 = 312,5 (Ohm)

12 2 1 2
√ 2 2 √
∆𝑅 = | | ∆𝑉 + (𝑉) ∆𝐼 = | | (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = √109,0694444
𝐼 0,24
= 10,44363177Ω
RL2 = 312,5± 10,44 ohm

I3 = 0,3 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (volt)
R3 = 333,33 (Ohm)

12 2 1 2
√ 2 2 √
∆𝑅 = | | ∆𝑉 + (𝑉) ∆𝐼 = | | (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = √70,44444444
𝐼 (0,3)
= 8,393118875Ω
RL3 = 333,33 ± 8,39 ohm

6
 Lampu 2 (60 W)
LAMPU 2 (60 W)

E (v) I (A) R (Ω)

50 0,12 416,67

75 0,14 535,71

100 0,17 588,24

I1 = 0,12 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (volt)
R1 = 416,67 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √| | (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = √434,2777778
𝐼 0,12
= 20,83933247 Ω
RL1 = 416,67 ± 20,84 ohm

I2 = 0,14 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (volt)
R2 = 535,71 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼2 = √| | (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = √319,440051
𝐼 0,14
= 17,87288592 Ω
RL2 = 535,71 ± 17,87 ohm

I3 = 0,17 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (volt)
R3 = 588,24 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √| | (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = √217,2629758
𝐼 0,17
= 14,73984314Ω
RL3 = 588,24 ± 14,74 ohm

7
 Gambar 2
LAMPU 1 (100 W) LAMPU 2 (60 W)

E (v) I (mA) R (Ω) E (v) I (mA) R (Ω)

50 200 250 50 120 416,67

75 240 312,5 75 140 535,71

100 280 357,14 100 160 625

 Lampu 1 (100 W)
LAMPU 1 (100 W)
E (v) I (A) R (Ω)
50 0,2 250
75 0,24 312,5
100 0,28 357,14

I1 = 0,2 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (volt)
R1 = 250 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼2 = √| | (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = √156,5 = 12,509996 Ω
𝐼 0,2

RL1 = 250 ± 12,51 ohm

I2 = 0,24 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (volt)
R2 = 312,5 (Ohm)

12 2 1 2
√ 2 2 √
∆𝑅 = | | ∆𝑉 + (𝑉) ∆𝐼 = | | (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = √109,0694444
𝐼 0,24
= 10,44363177Ω
RL2 = 312,5 ± 10,44 ohm

I3 = 0,28 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (volt)
R3 = 357,14 (Ohm)

8
12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √| | (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = √179,7193878
𝐼 0,28
= 13,40594599Ω
RL3 = 357,14 ± 13,41 ohm

 Lampu 2 (60 W)
LAMPU 2 (60 W)

E (v) I (A) R (Ω)

50 0,12 416,67

75 0,14 535,71

100 0,16 625

I1 = 0,12 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (volt)
R1 = 416,67 (Ohm)

12 2 1 2
√ 2 2 √
∆𝑅 = | | ∆𝑉 + (𝑉) ∆𝐼 = | | (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = √434,2777778
𝐼 0,12
= 20,83933247 Ω
RL1 = 416,67 ± 20,84 ohm

I2 = 0,14 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (volt)
R2 = 535,71 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼2 = √| | (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = √319,440051
𝐼 0,14
= 17,87288592 Ω
RL2 = 535,71 ± 17,87 ohm

I3 = 0,16 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (volt)
R3 = 625 (Ohm)

9
12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √| | (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = √245,140625
𝐼 0,16
= 15,6569673 Ω
RL3 = 625 ± 15,66 ohm

2. Hitunglah tahanan rangkaian seri dan parallel secara percobaan.


Untuk mencari tahanan atau hambatan pada setiap lampu, dapat diekspresikan
menggunakan persamaan :

𝑬
R=
𝑰

Karena Amperemeter yang digunakan menggunakan satuan miliampere, maka untuk


menghitung hambatan lampu harus di ubah dahulu dari miliampere menjadi satuan Ampere.
1 mA = 10-3 Ampere.

