Gkpa (Kelompok)
Gkpa (Kelompok)
3116)
I. Pendahuluan
Sejarah adalah kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau
(kejadian dan peristiwa, fakta dan kenyataan dari masa lampau). Sejarah juga adalah
pengetahuan dan uraian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi
di masa yang lampau. Sejarah gereja di Indonesia adalah kisah tentang aktivitas misionaris
(misi) dan respon orang-orang di Nusantara terhadap panggilan Yesus Kristus melalui
pemberitaan Injil. Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) sudah termasuk dalam gereja
yang diakui di Indonesia. Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) memiliki sejarah
perjalanan yang sangat panjang dalam menunaikan tugas dan panggilannya sebagai rekan
kerja Allah di dunia ini dalam menghadirkan kerajaanNya di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
Sejarah Penginjilan
Jalur yang ditempuh para perintis PI pada penghujung dekade 1850-an menggunakan
pinta masuk lama, melalui Padang dan Sibolga. Pemerintah Kolonial Belanda yang
berkedudukan di Sibolga (Pulo Pocan Kete) mengarahkan pekabar Injil ke daerah-daerah
Batak yang berada di bawah kekuasaan Kolonial sejak 1830-an, yaitu Mandailing dan
Angkola, sedangkan bagian utara masih dianggap daerah yang tertutup untuk orang Barat.
Beberapa lembaga sending Protestan juga telah memasuki bagian Selatan Tanah Batak, antara
lain sending jemaat Ermelo dari kota Ermelo, Belanda. Utusan pertama jemaat Ermelo
adalah penginjil Gerrit van Asselt 1857. Duan tahun kemudian tahun 1859 penginjil C.J.
Klammer dari sending Rhein RMG Jerman tiba di Angkola. Pada tahun 1864 Java Comite,
sebuah lembaga sending Belanda, tiba di Angkola membantu pelayanan jemaat Ermelo di
bidang tenaga dan dana. Tahun 1871, sending Mennonit-Anabaptist dari Belanda dan Rusia
melakukan penginjilan ke kawasan Angkola-Jae dan Mandailing. Sending Mennonit dikenal
pula dengan nama Doopgezinde Sending Vereenging (DZV) yang berkantor pusat di
Amesterdam. Keragaman lembaga sending Protestan membuahkan keragaman jemaat-jemaat
Kristen Batak (Angkola-Mandailing). Kepelbagaian tersebut menjadi suatu fakta sejarah
kekristenan di tanah Batak bahwa para penginjil Barat diutus oleh berbagai lembaga sending
Protestan. Sejarah Kekristenan di bagian Selatan Tanah Batak (Angkola- Mandailing) juga
mencakup lembaga-lembaga sending Protestan lainnya, bukan hanya mencakup upaya
penginjilan oleh lembaga sending Rhein RMG yang dibuka tanggal 7 Oktober 1861.
Penginjil Gerrit van Asselt, utusan jemaat Ermelo tiba di kota Padang tahun 1857. Gerrit van
Asselt ditawari menjadi adiministrator gudang kopi milik Belanda di Sipirok yang sudah
direbut Belanda dari kaum Padri. van Asselt diizinkan menjadi penginjil, tetapi hanya kepada
sedikit sisa orang Batak Angkola yang masih tetap memeluk agama etnis. Beberap rekan dari
Ermelo juga segera menyusul, yakni penginjil Friedrick Wilhelm betz, Dammerboer, Van
Dalen dan Koster. van Asselt berhasil membaptis dua orang Batak pertama pada hari raya
Paskah 31 Maret 1861, yaitu Pagar Siregar dengan nama baptis Simon Petrus dan Main
Tampubolon yang diberi nama Jakobus. Simon Petrus adalah putra raja Pamusuk (kampung),
Raja Sutan Doli, dari Bungabondar. Jakobus adalah seorang anak rantau asal Barus yang
dibeli van Asselt dari salah satu onan yang kemudian dijadikan naposo (pelayan) yang sering
disebut orang sebagai tukang tenteng tas van Asselt. Beliau melanjutkan pelayanannya di
tanah Batak hingga 1875 di bawah pimpinan lembaga sending Rhein Jerman (RMG).1
Lembaga sending, Java Comite mengutus penginjil ke Angkola dan Mandailing sejak
1864 guna membantu penginjilan jemaat Ermelo. Penginjilan jemaat Ermelo bersama Java
Comite tetap eksis melayani di Sipirok, Bungabondar, Sipiongot (di tanah datar luas
Padangbolak), Hutaimbaru, dan Pargarutan. Putra-putra daerah telah ikut memberi kontribusi,
yaitu pemuda-pemuda Batak Angkola Mandailing yang mengikuti pendidikan di seminari
