Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional” |i
Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo
Jl. Drs. Achmad Nadjamuddin No. 17
Kota Gorontalo – Indonesia
Panitia:
Ketua : Muh. Sudirman Akili, S.TP., M.Si
Wakil Ketua : Muh. Iqbal Jafar, S.P., MP
Sekretaris : Evie Adriani, SP., M.Si
Bendahara : Ulfira Ashari, S.P., M.Si
Seksi Administrasi dan Kesekretariatan : I Made Sudiarta, S.P., M.Si
Seksi Acara Seminar Nasional : Irmawati, S.P., M.Si
Seksi Humas, Publikasi dan Dokumentasi : Firmansyah, S.Pi., M.Si
Seksi Konsmsi : Nur Pratiwi Rasyid, S.TP., M.Si
Editor:
Milawati Lalla, S.P., MP.
Muh. Darmawan, S.P., M.Si.
Darmiati Dahar, S.P., M.Si.
Fatmawati, S.P., M.Si.
Tri Handayani, S.Pd., M.Sc.
Muh. Arsyad, S.TP., M.Si.
Reviewer:
Dr. Zainal Abidin, SP., M.Si
Anto, S.TP., M.Sc.
Ikrar Taruna Syah, S.TP., M.Sc.
Evie Adriani, SP., M.Si
Deyvie Xyzquolyna, S.TP., M.Sc.
ISBN:
978-602-52820-0-3
Diterbitkan oleh:
Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo
Jl. Achmad Nadjamuddin No. 17 Telp: (0435) 829975 Fax: (0435)829976 Gorontalo
http://faperta.unisan.ac.id
Puji syukur panitia pelaksana Pekan Pembangunan Pertanian tahun 2018 panjatkan
kehadirat Allah SWT karena atas karunia-Nya sehingga laporan prosiding karya ilmiah
kegiatan Pekan Pembangunan Pertanian dapat diselesaikan dengan baik. Tema kegiatan
Pekan Pembangunan Pertanian adalah Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam
mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional dilihat dari Peluang dan
Tantangannya. Isu pangan dan ketahahan pangan adalah isu yang tidak akan pernah ada
habisnya dibicarakan karena selain sebagai sumber energi juga sebagai sumber gizi yang
menjadi hak asasi setiap manusia dan kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. Tantangan
ketahanan pangan kedepan adalah peningkatan jumlah penduduk dan perubahan iklim.
PEKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN yang telah dilaksanakan pada tanggal 22 – 24
Maret 2018 mengangkat tema PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DAERAH DAN NASIONAL
dalam rangkaian kegiatan pekan pembangunan pertanian dalam bentuk seminar nasional
yang dirangkaikan dengan Seminar Paper. Sebagai hasil dari kegiatan seminar nasional
tersebut maka kami mengkompilasikan berbagai makalah yang telah dipResentasikan
dalam bentuk Prosiding.
Panitia mengapresiasi semua pihak yang terkait yang ingin mendapatkan informasi
yang positif terkait ketahanan pangan dan tentunya kritik, saran dan masukan untuk
penyempurnaan karya ilmiah ini kedepannya. Pada kesempatan ini panitia mengucapkan
penghargaan dan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Ichsan Gorontalo
2. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo
3. Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Ichsan Gorontalo
4. Donatur dari Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Gorontalo dan Perusahaan Hutan
Tanaman Industri Kabupaten Gorontalo Utara
5. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah terlibat dan
menyukseskan seluruh rangkaian kegiatan Pekan Pembangunan Pertanian Tahun 2018.
Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Gorontalo, Maret 2018
Ketua Panitia,
Kelayakan Usaha Agroindustri Kacang Goyang (Studi Kasus UD Asli Totabuan, Kota
Kotamobagu)
Oleh: Indriana (Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo) (7 – 11)
Identifikasi Manfaat dan Kendala Usahatani Padi Sawah pada Petani Di Kecamatan
Pamona Puselemba Kabupaten Poso
Oleh: Marianne Reynelda Mamondol (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena
Poso) (12 – 20)
Peningkatan Pendapatan Peternak Sapi dengan Keterpaduan Usaha Tanaman Padi dan
Palawija pada Lahan Teratas 0,5 Ha Di Provinsi Sulawesi Selatan- Gorontalo Indonesia
Oleh: Zainal Abidin (Fakultas Pertanian, Universitas Ichsan Gorontalo) (44 – 52)
Peran Sektor Pertanian dalam Penyelenggaraan Kawasan Andalan Palopo dan Sekitarnya
Oleh: Fadhil Surur dan Satriani (Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Sains
dan Teknologi, UIN Alauddin Makassar) (53 – 62)
Air Tersedia Profil Tanah Untuk Tanaman Padi pada Ustik Endoaquert Paguyaman-
Gorontalo
Oleh: Nurdin (Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (71 – 81)
Ketahanan Tanaman Okra Hijau (Abelmoschus esculentus L.) Varietas Naila IPB Terhadap
Cekaman Salinitas dengan Perlakuan NaCl
Oleh: Indriati Husain, dkk. (Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (82 – 89)
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional” |v
Efisiensi Penggunaan Radiasi Matahari Akibat Penggunaan Naungan pada Pertumbuhan
Stevia (Stevia rebaudiana bertoni M.) di Tanah Gambut Kota Palangka Raya
Oleh: Djoko Eko Hadi Susilo (Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas
Muhammadiyah Palangkaraya) (90 – 99)
Pengaruh Berbagai Media Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Seledri
(Apium graveolens) dengan Sistem Vertikultur
Oleh: M. Darmawan S.P M.Si (Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo) (116 –
124)
Optimalisasi Penambahan Lemak Kakao dan Minyak Sawit Terhadap Mutu Tekstur Pasta
Cokelat
Oleh: Herman Hatta (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Gorontalo) (126 – 136)
Karakteristik Mutu Yoghurt Jagung Manis (Zea mayz L. Saccharata) dengan Variasi
Konsentrasi Starter yang Berbeda
Oleh: Satria Wati Pade dan Nurhafnita (Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Gorontalo)
(137 – 146)
Pemanfaatan Tepung Jagung Pulut Subtitusi Tepung Terigu dalam Pembuatan Mie Kering
Oleh: Desi Arisanti dan Rosdiani azis (Teknologi Hasil Pertanian, Politeknik Gorontalo)
(147 – 156)
Analisis Aktivitas Antikoagulan dari Ikan Sidat Danau Poso Spesies Anguilla marmorata
Oleh: Martho Harry Melumpi (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso) (157 –
164)
Kajian Kandungan Fenolat dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Ubi Banggai
(Dioscorea) dari Berbagai Varietas
Oleh: Joice Noviana Pelima (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso) (165 –
181)
Karakteristik Organoleptik Makanan Otak-otak dengan Bahan Baku Berbagai Jenis Ikan
Oleh: A. Khairun Mutia (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo) (182 – 188)
Kajian Pemanfaatan Indigofera Sp sebagai Pakan Ternak Itik di Provinsi Sulawesi Selatan
Oleh: Andi Ella, dkk. (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo) (213 – 219)
Ukuran Tubuh Kambing Kacang (Capra hircus) yang Dipelihara Secara Tradisional pada
Ketinggian Tempat yang Berbeda
Oleh: Fahrul Ilham, dkk. (Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (230 – 236)
Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Kambing Kacang (Capra hircus) yang
Dipelihara Secara Tradisional pada Ketinggian Tempat yang Berbeda
Oleh: Muhammad Sayuti, dkk. (Fakutas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (237 –
243)
Laju Pertumbuhan Spons Haliclona sp pada Kedalaman Berbeda dengan Metode Vertikal
di Pulau Dulowonu Boalemo
Oleh: Sri Yuningsih Noor dan Zulrina Paudi (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo)
(245 – 253)
Analisis Tingkat Pemanfaatan Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) di Perairan
Kota Gorontalo
Oleh: Nurul Auliyah dan Fitri Suryanengsih (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo)
(254 – 262)
Tingkat Kesukaan Lebah Madu Hutan (Apis dorsata) Terhadap Pakan di Kawasan Hutan
Lindung Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso
Oleh: Listianingsi D. Wanundo (Universitas Kristen Tentena Poso) (263 – 272)
ABSTRAK
Minimnya jumlah lahan subur saat ini membuat petani mengubah mindsetnya untuk
melanjutkan usahataninya dikawasan hutan dengan pola yang berbeda yaitu sistem
agroforestri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji seberapa besar peran
agroforestri dalam mendukung pertanian berkelanjutan. Metode pengkajian ini
menggunakan metode review literature dengan cara membandingan data-data sekunder
berupa penelitian terdahulu. Agroforestri memiliki peran penting dalam mendukung
pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sebagai fungsi produksi (ekonomi), fungsi
konservasi (ekologi) serta fungsi sosial budaya (sosio-culture).
Kata Kunci: Agroforestri, Pertanian Berkelanjutan
Pendahuluan
Realitas kegiatan pengelolaan usahatani saat ini lebih berorientasi pada pertumbuhan
dan peningkatan ekonomi masyarakat saja. Sehingga usaha meningkatkan perekonomian
benar-benar dilakukan sampai membuka hutan (deforestrasi) seluas-luasnya tanpa
memperhatikan dampak dari hal tersebut. Menurut Rianti dan Winarto (2011), deforestasi
diduga menjadi salah satu penyumbang emisi karbondioksida terbesar di dunia.
Berkurangnya luas tutupan hutan dan meningkatnya aktifitas manusia menyebabkanemisi
CO2 di permukaan bumi yang terperangkap dalam atmosfer semakin besar
jumlahnyasehingga memicu terjadinya pemanasan global. Solusi untuk mengembalikan
fungsi hutan seperti sediakala adalah reboisasi atau penanaman hutan kembali. Namun,
penanaman hutan kembali hanya akan mengembalikan fungsi hutan saja. Oleh karena itu,
diperlukan suatu pola penggunaan lahan yang tidak hanya dapatmembangun hutan namun
juga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petani dan masyarakat disekitarnya.
Melalui pola tanam agroforestri, dapat memberikan fungsi bagi hutan juga bagi petani
dan masyarakat disekitarnya, karena perpaduan antara tanaman pertanian dan tanaman
kehutanan. Menurut Amrullah (2008), agroforestri merupakan salah satu sistem pertanian
Pembahasan
Perkembangan Agroforestri di Gorontalo
Pola tanam agroforestry sudah dipraktekkan sejak jaman dahulu, tetapi ilmu
agroforestry sendiri baru berkembang sejak tiga dekade yang lalu. Gorontalo merupakan
salah satu daerah penghasil jagung terbanyak sejak dicanangkannya program agropolitan
pada tahun 2002-2014 yang terbukti meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun
penanaman jagung dengan sistem monokultur secara massif membawadampak negatif
berupa kerusakanlahan, karena penanaman jagungjuga dilakukan pada lahan-lahandengan
kemiringan tinggi dengan menebang pepohonan yang ada (Andayani, 2002). Sedangkan
untuk lahan kering, masih banyak pola pertanaman monokultur yang dijumpai. Bersama
dengan ICRAF petani gorontalo mulai mengkaji sistem pertanaman yang menguntungkan
hingga beberapa tahun kedepan dengan memanfaatkan lahan-lahan marginaluntuk ditanami
Daftar Pustaka
Andayani, W. 2002. Analisis Finansial Potensi Sengon Rakyat Pola Agroforestri di
Kabupaten Wonosobo. Jurnal Hutan Rakyat Vol. 4 No. 2, 2002.
Amrullah, E.P. 2008. Analisis Implementasi Kebijakan Pemerintah Terhadap
Pengembangan Agroforestri Di Kawasan Hutan Bromo Karanganyar. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Hairiah, K., Sardjono, M.A., Sabarnurdin, S. 2003. Pengantar Agroforestri. ICRAF. Bogor.
Mayrowani, H., dan Ashari. 2011. Pengembangan Agroforestri untuk mendukung
Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan petani di Sekitarnya. Forum Penelitian Agro
Ekonomi.
Niemmanee, T., Kaveeta. R., dan Potchanasin. C. 2015. Assessing The Economic, Social,
And Environmental Condition for The Sustainable Agricultural System Planning In
Ban Phaeo District, Samut Sakhonn Province, Thailand. Jurnal Elsevier
ScienceDirect. Hal 2557. Suan Sunandha Rajabhat University. Bangkok.
Rianti, I.P dan Winarto, V. 2011. Ada Yang Berbeda dengan Agroforestri Suksesi Alami
Berkelanjutan. Artikel. Departemen Kehutanan.
Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestri; Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan
Sumberdaya Hutan. Alfabeta. Bandung.
Santoso, D., Purnomo, J., Wigena. IG. P., dan Tuherkih, E. 2004. Teknologi konservasi
Tanah Vegetatif halaman 77-104 dalam Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan
Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Utami, S.R., Verbist, B., Noorwidjk, M., Hairiah, K., Sardjono, M.A. 2003. Prospek
Penelitian dan Pengembangan Agroforestri di Indonesia. World Agroforestri Centre
(ICRAF). Bogor.
INDRIANA
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo
Email: indrianagani85@yahoo.com
ABSTRAK
Kacang tanah merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang dapat diolah menjadi
berbagai macam penganan. Salah satunya adalah produk kacang goyang yang ada di Kota
Kotamobagu. Salah satu industri yang mengolah kacang goyang adalah UD Asli Totabuan.
Produksi tanaman kacang tanah setiap tahunnya meningkat tetapi kebutuhan bahan baku
yang diperlukan UD Asli Totabuan sangat banyak dan sering tidak mencukupi apabila
membeli bahan baku dari petani yang berada di daerah Kota Kotamobagu, oleh karena itu
pengusaha sering membeli bahan baku dari luar daerah Kota Kotamobagu yang
menyebabkan harga input semakin meningkat sehingga penerimaan yang diperoleh
pengusaha kacang goyang dapat semakin berkurang. Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Gross
Benefit Cost Ratio (Gross B/C). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebutuhan bahan
baku (kacang tanah, gula pasir, dan coklat) tersedia secara kontinu karena dapat terpenuhi
setiap memproduksi kacang goyang. Industri kacang goyang UD Asli Totabuan Kota
Kotamobagu mempunyai prospek yang baik dan menguntungkan, secara finansial
menunjukkan bahwa industri tersebut layak untuk diusahakan karena Nilai Gross Benefit
Cost Ratio sebesar 1,06 menunjukkan nilai B/C ratio > 1.
Kata Kunci: Kelayakan Usaha, Agroindustri, Kacang Goyang, UD Asli Totabuan
Pendahuluan
Kacang tanah merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang dapat diolah
menjadi berbagai macam penganan. Menurut Wulandari (2008), kacang tanah merupakan
salah satu komoditas pertanian yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri. Salah
satunya adalah produk kacang goyang yang ada di Kota Kotamobagu. Hal ini menyebabkan
Kota Kotamobagu merupakan daerah yang terkenal akan penganan kacang goyang.
Kota Kotamobagu mempunyai potensi untuk mengembangkan pengolahan kacang
goyang. Hal ini dilihat dari keterampilan secara turun temurun, ketersediaan bahan baku
kacang tanah dan pemasaran hasil yang cukup luas. Kacang tanah banyak digemari oleh
masyarakat Kota Kotamobagu karena selain dikonsumsi juga digunakan sebagai bahan baku
pengolahan kacang goyang, kacang telur, kacang shanghai, dan berbagai macam penganan
lainnya. Kacang tanah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan
Metode Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi
kasus pada salah satu industri kacang goyang UD Asli Totabuan. Pengumpulan data meliputi
data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung kepada pemilik dan karyawan UD
Asli Totabuan, dan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kota Kotamobagu.
Daftar Pustaka
Haris, A., Hidayat, R. dan Utami, I. D. 2011. Fleksibilitas Supply Chain Dengan Pendekatan
Pujawan Framework. Diakses 11 Januari 2012.
Indrawanto, C. 2008. Penentuan Pola Pengembangan Agroindustri Jambu Mete. Jurnal Litri
Vol 14 No 2. Juni 2008. P 78-86.
Wulandari, W. D., Supardi, S. dan Rahayu, W. 2008. Analisis Usaha Kacang Sangrai di
Kabupaten Klaten, Mediagro Vol, 4 No. 2. p. 51-61.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memberikan gambaran umum tentang usahatani padi
sawah di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso, dan (2) mengidentifikasi berbagai
manfaat dan kendala usahatani padi sawah pada petani di Kecamatan Pamona Puselemba
Kabupaten Poso. Data dikumpulkan melalui survey dengan menggunakan kuisioner dan
wawancara pada subyek peneltian. Sebanyak 100 petani padi sawah diambil sebagai subyek
penelitian melalui teknik sampling acak sederhana. Data yang terkumpul selanjutnya
dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Secara umum, usahatani padi sawah di Kecamatan
Pamona Puselemba merupakan usahatani berskala kecil (< 0,5 ha), jenis pengairan tadah
hujan, dominan dengan penggunaan input agrokimia, rata-rata produksi beras 2,39
ton/ha/musim tanam, dan intensitas penanaman 2 kali setahun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 3 manfaat utama usahatani padi sawah, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan beras keluarga petani (77 % responden), sebagai sumber dana untuk membiayai
pendidikan anak (32 % responden), dan sebagai sumber pendapatan keluarga (21 %
responden). Adapun kendala-kendala utama yang dihadapi petani dalam usahatani padi
sawah ialah masalah pengairan/irigasi (54 % responden), serangan hama dan penyakit
tanaman (42 % responden), cuaca yang sulit diprediksi (28 % responden), ketersediaan
traktor untuk mengolah tanah (26 % responden), dan ketersediaan modal (26 % responden).
Pendahuluan
Beras merupakan komoditas strategis dengan sensitivitas politik, ekonomi, dan sosial
yang tinggi karena merupakan bahan makanan pokok bagi sekitar 95 % rakyat Indonesia
(Nazam et al, 2011). Ketergantungan penduduk yang begitu besar pada beras menyebabkan
apabila terjadi sedikit gangguan terhadap produksi beras akan menimbulkan gangguan pada
pasokan beras sehingga mengakibatkan lonjakan harga beras di pasaran. Bagi Kabupaten
Poso, usahatani padi sawah merupakan aktivitas pertanian rakyat yang dominan dilakukan
oleh masyarakat petani. Hingga tahun 2015, usahatani padi sawah menyerap 50,03 %
angkatan kerja dengan produksi beras rata-rata sebesar 4,65 ton/ha/tahun. Potensi yang
dimiliki oleh Kabupaten Poso, secara khusus Kecamatan Pamona Puselemba untuk
pengembangan usahatani padi sawah meliputi beberapa faktor, yaitu: 1) ketersediaan
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
12 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
sumberdaya manusia petani sebagai pelaku usahatani, 2) ketersediaan lahan, 3) ketersediaan
sumber air untuk pengairan, dan 4) ketersediaan akses penyaluran hasil usahatani dari
wilayah penghasil ke konsumen.
Bagi petani selaku produsen beras, usahatani padi sawah telah menjadi bagian
kehidupan yang memberikan banyak manfaat, di antaranya sebagai penyangga ketahanan
pangan keluarga dan sumber pendapatan rumah tangga (Damayanti, 2013). Di sisi lain,
terdapat beberapa kendala yang dapat menjadi faktor pembatas usahatani padi sawah, di
antaranya masalah-masalah teknis seperti pengairan (Lamusa, 2010), organisme
pengganggu tanaman (Ruskandar, 2010), dan penerapan teknologi (Rangkuti, 2009),
maupun masalah permodalan dan ketersediaan sarana produksi (Lumintang, 2013). Petani
sebagai pelaku usahatani yang telah memiliki pengalaman berusahatani memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi atau mengenali manfaat yang diperoleh dan kendala
yang dihadapi dalam usahatani padi sawah yang dikelolanya.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) memberikan gambaran umum tentang usahatani padi
sawah di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso, dan 2) mengidentifikasi berbagai
manfaat dan kendala usahatani padi sawah pada petani di Kecamatan Pamona Puselemba
Kabupaten Poso. Identifikasi terhadap manfaat dan kendala ini dijadikan sebagai dasar
pemikiran tentang langkah-langkah kebijakan yang dapat ditempuh untuk penanganan
berbagai permasalahan usahatani padi sawah di tingkat petani.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso pada
bulan Januari hingga Maret 2017. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan
jumlah petani padi sawah yang mencapai 80 % dari total jumlah petani yang ada (BPS Poso,
2015). Sebanyak 5 sampel desa/kelurahan diambil secara acak di antara 10 desa/kelurahan
yang terdapat di Kecamatan Pamona Puselemba, yaitu Kelurahan Pamona, Desa
Buyumpondoli, Desa Soe, Desa Mayakeli, dan Desa Tonusu. Dari setiap desa dilakukan
pengambilan sampel responden penelitian masing-masing sebanyak 20 petani padi sawah
dengan teknik sampling acak sederhana, sehingga diperoleh 100 sampel responden secara
keseluruhan.
Kesimpulan
Usahatani padi sawah di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso bermanfaat
dalam menunjang ketahanan dan kemandirian pangan serta pendapatan keluarga petani.
Hanya saja kendala-kendala teknis, faktor alam, dan permodalan berisiko terhadap
penurunan dan kegagalan produksi sehingga merupakan ancaman terhadap usaha-usaha
pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani. Diperlukan langkah-langkah penanganan
permasalahan yang terintegrasi antara pemerintah daerah, dunia usaha, dan perguruan tinggi
guna menjamin pengembangan dan keberlanjutan aktivitas usahatani.
Daftar Pustaka
Andri, K.B., 2014. Profil dan Karakter Sosial Ekonomi Petani Tanaman Pangan di
Bojonegoro. Jurnal Agroekonomika. 3 (1): 167 – 179.
Anugrah, I.S., Sumedi, dan I.P. Wardana, 2008. Gagasan dan Implementasi System of Rice
Intensification (SRI) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE). Jurnal Analisis
Kebijakan Pertanian. 6 (1): 75 – 99.
_________, 2015. Kecamatan Pamona Puselemba dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Poso. Poso.
Hanafie, R., 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Edisi 1. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Kaparang, G., 2015. Kajian Usahatani Padi Sawah di Kelurahan Taratara Satu Kota
Tomohon. Jurnal Cocos. 6 (1): 1 – 12.
Lamusa, A., 2010. Risiko Usahatani Padi Sawah Rumah Tangga di Daerah Impenso
Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Agroland. 17 (3): 226 – 232.
Lumintang, F.M., 2013. Analisis Pendapatan Petani di Desa Teep Kecamatan Langowan
Timur. Jurnal EMBA. 1 (3): 991 – 996.
Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I.W. Rusastra, 2011. Penetapan
Luas Lahan Optimum Usahatani Padi Sawah Mendukung Kemandirian Pangan
Berkelanjutan di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Agro Ekonomi. 29 (2): 113 – 142.
Rangkuti, P.A., 2009. Analisis Peran Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi
Traktor Tangan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi. 27 (1): 45
– 60.
Roidah, I.S., 2015. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Musim Hujan dan Musim Kemarau
(Studi Kasus di Desa Sopatan Kecamatan Gondang Kabupaten Tulungagung). Jurnal
Agribisnis Fakultas Pertanian Unita. 11 (13): 45 – 55.
Ruskandar, A., 2010. Persepsi Petani dan Identifikasi Faktor Penentu Pengembangan dan
Adopsi Varietas Padi Hibrida. Jurnal Iptek Tanaman Pangan. 5 (2): 113 – 125.
Suharyanto, J.H. Mulyo, D.H. Darwanto, dan S. Widodo, 2013. Analisis Efisiensi Teknis
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Provinsi Bali. Jurnal SEPA.
9 (2): 219 – 230.
Wangke, W.M., B.O.L. Suzana, dan H.A. Siagian, 2011. Penerapan Teknologi Usahatani
di Desa Sendangan Kecamatan Kakas Kabupaten Minahasa. Jurnal Agri Sosial
Ekonomi. 7 (1): 53 – 57.
ABSTRACT
Pendahuluan
Kebutuhan pangan nasional akan terus bertambah dari tahun ke tahun sebagai akibat
jumlah penduduk yang terus meningkat. Jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 237,5 juta
jiwa, dimana 53,45% berada di Pulau Jawa dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49% (BPS,
2011). Diperkirakan pada tahun 2020, penduduk Indonesia berjumlah 250 juta.
Ketersediaan lahan menjadi pengaruh langsung dari pertumbuhan penduduk. Sehingga
semakin banyaknya penduduk menyebabkan sempitnya lahan pertanian yang dapat dikelola
oleh petani. Hasil analisis yang dilakukan oleh Sumaryanto (2009), kendala utama yang
dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita adalah (1)
pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena laju perluasan lahan pertanian baru sangat
rendah dan konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit dikendalikan, dan degradasi
sumberdaya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia lahan
pertanian; dan (2) adanya gejala kemandegkan dalam pertumbuhan produktivitas. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari data semakin banyaknya petani gurem di Indonesia. Saat ini rata-
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian survei. Objek penelitian ini adalah rumah tangga petani
(RTP) yang ada di dua desa sampel. Masing-masing desa akan akan diambil sebanyak 10%
RTP secara acak. Masing-masing RTP akan dilakukan survey dengan menggunakan
kuesioner yang sudah disiapkan. Analisis data menggunakan analisis kuantitatif dan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan:
1. Aktivitas petani dalam memenuhi kebutuhan pangan beragam, seperti pemanfaatan
lahan untuk menanam tanaman pangan, pembagian makanan dengan anggota keluarga
selama bencana kelaparan atau gagal panen, pinjaman dari sesama keluarga, tetangga
dan kios/warung lokal dan pembayaran kembali itu dengan sistem pasca panen.
2. Lembaga yang berperan dalam memenuhi akses terhadap pangan adalah otoritas desa,
kios/warung, keluarga dan tetangga, sementara lembaga yang berperan dalam
peningkatan sumber daya manusia adalah kelompok tani, penyuluhan pertanian,
keluarga dan tetangga.
Daftar Pustaka
Ahmad, S. 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Simposium Nasional Ketahananan
Keamanan Pangan pada Era Otonomi dan Globalisasi. Tangal 22 November 2005,
IPB Bogor. Indonesia.
