Anda di halaman 1dari 12

Filsafat Manusia

PEMIKIRAN FENOMENOLOGI MENURUT EDMUND


HUSSERL
Oleh : Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

A. Pendahuluan

Filsafat manusia merupakan bagian integral dari sistem filsafat, yang fokus
menyoroti hakikat atau esensi manusia. Ditinjau dari sudut pandang ontologis,
filsafat manusia memiliki kedudukan yang relatif lebih penting karena semua
cabang filsafat, yakni etika, kosmologi, epistemologi, filsafat sosial, dan estetika,
bermuara pada persoalan asasi berkenaan dengan esensi manusia. Adapun salah
satu pembahasan dalam filsafat manusia yang cukup mendapat perhatian dewasa
ini adalah fenomenologi.

Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phenomenon, yaitu sesuatu


yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam bahasa indonesia biasa
dipakai istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan
(logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa
fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau segala
sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri.

Seorang Fenomenolog suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang


ahli ilmu positif yang mengumpulkan data, mencari korelasi dan fungsi, serta
membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenolog bergerak di bidang yang pasti.
Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi
yang langsung. Fenomenologi adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking
at things”.

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa fenomenologi ini mengacu


kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang terlibat di
dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi dan
interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat
komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog

1
Filsafat Manusia

atau percakapan. Bagi seorang fenomenolog, kisah seorang individu adalah lebih
penting dan bermakna daripada hipotesis ataupun aksioma. Seorang penganut
fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang tidak dapat diamati.
Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga disebut
objektivisme atau positivisme). Hal demikian dikarenakan Fenomenolog
cenderung yakin bahwa suatu bukti atau fakta dapat diperoleh tidak hanya dari
dunia kultur dan natural, tetapi juga ideal, semisal angka, atau bahkan kesadaran
hidup.

Jelasnya, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang


mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi
disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya
menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya
adalah menghindari semua konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan
sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains,
agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua
penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri
dari dan dalam pengalaman itu sendiri.

Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan


historis apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program
utama fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari
subjek pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret,
lekat, dan penuh penghayatan. Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim
representasionalisme epistimologi modern. Dengan demikian, fenomenologi yang
dipromosikan Husserl ini dapat disebut sebagai ilmu tanpa presuposisi. Hal ini
jelas bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan
kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi, dimana presuposisi yang
menghantui filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme.

Perlu diketahui bahwa di sini penulis hanya membahas beberapa hal dari
kehidupan Edmund Husserl. Pertama, riwayat hidupnya. Dalam mendalami
pemikirannya, tentu lebih utama kita harus tahu sedikit mengenai identitasnya.

2
Filsafat Manusia

Siapa dia, berasal dari mana, bagaimana latar belakang kehidupannya, dan
sebagainya. Dua, karya atau pemikiran utamanya. Untuk mengetahui
pemikirannya, perlulah kita mengerti terlebih dahulu tulisan-tulisan terpentingnya.
Tiga, pikiran-pikiran pokok. Tulisan ini difokuskan pada “pemikiran
fenomenologi menurut Edmund Husserl”. Hal itu karena, ia tokoh pertama selaku
pendiri aliran ini. Ia mempengaruhi filsafat abad XX secara mendalam sampai
pada penemuan akan analisa struktur intensi dari tindakan-tindakan mental dan
sebagaimana struktur ini terarah pada obyek real dan ideal.

Bagi Husserl, Fenomenologi ialah ilmu pengetahuan (logos) tentang apa


yang tampak (phenomena). Fenomenologi dengan demikian, merupakan ilmu
yang mempelajari, atau apa yang menampakkan diri fenomenon. Karena itu, setiap
penelitian atau setiap karya yang membahas cara penampakkan dari apa saja,
sudah merupakan fenomenologi.

Secara material penulisan karya ini memiliki tujuan yang mendasar, yaitu
sebagai pembuka cakrawala pengetahuan filsafat pada umumnya dan
fenomenologi pada khususnya, mengingat pengetahuan filsafat merupakan
pengetahuan yang memerlukan energi yang cukup untuk mempelajarinya, hingga
mampu masuk ke “relung” terdalam dari ranah filsafat.

