Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK PERAH

MANAJEMEN PAKAN
Disusun oleh :

Kelas B
Kelompok 5

NIRA ALIVIA RAMADHANI 200110160193


ERLIANI SUCI R.Y 200110160192
FATHAN HAZBUL YAMIIIN 200110160220
DESY NUR HARYATI 200110160219
M.YUSYA SYARIF NAWA 200110160218
ILYAS MUSTAQIM A 200110160216
M. FAROJA SADAN 200110160217

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2018
I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan suatu produksi bergantung kepada faktor genetik dan

lingkungan, diantaranya meliputi peningkatan kemampuan teknis peternakan yang

terdiri dari, peningkatan kemampuan tata laksana reproduksi, tata laksana

pemberian pakan, dan tata laksana pemeliharaan sehari-hari bagi peternak mutlak

harus dimiliki. Masalh penyebab kerugia suatu usaha peternakan sapi perah

diakibatkan belum dilaksanakannya tata laksana yang baik dalam usaha

peternakan sapi perah, sehingga berpengaruh lebih lanjut terhadap aspek-aspek

lainnya terutama menghambat peningkatan produksi susu.

Ternak sapi perah membutuhkan pakan dalam jumlah dan kualitas yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, tumbuh dan berkembang serta

menghasilkan keturunan (pedet) dan air susu yang baik. Pakan utama ternak sapi

perah adalah hijauan yang terdiri dari rumput, leguminosa, dll. Jika zat gizi yang

dibutuhkan yang berasal dari hijauan ternyata kurang, maka dapat ditambahkan

pakan penguat padat gizi (konsentrat) yang berasal dari limbah pertanian antara

lain dedak, bungkil kelapa, bungkil kedelai, ampas tahu, ongok, dll.

Proses pencernaan pakan di dalam perut (rumen) sapi dibantu oleh

mikroba. Jenis mikroba rumen tergantung dari jenis pakan yang diberikan. Jika

ada perubahan dalam pemberian pakan, mikroba tersebut memerlukan waktu 2-3

minggu untuk membiasakan diri terhadap jenis pakan tersebut. Pada selang waktu

tersebut sapi tidak dapat mencerna pakan dengan sempurna. Oleh karena itu,
penting untuk memberikan pakan yang sama secara terus menerus pada ternak

sapi perah.

Kondisi saat ini di Indonesia, peternak sapi perah belum menyediakan

kebutuhan pakan, terutama hijauan pakan ternak, dalam jumlah dan kualitas yang

cukup terus menerus sepanjang tahun. Peternak sapi perah di Negara empat

musim dapat menyediakan kebutuhan pakan ternak sepanjang tahun. Pada musim

dingin, peternak menyediakan hijauan pakan ternak yang telah diawetkan baik
dalam bentuk hay, silase atau bentuk lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana upaya penyediaan pakan sepanjang tahun?

2) Apa yang dimaksud dengan complete feed?

3) Mengapa complete feed bisa menjadi solusi pemberian pakan pada sapi
perah di Indonesia?

1.3 Tujuan

1) Mengetahui upaya penyediaan pakan sepanjang tahun.

2) Mengetahui complete feed.

3) Mengetahui complete feed bisa menjadi solusi pemberian pakan pada sapi

perah di Indonesia.
II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Produksi Susu Sapi Perah

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dan produksi susu adalah

bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi, besarnya sapi, estrus, umur, selang

beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, serta makanan dan tata laksana

(Sudono, 1999). Produksi susu sapi perah mengikuti pola yang teratur pada setiap

laktasi. Produksi susu akan naik selama 45–60 hari setelah sapi beranak hingga

mencapai puncak produksi dan kemudian turun secara perlahan-lahan hingga

akhir laktasi.Periode laktasi normal pada sapi yang dikawinkan dan bunting setiap

12 bulan adalah 44 minggu atau 305 hari (Tillman, 1986).

2.2 Pakan

Pakan sangat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan produksi

ternak khususnya sapi perah sehingga diperlukan perhatian yang lebih banyak.

Semakin baik ketersediaan dan kualitas pakan yang diberikan, maka akan semakin

baik pula hasil produksi yang akan didapat. Untuk meningkatkan produksi dalam

beternak sapi perah maka perlu diketahui jenis pakan dan bagaimana manajemen

pemberiannya, serta kebutuhan nutrien sapi perah untuk memenuhi hidup pokok

dan produksi.

Kualitas hijauan perlu diperhatikan dalam penyusunan ransum, karena

efek perpaduan penggunaan konsentrat dan hijauan ditentukan oleh kualitas

hijauan. Semakin baik kualitas hijauan, efek penggunaan dan penambahan jumlah

konsentrat akan semakin bertambah yang ditunjukkan dengan peningkatan

produksi susu (Suryahadi, 1997). Jika hijauan yang diberikan berkualitas tinggi
seperti leguminosa maka dibutuhkan pemberian konsentrat yang mengandung

10% protein kasar (PK), jika menggunakan hijauan kualitasnya rendah maka

kandungan PK sekitar 18-20%.

Faktor utama yang mempengaruhi produksi dan konsentrasi komponen

susu yaitu konsumsi bahan kering (BK) dan konsumsi nutrien (Sutardi, 1980).

Tingkat konsumsi menentukan jumlah tersedianya energi dan prekursor


komponen susu.