Arief, S. 2012. Sumberdaya Manusia untuk Pangan. Tantangan dan Antisipasi. Pangan
Rakyat: Soal Hidup Atau Mati 60 Tahun Kemudian. Editor: Anna Farianti dkk Penerbit
Safa Printing. Jakarta.
Darsono. 2012. Revolusi Pangan Dimulai dari Revolusi Cara Berpikir tentang Pangan.
Pangan Rakyat: Soal Hidup Atau Mati 60 Tahun Kemudian. Editor: Anna Farianti dkk
Penerbit Safa Printing. Jakarta.
Made, D.S.M. 2013. Analisis Strategi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam
Upaya Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan Nusa Penida. Jurnal Buletin Studi
Ekonomi. Vol. 18, No. 2, Agustus 2013: Hal. 98-106.
Handewi, P.S. Rachman dan M. Ariani. Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran dan
Strategi. FAE. Vol 20 No. 1 Juli 2002: Hal. 12-24.
Rahmadya, S., L.A Lestari, dan J. Susilo. 2016. Pola konsumsi pangan dan tingkat
ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia Vol 12 No 3 - Januari 2016: Hal.123-130.
Siti, M., Titik Sumarti, dan T. Pranadji. 2009. Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan
Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal: Studi Kasus Program Aksi Mandiri Pangan
di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Vol 02 No.02
Agustus 2009: Hal. 259-272
Putu A, M.A. Limi dan Rosmawaty. 2014. Optimalisasi Penggunaan Lahan Kering dan
Pemanfaatan Waktu Luang di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan.
Majalah Ilmiah Agriplus. Vol 24, No. 01 Januari 2014: Hal. 90-97.
Zulfahrizal. 2012. Pertanian Padi Indonesia (Masalah dan Solusinya). Pangan Rakyat: Soal
Hidup Atau Mati 60 Tahun Kemudian. Editor: Anna Farianti dkk Penerbit Safa
Printing. Jakarta.
ABSTRAK
Sistem agroforestri dapat dijadikan rujukan dalam mencapai keberlanjutan pertanian, baik
dari segi peningkatan ekonomi, sosial-budaya dan kelestarian lingkungan. Penelitian
bertujuan untuk mengkaji tingkat partisipasi masyarakat pada program pengembangan
agroforestri. Penelitian ini dilakukan di Desa Dulamayo Barat, Kecamatan Telaga,
Kabupaten Gorontalo, pada Bulan April 2016. Penelitian didesain dengan pendekatan
survei, dan sampel ditentukan secara sensus. Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan
analisis skoring untuk menentukan rendah, sedang, tinggi dari partisipasi masyarakat. Hasil
penelitian menunjukkan: (1) karakteristik internal dan eksternal masyarakat meliputi: luas
lahan (50% kisaran lahan 0,6-1 Ha), tingkat pendidikan (70% tamat SD), pendapatan (50%
berpendapatan <Rp. 500.000/Bln), intensitas sosialisasi (80% pada frekuensi 2-4 kali) dan
intensitas pendampingan (100% pada frekuensi 2-4 kali), dan (2) hasil skoring terhadap
tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan agroforestri sebesar 73,3% (kategori
tinggi), tahap pelaksanaan sebesar 73,6% (kategori tinggi), dan tahap evaluasi 54,7%
(kategori sedang). Untuk mencapai keberlanjutan pertanian dan keberhasilan program
agroforestri dibutuhkan keterlibatan aktif seluruh masyarakat baik perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi.
Kata Kunci: Agroforestri, Partisipasi Masyarakat, Pertanian Berkelanjutan
Pendahuluan
Desa Dulamayo Barat merupakan daerah yang didominasi perbukitan dengan
ketinggian 250-1000 m dpl. Terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Boalngo, sebagian
besar wilayah merupakan kawasan hutan lindung (HL). Hutan alam primer dan sekunder
mencakup 82% dari luas wilayah (Kow et al., 2015a). Masyarakat diharapkan memahami
fungsi ganda hutan sebagai penyangga kehidupan (Hakim, 2009) untuk mengurangi
kerusakan. Namun, laju kerusakan hutan telah mencapai titik nadirnya (Mahendra, 2009).
Faktor penyebab utama perubahan lahan yaitu pemenuhan kebutuhan keluarga,
kecenderungan pemilihan tanaman jagung dibandingkan tanaman jati, karena hasil panen
jagung lebih cepat (Kow et al., 2015b), pengaruh aktivitas dan pertambahan penduduk (Ishak
dan Saputra, 2015), illegal logging, kebakaran hutan (Mahendra, 2009), akibat tekanan
ekonomi masyarakat (Subarna, 2011), dan penebangan kayu yang tidak terkendali (Hamid
dan Romano, 2013). Aktivitas tersebut terjadi baik itu secara langsung maupun tidak
langsung (Hartati dan Harudu, 2016).
Faktor Internal
Faktor internal masyarakat yang disajikan pada penelitian ini ialah karakteristik luas
lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan. Hasil penelitian karakteristik internal masyarakat
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Faktor Internal Masyarakat Pengembang Agroforestri
Karakteristik Internal Persentase (%)
Luas Lahan:
<0,5 Ha 10
0,6-1 Ha 50
>1 Ha 40
Tingkat Pendidikan:
Tidak Tamat SD 20
Tamat SD 70
Tamat SMP 10
SMA 0
Perguruan Tinggi 0
Pendapatan:
<Rp.500.000/Bln 50
Rp.500.000-1.000.000/Bln 40
>Rp.1.000.000/Bln 10
Sumber: Data Primer Diolah, 2016
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: karakteristik internal masyarakat
dilihat dari luas lahan ialah 50% (memiliki lahan berkisar 0,6-1 Ha), tingkat pendidikan
sebesar 70% (tamat SD), tingkat pendapatan sebanyak 50% (memiliki pendapatan <Rp.
500.000/Bln). Sedangkan karakteristik eksternal, dilihat dari intensitas sosialisasi yakni 80%
(pada frekuensi 2-4 kali), dan pada intensitas pendampingan yakni 100% (pada frekuensi 2-
4 kali). Dari hasil skoring menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada tahap
perencanaan agroforestri sebesar 73,3% (tergolong tinggi), tahap pelaksanaan sebesar 73,6%
(tergolong tinggi), dan tahap evaluasi 54,7% (tergolong sedang). Hal ini mengindikasikan
bahwa masyarakat telah berpartisipasi dengan baik pada tahap perencanaan dan pelaksanaan
agroforestri, namun belum maksimal pada tahap evaluasi program. Dengan demikian untuk
mencapai keberhasilan program agroforestri dibutuhkan keterlibatan aktif seluruh
masyarakat baik perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Daftar Pustaka
Achmad, B., H. Simon, D. Diniyati, dan T.S. Widyaningsih. 2012. Persepsi Petani Terhadap
Pengelolaan dan Fungsi Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis. Jurnal Bumi Lestari.
12(1): 123-136.
Ansori, M. 2012. Pengelolaan Hutan Kemitraan untuk Menyejahterakan Rakyat Kasus Pola
PHBM (Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat) di Perum Perhutani BKPH Parung
Panjang, KPH Bogor. Disertasi. Sekolah Pascsarjana, IPB. Bogor.
Azis, N.A. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Program Gerakan Nasional Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (GN-RHL): Kasus di Desa Sirnagalih dan Pamalayan, Kecamatan
Bayongbong serta Desa Margaluyu dan Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten
Garut. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Catharina, T.S. 2009. Respon Tanaman Jagung Pada Sistem Monokultur dengan
Tumpangsari Kacang-Kacangan terhadap Ketersediaan Unsur Hara N dan Nilai
Kesetaraan Lahan di Lahan Kering. GaneÇ Swara. 3(3): 17-21.
Damanik, I.P.N. dan M.E. Tahitu. 2007. Studi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Desa (Kasus: Masyarakat Desa Layeni, Kecamatan Teon Nila Serua,
Kabupaten Maluku Tengah). Jurnal Agroforestri, 2(1): 5-12.
Hakim, I. 2009. Kajian kelembagaan dan kebijakan hutan tanaman rakyat: sebuah terobosan
dalam menata kembali konsep pengelolaan hutan lestari. Jurnal analisis kebijakan
kehutanan. 6(1): 27-41.
Hamid, A.H. dan Romano. 2013. Upaya Pengembangan Agroforestry sebagai Langkah
Pengamanan Peyangga Hutan di Kabupaten Pidie Jaya. Agrisep. 14(2): 28- 35.
Hamidah, M.A. Sardjono dan J.J.H. Kueng. 2006. Analisis Pendekatan Agroforestri dalam
Upaya Perbaikan Pemanfaatan Lahan Berbasiskan Partisipasi Masyarakat (Studi
Kasus Hutan Lindung Sungai Wain Balikpapan). Jurnal Kehutanan UNMUL. 2(2):
159-175.
Hartati dan L. Harudu. 2016. Identifikasi Jenis-Jenis Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
Akibat Aktivitas Manusia di Kelurahan Lowu-Lowu Kecamatan Lea-Lea Kota
Baubau. Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi. 1(1): 30- 45.
Ishak dan I.A. Saputra. 2015. Pengaruh Aktivitas Penduduk terhadap Kerusakan Hutan
Mangrove di Desa Lalombi Kecamatan Banawa Selatan. Jurnal GeoTadulako. 3(6):
52-63.
Lestari, S. dan B.T. Premono. 2014. Penguatan Agroforestri dalam Upaya Mitigasi
Perubahan Iklim: Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 11(1): 1-12.
Mahendra, F. 2010. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Edisi Pertama. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestri: Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Sumber
Daya Hutan. Cetakan Kesatu. Alfabeta. Bandung.
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 41
Risal, D., B. Ibrahim, dan H. Zubair. 2014. Efektivitas Sistem Pertanian Terpadu Hedgerows
terhadap Peningkatan Produktivitas Lahan Kering. J. Sains & Teknologi. 14(3): 226-
231.
Rizal, M. dan S.P. Rahayu. 2015. Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelompok Tani Padi
Sawah untuk Mendukung Program M-P3MI di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON. 1(2): 352-357.
Sandyatma, Y.H., dan S.M. Hariadi. 2012. Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam
Menunjang Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi
Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor. Jurnal Kawistara. 2(3): 225-328.
Sari, I.R. dan B.S. Widodo. 2015. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Seloringgit
Ecotourism di Dusun Mendiro Desa Panglungan Kecamatan Wonosalam. Swara
Bhumi. 2(3):42- 50.
Sudrajat, A., Hardjanto, dan L. Sundawati. 2016. Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat Lestari: Kasus di Desa Cikeusal dan Desa Kananga Kabupaten Kuningan.
Jurnal Silvikultur Tropika. 7(1): 8-17.
Suharti, T., Y. Bramasto, dan N. Yuniarti. 2013. Kajian Pengembangan Tanaman Obat
dalam Sistem Agroforestri. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri Tahun 2013.
Hal. 66-71.
Suparwata, D.O., M. Arsyad, M.S. Hamidun, D. Rukmana, dan M.I Bahua. 2016.
Community Participation on Evaluation Stage in Critical Land Rehabilitation
Program. Advances in Environmental Biology. 10(10): 170-180.
Suwardane, K.E., I.D.P.O. Suardi dan M.T.H. Handayani. 2015. Partisipasi Petani dalam
Pengembangan Program Hutan Rakyat di Dusun Talang Gunung Desa Talang Batu
Kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung. E-Jurnal Agribisnis
dan Agrowisata. 4(2): 86-96.
Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering Di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu.
Jurnal Litbang Pertanian. 22(4): 162-171.
Winata, A. dan E. Yuliana. 2012. Tingkat Partisipasi Petani Hutan dalam Program
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perhutani. Mimbar. 28(1): 65-76.
ZAINAL ABIDIN
Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo
Email: zainalabidin.unisan@gmail.com
ABSTRAK
Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani, peningkatan
ekspor, memberi dukungan terhadap agribisnis hulu hilir, memperluas lapangan kerja serta
pertanian berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumber daya lahan pembangunan
sektor pertanian saat ini semakin berkuran akibat pemanfaatan lahan pertanin berlaih fungsi
kepada permukiman seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Salah satu
teknologi yang dapat mengantisipasi peningkatan pendapatan pada lahan terbatas yaitu
keterpaduan usaha ternak sapi dengan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui peningkatan pendapatan keterpaduan usaha ternak dan tanaman padi dan
palawija pada lahan terbatas 0,5 Ha di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone dan Maros) –
Gorontalo (Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango) Indonesia. Penelitian dilakukan mulai
Februari 2014 hingga Mei 2017. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
kuantitatif. Populasi dan sampel penelitian ini dilakukan secara bertahap, yaitu: Tahap
pertama menentukan wilayah penelitian dan menentukan jumlah populasi. Selanjutnya
dengan menggunakan rumus Slovin, diperoleh jumlah sampel petani ternak sebagai
responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak terpadu dengan padi dan
palawija pada lahan terbatas 0,5 Ha memberikan pendapatan dan kontribusi yang berbeda di
lokasi penelitian yaitu: 1). Lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Selatan (Kecamatan
Libureng Kabupaten Bone) usahatani ternak sapi memberikan kontribusi pendapatan sebesar
Rp. 13.061.950 (52,35%) lebih besar dibandingkan tanaman semusim yaitu Rp. 11.433.630
(47,65%). Sedangkan di Kec. Samangki Kabupaten Maros usahatani ternak sapi
memberikan kontrusi pendapatan Rp. 7.154.560 (88,76%) lebih besar dibandingkan uasaha
tanaman Rp. 913.960 (11,33%). 2) Lokasi Penelitian di Provinsi Gorontalo (Kec.
Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango) usahatani ternak sapi memberikan kontrusi
pendapatan Rp. 4.861.948 (33,60%) lebih kecil dibandingkan usaha tanaman Rp. 12.615.557
(66,40%). Sedangkan di (Kec. Telaga Kabupaten Gorontalo) usahatani ternak sapi
memberikan kontrusi pendapatan Rp. 12.381.262 (31,40%) lebih kecil dibandingkan usaha
tanaman Rp. 27.013.362 (68,60%).
Kata Kunci: Pendapatan, Peternak Sapi, Usaha Terpadu, Usahatani Padi dan
Palawija, Kepemilikan Lahan
Pendahuluan
Pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, melayani pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Terdapat sejumlah kendala pada pembangunan pertanian seperti hambatan penguasaan
sumberdaya produksi misalnya kepemilikan lahan sempit akibat alih fungsi lahan pertanian
Metode Penelitian
Penelitian ini melihat sistem usahatani tanaman-ternak dari paradigma positivisme.
Pada paradigma ini, realitas berasumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu mempunyai
keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap.
Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia (entities), hukum, dan mekanisme-
mekanisme ini secara konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak
terikat waktu dan tidak terikat konteks.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif (quantitative research) yaitu penelitian kuantitatif didasari oleh filsafat
positivisme (terukur dan teramati) yang menekankan fenomena-fenomena objektif dan
dikaji secara kuantitatif. Disebut sebagai penelitian positivistik adalah karena penelitian ini
hanya mendasarkan kepada fakta-fakta positif yang didapatkan di lapangan. Data berupa
angka-angka akan dijadikan sebagai informasi akurat penelitian.
Lokasi penelitian adalah usahatani terpadu yang memiliki skala luas lahan terbatas 0,5
Ha di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone, di Kecamatan Samangki Kabupaten Maros
Provinsi Sulawesi Selatan dan di Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo dan di Kecamatan
Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Pemilihan lokasi didasarkan
Dimana:
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
e = Tingkat Kelonggaran (15%)
Analisa data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif yaitu dengan
menghitung rata-rata pendapatan, dan mentabulasi data. Untuk menjawab tujuan penelitian
(mengetahui besarnya konstribusi pendapatan usahatani tanaman-ternak pada lahan terbatas
<0,5 Ha. Rumus pendapatan yang digunakan pada masing-masing wilayah penelitian yaitu
rumus dikembangkan oleh Soekartawi (2002) yaitu:
Pd = TR – TC
Dimana:
b. Kontribusi Pendapatan
Kontribusi pendapatan usahatani ternak sapi merupakan pendapatan yang diterima
dari usahatani yang terdiri dari tanaman padi, palawija dibagi dengan total pendapatan usaha
ternak sapi dikalikan dengan 100% sehingga dapat diketahui seberapa besar kontribusi
usahatani ternak terhadap pendapatan yang diperoleh dari usahatani tanaman dan ternak
secara terpadu di lokasi penelitian. Kontribusi usahatani tanaman dan ternak sapi dapat
diperoleh setelah mendapatkan besarnya masing-masing total pendapatan baik yang
bersumber dari pendapatan tanaman padi, palawija maupun pendapatan total dari usaha
ternak sapi di Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Adapun besarnya kontribusi pada usahatani
dan ternak di lokasi penelitian tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Berdasarkan pada Tabel 3 dan 4, diketahui bahwa kontribusi usahatani ternak sapi
terhadap pendapatan bersih petani responden baik pada lokasi penelitian di Kabupaten Bone
maupun di Kabupaten Maros relatif besar di atas 50 %. Berdasarkan tipologi usaha ternak
menurut Ditjen Peternakan, usaha ternak sapi ini secara rata-rata keseluruhan termasuk
dalam usaha sambilan.
Tabel 2. Rata-Rata Pendapatan Usahatani Tanaman Semusim - Ternak Sapi Secara Terpadu di Provinsi Gorontalo pada lahan Terbatas 0,5 Ha
Skala Kep. Total
No Lokasi Penelitian PENDAPATAN (Rp/Th)
Ternak Pendapatan
Kabupaen Usaha Ternak Sapi Usaha Tanaman Semusim Rp
Biaya Jumlah Biaya Jumlah
Penerimaan Penerimaan
Produksi Pendapatan Produksi Pendaatan
1 Bone Bolango
4 30.678.565 25.816.617 4.861.948 16.211.054 9.246.976 6.964.078 11.826.026
2 Gorontalo 2 20.391.334 8.010.072 12.381.262 23.622.000 6.608.638 17.013.362 29.394.624
Sumber: Data Setelah Diolah, 2017
Usahatani
Lokasi Skala UsahaTernak Usahatni Kontribusi Kontribusi
Ternak Sapi Total Pendapatan %
Penelitian (ekor) Tanaman U.Tanaman Ternak Sapi
Bone 5 11.434.000 22.561.430 33.995.100 34% 66% 100
Maros 3 11.913.960 17.154.560 29.068.520 41% 59% 100
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2015
Tabel 4. Kontribusi Pendapatan Usahatani Ternak Sapi Dengan Keterpaduan Tanaman Padi, Palawija pada Luas Lahan Terbatas <0,5 Ha di
Gorontalo.
Persentase Kontribusi Pendapatan/Tahun (Rp.000,-)
Lokasi Skala Usahatani Usahatani Kontribusi Kontribusi
Total Pendapatan %
Penelitian Usaha Ternak (ekor) Tanaman Ternak Sapi U.Tanaman Ternak Sapi
Bone Bolango 5 7.753.089 4.861.948 12,615,557 66,40% 33,60% 100
Gorontalo 3 27.013.362 12.381.262 8.068,520 68,60%% 31,40% 100
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2015
Keterpaduan usaha tanaman semusim dan ternak sapi pada lahan terbatas 0,5 Ha
memberikan pendapatan yang berbeda pada setiap lokasi penelitian sebagai berikut : Petani
ternak di Provinsi Sulawesi Selatan (Kec. Libureng Kabupaten Bone) mendapatkan
pendapatan sebesar Rp. 33.995.062. Sedangkan petani peternak (Kec. Samangki Kabupaten
Maros) memiliki pendapatan sebesar Rp 28.068.521 per tahun. Sementara petani ternak di
Povinsi Gorontalo (Kecamatan Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango memperoleh
pendapatan Rp. 11.826.026 per tahun dan (di Kec. Telaga Kabupaten Gorontalo)
mendapatkan pendapatan Rp. 29.394.624 per tahun.
Kontribusi pendapatan usaha ternak lebih besar di Provinsi Sulawesi Selatan secara
keseluruhan dibandingkan pendapatan usaha tanaman pada lahan terbatas 0,5 Ha.
Berbanding terbalik dengan usahatani ternak sapi pada lahan teratas 0,5 Ha di Provinsi
Gorontalo. Kontribusi pendapatan usahatani ternak lebih besar dibandingkan tanaman.
Daftar Pustaka
ABSTRAK
Kesamaan karakteristik sosial ekonomi atau keterkaitan ekonomi antar wilayah menjadi
pembentuk utama pengembangan berbasis kewilayahan. Dalam kerangka tersebut, kawasan
andalan Palopo dan sekitarnya yang ditetapkan dalam RTRW Provinsi Sulawesi Selatan
memiliki kekuataan ekonomi yang bertumpu pada pengarusutamaan pertanian dalam
pembangunan daerah. Namun dalam perkembangannya sektor pertanian tidak lagi menjadi
fokus pemerintah daerah di beberapa kabupaten. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
sejauh mana peran sektor pertanian berkontribusi dalam penyelenggaran kawasan andalan
Palopo dan sekaligus memberikan arahan kebijakan bagi pemerintah daerah untuk tetap
menjadikan pertanian sebagai arus utama pembangunan. Metode pendekatan yang
digunakan yaitu pendekatan kuantitatif, dimana data diperoleh berupa data sekunder dan
dianalisis dengan menggunakan metode kontribusi sektoral, analisis sektor unggulan dan
analisis tipologi klassen. Hasil penelitian diperoleh peran sektor pertanian dalam
penyelenggaraan kawasan andalan Palopo telah mengalami pergeseran. Dimana sektor ini
tidak lagi menjadi sektor utama dalam menunjang kegiatan pembangunan di kawasan
andalan Palopo dan sekitarnya secara keseluruhan. Sehingga pengambilan kebijakan
kedepan perlu mempertimbangkan kerjasama antar kota/kabupaten dalam berbagai aspek
perencanaan dan pembangunan pertanian secara komprehensif, mendorong Kabupaten
Luwu Utara dan Kabupaten Luwu sebagai pusat kegiatan pertanian utama di kawasan
andalan Palopo dan sekitarnya dan Menjadikan sektor pertanian untuk sejalan dengan sektor
utama yang berkembang di beberapa kabupaten/kota.
Kata Kunci: Pertanian, Kawasan, Pengembangan
Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah
adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait
kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau
aspek fungsional. Wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas
spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling
berinteraksi secara fungsional (Rustiadi, Saefulhakim, & Panjunu, 2006). Maka dalam
kondisi tertentu batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali
bersifat dinamis (Mutaali, 2011).
Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah diharapkan mampu meningkatkan
kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan alternatif pemecahan-pemecahan
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 53
inovatif dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya, pada sisi yang berbeda
harus memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan
publik dasar serta bagaimana meningkatkan kemandirian daerah dalam melaksanakan
pembangunan (Tarigan & Si, 2009). Berlakunya otonomi daerah yang paling penting bagi
pembangunan adalah meningkatkan motivasi daerah untuk memiliki tingkat pertumbuhan
yang tinggi, melalui pemberdayaan potensi ekonomi lokal dengan mengembangkan kegiatan
yang berdasarkan potensi daerah dan memanfaatkan peluang yang ada untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (Prihardoyo & Setiawan, 2017). Satuan wilayah pengembangan
adalah wilayah yang secara geografis dan administrasi dikelompokan berdasarkan potensi
dan sumber daya untuk pengembangannya. Satuan wilayah pengembangan yang ditetapkan
berdasarkan kesamaan karakteristik sosial ekonomi, ataupun keterkaitan ekonomi antar
wilayah. Kesemuanya ini dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat lebih diperdayakan
dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah yang meliputi wilayah
pengembangan sesuai potensi daerah bersangkutan (Harzan, 2015). Maka hal ini diharapkan
mampu menetapkan alternatif kegiatan dengan mengembangkan potensi daerah yang
dimiliki.
Berdasarkan kebijakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009-2029 ditetapkan 4 kawasan andalan
yang bertujuan sebagai bentuk kerjasama daerah. Salah satunya adalah kawasan andalan
Palopo dan sekitarnya. Kawasan andalan Palopo terdiri dari Kabupaten Luwu Timur,
Kabupaten Luwu, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, Kota Palopo dan
Kabupaten Luwu Utara. Kerjasama keenam wilayah tersebut menunjukkan perkembangan
yang signifikan, dimana menempatkan Kota Palopo sebagai pusat kegiatan di kawasan
andalan tersebut. Potensi pertanian yang melimpah pada kawasan andalan Palopo
menjadikan sektor ini sebagai arus utama pembangunan, namun dalam perkembangannya
menunjukkan ketidaksesuaikan dengan program pembangunan di beberapa wilayah,
misalnya Kabupaten Tana Toraja yang berfokus pada pengembangan pariwisata. Sehingga
perlu dilakukan kajian untuk menganalisa sejauh mana peran sektor pertanian berkontribusi
dalam penyelenggaran kawasan andalan Palopo dan sekaligus memberikan arahan kebijakan
bagi pemerintah daerah untuk tetap menjadikan pertanian sebagai arus utama pembangunan.
Sektor Basis
Dalam analisis penentuan sektor basis perekonomian wilayah, teknik LQ ditempuh
dengan cara membandingkan antara peranan relatif sektor atau subsektor wilayah (PDRB
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
58 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
sektoral) terhadap nilai tambah total wialayah (PDRB) dengan peranan relatif sektor atau
sub sektor yang sama pada wilayah yang lebih luas. Hasil penilaian sektor basis di kawasan
andalan Palopo dan sekitarnya menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi sektor
unggulan hanya pada Kabupaten Luwu Utara dengan nilai LQ > 1. Kondisi ini
memungkinkan Kabupaten Luwu Utara mengekspor hasil pertanian ke beberapa wilayah
kabupaten/kota di kawasan andalan Palopo. Sedangkan kelima kabupaten/kota lainnya
menunjukkan nilai LQ < 1, artinya terdapat sektor lain diluar dari sektor pertanian yang
menjadi sektor unggulan.