B. Riwayat Hidup

Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk


seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav
Aibercht Husserl. Sebenarnya istilah “fenomenologi” pertama kali digunakan
oleh J. H. Lambert (1728 – 1777). Kemudian istilah itu juga digunakan oleh
Immanuel Kant, Hegel serta sejumlah filosof lain. Namun semuanya mengartikan
istilah fenomenologi secara berbeda. Kemudian Edmund Husserl yang memakai
istilah fenomenologi secara khusus dengan menunjukkan metode berpikir secara
tepat. Contoh misalnya, dalam karya Hegel yang berjudul “Phenomenolgy of
Spirit”. Pemaknaan Hegel terhadap teori “fenomena” dalam buku ini berbeda
dengan “fenomena” menurut Husserl. Menurut Hegel, “fenomena” yang kita

3
Filsafat Manusia

alami dan tampak pada kita merupakan hasil kegiatan yang bermacam-macam dan
runtutan konsep kesadaran manusia serta bersifat relatif terhadap budaya dan
sejarah. Husserl menolak pandangan Hegel mengenai relativisme fenomena
budaya dan sejarah, namun dia menerima konsep formal fenomenologi Hegel
serta menjadikannya prinsip dasar untuk perkembangan semua tipe
fenomenologi : fenomenologi pengalaman adalah apa yang dihasilkan oleh
kegiatan dan susunan kesadaran kita.

Ia adalah seorang ahli ilmu pasti dan profesor Filsafat dari Universitas
Freiburg di Breisgau (Jerman Selatan) kira-kira satu abad yang lalu, lahir di
Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga
Yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat;
mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada
filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901,
kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga
sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara.
Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode
“Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut.
Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan
intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas
Leuven di Belgia1

C. Tulisan-Tulisan Terpenting

1). Logische Untersucgsuchugen I dan II (Penyelidikan-penyelidikan


logis), tahun 1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran,
karena itu harus dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana
diarahkan (obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi

1 Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta:


Gramedia. 1983. hlm. 114.

4
Filsafat Manusia

menunjukkan sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan


logika ke dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual
kegiatan akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya
kegiatan akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-
tindakan mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan
ideal.

2). Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen


Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu
filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik
ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara
tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah
fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk
melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas,
karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-
mana dan menyebabkan analisa yang keliru.

3). Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian).


Dalam buku ini dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama
semakin penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran
transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau
mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya
menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak
mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga
yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya
dunia intersubjektif?

D. Pikiran-Pikiran Pokok

1. Fenomenologi

Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan


logos. Arti kata logos sudah tidak perlu dijelaskan lagi, sebab sudah menjadi

5
Filsafat Manusia

pengertian umum dan dikenal dalam berbagai susunan. Sedangkan kata fenomena
berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan
terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya.
Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam
bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau
sesuatu yang menampakkan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa fenomena dipandang dari dua sudut.


Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas
di luar pikiran. Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada
dalam kesadaran kita. Maka dalam memandang fenomena harus terlebih dahulu
melihat “penyaringan” (ratio), sehingga mendapatkan kesadaran yang murni.

Fenomenologi adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi


ideal dari obyek-obyek sebagai korelat kesadaran.2 Pertanyaannya, bagaimana
esensi-esensi tersebut, tanpa terkontaminasi kecenderungan psikologisme dan
naturalisme? Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche
(penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi). Tanpa
penundaan asumsi naturalisme dan psikolgisme, kita akan terjebak pada
dikotomi.3 (subyek-obyek yang menyesatkan/bertentangan satu sama lain).
Tujuan epoche adalah mengembalikan sikap kita kepada dunia, yakni sikap yang
menghayati, bukan memikirkan benda-benda. Contohnya, saat mengambil gelas,
saya tidak memikirkan secara teoritis (tinggi, berat dan lebar) melainkan
menghayatinya sebagai wadah penampung air untuk diminum. Ini yang hilang
dari pengalaman kita, kalau kita menganut asumsi naturalisme. Dan ini yang
kembali dimunculkan oleh Husserl. Akar filosofis fenomenologi Husserl ialah dari
pemikiran gurunya, Franz Bretano. Dari Brentano-lah Husserl mengambil konsep
filsafat sebagai ilmu yang rigoris4 (sikap pikiran di mana dalam pertentangan
2 Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta : Jalasutra. 2005. hlm. 151.
3 (Dalam KBBI (Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru),
Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007 hlm.192). Dikotomi diartikan sebagai klasifikasi ke dalam
dua kelas sebagai sifat-sifat paradoks yang berpasangan; pembagian dua konsep yang
bertentangan satu sama lain)
4 Berdasarkan Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta:

6
Filsafat Manusia

pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan); sebagaimana juga bahwa


filsafat terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.

