Anda di halaman 1dari 22

SATUAN ACARA PENYULUHAN

GAGAL NAFAS

Disusun Oleh :
Kelompok V

Nama Npm
Ahmad Gifari 1614201120524
Akhmad Zarjani 1614201120553
Andis Septama 1614201120520
Ekky Rusmalina 1614201120521
Hadijatul Jannah 1614201120539
Haidir Rasyid 1614201120522
Hestina Damayanti 1614201120519
Mia Milia Rahman 1614201120554
Noorlailan Najaah 1614201120535
Rezky Mulia Aspihani Putri 1614201120536
Sarvia 1614201120552
Siti Fatimah 1614201120538
Suryadi 1614201120541

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
TAHUN 2017
SATUAN ACARA PENULUHAN

Pokok Bahasan : Gagal Nafas


Sub Pokok Bahasan :
1. Pengertian Gagal Nafas
2. Penyebab Gagal Nafas
3. Tanda Dan Gejala Gagal Nafas
4. Komplikasi Gagal Nafas
5. Cara Pencegahan Gagal Nafas
6. Cara Pengobatan Gagal Nafas
Sasaran : Masyarakat
Waktu : 30 menit
Hari/tgl : Senin, 27 November 2017
Tempat : Aula Balai Desa Kelayan Dalam

A. Tujuan Intruksional umum


Setelah mengikuti penyuluhan pasien dan keluarga pasien mampu memahami
tentang penyakit Gagal Nafas

B. Tujuan intruksional khusus :


Setelah melakukan pendidikan kesehatan selama 1 x 30, diharapkan klien
dapat
1. Menjelaskanpengertian Gagal Nafas
2. Menjelaskan penyebab Gagal Nafas
3. Menjelaskan tanda dan Gagal Nafas
4. Menjelaskan Komplikasi Gagal Nafas
5. Menjelaskan cara pengobatan Gagal Nafas

C. Materi penyuluhan
1. Menjelaskanpengertian Gagal Nafas
2. Menjelaskan penyebab Gagal Nafas
3. Menjelaskan tanda dan Gagal Nafas
4. Menjelaskan Komplikasi Gagal Nafas
5. Menjelaskan cara pengobatan Gagal Nafas
D. Metode
Persentasi,dan Tanya jawab
E. Media
Leaflet, LCD, Laptop
F. Kegiatan Penyuluhan
No Waktu Kegiatan Penyebab Kegiatan Peserta Pelaksana

1. 5 menit Pembukaan : 1. Menjawab moderator


1. Membuka kegiatan salam
dengan mengucapkan 2. Mendengarakan
salam 3. Memperhatikan
2. Memperkenalkan diri 4. Memperhatikan
dan anggota kelompok 5. Memperhatikan
3. Menyampaikan
kontrak waktu
4. Menyebutkan materi
yang akan
disampaiakan
5. Menyampaikan tujuan
dan penyuluhan
2. 15 Pelaksanaan : 1. Mendengarkan Tim Penyaji
menit 1. Apersepsi materi dan menjawab.
2. Menjelaskan: 2. Memperhatikan.
a. Menjelaskan Bertanya.
pengertian Gagal
Nafas
b. Menjelaskan
Penyebab Gagal
Nafas
c. Menjelaskan
Tanda dan gejala
Gagal Nafas
d. Menjelaskan
Komplikasi Gagal
Nafas
e. Menjelaskan cara
pengobatan Gagal
Nafas
3. Memberikan
kesempatan kepada
audience untuk bertanya
mengenai hal-hal yang
belum dimengerti.
3. 5 menit Evaluasi : Menjawab Moderator
1. Menanyakan kembali
mengenai materi yang
telah diberikan.
4. 5 menit Terminasi : 1. Memperhatikan Moderator
1. Mengucapakan 2. Menjawab
terimakasih atas peran salam
serta audience.
2. Mengucapakan salam
penutup.
3. Memberikan reward
kepada audience.