Interpretasi hasil analisis Shift Share merujuk pada nilai positif dan nilai negatif, maka
hasil menunjukkan bahwa sektor pertanian dalam batasan nilai positif. Sektor pertanian
dinilai mengalami pertumbuhan yang progresif atau maju untuk seluruh wilayah
kabupaten/kota. Namun dari perkembangan tersebut beberapa wilayah menunjukkan angka
yang pesimis karena bernilai postif akan tetapi mendekati nilai negatif yaitu di Kabupaten
Toraja, Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo. Selain itu arus
perkembangan sektor pertanian harus mampu mengimbangi sektor lainnya yang juga
mengalami perkembangan yang signfikan, misalnya di Kabupaten Luwu Timur dengan
sumbangsih sektor pertambangan. Secara umum penilaian sektor unggulan dengan fokus
Tabel 3. Hasil analisis LQ sektoral pada kawasan andalan Palopo
Kab. Luwu Kab. Luwu
Sektor Kota Palopo Kab. Torut Kab. Toraja Kab Luwu
Utara Timur
A 1,7 0,1 0,3 0,3 0,4 0,7
B 0 16,3 0,1 0,5 0,8 1,5
C 1,5 0,7 0,5 1,1 1,3 0,7
D 1,6 1,5 0 1,0 1,2 0,7
E 0,9 2,3 10,6 4,2 3,0 0,4
F 1,3 0,3 1,7 1,6 1,2 0,7
G 3,1 0,4 0,8 0,6 0,3 0,1
H 1,4 2,3 1,1 2,1 1,4 0,5
i 0,02 2,8 2,2 2,3 2,2 1,1
j 1,4 1,4 4,1 1,9 1,4 0,6
K 1,6 0,5 0,5 0,7 0,7 0,7
L 1,4 6,7 0 2,1 2,4 0,6
M 1,6 0,7 1,3 0,8 1,5 0,7
Sumber: Hasil Analisis Tahun 2017
sektor pertanian di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya menunukkan Kabupaten Luwu
Utara masih mampu bertahan dengan potensi pertanian sebagai sektor unggulan, sedangkan
Tipologi Klassen
Analisis tipologi klassen ini digunakan untuk megetahui potensi perkembangan
perekonomian wilayah dan untuk menetukan kuadran dari kawasan andalan Palopo dan
sekitarnya. Interpretasi hasil analisis berdasarkan pada penilaian masing masing kuadran
dimana:
Sektor yang terdapat pada kuadran 1 berarti sektor tersebut cepat maju, cepat tumbuh
dan merupakan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sektoral tinggi
dan kontribusi sektoral yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata sektor kawasan.
Sektor yang terdapat pada kuadran 2 merupakan sektor yang berkembang cepat.
Merupakan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sektoral tinggi tetapi
kontribusi sektor lebih rendah dibandingkan rata-rata sektor kawasan.
Sektor pada kuadran 3 adalah sektor maju tapi tertekan. Merupakan sektor yang
memiliki kontribusi sektor yang lebih tinggi tetapi tingkat pertumbuhan ekonomi
sektoralnya lebih rendah dibandingkan rata-rata sektor kawasan.
Sektor pada kuadran 4 adalah sektor relatif tertinggal. Memiliki tingkat pertumbuhan
sektoral yang rendah dan kontibusi sektor yang lebih rendah dibandingkan rata-rata
sektor kawasan.
Hasil penilaian memperlihatkan bahwa sektor pertanian pada kawasan andalan Palopo
dengan posisi perkembangan cepat berada di Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan akhir bahwa peran sektor pertanian dalam penyelenggaraan kawasan andalan
Palopo telah mengalami pergeseran. Dimana sektor ini tidak lagi menjadi sektor utama
dalam menunjang kegiatan pembangunan di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya secara
keseluruhan. Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu merupakan dua kabupaten yang
menjadi tumpuan utama dalam mengembangkan sektor pertanian, sedangkan sektor
pertanian di empat kabupaten lainnya harus bersaing dengan sektor lainnya yang jauh lebih
berkembang. Hal ini diindikasian oleh berubahnya arus perkembangan beberapa sektor
dimana Kabupaten Toraja dan Toraja Utara saat ini menjadikan pariwisata sebagai fokus
utama pembangunan, sektor pertambangan dan galian di Kabupaten Luwu Timur dan Kota
Palopo sebagai pusat kegiatan di kawasan andalan Palopo menunjukkan perkembangan
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 61
wilayah urban, sehingga pertanian tidak lagi menjadi kegiatan utama wilayah dalam
kerangka pengembangan kawasan.
Rekomendasi
a. Perlunya kerjasama antar kota/kabupaten dalam berbagai aspek perencanaan dan
pembangunan pertanian secara komprehensif
b. Mendorong Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu sebagai pusat kegiatan
pertanian utama di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya
c. Menjadikan sektor pertanian untuk sejalan dengan sektor utama yang berkembang di
beberapa kabupaten/kota.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu Utara dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu Timur dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Tana Toraja dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Toraja Utara dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Badan Pusat Statistik. Kota Palopo dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Harzan, M. 2015. Analisis Lokasi Pusat Pemerintahan dalam Rangka Pengembangan
Wilayah di Kabupaten Buton Tengah Sulawesi Tenggara. Surakarta: Doctoral
Dissertation Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Mutaali, L. 2011. Kapita Selekta Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Badan Penerbit
Universitas Gadjah Mada.
Prihardoyo, B., & Setiawan, N. B. 2017. Distribusi Fungsi Pelayanan Kecamatan dan
Interkasi Antar Kecamatan pada Satua Wilayah (SWP) di Kabupaten Tegal. Economic
Development Analysis Journal, 405-413.
Rustiadi, E., Saefulhakim, S., & Panjunu, D. R. 2006. Diktat Perencanaan Pengembangan
Wilayah. Bogor: IPB.
arigan, A., & Si, M. 2009. Kerjasama Antar Daerah (KAD) untuk Peningkatan
Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Daya Saing. Retrieved Maret 14, 2018, from
http://buletin. pemanfaatanruang. net/index.asp.
ABSTRAK
Penelitian ini akan menghasilkan produk prototipe Alat Pengendali Hama Burung Pemakan
Bulir Padi Sawah (Oryza sativa L.) Sistem Mekanik Elektrik. Hama burung ini merupakan
pengganggu bagi tanaman padi dan petani. Selama ini petani membuat alat yang dapat
mengusir burung secara manual bertenaga manusia. Petani harus meluangkan waktu untuk
terus menjaga padinya sambil menggerakkan alat tersebut ketika burung pipit menyerang,
sebab alat yang mereka buat tak dapat bergerak sendiri. Metode yang digunakan adalah
eksperimen, rancang bangun prototipe alat pengendali hama burung sistem mekanik elektrik
yang merupakan target khusus berusaha meringankan petani beraktivitas dan waktunya.
Penggeraknya adalah motor listrik yang digerakkan secara otomatis. Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini adalah alat ini berfungsi dengan baik. Bekerjanya alat ini dapat dipicu dari
timbulnya suara yang ditangkap oleh sensor ataupun benda yang menyentuh sensor. Sensor
kemudian mengirimkan instruksi kepada rangkaian elektronik untuk mengalirkan arus listrik
dari baterai untuk menggerakkan motor listrik. Akibatnya tuas penggerak tali atau batang
mekanik akan ikut bergerak, sehingga tali-talipun akan bergerak pula. Akhirnya benda yang
ada ditali berupa kerincingan akan bergetar dan menimbulkan suara yang nanti akan
mengejutkan burung.
Kata Kunci: Rancang Bangun, Pengendali Burung Otomatis, Burung Pipit, Bulir Padi
Pendahuluan
Pengendalian hama padi sawah untuk memperoleh produksi yang lebih meningkat
terus dilakukan. Baik itu secara kimia maupun mekanik. Salah satu hama padi adalah burung
yang biasa makan bulir padi. Petani biasa membuat alat untuk mengendalikan hama burung
ini dengan beberapa untaian tali yang diberikan benda-benda yang dapat menimbulkan suara
ketika tali ditarik. Hal itu akan menyebabkan burung kaget dan terbang meninggalkan padi,
sehingga tidak jadi memakan tanaman padi.
Petani biasanya menggerakkan untaian tali tersebut dengan menggunakan tenaganya
sendiri melalui tangan, sehingga harus selalu diamati. Hal ini telah berlangsung secara turun
temurun. Petani selalu harus berada di lokasi sawahnya untuk berjaga-jaga agar burung tidak
akan makan tanaman padi ketika tiba waktu untuk memakan tanaman. Aktivitas dan waktu
petani ini sangat tersita akibat ulah burung, bisa saja petani dapat melakukan aktivitas lain
yang sama pentingnya untuk kebutuhan keluarganya. Misalnya saja petani harus mencari
pakan untuk ternaknya di rumah, karena adapula petani yang memiliki ternak disamping
Metode
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen yang dilengkapi
dengan alat yaitu sebagai berikut: pas, avo meter, adaptor, power suplay, tang pengupas
kabel, gunting seng, gunting, kikir besi/kayu, solder, dan timah solder. Bahannya adalah
kayu, tripleks, baut mur, pipa besi, paku, siku rak, baut mur siku rak, besi beton, gagang
pintu (pegangan), motor listrik, baterai aa, baterai (aki), katup, klem pipa, poros nok, roda
gigi, rantai kecil, sakelar, kabel, relai, pegas ulir, engsel, kerincingan, dan nilon.
Konstruksi
Proses selanjutnya adalah mengkonstuksi besi siku rak menjadi bentuk kubus sebagai
dasar ataupun pondasi alat pengendali hama burung. Penyambungannya mudah saja, yaitu
dengan mengikatnya menggunakan baut mur lalu dikencangkan dengan kunci pas dan kunci
sock. Bila telah selesai dapat dilanjutkan dengan mengkonstruksi komponen-komponen
yang lain seperti motor listrik, poros nok, katup dan rantai kecil.
Pengujian
Pengujian perlu dilakukan setelah alat pengendali hama burung otomatis ini selesai.
Pengujian awal dilakukan di halaman rumah tempat pembuatan alat ini yang kebetulan
sering banyak burung sejenis pipit datang setiap hari. Proses pengujian yang dilakukan
menunjukkan kinerja prototipe alat sesuai dengan harapan rancangan yang telah dibuat.
Baut
pengikat
Tali nilon
dan
kerin-
Baut
pengikat
Kabel Kabel
bodi bodi
Motor
Baut listrik
Pemegang
pengikat
baterai/aki
Baterai/aki
Tepukan tangan
menghasilkan suara
untuk menggerakkan
alat.
Pembuatan
Proses pembuatan alat pengendali hama burung dilakukan sendiri. Lokasi
pembuatannya di rumah sendiri. Adapun proses pembuatannya berurutan seperti dijelaskan
berikut ini.
Gambar 3. Rangka
Pemasangan Komponen
Komponen-komponen yang akan dipasangkan pada rangka adalah: motor listrik
(Gambar 4), poros nok, baterai/Aki, papan rangkaian elektronik, tuas penggerak tali dan
relai.
Motor listrik ini untuk menggerakkan poros nok, arus listriknya diperoleh dari baterai/aki 12
volt 5 A. Setiap motor digerakkan oleh tenaga DC yang voltase dan arus adalah diukur
dengan Tektronix P5200A probe tegangan (Tsai et.al., 2009). Motor listrik melakukan
kebalikan dari listrik generator. Alih-alih mengubah energi mekanik menjadi listrik, motor
listrik mengambil listrik dan mengubahnya menjadi energi mekanik (Manney, 2017). Semua
motor, induksi atau magnet permanen, memiliki komponen dasar yang sama: stator, rotor,
poros, dan rumahan motor (Gambar 1). Selain itu, mereka semua beroperasi melalui medan
magnet yang dihasilkan sehingga menghasilkan torsi yang memutar rotor untuk menciptakan
Poros nok dan katup serta rantai dipasang untuk menggerakkan tuas penggerak tali.
Poros nok mendapat tenaga putar dari motor listrik melalui rantai, selanjutnya nok akan
menggerakkan katup. Tuas penggerak tali yang ditempatkan di atas katup akan ikut bergerak
dengan bergeraknya katup (Gambar 5). Alofs (2015) mengungkapkan bahwa poros sisi
sejajar dan kepala bodi berbentuk kerucut, piramida, peluru, atau pahat memiliki kekuatan
yang besar.
Tuas penggerak tali dipasang tepat di atas katup, tujuannya agar gerakan katup yang
berasal dari poros nok dapat diteruskan ke tuas penggerak tali (Gambar 6). Nantinya gerakan
tuas penggerak akan sama dan seirama dengan gerakan poros nok, motor listrik dan suara
yang ditangkap sensor. Gerakan tuas penggerak hanyalah lurus ke atas dan ke bawah.
Gerakan lurus ini telah diubah oleh katup dari gerakan melingkar poros nok dan motor listrik.
Kesimpulan
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah prototipe alat ini berfungsi dengan baik.
Bekerjanya alat ini dapat dipicu dari timbulnya suara yang ditangkap oleh sensor ataupun
Daftar Pustaka
Akekere, J. and Yousuo, P.O.J. 2013. National electric energy supply and industrial
productivity in Nigeria from 1970 to 2010. Journal of Economics and Sustainable
Development, Vol. 4 (14).
Alofs, E. 2015. Studies on Mounted Warfare in Asia III: The Iranian Tradition – Cavalry
Equipment, Infantry, and Servants. War in History. Vol. 22 (2): 132-154.
C.-Y. Tsai, K.-T. Song, X. Dutoit, H. Van Brussel, and M. Nuttin. 2009. “Robust visual
tracking control system of amobile robot based on a dual-Jacobian visual interaction
model,” Robotics and Autonomous Systems, vol. 57 (6-7): 652–664.
King, D.J., Cooperman, A., Diecmann, J., Brodrick, J. 2012. Induction or PM motors.
ASHRAE Journal. October. 81-85.
Manney, D. 2017. Electric motors and generators: Sizing up the difference. L&S Electric.
Vol. 20 (6): 36-38.
Sulharman, 2015. Engineering of rocking nut maker tools. The Journal for Technology and
Science, Vol. 26 (2): 35-39.
ABSTRACT
Rice crops require sufficient amount of water for their development, but water is often a
limiting factor if it is grown on dry Vertisol soils. The study aimed to determine the monthly
water availability and water available of soil profiles for paddy on Endoaquert Ustic of
Paguyaman. The research was conducted on 2 pedon of Vertisol soil profiles, which were
pedon from Sidomukti Village of Mootilango District of Gorontalo Regency and from Sosial
Village of Paguyaman District of Boalemo Regency. The soil profile was constructed and
sampled according to soil survey principles. Climate data were collected from the Sidodadi
and Molombulahe climate stations, including: rainfall data (mm), temperature (°C), relative
humidity (%) and wind speed (km hour-1). Soil data used, including: soil water content of
field capacity (pF = 2.5) and permanent wilting point (pF = 4.2) and root depth on 30 cm
(rice roots). Monthly water availability analysis was using water balance method followed
by water balance of soil profiles. The results showed that monthly water availability of
Vertisol from Sidomukti Village was higher than Vertisol from Social Village. Water
available of Vertisol soil profile from Sidomukti Village more by 41.09% compared to
Vertisol from Social Village.
Keywords: Water Availability, Profile, Soil, Vertisol
Pendahuluan
Wilayah Paguyaman adalah salah satu sentra utama pengembangan tanaman pangan,
terutama padi sawah dan merupakan lumbung beras terbesar di Provinsi Gorontalo. Wilayah
ini merupakan lembah gunung Boliyohuto dan tercakup dalam Daerah Aliran Sungai
Paguyaman yang terdiri dari endapan danau (lakustrin), dataran alluvial dan teras sungai.
Menurut Bahcri et al. (1993), geologi daerah Paguyaman dominan berkembang dari bahan
lakustrin yang terdiri dari batu liat (claystones), batu pasir (sandstones), dan kerikil (gravel)
pada epoch kuarter pleistosen dan holosen. Sementara Prasetyo (2007) melaporkan bahwa
daerah Paguyaman mengandung mineral kuarsa dan dalam jumlah yang lebih sedikit masih
dijumpai mineral ortoklas, sanidin dan andesin. Mineral epidot, amfibol, augit dan hiperstin
Berdasarkan deskripsi dan morfologi tanah, maka kedua pedon diklasifikasi sebagai
Ustik Endoaquert (Soil Taxonomy), dimana kedua pedon memiliki regim kelembaban ustik
yang selalu jenuh air dan tergolong tanah Vertisol (Tabel 1 dan Tabel 2). Adanya proses
eluviasi dan iluviasi serta gleisasi dan karatan menunjukkan bahwa tanah telah berkembang
dengan adanya Horison B. Djaenuddin dan Hendrisman (2005) melaporkan bahwa profil
tanah di daerah Paguyaman ditemukan karatan besi dan mangan, konkresi dan nodul dalam
jumlah cukup sampai banyak pada kedalaman 0-110 cm.
Tabel 2. Klasifikasi tanah dari Desa Sosial, Kec. Paguyaman, Kabupaten Boalemo
Kedalaman
Horison Uraian
(cm)
0-21 Apg1 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur masif; agak lekat, plastis;
karatan coklat (10YR 4/3), sedikit, halus, baur, bintik, tajam;
perakaran halus, banyak; berangsur rata.
21-37 Apg2 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus,
lemah; agak lekat, plastis; perakaran halus, sedikit;
berangsur rata.
37-60 Bwg1 Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus,
sedang; agak lekat, plastis; berangsur rata.
60-80 Bwg2 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah;
agak lekat, plastis; perakaran halus, banyak; berangsur rata.
80-103 Bwg3 Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur prismatik,
halus, lemah; lekat, plastis; nyata rata.
103-200 BCg Kelabu terang (10YR 7/1); liat; struktur prismatik, halus,
lemah; lekat, plastis; karatan coklat terang (7,5YR 6/3),
sedang, sedang, jelas, bintik, jelas; nyata rata.
Tabel 6. Data Panjang Penyinaran Matahari di Stasiun Iklim Sidodadi Kabupaten Gorontalo
Nama Altitut Panjang Penyinaran Bulanan (%)
No Jumlah Rataan
Stasiun (mdpl) J F M A M J J A S O N D
1 Sidodadi 44 43 48 52 48 44 39 45 52 52 46 43 42 554 46,17
BB = bulan basah; BK = bulan kering; ZAK = zona agroklimat.
Tampaknya, ATP tanah Vertisol asal Desa Sidomukti (58,4 mm bulan-1) masih lebih
banyak 41,09% dibandingkan ATP tanah Vertisol asal Desa Sosial yang hanya 34,4 mm
bulan-1. Hal ini sudah tergambarkan dari ketersediaan air bulanan (Tabel 8). Kondisi
lapangan kedua jenis tanah merupakan tanah sawah tadah hujan yang sumber air utama
hanya berasal dari air hujan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nurdin (2010) bahwa tanah
sawah tadah hujan di wilayah ini mendapat suplai air dari hujan dan dari pemompaan sungai
Kesimpulan
1. Ketersediaan air bulanan tanah Vertisol asal Desa Sidomukti lebih tinggi dibandingkan
Vertisol dari Desa Sosial.
2. Air tersedia profil tanah Vertisol asal Desa Sidomukti lebih banyak, yaitu sebesar
41,09% dibandingkan tanah Vertisol asal Desa Sosial.
Daftar Pustaka
Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranspiration: guidelines for
computing crop water requirement. Rome: FAO p.300.
Abdullah TS. 2006. Buku lapang untuk pendekripsian dan pengambilan contoh tanah
berdasarkan Taksonomi Tanah USDA. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor.
Bahcri S, Sukido, Ratman N. 1993. Peta geologi lembar tilamuta, Sulawesi Skala 1:250.000.
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Djaenuddin D, Hendrisman M. 2005. Evaluasi lahan secara kuantitatif: studi kasus pada
tanaman jagung, kacang tanah dan kacang hijau di daerah Paguyaman Kabupaten
Boalemo Provinsi Gorontalo. Jurnal Tanah dan Lingkungan 7:27-35.
Firmansyah MA. 2007. Karakteristik dan resiliensi tanah terdegradasi di lahan kering
Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Hillel D. 1998. Pengantar fisika tanah. Terjemahan Intriduction to soil physisc oleh RH
Susanto, RH Purnomo. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.
Prasetyo BH. 2007. Perbedaan sifat-sifat tanah vertisol dari berbagai bahan induk. Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 9:20-31.
Rachim DA. 2003. Mengenal taksonomi tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas pertanian
Institut Pertanian Bogor.
Rachim DA. 2007. Dasar-dasar genesis tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor.
Salter PJ, Berry G, William JB. 1966. The influence of texture on moisture characteristics
of soils; quantitative relationships between particle size, composition and available-
water capacity. Jurnal of Soil Science 17(1): 93-98.
Setiobudi, DA. 1997. Alternatif teknik penghematan air irigasi melalui system pengairan
intermiten pada tanaman padi sawah. Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi
Pemanfaatan Air Irigasi di Tingkat Usahatani menuju Pertanian Modern. Balai Irigasi,
Bekasi. Hlm. 50-60.
Suyamto, Toha HM, P Hamdan, MY Sumaullah, TS Kadir, F Agus. 2008. Petunjuk teknis
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah tadah hujan. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Departemen Pertanian RI.
ABSTRAK
Cekaman salinitas merupakan salah satu faktor cekaman lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman. Berdasarkan permasalahan salinitas
maka perlu dilakukan upaya pemilihan jenis tanaman yang tahan (toleran) pada kondisi
cekaman salinitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan tanaman okra hijau
(Abelmoschus esculentus L.) varietas Naila IPB terhadap cekaman salinitas melalui
pemberian garam NaCl. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Dunggala Kecamatan Tapa
Kabupaten Bone Bolango pada bulan Mei sampai bulan Agustus 2017. Penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan konsentrasi garam NaCl:
0, 1, 2, 3.5, 4%. Parameter yang diamati adalah pertambahan jumlah daun, luas daun, waktu
berbunga, jumlah bunga, jumlah stomata, jumlah buah, berat basah akar, volume akar, berat
basah tanaman dan berat tanaman kering. Analisis data menggunakan sidik ragam ANOVA
dengan uji BNT 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman okra tahan terhadap
salinitas melalui pemberian NaCl hingga konsentrasi 4%. Peningkatan konsentrasi NaCl
berpengaruh nyata terhadap jumlah stomata, volume akar dan berat tanaman kering.
Pendahuluan
Tanaman okra (Abelmoschus esculentus L.) merupakan tanaman sayuran berbentuk
buah. Sayuran ini mengandung sumber vitamin, mineral, protein, karbohidrat, lemak dan
sumber kalori yang dibutuhkan tubuh manusia. Buah okra mempunyai kandungan gizi yang
cukup tinggi pada setiap 100 g buah okra mengandung 1 g lendir, karbohidrat 7 g dan kalium
70-90 mg. Skala persen kandungan gizi buah okra yaitu protein 3,9%, lemak 2,05%, kalium
6,68%, fosfor 0,77%, dan karbohidrat 1,4% (Idawati, 2012).
Tanaman okra berbentuk persegi lima, buah okra memiliki manfaat yaitu sebagai
antioksidan, pholipenol, flavonoid yang dapat meringankan keletihan, mencegah stres
oksidatif, berpotensi untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan resiko penyakit
diabetes dan Alzheimer (Ikrarwati dan Nofi, 2016). Tanaman okra cocok dibudidayakan di
daerah tropis baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Kendala utama penanaman okra
di Indonesia adalah belum dikenal secara luas, selain itu belum tergarapnya peluang pasar
ekspor okra oleh petani (Awaludin, 2001).
Tanaman okra dikembangkan di Gorontalo melalui pemanfaatan lahan-lahan yang
ada. Pemanfaatan tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan marginal. Lahan
Metode
Penelitian dilaksanakan di Desa Dunggala, Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone
Bolango, pada bulan Mei sampai Agustus 2017. Secara umum keadaan fisik lokasi penelitian
yaitu memiliki luas wilayah ± 7.8 km2, berada pada ketinggian tempat 95 m dpl.
Alat dan bahan yang digunakan yaitu timbangan digital, polibag, sprayer, gelas ukur,
ember, meteran, mikroskop, kaca preparat, benih okra hijau varietas Naila IPB, media tanam
campuran tanah pupuk kandang ayam (2:1), NaCl dan cat kuku.
Rancangan percobaan menggunakan rancangan lingkungan rancangan acak lengkap
(RAL) yang terdiri dari lima taraf perlakuan dengan lima ulangan, sehingga terdapat 25
unit percobaan. Lima taraf perlakuan tersebut adalah P1= tanpa NaCl, P2= NaCl 1% , P3=
NaCl 2%, P4= NaCl 3.5% dan P5= NaCl 4%. NaCl ditimbang dan dilarutkan sesuai
perlakuan. Larutan NaCl diaplikasikan pada tanah sekitar akar tanaman sesuai perlakuan
saat tanaman berumur 4, 5, 6 dan 7 minggu setelah tanam (MST).
Media tanam dibuat dari campuran tanah dan pupuk kandang ayam (2:1). Media tanam
dimasukkan ke dalam polibag berukuran 40 cm x 40 cm x 20 cm seberat 5 kg. Benih okra
hijau ditanam sebanyak 2 benih tiap polibag.
Pengamatan diamati terhadap variabel:
1. Luas daun (cm). Luas daun diamati pada umur 5 minggu setelah tanam dan setelah
panen. Luas daun dihitung menggunakan rumus (Sitompul dan Guritno, 1995):
WR Keterangan :
LD= x LK
WT LD = Luas daun WR = Berat replika daun
LK = Luas kertas WT = Berat total kertas
2. Waktu berbunga (hari). Waktu berbunga diamati pada saat hari pertama tanaman okra
mulai berbunga.
Kesimpulan
Tanaman okra tahan terhadap salinitas melalui pemberian NaCl hingga konsentrasi
4%. Pemberian NaCl berpengaruh nyata terhadap jumlah stomata, volume akar, berat
tanaman kering dan mempercepat waktu berbunga.