2.3 Pakan Komplit

Dalam teknologi pakan ternak kini dikembangkan sebuah inovasi produk

yang baru yaitu pakan lengkap (pakan komplit), yang mempunyai nilai nutrisi

lebih

lengkap dan lebih tinggi dibanding dengan bahan pakan asalnya. Pakan komplit

merupakan sistem pemberian pakan dalam bentuk tunggal dari hasil pencampuran

bahan-bahan pakan yang telah menjalani proses pelleting untuk menghindari

seleksi pakan oleh ternak, meningkatkan nilai nutrisi, palatabilitas, efisiensi

pakan, serta memudahkan pemberian pakan di lapangan (Owens, 1953).

Pakan lengkap (pakan komplit) merupakan sistem pemberian pakan dalam

bentuk tunggal yang dapat dibuat dengan proses pelleting, yaitu proses

pencampuran atau penggabungan beberapa bahan pakan melalui proses mekanik

dengan tujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi, palatabilitas, efisiensi pakan,

menghindari seleksi pakan oleh ternak serta memudahkan pemberian pakan di

lapangan (Owens, 1953). Ruminansia mempunyai sifat seleksi terhadap bahan

pakan yang tersedia dan tidak ada kontrol terhadap kemungkinan akibat buruk

suatu bahan pakan (Parakkasi, 1995). Pemberian pakan komplit pada ternak sapi

potong diharapkan mampu mencukupi kebutuhan nutrisi ternak.


Hartadi, dkk (1997) menyatakan bahwa pakan komplit adalah makanan

yang cukup gizi untuk ternak tertentu, di dalam tingkat fisiologi tertentu, dibentuk

atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan mampu

merawat hidup pokok atau produksi (atau keduanya) tanpa tambahan atau

substansi lain. Pakan komplit dapat dibuat dengan pelleting atau proses

aglomerasi (penggabungan) beberapa bahan pakan melalui proses mekanik

dengan tujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi, palatabilitas, efisiensi pakan, serta
memudahkan pemberian pakan di lapangan

2.4 Komposisi Nutrisi Hijauan dan Konsentrat

Kandungan karbohidrat mudah larut dalam air (Water Soluble

Carbohydrate atau WSC) pada rumput-rumputan umumnya adalah fruktan dan

beberapa komponen gula seperti glukosa, sukrosa dan raffinosa. Rumput-

rumputan asal temperate kandungan karbohidratnya lebih banyak dalam bentuk

fruktan sebagai bahan yang mudah larut dala air (WSC) yang umumnya disimpan

dalam batang, sedangkan jenis rumput-rumputan asal tropis dan subtropics

umumnya lebih banyak mengandung karbohidrat dalam bentuk pati daripada

fruktan dan umumnya disimpan dalam bagian daun. Hal yang mempengaruhi

komposisi nutrisi hijauan yaitu :

1) Spesies tanaman

2) Umur tanaman, contohnya PK<3% pada rumput yang sudah tua,

sedangkan pada rumput yang masih muda dapat mencapai >30%.

3) Iklim

4) Pemupukan

Dibanding fruktan, pati lebih sulit larut dalam air sehingga kandungan

WSC rumput-rumputan asal tropis sangat rendah (<6%) dibandingkan rumput-


rumputan asal temperate (>7%). Kandungan nutrisi hijauan tersebut perlu

diperhatikan sehubungan dengan proses pengawetan hijauan baik berupa

pengawetan kering (hay) maupun pada proses pengawetan basah/segar (silase).

Penggolongan tanaman budidaya maupun alami yang umum digunakan

sebagai hijauan makanan ternak terdiri atas jenis rumput-rumputan (gramineae),

perdu atau semak (herba), dan pepohonan. Spesies hijauan yang memiliki potensi

tinggi sebagai hijauan makanan ternak, antara lain: rumput-rumputan,

perdu/semak dan legum pohon. Rumput-rumputan terdiri atas rumput para

(Brachiaria mutica), rumput benggala (Panicum maximum), rumput kolonjono

(Panicum muticum), dan rumput buffel (Cenchrus ciliaris). Perdu/semak terdiri

atas beberapa jenis legum seperti kacang gude (Cajanus cajan), komak (Dolichos

lablab), dan perdu lainnya dari limbah tanaman pangan pertanian seperti jerami

padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar dan daun ubi kayu. Legum pohon

terdiri atas sengon laut (Albazzia falcataria), lamtoro (Leucaena leucocephala),

kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan turi (Sesbania grandiflora)

(Reksohadiprodjo, 1985).

Manurung (1995) menyatakan bahwa hijauan leguminosa merupakan

sumber protein yang penting untuk ternak ruminansia. Keberadaannya dalam

ransum ternak akan meningkatkan kualitas pakan. Limbah pertanian adalah hasil

ikutan dari pengolahan tanaman pangan yang produksinya sangat tergantung pada

jenis dan jumlah areal penanaman atau pola tanam dari tanaman pangan disuatu

wilayah (Makkar, 2002).

Konsentrat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu konsentrat sumber protein

dan konsentrat sumber energi. Konsentrat dikatakan sebagai sumber energi

apabila mempunyai kandungan protein kasar kurang dari 20% dan serat kasar
18%, sedangkan konsentrat dikatakan sebagai sumber protein karena mempunyai

kandungan protein lebih besar dari 20% (Sutardi, T. 1981).

Komposisi membuat konsentrat untuk pertumbuhan berat badan yang baik,

dalam komposisi konsentrat tersebut harus terkandung unsur protein yaitu

komposisinya terdiri dari dedak halus 75%, jagung giling 8%, bungkil kedelai 3%,

bungkil kelapa 10%, kalsium 2% dan garam dapur 2%. Semua bahan itu harus

dalam kondisi lembut agar mudah bercampur satu sama lain. Bahan itu kemudian
dicampur dalam suatu wadah dan diaduk sampai merata (Siregar, 1993).