G. Evaluasi
Pertanyaan :
1. Apa pengertian Gagal Nafas
2. Apa penyebab Gagal Nafas
3. Sebutkan tanda dan Gagal Nafas
4. Apa saja komplikasi Gagal Nafas
5. Bagaimana cara pengobatan Gagal Nafas
Jawaban :
1. Pengertian Gagal Nafas
Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga
terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbondi oksida
arteri), dan asidosis.

Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana system respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Keadekuatan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan
untuk memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.

Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian


atau seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi. Gagal
nafas akut adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan
sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal (Zulkifli,2006)

2. Penyebab Gagal Nafas, yaitu :


Penyebab gagal nafas akut biasanya tidak berdiri sendiri dan merupakan
kombinasi dari beberapa keadaan dimana penyebab utamanya adalah :
1. Gangguan Ventilasi
a. Obstruksi akut, misalnya disebabkan fleksi leher pada pasien
tidak sadar, spasme larink atau oedem larink.
b. Obstruksi kronis, misalnya pada emfisema, bronkritis kronis,
asma, bronkiektasis, terutama yang disertai sepsis.
c. Penurunan compliance, compliance paru atau toraks, efusi pleura,
edema paru, atelektasis, pneumonia, kiposkoloisis, patah tulang
iga, pasca operasi toraks/ abdomen, peritonitis, distensi lambung,
sakit dada, dan sebagainya.
d. Gangguan neuromuskuler, misalnya pada polio, “guillain bare
syndrome”, miastenia grafis, cedera spinal, fraktur servikal,
keracuan obat/ zat lain.
e. Gangguan / depresi pusat pernafasan, misalnya pada penggunaan
obat narkotik / barbiturate/ trankuiliser, obat anestesi, trauma /
infak otak, hipoksia berat pada susunan saraf pusat dan
sebagainya.

2. Gangguan Difusi Alveoli Kapiler


Oedem paru, ARDS, fibrosis paru, emfisema, emboli lemak,
pneumonia, “post perfusion syndrome”, tumor paru, aspirasi.
3. Gangguan Kesimbangan Ventilasi Perfusi (V/Q Missmatch)
a. Peningkatan deadspace (ruang rugi) misalnya pada trombo
emboli, enfisema, bronchektasis. Peninggian “intra alveolar
shunting”, misal pada atelektasis, ARDS, pneumonia edema
paru, dan lain sebagainya

3. Tanda dan gejala Gagal Nafas, yaitu :


a. Gagal nafas total
1) Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
2) Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan
sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
3) Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan
ventilasi buatan
b. Gagal nafas parsial
1) Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing
dan wheezing.
2) Ada retraksi dada
c. Gejala
1) Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
2) Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis
(PO2 menurun

4. Komplikasi Gagal Nafas, yaitu :


1. Paru: emboli paru, fibrosis dan komplikasi sekunder penggunaan
ventilator (seperti, emfisema kutis dan pneumothoraks).
2. Jantung: cor pulmonale, hipotensi, penurunan kardiak output,
aritmia, perikarditis dan infark miokard akut.
3. Gastrointestinal: perdarahan, distensi lambung, ileus paralitik , diare
dan pneumoperitoneum. Stress ulcer sering timbul pada gagal napas.
4. Polisitemia (dikarenakan hipoksemia yang lama sehingga sumsum
tulang memproduksi eritrosit, dan terjadilah peningkatan eritrosit
yang usianya kurang dari normal).
5. Infeksi nosokomial: pneumonia, infeksi saluran kemih, sepsis.
6. Ginjal: gagal ginjal akut dan ketidaknormalan elektrolit asam basa.
7. Nutrisi: malnutrisi dan komplikasi yang berhubungan dengan
pemberian nutrisi enteral dan parenteral. (Alvin Kosasih, 2008:34)1