Daftar Pustaka
Arnanto, D., Nur Basuki dan Respatijarti. 2013. Uji Toleransi Salinitas Terhadap Sepuluh
Genotip F1 Tomat (Solanum lycopersicum L). Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas
Pertanian. Universitas Brawijaya Malang. J. Produksi tanaman 1 (5): 415-421.
Asih, E.D, Mukarlina, Irwan L. 2015. Toleransi Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea L.)
terhadap Cekaman Salinitas Garam NaCl. J.Protobiont 4 (1): 203-208.
Awaludin. 2001. Karakteristik Distribusi dan Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya Pada Pola
Tanam Monokultur dan Tumpang Sari Tanaman Okra-Kedelei. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor.
Haryadi. 2013. Pengukuran Luas Daun dengan Metode Simpson. Anterior 12 (2): 1-5
Ikrarwati dan Nofi, A. R. 2016. Budidaya Okra dan Kelor dalam Pot. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta. Jakarta.
Lubis, K. 2000. Respon Morfogenesis Embrio Beberapa Varietas Kedelai (Glyciene max L.
Merr) pada Berbagai Konsentrasi NaCl Secara In Vitro. Thesis. Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Ma’ruf, A. 2016. Respon Beberapa Kultivar Tanaman Pangan Terhadap Salinitas. Jurusan
Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Asahan. J. Penelitian Pertanian 12 (3):
11-19.
Nugraheni, I. T., Solichatun dan Endang A. 2003. Pertumbuhan dan Akumulasi Prolin
Tanaman Orok-orok (Crotalaria juncea L.) pada Salinitas Berbeda. Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. J. Biosmart 5 (2): 98-101.
Salisbury, F.B., dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid III. Penerjemah: Diah R
Lukman dan Sumaryono. ITB Bandung.
Siregar, L. A. M., Rosmayati dan Julita. 2010. Uji Beberapa Varietas Tomat (Lycopersicum
esculentum Mill.) terhadap Salinitas. Program Studi Agroekoteknologi. Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. J. Ilmu Pertanian 4 (2): 19-24.
Sitompul, S.M dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada
University Press.
Suwigyo, R.A., Renih Hayati Dan Mardiyanto. 2010. Toleransi Tanaman Jagung Terhadap
Salinitas dengan Perlakuan Stres Awal Rendah. Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya. J.Agrivigor 10(1): 73-83.
Yuniati R. 2004. Penapisan Galur Kedelai Glycine max (L) Merrill Toleran terhadap NaCl
untuk Penanaman di Lahan Salin. J. Makara Sains 8 (1): 21-24.
ABSTRAK
Masyarakat Indonesia umumnya mengonsumsi gula dari tebu sebagai bahan pemanis. Saat
ini kebutuhan gula melebihi kemampuan produksinya, sehingga diperlukan upaya
pemenuhan bahan pemanis berupa perluasan areal dan peningkatan produktivitas gula
termasuk melalui potensi produksi Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) sebagai pemanis
alami, rendah kalori dan umur panennya pendek. Pengembangan Stevia di Palangka Raya
didukung lahan gambut dan memiliki kendala agroklimat karena Stevia peka terhadap
cahaya dan panas sehingga penaungan diharapkan mengetahui kebutuhan cahaya sekaligus
nilai efisiensi penggunaan radiasi (radiation use efficiency = RUE) yang merupakan jumlah
biomassa yang dapat dihasilkan tanaman Stevia per satuan energi radiasi matahari yang
tersedia dan diintersepsi untuk fotosintesis. Penelitian dilaksanakan di lahan gambut yang
diberikan penaungan di Kota Palangka Raya. Stevia ditanam dari bahan tanam berupa stek
pucuk. Panen Stevia dilakukan umur 40 hari setelah tanam. Perlakuan yang diberikan adalah
penaungan yang terdiri dari : n0 = tanpa penaungan; n1 = 55% penaungan; n2 = 65%
penaungan; dan n3 = 75% penaungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penaungan
menggambarkan nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari. Penaungan 65% lebih efisien
menggunakan radiasi matahari yang diintersepsi mencapai 0,112 g MJ -1 pada pertumbuhan
Stevia sampai umur 40 hari setelah tanam stek pucuk dibandingkan tanpa penaungan
maupun penaungan 55% dan 75%.
Pendahuluan
Masyarakat Indonesia umumnya mengonsumsi gula dari tebu sebagai zat karbohidrat
untuk tubuh yang diproses menjadi energi, sekaligus sebagai bahan pemanis makanan dan
minuman. Pola makan masyarakat Indonesia termasuk ditunjukkan dengan kondisi
konsumsi gula secara nasional yang cukup tinggi, yaitu mencapai 17 Kg/kapita/tahun, dan 9
kg diantaranya untuk kebutuhan rumah tangga (Pramudiarja, 2010), bahkan saat ini tingkat
konsumsi gula di Indonesia perkapita pada tahun 2017 adalah sekitar 23 Kg/kapita/tahun
(sedangkan rata-rata komsumsi secara dunia perkapita sekitar 20 Kg/kapita/tahun). Total
konsumsi gula di Indonesia sekitar 4,93 juta ton gula/tahun pada tahun 2017 (gula industri
dan gula konsumsi) dan konsumsi gula industri makanan minuman tahun 2017 akan
mencapai 3,5 juta ton/tahun (Rusli, 2017).
Metode
Penelitian ini dilaksanakan di lahan gambut yang diberikan penaungan di Kota
Palangka Raya. Budidaya tanaman Stevia dilakukan di lahan gambut daerah Jalan Gurame,
Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya pada bulan
September sampai November 2016. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu bibit
stek pucuk Stevia, kapur dolomit (dosis 7 ton ha-1), pupuk kandang kotoran ayam (dosis 30
ton ha-1), jaring naungan (agronet 55%, 65% dan 75%), dan tanah gambut. Alat yang
digunakan adalah peralatan budidaya, kamera digital, plastik milimeter blok, lux meter,
thermometer, oven listrik pengering tanaman, penggaris/meteran, neraca analitik, kalkulator,
alat tulis, dan komputer.
Penelitian ini melakukan percobaan budidaya tanaman Stevia yang ditanam
menggunakan bibit dari bahan tanam berupa stek pucuk Stevia dengan perlakuan yang
diberikan adalah penaungan yang terdiri dari: n0 = tanpa penaungan; n1 = 55% penaungan;
n2 = 65% penaungan; dan n3 = 75% penaungan. Penanaman Stevia dilakukan dengan jarak
tanam 20 x 20 cm. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali, sehingga seluruhnya
terdapat 40 satuan percobaan. Panen tanaman Stevia dilakukan pada umur 40 hari setelah
tanam. Pengamatan dilakukan terhadap dinamika intersepsi dan efisiensi penggunaan radiasi
matahari oleh tanaman Stevia yang telah tumbuh pada umur 10, 20, 30 dan 40 hari setelah
tanam, yang meliputi pengukuran indeks luas daun, berat kering tanaman, radiasi matahari
di atas tajuk, dan besarnya intersepsi radiasi matahari.
120.00 120.00
y(n2 ) = 0.112 Qint + 6.851
100.00 y(n0 ) = 0.037 Q int + 5.600 100.00 R² = 0.986
Berat Kering Tanaman (g m-2 )
Berat Kering Tanaman (g m-2 )
R² = 0.973
80.00 80.00
60.00 60.00
40.00 40.00
20.00 20.00
0.00 0.00
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 0 200 400 600 800 1000
Qint = Intersepsi (MJ m-2 )
Qint = Intersepsi (MJ m-2 )
n0 (tanpa naungan) n2 (naungan 65%)
120.00 120.00
y(n3 ) = 0.108 Q int + 19.440
y(n1 ) = 0.092 Q int + 8.401
Berat Kering Tanaman (g m-2 )
100.00 100.00
Berat Kering Tanaman (g m-2 )
R² = 0.973 R² = 0.959
80.00 80.00
60.00 60.00
40.00 40.00
20.00 20.00
0.00 0.00
0 200 400 600 800 1000 1200 0 200 400 600 800 1000
Qint = Intersepsi (MJ m-2 ) Qint =Intersepsi (MJ m-2 )
n1 (naungan 55%) n3 (naungan 75%)
Pembahasan
Mengetahui penggunaan radiasi matahari oleh tanaman sangatlah penting, tetapi disisi
lain juga membutuhkan upaya mengetahui efisiensinya. Efisiensi penggunaan radiasi
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan, maka disarankan sebagai berikut:
a. Setiap budidaya tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya disarankan
memberikan penaungan 65% (atau 35% cahaya tembus) dikarenakan pada intensitas
cahaya tersebut terjadi penggunaan radiasi matahari yang efisien untuk pertumbuhan dan
hasilnya.
b. Apabila budidaya tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya tidak
menggunakan naungan, maka disarankan menanam Stevia dilakukan sebagai tanaman
sela pada sistem tumpangsari bersama tanaman yang tumbuhnya lebih tinggi dari
keragaan tanaman Stevia untuk memenuhi penaungan 60% dan dipanen minimal pada
umur 40 HST (sebelum masuk waktu berbunga).
c. Perlu penghitungan efisiensi penggunaan radiasi matahari terhadap berat kering daun
tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya sebagai produk utama bahan
pemanis alami, sehingga mendapatkan gambaran kesesuaian penaungan yang efisien
dalam meningkatkan produk daun keringnya, atau selalu melakukan pengukuran indeks
panen daun tanaman Stevia.
Daftar Pustaka
Ariyanti, F. 2017. Produksi Seret, R.I. Impor Gula 1,3 Juta Ton di 2017. Liputan6.com.
http://bisnis.liputan6.com/read/2890396/produksi-seret-ri-impor-gula-13-juta-ton-
di-2017. Diakses pada tanggal 12 Juni 2017.
BPS. 2010. Kota Palangka Raya Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kota Palangka
Raya, Palangka Raya. ISSN 0215-5990
Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya
(Terjemahan oleh Herawati Susilo dan Subiyanto). Universitas Indonesia (UI-Press),
Jakarta.
Ilyas, R., 2003. Stevia. Info POM Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
IV (11): 1-3.
Pramudiarja 2010. Waspadai Ancaman Gula & Polusi Udara Bagi Kesehatan di 2011.
http://us.health.detik.com/read/2010/12/31/095859/1536478/766/waspadai-ancaman-
gula-polusi-udara-bagi-kesehatan-di-2011. Diakses tanggal 28 Januari 2011.
Rukmana, H. R. 2007. Budidaya Stevia: Bahan Pembuatan Pemanis Alami. Cetakan Ke-5.
Kanisius, Yogyakarta.
Rusli, R. H. 2017. Nestapa Penderitaan Petani Gula Akibat Mafia Gula di Republik
Indonesia. http://ekbis.rmol.co/read/2017/07/17/299341/Nestapa-Penderitaan-
Petani-Gula-Akibat-Mafia-Gula-di-Republik-Indonesia-. Diakses tanggal 9 Februari
2018.
Sitompul, S. M., dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Susilo, D.E.H. 2012. Studi Budidaya Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) Sebagai Bahan
Dasar Gula Pada Tanah Gambut di Kota Palangka Raya. J. Anterior 11 (2): 6–11.
Susilo, D.E.H., J. Hadie dan R. Zulhidiani, 2012. Dinamika Tumbuh Stek Pucuk Stevia
Menggunakan Naungan dan Pupuk Kotoran Ayam pada Tanah Gambut Pedalaman. J.
Anterior 12 (1): 1–12.
Winarno, A. 2017. Pemerintah akan Impor Gula 1 Juta Ton Lebih. Kompas.com.
http://regional.kompas.com/read/2017/03/17/00244031/.2017.pemerintah.akan.impo
r.gula.1.juta.ton.lebih. Diakses pada tanggal 12 Juni 2017.
ABSTRAK
Sisa tanaman dan kotoran ternak merupakan bahan pupuk organik yang mudah diperoleh
dan biaya pengolahan relatif lebih murah. Penggunaan pupuk dapat mengurangi
ketergantungan pemakaian pupuk sintetis dan bersifat lebih ramah lingkungan. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat pertumbuhan dan produksi tanaman sawi dengan menggunakan
pupuk organik. Parameter yang diamati yaitu jumlah daun dan berat basah tanaman sawi.
Dengan perlakuan P0 tanpa perlakuan sebagai kontrol, P1 perlakuan menggunakan kotoran
ayam, P2 perlakuan menggunakan abu sekam padi. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian pupuk organik berupa kotoran ayam dan abu sekam padi memberikan
respon yang berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi. Jumlah daun untuk
perlakuan P0 rata-rata 9 helai per tanaman, P1 jumlah daun rata-rata 12 helai per tanaman,
P2 jumlah daun 10 helai per tanaman. Sedangkan untuk produksi tanaman untuk P0 rata-rata
79,6 g per tanaman, P1 154,8 g per tanaman, P2 129,6 g per tanaman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan untuk pertumbuhan dan produksi
tanaman sawi. Jumlah daun dan produksi tertinggi terdapat pada perlakuan P1 dengan
jumlah daun rata-rata 12 helai per tanaman dan berat rata-rata 129,6 g per tanaman. Dari
ketiga perlakuan, penggunaan pupuk organik menunjukkan peningkatan pertumbuhan dan
produksi tanaman sawi.
Kata Kunci: Pupuk Organik, Sawi, Sistem Pertanian Berkelanjutan
Pendahuluan
Dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi dalam dunia pertanian, dan
didukung oleh bertambahnya kebutuhan akan pangan, persaingan dalam pertanian industrial
semakin berkembang pesat. Dalam proses produksi para petani lebih cenderung berorientasi
untuk memacu produktivitas lahan dengan memberikan input berupa pupuk kimia dan
pestisida yang secara terus-menerus yang mengakibatkan merosotnya kualitas lahan,
terjadinya pencemaran lingkungan dan membahayakan dari segi kesehatan manusia. Untuk
meminimalisir dampak-dampak tersebut maka solusi yang tepat adalah dengan konsep
sistem pertanian yang berkelanjutan.
Sistem pertanian berkelanjutan pada dasarnya merupakan sistem pertanian yang dalam
pengelolaannya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia namun tetap
mempertahankan, meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam
yang ada. Salah satu model dari sistem pertanian berkelanjutan adalah konsep pertanian
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena yang
dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2017. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu sekop, cangkul, ember, gayung, wadah persemaian, polybag ukuran 20
cm X 30 cm, meteran, penggaris, alat tulis menulis dan alat dokumentasi. Bahan yang
digunakan yaitu tanah dan abu sekam padi dan kotoran ayam. Penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 3 perlakukan yang diulang sebanyak 5
kali. Perlakuan terdiri dari: P0 = tanah (sebagai kontrol), P1= tanah dan kotoran ayam dengan
perbandingan 1:1, P2= tanah dan abu sekam padi dengan perbandingan 1:1. Masing-masing
perlakuan terdiri dari lima ulangan. Kegiatan penelitian meliputi persiapan media tanam,
persemaian, penanaman, pemeliharaan, dan panen.
Parameter yang diamati yaitu jumlah daun (helai) dan berat basah tanaman. Parameter
jumlah daun dilakukan dengan menghitung jumlah daun yang telah terbentuk sempurna dan
berat basah tanaman sawi, yaitu dilakukan dengan menimbang seluruh bagian tanaman saat
panen. Pengambilan data dilakukan pada 15 hari setelah tanaman (HST), dan pada saat
panen. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varians satu jalan untuk melihat
adanya pengaruh nyata dari perlakuan-perlakuan yang diberikan terhadap komponen
pengamatan.
15
Jumlah Daun
10
0
P0 P1 P2
Pupuk Organik
Hasil analisis varians satu jalan terhadap variabel jumlah daun menunjukkan bahwa
perlakuan dengan bahan organik yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman
sawi. Hasil uji lanjut dengan uji LSD terhadap rata-rata jumlah daun sebagai hasil dari
perlakuan pemberian pupuk organik yang berbeda dapat dilihat pada table 1. Hasil uji lanjut
menunjukkan bahwa perlakuan P1 dan P2 yaitu dengan menggunakan pupuk organik
memberikan rata-rata jumlah daun yang berbeda dibandingkan dengan P0 perlakuan tanpa
150
100
(g)
50
0
P0 P1 P2
Perlakuan
Gambar 2. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Berat Basah Tanaman Sawi
Kesimpulan
1. Perlakuan dengan menggunakan pupuk organik berpengaruh nyata terhadap variabel
jumlah daun dan berat basah tanaman sawi.
2. Perlakuan dengan menggunakan pupuk organik kotoran ayam memberikan rata-rata
tertinggi pada jumlah daun (12 helai per tanaman) dan berat basah tanaman sawi (154,8
g per tanaman).
Daftar Pustaka
Foth, H.D. 1998. Dasar - Dasar Ilmu Tanah. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.
Gustia, H. 2013. Pengaruh Penambahan Sekam Bakar pada Media Tanam Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan
Lingkungan 1 (1): 12-17
Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Ramadhan, C.B. 2012. Pengaruh Kombinasi Media Tanam dengan Fertigasi Pupuk organik
terhadap pertumbuhan bibit tanaman kepel (stelechocarpus burahol (bl.) Hook. F. &
th.). Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian, Bogor.
Wardi H., Sudarmodjo, D. Pitoyo. 1998. Teknologi Hidroponik Media Arang Sekam untuk
Budidaya Hortikultura. J. Litri.
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 105
KAJIAN EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK DENGAN
KOMBINASI PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN
JAGUNG
AMIRUDIN
Politeknik Gorontalo, Jurusan Teknologi Pertanian
Email: amirudin_82@poligon.ac.id
ABSTRACT
Dampak negatif yang disebabkan oleh penggunaan pupuk anorganik mendorong petani
untuk kembali kesistem pertanian organik (organik farming system). Namun, karena proses
dekomposisi pupuk organik yang lambat dan yang jumlahnya yang terbatas menyebabkan
hara yang dapat diserap oleh tanaman untuk pertumbuhannya juga menjadi sedikit. Oleh
karena itu, diperlukan kombinasi antara pupuk organik dengan pupuk anorganik. Penelitian
ini bertujuan untuk menguji efektifitas pengaruh kombinasi pemupukan organik dan
anorganik pada tanaman jagung. Penelitian ini dilakukan di grand house Desa Banuroja,
Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo pada bulan Oktober-
November 2017. Desain yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 (empat)
perlakuan, (1). Perlakuan J1 = 250 kg Urea/ha + 3 ton kompos/ha, (2). J2 = 230 kg Urea/ha
+ 6 ton kompos/ha, (3). J3 = 210 kg Urea/ha + 9 ton kompos/ha (4). J 4 = 190 kg Urea/ha +
12 ton kompos/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas penggunaan pupuk
terbaik adalah kombinasi antara pemupukan organik dan anorganik dengan rata-rata
pertumbuhan terbaik yaitu pada perlakuan J2 = 230 kg Urea/ha + 6 ton kompos/ha.
Kata Kunci: Jagung, Pupuk Kompos, Pupuk Urea, SP-36 dan KCl
Pendahuluan
Untuk menunjang usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan pokok
yang terus meningkat, perlu upaya pengembangan pertanian pada lahan-lahan marginal yang
cukup luas. Sebagian besar lahan darat tadah hujan merupakan lahan dengan topografi yang
beragam dan dengan tanah marginal yang pada dasarnya merupakan tanah dengan
kandungan air dan kesuburannya rendah.
Penggunaan bahan-bahan kimia secara berlebihan pada sistem petanian telah
menimbulkan kerusakan ekologi, seperti degradasi tanah, sumberdaya air dan kualitas bahan
makanan. Olehnya itu perlu mendorong petani untuk kembali kesistem pertanian yang ramah
lingkungan yaitu penerapan sistem pertanian organik (organik farming system) yang dapat
memperbaiki kerusakan yang diakibatkan penerapan sistem pertanian modern yang
mengandalkan penggunaan bahan kimia untuk meningkatkan produksi pertanian. Untuk itu
perlu dikembangkan pengelolaan hara melalui penggunaan sumber-sumber bahan organik
dari lingkungan pertanian yang didasarkan pada hasil penelitian dan sumberdaya lokal
(Somasundaram, 2007).
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan
kombinasi dosis pupuk urea dan pupuk kompos. Perlakuan yang diteliti adalah sebagai
berikut:
J1 = 250 kg urea/ha + 3 ton compost/ha
J2 = 230 kg urea/ha + 6 ton compost/ha
J3 = 210 kg urea/ha + 9 ton compost/ha
J4 = 190 kg urea/ha + 12 ton compost/ha
Implementasi Penelitian
Pembuatan Pupuk Kompos
Sisa pakan ternak yang terdiri dari limbah tanaman jagung, kacang tanah, rumput
gajah, daun gamal dan kotoran yang dihasilkan oleh sapi digunakan sebagai pupuk dasar
untuk tanaman jagung dengan cara fermentasi menggunakan EM4 selama tiga minggu
sehingga dihasilkan pupuk kompos. Bahan yang dibutuhkan dalam pengomposan adalah:
kotoran sapi 1.000 kg, EM4 2,5 kg, abu sekam 100 kg, kalsit/dolomite 20 kg, dengan cara
mencampurkan kotoran ternak dengan EM4, diaduk rata lalu dimasukkan ke dalam bak
kemudian didiamkan selama 1 minggu dan selanjutnya dibolak balik sambil mencampurkan
abu organik dan kalsit lalu didiamkan kembali dan seterusnya setiap minggu dilakukan
pembalikan sampai akhirnya menjadi matang yang ditandai dengan bentuk fisik sudah
menyerupai tanah yang berwarna kehitaman, strukturnya remah tidak menggumpal, tidak
mengeluarkan bau busuk, jika diraba suhu tumpukan bahan yang dikomposkan sudah dingin
Pengambilan Tanah
Pengambilan tanah secara komposit dari lokasi penelitian, tanah kemudian dikering
udarakan, lalu diayak dan diaduk hingga homogen.
Pengisian Polibag
Setiap polibag percobaan diisi 10 kg tanah kering udara masing-masing unit percobaan
sebanyak 12 polibag. Bersamaan dengan pengisian polibag diberikan pupuk pupuk kompos
yang difermentasi dengan dosis sesuai perlakuan.
Pemupukan
Pemupukan untuk tanaman kacang tanah dilakukan dengan cara tugal. Pupuk SP-36
dan KCl masing-masing 50 kg ha-1 diberikan pada saat tanam.
Parameter pengamatan
a. Tinggi tanaman (cm), diukur mulai dari permukaan tanah sampai sampai pucuk daun.
Pengukuran dilakukan pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49 dan 56 hari setelah tanam
(HST).
b. Diameter batang (cm), diukur 5 cm dari atas permukaan tanah pada umur 7, 14, 21, 28,
35, 42, 49 dan 56 HST.
c. Jumlah daun (helai), ditentukan dengan menghitung jumlah daun yang telah terbentuk
sempurna. Dihitung pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49 dan 56 HST.
d. Berat basah batang dan daun kacang tanah
e. Berat kering batang dan daun kacang tanah
Rancangan Analisis
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan uji analisis varians (ANOVA).
Untuk menguji beda antara perlakuan digunakan uji DMRT 5%. Analisis data dilakukan
dengan mengaplikasikan software minitab 14, exel dan SPSS 11.0.
Kesimpulan
1) Perlakuan dosis bahan organik kompos dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
jagung. Hasil terbaik dicapai pada dosis 6 ton/ha yang dikombinasikan dengan pupuk
urea 230 kg/ha.
2) Terdapat perbedaan sangat nyata antara bahan organik kompos yang dikombinasikan
dengan pupuk anorganik urea terhadap pertumbuhan tanaman jagung .
Daftar Pustaka
Amirudin, 2009. Produktivitas Tanaman Jagung dalam Sistem Alley Cropping di Tanah
Mediteran Kabupaten Gowa. Tesis Program Magister Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Buckman, C.A., and N.C. Brady. 1990. The nature and properties of soil. 1st ed. The
MacMillan Co., New York
Faesal, M. Akil dan E.O. Momuat. 2003. Pengaruh Subtitusi N-urea dengan N-pupuk
organik terhadap hasil jagung. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai
Penelitian Tanaman Serealia. Vol. 8:35-39.
M. DARMAWAN
Fakultas Pertanian, Universitas Ichsan Gorontalo
Email: m.darmawan98@yahoo.com
ABSTRAK
Tanaman seledri merupakan salah satu sayuran daun yang memiliki banyak manfaat, antara
lain dapat digunakan sebagai pelengkap masakan dan memiliki khasiat sebagai obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai jenis media tanam terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman seledri (Apium graveolens) dengan system vertikultur.
Penelitian ini disusun engan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri
dari 4 perlakuan dan 3 ulangan sehingga terdapat 24 buah vertikultur, dengan media tanam
yang berbeda yaitu M0 sebagai kontrol, M1 media tanam arang sekam, M2 media tanam
cocopead, M3 media tanam serbuk gergaji. Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh
sangat nyata. Dengan BNJ (Beda Nyata Jujur) dan BNT (Beda Nyata Terkecil). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan M2 media tanam cocopeat memberikan pengaruh
nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, dan bobot panen.
Kata Kunci: Seledri, Media Tanam, Vertikultur
Pendahuluan
Tanaman seledri merupakan salah satu sayuran daun yang memiliki banyak manfaat,
antara lain dapat digunakan sebagai pelengkap masakan dan memiliki khasiat sebagai obat.
Tanaman seledri juga banyak mengandung vitamin A, vitamin C, dan zat besi serta zat gizi
lainnya yang cukup tinggi. Dalam 100 g bahan mentah, seledri mengandung 130 IU vitamin
A, 0,03 mg vitamin B, 0,9 g protein, 0,1 g lemak, 4 g karbohidrat, 0,9 g serat, 50 mg kalsium,
1 mg besi, 0,005 mg riboflavin, 0,003 mg tiamin, 0,4 mg nikotinamid, 15 mg asam askorbat,
dan 95 ml air (Rahayu et al., 2008).