Depok pada awal 1880-an. Jemaat-jemaat di daerah Angkola memakai bahan ajar
Katekhismus Heidelberg, yang biasanya dipakai oleh gereja-gereja yang berorientasi pada
ajaran Calvinis di Jerman. Tetapi bahan ajar yang utama oleh lembaga penginjilan Jerman
RMG adalah Katekhismus Martin Luther, yang diterjemahkan oleh I.L. Nommensen ke
bahasa Batak Toba tahun 1874. Kemudian pada tahun 1929, jemaat-jemaat Angkola asuhan
1
Pdt.Dr. Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus : Sejarah 150 Tahun Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) 7 Oktober 1861- 7 Oktober 2011, ( Pearaja, Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2011),
35-36
jemaat Ermelo bersama Java Comite bergabung dengan jemaat-jemaat dalam naungan
lembaga penginjilan Jerman RMG. Ephorus Dr. Johannes Werneck memandang proses
penggabungan tersebut sebagai langkah awal penyatuan jemaat-jemaat Batak (Angkola dan
Toba) di Tapanuli Selatan sebagai gereja Batak yang satu. Menurut Warneck jemaat-jemaat
asuhan Ermelo dan Java Comite bukan disatukan pada lembaga sending Rhein RMG tetapi
kepada Gereja Batak yang akan diresmikan sebagai Gereja Batak yang mandiri dengan
pengakuan negara sebagai suatu badan hukum yang resmi pada tahun 1931. Tetapi kemudian,
jemaat-jemaat karya penginjilan Ermelo dan java Comite di daerah Angkola memisahkan diri
dari HKBP dan bergabung dengan Gereja Muria di Jawa Tengah. Ini menandakan alangkah
sulitnya sejak dulu untuk melahirkan sebuah gereja Batak di tengah kaum Batak yang
memiliki bahasa lokal, adat-budaya dan latar belakang historis yang beragam. 2
Sending Mennonit dirintis oleh seorang penginjil yang berasal dari sebuah desa
Kristen Mennonit di Rusia, bernama Heinrich Dirks. Beliau memiih tinggal di Pakantan,
Mandailing 1871. Pada 26 Januari 1871 ditetapkan sebagai hari jadi gereja Mennonit di
Mandailing. Heinrich Dirks melayani di jemaat-jemaat dalam asuhan Mennonit di
Mandailing dari tahun 1871 sampai 1920-an. Kaum Protestan Mennonit mengalami
penindasan dari pimpinan Rusia, Lenin dan Stalin. Penindasan terhadap kaum mennonit di
Rusia membuat kegiatan pelayanan sending di Tanah Batak Mandailing jadi terkendala
karena kekurangan tenaga dan dana. Sehingga akhirnya jemaat-jemaat Mennonit tersebut
diserahkan sebagai pelayanan sending Jerman RMG 1931. Penginjil Mennonit yang terakhir
di Pakantan adalah P.Nachtigal, meninggal dunia pada Januari 1928. Lalu Mennonit
menyerahkan jemaat-jemaat Mennonit ke tangan sending Java Comite di Angkola dan
Mandailing, H.J. Eggink. Pada tahun 1930-an terdapat sepuluh jemaat Mennonit yang
tersebar diberbagai tempat yang berjarak sekitar 50 sampai 100 km dari Padangsidimpuan
adalah pusat pelayanan lembaga sending Java Comite. Kesepuluh Jemaat tersebit adalah
Pakantan, Muara Sipongi, Kotanopan, Penyabungan, Bonandolok, Sihepeng, Hutanagodang,
Simpangbanyak. Lebih dari 50 % diantaranya berasal dari daerah Batak Toba, yaitu para
perantau spontan ke daerah Tapanuli Selatan. Pembangunan gereja di jemaat asuhan sending
Java Comite dan sekeliling Mennonit berbeda dengan kebiasaan yang daerah tanah Batak
bagian Utara. Di daerah tersebut sejak awal ditanamkan semangat membangun gedung gereja
sendiri, sedangkan jemaat di tanah Batak Selatan sangat bergantung pada bantuan sending
Java Comite dan sending Mennonit. Demikian awalnya situasi penyatuan jemaat-jemaat asal
2
Pdt.Dr. Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,.., 37
asuhan Java Comite dan mennonit dengan jemaat-jemaat asuhan sending Jerman Rhein
(RMG). Namun faktor perbedaan latar belakang sending, khususnya menyangkut prinsip
jemaat yang memberi dan bukan jemaat yang menerima melulu bantuan asing, membuat
penyatuan jemaat-jemaat asal asuhan Java Comite dan mennonit dengan jemaat-jemaat
HKBP tidak pernah mulus. Jemaat-jemaat yang berasal dari Java Comite dan mennonit
sebuah jemaat harus menerima bantuan dari luar.