5. Bagaimana cara pengobatan Gagal Nafas


Pengobatan Gagal nafas akut diarahkan pada terapi khusus yang
mendukung fungsi oksigenasi dan ventilasi dari paru-paru sampai dapat
pulih dari akibat buruk disfungsi paru. Tiga prinsip utama dalam
pengelolaan kegagalan pernafasan akut yaitu :
1. koreksi hipoksemia arteri,
2. penghapusan kelebihan karbon dioksida, dan
3. penyediaan jalan napas atas yang paten yaitu Oksigen tambahan

PENGELOLAAN :
1. Menghilangkan penyebabnya
2. Memberikan respiratory support
Respiratory support kita gunakan tiga metode :
a. Terapi oksigen
b. Pulmonary toilet(mobilisasi pengeluaran sekret)
c. Memberi ventilasi buatan
Pasien-pasien dengan respiratory insuffisiensi yang berat mungkin
sekaligus memakai ke-3 metode tersebut, sedangkan kasus-kasus yang
sedang atau ringan hanya memerlukan satu atau dua metode saja.
H. Pengorganisasian
1. Tim penyaji : Andis Septama
2. Moderator : Rezki Mulia Aspihani Putri
3. Notulen : Noor lailan Naajah
4. Observasi : Ekky Rusmalina dan Sarvia
5. Keamanan : Haidir Rasyid
6. Audiens : Akhmad Zarjani, Mia Milia Rahman, Hadijatul
Jannah, Hestina Damayanti, Suryadi, Siti Fatimah, Ahmad Gifari.

MATERI
GAGAL NAFAS
A. Pengertian Gagal Nafas
Kegagalan pernafasan adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga
terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbondi oksida arteri),
dan asidosis.

Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana system respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Keadekuatan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan untuk
memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.

Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi.

Gagal nafas akut adalah ketidakmampuan system pernafasan untuk


mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-
sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal (Zulkifli,2006)

B. Penyebab Gagal Nafas


Penyebab gagal nafas akut biasanya tidak berdiri sendiri dan merupakan
kombinasi dari beberapa keadaan dimana penyebab utamanya adalah :
1. Gangguan Ventilasi
Obstruksi akut, misalnya disebabkan fleksi leher pada pasien tidak sadar,
spasme larink atau oedem larink.
Obstruksi kronis, misalnya pada emfisema, bronkritis kronis, asma,
bronkiektasis, terutama yang disertai sepsis.
Penurunan compliance, compliance paru atau toraks, efusi pleura, edema
paru, atelektasis, pneumonia, kiposkoloisis, patah tulang iga, pasca
operasi toraks/ abdomen, peritonitis, distensi lambung, sakit dada, dan
sebagainya.
Gangguan neuromuskuler, misalnya pada polio, “guillain bare syndrome”,
miastenia grafis, cedera spinal, fraktur servikal, keracuan obat/ zat lain.
Gangguan / depresi pusat pernafasan, misalnya pada penggunaan obat
narkotik / barbiturate/ trankuiliser, obat anestesi, trauma / infak otak,
hipoksia berat pada susunan saraf pusat dan sebagainya.

2. Gangguan Difusi Alveoli Kapiler


Oedem paru, ARDS, fibrosis paru, emfisema, emboli lemak, pneumonia,
“post perfusion syndrome”, tumor paru, aspirasi.

3. Gangguan Kesimbangan Ventilasi Perfusi (V/Q Missmatch)


a. Peningkatan deadspace (ruang rugi) misalnya pada trombo emboli,
enfisema, bronchektasis dsb
b. Peninggian “intra alveolar shunting”, misal pada atelektasis, ARDS,
pneumonia edema paru, dan lain sebagainya.