 Gambar 1
LAMPU 1 & 2 SERI LAMPU 1 & 2 PARALEL
E (v) I (mA) R (Ω) E (v) I (mA) R (Ω)
50 100 500 50 340 147,06
75 130 576,92 75 400 187,5
100 150 666,67 100 460 217,39

 Seri
LAMPU 1 & 2 SERI
E (v) I (A) R (Ω)
50 0,1 500
75 0,13 576,92
100 0,15 666,67

I1 = 0,1 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (volt)
R1 = 500 (Ohm)

10
12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √| | (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = √625,25 = 25,0049995 Ω
𝐼 0,1

RL1 = 500 ± 25 ohm

I2 = 0,13 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (volt)
R2 = 576,92 (Ohm)

12 2 1 2
√ 2 2 √
∆𝑅 = | | ∆𝑉 + (𝑉) ∆𝐼 = | | (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = √370,3849852
𝐼 0,13
= 19,24538867 Ω
RL2 = 576,92 ± 19,24 ohm

I3 = 0,15 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (volt)
R3 = 666,67 (Ohm)

12 2 1 2
√ 2 2 √
∆𝑅 = | | ∆𝑉 + (𝑉) ∆𝐼 = | | (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = √278,7777778
𝐼 0,15
= 16,69663972 Ω
RL3 = 666,67 ± 16,70 ohm

 Paralel
LAMPU 1 & 2 PARALEL
E (v) I (A) R (Ω)
50 0,34 147,06
75 0,4 187,5
100 0,46 217,39

I1 = 0,34 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (volt)
R1 = 147,06 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √| | (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = √54,31574394
𝐼 0,34
= 7,36992157 Ω

11
RL1 = 147,06 ± 7,37 ohm

I2 = 0,4 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (volt)
R2 = 187,5 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼2 = √| | (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = √39,625 = 6,294839156 Ω
𝐼 0,4

RL2 = 187,5 ± 6,29 ohm

I3 = 0,46 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (volt)
R3 = 217,39 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼2 = √| | (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = √30,536862
𝐼 0,46
= 5,52601683 Ω
RL3 = 217,39 ± 5,53 ohm

 Gambar 2
LAMPU 1 & 2 SERI LAMPU 1 & 2 PARALEL
E (v) I (mA) R (Ω) E (v) I (mA) R (Ω)
50 100 500 50 300 166,67
75 120 625 75 380 197,37
100 140 714,29 100 440 227,27

 Seri
LAMPU 1 & 2 SERI
E (v) I (A) R (Ω)
50 0,1 500
75 0,12 625
100 0,14 714,29

I1 = 0,1 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (volt)

12
R1 = 500 (Ohm)

12 2 1 2
√ √
∆𝑅 = | | ∆𝑉 + (𝑉) ∆𝐼 = | | (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = √625,25 = 25,0049995 Ω
2 2
𝐼 0,1

RL1 = 500 ± 25 ohm

I2 = 0,12 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (volt)
R2 = 625 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √| | (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = √434,5902778
𝐼 0,12
= 20,84682896 Ω
RL2 = 625 ± 20,85 ohm

I3 = 0,14 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (volt)
R3 = 714,29 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √| | (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = √55,06574394
𝐼 0,34
= 7,420629619 Ω
RL3 = 714,29 ± 7,42 ohm

 Paralel
LAMPU 1 & 2 PARALEL
E (v) I (A) R (Ω)
50 0,3 166,67
75 0,38 197,37
100 0,44 227,27

I1 = 0,3 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (volt)
R1 = 166,67 (Ohm)

13
12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼2 = √| | (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = √69,69444444
𝐼 0,3
= 8,348319858 Ω
RL1 = 166,67 ± 8,35 ohm

I2 = 0,38 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (volt)
R2 = 197,37 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √| | (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = √43,84504848
𝐼 0,38
= 6,621559369 Ω
RL2 = 197,37 ± 6,62 ohm

I3 = 0,44 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (volt)
R3 = 227,27 (Ohm)