3
Zending ke GKPA, (Padangsidimpuan J.U.Siregar, Dari Gereja: Kantor Pusat GKPA, 1999) 177
4
J.U.Siregar, Dari Gereja Zending ke GKPA, 178.
5
J.U.Siregar, Dari Gereja Zending ke GKPA 179.
Dengan didasari beberapa faktor kemandirian di atas, maka umat Kristen Angkola-
Mandailing mulai membentuk organisasi-organisasi kemandirian gereja. Jemaat-jemaat yang
sejak tahun 1869 dikumpulkan oleh zending Mennonite di Mandailing diserahkan kepada
RMG pada tahun 1931, tetapi penyatuan mereka dengan HKBP meleset karena orang
Mennonite menolak pembaptisan anak-anak. Maka sebagian anggota kemudian membentuk
Gereja Mennonite Protestan Indonesia (GMPI).
Gramberg
Gramberg memperjuangkan pengaruh dan tuntutan-tuntutan Belanda didalam HKBP
dengan pertolongan unsur kedaerahan Angkola dan bersama-sama dengan kelompok
Angkola mendirikan Gereja Batak Angkola yang mandiri (HKBPA)6
Dr. S. C. Nainggolan
Seorang dokter Rumah Sakit, yang memiliki tujuan mendirikan kemandirian Gereja,
dan menuliskan suatu karangan dan menterjemahkannya kedalam Bahasa Batak
Angkola dan Batak Toba dan disebarkan dikalangan guru serta pandita, disertai
6
J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1992) 204
sehelai daftar pertanyaan. Didalam karangannya berisiskan sebuah traktat
ekklesiologis yang didalamnya ia membela dan menuntut kepemimpinan para utusan
zending Belanda dan juga pembentukan HKBPA yang mandiri.7
Pada tahun 1975 HKBP memenuhi keinginan jemaat-jemaatnya di Angkola sehingga mereka
dapat membentuk gereja tersendiri, yang mula-mula disebut HKBP-A (Angkola), dan sejak
1988 menyandang nama Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA). Pada tahun 1976 gereja
ini bergabung dengan GMPI. Dengan bantuan kaum Mennonite di Jawa, GKPA berhasil
menyusun terjemahan Alkitab dan sebuah buku lagu Gereja dalam Bahasa Batak Angkola.
8
akan tetapi dalam hal ini, tentunya memiliki proses yang panjang dalam pembentukan gereja
tersebut. Kebiasan jemaat Mennonit untuk tergantung pada bantuan luar menjadi beban
tersendiri bagi GKPA. GKPA tetap mempergumulkan dan berupaya untuk mengubah citra
jemaat tersebut dari hanya menerima kepada citra memberi melalui persembahan dalam
kebaktian. 9
7
J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1992) 205
8
Dr.Th.Van den End & Dr. J. Weitjens,SJ, Ragi Carita : Sejarah Gereja Di Indonesia 2, (Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 1993), 184
9
Pdt.Dr. Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus,..,38-39
jiwa. Ternyata setelah “de Jure” pun, tidak didapatkan apa yang dirindukan, malahan
semakin tambah persoalannya, bagaikan jalan terjal yang harus ditempuh).10
Keluhan Pucuk Pimpinan HKBP-A itu cukup beralasan, karena memang HKBP-A pada
waktu itu dihadapkan pada berbagai kendala dan rintangan yang menuntut banyak waktu,
energi, kesabaran dan daya-upaya untuk mengatasinya. Semua itu adalah akibat dan ekses
dari cara pemberian panjaeon yang kurang memenuhi aspirasi masyarakat Kristen Angkola–
Mandailing.
- Kesulitan Dana
Dalam penyerahan kemandirian HKBP-A, HKBP hanya memberikan 22 gereja kecil di
pedesaan dan 9 orang pendeta tanpa memberikan fasilitas Kantor Pusat. Hal ini
mengakibatkan HKBP-A banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi pembiayaan
operasional, seperti: penggajian para pendeta dan karyawan Kantor Pusat, sarana transportasi,
gedung kantor pusat, dan alat-alat tulis kantor. Sehingga, pada awalnya Kantor Pusat HKBP-
A masih berkantor di Jl.Sipirok No.14 di salah satu rumah seorang jemaat, St.M.Sinaga.
- Masa Konsolidasi
Untuk mengatasi persoalan di atas, maka Sinode Am ke-II/1976 (pertama sesudah panjaeon
de Jure) ditetapkan sebagai periode 5 tahun pertama, 1976-1981 sebagai periode
10
J.U.Siregar, Dari Gereja Zending ke GKPA, 203.