Sebelum tahun 1908 Husserl dan gurunya, mengartikan fenomenologi


sebagai “fenomenologi psikologis”, yaitu Psikologi Deskriptif. Psikologi yang
hanya mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai
sebab gejala-gejala. Husserl berkata bahwa “kita perlu kembali ke benda-benda
sendiri” (Zu den Sachen selbst). Obyek-obyek harus diberi kesempatan untuk
berbicara. Deskripsi fenomenologis tidak dimaksudkan untuk menggantikan
keterangan ilmiah, melainkan baru sebagai persiapan untuk keterangan ilmiah.
Melalui deskripsi fenomenologis dicari Wesenchau: melihat (secara intuitif)
hakekat gejala-gejala. Untuk mencapai hal ini, kita harus memakai metode variasi
eidetis (dalam fantasi, kita membayangkan gejala dalam macam-macam keadaan
yang berbeda), sehingga tampak apa yang merupakan batas invariabel dalam
situasi-situasi yang berbeda ini. Yang muncul sebagai sesuatu yang berubah-ubah
itu disebut wesen, yang dicari.

Setelah tahun 1908 Fenomenologi Husserl menjadi “fenomenologi


Transendental”. Dia berpendapat dalam periode ini bahwa kesadaran bukan
bagian dari kenyataan, melainkan asal dari kenyataan. Husserl menolak kesadaran
bipolaritas (kesadaran dan alam, subyek dan obyek). Artinya kesadaran tidak
menemukan obyek-obyek. Obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Dengan
pendapat ini, Husserl dekat dengan idealisme. Bagi ilmu-ilmu, kesadaran dan
alam memang tampak sebagai dua pola dalam kenyataan, namun harus dipasang
dalam suatu ideologi idealitas yang hanya masih menerima satu pola, yaitu
kesadaran.

Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang sungguh revolusioner dan


berpengaruh. Sebagai corak berfilsafat, fenomenologi sangat orisinil, pola
berfilsafat yang tidak lagi mencari esensi di balik penampakkan, melainkan

Gramedia, 2005, hlm.957. Rigoris merupakan suatu sikap pikiran di mana dalam
pertentangan pendapat mengenai boleh tidaknya suatu tindakan, bersikeras
mempertahankan pandangan yang sempit dan ketat.

7
Filsafat Manusia

berkonsentrasi penuh pada penampakkan itu sendiri. Fenomenologi menyapu


bersih segala asumsi yang cenderung mengotori kemurnian pengalaman manusia.

Pengaruh fenomenologi sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan


mendapatkan inspirasi dari fenomenologi, antara lain; psikologi, sosiologi,
antropologi sampai arsitektur, semuanya memperoleh napas baru dengan
munculnya fenomenologi. Selain mempengaruhi ke luar, fenomenologi juga
menghasilkan varian dalam fenomenologi itu sendiri. Sebut saja filsuf semacam
Heidegger dan Marleau Ponty. Mereka mengembangkan fenomenologinya sendiri
yang berbeda dengan fenomenologi Husserl. Heidegger dengan fenomenologi
eksistensial, sedangkan Ponty dengan fenomenologi persepsi. Keluarnya mereka
dari arus utama fenomenologi Husserl dilandasi oleh penolakan mereka terhadap
konsep ego transedental. Manusia bukan ego yang terlepas dari lingkungannya.
Manusia adalah wujud dalam dunia yang menemukan selalu, sudah terisolasi
dalam dunia kehidupan.