12 1 2
∆𝑅 = √| | ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √| | (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = √33,28305785
𝐼 0,44
= 5,769147064 Ω
RL3 = 227,27 ± 5,77 ohm

3. Hitunglah power yang diberikan pada setiap lampu untuk setiap keadaan.
Untuk menghitung power yang diberikan pada lampu, diekspresikan dengan persamaan :

P=E.I

Di mana :
 P adalah daya / laju energi yang dihantarkan dalam satuan watt.
 E adalah tegangan listrik/ beda potensial yang terdapat pada kedua ujung penghantar
dalam satuan volt.
 I adalah arus listrik yang mengalir pada suatu penghantar dalam satuan Ampere.

14
 Gambar 1
LAMPU 1 (100 W) LAMPU 2 (60 W) LAMPU 1 & 2 SERI LAMPU 1 & 2 PARALEL

E (v) I (mA) P (watt) E (v) I (mA) P (watt) E (v) I (mA) P (watt) E (v) I (mA) P (watt)

50 200 10 50 120 6 50 100 5 50 340 17

75 240 18 75 140 10,5 75 130 9.75 75 400 30

100 300 30 100 170 17 100 150 15 100 460 46

P=E.I=V.I
dP dP
 I, V
dV dI
P  ( I ) 2 V 2
 (V ) 2 I 2

 Lampu 1 (100 W)
LAMPU 1 (100 W)

E (v) I (A) P (watt)

50 0,2 10

75 0,24 18

100 0,3 30

I1 = 0,2 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (Volt)
P1 = 10 Watt

P  ( I ) 2 V 2  (V ) 2 I 2  (0,2) 2 (2,5) 2  (50) 2 (0,01) 2  0.25  0.25  0.7071

P1 = 10 ± 0,7071 watt

I2 = 0,24 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (Volt)
P2 = 18 Watt

P  ( I ) 2 V 2  (V ) 2 I 2  (0,24) 2 (2,5) 2  (75) 2 (0,01) 2  0.36  0.56  0.9605

P2 = 18 ± 0,9605 watt

15
I3 = 0,3 ± 0,01 (A)
V3 = 100 ± 2,5 (Volt)
P3 = 30 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,3)2 (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = 1,5625


P3 = 30 ± 1,5625 watt

 Lampu 2 (60 W)
LAMPU 2 (60 W)

E (v) I (A) P (watt)

50 0,12 6

75 0,14 10,5

100 0,17 17

I1 = 0,12 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (Volt)
P1 = 6 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,12)2 (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = 0,34


P1 = 6 ± 0,34 watt

I2 = 0,14 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (Volt)
P2 = 10,5 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,14)2 (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = 0,685


P2 = 10,5 ± 0,685 watt

I3 = 0,17 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (Volt)
P3 = 17Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,17)2 (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = 1,180625


P3 = 17 ± 1,18 watt

16
 Seri
LAMPU 1 & 2 SERI

E (v) I (A) P (watt)

50 0,1 5

75 0,13 9.75

100 0,15 15

I1 = 0,1 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (Volt)
P1 = 5 Watt

P  ( I ) 2 V 2  (V ) 2 I 2  (0,1) 2 (2,5) 2  (50) 2 (0,01) 2  0.0625  0.25  0.5590

P1 = 5 ± 0,5590 watt

I2 = 0,13 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (Volt)
P2 = 9,75 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,13)2 (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = 0,668125


P2 = 9,75 ± 0,668125 watt

I3 = 0,15 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (Volt)
P3 = 15 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,15)2 (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = 1,140625


P3 = 15 ± 1,140625 watt

 Paralel
LAMPU 1 & 2 PARALEL

E (v) I (A) P (watt)

50 0,34 17

17
75 0,4 30

100 0,46 46

I1 = 0,34 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (Volt)
P1 = 17 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,34)2 (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = 0,9725


P1 = 17 ± 0,9725 watt
I2 = 0,4 ± 0,01 (A)
V2 = 75 ± 2,5 (Volt)
P2 = 30 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,4)2 (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = 1,5625