Pada dasarnya prospek seledri sangat cerah, baik di pasaran dalam negeri (domestik)
maupun luar negeri sebagai komoditas ekspor, namun pembudidayaan seledri di Indonesia
pada umumnya masih dalam skala kecil yang dilakukan sebagai sambilan (sampingan).
Beberapa bukti tentang budidaya seledri di Indonesia yang belum dikelola secara komersial
dan diantaranya dapat merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang hasil
survey pertanian tanaman sayuran di Indonesia pada tahun 2008, ternyata belum ditemukan
data luas panen dan produksi seledri secara nasional. Demikian pula dalam program
penelitian dan pengembangan hortikultura di Indonesia pada Pusat Penelitian dan
pengembangan (Puslitbang). Hortikultura sampai 2003/2004, ternyata tanaman seledri
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan mengunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Perlakuan terdiri atas 4 perlakuan yang diulang sebanyak 3 ulangan sehingga terdapat 12
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan penelitian dimulai dengan mempersiapkan bambu yang diposisikan secara
horizontal untuk wadah vertikultur. Setiap ulangan terdapat 2 bambu per perlakuan sehingga
terdapat 24 buah vertikultur. Bambu yang digunakan kemudian disusun dilahan dengan jarak
50 cm dengan menggunakan rak-rak yang telah dibuat sebelumnya. Media tanam
selanjutnya dimasukan ke dalam wadah vertikultur disesuaikan dengan perlakuan yang
digunakan.
Tahap selanjutnya dengan melakukan penanaman wadah vertikultur. Lubang tanam
yang gunakan sedalam 2-3 cm untuk tempat penanaman bibit tanaman seledri. Bibit ditanam
pada lubang tanam yang telah disiapkan dan disiram secukupnya. Setiap lubang tanam diisi
dengan 1 bibit tanaman.
Penyulaman dilakukan apabila terdapat tanaman seledri yang mati, rusak atau yang
pertumbuhanya tidak normal. Bibit yang digunakan adalah bibit yang sudah dipersiapkan.
Pembibitan dilakukan untuk meminimalisirkan tanaman seledri yang mati pada saat
penelitian. Penyiraman dilakukan secara intensif sebanyak 2 kali sehari yaitu pada setiap
pagi dan sore hari, setelah itu dilakukan penyiangan. Penyiangan dilakukan apabila
ditemukan ada tanaman lain selain seledri pada wadah vertikultur. Adapun variabel
pengamatan yang diamati dalam penelitian ini meliputi (a) Panjang tangkai daun (cm),
diukur dari pangkal batang sampai ujung titik tumbuh mulai pada umur 2 MST (Minggu
Setelah Tanam) sampai tanaman berumur 8 MST, yang pengukurannya dilakukan setiap 2
minggu (b) jumlah daun (helai) dihitung mulai minggu ke 2 setelah tanam sampai tanaman
berumur 8 minggu setelah tanam yang pengukurannya dilakukan setiap 2 minggu (c) bobot
panen (g) dihitung diakhir penelitian yang pengukuran menggunakan timbangan analitik (d)
panjang akar (cm) dihitung pada akhir penelitian. (e) volume akar (m3) dihitung pada akhir
penelitian.
Hasil Penelitian
Tinggi Tanaman
Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media
tanam berpegaruh terhadap tinggi tanaman pada tanaman seledri dengan menggunakan
sistem vertikultur. Adapun hasil analisis uji lanjut adalah sebagai berikut:
15,00
M1
10,00
M2
5,00 M3
0,00
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST
MST (Minggu Setelah Tanam)
Gambar 2. Rata-Rata Jumlah Daun Pada Tanaman Seledri dengan Perlakuan Pemberian
Berbagai Media Tanam. M0: Kontrol, M1: Media Tanah + Arang Sekam (1:1),
M2: Media Tanah + Cocopeat (1:1) M3: Media Tanah + Serbuk Gergaji (1:1)
Perlakuan media tanah + arang sekam memiliki jumlah daun yang lebih banyak
dibandingkan kontrol. Hal ini disebabkan karena arang sekam memiliki unsur hara makro
dan mikro yaitu N, P, K, Ca, Fe, Mn dan lain-lainya. Arang sekam mengandung N 0,32 % ,
PO 15 % , KO 31 % , Ca 0,95% , dan Fe 180 ppm, Mn 80 ppm , Zn 14,1 ppm dan pH 6,8.
Karakteristik lain dari arang sekam adalah ringan (berat jenis 0,2 kg/l). Sirkulasi udara
tinggi, kapasitas menahan air tinggi, berwarna kehitaman, sehingga dapat mengabsorbsi
sinar matahari dengan efektif (Wuryaningsih, 1996). Arang sekam mempunyai sifat yang
mudah mengikat air, tidak mudah menggumpal, harganya relatif murah, bahannya mudah
didapat, ringan, steril dan mempunyai porositas yang baik (Embarsari et al, 2015).
Panjang Akar
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan pemberian berbagai
media tanam tidak menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan kontrol. Adapun uji lanjut
panjang akar dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan media tanam tidak menunjukkan hasil yang
berbeda nyata dibandingkan kontrol. Namun perlakuan M2 menunjukkan hasil yang berbeda
nyata dibandingkan dengan perlakuan M3. Hal ini disebabkan karena cocopead mengandung
unsur hara yang dibutuhkan oleh pertumbuhan akar. Menurut Ilham (2013) selain
mengandung unsur kalium, cocopead juga mengandung unsur hara fosfor. Fosfor
dibutuhkan oleh tanaman untuk pembetukan sel pada jaringan akar dan tunas yang sedang
tumbuh (Thompson dan Troeh, 1978). Fosfor merupakan hara makro yang esensial yang
memeran peranan penting dalam proses fotosintesis, asimilasi dan respistasi. Fosfor sangan
berperan dalam pembertukan batang, akar, ranting dan daun (Aleel, 2008).
Penggunaan media tanam serbuk gergaji menunjukkan panjang akar yang lebih
pendek dibandingkan kontrol dan perlakuan yang lainnya. Hal ini sifat serbuk gergaji yang
mudah terkena oleh jamur. Hal ini sesuai dengan pendapat Ernawati (2008) kekurangan
media serbuk gergaji sebagai media tanam yaitu mudah dijangkiti jamur sehingga dapat
mematikan akar tanaman akibat aktivitas jamur yang dapat menghasilkan temperatur yang
tinggi. Perlu pemantauan, karena ketika serbuk gergaji dalam keadaan sangat kering, sifat
granulanya akan muncuk sehingga dapat mengurangi kemampuan dalam menyokong akar
tanaman.
Bobot Panen
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media tanam
tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan kontrol. Adapun uji lanjut bobot
panen dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan perlakuan berbagai media tanam tidak menunjukkan perbedaan
nyata dibandingkan kontrol. Namun, perlakuan M2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata
dibandingkan perlakuan M3. Perlakuan M2 menunjukkan bobot panen tertinggi
Daftar Pustaka
Budiyanto R. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Seledri pada Pemberian Beberapa
Kombinasi Pupuk N, P, K dan Vermikompos. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Dalimoenthe S.L. 2013. Pengaruh Media Tanam Organik Terhadap Pertumbuhan dan
Perakaran pada Fase Awal Benih Teh di Pembibitan. Jurnal Penelitian Teh dan Kina,
Vol. 16 No.1. Bandung.
Ernawati, E. 2008. Pengaruh Media Tanam Kompos, Serbuk Gergaji dan Arang Sekam
Terhadap Pertumbuhan Gelombang Cinta. Skripsi. Universitas Muhammadiyah.
Surakarta.
Fahmi Z.I. 2015. Media Tanam Sebagai Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi
Pertumbuhan Tanaman. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan.
Surabaya.
Hayati Erita, Sabaruddin, Rahmawati. 2012. Pengaruh Jumlah Mata Tunas dan Komposisi
Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Stek Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas
L.). Jurnal Agrista Vol. 16 No. 3. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
Rahayu M, Samanhudi, Widodo A.S. 2008. Pengaruh Macam Media dan Konsentrasi
Fermentasi Ampas Tahu Terhadap pertumbuhan dan Hasil Tanaman Seledri (Apium
graveolens L.) secara Hidroponik. Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi.
Surakarta.
Riyanti Y. 2009. Pengaruh Jenis Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Bibit Sirih Merah
(Piper crocatum Ruiz and Pav.). Skripsi. IPB. Bogor.
Susila, A.D dan Koerniawati Y. 2004. Pengaruh Volume dan Jenis Media Tanam pada
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada (Lactuca Sativa) Pada Teknologi Hidroponik
Sistem Terapung. Bul. Agron. Vol. 32 No. 3: 16-21.
Syahputra E, Marai R, Said I. 2014. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Konsetrasi
Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada. J. Floratek 9: 39 –
45. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
Syahrudin. 2011. Respon Tanaman Seledri (Apium Graveolus L.) Terhadap Pemberian
Beberapa Macam Pupuk Daun Pada Tiga Jenis Tanah. Jurnal AGRI PEAT Vol. 12
Nomor 1. Fakultas Pertanian-Universitas Palangka Raya Kalimantan Tengah.
Wanitaningsih, S.K. 2012. Pemanfaatan Serabut Kelapa dan Sekam Padi sebagai Media
Tanam pada Pembibitan Tanaman Nyamplung Menggunakan Potrays. Jurnal Media
Bina Ilmiah Vol. 6 No. 1.
HERMAN HATTA
Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Gorontalo
Jalan. AA Wahab (eks Jend Sudirman) No 247, Limboto, Kabupaten Gorontalo
Email: hermanhatta88@yahoo.com
ABSTRAK
Pasta cokelat adalah produk semi cair yang memiliki viskositas yang baik dan tidak
mengeras pada suhu ruang. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi terbaik
dalam perbuatan pasta cokelat dengan penambahan lemak kakao dan minyak sawit terhadap
mutu tekstur pasta cokelat terhadap pengaruh sifat fisikokimia. Penelitian ini menggunakan
metode pengujian RAL satu faktorial dengan perbandingan lemak kakao dan minyak sawit
dengan perlakuan A0 lemak kakao 30% dan minyak sawit 0%, A1 lemak kakao 25% dan
minyak sawit 5%, A2 lemak kakao 15% dan minyak sawit 15%, A3 lemak kakao 5% dan
minyak sawit 25%, A4 lemak kakao 0% dan minyak sawit 30% dan data yang diperoleh
diolah dengan menggunakan SPSS 16. Apabila terdapat pengaruh nyata antara perlakukan
maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa berdasarkan hasil analisa pasta cokelat dengan penambahan lemak kakao dan minyak
sawit dengan formulasi terbaik terhadap pasta cokelat untuk asam lemak bebas, viskositas,
tekstur yaitu pada perlakuan A3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji organoleptik dari
segi tingkat penerimaan panelis untuk warna dan rasa yaitu perlakuan A4.
Kata Kunci: Lemak Kakao, Minyak Sawit, Tekstur, Pasta Cokelat.
Pendahuluan
Kakao merupakan salah satu komoditi yang cukup banyak dimanfaatkan pada dunia
industri, salah satunya adalah pemanfaatan lemak kakao. Lemak kakao dapat mengeras pada
suhu kamar yang disebabkan oleh sifat dan kandungan asam lemak yang terdapat pada lemak
kakao yang didominasi oleh asam strearat, sehingga diperlukan formulasi minyak sawit
dalam pembuatan pasta cokelat. Minyak kelapa sawit mempunyai beberapa keunggulan
yaitu mengandung karoten yang diketahui berfungsi sebagai anti kanker dan tokoferol
sebagai sumber vitamin E (Hariyadi, 2010).
Minyak kelapa sawit memiliki komposisi asam lemak yang seimbang antara asam
lemak jenuh dengan asam lemak tak jenuh, yaitu asam palmitat 14- 45%, asam oleat 39-
40%, asam linoleat 10-11% dan asam linolenat 0,3-0,4%. Kandungan asam linoleat dan
asam linolenatnya cukup rendah, sehingga minyak kelapa sawit cukup stabil terhadap
poksidasi (Essentiellea, 2009).
Pemanfaatan minyak kelapa sawit pada pembuatan cokelat telah dilakukan,
berdasarkan penelitian Muchtar dan Diza (2011), bahwa penambahan crude stearin
berpengaruh pada kestabilan dark chocolate yang dihasilkan. Jumlah crude stearin yang
digunakan divariasikan mulai dari 0%, 5%, 10%, 20%, dan 34%, sedangkan bahan-bahan
Metode
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemecah buah kakao, fermentor,
alat pengering mekanis, pemecah nibs, pemisah kulit nibs kakao, sangrai (mesin roasting),
pemisah kulit biji (mesin winnowing), pemasta (stone mill), alat pengepresan, conching (ball
mill mini), tempering, oven, cawan porselen, alat sentrifugasi, penjepit, timbangan analitik,
wadah plastik, pisau, erlenmeyer, gelas kimia, sendok, batang pengaduk, tabung reaksi, pipet
mikro, mixer, rak tabung, gelas ukur, labu semprot, peralatan gas, alat pemanas, pendinginan
balik, alat eksraksi soxhlet, pipet ukuran, desikator, termometer digital, viscometer
Bookfield Dv. 1 prime, Texture Pro CT V1.4 Build 17 metode pengujian tekanan
(compression test).
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, kakao yang difermentasi yang
peroleh dari Sulawesi Barat, minyak kelapa sawit yang dioleh dari PT Megasurya Mas
Sidoarjo, lemak kakao (cacao butter), sukrosa sebagai penambah rasa manis, lesitin, air
bersih, kertas saring, kertas label, alkohol netral, indicator PP, larutan NaOH, aquadest,
metanol, alkohol 94%.
2,00
1,75
1,50 0,93
1,25 0,74 0,67
1,00 0,45 0,42
0,75
0,50
0,25
0,00
A0 (30% : A1 (25% : A2 (15% : A3 (5% : A4 (0% :
0%) 5%) 15%) 25%) 30%)
Perbandingan (Lemak Kakao : Minyak Sawit)
Gambar 1. Hasil analisa uji asam lemak bebas pada pasta cokelat
Viskositas/Kekentalan (cP)
10000000
7500000
8000000
6000000
4000000
1052667
2000000 169667 113000 60555
0
A0 (30% : A1 (25% : A2 (15% : A3 (5% : A4 (0% :
0%) 5%) 15%) 25%) 30%)
Perbandingan (Lemak Kakao : Minyak Sawit)
Viskositas/Kekentalan
Gaya gesek antara permukaan spindle dengan cairan akan menentukan tingkat
viskositas cair (Anggraeni, 2010). Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit
terhadap viskositas dengan perbandingan lemak kakao dan minyak sawit pada perlakuan A0
(30% : 0%), A1 (25% : 5%), A2 (15% : 15%), A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%).
Hasil analisa viskositas pasta cokelat seperti yang terlihat pada Gambar 2, diperoleh
viskositas/kekentalan tertinggi pada perlakuan A0 (lemak kakao 30% : minyak sawit 0%)
dibandingkan dengan perlakuan A4 (lemak kakao 0% dan minyak sawit 30%), hal ini
disebabkan minyak merupakan gliserida yang terdiri dari berbagai asam lemak sedangkan
titik cair gliserida tersebut tergantung pada kejenuhan asam, semakin jenuh asam lemaknya
semakin tinggi titik cair dari minyak sawit tersebut. Minyak sawit murni mempunyai titik
cair 24,4-40 0C dibandingkan dengan lemak kakao dengan komposisi yaitu asam lemak
jenuh stearat (33,2%), palmitat (25,4%) dan asam lemak tak jenuh oleat (32,6%) sehingga
karakteristik lemak kakao mempunyai kekerasan pada suhu kamar dan memiliki kisaran titik
leleh sekitar 32-350C (Wahyudi dkk, 2008).
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa viskositas/kekentalan pasta cokelat
berpengaruh sangat nyata terhadap penambahan minyak sawit, berdasarkan hasil uji lanjut
duncan yang menunjukkan pada perlakuan A4, A3, A2 dan A1 yaitu sangat berpengaruh
nyata terhadap perlakuan A0 pada pasta cokelat, hal ini ditunjukkan dengan nilai sig (p<
0,00) minyak sawit sangat mempengaruhi tingkat viskositas dari cokelat pasta, di pengaruhi
peningkatan viskositas pada minyak diakbatkan oleh adanya reaksi polimerisasi berlangsung
selama pemanasan. Reaksi polimerisasi disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi dan
pemanasan yang lama (Nuwiah, 2010).
Analisa Tekstur
Tekstur termasuk dalam salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan konsumen
terhadap produk pangan. Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit pada
perlakuan A0 (30% : 0%), A1 (25% : 5%), A2 (15% : 15%), A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%).
Uji Organoleptik
Uji organoleptik pada produk pasta cokelat ini, menggunakan uji hedonik untuk
menentukan tingkat kesukaan panelis dari segi warna dan rasa. Uji organoleptik pasta
cokelat ini menggunakan 5 hedonik yaitu 5 sangat suka, 4 suka, 3 agak suka, 2 tidak suka
dan 1 amat tidak suka. Dengan 30 Panelis.
Warna
Warna adalah salah satu penentuan kualitas pada produk dan menjadi salah satu sifat
organoleptik yang terdapat pada produk pangan. Warna yang dihasilkan pada cokelat pasta
yaitu dihasilkan warna yang hitam/gelap dan mengkilap. Pengaruh penambahan lemak
kakao dan minyak sawit pada perlakuan A0 (30% : 0%), A1 (25% : 5%), A2 (15% : 15%),
A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%).
Organoleptik Warna (Skala 1-5)
Rasa
Salah satu bahan yang mempengaruhi rasa pada produk cokelat pasta adalah gula. Rasa
manis adalah sifat rasa yang mempengaruhi cita rasa keseluruhan cokelat (Wahyudi, 2008).
Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit dengan perlakuan A0 lemak kakao
30% dan minyak sawit 0%, A1 (lemak kakao 25% dan minyak sawit 5%), A2 (lemak kakao
15% dan minyak sawit 15%), A3 (lemak kakao 5% dan minyak sawit 25%), A4 (lemak
kakao 0% dan minyak sawit 30%).
Kesimpulan
1. Penambahan lemak kakao dan minyak sawit dalam pembuatan pasta cokelat sangat
berpengaruh terhadap asam lemak bebas, viskositas, tekstur.
2. Sifat fisikokimia pasta cokelat dengan penambahan lemak kakao dan minyak sawit
menghasilkan produk pasta cokelat semakin banyak penambahan minyak sawit, maka
produk yang dihasilkan semakin cair dan sebaliknya.
3. Penambahan minyak sawit menghasilkan mutu produk pasta cokelat secara umum lebih
disukai oleh panelis, dengan perlakuan A4 dengan perbandingan lemak kakao 0% dan
minyak sawit 30%, hal ini lebih disukai karena tekstur pasta yang dihasilkan lebih baik.
Daftar Pustaka
Budi, Akra., Salengke dan Supratomo. 2012. Pengaruh Penambahan Lesitin dan Suhu
Counching Terhadap Sifat Reologi Pasta Kakao (Theobromin cocoa L). J. Agritech,
Vol. 5(1).
Asmawit. 2012. Penelitian Substitusi Lemak Kakao Dengan Lemak Kelapa Sawit Dalam
Pembuatan Cokelat Batang. Baristand Industri Pontianak, Jl. Budi Utomo no. 41
Pontianak 78243 . Biopropal Industry, Vol. 3(1).
Chairunisa. 2013. Uji kualitas minyak goreng pada pedagang gorengan di sekitar kampus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan. Program
Studi Farmasi, Jakarta.
Essentiellea, H. 2009. Komposisi minyak kelapa sawit. http://lemak minyak. blogspot. Com
/2009/08/palm - stearin. html, Teknologi Minyak dan lemak. Diakses tanggal 15
Oktober 2011.
Faridah, A., Kasmita, S.P.,Yulastri, A,. Yusuf, L. 2008. Patiseri, Jilid 3. Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Giraido, L. Camargo, G., Tirano J., Pirajan, M. J. C. 2010. Synthesis of Alcohols from Oil
Palm Using a Catalyst of Ni-Cu Supported onto Zeolite. E-Journal of Chemisty
7(1138-1147).
Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1998. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan, Edisi
I. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Yogyakarta.
Misnawi. 2006. Peranan Pengolahan terhadap pembentukan citarasa cokelat. Warta Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 21,136 - 144.
Muchter, H. dan Diza, Yulia Helmi. 2011. Pengaruh Penambahan Crude Stearin Minyak
Kepala Sawit Terhadap Kestabilan Dark Chocolate. Jurnal Litbang Industri, Vol. l (1):
1-7.
Nuwiah, Asrin. 2010. Uji Senyawa Aroma Khas Cokelat Hasil Roasting Asam Amino
Hidrofobik dan Fruktosa dalam Lemak Kakao. J. Agriplus. Vol. 20 (1).
Poedjiadi, A. 2012. Dasar Dasar Biokimia. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Jakarta.
Setyaningsih. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor.
Wahyudi, T., T.R. Panggabean dan Pujiyanto. 2008. Panduan Kakao Lengkap, Manajemen
Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Warsito. 2012. Desain dan Analisis Pengukuran Viskositas dengan Metode Bola Jatuh
Berbasis Sensor Optocoupler dan dan Sistem Akuisisinya pada Komputer.
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 135
http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JN/article/viewFile/839/832. Diakses pada tanggal
21 April 2014 Pukul 12:20 WIB.
Yusianto dan Hendy Firmanto. 2015. Panen dan Pasca Panen dalam Kakao Sejarah, Botani,
Proses Produksi, Pengolahan, dan Perdagangan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
ABSTRAK
Jagung termasuk bahan pangan penting. Sebagai salah satu sumber bahan pangan, jagung
menjadi komoditas utama setelah beras. Pada tahun 2015 di provinsi Gorontalo, produk
jagung cukup melimpah tercatat 643.513 ton namun hasil produknya belum dimanfaatkan
secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah dari jagung adalah mengolahnya
menjadi minuman prebiotik yaitu berupa yoghurt. Untuk menghasilkan produk yoghurt
berkualitas baik, diperlukan perbandingan komposisi bahan penyusunnya dengan tepat
antara lain jumlah starter yang akan digunakan dalam pembuatan yoghurt. Penelitian ini
menggunakan metode rancangan acak lengkap yang terdiri atas empat perlakuan yaitu A1
(starter 1%), A2 (Starter 2%), A3 (Starter 3%) dan A4 (Starter 4%), masing-masing
perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Variabel yang diamati meliputi: organoleptik, pH, total
asam laktat, kadar lemak dan kadar protein. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesukaan
untuk formulasi terbaik adalah perlakuan A4 dengan nilai rasa (3,8), aroma (3,2), warna
(4,05) kekentalan (4,05), kadar pH keempat perlakuan berkisar antara 3,87-4,03, kadar total
asam laktat tertinggi adalah A4 sebesar 1,32%, kadar lemak tertinggi adalah A1 sebesar
4,75% dan kadar protein tertinggi adalah A4 sebesar 11,11%.
Kata Kunci: Jagung, Yoghurt, Starter
Pendahuluan
Jagung termasuk bahan pangan penting. Sebagai salah satu sumber bahan pangan,
jagung telah menjadi komoditas utama setelah beras, bahkan di beberapa daerah di
Indonesia, jagung dijadikan bahan pangan pengganti beras. Selain sebagai bahan pangan,
jagung juga dikenal sebagai salah satu bahan pakan ternak dan industri. Salah satu jenis
jagung yang ada di Gorontalo adalah jagung manis yang popular dikalangan masyarakat
karena rasanya yang lebih manis dibanding jenis jagung lainnya.
Menurut BPS (2015) Pada tahun 2015 di provinsi Gorontalo , produk jagung cukup
melimpah tercatat 643.513 ton jagung namun hasil produknya belum dimanfaatkan secara
optimal. Selama ini jagung hanya diolah menjadi makanan tradisional dan makanan ternak,
salah satu untuk meningkatkan nilkai tambah dari jagung adalah mengolahnya menjadi
minuman prebiotik yaitu dalam bentuk bahan olahan yaitu berupa yoghurt.
Produk yoghurt susu jagung ini merupakan variasi dari produk yoghurt yang telah ada.
Yoghurt susu jagung dibuat dengan bahan baku nabati yaitu susu jagung dan dicampur
dengan susu skim sebagai sumber protein serta bakteri asam laktat. Pembuatan produk
Metode
Alat : Blender, pisau, sendok pengaduk, kain saring, panci, baskom dan alat-alat untuk
analisa.
Bahan : Jagung manis, air, susu skim, yoghurt plain dan bahan-bahan untuk analisis.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat
perlakuan konsentrasi starter yaitu:
A: 1%
B: 2%
C: 3%
D: 4 %
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali
Prosedur Kerja
a. Pembuatan susu jagung
1. dipilih jagung dengan kondisi yang baik, bebas dari jamur
2. jagung dibersihkan dan dicuci dengan air
3. Jagung dikukus selama 1jam
4. Jagung yang sudah masak, dipipil atau digerus dengan pisau.
5. Biji jagung diblender dan ditambahkan air dengan perbandingan 1:3.
6. Bubur jagung disaring untu memisahkan antara sari jagung dan ampas.
7. Sari jagung direbus sampai mendidih.
b. Pembuatan yoghurt susu jagung (Samsumaharto dan Puspawati, 2008 yang dimodifikasi)
1. Susu jagung sebanyak 1500 ml ditambah gula pasir 150 g dan susu skim 3,75 gr.
0
A B C D
Perlakuan
b. Aroma
4
3,15 3,1 3,2
2,95
3
2
Aroma
0
A B C D
Perlakuan
5
4,05 3,95 4,05 3,9
4
Warna
2
0
A B C D
Perlakuan
d. Tekstur
5
4,05
3,7 3,65 3,7
4
3
Tekstur
0
A B C D
Perlakuan
e. Kadar pH
5
3,91 3,99 4,03
3,87
4
3
pH
0
A B C D
Perlakuan
Gambar 5. Diagram Kadar pH Yoghurt Jagung
Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar pH yoghurt jagung berada pada
kisaran 3,91- 4,03. Perbedaan perlakuan pada yoghurt jagung tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap kadar pH yang diperoleh. Hal ini diduga karena perbedaan jumlah
starter yang menyebabkan terbentuknya rasa asam yang berarti juga menurunnya pH antar
perlakuan jumlahnya sangat kecil sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan pH
antarperlakuan. Menurut Rahma et al, (1992), Terjadinya koagulasi susu selama inkubasi
disebabkan oleh menurunnya pH akibat aktivitas starter yang ditambahkan.