Sebagai disiplin, fenomenologi sudah menampakkan dirinya kuat-kuat


dalam arus besar pemikiran kontemporer. Masa depannya sangat bergantung pada
seberapa jauh pengetahuan kita untuk mendalami dan mengembangkannya.

2. Intensionalitas

Salah satu hal yang muncul sebagai hasil fenomenologi Husserl ialah
perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran.5 Kesadaran kita tidak dapat
dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran memang
diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek yang terbuka untuk obyek-
obyek yang ada. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek
disebut intensionalitas (dari kata “intendere” artinya “menuju ke”). Kiranya tidak
tepat mengatakan bahwa kesadaran mempunyai “intensionalitas”, karena
kesadaran itu justru intensionalitas. Entah kita sungguh-sungguh melihat suatu
pemandangan itu, bila kita masih menyadari perbedaan antara kedua
kemungkinan ini maka kita tetap menyadari sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif
melulu. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Hal yang disadari

5 Hamersma, Harry. Op.cit. hlm. 117.

8
Filsafat Manusia

dijadikan sesuatu yang ada bagi saya. Kesadaran itu bukan berarti suatu cermin
atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Artinya terdapat interaksi antara tindakan
kesadaran dengan obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap
sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya, hanya
ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.

Pengalaman subyek harus selalu dipandang sebagai pengalaman yang


terlibat secara aktif dengan dunia. Kesadaran tidak tertutup dari dunia, tetapi
selalu menuju, mengarah dan membuka pada dunia. Oleh karena itu kita tidak
boleh memikirkan pengalaman dalam kesadaran manusia seperti obyek “dalam
kardus”.

Pengalaman bukan sebuah “celah” yang mana dunia, hadir terpisah


darinya, menerobos masuk. Itu tidak sama halnya dengan menarik sesuatu yang
asing ke dalam kesadaran. Pengalaman adalah pagelaran yang mana bagi saya,
sosok yang mengalami, wujud yang dialami ‘ada di sana’ dan di sana
sebagaimana adanya dengan seluruh muatannya dan modus berada di mana
pengalaman sendiri. Lewar intensionalitas, yang melekatkannya.6

3. Tiga Jenis Reduksi7

Supaya dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek, maka


dibutuhkan tiga reduksi. Reduksi-reduksi ini yang menyingkirkan semua hal yang
mengganggu kalau kita ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama:
menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka
untuk gejala-gejala yang harus “diajak bicara”. Dua: menyingkirkan seluruh
pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Tiga:
menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan
oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau reduksi-reduksi ini
berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri, menjadi fenomin
(memperlihatkan diri).

6 Adian, Donny Gahral. Op.cit. hal. 141.


7 Hamersma, Harry. Op.cit. hlm. 117.

9
Filsafat Manusia

E. Relevansi

Pada milenium ketiga ini, banyak fenomena-fenomena yang terjadi. Baik


secara langsung (kita sadari) maupun yang tidak kita sadari. Fenomena-fenomena
yang “masih panas” dan menjadi persoalan yang kerapkali diperbincangkan dalam
media masa; salah satunya tentang “global warming”. Adapun fenomena yang
baru saja kita alami yakni bencana alam. Khususnya di Indonesia kita dapat
melihat fenomena-fenomena alam yang sering menimpa negeri kita yang tercinta
ini. Fenomena alam yang tidak diketahui kapan dan apa yang menyebabkannya
terjadi, antara lain misalnya saja; meluapnya lumpur Lapindo di Sidoarjo dan
gelombang Tsunami di Aceh. Memang kita yakin bahwa penyebabnya ialah
keserakahan dan ketidakpuasan manusia akan sumber daya alam. Dalam hal ini,
ketidakpuasan dari manusia akan kebutuhan hidup.

Menurut hemat penulis, baik global warming maupun fenomena-fenomena


alam lainnya merupakan fenomena yang sangat menarik dan masih aktual untuk
diperbincangkan dalam pembahasan fenomenologi. Misalnya, menumpuknya
sampah di TPA Spiturang. Siapa yang percaya bahwa pemulung yang sering
mengais-ngais sampah itu sebenarnya orang kaya. Rupanya dibalik semuanya itu
ada fenomena-fenomena yang mau disampaikan. Dalam hal ini, sebaiknya
janganlah kita melihatnya hanya sebatas mata melihat/apa yang tampak pada mata
kita, tetapi sebenarnya ada fenomena yang tersembunyi dibalik semuanya itu yaitu
pemulung di TPA Spiturang adalah bukan semuanya miskin, tetapi kebanyakan
orang kaya.