P2 = 30 ± 1,5625 watt

I3 = 0,46 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (Volt)
P3 = 46 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,46)2 (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = 2,3225


P3 = 46 ± 2,3225 watt

 Gambar 2
LAMPU 1 (100 W) LAMPU 2 (60 W) LAMPU 1 & 2 SERI LAMPU 1 & 2 PARALEL

E (v) I (mA) P (watt) E (v) I (mA) P (watt) E (v) I (mA) P (watt) E (v) I (mA) P (watt)

50 200 10 50 120 6 50 100 5 50 300 15

75 240 18 75 140 10.5 75 120 9 75 380 28.5

100 280 28 100 160 16 100 140 14 100 440 44

 Lampu 1 (100 W)
LAMPU 1 (100 W)

E (v) I (A) P (watt)

18
50 0,2 10

75 0,24 18

100 0,28 28

I1 = 0,2 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (Volt)
P1 = 10 Watt

P  ( I ) 2 V 2  (V ) 2 I 2  (0,2) 2 (2,5) 2  (50) 2 (0,01) 2  0.25  0.25  0.7071

P1 = 10 ± 0,7071 watt

I2 = 0,24 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (Volt)
P2 = 18 Watt

P  ( I ) 2 V 2  (V ) 2 I 2  (0,24) 2 (2,5) 2  (75) 2 (0,01) 2  0.36  0.56  0.9605

P2 = 18 ± 0,9605 watt

I3 = 0,28 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (Volt)
P3 = 28 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,28)2 (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = 1,49


P3 = 28 ± 1,49 watt

 Lampu 2 (60 W)
LAMPU 2 (60 W)

E (v) I (A) P (watt)

50 0,12 6

75 0,14 10.5

100 0,16 16

I1 = 0,12 ± 0,01 (A)

19
V1 = 50 ± 2,5 (Volt)
P1 = 6 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,12)2 (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = 0,34


P1 = 6 ± 0,34 watt

I2 = 0,14 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (Volt)
P2 = 10,5 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,14)2 (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = 0,685


P2 = 10,5 ± 0,685 watt

I3 = 0,16 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (Volt)
P3 = 16 Watt

P  ( I ) 2 V 2  (V ) 2 I 2  (0,16) 2 (2,5) 2  (100) 2 (0,01) 2  0.16  1  1.0770

P3 = 16 ± 1,0770 watt

 Seri
LAMPU 1 & 2 SERI

E (v) I (A) P (watt)

50 0,1 5

75 0,12 9

100 0,14 14

I1 = 0,1 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (Volt)
P1 = 5 Watt

P  ( I ) 2 V 2  (V ) 2 I 2  (0,1) 2 (2,5) 2  (50) 2 (0,01) 2  0.0625  0.25  0.5590

P1 = 5 ± 0,5590 watt

I2 = 0,12 ± 0,01 (A)

20
V2 = 75 ± 2,5 (Volt)
P2 = 9 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,12)2 (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = 0,6525


P2 = 9 ± 0,6525 watt

I3 = 0,14 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (Volt)
P3 = 14 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,14)2 (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = 1,1225


P3 = 14 ± 1,1225 watt
 Paralel
LAMPU 1 & 2 PARALEL

E (v) I (A) P (watt)

50 0,3 15

75 0,38 28.5

100 0,44 44

I1 = 0,3 ± 0,01 (A)


V1 = 50 ± 2,5 (Volt)
P1 = 15 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,3)2 (2,5)2 + (50)2 (0,01)2 = 0,8125


P1 = 15 ± 0,8125 watt

I2 = 0,38 ± 0,01 (A)


V2 = 75 ± 2,5 (Volt)
P2 = 28,5 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,38)2 (2,5)2 + (75)2 (0,01)2 = 1,465


P2 = 28,5 ± 1,465 watt

I3 = 0,44 ± 0,01 (A)


V3 = 100 ± 2,5 (Volt)