C. Tanda dan Gejala Gagal Nafas


1. Gagal nafas total
a. Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
b. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga
serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
c. Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan
2. Gagal nafas parsial
a. Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan
wheezing.
b. Ada retraksi dada
4. Gejala hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
a. Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2
menurun

D. Komplikasi Gagal Nafas


1. Paru: emboli paru, fibrosis dan komplikasi sekunder penggunaan
ventilator (seperti, emfisema kutis dan pneumothoraks).
2. Jantung: cor pulmonale, hipotensi, penurunan kardiak output, aritmia,
perikarditis dan infark miokard akut.
3. Gastrointestinal: perdarahan, distensi lambung, ileus paralitik , diare dan
pneumoperitoneum. Stress ulcer sering timbul pada gagal napas.
4. Polisitemia (dikarenakan hipoksemia yang lama sehingga sumsum
tulang memproduksi eritrosit, dan terjadilah peningkatan eritrosit yang
usianya kurang dari normal).
5. Infeksi nosokomial: pneumonia, infeksi saluran kemih, sepsis.
6. Ginjal: gagal ginjal akut dan ketidaknormalan elektrolit asam basa.
7. Nutrisi: malnutrisi dan komplikasi yang berhubungan dengan pemberian
nutrisi enteral dan parenteral. (Alvin Kosasih, 2008:34)1

E. Pengobatan Gagal Nafas


Pengobatan Gagal nafas akut diarahkan pada terapi khusus yang mendukung
fungsi oksigenasi dan ventilasi dari paru-paru sampai dapat pulih dari akibat
buruk disfungsi paru. Tiga prinsip utama dalam pengelolaan kegagalan
pernafasan akut yaitu :
1. koreksi hipoksemia arteri,
2. penghapusan kelebihan karbon dioksida, dan
3. penyediaan jalan napas atas yang paten yaitu Oksigen tambahan
Gagal napas hiperkapni berarti adanya hipoventilasi alveolar, tatalaksana
suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga
penyakit dasar dapat diobati. Gagal napas hipoksemi memerlukan
suplementasi oksigen sebagai terapi terpenting. Walaupun umumnya tidak
didapatkan hiperkapni, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan
menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Penyakit dasar yang menyebabkan
gagal napas hipoksemi harus diatasi, terutama jika pneumoni, sepsis, anemia
berat, serta curah jantung yang adekuat harus dipertahankan.
1. Jalan napas
Pada semua pasien dengan gangguan pernapasan, harus dipikirkan dan
diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi
jalan napas artifisial, seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat
dan risikonya.
Risiko jalan napas artifisial ialah trauma insersi, trauma orofaring atau
nasofaring karena penekanan kronik, kerusakan trakea (erosi,
trakeomalasia), gangguan respon batuk, risiko aspirasi meningkat, gangguan
fungsi mukosiliar, risiko infeksi meningkat, tak dapat berbicara, meningkatnya
resistensi dan kerja pernapasan.
Keuntungan jalan napas artifisial ialah dapat melintasi obstruksi jalan napas
atas, menjadi jalur pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi
tekanan positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan jalur untuk
bronkoskopi fiberoptik.
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah:
1. Secara fisiologis: hipoksemi menetap setelah pemberian oksigen, PCO2 >
55 mmHg dengan pH < 7,25, kapasitas vital < 15 mL/kg dengan penyakit
neuromuskular.
2. Secara klinis: perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan
napas, gangguan repirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik, obstruksi
jalan napas atas, sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan oleh
pasien dan membutuhkan penyedotan.
2. Oksigen
Besarnya oksigen tambahan yang diperlukan tergantung pada mekanisme
hipoksemi, tipe alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen yang
diperlukan, potensi efek samping oksigen pada konsentrasi yang berbeda-
beda, dan ventilasi semenit pasien. Karena oksigen konsentrasi tinggi
merusak paru, harus diupayakan untuk meminimalkan jumlah dan lama terapi
oksigen.

3. Bronkodilator
Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot polos, tetapi
beberapa mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan inflamasi.

4. Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi
dibandingkan parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang sama,
efek sampingnya sangat berkurang, sehingga dosis yang lebih besar dan
lebih lama dapat diberikan. Peningkatan dosis dan frekuensi pemberian
sering kali dibutuhkan.
Pemilihan jenis obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan
pemberian dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Epinefrin tidak digunakan karena tidak spesifik
terhadap reseptor α2, juga tidak menunjukan kelebihan dalam mengatasi
bronkospasme. Agonis beta-adrenergik kerja lama (LABA), berguna untuk
penggunaan kronik seperti mencegah bronkospasme, tetapi tidak
direkomendasikan untuk serangan bronkospasme akut.

5. Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik)
tergantung pada derajat tonus parasimpatis instrinsik. Antikolinergik
direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi pasien dengan bronkitis
kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan
dengan agonis beta-adrenergik. Ipatropium bromide tersedia dalam bentuk
MDI (metered-dose-inhaler) atau larutan untuk nebulisasi. Efek samping
seperti takikardi, palpitasi dan retensi urin jarang terjadi.

6. Teofilin
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta-
adrenergik. Mekanisme kerjanya melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada
siklik AMP (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi
reseptor beta-adrenergik dan aktivitas anti-inflamasi. Efek sampingnya
antara lain takikardi, mual, muntah, aritmi, hipokalemi, perubahan status
mental dan kejang.

7. Kortikosteroid
Kortikosteroid berfungsi untuk menurunkan inflamasi jalan napas.
Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan
hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Kortikosteroid
inhalasi sangat jarang menimbulkan efek samping sistemik kecuali batuk
karena provokasi bronkospasme. Kortikosteroid yang lebih kuat mempunyai
efek samping jangka panjang pada pertumbuhan, osteoporosis dan
perkembangan katarak. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama dengan
obat penghambat neuromuskular non-depolarisasi telah dihubungkan
dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan
weaning.
Efek samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemi, hipokalemi,
retensi natrium dan air, miopati steroid akut, gangguan sistem imun,
kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal.

8. Ekspektoran dan nukleonik


Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas, terutama
pada pasien dengan ETT. Kalium yodida oral mungkin berguna untuk
meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental. Larutan NaCl
0,9% 3-5ml, larutan salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik
dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning).

9. Ventilasi Mekanik
a. Ventilasi mekanik Konvensional
Ventilasi mekanik meningkatkan ventilasi semenit dan menurunkan
ruang rugi. Pendekatan ini adalah pengobatan utama untuk
hiperkapni akut dan hipoksemi berat. Strategi utama untuk ventilasi
mekanik harus menghindari tekanan tinggi puncak inspirasi dan
optimalisasi perekrutan paru-paru.
Pada orang dewasa dengan ARDS, strategi untuk memberikan
volum tidal yang rendah (6 mL/kg) dengan mengoptimalisasikan
tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) menawarkan manfaat
kelangsungan hidup lebih besar dibandingkan dengan volum tidal
yang tinggi (12 mL/kg).
Menurut strategi hiperkapni ARDS, CO2 arteri diperbolehkan
meningkat sampai 100 mmHg namun pH darah dipertahankan lebih
dari 7,2 dengan cara pemberian larutan buffer intravena. Hal ini
dilakukan untuk membatasi tekanan udara inspirasi kurang dari
35 cmH2O. PEEP harus diterapkan ke titik di atas tekanan infleksi
seperti pada distensi alveolar dipertahankan sepanjang siklus ventilasi.
Ventilasi mekanik konvensional mengoptimalkan rekrutmen paru-
paru, meningkatkan tekanan rata-rata jalan napas dan kapasitas
residu fungsional, dan mengurangi atelektasis diantara siklus napas.