2.5 Feed supplement

Feed supplement atau pakan pelengkap / tambahan adalah suatu bahan

pakan yang ditambahkan ke dalam pakan ternak untuk melengkapi kandungan

nutrisi pakan dalam memenuhi kebutuhan ternak (Kartadisastra, 1997).

Feed supplement merupakan bahan pakan tambahan yang memiliki bertujuan

untuk menambah nutrisi dalam pakan ternak, dimana nutrisi yang ditambahkan 6

tersebut ikut tercerna atau membantu pencernaan (Dixon, 1985). Setyono dkk.

(2009) berpendapat bahwa feed supplement merupakan bahan pakan ternak yang

diperlukan dalam jumlah yang sedikit, akan tetapi feed supplement tersebut dapat

menjadi sumber mineral serta vitamin (mikro nutrien) dan asam amino sintetis.

Feed supplement diberikan pada sapi perah laktasi umumnya sebanyak 1 - 2%


dari BB (Setyono dkk, 2009).

2.6 Feed additive

Feed additive atau pakan imbuhan adalah suatu bahan yang ditambahkan

ke dalam pakan, biasanya dengan jumlah yang sangat sedikit. Feed additive pada

umumnya bukan sebagai sumber zat gizi, tetapi dapat mempengaruhi karakteristik
pakan, meningkatkan kinerja alat cerna, kesehatan maupun meningkatkan kualitas

produk ternak (Kartadisastra, 1997). Feed additive tidak terdapat

secara alami dalam bahan pakan (Tim Penulis Agriflo, 2012).

Feed additive sering ditambahkan ke dalam pakan yang berfungsi sebagai

pemacu pertumbuhan. Feed additive contohnya yaitu vitamin mix, mineral mix,

premix, dan antibiotik. Selain itu, penggunaan feed additive dibatasi sampai 0,5 -

1% dalam ransum (Setyono dkk, 2009).


III

PEMBAHASAN

3.1 Upaya Penyediaan Pakan Sepanjang Tahun

3.1.1 Penyediaan Hijauan

Dalam dunia peternakan, pakan merupakan hal yang paling pokok

disediakan demi kelangsungan hidup ternak itu sendiri. Pakan yang diberikan

berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan pun haruslah memenuhi

kebutuhan nutrisi ternak. Ketersediaan hijauan makanan ternak sebagai pakan

ternak merupakan salah satu faktor yang menentukan baik buruknya

perkembangan ternak ruminansia, karena pakan merupakan komponen terbesar

dalam biaya produksi usaha peternakan dan berpengaruh langsung terhadap

produksi, produktivitas dan kesehatan ternak itu sendiri. Kebutuhan hijauan pakan

per ekor ternak ruminansia per hari untuk hidup pokoknya sebanyak ±10% dari

berat tubuhnya.

Kebutuhan akan hijuan makanan ternak terus bertambah seiring dengan

bertambahnya populasi ternak. Namun kendala yang dihadapi yaitu penyediaan

hijauan makanan ternak ini produksinya tidak tetap sepanjang tahunnya, hal ini

sesuai dengan pendapat Sumarno (1998) yang menyatakan bahwa kendala utama

di dalam penyediaan hijauan pakan untuk ternak terutama produksinya tidak dapat

tetap sepanjang tahun. Pada saat musim penghujan, produksi hijauan makanan

ternak akan melimpah, sebaliknya pada saat musim kemarau tingkat produksinya

akan rendah, atau bahkan dapat berkurang sama sekali. Selain itu juga dengan

semakin padatnya penduduk, maka lahan yang tersedia untuk hiajuan pakan

ternak semakin menyempit. Dengan ketidaktetapan produksi hijauan makanan


ternak ini, maka diperlukan budidaya hijauan pakan, baik dengan usaha perbaikan

manajemen tanaman keras atau penggalakan cara pengelolaan penanaman rumput

unggul sehingga mutu setiap jenis hijauan yang diwariskan oleh sifat genetik bisa

dipertahankan atau ditingkatkan. Dengan cara demikian kekurangan akan hijauan

pakan dapat diatasi, sehingga nantinya dapat mendukung pengembangan usaha

ternak ruminansia yang akan dilakukan (Kanisius, 1983).

Dalam upaya menyediakan hijauan bagi ternak yaitu dengan beberapa cara

pengolahan hijauan untuk menyediakan hijauan sepanjang tahun antara lain :

1. Pengawetan Hijauan dengan pembuatan Hay

Pengawetan hijauan pakan ternak untuk mengantisipasi kebutuhan pakan

pada musim kekurangan pakan sangat dianjurkan. Salah satu cara untuk

mengawetkan pakan sapi perah yaitu dengan pembuatan hay. Hay

merupakan hijauan makanan ternak yang sengaja dipotong dan dikeringkan agar

bisa diberikan kepada ternak pada kesempatan yang lain. Tujuan dari pembuatan

hay ini yaitu hay adalah untuk mengurangi tingkat kandungan air dari hijauan

hingga pada suatu level dimana menghambat aksi dari enzim-enzim baik yang

dihasilkan oleh tanaman maupun mikrobial (Mc Donald et al., 2002 dalam

Mansyur et al., 2007), untuk dapat menyediakan hijauan pakan untuk ternak pada

saat-saat tertentu, seperti dimasa paceklik atau musim kemarau, untuk dapat

memanfaatkan hijauan pada saat pertumbuhan terbaik tetapi pada saat itu belum

dimanfaatkan. Sedangkan prinsip dari proses pembuatan hay ini adalah

menurunkan kadar air menjadi 15-20% dalam waktu yang singkat, baik dengan

panas matahari ataupun panas buatan.