21
P3 = 44 Watt

∆𝑃 = √(𝐼)2 ∆𝑉 2 + (𝑉)2 ∆𝐼 2 = √(0,44)2 (2,5)2 + (100)2 (0,01)2 = 2,21


P3 = 44 ± 2,21 watt

4. Gambarlah grafik V terhadap I untuk masing-masing lampu untuk tiap


rangkaian/metoda, juga untuk rangkaian seri dan paralel. Apa kesimpulan saudara
tentang karakteristik lampu tersebut?
 Gambar 1
1.2
1
0.8 PARALEL

0.6 SERI

0.4 LAMPU 2

0.2 LAMPU 1

0
50 75 100

 Gambar 2
0.5

0.4
LAMPU 1
0.3
LAMPU 2
0.2
SERI
0.1 PARALEL
0
50 75 100

Berdasarkan grafik diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:


Perbandingan beda potensial dan kuat arus listrik selalu tetap atau konstan. Semakin besar
beda potensial atau tegangan listrik yang diberikan, semakin besar pula kuat arus yang
mengalir. Besarnya kuat arus listrik sebanding dengan beda potensial listrik, baik itu pada
rangkaian seri maupun pada rangkaian paralel, walaupun pertambahannya hanya sedikit
sekali.
Bunyi Hukum Ohm : “Tegangan (V) pada hambatan yang memenuhi Hukum Ohm
berbanding lurus terhadap kuat arus (I) untuk suhu yang konstan (Sunaryono, 2010).

22
5. Buatlah grafik dari tahanan sebagai fungsi kuat arus untuk tiap lampu dan tiap
metoda.

 Gambar 1

LAMPU 1 LAMPU 2
400 800
300 600
200 400
LAMPU 1 LAMPU 2
100 200
0 0
0.2 0.24 0.3 0.12 0.14 0.17

SERI PARALEL
800 300
600
200
400
SERI 100 PARALEL
200
0 0
0.1 0.13 0.15 0.34 0.4 0.46

 Gambar 2

LAMPU 1 LAMPU 2
400 800
300 600
200 400
LAMPU 1 LAMPU 2
100 200
0 0
0.2 0.24 0.28 0.12 0.14 0.16

SERI PARALEL
800 300
600 200
400
SERI 100 PARALEL
200
0 0
0.1 0.12 0.14 0.3 0.38 0.44

23
6. Buatlah grafik tahanan sebagai fungsi dari kuat power untuk tiap lampu dan tiap
metoda

 Gambar 1

LAMPU 1 LAMPU 2
40 20
30 15
20 10
LAMPU 1 LAMPU 2
10 5
0 0
0.2 0.24 0.3 0.12 0.14 0.17

SERI PARALEL
20 60
15
40
10
SERI 20 PARALEL
5
0 0
0.1 0.13 0.15 0.34 0.4 0.46

 Gambar 2

LAMPU 1 LAMPU 2
30 20
15
20
10
10 LAMPU 1 LAMPU 2
5
0 0
0.2 0.24 0.28 0.12 0.14 0.16

SERI PARALEL
15 60

10 40

5 SERI 20 PARALEL

0 0
0.1 0.12 0.14 0.3 0.38 0.44

24
7. Bagaimanakah bentuk grafik pada pertanyaan no 4, 5, dan 6? Apakah R konstan?
Berilah pembahasan! Faktor apa saja yang menyebabkan ini?
Bentuk grafik pada pertanyaan no 4 yaitu menanjak, menunjukkan bahwa beda potensial
berbanding lurus dengan arus listrik yang mengalir. Pada pertanyaan no 5, bentuk grafik yaitu
menanjak, menunjukkan bahwa jika beda potensial di naikkan, maka arus yang mengalir akan
meningkat dan hambatannya pun membesar. Namun jika nilai hambatan diperbesar maka
kuat arus akan menurun untuk beda potensial yang tetap. Hambatan berbanding terbalik
dengan kuat arus. Jika nilai hambatan konstan maka hubungan antara kuat arus dan beda
potesial adalah berbanding lurus, dengan kata lain semakin besar beda potensial makin besar
kuat arusnya. Dan pada pertanyaan no 6, grafiknya yaitu menanjak, menunjukkan bahwa
semakin besar hambatan yang diakibatkan tegangan yang diberikan berbeda, maka daya yang
terjadi semakin besar.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan pada praktikum kali ini dapat diketahui
bahwa nilai hambatan tidaklah konstan. Pada rangkaian seri, nilai hambatannya lebih besar
daripada nilai hambatan pada rangkaian parallel. Sedangkan untuk power, pada rangkaian
parallel lebih besar nilai powernya daripada nilai power pada rangkaian seri.