b. Ventilasi mekanik non konvensional


a) Inverse ratio ventilation
Selama ventilasi tekanan positif, fase inspirasi memanjang pada
fase ekspirasi yang berlebih. Hal ini memperbaiki tekanan rata-
rata jalan napas dan memperbaiki oksigenasi selama penyakit
paru-paru akut yang berat. Ini adalah pola nonfisiologi untuk
bernafas, sehingga pasien tersebut diberi sedasi berat.
b) Airway pressure release ventilation (APRV)
APRV adalah bentuk yang relatif baru dari inverse ratio
ventilation yang menggunakan suatu rangkaian aliran gas secara
kontinyu. Metode ini memungkinkan pasien untuk bernapas secara
spontan sepanjang siklus ventilasi.
APRV menerapkan tekanan napas kontinyu (P high) identik
dengan CPAP untuk mempertahankan volum paru-paru dan
mempromosikan perekrutan alveolar. Selain itu, siklus waktu
menghasilkan fase tekanan yang lebih rendah untuk
meningkatkan ventilasi.
Studi eksperimental dan klinis dengan APRV menunjukkan
perbaikan dalam pertukaran gas, curah jantung, dan aliran
darah sistemik. Beberapa data menunjukkan pengurangan
penggunaan obat penenang dan penghambat neuromuskular.
c) High-frequency oscillatory ventilation (HFOV)
HFOV menggabungkan volum tidal rendah dengan frekuensi lebih
dari 1 Hz untuk meminimalkan efek dari tekanan puncak dan
tekanan rata-rata jalan napas.
HFOV telah terbukti bermanfaat dalam pengobatan sindrom
kebocoran udara terkait dengan cedera paru-paru akut neonatal dan
pediatrik.

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2001. Bukusaku Patofisiologi. Edisi bahasa Indonesia.
Jakarta : EGC
Doengoes, E. Marilyn, et all, alih bahasa Kariasa IM. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Hudak and Gallo. 1994. Critical Care Nursing, A Holistic Approach. Philadelpia :
JB Lippincott company
Reksoprodjo Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa
Aksara
Anonim.(2012). Asuhan Keperawatan Gagal Napas. www.ilmukeperawatan.com.
Diakses tanggal 18 Januari 2012.
Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia,
EGC, Jakarta.

1. Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan
keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh hipercarbia
drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu
cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar
membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen
yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar
mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-
pasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan
adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian.
Pada kondisi ini oksigen harusdiberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu
pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan
dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila
diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco dan Pellegrino,
2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah
dan sistem arus tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan
sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah
mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2 antara
0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara
bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering.
Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat,
diantaranya electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal
cathethers, dan dibandingkan nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih
efektif dan efisien. Alat oksigen arus tinggi di antaranya ventury
mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury maskmenggunakan prinsip jet
mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk mengirimkan secara
akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK dan
gagal napas tipe 2, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah
rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut.
Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui mask,
yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi klinis untuk
penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan
pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal (Sue dan
Bongard, 2003).