Dalam tulisan ini, penulis menghimbau kepada kita yang hadir di sini;
supaya dalam melihat, merasakan (mengalami) setiap fenomena-fenomena dalam
hidup, selalu bertitik berangkat dari pemikiran fenomenologi, di mana kita perlu
kembali kepada benda-benda itu sendiri. Jelas bahwa yang dimaksud ialah
membiarkan obyek-obyek itu menampilkan seperti dirinya sendiri. Dengan
demikian kita akan menjadi “pewaris” pemikiran Husserl dan juga kita akan
dibawa kepada suatu referensi yang mendalam dari luasnya panorama-panorama

10
Filsafat Manusia

fenomenologi dewasa ini. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya. Semoga


dengan memandang fenomena dari dua sudut yaitu melihat fenomena selalu
“menunjuk ke luar” atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kemudian
melihat fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran
kita. Dengan demikian, dalam memandang fenomena-fenomena harus melihat
‘penyaringan’ (ratio) terlebih dahulu sehingga mendapatkan kesadaran yang
murni.

Sebagai pertanyaan refleksi bagi kita; sudahkah kita melakukan semuanya


ini? Beranikah kita “menyapu” bersih segala asumsi yang cenderung mengotori
kemurnian pengalaman manusiawi kita? Persoalannya sekarang ialah dari mana
kita memulainya? Kapan kita memulainya? Untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan ini, penulis menawarkan solusi yang sekiranya berguna bagi kita yakni
dengan melakukan “M3+J”. M3 (Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal-hal yang
kecil dan, Mulai dari sekarang), sedangkan J (Jadilah fenomenolog yang kritis di
zaman sekarang).

F. Kesimpulan

Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun


masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang
bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu
kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).
Dengan pernyataan ini Husserl menghantar kita untuk memahami realitas itu apa
adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu
menampakkan diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha kembali pada benda-
benda itu sendiri, bagi Husserl adalah kembali kepada realitas itu sebagaimana dia
tampil dalam keasadaran kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut
fenomena.

Fenomenologi secara khusus berbicara tentang kesadaran dan strukturnya,


atau cara-cara bagaimana fenomena muncul pada kita. Karena kesadaran

11
Filsafat Manusia

semestinya merupakan apa, di mana segala sesuatu menyatakan dirinya dan


fenomenologi adalah studi tentang kesadaran, maka fenomenologi merupakan
filsafat utama.

Eksistensialisme berhubungan erat dengan fenomenologi. Fenomenologi


lebih suatu metode filsafat daripada suatu ajaran. Metode fenomenologi Husserl
kemudian dikembangkan oleh muridnya antara lain; M. Scheler dan Merleau-
Ponty. Fenomenologi mengatakan bahwa kita harus memperkenalkan gejala-
gejala dengan menggunakan intuisi. Kenyataan tidak harus didekati dengan
argumen-argumen, konsep-konsep dan teori umum. Setiap benda mempunyai
“hakekat-hakekatnya” dan “hakekat” ini berbicara kepada kita kalau kita
membuka diri untuknya. Kita harus “mengabstrahir” dari semua hal yang tidak
hakiki. Kalau segala sesuatu yang tidak hakiki sudah dilepaskan, lalu semua hal
yang ingin kita selidiki, mulai berbicara dan “bahasa” ini dimengerti berkat intuisi
kita. Oleh karena itu, metode fenomenologis telah membuktikan manfaatnya
untuk epistemologi, psikologi, antropologi, studi agama-agama dan etika.

Daftar Pustaka
Gahral Adian, Donny. Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah Pengantar

Komprehensif). Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005.

Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad XX. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1988.

Hamersma, Herry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia. 1983.

Hamersma, Herry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. 1980.

Team Pustaka Phoenix. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru). Jakarta:

Pustaka Phoenix. 2007.

12

Anda mungkin juga menyukai