8. Bagaimanakah dengan pengaruh temperature?


Salah satu faktor luar/eksternal yang sangat berpengaruh terhadap hambatan penghantar
adalah suhu atau temperatur. Semakin tinggi temperatur suatu penghantar, semakin tinggi
pula getaran elektron-elektron bebas dalam penghantar tersebut. Getaran elektron-elektron
bebas inilah yang akan menghambat jalannya muatan listrik (arus listrik) dalam penghantar
tersebut.
Adapun hambatan jenis penghantar (ρ) akan berubah seiring dengan perubahan
temperatur. Semakin tinggi temperatur penghantar, hambatan jenisnya akan semakin tinggi,
dan sebaliknya. Perubahan hambatan jenis ini selanjutnya akan diikuti oleh perubahan
hambatan total (R) penghantar itu sendiri (Giancoli,2001)

9. Dari segi kwalitatif, mana yang lebih terang, pemasangan seri atau parallel? Beri
penelasan?
Nyala lampu yang lebih terang dari segi kualitatif yaitu ketika pemasangan yang
dilakukan secara parallel. .Hal ini disebabkan karena susunan kawat pengahantar atau kabel
pada rangkaian paralel terdiri dari banyak arus atau saluran untuk menghantarkan arus listrik
lebih dari satu sehingga nyala lampu lebih terang bila dibandingkan dengan rangkaian seri
25
yang hanya menggunakan satu kabel pada penysusunan rangkaiannya. Pada susunan parallel,
bola lampu mendapatkan arus listrik langsung dari sumber arus.

10. Gambarkan rangkaian listrik yang saudara buat dan gambar pula skema benda-benda
(tidak dengan lambang) yang saudara rangkaikan. Beri tanda positif dan negative bila
perlu.

 Gambar 1 (metoda 1)

Rangkaian lampu 1 dan 2 secara seri

Rangkaian lampu 1 dan 2 secara paralel

 Gambar 2 (metode 2)

Rangkaian lampu 1 dan 2 secara seri

Rangkaian lampu 1 dan 2 secara paralel

26
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil praktikum ini, antara lain :
1. Hukum Ohm adalah suatu pernyataan bahwa besar arus listrik yang mengalir melalui
sebuah penghantar selalu berbanding lurus dengan beda potensial yang diterapkan
kepadanya.
2. Nilai hambatan tidaklah konstan. Pada rangkaian seri, nilai hambatannya lebih besar
daripada nilai hambatan pada rangkaian parallel.
3. Nilai power pada rangkaian parallel lebih besar daripada nilai power pada rangkaian
seri.
4. Jika nilai hambatan diperbesar maka kuat arus akan menurun untuk beda potensial
yang tetap karena hambatan berbanding terbalik dengan kuat arus.
5. Semakin tinggi temperatur suatu penghantar, maka akan menghambat jalannya
muatan listrik (arus listrik) dalam penghantar.
6. Nyala lampu lebih terang jika dirangkai secara parallel, dibangdingkan secara seri,
karena arus yang mengalir pada rangkaian parallel lebih banyak.

4.2 Saran
Kami memberikan saran untuk praktikum hukum ohm, antara lain:
1. Perdalam materi sebelum melakukan percobaan.
2. Berhati-hati menggunakan alat-alat yang berhubungan dengan arus listrik.

27
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_Ohm
https://astrofiska.wordpress.com/2012/11/18/75/
https://tuvayuliap.wordpress.com/2015/06/17/hukum-ohm/
http://www.wirahadie.com/2016/12/perbedaan-rangkaian-seri-dengan-paralel.html

28

Anda mungkin juga menyukai