2. Pengawetan Basah berupa Silase, Amoniasi, dan Fermentasi


Selain dengan pengawetan kering cara lain dapat digunakan untuk

memaksimalkan pemanfaatan pakan dengan cara pengawetan basah berupa silase.

Adrial dan Saleh Mokhtar (2013) menjelaskan bahwa Tujuan utama pembuatan

silase adalah untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan suatu

hijauan untuk dimanfaatkan pada masa mendatang. Silase digunakan agar dapat

mengatasi kekurangan pakan ternak di musim kemarau panjang atau musim

paceklik, untuk menampung kelebihan produk hijauan makanan ternak atau untuk

memanfaatkan hijauan pada saat pertumbuhan terbaik, tetapi belum dipergunakan

dan mendayagunakan hasil sisa pertanian atau hasil ikutan pertanian Apabila

proses pembuatan silase ini berjalan baik, maka silase ini dapat disimpan dan bisa

bertahan 2-3 tahun (Subekti, E. 2009).Teknik amoniasi termasuk perlakuan alkali

yang dapat meningkatkan daya cerna jerami padi. Urea dalam proses amoniasi

berfungsi untuk melemahkan ikatan lignoselulosa dan silika yang menjadi faktor

penyebab rendahnya daya cerna jerami padi. Nitrogen yang berasal dari urea yang

meresap dalam jerami mampu meningkatkan kadar amonia di dalam rumen

sehingga tersedia substrat untuk memperbaiki tingkat dan efisiensi sintesis protein

oleh mikroba.

Kandungan protein kasar jerami padi rendah (3-5%), serat kasarnya tinggi

(>34%), kekurangan mineral, ikatan lignoselulosanya kuat dan kecernaannya

rendah. Menurut Preston dan Leng (1987), rendahnya nilai nutrisi jerami padi

disebabkan oleh kadar protein, kecernaan, mineral esensial dan vitamin yang

rendah, serta kadar serat kasar yang tinggi. Salah satu usaha untuk meningkatkan

kualitas jerami padi dapat dilakukan dengan meningkatkan nilai cernanya melalui

pemecahan ikatan kompleks lignoselulosa baik secara kimia, fisika, biologi

maupun kombinasinya. Jerami padi yang diberi perlakuan urea 4% dan disimpan
selama 4 minggu terjadi peningkatan daya cerna dari 35% menjadi 43,6% dan

kandungan nitrogen total dari 0,48% menjadi 1,55%. Langkah yang coba

dilakukan adalah dengan memanfaatkan limbah pertanian terutama jerami padi

karena jerami padi sering tidak dimanfaatkan bahkan terbuang. Melalui teknologi

amoniasi dengan urea maka nilai gizi jerami masih dapat ditingkatkan sehingga

dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia khususnya sapi (

Trisnadewi, dkk.2011).

Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam

keadaan anaerobik .Proses fermentasi juga telah dilakukan terhadap limbah

tanaman jagung menggunakan Pleurotus flabelatus untuk fermentasi jerami

jagung. Jamur Pleurotus merupakan jamur pembusuk putih (white rot fungi).

Jamur ini dapatmengeluarkan enzim-enzim pemecah selulosa dan lignin sehingga

kecernaan bahan kering jerami jagung akan meningkat. Selain itu juga dapat

menggunakan Trichoderma virideae untuk memfermentasi tongkol jagung.

Sebelum proses fermentasi dilakukan, diperlukan mesin penghancur/

penggiling tongkol jagung sehingga diperoleh ukuran partikel tongkol jagung

sebesar butiran biji jagung. Jamur Trichoderma termasuk jamur penghasil selulase

sehingga banyak digunakan untuk memfermentasi limbah-limbah pertanian.

Tongkol dicampur dengan jamur Trichoderma dan dibiarkan selama 4 – 7 hari

dalam tempat tertutup. Fermentasi biasanya akan meningkatkan nilai nutrisi atau

nilai kecernaan bahan kering suatu bahan serta dapat pula menyebabkan bahan

menjadi lebih palatabel bagi ternak ( Umiyasih, U. Dan Elizabeth, E. 2008).

3. Teknologi Pengelolaan

Untuk menyediakan hijauan pakan ternak sepanjang tahun perlu dilakukan

manajemen tanaman pakan ternak secara tepat . Pengelolaan hijauan pakan ternak
yang baik akan dapat menjamin pasokan hijauan pakan sepanjang tahun, baik

pada musim hujan maupun pada musim kemarau. Beberapa metode yang dapat

diterapkan pada peternakan sapi perah di Indonesia adalah: sistem tiga strata,

pertanaman lorong (alley cropping) dan tanaman penguat teras.

Tanaman pakan ternak yang dapat diupayakan antara lain adalah rumput

unggul dan leguminosa pohon atau perdu yang dapat beradaptasi pada kondisi

iklim wilayah tertentu . Pola penanaman hijauan pakan-ternak melalui sistem tiga

strata atau pola lorong dapat dikembangkan sebagai suatu cara untuk tetap dapat

menyediakan hijauan pakan ternak sepanjang tahun .

Gambar 1. Layout Sistem Tiga Strata

Strata pertama terdiri dari tanaman rumput potongan dan legume menjalar

yang disediakan bagi ternak pada musim penghujan. Strata kedua terdiri dari

tanaman yang disediakan bagi ternak apabila rumput sudah mulai berkurang

produksinya pada awal musim kemarau. Strata tiga terdiri dari legume pohon

yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai fungsi. Pola penanaman melalui sistem

tiga strata atau pertanaman lorong dapat dikembangkan sebagai suatu cara untuk

tetap dapat tersedia sepanjang tahun. Pola ini, telah berhasil meningkatkan

penyediaan pakan ternak dan bahkan meningkatkan produksi ternak serta


mengurangi erosi tanah. Pada sistem tiga strata integrasikan tanaman legum

diharapkan perbaikan kesuburan lahan karena sumbangan nitrogen dari nodul

pada akar dan gizi dari hijauan pakan ternak lebih baik (Nitis dkk., 2000).