2. Atasi Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi


Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-
obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan
diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan
napas artifisial seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan resiko
jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas alami (Sue dan Bongard, 2003).
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi),
gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko
infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas
artifisial adalah dapat melintasi obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian
oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,
memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik (Sue dan
Bongard, 2003).
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-
obatan pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup adekuat
ataukah lebih baik dengan jalan napas artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi
mekanik adalah seperti pada Tabel 1 di atas dan juga tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Indikasi Intubasi dan ventilasi mekanik
Secara Fisiologis:
a. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
b. PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25
c. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskular
Secara Klinis:
a. Perubahan status mental dengan dengan gangguan proteksi jalan napas
b. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
c. Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi)
d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
Catatan: Perimbangkan trakeostomi jika obstruksi di atas trakea
(Sue dan Bongard, 2003)
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas
mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih berguna
dan bermanfaat. Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan
potensi manfaat ventilasi tekanan positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan
positif non invasif) (Sue dan Bongard, 2003).
Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau
mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face
mask atau ambu bag) dengan memompa kantungnya untuk memasukkan udara ke
dalam paru (Muhardi, 1989)..
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat
dari turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian
dengan imbalan ventilasi-perfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu
berhubungan dengan asidosis respiratoris. Namun, kegagalan ventilasi kronik
(PaCO2>46 mmHg) biasanya tidak berkaitan dengan asidosis karena kompensasi
metabolik. Dan koreksinya pada asidosis respiratoris (pH < 7.25) dan masalahnya
tidak mengkoreksi PaCO2. Pada pasien dimana pemulihan awal diharapkan,
ventilasi mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif
yang efektif, namun seperti telah diketahui, pada keadaan pemulihan yang
lama/tertunda pemasangan ET dengan ventilasi mode assist-
control atausynchronized intermittent ventilation dengan setting rate sesuai
dengan laju nafas spontan pasien untuk meyakinnkan kenyamanan pasien
(Nemaa, 2003).
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas (Tabel 1 dan
tabel 4) atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang
tidak segera teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk
hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi
lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan
oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya
meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang
ventilator harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang
dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila
seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup
keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih kecil. Secara
statistik angkasurvival berhubungan sekali dengan diagnosis utama, usia, dan
jumlah organ yang gagal. Pasien asma bronkial lebih dari 90 % survive sedangkan
pasien kanker kurang dari 10 %. Usia diatas 60 tahun
kemungkinan survive kurang dari 50 %. Sebagian penyebab rendahnya survival
pasien terpasang ventilator ini adalah akibat komplikasi pemakaian ventilator
sendiri, terutama tipe positive pressure. Secara umum bantuan napas mekanik
(ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive Positive Pressure
Ventilator (IPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator
diintubasi terlebih dahulu dan Non Invasive Positive Pressure Ventilator(NIPPV),
dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator tidak perlu diintubasi.
Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat tindakan intubasi dapat dihindari,
ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa bicara,
makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat (Sue dan Bongard, 2003).
3. Terapi suportif lainnya
a. Fisioterapi dada.
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini
selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien
diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut
dengan menggunakan telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk
yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan
perkusi, vibrasi dan drainagepostural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-
obatan seperti mukolitik dan bronkodilator (Muhardi, 1989)
b. Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik).
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika
diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama,
efek samping sacara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan
secara inhalasi. Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-
adrenergik yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang
direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan
peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali
dibutuhkan. Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan
pemberian, dan efek samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol,
metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi,
aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi.
Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan
disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke intrasel
sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik (Sue dan Bongard, 2003).
c. Antikolinergik/parasimpatolitik.
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat tonus
parasimpatis intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi
jalan napas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana
tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan. Obat ini direkomendasikan
terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas,
antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta adrenergik.
Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau
solusio untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi,
dan retensi urin (Sue dan Bongard, 2003).
d. Teofilin.
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta adrenergik.
Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik
(cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta
adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi. Efek samping meliputi takikardia, mual
dan muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan
status mental dan kejang (Sue dan Bongard, 2003).
e. Kortikosteroid.
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak
diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah
didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal. Kortikosteroid aerosol
kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan
preparat oral atau parenteral. Efek samping kortikosteroid parenteral adalah
hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid akut
(terutama pada dosis besar), gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis
dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat
pelumpuh otot non depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang
memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning (Sue dan Bongard, 2003).
f. Ekspektoran dan nukleonik.
Cairan peroral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karateristik sputum
pada pasien yang kekurangan cairan. Kalium yodida oral mungkin berguna untuk
meningkatkan volume dan menipiskan sputum yang kental. Penekan batuk seperti
kodein dikontraindikasikan bila kita menghendaki pengeluaran sekret melalui
batuk. Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas, terutama
pasien dengan ETT. Sedikit (3-5ml) NaCl 0,9 %, salin hipertonik, dan natrium
bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning) dan
bila berhasil akan keluar sekret yang lebih banyak (Sue dan Bongard, 2003).

g. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal
nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk
masing-masing penyakit akan berlainan (Muhardi, 1989).

Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal


nafas di UGD sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut
terutama masalah penggunaan ventilator ak

Anda mungkin juga menyukai