Penurunan pH tidak terjadi hanya karena asam yang dihasilkan oleh asam laktat tetapi
juga karena pemebntukan asam lemak rantai pendek dalam bentuk asam asetat, propionate,
butirat, dan karbondio0ksida serta hydrogen lainnya selama fermentasi berlangsung yang
akan menyebabkan pH yoghurt menjadi rendah (Yusmarini dan Efendi, 2004).
Menurut Ace dan Supangkat (2006) pH yoghurt pada umumnya berkisar antara 3,8-
4,4. Berdasarkan hasil yang didapat bahwa pH yoghurt jagung berkisar antara 3,87-4,03
maka dapat dikatakan bahwa pH produk berada dalam kisaran yang cukup baik.
1,6
1,32
Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata total asam laktat yoghurt jagung yaitu
0,81-1,32%. Berdasarkan hasil analisis, perlakuan pada yoghurt jagung berpengaruh nyata
terhadap kadar asam laktat yoghurt jagung. Perlakuan A4 (4%) berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Perlakuan A4 memiliki kadar total asam laktat sebesar 1,32% dan lebih
tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena dengan semakin
meningkatnya konsentrasi starter maka diduga semakin tinggi pula jumlah mikroba yang
dapat merombak laktosa menjadi asam laktat. Hal ini senada dengan pendapat Kusmajadi et
al (1988) Perbedaan keasaman yoghurt disebabkan oleh jenis starter karena setiap starter
mempunyai karakteristik sendiri dalam memecah laktosa susu. Peningkatan konsetrasi
starter akan diikuti pula dengan peningkatan kadar asam, karena peningkatan konsentrasi
starter berarti peningkatan jumlah mikroba pada media. Peningkatan ini akan diikuti dengan
peningkatan aktifitas serta perkembangan mikrobia dan kemudian terjadi peningkatan
perombakan laktosa menjadi asam laktat yang dicerminkan dengan kadar asam yoghurt.
Kombinasi bakteri yoghurt akan menghasilkan asam laktat lebih cepat dibandingkan
kultur tunggal (Walstra et al., 1999). Keasaman titrasi susu meningkat dengan meningkatnya
jumlah mikroorganisme yang mengubah sebagian laktosa menjadi asam laktat oleh bakteri
pembentuk asam (Adnan, 1984).
Menurut SNI 01-2981-1992, kisaran nilai total asam laktat produk yoghurt adalah 0,5-
2,0%. Hasil analisis yoghurt jagung adalah 0,81-1,32%, maka berdasarkan acuan tersebut
dapat dikatakan bahwa total asam laktat yoghurt jagung berada dalam kisaran yang cukup
baik.
5 4,75
Kadar Lemak
2,87
3 2,56
(%)
2,21
2
0
A B C D
Perlakuan
Gambar 7. Diagram Kadar Lemak Yoghurt Jagung
Gambar 7 menunjukkan bahwa kadar lemak yoghurt jagung berada pada kisaran 2,21-
4,75%. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan pada yoghurt jagung tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Dianita (2005) mengatakan bahwa kadar lemak yoghurt menggunakan starter
Lactobacillus bulgaricus berbeda dengan kadar lemak yoghurt yang menggunakan Starter
streptococcus thermophillus karena Streptococcus thermophillus bersifat lebih dominan
dalam menghasilkan asam laktat saat proses fermentasi, sedangkan enzim lipase yang
dihasilkan oleh Lactobacillus bulgaricus juga lebih banyak terhidrolisis oleh starter
Lactobacillus bulgaricus daripada Streptococcus thermophillus. Enzim lipase terbentuk oleh
bakteri asam laktat sehingga lemak yang dihidrolisis akan bertambah banyak dan
mengakibatkan penurunan pada kadar lemak yoghurt jagung (Hastorini, 2002).
Menurut SNI 01-2981-1992, kadar lemak yoghurt adalah maks 3,8%. Hasil analisis
kadar lemak yoghurt jagung berkisar antara 2,21-4,75%, maka berdasarkan acuan tersebut
dapat dikatakan bahwa kadar lemak produk berada dalam kisaran yang cukup baik dan
memenuhi standar SNI.
h. Kadar Protein
Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar protein yoghurt berkisar antara
4,96-11%. Berdasarkan hasil analisis, perbedaan perlakuan pada yoghurt jagung tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang diperoleh, hal ini dikarenakan jumlah starter
bakteri Lactobacillus bulgaricus dan streptococcus thermophillus yang ditambahkan pada
setiap perlakuan memiliki selisih yang sangat kecil sehingga tidak menunjukkan pengaruh
yang besar terhadap kadar protein yang dihasilkan pada setiap perlakuan.
8 6,84
Kadar Protein
6 4,96
(%)
4
0
A B C D
Perlakuan
Menurut Shodiq dan Zainal (2008), semakin banyak bakteri yang digunakan dalam
pembuatan yoghurt, semakin tinggi kandungan proteinnya karena sebagian besar komponen
penyusunnya mikroba adalah protein. Hal ini sejalan dengan pendapat Herastuti et al (1994)
dalam Yusmarini dan Efendi (2004) yang menyatakan bahwa protein yang terdapat pada
yoghurt merupakan jumlah total dari protein bahan yang digunakan dan protein bakteri asam
laktat yang terdapat didalamnya.
Menurut SNI 01-2981-1992, kadar protein yoghurt jagung minimal 3,5%. Hasil
analisis kadar protein yang terdapat pada yoghurt jagung adalah berkisar antara 4,96-11%,
maka dapat dikatakan bahwa kadar protein yoghurt jagung berada dalam kisaran yang baik
dan sesuai dengan standar SNI.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Tingkat kesukaan yang dihasilkan dari empat perlakuan yoghurt jagung secara
keseluruhan berada pada skala 3 -4,05 atau dalam taraf tidak suka sampai suka dan
yoghurt jagung yang disukai oleh panelis yaitu perlakuan A4 (starter 4%).
2. Perlakuan A4 (starter 4%) memiliki kandungan pH sebesar 4,03, total asam laktat 1,32%,
kadar lemak 2,87%, kadar protein 11,11%. Semua perlakuan yoghurt jagung berada pada
kisaran yang cukup baik dan memenuhi standar mutu SNI 01-2981-1992.
Daftar Pustaka
Ace, I. S. dan S. Supangkat. Pengaruh Konsentrasi Starter Terhadap Karakteristik Yoghurt.
Jurnal Penyuluhan Pertanian. 1(1) : 28-33.
Alakali. J. S., Okankwo, T. M dan Lordye, E.M. 2008. Effect of Stabilizer On The Physic
Chemical And Sensory Attributes Of Thermized Yoghgurt. African Journal Of
Biotechnology. 7(2):152-163.
Buckle, K. A., G. N. Edwards., Fleet dan Wooton. 1987. Food Science. Terjemahan
Purnomo. UI Press. Jakarta.
Dianita, T. 2005. Pengaruh Variasi Jenis Starter Dengan Konsentrasi Berbeda Terhadap
Kualitas Yoghurt. Jurusan Biologi. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Herastuti, S.R., R.S. Sujiman, dan N. Ningsih. 1994. Pembuatan Pati Gude (Cajanus cajan
L.) dan Pemanfaatan Hasil Sampingnya dalam Pembuatan Yoghurt dan Tahu. Laporan
Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian UNSOED. Purwekerto.
Kusmajadi, Suradi, Dedeh, D., Udju. D., Rusdi, dan N. Djuarnani. 1988. Pengaruh Tinggkat
dan Jenis Penambahan Starter Pada Pembuatan Yoghurt. Prosiding Bioproses Industri
Pangan. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Penerbit
Liberty. Yogyakarta
Samsumaharto, M.A dan Puspawati. 2008. Perbandingan Fermentasi Yoghurt Susu Biji
Asam (Tamarindus indica, L) dengan Yoghurt Susu murni. Jurnal Kimia Dan
Teknologi, Fakultas Biologi. Universitas Setia Budi. Surakarta.
Shodiq, A dan Zainal, A. 2008. Meningkatkan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Walstra, P., T. J. Geurs, A. Noemen, A. Jellema and M. A. J. S. Van Boekel. 1999. Dairy
Tecnology, Principles of Milk Properties and Processes. Marcel Dekker. New York
Yusmarini dan Effendi. 2004. Evaluasi Mutu Yoghurt Yang Dibuat Dengan Penambahan
Beberapa Jenis Gula. Fakultas Pertanian Universitas Riau. Riau.
ABSTRAK
Mie kering adalah mie mentah yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10%.
Karena bersifat kering maka mie ini mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan
mudah penangannnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui kombinasi terbaik tepung terigu
dan tepung jagung pulut dalam pembuatan mie kering terhadap tingkat kesukaan dan sifat
fisiokimia mie kering. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
rancangan acak lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat formulasi yang
tepat antara tepung terigu dan tepung jagung pulut terhadap tingkat kesukaan adalah terdapat
pada perlakuan A2 (350 g Tepung Jagug Pulut : 150 g Tepung Terigu). Adapun hasil analisa
sifat kimia mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut yaitu; kadar air
6.85%, kadar abu 1.67%, dan kadar lemak 8.45%.Berdasarkan hasil dan pembahasan yang
dilakukan dapat disimpulkan bahwa, rata-rata kandungan gizi mie kering kombinasi tepung
terigu dan tepung jagung pulut formulasi yang terbaik adalah kadar air 6.85%, kadar abu
1.67%, dan kadar lemak 8.45%. Hal ini sudah memenuhi syarat mutu mie kering
berdasarkan SNI.
Kata Kunci: Mie Kering, Tepung Terigu, Tepung Jagung Pulut
Pendahuluan
Jagung berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan yang bernilai gizi.
ketersedian makanan olahan dari jagung, dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi
kejenuhan dalam mengkonsumsi jagung. Salah satu makanan alternatif yang dapat diolah
dari bahan baku jagung adalah produk mie jagung pulut. Pada umumnya mie yang beredar
di masyarakat berbahan dasar tepung terigu. Mie dari jagung pulut ini diharapkan mampu
mengurangi penggunaan tepung terigu yang merupakan salah satu komoditas yang diimport
dalam jumlah besar. Mie jagung pulut diharapkan lebih banyak dikonsumsi mengingat
jagung mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi setelah beras dan terigu.
Jagung pulut atau sering disebut ketan merupakan jenis jagung yang banyak
mengandung amilokpektin sedangkan pada jagung kuning mempunyai kandungan
amilopektin yang sangat sedikit. Jagung kuning lebih banyak mengandung amilosa. Daya
rekat adonan mie dipengaruhi oleh adanya kandungan amilopektin (Warisno, 1998).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini akan mencoba membuat produk
pangan berbahan dasar jagung yaitu mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung
pulut”.
Warna
Warna juga merupakan salah satu parameter yang digunakan konsumen dalam memilih
produk. Nilai sensori tingkat kesukaan warna dari mie kombinasi tepung terigu dan tepung
jagung pulut dapat dilihat pada Gambar 1.
3,4
3,3
A1 A2 A3
Hasil dari uji organoleptik terhadap warna untuk mie kombinasi tepung jagung pulut
dari ketiga perlakuan berada pada kisaran 3,47 – 3,70 artinya masih pada taraf biasa/netral
sampai suka. Dari ketiga perlakuan ini perlakuan A2 yang paling disukai oleh panelis karena
panelis menyukai warna yang alami dan seragam dari jagung pulut. Warna yang seragam ini
juga dipengaruhi oleh adanya penambahan kuning telur. Hal ini sesuai dengan pendapat
Aroma
Nilai sensori tingkat kesukaan aroma dari mie kombinasi tepung terigu dan tepung
jagung pulut dapat dilihat pada Gambar 2.
3,4 3,37
3,3
3,2
A1 A2 A3
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap suatu produk adalah aroma.
Aroma banyak menentukan kelezatan dari suatu makanan. Hasil dari uji organoleptik
terhadap aroma mie kombinasi tepung jagung pulut yaitu berkisar Antara 3,37 – 3,53 artinya
masih berada pada taraf biasa/netral sampai suka. Dari ketiga perlakuan yang ada, perlakuan
yang paling disukai panelis adalah perlakuan A3 karena aroma dari jagung pulut ini paling
dominan artinya pada perlakuan A3 aroma khas dari jagung pulut itu sendiri masih ada
sehingga panelis menyukai perlakuan A3 dibandingkan perlakuan A1 dan A2.
Tekstur
Nilai sensori tengkat kesukaan tekstur mie kombinasi tepug terigu dan tepung jagung
pulut dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil dari uji organoleptik terhadap tekstur mie
kombinasi tepung jagung pulut yaitu berkisar Antara 3,37 – 3,53 atau dalam taraf
biasa/netral. Dari ketiga perlakuan yang disukai oleh panelis yaitu perlakuan A3 dan A1 hal
ini disebabkan karena pada dua perlakuan ini lebih banyak tepung terigu dimana tepung
terigu ini banyak mengandung gluten yang berfungsi untuk menentukan kekenyalan mie
serta berperan dalam pembentukan mie supaya tidak mudah putus dan menentukan kualitas
pada suatu makanan kenyal.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, diperoleh bahwa nilai Fhitung(41,18) lebih besar
dari Ftabel (0,05) yaitu 5.14 dan Ftabel (0,01) yaitu 10.92, hasil sidik ragam menunjukkan
bahwa perbedaan perlakuan pada pembuatan mie kombinasi tepung jagung pulut dan tepung
terigu sangat berpengaruh nyata terhadap kadar air yang diperoleh, sehingga dilakukan uji
Kadar Abu
Kadar abu merupakan zat organik sisa suatu pembakaran zat organik dalam bahan
pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya merupakan
unsur-unsur mineral. Penentuan kadar abu dapat ditentukan berbagai tujuan, antara lain
untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang
digunakan dan sebagai penentu nilai gizi suatu bahan makanan.
Hasil analisa rata-rata kadar abu mie kombinasi tepung jagung pulut dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Rata-Rata Kadar Abu Mie Kering
Kode Perlakuan Rata-Rata (%)
A1 1,54a
A2 1,63b
A3 1,67bc
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, diperoleh bahwa nilai Fhitung(18,39) lebih besar
dari Ftabel (0,05) yaitu 5,14 dan Ftabel (0,01) yaitu 10,92, artinya bahwa perlakuan pada
pembuatan mie kombinasi tepung jagung pulut berbeda nyata terhadap kadar abu yang
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, diperoleh bahwa nilai Fhitung (27.9) lebih besar
dari Ftabel (0,05) yaitu 5.14 dan Ftabel (0,01) yaitu 10.92, artinya bahwa perlakuan pada
pembuatan mie kombinasi tepung jagung pulut berbeda nyata terhadap kadar lemak yang
diperoleh, sehingga dilakukan uji lanjut BNT. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa mie
kombinasi tepung jagung pulut pada perlakuan A3 sangat berbeda nyata dengan perlakuan
A1 dan A2.
Dilihat dari tabel diatas, nilai rata-rata kadar lemak yang tertinggi dimiliki oleh
perlakuan A2 yaitu 8.45%, sedangkan nilai rata-rata kadar lemak yang terendah dimiliki oleh
perlakuan A3 yaitu 4.09%. Hal ini diduga oleh penambahan telur pada pembuatan mie
terutama pada kuning telur dan minyak yang tidak diketahui jumlah minyak yang digunakan
pada saat proses pemisahan untaian mie setelah proses pengukusan, sehingga menyebabkan
kadar lemak yang dihasilkan memiliki perbedaan yang cukup berbeda jauh.Hal ini sesuai
dengan pendapat Andarwulan (2011), bahwa penambahan minyak dalam proses pembuatan
mie adalah proses penurunan kadar air dari sekitar 32% (kadar air adonan) menjadi 3%
sampai 4%. Pada proses ini terjadi pertukaran antara minyak goreng dengan air. Air yang
ada di dalam mi menguap dan meninggalkan pori-pori yang selanjutnya diisi dengan minyak
goreng.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, nilai kadar lemak mie kombinasi tepung jagung
pulut untuk ketiga perlakuan belum memenuhi standar SNI 01-2974-1992 karena kadar
Saran
1. Penelitian mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut dapat
diaplikasikan pada masyarakat.
2. Penelitian ini dapat diaplikasikan kembali agar mendapatkan kombinasi fisik dan kimia
yang terbaik.
Daftar Pustaka
Andarwulan, N., Kusnandar, F. dan Herawati, D. 2011. Analisis Pangan Pangan. Dian
Rakyat, Jakarta.
.Astawan, M., 2006. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3727-
1995. Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1996. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2974-1996. Mie
Kering. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Deman, John M., 1997. Principles of Food Chemistry. Penerjemah Kosasih Padmawinata
dalam Kimia Makanan. ITB. Bandung.
Fahmi, A. 2007. Optimasi Produksi Mie Basah Berbasis Tepung Jagung dengan Teknologi
Ekstrusi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Kajian
Preferensi Konsumen. Skripsi Departemen Teknologi Pangan Dan Gizi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusnandar, F. 2011. Kimia Pangan. Dian Rakyat. Jakarta.
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 155
Suarni. 2005. Karakteristik Fisikokimia dan Amilograf Tepung Jagung Sebagai
Bahan Pangan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung.
Makassar, 29-30 September 2005. Puslitbang Tanaman Pangan.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Warisno. 1998. Budi Daya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta.
ABSTRAK
Danau Poso merupakan sebuah ekosistem yang unik. Salah satu produk dari danau ini adalah
Ikan Sidat (Anguilla sp) yang oleh masyarakat lokal menyebutnya dengan nama Sogili atau
Masapi. Pada penelitian ini digunakan spesies ikan sidat Anguilla marmorata yang diambil
di danau Poso kota Tentena kabupaten Poso untuk diamati secara laboratorik apakah
Anguilla marmorata memiliki aktivitas antikoagulan. Pemanfaatan sidat atau sogili oleh
masyarakat di pesisir danau Poso masih terbatas untuk dikonsumsi bagian dagingnya dan
biasanya di jual ke penampung sidat. Kandungan antikoagulan yang dikandung dari spesies
tersebut sangat bermanfaat dalam bidang kesehatan namun belum diupayakan. Metode yang
digunakan untuk memperoleh ekstrak kasar dari sidat Anguilla marmorata adalah metode
ekstraksi secara maserasi. Pengujian dilakukan pada darah manusia. Pengujian ini dilakukan
pada konsentrasi 0,0018 g/ml, 0,0036 g/ml dan 0,0072 g/ml dengan 6 kali pengulangan pada
masing-masing perlakuan. Pengujian pertama yaitu pengujian darah yang di tambahkan
ekstrak fraksi metanol. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak metanol sidat
Anguilla marmorata memiliki aktivitas antikoagulan pada darah manusia dibandingkan
dengan kontrol. Pengujian kedua yaitu dengan menguji aktivitas antikoagulan sidat Anguilla
marmorata dengan fraksi hasil partisi etil asetat dan butanol, hasil yang diperoleh bahwa
fraksi etil asetat menunjukkan aktivitas antikoagulan terbaik, jika dibandingkan dengan
kontrol positif (EDTA), negatif (CaCl2) dan darah normal (tanpa perlakuan).
Kata Kunci: Ekstrak, Sidat, Anguilla Marmorata, Antikoagulan.
Pendahuluan
Penelitian kedokteran modern menemukan bahwa kandungan vitamin dan
mikronutrien dalam ikan sidat sangat tinggi, di antaranya sebagai vitamin B1, 25 kali lipat
susu sapi, vitamin B2, 5 kali lipat susu sapi, vitamin A, 45 kali lipat susu sapi, dan kandungan
zinc (emas otak) 9 kali lipat susu sapi, (Napitupulu, 2011). Sidat (Anguilla sp) memiliki pola
hidup katadromous yang artinya mengawali hidup di laut dalam, bertumbuh di perairan
tawar, dan setelah matang kelamin akan kembali beruaya ke laut untuk memijah. Selain
memiliki pola hidup yang unik, sidat juga populer sebagai makanan yang mewah karena
memiliki nilai nutrisi yang baik. Danau Poso merupakan sebuah ekosistem yang unik. Salah
satu produk dari danau ini adalah ikan sidat A. marmorata oleh masyarakat lokal di wilayah
Tentena menyebutnya dengan nama Sogili atau Masapi.
Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini diambil di wilayah perairan Danau Poso
Sampel ikan sidat A. marmorata diambil pada disalah satu titik kemudian dimasukkan ke
dalam wadah. Sebanyak 3 kg sampel ikan sidat kemudian daging sidat A. marmorata akan
dipotong-potong ukuran dadu untuk di ekstraksi dan di partisi dengan pelarut yang berbeda
polaritas. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Hayati Laut Universitas Sam
Ratulangi Manado.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian di laboratorium ditabulasi dan dianalisis
menggunakan analisis rancangan acak lengkap untuk mengetahui apakah variabel-variabel
40 37 36 37 37 37 36
35
30 26 26 25 25 26 26
25 21 22
20 19 20 20
Menit
20
15 14 15 15
15 13 14
10
5 6 6 5 6 6
5 2 3 2 3 2 2
0
0,0018 0,0036 0,0072 Kontrol (-) Kontrol (+) Darah Normal
CaCl2 EDTA
Konsentrasi
Grafik kontrol Positif (EDTA), negatif (CaCl 2) dan darah normal (tanpa perlakuan)
menunjukkan bahwa aktivitas perlambatan waktu pembekuan darah berlangsung normal
yaitu pada menit ke-15, menit ke-2 dan menit ke-6. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan
jelas terlihat bahwa dari konsentrasi pengujian yang dilakukan yaitu konsentrasi 0,0018
g/ml, 0,0036 g/ml dan konsentrasi 0,0072 g/ml menunjukkan aktivitas antikoagulan yang
berbeda dari masing-masing konsentrasi dimana aktivitas antikoagulan tertinggi terjadi pada
konsentrasi 0,0072 g/ml yang membeku pada menit ke-36, diikuti konsentrasi 0,0036 g/ml
pada menit ke-25 dan konsentrasi 0,0018 g/ml pada menit ke--20. Dari pengujian aktivitas
antikoagulan dari ekstrak metanol terlihat bahwa sidat A. marmorata memiliki aktivitas
antikoagulan yang tinggi dibandingkan dengan kontrol yang digunakan. Perlakuan ekstrak
metanol memperlihatkan adanya aktivitas antikoagulan yang terbaik, hal ini disebabkan
banyaknya senyawa aktif yang dimiliki oleh ekstrak metanol. Adanya hubungan sinergisme
antara senyawa-senyawa aktif yang larut pada ekstrak metanol dapat memperkuat tingkat
35 33 32 32 33 33 33
30 29 29 30
30 28 27 27 28 29
25 25 24
25
20
Menit
15 15 15
15 13 13 14
10 6 5 6 6 5 5
4
5 2 2 2 3 3
0
0,0018 0,0036 0,0072 Kontrol (-) Kontrol (+) Darah Normal
CaCl2 EDTA
Konsentrasi
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Ulangan 6
Gambar 3. Diagram perbandingan rata-rata perlambatan waktu pembekuan Fraksi Etil Asetat
pada darah pada setiap konsentrasi yang dibandingkan dengan kontrol.
14 14 14
15
10 7 7
6 6
5 5
4
5 3 3
2
3
2
0
0,0018 0,0036 0,0072 Kontrol (-) Kontrol (+) Darah Normal
CaCl2 EDTA
Konsentrasi
Dari hasil pengujian yang dilakukan terlihat bahwa grafik kontrol Positif (EDTA),
negatif (CaCl2) dan darah normal (tanpa perlakuan) menunjukkan bahwa aktivitas
perlambatan waktu pembekuan darah berlangsung normal yaitu pada menit ke 15, menit ke-
2 dan menit ke-6. Jika dibandingan dengan konsentrasi pada percobaan yang dilakukan
terlihat bahwa konsentrasi 0,0072 g/ml memiliki waktu pembekuan darah pada menit ke-22,
setelah itu konsentrasi 0,0018 g/ml pada menit ke-23 dan konsentrasi 0, 0036 g/ml pada
menit ke-30.
Menurut Widmann (1994), EDTA mempunyai fungsi sebagai antikoagulasi yang
mengikat ion kalsium sehingga tidak terjadi proses dalam pembekuan darah. Pada
pengujian ini dapat dilihat bahwa ekstrak sidat A. marmorata memiliki sifat yang lebih
baik dari pada EDTA, keduanya dapat mengikat salah satu faktor pembekuan darah yaitu
kalsium, sehingga darah tidak membeku.
Dari pengujian aktivitas antikoagulan dari sidat A. marmorata ternyata memberikan
aktivitas antikoagulan yang baik. Hal ini di perkirakan adanya substansi bioaktif yang
dimiliki oleh ikan sidat sebagai bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang tinggi hal ini
ditunjukkan pada setiap ekstrak dan hasil partisi terdapat minyak, dimana telah disebutkan
bahwa minyak ikan sidat berfungsi sebagai omega 3 yang sangat baik untuk kesehatan tubuh.
Daftar Pustaka
Guyton, A.C. 1981. Textbook of Medical Physiology 6th Edition. Philadelphia, London,
Toronto, Tokyo: W.B. Saunders Company.
Napitupulu, R.J. 2011. Pengolahan Ikan Sidat. Modul Penyuluh Perikanan. Jakarta.
Sinurat, E., Peranginangin, R., Saepudin, E. 2011. Ekstraksi dan Uji Aktifitas Fukoidan dari
Rumput Laut Coklat (Sargassum crassifolium) sebagai Antikoagulan. Jurnal
Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol.6 No.2.