Rumput, semak, dan pohon ditanam sebagai pagar dari tanaman palawija ataupun

tanaman perkebunan terutama pada lahan sempit. Produksi pakan hijauan STS

91% lebih tinggi dari Sistem Tradisional. Erosi lahan 57% lebih rendah, karena

strata 2 dan 3 menahan batu dan kerikil, sedangkan strata 1 menahan tanah. Unsur

hara dalam bentuk N 75% lebih tinggi, bahan organik 13% lebih tinggi dan humus

23% lebih tinggi (Nitis dkk., 2000).

Sistem pertanaman lorong (Alley cropping). Sistem pertanaman lorong ini

biasa diterapkan sebagai tanaman konservasi tanah di lahan-lahan miring yang

tidak diteras. Selain mengendalikan erosi sistem pertanaman lorong dengan

leguminosa juga dapat meningkatkan produktivitas lahan (Haryati dkk.,

2002). Pohon leguminosa (lamtoro, glirisidia, turi dsb.) ditanam berbaris

mengikuti kontur, membentuk pagar, jarak dari baris yang satu ke baris yang lain

tergantung pada kemiringan lereng, tetapi biasanya harus dapat ditanami tanaman

pangan (palawija). Untuk kondisi peternak sapi perah rakyat di Indonesia

sistem ini sulit dilakukan karena kepemilikan lahanyang sempit. Namun untuk

peternakan perusahaan sistem ini baik untuk diterapkan.

Tanaman penguat teras. Tujuan utama dari tanaman penguat teras adalah

sebagai tanaman konservasi tanah. Dengan adanya tanaman penguat teras baik

pada bibir maupun tampingan teras, selain mengendalikan erosi juga dapat

menjaga stabilitas teras dan menambah pendapatan dari hasil rumput/leguminosa

pakan (Prasetyo et al., 1991; Hendarto et al., 1998). Berbeda dengan pertanaman

lorong, tanaman penguat teras ditanam di lahan-lahan yang sudah diteras. Jenis
tanamannya beragam tergantung pada di bagian mana tanaman tersebut ditanam.

Apabila ditanam di bibir teras bisa digunakan rumput, bisa juga leguminosa.

Untuk lahan yang curam atau sangat curam sebaiknya digunakan leguminosa

pohon atau perdu seperti lamtoro, glirisidia atau stylosanthes. Sedangkan untuk

lahan yang tidak begitu curam bisa digunakan rumput seperti setaria dan rumput

gajah. Apabila ditanam di tampingan teras bisa digunakan rumput yang menjalar

seperti rumput kawat, Paspalum notatum atau yang tidak menjalar seperti rumput

pahit dan rumput karpet (Prawiradiputra dan Tala'ohu, 1998). Rumput Brachiaria

brizantha dan B. decumbens tidak dianjurkan karena terlalu agresif sehingga

berubah menjadi gulma yang mengganggu tanaman pangan yang ditanam di


bidang olah.

3.1.2 Penyediaan Konsentrat

Konsentrat adalah suatu bahan pakan yang dipergunakan bersama bahan

pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan pakan dan

dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen atau pakan

lengkap. Fungsi pakan konsentrat adalah memperkaya dan meningkatkan nilai

gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah. Sehingga sapi yang sedang

tumbuh ataupun yang sedang dalam periode penggemukan harus diberikan pakan

penguat yang cukup, sedangkan sapi yang digemukan dengan sistem dry lot

fattening diberikan justru sebagian besar pakan berupa pakan berbutir atau

penguat (Sugeng, 1998).

Konsentrat sumber protein dapat diperoleh dari hasil samping

penggilingan berbagai biji-bijian, sedangkan konsentrat sumber energi dapat

diperoleh dari dedak dan biji-bijian seperti jagung. Bahan pakan penguat ini

meliputi bahan makanan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, menir
dan berbagai umbi. Fungsi pakan penguat ini adalah meningkatkan dan

memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah. Adapun

pemilihan bahan pakan konsentrat ini haruslah bahan yang tidak bersaing dengan

bahan kebutuhan manusia. Konsentrat dapat dibuat dari jagung dan berbagai

umbi. Solusi dalam penyediaan konsentrat yaitu bisa menggunakan bahan hasil

ikutan pertanian dari pabrik seperti bekatul, dedak, bungkil kacang tanah, bungkil

kelapa, bungkil kedelai dan tetes (molases), dengan demikian konsentrat akan

selalu tersedia. Namun konsentrat buatan pabrik tidak jarang harganya mahal

karena adanya bahan-bahan yang impor dari luar negeri, seperti tepung ikan. Oleh

karena itu, bisa dibuat konsentrat dengan harga yang lebih murah yaitu tepung

ikan yang merupakan bahan impor ini dapat diganti dengan bahan yang lain,

seperti ampas tahu, daun kacang tanah, atau bungkil kedelai. Bahan-bahan yang

digunakan untuk bahan konsentrat adalah pollard, bungkil kelapa, dedak, amaps

kecap, onggok,super mineral, feed mix, cyc 100, tepung ikan, starbio, molases,

dan urea.komposisi nutrisi yang dihasilkan adalah BK 83%, PK 14,34%, SK

12,53%, LK 8,64%, Ca 1,04%, P 0,54%, dan TDN 70,32% (Koddang, 2008).