"konsolidasi". Direncanakan sepanjang periode ini, seluruh perhatian dan daya-upaya
dikerahkan dan dipusatkan pada penataan dan pemantapan organ-organ dan alat kelengkapan
HKBP-A, termasuk sumber daya manusianya. Demikian diharapkan pada periode 5 tahun
berikutnya dapat dilakukan usaha-usaha dan program pembangunan, pengembangan dan
pertumbuhan menuju perwujudan gereja yang dewasa dan missioner. Berbagai hamaolon
(kesukaran) internal maupun eksternal yang diuraikan di atas menjadi kendala utama tidak
tercapainya program konsolidasi dimaksud. Tahun-tahun pertama periode 5 tahun kedua,
1981-1986 masih dimanfaatkan untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan konsolidasi. Tidak
tersedianya dana yang cukup memadai, merupakan faktor penghambat tidak terealisirnya
konsolidasi dimaksud tepat pada waktunya. Demikian program pembangunan,
pengembangan dan pertumbuhan praktis baru dapat ditangani dan dilakukan mulai periode 5
tahun ketiga: 1986-1991. Pada masa konsolidasi ini perpecahan internal antara HKBP-A
dengan GPA dapat diselesaikan dengan semangat kebersamaan dan pendekatan kekeluargaan
maka terjadilah penyatuan kembali antara HKBP-A dengan GPA dengan sebuah nama Gereja
baru, yakni: GEREJA KRISTEN PROTESTAN ANGKOLA (GKPA) dalam Sinode Am VIII
pada 3 Juli 1988 di Kantor Pusat GKPA Padangsidimpuan.
Berdasarkan hasil kuesioner, in depth interview, focus group discussion (FGD), wawancara
kepada stake holder dan berbagai kalangan, studi dokumen gereja GKPA, maka keadaan
GKPA saat ini berada pada pelayanan yang “tidak maju dan tidak mundur”, dan pelayanan
para pelayan GKPA yang perlu ditingkatkan kualitasnya, dan pelayanan GKPA yang masih
berorientasi ke dalam.
Keberagaman badan sending yang terdapat dalam sejarah adalah membawa keunikan
tersendiri bagi GKPA hingga saat ini karena membawa tradisi ajaran yang ada dibidang
pemahaman akan arti baptisan sebagai satu ajaran hakiki dalam kehidupan orang Kristen. 11
Dan Gereja tersebut sudah termasuk atau diakui dalam menganut aliran Lutheran serta
menjadi anggota LWF, termasuk di dalamnya HKBP, GKPS, GKPB,GKPI, HKI,GKLI,
GKPM, dan termasuk GKPA. Semuanya (kecuali GPKB) berkantor sinode (pusat) di
Sumatera Utara dan sekitarnya. Kalau kita perhatikan, gereja-gereja tersebut secara langsung
atau tidak adalah buah pekerjaan RMG (Rheinische Missions Gesellman) yakni lembaga
11
Lih. J.R.Hutauruk, “Makna Sejarah Gereja Masa Kini: Suatu Analisa Historis Tentang Sejarah Kekristenan di
luat Angkola”, dalam Ramli SN Harahap (ed), Bunga Rampai : Seratus Lima Puluh Tahun Kekristenan di Luat
Angkola, (Padangsidimpuan : Kantor Pusat GKPA, 2011), 26.
pekabaran Injil dari kawasan Rhein Jerman yang berasal dari lingkungan gereja yang
menganut aliran Uniert. 12
II. KN-LWF
12
Pdt. Dr. Jan.S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, (Jakarta : BPK Guning Mulia, 2008),
23
9. Gereja Westfalia, Biellefeld Jerman
Logo GKPA
PENJELASAN LOGO:
Gambar/ Huruf
1. Huruf A (Berwarna Kuning) adalah huruf A dari kata “Angkola” daerah pertama
penginjilan Kristen di Tanah Batak
4. Salib ditengah-tengah segitiga huruf A melambangkan Kristus adalah Raja Gereja dan
Juruselamat Dunia, khususnya daerah Angkola
5. Cawan dalam huruf GKPA adala persekutuan orang percaya yang membawa
kelepasan, keteduhan, dan kedamaian. Cawan juga melambangkan GKPA
WARNA
Visi
Misi
Tahun 2009
Tahun 2011-2016
Tahun 2016-2021
DAFTAR PUSTAKA
1. Pdt.Dr. Jubil Raplan Hutauruk, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus :
Sejarah 150 Tahun Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) 7 Oktober 1861- 7 Oktober
2011, ( Pearaja, Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2011), 35-36
2. Zending ke GKPA, (Padangsidimpuan J.U.Siregar, Dari Gereja: Kantor Pusat GKPA, 1999
4. Dr.Th.Van den End & Dr. J. Weitjens,SJ, Ragi Carita : Sejarah Gereja Di Indonesia
2, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993), 184