Warouw, V. 1994. Skripsi: Telaah Efek Antikoagulan dari Beberapa Jenis Rumput laut
(Rhodophyceae) di Perairan Sulut.Manado: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
UNSRAT.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kandungan fenolat dan aktivitas antioksidan pada
tiga varietas ubi banggai. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan perlakuan varietas ubi banggai yang terdiri dari 3 varietas ubi banggai yaitu
ubi ungu, ubi kuning, ubi putih dan diulang 5 kali sehingga diperoleh 15 unit percobaan.
Pencapaian tujuan dilakukan dengan menerapkan perlakuan pengaruh ratio pelarut etanol
terhadap tepung ubi banggai dan pengaruh waktu ekstraksi terhadap kadar fenolat ekstrak
yang dihasilkan, serta pengaruh jenis ubi banggai terhadap kadar fenolat dan aktivitas
antioksidan ekstrak etanol. Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar fenolat tertinggi
(2,63%) untuk ubi banggai putih 2,44% untuk ubi banggai ungu dan 1,90% untuk ubi
banggai kuning pada ratio 15 : 1 atas dasar v/b dan pada waktu ekstraksi 2 jam. Aktivitas
antioksidan ekstrak etanol tertinggi (74,87%) ditemukan pada ekstrak ubi banggai putih dan
aktivitas antioksidan terendah (37,19%) pada ekstrak etanol ubi banggai kuning. Aktivitas
antioksidan sejalan dengan kandungan fenolat. Aktivitas antioksidan BHT 200 ppm sebagai
kontrol positif tidak berbeda dengan aktivitas antioksidan ekstrak ubi banggai putih
Kata Kunci: Kandungan Fenolat, Aktivitas Antioksidan, Ekstrak Etanol, Varietas Ubi
Banggai
Pendahuluan
Makanan dan kesehatan adalah dua hal penting yang terkait erat satu sama lain.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menimbulkan dampak
positif maupun negatif di bidang kesehatan. Salah satu dampak negatifnya adalah timbul
berbagai jenis penyakit kronis akibat pola makan seperti kanker, jantung koroner, hipertensi
yang mengarah ke stroke, penuaan dini dan terganggunya sistem kekebalan tubuh (Sabili,
2007). Hasil penelitian dari berbagai peneliti menyatakan bahwa timbulnya penyakit kronis
tersebut dipicu oleh adanya radikal bebas. Aktivitas molekul radikal bebas dapat
menimbulkan stress oksidatif yang menyebabkan berbagai penyakit. Stress oksidatif sendiri
adalah keadaaan tidak seimbangnya jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh (Sabili,
2007). Senyawa kimia yang mampu menghambat penuaan dan mengatasi berbagai penyakit
kronis yang diakibatkan oleh radikal bebas adalah senyawa kimia yang disebut antioksidan.
Antioksidan yang dikenal saat ini terdiri atas antioksidan sintesis dan antioksidan
alami. Menurut Barus (2009) penggunaan antioksidan sintetis tidak direkomendasikan oleh
Departemen Kesehatan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena diduga
Metode Penelitian
Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi banggai yang diperoleh
dari petani Banggai Kepulauan, terdiri atas 3 varietas, ubi banggai berwarna ungu, putih dan
kuning. Bahan lain sebagai bahan pengekstrak dan bahan kimia untuk analisis mencangkup
etanol teknis, fenol, NH4OH 0,5 N, buffer fosfat (pH = 12), indikator Metil Orange (MO),
asam fosfat, minyak kedelai, tween 20, ammonium tiosianat 30%, ferroklorida 0,02M, HCl
3,5%, aquades, alumunium foil dan kertas saring. Peralatan yang digunakan terdiri atas :
blender, ayakan 60 mesh, talang alumunium, neraca analitik, mesin kocok, penangas air,
rotary evaporator, lemari pendingin, Spektrofotometer UV-VIS, kuvet, corong buchner, labu
ukur, gelas ukur, erlenmeyer dan alat – alat gelas yang umum digunakan dalam laboratorium
Kimia. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan perlakuan varietas ubi banggai yaitu varietas Dioscorea bulbifera var celebica
Burkill dengan umbi berwarna ungu, varietas Dioscorea sp dengan umbi berwarna kuning
dan varietas Dioscorea of alata dengan umbi berwarna putih. Masing-masing perlakuan
diulang 5 kali sehingga diperoleh 15 unit percobaan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan 2 tahap yaitu: pembuatan tepung ubi banggai
selanjutnya ekstraksi dan analisis kandungan fenolat ekstrak etanol ubi banggai. Ubi banggai
(3 varietas) yang di peroleh dari Petani ubi banggai di daerah Banggai Kepulauan dicuci
sampai bersih dan direndam dalam air mendidih selama 7 menit, kemudian ditiriskan dan
𝑨𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍
Aktivitas antioksidan (%) = 1 - x 100%
𝑨 𝒃𝒍𝒂𝒏𝒌𝒐
0,4
Absorbansi
0,3
0,2
0,1
0
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm)
Kadar Fenolat Total pada Berbagai Ratio Tepung Ubi Banggai/Pengekstrak Etanol
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap rendemen ekstrak suatu proses ekstraksi
adalah konsentrasi pengekstrak relatif terhadap jumlah yang diekstrak atau ratio antara
pengekstrak terhadap bahan yang diekstrak. Berdasarkan hal itu dilakukan ekstraksi senyawa
fenolat ubi banggai dengan pengekstrak etanol pada berbagai ratio pengekstrak etanol
terhadap tepung ubi banggai. Kadar fenolat total tertinggi untuk ketiga varietas ubi banggai
(ubi ungu, ubi kuning dan ubi putih) ditemukan pada ratio 15 : 1 atas dasar volume/berat
(v/b), akan tetapi kadar fenolat total berbeda antar varietas ubi banggai (Gambar 2 Tabel
Lampiran 6). Ubi banggai putih menghasilkan ekstrak etanol dengan kadar fenolat tertinggi
2,63% kemudian ubi banggai ungu dengan kadar fenolat 2,44% dan terakhir sebagai kadar
fenolat terendah terdapat pada ubi banggai kuning sebesar 1,90%
Hasil penelitian Fitrya dkk (2010) menyatakan bahwa dari fraksi etil asetat kulit batang
tumbuhan Gandaria (Bouea macrophylla Griff) berhasil diisolasi senyawa yang berupa
kristal berwarna putih sebanyak 10 mg. Berdasarkan analisis spektroskopi dan uji fitokimia
dengan pereaksi senyawa warna FeCl3 diduga senyawa tersebut merupakan senyawa
golongan fenolat yang tersubstitusi oleh gugus alifatik dan gugus karbonil. Sedangkan
Wijono (2004) menemukan bahwa dari ekstrak etanol 95% simplisia daun katu (Sauropus
androgynus (L.) Merr.) telah diisolasi senyawa-senyawa asam fenolat yang diidentifikasi
sebagai asam p-hidroksibenzaoat, asam ferulat, asam vanilat dan asam kafeat. Hasil analisis
kuantitatif menunjukkan bahwa asam p-hidroksibenzoat mempunyai presentase yang
tertinggi diantara keempat jenis asam fenolat yang telah diidentifikasi.
2,5
Kadar Fenolat Total (%)
0,5
0
5 7 9 11 13 15 17
Rasio Etanol Terhadap Tepung Ubi (v/b)
Gambar 2. Kurva hubungan kadar fenolat total terhadap rasio etanol terhadap tepung ubi
Pola perubahan kadar fenolat pada berbagai ratio untuk semua varietas ubi banggai
mengikuti garis kurva parabola yang menunjukkan adanya daerah ratio yang kadar
fenolatnya meningkat dan kadar fenolatnya menurun (Gambar 2). Pengekstrak etanol pada
ratio 5 : 1, 7 : 1, 9 : 1 dan 11 : 1 belum cukup optimal berpenetrasi dalam tepung ubi banggai
akibatnya kadar fenolat yang dilarutkan juga belum optimal. Pada ratio 13 : 1 mulai terjadi
2,5
Kadar Fenolat Total (%)
1,5
ubi ungu
1
ubi kuning
0
1 2 3 4 5
Perubahan kadar fenolat total terhadap waktu reaksi mengikuti pula perubahan garis
kurva parabola dimana waktu ekstraksi optimumnya terjadi pada waktu reaksi 2 jam
(Gambar 3). Pola perubahan kadar fenolat total yang juga ditemukan oleh Septiani (2011).
Pola perubahan kadar fenolat total terhadap waktu ekstraksi menunjukkan bahwa makin
lama ekstraksi maka fenolat yang diperoleh makin banyak dan mencapai titik optimumnya
pada waktu ekstraksi 2 jam dimana proses ekstraksi fenolat mencapai titik optimumnya dan
selanjutnya mulai menurun sampai ekstrak jenuh terhadap etanol.
Pola perubahan kadar fenolat terhadap waktu reaksi yang mengikuti kurva parabola
memberikan petunjuk senyawa fenolat mudah teroksidasi selama proses ekstraksi. Fenolat
dalam ketiga varietas umbi telah mengalami oksidasi setelah waktu ekstraksi 2 jam. Faktor
penyebab kerusakan fenolat selama ekstraksi diduga disebabkan oleh faktor cahaya yang
mengakibatkan senyawa fenol mengalami oksidasi oleh enzim tertentu sehingga terjadi
dekomposisi fenolat. Disamping itu etanol sebagai pengekstrak ikut menguap sehingga
mempengaruhi kadar fenolat ekstrak yang dihasilkan.
Analisis ragam menunjukkan waktu ekstraksi berpengaruh sangat nyata terhadap
kadar fenolat (Tabel Lampiran 10). Analisis lanjut dengan Uji BNJ taraf 5% menunjukkan
kadar fenolat berbeda antar waktu ekstraksi (Tabel Lampiran 11). Hal ini memperkuat
dugaan bahwa pola perubahan kadar fenolat terhadap waktu ekstraksi mengikuti kurva
parabola.
80
70
Aktivitas Antioksidan (%)
60
50
40
30
20
10
0
Ubi ungu Ubi kuning Ubi putih BHT
Varietas Ubi Banggai dan Kontrol
2,5
Kadar Fenolat Total (%)
0,5
0
5 7 9 11 13 15 17
Rasio Etanol Terhadap Tepung Ubi (v/b)
Gambar 5. Kurva hubungan kadar fenolat total terhadap rasio etanol terhadap tepung ubi
Pola perubahan kadar fenolat pada berbagai ratio untuk semua varietas ubi banggai
mengikuti garis kurva parabola yang menunjukkan adanya daerah ratio yang kadar
fenolatnya meningkat dan kadar fenolatnya menurun (Gambar 5). Pengekstrak etanol pada
ratio 5 : 1, 7 : 1, 9 : 1 dan 11 : 1 belum cukup optimal berpenetrasi dalam tepung ubi banggai
akibatnya kadar fenolat yang dilarutkan juga belum optimal. Pada ratio 13 : 1 mulai terjadi
peningkatan kadar fenolat yang terlarut tetapi belum mencapai kadar yang optimum. Kadar
fenolat total tertinggi untuk semua jenis ubi banggai ditemukan pada ratio etanol 15 : 1
karena pada ratio ini tepung ubi banggai mencapai kadar fenolat yang optimum. Pola ini
ditemukan juga oleh Noviyanty (2011) dan Fitrya dkk. (2010).
Ratio etanol /tepung ubi banggai berpengaruh sangat nyata terhadap kadar fenolat
(Tabel Lampiran 7). Hasil analisis lanjut dengan UJI BNJ taraf 5% menunjukkan ratio
ethanol/ubi banggai 15:1 (v/b) berbeda dengan ratio etanol/ubi banggai yang lain untuk
semua jenis ubi banggai.
2,5
Kadar Fenolat Total (%)
0
1 2 3 4 5
Perubahan kadar fenolat total terhadap waktu reaksi mengikuti pula perubahan garis
kurva parabola dimana waktu ekstraksi optimumnya terjadi pada waktu reaksi 2 jam
(Gambar 6). Pola perubahan kadar fenolat total yang juga ditemukan oleh Septiani (2011).
80
70
Aktivitas Antioksidan (%)
60
50
40
30
20
10
0
Ubi ungu Ubi kuning Ubi putih BHT
Varietas Ubi Banggai dan Kontrol
Ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning memiliki aktivitas antioksidan yang relatif
lebih rendah karena kandungan fenolat kedua varietas ubi tersebut juga relatif lebih rendah
dibanding ubi banggai putih. Dan diduga pula bahwa ekstraksi senyawa fenolik dengan
pengekstrak etanol berpengaruh pada aktivitas antioksidannya karena penggunaan
Kesimpulan
Rasio etanol terhadap tepung ubi banggai dari berbagai varietas yang menghasilkan
kadar fenolat tertinggi terdapat pada rasio 15 : 1 (v/b). Waktu ekstraksi tepung ubi banggai
dari berbagai varietas yang menghasilkan kadar fenolat tertinggi terdapat pada waktu
ekstraksi 2 jam. Ubi banggai putih mengandung fenolat tertinggi (2,63%) diikuti oleh ubi
banggai ungu (2,44%) dan ubi banggai kuning (1,90%). Ubi banggai putih memiliki
aktivitas antioksidan tertinggi (74,87%) diikuti oleh ubi banggai ungu (61,17%) dan ubi
banggai kuning (37,19%).
Daftar Pustaka
Agwunobi, L.N., 1999. Dioscorea alata (water yam) as a replacement for maizei diets laying
hens. Tropical animal Health and production; Dec 1999; 31(6), 391- 396; ProQuest
Agriculture Journals.
Arinanti M, Marsono Y, Noor Z, 2002. Aktivitas Antioksidan pada Berbagai Jenis Kacang.
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada.
Barus, Pina, 2009. Pemanfaatan Bahan Pengawet dan Antioksidan Alami pada Industri
Bahan Makanan. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu
Kimia Analitik pada Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara. Medan.
Boesalem M, Viader V, Mariac C, Gomez R-M, Hochu I, Santoni S, and David J, 2010.
Evidence of diploidy in the wild Amerindian yam, a putative progenitor of the
endangered species Dioscorea trifida (Dioscoreaceae). Publised on the NRC
Research Press.
Champagne, 2011. Biological Pigments: Research Result from Chatolic University Update
Knowledge of Biological Pigments. The Journal of Food Composition and
Anthocyanins and Other Phenolic Compound among Tropical Root Crops from
Vanuatu, South Pasific. Journal of Food Composition Analisis. 24(3): 315-325.
Chan, EWC and Lim, YY, 2006. Antioxidant Activity of Thunbergia Laurifolia Tea. Journal
of Tropical Forest Science, 20(2) Proquest Agriculture Journals pg. 130
Chung, 2008. Food Science; Research in the area of Food Science Reported from Asian
University. Internasional Jurnal of Food Science and Technology, 2008: 43(5): 859-
864.
Delahaye, PD and Techeira N, 2009. Chemical and Functional Properties of native and
Modified Yam (Dioscorea alata) Starch. Biologa, Universidad Central de Venezuale
(UCV).
Duvivier, P, Hsieh, PC, Lai, PY, Charle, AL, 2010. Retention of Phenolics, carotenoids, and
Antioxidant Activity in the Taiwanese sweet potato (Ipomoea batatas L.) CV tainong
66 subjected to different drying conditions. African Journal of Food Agriculture,
Nutrition and Development. Vol. 10, No. 11.
Eni, AO, Hughes, J.d′A. Asiedu, R, 2008. Sequence diversity among badnavirus isolates
infecting yam (Dioscorea spp.) in Ghana, Togo, Benin and Nigeria. Original Article.
Arch Virol (2008) 153:2263-2272
Fitrya, Anwar, L, Novitasari, E, 2010. Isolasi Senyawa Fenolat dari fraksi Etil Asetat Kulit
Batang Tumbuhan Gandaria. Jurnal Penelitian Sains Volume 13 Nomor 1(c) Jurusan
kimia FMIPA Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan.
A. KHAIRUN MUTIA
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gorontalo
Email: andikhairunmutia@gmail.com
ABSTRAK
Otak-otak adalah salah satu jenis makanan yang dibuat dari ikan, yang dibungkus dengan
menggunakan daun pisang kemudian dibakar. Makanan ini adalah salah satu makanan khas
Sulawesi Selatan, yang merupakan produk modifikasi antara kamaboko dan baso. Ikan yang
banyak digunakan pada umumnya yaitu ikan tenggiri namun memiliki harga yang mahal
serta sulit ditemukan. Maka perlu dilakukan modifikasi dengan menggunakan ikan yang
relative murah namun memiliki sifat daging yang sama dengan ikan tenggiri. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui rasa, tekstur, warna dan rasa dari ikan swangi, ikan
selar kuning, dan ikan kurisi bali yang digunakan sebagai pengganti ikan tenggiri.
Karakteristik produk diuji secara organoleptik dan pengukuran komposisi gizi meliputi
kadar protein, kadar air, kadar lemak dan kadar abu. Jenis otak-otak yang paling disukai
adalah otak-otak dari ikan kurisi bali. Nilai uji kandungan gizi dari produk yang terbaik
adalah kadar protein 19,13%, kadar abu 0,95%, kadar air 72,88%, dan kadar lemak 0,48%.
Kata Kunci: Ikan Swangi, Ikan Selar Kuning, Ikan Kurisi Bali, Uji Organoleptik, Uji
Proksimat
Latar Belakang
Otak-otak merupakan salah satu jenis makanan tradisional di Indonesia berbahan dasar
ikan yang dibungkus dengan daun pisang kemudian dibakar. Setelah dibakar akan di makan
bersama saus kacang. Namun penyajiannya dapat menggunakan saus kacang ataupun
dimakan tersendiri tanpa menggunakan saus kacang.
Ikan yang sering digunakan dalam pembuatan otak-otak adalah jenis ikan tenggiri.
Ikan ini memiliki tekstur daging yang kenyal dan padat serta memiliki warna yang putih
tetapi memiliki harga yang sangat tinggi dan jarang untuk ditemukan. Untuk mengatasi hal
itu dilakukan modifikasi dengan mengganti ikan tersebut dengan jenis ikan lain sehingga
mudah dijangkau bagi masyarakat menengah ke bawah karena memiliki harga yang relatif
murah. Ikan yang menjadi kriteria dalam pembuatan otak-otak yaitu memiliki daging yang
putih dan padat.
Namun, saat ini masih sangat jarang ditemukan otak-otak yang berbahan dasar selain
ikan tenggiri. Misalnya dengan ikan-ikan yang murah dan mudah diperoleh, sehingga perlu
dilakukan pengkajian mengenai bagaimana mutu organoleptik terhadap produk otak-otak
ini. Dengan uraian inilah, maka dilakukan penelitian tentang “Karakteristik Organoleptik
Makanan Otak-otak dengan Bahan Baku Berbagai Jenis Ikan”.
Prosedur Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Sebelum melakukan penelitian utama, perlu dilakukan penelitian pendahuluan dengan
melakukan survey-survey mengenai beberapa jenis ikan yang masuk dalam kriteria daging
ikan yang dapat diolah menjadi otak-otak. Penelitian pendauhuluan ini dilakukan di Tempat
Pelelangan Ikan Potere dan Lelong.
Penelitian Utama
Pembuatan Daging Ikan Giling
1. Ikan disortasi terlebih dahulu
2. Dilakukan penyiangan ikan, yang meliputi penghilangan sisik, pemisahan kepala dan
badan ikan.
3. Pemisahan daging dan kulitnya
4. Kemudian dilakukan pencucian hingga bersih
5. Ditimbang 150 g kemudian digiling hingga halus, dengan penambahan es sebanyak 20%
Pembuatan Otak-otak
1. Ikan yang telah dihaluskan, lalu ditambahkan tepung tapioka 15%
2. Dimasukkan bahan-bahan tambahan, meliputi santan, bawang merah, bawang putih,
merica, daun bawang, garam dan gula serta putih telur secara bergantian, diaduk hingga
±15 menit
3. Dilakukan pengemasan dengan menggunakan daun pisang
Perlakuan Penelitian
A1. Daging Ikan Ekor Kuning (150g) + Tepung Tapioka (15%)+Bumbu
A2. Daging Ikan Selar Kuning (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu
A3. Daging Ikan Swangi (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu
A4. Daging Ikan Kurisi (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu
A5. Daging Ikan Kurisi Bali (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu
Penelitian Utama
Tekstur
Respon panelis pada tekstur dari otak-otak dari berbagai jenis ikan ini dapat dilihat
pada Gambar 1. Dari hasil tersebut dapat dilihat skor yang tertinggi pada perlakuan otak-
otak ikan selar kuning dengan nilai 4 yaitu suka sedangkan yang terendah adalah pada
perlakuan otak-otak ikan swangi dengan nilai 3,6 yaitu agak suka. Perbedaan ini disebabkan
karena kandungan protein yang terdapat pada jenis ikan, yang dimana protein dapat
mempengaruhi tingkat kekenyalan dari otak-otak. Hal ini sesuai dengan pendapat Eka et al
(2015) bahwa kualitas dan kandungan protein ikan dapat berpengaruh terhadap tingkat
kekenyalan otak-otak dan kaki naga.
Jumlah dan jenis tepung tapioka yang digunakan juga sangat mempengaruhi hasil akhir
dari otak-otak yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Arumsari (2013), bahwa
tepung tapioka berfungsi sebagai bahan pengisi, pengikat, dan pemantap yang sangat
berpengaruh pada mutu akhir produk terutama tekstur dan konsistensi produk otak-otak.
Rasa
Respon panelis terhadap rasa dari otak-otak berbagai jenis ikan ini dapat dilihat pada
Gambar 2. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa skor yang tertinggi yaitu pada otak-otak
ikan kurisi bali dengan skor 4,4 yaitu suka sedangkan yang terendah yaitu pada otak-otak
ikan ekor kuning dengan skor 4 yaitu suka. Hal ini disebabkan karena kandungan lemak
pada ikan kurisi bali lebih banyak dibandingkan ikan ekor kuning sehingga otak-otak ikan
kurisi bali lebih terasa gurih dibandingkan otak-otak dari jenis ikan lainnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Candra et al (2014), bahwa banyak cita rasa dan keharuman yang
menyenangkan dari makanan diperoleh dari lemak dalam pangan. Lemak adalah pembawa
vitamin A, D, E, dan K yang larut dalam lemak.
Aroma
Respon panelis terhadap aroma dari otak-otak dari berbagai jenis ikan ini dapat dilihat
pada Gambar 3. Dari hasil tersebut, dapat dilihat skor yang tertinggi yaitu pada otak-otak
ikan kurisi dengan skor 4,3 yaitu suka, sedangkan yang terendah yaitu pada perlakuan
dengan otak-otak ikan ekor kuning dengan skor 4 yaitu suka Perbedaan yang dihasilkan ini
disebabkan oleh kandungan lemak yang dikandung oleh setiap jenis ikan, yang dimana ikan
kurisi lebih banyak memiliki kandungan lemak sehingga saat pemanasan memiliki aroma
yang khas karena pecahnya komponen-komponen lemak menjadi produksi volatil seperti
aldehid, keton, alkohol, asam, dan hidrokarbon yang sangat berpengaruh terhadap
pembentukan flavor. Hal ini sesuai dengan pendapat Dimas et al (2015), bahwa akibat
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 185
pemanasan daging maka lemak dalam daging akan mencair sehingga menambah
palatabilitas daging. Hal ini disebabkan oleh pecahnya komponen-komponen lemak menjadi
produksi volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam, dan hidrokarbon yang sangat
berpengaruh terhadap pembentukan flavor.
Warna
Respon panelis terhadap warna otak-otak dari berbagai jenis ikan yang dihasilkan pada
Gambar 8, menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata. Namun dari kelima sampel
tersebut, memperlihatkan skor yang tertinggi adalah pada perlakuan otak-otak ikan kurisi
bali dengan skor 4,1 yaitu suka, sedangkan yang terendah pada perlakuan otak-otak ikan
swangi dengan skor 3,4 yaitu agak suka. Perbedaan ini disebabkan karena kandungan protein
dari setiap ikan berbeda. Diketahui ikan swangi memiliki kandungan protein yang lebih
rendah dibandingkan ikan kurisi bali. Sehingga warna yang terdapat pada ikan swangi tidak
terlalu disukai oleh panelis karena perubahan warna pada otak-otak ikan swangi tidak terlalu
Profil Kimia Produk Otak-otak dengan Bahan Baku Ikan yang Terbaik
Jenis otak-otak yang terbaik dengan bahan baku ikan yang terbaik dari uji organoleptik
diperoleh Ikan Kurisi Bali adalah jenis otak-otak yang terbaik. Maka dari jenis otak-otak
ikan kurisi bali tersebut dilakukan uji lanjutan yaitu berupa uji proksimat meliputi kadar air,
kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Komposisi Gizi otak-otak ikan kurisi bali dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1.Komposisi Gizi Otak-otak Ikan Kurisi Bali
Komponen Jenis
Air 72,88 %
Abu 0,91 %
Protein 19,13 %
Lemak 0,48 %
Sumber : Data Primer Penelitian, 2010.
Dari table 1 dapat dilihat kandungan gizi untuk otak-otak yang terpilih dari uji
organoleptik. Dari table terlihat kandungan kadar air sebanyak 72,88%, kadar abu sebanyak
0,91%, kadar protein sebanyak 19,13% dan lemak sebanyak 0,48%. Menurut Karim et al
(2013), bahwa otak-otak yang merupakan diversifikasi dari kamaboko yang berbahan dasar
surimi maka otak-otak dapat mengikuti SNI No. 01–2693-1992, yaitu kadar abu antara
Saran
Diharapkan setelah melakukan penelitian ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu
masa simpan dari otak-otak yang dihasilkan sehingga dapat di pasarkan secara luas.
Daftar Pustaka
Arumsari, M. D., YS Darmanto dan P. H. Riyadi. 2013. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi
Tepung Kentang (Solanum tuberosum) terhadap Karateristik Pasta dari Ikan Air
Tawar, Payau dan Laut. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 2 (5) :
108-117.