Limbah pertanian yang telah banyak digunakan adalah jerami padi, jerami

jagung, daun ubi batang, dan batang pisang. Penggunaan limbah pertanian

bukanlah suatu hal yang murah lagi, dibutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk

ongkos transportasi dan tenaga kerja untuk mencari limbah tersebut. Limbah

pucuk tebu yang dipanen merupakan salah satu sumber hijauan, komposisi

nutrisinya sebagai berikut : PK 11%, LK 3%, Abu 12%, NDF 66%, ADN 50%,

lignin 5%, Ca 0,4%, P 0,2%, dan kecernaan bahan kering in vitro 42% (Lowry et

al., 1992).
3.2 Complete Feed

Dalam teknologi pakan ternak kini dikembangkan sebuah inovasi produk

yang baru yaitu pakan lengkap (pakan komplit), yang mempunyai nilai nutrisi

lebih lengkap dan lebih tinggi dibanding dengan bahan pakan asalnya. Pakan

komplit merupakan sistem pemberian pakan dalam bentuk tunggal dari hasil

pencampuran bahan-bahan pakan yang telah menjalani proses pelleting untuk

menghindari seleksi pakan oleh ternak, meningkatkan nilai nutrisi, palatabilitas,

efisiensi pakan, serta memudahkan pemberian pakan di lapangan (Owens, 1953).

Pakan lengkap (pakan komplit) merupakan sistem pemberian pakan dalam

bentuk tunggal yang dapat dibuat dengan proses pelleting, yaitu proses

pencampuran atau penggabungan beberapa bahan pakan melalui proses mekanik

dengan tujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi, palatabilitas, efisiensi pakan,

menghindari seleksi pakan oleh ternak serta memudahkan pemberian pakan di

lapangan (Owens, 1953). Ruminansia mempunyai sifat seleksi terhadap bahan

pakan yang tersedia dan tidak ada kontrol terhadap kemungkinan akibat buruk

suatu bahan pakan (Sutardi, 1981). Pemberian pakan komplit pada ternak sapi

potong diharapkan mampu mencukupi kebutuhan nutrisi ternak.

Hartadi, dkk (1997) menyatakan bahwa pakan komplit adalah makanan

yang cukup gizi untuk ternak tertentu, di dalam tingkat fisiologi tertentu, dibentuk

atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan mampu

merawat hidup pokok atau produksi (atau keduanya) tanpa tambahan atau

substansi lain. Pakan komplit dapat dibuat dengan pelleting atau proses

aglomerasi (penggabungan) beberapa bahan pakan melalui proses mekanik

dengan tujuan untuk meningkatkan nilai nutrisi, palatabilitas, efisiensi pakan,

serta memudahkan pemberian pakan di lapangan.


3.2.1 Kebutuhan Nutrisi Pakan komplit Pada Sapi Laktasi

Menurut Hartadi, dkk (1997) menyatakan bahwa pakan komplit adalah

makanan yang cukup gizi untuk ternak tertentu, di dalam tingkat fisiologi tertentu,

dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan

mampu merawat hidup pokok atau produksi (atau keduanya) tanpa tambahan atau

substansi lain. Sehingga pakan komplit itu ialah kombinasi dari hijauan dan

konsentrat yang sedemikian rupa diproses untuk menghasilkan produk pakan yang

memiliki nilai nutrisi tinggi dan baik bagi dikonsumsi ternak.

Pada sapi perah awal laktasi biasanya berkisar pada 100 hari pertama. Pada masa

ini sapi perah akan sedikit mengalami penurunan konsumsi pakan yang berakibat

terjadi penurunan bobot badan sapi. Hal ini karena daya adaptasi sapi perah yang

masih melakukan adaptasi dari periose dara ke periode laktasi dengan perbedaan

yang signifikan. Pada masa laktasi, sapi perah dikawinkan untuk dapat

memproduksi susu pasca partus pertama sapi. Sapi perah akan dapat

memproduksi susu jika telah kawin dan melahirkan pedet.

Pemberian ransum pada sapi laktasi biasanya mengacu pada kebutuhan protein

(CP) dan energy (net energy). Akan tetapi untuk mendapatkan produksi maksimal,

pemberian ransum harus seimbang effective fiber, non-structural carbohydrates,

ruminal undegraded protein, soluble protein-nya.

Pada masa awal laktasi, pemberian hijauan minimal 40% dari total DM .

dengan panjang partikel hijauan minimal 2.6 cm agar pengunyahan (produksi

saliva) maksimal. Hijauan yang diberikan pun harus berkualitas bagus untuk

meningkatkan DM intake. Penambahan konsentrat peda pakan antara 0.5-0.7

kg/hari selama dua minggu pertama laktasi, jangan sampai kebanyakan hal ini

untuk menghindari permasalahan pencernaan seperti asidosis, dan penurunan


intake. Protein sangat penting pada awal laktasi. Jadi pada masa awal laktasi

rekomendasi pemberian protein 17-19% pada ransum. Jika menggunakan pakan

komplit pakan hijauan tersebut dapat di kombinasi bias dalam bentuk pelleting,

mash, dan lain sebagainya.

Menurut McDonald (2002) menyatakan periode pertengahan laktasi

adalah periode dari 100 hari sampai 200 setelah melahirkan anak. Fase Pada

periode ini sapi akan mengalami puncak produksi (8-10 minggu setelah kelahiran)

sapi juga mengalami puncak DM intake sehingga tidak mengalami penurunan

bobot badan.

Kebutuhan protein pada masa pertengahan laktasi lebih rendah

dibandingkan dengan masa awal laktasi. Oleh karena itu kandungan protein dalam

ransum antara 15-16% (PK). Rata-rata sapi pada periode ini menghasilkan susu

200-225 kg dari seluruh masa laktasi sebelumya. Kunci dari periode pertengahan

laktasi ini adalah memaksimalkan DM intake. Pada periode ini sapi dituntunt

untuk diberi pakan dengan kualitas hijauan yang tinggi (minimal 40-45% DM

pada ransum) dan tingkat efektifitas serat hampir sama dengan masa awal laktasi.

Pemberian konsentrat jangan sampai melebih 2.3 % bobot badan dan sumber non-

hijauan lainya.

Menurut McDonald (2002) menyatakan periode akhir laktasi dimulai 200

hari setelah melahirkan dan diakhiri pada saat masa kering sapi. Sapi akan

mengalami peningkatan bobot badan, hal ini untuk mengganti jaringan yang

hilang (BB) pada saat periode awal laktasi. Pakan hijauan yang diberikan 50-60%

sedangkan konsentrat jangan melebihi 2.5%. Adapun daftar lengkap kebutuhan

nutrisi pada tiap periode laktasi sapi perah dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
3.2.2 Komposisi Ransum Komplit

Sutardi (1981) menyatakan bahwa konsentrat terbagi menjadi dua jenis,

yaitu konsentrat sumber protein dan konsentrat sumber energi. Konsentrat

dikatakan sebagai sumber energi apabila mempunyai kandungan protein kasar

kurang dari 20% dan serat kasar 18%, sedangkan konsentrat dikatakan sebagai

sumber protein karena mempunyai kandungan protein lebih besar dari 20%.

Konsentrat biasanya digunakan dalam jumlah banyak dalam peternakan

yang berorientasi pada penggemukan ternak, seperti sapi potong, ayam ras, dan

domba. Pada peternakan sapi perah penggunakan konsentrat lebih sedikit jika

dibandingkan dengan hijauan.

Kandungan komposisi hijauan terdiri dari PK<3% pada rumput yang

sudah tua, sedangkan pada rumput yang masih muda dapat mencapai >30%.

Kandungan karbohidrat mudah larut dalam air (Water Soluble Carbohydrate atau

WSC) kandungan WSC rumput-rumputan asal tropis sangat rendah (<6%)


dibandingkan rumput-rumputan asal temperate (>7%).

3.2.3 Complete Feed Sebagai Solusi Pemberian Pakan Sapi Perah

Sumber daya lokal yang dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak

ruminansia adalah pemanfaatan hasil budidaya tanaman pangan dan perkebunan

seperti jerami padi, tongkong jagung, tebon jagung atau batang dan daun jagung

sisa panen, jerami kacang tanah, kulit buah dan biji cokelat, serat dan lumpur

sawit, bungkil inti sawit, serta ampas sagu. Melalui proses bioteknologi praktis

dan sederhana, dapat diciptakan pola pengembangan usaha ternak ruminansia

berbasis sumber daya lokal yang bernilai ekonomis tinggi. Beberapa keuntungan

yang diperoleh dari penerapan konsep Pakan komplit sebagai berikut :

a. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal.


b. Memaksimalkan daur ulang (zero waste).

c. Meminimalisasi kerusakan lingkungan (ramah lingkungan).

d. Diversifikasi usaha.

e. Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka

panjang.

f. Menciptakan kemandirian.

Selain itu, Pakan komplit juga bisa membantu memecahkan masalah

nasional seperti kebutuhan pakan bermutu yang tersedia setiap saat dan tidak

tergantung musim, harga terjangkau, mudah pemberiannya, dan sudah diawetkan,

sehingga lebih tahan lama disimpan. Dengan pemakaian Pakan komplit,

diharapkan populasi ternak ruminansia dapat ditingkatkan.


IV

KESIMPULAN

1) Upaya penyediaan pakan sepanjang tahun yang bisa dikembangkan di

wilayah peternakan sapi perah di Indonesia yaitu sistem tiga strata,

pertanaman lorong, pertanaman pagar, tanaman penguat teras dan

pengawetan.

2) Complete feed atau pakan lengkap merupakan sistem pemberian pakan

dalam bentuk tunggal dari hasil pencampuran bahan-bahan pakan yang

telah menjalani proses pelleting untuk menghindari seleksi pakan oleh

ternak, meningkatkan nilai nutrisi, palatabilitas, efisiensi pakan, serta

memudahkan pemberian pakan di lapangan.

3) Pakan lengkap dapat menjadi solusi pakan untuk peternakan sapi perah di

Indonesia karena dapat:

 Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal

 Memaksimalkan daur ulang (zero waste)

 Meminimalisasi kerusakan lingkungan (ramah lingkungan)

 Diversifikasi usaha

 Pencapaian tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka

panjang

 Menciptakan kemandirian
DAFTAR PUSTAKA

AAK (Aksi Agraris Kanisius). 1983. Dasar-Dasar Bercocok Tanam. Kanisius.


Yogyakarta.

Adrial dan Saleh Mokhtar. 2013. Penerapan Teknologi Pengolahan Dan


Pengawetan Hijauan Pakan Di Lokasi Model Pengembangan Pertanian
Perdesaan Melalui Inovasi (M-P3mi) Di Desa Kanamit Barat Kabupaten
Pulang Pisau. Buletin Inovasi Teknologi Pertanian Litkajibangrap. 1 (1) :
27-33.

Dixon, R.A. 1985. Plant Cell Culture A Practical Approach. Washington DC:
Department of Biochemistry, Royal Holloway College. IRL Press Oxford.

Hartadi H., S. Reksohadiprojo, AD. Tilman. 1997. Tabel Komposisi Pakan Untuk
Indonesia. Cetakan Keempat, Gadjah Mada Uivesity Press, Yogyakarta.

Haryati, U. 2002. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Alley Cropping serta


Peluang dan Kendala Adopsinya di Lahan Kering DAS Bagian Hulu.
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Institut Pertanian
Bogor.http//:www.google.com/artikel. Diakses pada tanggal 7 Oktober
2018 Pukul 15.34 WIB.

Kartadisastra, H.R. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia


(Sapi, Kerbau, Domba, Kambing). Yogyakarta: Kanisius. 1997.

Khalil dan Suryahadi. 1997. Pengawasan Mutu dalam Industri Pakan


Ternak.Majalah Poultry Indonesia Edisi 213 (November): 45-62.

Koddang, A. Y. M. 2008. Pengaruh Tingkat Pemberian Kosentrat Terhadap Daya


Cerna Bahan Kering dan Protein Kasar Ransum Pada Sapi Bali Jantan
yang Mendapatkan Rumput Raja ( Pennisetum Parpurephoides ). ad-
libitum, Jurnal Agroland 15 ( 4 ) :343- 348.

Lowry, J.B., R.J. Petheram, and B. Tangendjaja. 1992. Plants fed to village
ruminants in Indonesia. ACIAR, Canberra.

Mansyur, Tidi Dhalika, U. Hidayat Tanuwiria Dan Harun Djuned. 2007. Proses
Pengeringan Dalam Pembuatan Hay Rumput Signal (Brachiaria
decumbens) Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner : 714-
720.
Manurung, T. 1995. Penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai sumber
protein ransum sapi potong. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1 (3) : 143-
148.

Mc Donald, P.R.A.Edwards, J.F.D. Greenhalg and C.A. Morgan. 2002. Animal


Nutrition.6th Edition.

Nitis, I. M., K. Lana., dan A. W. Puger. 2000. Pengalaman pengembangan


tanaman ternak berwawasan lingkungan di Bali. Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak, Fakultas Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar,
Bali. Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Hal: 44-52.

Owens, F. H. and W. G. Bergen. 1953. Nitrogen Metabolism of Ruminant Animals


: Historical Perspective, Current Understanding and Future Implication.
J. Anim. Sci. 57., Suppl 2.

Owens, F. H. and W. G. Bergen. 1953. Nitrogen Metabolism of Ruminant Animals


: Historical Perspective, Current Understanding and Future Implication.
J. Anim. Sci. 57., Suppl 2

Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia, UI-Press,


Jakarta.

Prawiradiputra, B.R. dan S.H. Tala'ohu. 1998. Jenis-jenis Hijauan Pakan Ternak
Sebagai Tanaman Konservasi di DAS Cimanuk Hulu. Dalam Agus et al.
(eds) Alternatif dan pendekatan Implementasi Teknologi Konservasi
Tanah. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Puslitbangtanak, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Preston, T.R. and R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production System with
Available Resources in The Tropics. Penambul Books. Armidale.

Reksohadiprodjo, S. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropic. Edisi


Kedua. Yogyakarta: BPFE. Universitas Gadjah Mada. 1985.

Setyono, H., R. S. Kusriningrum, Mustikoweni, T. Nurhajati, R. Sidik, A. Al-


Arief, M. Lamid, dan W. P. Lokapirnasari. 2009. Teknologi Pakan Hewan.
Departemen Peternakan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas
Airlangga. Surabaya.

Singh, B. and Makkar, H.P.S. 2002. The potential of mulberry foliage as a feed
supplement in India. In Mulberry for Animal Production, ed. M.D.
Anchez. pp. 139–155. Animal Production and Health Paper. No. 147.
FAO. Roma Italy.

Siregar, S.B. 1993. Sapi Perah, Jenis, Teknik Pemeliharan, dan Analisa Usaha.
P.T Penebar Swadaya, Jakarta.

Subekti, E. 2009. Ketahanan Pakan Ternak Indonesia. Jurnal ilmu- ilmu pertanian
Mediagro. 5 (2) : 63-71.

Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi ternak.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Sugeng, Y.B. 1998. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sumarno, B. 1998. Penuntun Hijauan Makanan Ternak. Jawa Tengah:


Inspektorat/ Dinas Peternakan Jawa Tengah.

Sutardi,T.1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Fakultas Peternakan


Institut Pertanian Bogor,Bogor.

Sutardi,T.1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Fakultas Peternakan


Institut Pertanian Bogor,Bogor.

Sutardi. T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak


Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tillman, A.D., Hartadi, H. Reksohadiprojo, S., Prawirokusumo, S., Lebdosoekojo,


S. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.1997.

Tillman,. A.D., H. Hartadi, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekoedjo. 1991. Ilmu


Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tim Penulis Agriflo. 2012. Sapi: Dari Hulu ke Hilir dan Info Mancanegara.
Jakarta: Agriflo (Penebar Swadaya Grup). 1-2.

Trisnadewi. Sumardani, B. R.tanama putri, I g. L. O. Cakra, dan I g. A. I. Aryani.


2011. Peningkatan Kualitas Jerami Padi Melalui Penerapan Teknologi
Amoniasi Urea Sebagai Pakan Sapi Berkualitas Di Desa Bebalang
Kabupaten Bangli. Udayana Mengabdi. 10 (2) : 72 – 74.

Umiyasih, U. Dan Elizabeth, E. 2008. Pengolahan Dan Nilai Nutrisi Limbah


Tanaman Jagung Sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Wartazoa. 18 (3) :
127 – 136

Anda mungkin juga menyukai