Dimas Ahmad, Tri Winarni dan Ima Wijayanti. 2015. Pengaruh Penambahan Keragenan
sebagai Stabilizer Terhadap Karakteristik Otak-otak Ikan Kurisi (Nemipterus
nematophorus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. Vol.4 No.4. Thn
2015: 1-10.
Eka Irma Q.Bariah, S.Berhimpon, Eunike L.Mongi. 2015. Karakteristik Organoleptik Otak-
otak Ikan yang diberi Edible Coating Keraginan dengan Penambahan Asap Cair.
Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. Vol.3 No.1. Februari 2015: 19-24.
YULIANTI
Universitas Gorontalo
Email: yuliantibora@gmail.com
ABSTRAK
Proses ekstraksi beta karoten menggunakan pelarut organik seperti heksana, aseton,
petroleoum eter, kloroform dan lain lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas pelarut dalam mengekstrak beta karoten pada wortel dan pengaruh lama
penyimpanan dingin setelah sentrifugasi terhadap kandungan beta karoten. Pada penelitian
ini, ekstraksi beta karoten dilakukan dengan menggunakan pelarut heksana dan petroleum
eter serta campuran pelarut antara heksana dengan petroleum eter (75% : 25%). Hasil
ekstraksi disimpan selama 20 jam dan 40 jam di dalam refrigerator (4oC) kemudian pelarut
dan sampel dipisahkan dengan metode sentrifugasi (10000 rpm, 15 menit, 5 oC). Sampel
dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer ± 7 jam. Hasil ekstraksi bertingkat
menunjukkan penggunaan pelarut pertama tidak melarutkan beta karoten secara
keseluruhan, pada pelarut kedua dan ketiga masih terdapat beta karoten yang terlarut.
ABSTRACT
Extraction of beta carotene can be used organic solvents such as hexane, acetone,
petroleoum ether, chloroform and others. The purpose of this study was to determine the
effectiveness of solvent to extract the beta carotene in carrots and the effect of long time
storage in cool temperature on the content of beta carotene after centrifugation. In this
study, beta carotene extraction is carried out by using hexane and petroleum ether and
solvent mixture between hexane with petroleum ether (75% : 25%). Extraction results were
stored for 20 hours and 40 hours in refrigerator (4oC) and then solvent and sample were
separated by centrifugation method (10000 rpm, 15 min, 5°C). The samples were dried by
using freeze dryer ± 7 hours. The results of stratified step extraction reveal that the first
solvent can not completely solve beta carotene, the second and third solvents can be found
of beta carotene.
Keywords: Carrot, Extraction, Beta Carotene, Hexane, Petroleum Ether.
Pendahuluan
Wortel (Daucus carota L.) merupakan tanaman sayuran umbi semusim berbentuk
semak, tumbuh sepanjang tahun, musim hujan maupun kemarau. Wortel merupakan salah
satu sumber β-karoten. Kandungan karoten wortel antara 60 – 120 mg/100 g. Karoten yang
terdapat pada wortel tidak hanya beta karoten tetapi terdapat juga alfa karoten, dan
Metode Penelitian
Metode yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan melarutkan β-karoten dari
wortel dengn menggunakan pelarut heksana pada tahap pertama, selanjutkanya ampas hasil
penyaringan dari tahap pertama dilarutkan dengan menggunakan pelarut petroleum eter
(tahap kedua). Ampas hasil penyaringan tahap kedua selanjutnya dilarutkan dengan
menggunakan pelarut heksana dan petroleum eter (75% : 25%) Setiap hasil ekstraksi
disimpan dalam refrigerator selama 20 jam dan 40 jam pada suhu 4 oC dan dilakukan
pemisahan antara pelarut dengan β-karoten yang terekstrak dengan cara sentrifugasi.
Sentrifugasi dilakukan pada 10000 rpm selama 20 menit pada suhu 5 oC. Ekstrak kemudian
dibekukan dan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer sampai menjadi
bubuk (± 7 jam). Sebelum dilakukan pengeringan ditambahkan bahan pengisi maltodekstrin
10% dari berat hasil sentrifugasi.
0,25
Rendmen (%)
0,2
0,15
0,1 0,085
0,065
0,05
0
H PE H : PE
75 :25
Pelarut
Gambar 1. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Rendemen Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel
dengan Ekstraksi Bertingkat (H: Heksana, PE: Petroleum Eter)
Banyaknya komponen yang terekstrak dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan,
dalam hal ini sifat polaritas pelarut dan komponen yang akan diekstrak harus sama,
komponen yang bersifat polar akan terekstrak dengan pelarut yang bersifat polar, begitupun
komponen yang bersifat non polar akan terekstrak dengan pelarut yang bersifat nonpolar.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Bennita (2008), bahwa prinsip ekstraksi adalah melarutkan
senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam senyawa non-polar.
.
Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin lama hasil ekstraksi disimpan pada suhu
dingin semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Penyimpanan selama 40 jam memiliki
rendemen lebih banyak dibandingkan dengan penyimpanan selama 20 jam karena pada suhu
dingin energi kinetik partikel melemah dan menyebabkan gravitasi menurun sehingga daya
tarik antar partikel semakin kuat untuk menyatu. Pada suhu tinggi energi kinetik akan
meningkat sehingga akan terjadi tumbukan antar partikel. Hal ini sesuai dengan Heriyanto
dkk (2011), bahwa semakin tinggi suhu, energi kinetik yang dimiliki oleh molekul-molekul
akan meningkat. Molekul molekul akan bertumbukan dan menyebabkan reaksi kimia
semakin cepat.
0,4
0,35
0,3
Rendemen (%)
0,25
0,2 Lama Penyimpanan
0,15 Dingin 20 Jam
Lama Penyimpanan
0,1
Dingin 40 jam
0,05
0
H PE H : PE
75 :25
Pelarut
Gambar 3. Pengaruh Interaksi Antara Jenis Pelarut dengan Lama Penyimpanan Dingin
Setelah Ekstraksi terhadap Rendemen Akhir Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel
dengan Ekstraksi Bertingkat (H: Heksana, PE: Petroleum Eter)
1,5
0,5 0,389
0,116
0
H PE H : PE (75 : 25)
Pelarut
Gambar 4. Pengaruh Pelarut terhadap Kandungan Beta Karoten Pewarna Bubuk dari Umbi
Wortel dengan Ekstraksi Bertingkat (H : Heksana, PE : Petroleum Eter)
1,4
1,198
1,2
Beta Karoten (mg)
1
0,783
0,8
0,6
0,4
0,2
0
20 Jam 40 Jam
Lama Penyimpanan Dingin (4°C)
1,5 20 Jam
1 40 Jam
0,5
0
H PE H : PE
(75 : 25)
Pelarut
Penggunaan jenis pelarut dengan lama penyimpanan dingin setelah proses ekstraksi
berpengaruh terhadap kandungan beta karoten melalui ektraksi bertingkat. Penggunaan
pelarut yang sesuai dengan polaritas beta karoten akan mengekstrak lebih banyak beta
karoten pada wortel dan penyimpanan dingin selama 40 jam akan memudahkan penyatuan
antara molekul-molekul beta karoten karena pada suhu dingin energi kinetik menjadi lemah
dan ikatan antara pelarut dengan partikel juga melemah. Pada prinsipnya, senyawa nonpolar
akan larut dalam pelarut polar. Semakin panjang rantai beta karoten semakin bersifat
nonpolar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bennita (2008), bahwa prinsip ekstraksi adalah
melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam senyawa non-
polar.
Kesimpulan
Ekstraksi bertingkat menunjukkan bahwa pelarut pertama tidak melarutkan beta
karoten secara keseluruhan, dan pada pelarut kedua dan ketiga masih terdapat beta karoten
yang terlarut walaupun jumlahnya kecil.
Daftar Pustaka
Bennita BL. 2008. Karakterisasi Dan Purifikasi Antosianin Pada Buah Duwet (Syzygium
cumini) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Gusti DR. 2012. Studi Pengaruh Kerusakan Beta-karoten dalam Pelarut Heksana, Aseton
dan Metanol serta Tanpa Pelarut Dalam Udara Terbuka. Jurnal Penelitian
Universitas Jambi Seri Sains., Vol 14 (2) : 25-28.
Guenther, E., 1990. Minyak Atsiri Jilid III. Jakarta: Universitas Indonesia.
Mariana L, Yayuk A, Erin RG. 2013. Analisis Senyawa Flavonoid Hasil Fraksinasi Ekstrak
Diklorometana Daun Keluwih (A.camansi). Majalah Ilmiah Chemistry Progress 6
(2): 50-55.
Muslich, Prayoga S, Indri RH. 2010. Kinetika Adsorpsi Isotermal β-Karoten dari Olein
Sawit Kasar dengan Menggunakan Bentonit. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 19(2), 93-100.
Purnamasari N, MAM Andriani, Kawiji. 2013. Pengaruh Jenis Pelarut dan Variasi Suhu
Pengering Spray Dryer terhadap Kadar Karotenoid Kapang Oncom Merah
(Neurospora sp.). Jurnal Teknosains Pangan. 2 (1): 107-114.
Yulianti, Amran, L., Meta, M. 2017. Ekstraksi Beta Karoten dari Wortel dengan Pelarut
Heksana dan Petroleum Eter. Jurnal Bertani. 12(1): 48-58.
ABSTRACT
The aim of this research was to determine of drying time in sago noodle. Sago noodle was
made through a process using twin screw extruder with the addition of GMS (Glycerol
Monostearate) and ISP (Isolated Soybean Protein). This study consisted of two stages: 1)
determination of the range of process variable and formula, 2) Drying of sago noodle using
a tray drier. Based on the line equation and the change rate (k) of the value of moisture
content during the drying time of the one ordo equation, the required drying time of dried
sago noodles at the temperature of 50, 60, and 70°C was 161, 146, and 124 minutes
respectively.
Keywords: Glycerol Monostearate (GMS); Noodle; Sago; Isolated Soybean Protein
(ISP)
Introduction
Sago is one of the agricultural products in Indonesia which has a high production rate
and good benefits (Yuliani et al. 2015). Area of sago world is 2.5 million ha, about 50% is
in Indonesia (1:25 million ha). From the total, 1.2 million ha is in Papua and West Papua
(Nasir, 2013). Products of processed sago is starch sago (Adawiyah et al., 2013; Budijanto
and Yuliyanti 2012; Mohamed et al. 2008). (Syakir, 2013) reports that the productivity
potential of sago in Indonesia may reach 6.84 million tons / year. The production of sago
starch can be up to 25 tons of dry starch/ha/year (Sumaryono, 2007). (Ruku, 2009; Muin,
2014) report that the sago starch has been used as a food ingredient in several regions of
Indonesia, such as sago processing in the form of papeda (Papua), sinonggi (Southeast
Sulawesi), and Kapurung (South Sulawesi). In addition, the other utilization of sago starch
is for the production of starch noodles (Singhal et al., 2008; Sugiyono et al., 2009; Purwani
et al., 2006).
According to (Tan et al., 2009) the different of starch noodle characteristics with
noodles made from wheat is starch noodles have one or two heat treatment during the
process. The heat treatment can be done through boiling or steaming process makes starch
gelatinized and subsequently undergo retrogradation to form a starch noodles. (Tan et al.,
2009) divide the starch noodles processing technology into three methods: dropping, cutting,
and extrusion. Methods of dropping and cutting technology is the making process of
80
70
Moisture content (%)
60
50
40 Temperature 50°C
Temperature 60°C
30
Temperature 70°C
20
10
0
0 15 30 60 90 120 180
Drying Time (minutes)
Fig. 1 The change in water content (%db) of dried sago noodles for drying time 0, 15, 30,
60, 90, 120, and 180 minutes at the drying temperature of 50, 60 and 70°C
The change in the value of the water content of dried sago noodles at the temperature
and drying time certains could be made the model of its the reaction kinetics, i.e. the reaction
of zero ordo and one ordo. The following was the reaction equation of zero ordo and one
ordo:
Zero ordo reaction equation: [At] = [Ao] - kt
One ordo reaction equation: lin [At] = lin [Ao] - kt
The equation of change in water content could be seen in Table 1. Based on the table
showed the correlation value between the change in water content and drying time was good
relatively (R2 > 0.70). In general, the increase value of the reaction rate constant (k) of the
decrease in water content was concomitant with the increase in temperature.
Conclusion
Based on the line equation and the change rate constant (k) of water content value
during drying by the one ordo reaction equation of the drying time of dried sago noodle
which was needed to achieve the target water content (14%) at the temperature of 50, 60,
and 70°C respectively were 161, 146, and 124 minutes.
References
Adawiyah, Dede R., Tomoko Sasaki, and Kaoru Kohyama. 2013. “Characterization of
Arenga Starch in Comparison with Sago Starch.” Carbohydrate Polymers 92 (2).
Elsevier Ltd.: 2306–13. doi:10.1016/j.carbpol.2012.12.014.
Engelen, Adnan, Sugiyono, and Slamet Budijanto. 2015. “Process and Formula
Optimizations on Dried Sago (Metroxylon Sagu) Noodle Processing.” AGRITECH 35
(4): 359–67.
Indonesia Nasional Standard (SNI). 1996. “Dried Noodles - Indonesia.”
Mohamed, A., B. Jamilah, K. A. Abbas, R. Abdul Rahman, and K. Roselina. 2008. “A
Review on Physicochemical and Thermorheological Properties of Sago Starch.”
American Journal of Agricultural and Biological Science 3 (4): 639–46.
doi:10.3844/ajabssp.2008.639.646.
Muin, Nurhaedah. 2014. “Manfaat Sagu ( Metroxylon Spp.) Bagi Petani Hutan Rakyat Di
Kabupaten Konawe Selatan.” Info Teknis EBONI 11 (2): 95–102.
Nasir, Gamal. 2013. “Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Sagu.” Jakarta.
Purwani, Endang Y., Y. Setiawaty, H. Setianto, and Widaningrum. 2006. “Karakteristik Dan
Studi Kasus Penerimaan Mi Sagu Oleh Masyarakat Di Sulawesi Selatan.” AGRITECH
26 (1): 24–33.
Ruku, Subadah. 2009. “Meningkatkan Minat Masyarakat Mengolah Sagu Untuk Berbagai
Produk Olahan.” Buletin Teknologi Dan Informasi Pertanian.
Singhal, Rekha S., John F. Kennedy, Sajilata M. Gopalakrishnan, Agnieszka Kaczmarek,
Charles J. Knill, and Putri Faridatul Akmar. 2008. “Industrial Production, Processing,
and Utilization of Sago Palm-Derived Products.” Carbohydrate Polymers 72 (1): 1–
20. doi:10.1016/j.carbpol.2007.07.043.
Slamet Budijanto, Yuliyanti. 2012. “Studi Persiapan Tepung Sorgum (Sorghum Bicolor L.
Moench) Dan Aplikasinya Pada Pembuatan Beras Analog.” Teknologi Pertanian 13
(3): 177–86.
Sugiyono, Ridwan Thahir, Feri Kusnandar, Endang Yuli Purwani, Dian Herawati. 2009.
“Peningkatan Kualitas Mi Instan Sagu Melalui Modifikasi Heat Moisture Treatment.”
In Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB, 666–77.
ABSTRAK
Soyghurt merupakan makanan berupa gel hasil hasil fermentasi asam laktat pada susu
kedelai dengan menggunakan bakteri Streptococcusn thermophillus dan Lactobacillus
bulgaricus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis gula dan
persentase gelatin terhadap sifat sensoris soyghurt. Perlakuan penelitian terdiri atas
penambahan penambahan gula (sukrosa, glukosa, laktosa) serta gelatin 3%, 5% dan 7%.
Parameter pengamatan adalah penerimaan panelis terhadap rasa, aroma, warna dan
konsistensi soyghurt. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang disusun secara factorial dengan dua kali ulangan dengan menggunakan
uji lanjutan Beda Nyata Jujur (BNJ). Berdasarkan hasil uji panelis yang telah dilakukan
diperoleh, rasa, aroma dan warna yang paling disukai adalah pada penambahan sukrosa
dengan persentase gelatin masing-masing 3% dan 7%%; 3 dan 7%; serta 7%. Kosistensi
soyghurt yang paling disukai adalah penambahan glukosa dengan persentase gelatin 5%.
Kata Kunci: Soyghurt, Fermentasi, Kedelai, Susu
Pendahuluan
Kacang-kacangan atau legume merupakan kelompok tanaman yang digolongkan
dalam famili Leguminosae, seperti kedelai. Kedelai banyak dimanfaatkan sebagai sumber
gizi utama dan sumber komponen pangan fungsional khususnya protein. Biji kedelai utuh
(whole seeds) terseusun dari 8% kulit biji (hull/seed coats), 90% keping biji (cotyledon), dan
2 hipokotil. Protein biji kedelai mengandung 18 jenis asam amino, yaitu 11 asam amino
esensial (Cysteine, Histidine, Isoleucine, Leucine, Lysine, Methioine, Phenylalanine,
Threonin, Tryptophan, Tyrosine dan Valine) dan 7 asam amino non esensial (Alanine,
Arginine, Aspartic acid, Glutamic acid,Glycine, Proline dan Serin). Kompnen asam amino
penyusun paling banyak adalah asam glutamat (Kametro, 2017).
Susu kedelai merupakan salah satu bentuk olahan kedelai yang dapat menjadi salah
satu alternatif pengganti susu sapi karena memiliki komponen gizi yang hampir sama. Susu
kedelai mengandung lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1, B2 dan
Isoflavon. Kandungan asam lemak tak jenuh relatif tinggi dan tidak mengandung kolesterol
(Liu, 2004).
Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian di laksanakan di Labortorium Nutrisi Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar. Waktu Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai bulan Juli
sampai Agustus 2015.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu pembuatan susu kedelai dan fermentasi
susu kedelai (soyghurt). Pembuatan susu kedelai dengan menggunakan metode Illiones
Warna
Warna mempunyai peranan yang sangat penting terhadap produk pangan. Penentuan
mutu suatu bahan pangan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor, tetapi
sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan
kadang-kadang sangat menentukan (Winarno, 1988).
4,6
4.4
4,4 4.3 4.3
3,4
3,2
Gelatin 3% Gelatin 5% Gelatin 7%
Gambar 1. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Warna
Soyghurt yang Dihasilkan
Warna yang paling disukai adalah pada penambahan gelatin 7% dengan penambahan
sukrosa. Rasa yang paling tidak disukai adalah pada penambahan gelatin 3% dengan
penambahan sukrosa sebagaimana yang terlihat pada Gambar 1. Dari hasil analisa sidik
ragam menunjukkan bahwa penggunaan persentase gelatin dengan penambahan berbagai
jenis gula tidak tidak berpengaruh nyata, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Warna Soyghurt.
Sumber F. Tabel
DB JK KT F.Hiting
Keragaman 5% 1%
Perlakuan 8 1,20444 - - - -
tn
K 2 0,031107 0,015553 0,90906 19,38 99,39
G 2 0,124444 0,06222 0,02272tn 19,38 99,39
tn
KG 4 1,04889 0,26222 0,384363 6,00 14,66
Galat 9 6,16 0,68444 - - -
Total 17
Keterangan: tn = tidak berpengaruh nyata.
Tidak adanya perbedaan secara nyata pada perlakuan tersebut disebabkan oleh warna
kedelai yang digunakan berwarna kuning dan berpengaruh terhadap produk susu yang
Aroma
Aroma salah satu penentu kelezatan dari suatu bahan makanan. Aroma dan cita rasa
mempunyai peranan yang sangat penting bagi penentuan derajat penerimaan dan kualitas
suatu bahan pangan (Winarno, 1988).
3,5
3.4 3.4
3,4 3.3
3,3
Sukrosa
3,2 3.1
3.1
3.2 Glukosa
3,1
3
3 3.1 3.1
Laktosa
2,9
2,8
Gelatin 3% Gelatin 5% Gelatin 7%
Gambar 2. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Aroma
Soyghurt yang Dihasilkan
Tingkat penerimaan panelis terhadap aroma soyghurt yang dihasilkan, berkisar antara
3 sampai 3.4 sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2. Aroma soyghurt yang paling
disukai adalah pada penambahan gelatin 3% dan 7% pada penggunaan jenis gula sukrosa
dengan tingkat penerimaan 3.4. Tingkat penilain paling terendah terdapat pada penambahan
gelatin 7% dengan penggunaan jenis gula glukosa. Aroma yang kurang disukai dapat
disebabkan karena adanya bau langu dari kacang kedelai yang turut mempengaruhi aroma
soyghurt yang dihasilkan, sebagai akibat dari aktivitas enzim lipogsigenase dari kacang
kedelai (Nizori, dkk., 2013).
Aroma langu pada produk soyghurt, belum mampu ditutupi oleh proses fermentasi
yang dilakukan. Lebih lanjut Purwati (2008), menyatakan bahwa aroma pada soyghurt
Hasil uji BNJ (Tabel 3), menunjukkan pengaruh interaksi antara perlakuan
penambahan jenis gula dan persentase gelatin berpengaruh nyata terhadap aroma soyghurt
yang dihasilkan.
Tabel 3. Uji BNJ Pengaruh Interaksi antara Penambahan Jenis Gula dengan Persentase
Gelatin terhadap Aroma Soyghurt.
Perlakuan Jenis Pengaruh Rata-Rata Persentase Gelatin NP BNJ
Gula 3% 5% 7% 5%
a a a
Sukrosa 3,4 3,3 3,4
Glukosa 3,1b 3,1b 3ab 1,004
b b a
Laktosa 3,1 3,1 3,2
Rasa
Rasa merupakan salah satu faktor yang turut menentukan mutu makanan. Penerimaan
konsumen terhadap suatu produk makanan umumnya dilakukan dengan indera manusia
melalui kuncup cicipan setelah makanan tersebut ditelan (Winarno, 1988).
Rasa dari soyghurt dipengaruhi oleh keberadaan asam laktat dan senyawa-senyawa
yang mudah menguap lainnya setelah proses fermentasi (Purwati dkk., 2008; Shahani,
1993). Berdasarkan hasil penilaian panelis terhadap rasa soyghurt diperoleh tingkat
kesukaan yang paling disukai pada penambahan gelatin 5% pada penggunaan gula sukrosa.
Rasa soyghurt yang kurang disukai oleh panelis adalah pada penambahan gelatin 7% pada
penggunaan gula laktosa (Gambar 3).
0
Gelatin 3% Gelatin 5% Gelatin 7%
Gambar 3. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Aroma
Soyghurt yang Dihasilkan.
Tingkat penilaian panelis terhadap soyghurt yang berkisar antara 2,8% sampai 5% atau
dari penilaian agak suka sampai pada penilaian sangat suka. Perbedaan tingkat kesukaan
tersebut disebabkan karena penggunaan jenis gula dengan tingkat kemanisan yang berbeda.
Sebagaiman yang dikatakan oleh Poetjadi (1994) bahwa tingkat kemanisasn gula dari yang
paling manis sampai dengan tingkat kemanisan rendah adalah fruktosa, glukosa, galaktosa
dan laktosa.
Tabel 4. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Rasa Soyghurt.
Sumber F. Tabel
DB JK KT F.Hiting
Keragaman 5% 1%
Perlakuan 8 11,72 - - - -
K 2 0,3733 0,18667 2,79991tn 19,38 99,39
G 2 11,08 5,54 83,0958* 19,38 99,39
KG 4 0,2667 0,06677 1tn 6,00 14,66
Galat 9 0,6 0,06667 - -
Total 17
Keterangan : tn = Tidak berpengaruh nyata.
* == Berpengaruh nyata
Hasil analisa sidik ragam (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan persentase gelatin
memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa soyghurt, sedangkan interaksi antara
penambahan jenis gula dan persentase gelatin tidak berpengaruh nyata terhadap rasa
soyghurt. Sedangkan dari hasil uni BNJ pengaruh gelatin terhadap rasa soyghurt (Tabel 5)
menunjukkan bahwa persentase gelatin 3%, 5% dan 7% berpengaruh nyata terhadap rasa
soyghurt.
Tabel 5. Uji BNJ Pengaruh Persentase Gelatin Terhadapo Rasa Soyghurt
Persentase Gelatin Nilai Rata-Rata NP BNJ 5%
3% 4,267a
5% 4,167a 0,721
7% 3,93ab
0
Gelatin 3% Gelatin 5% Gelatin 7%
Gambar 4. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Konsistensi
Soyghurt yang Dihasilkan.
Daftar Pustaka
Bibiana, W. Lay, 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Liu, K, 2004. Fermented Soy Foods, In : Shinha, N.K., Y.H. Hui., E.O. Evranuz., M.Siddiq
and J. Ahmed (Eds). 2011. Handbook of Vegetanbles and Vegetable Processing Wiley
Blacwell. USA. dalam Rossi Evy, Raswen Effendi dan Suci Lestari, 2013.
Karasteristik Soyghurt dengan Variasi Konsentrasi Sukrosa dan Inulin. Seminar
Nasional dan Rapat Tahunan Dekanat Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN
Wilayah Barat. http://respository.unri.ac.id. Up Date, 15 Maret 2018; 13.30 WITA.
Nirmagustina Dwi Eva dan Chandra Utami Wirawati, 2014. Potensis Susu Kedelai Asam
(Soyghurt) Kaya Bioaktif Peptida Sebagai Antimikroba. Jurnal Penelitian Pertanian
Terapan Vol. 14 (3) : 158 – 166.
Nizori Addion, dkk., 2013. Pembuatan Soyghurt Simbiotik Sebagai Makanan Fungsional
dengan Penambahan Kultur Campuran. J.Tek. Industri Pertanian. Vol. 18 (1), 28 – 33.
Purwati Henny, dkk., 2008. Pengaruh Waktu Simpan Terhadap Kualitas Soyghurt dengan
Penambahan Susu Bubuk. Widya Teknik Vol 7, No. 2 : 134 – 143.
Poetjadi Anna, 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press),
Jakarta.
Winarno, F.G., 1988. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.
ABSTRAK
Pakan merupakan kebutuhan pokok dalam usaha pemeliharaan ternak itik. Biaya untuk
pakan menempati presentase terbesar dibandingkan dengan biaya lainnya. Untuk menekan
biaya pakan itik yang tinggi maka dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan pakan lokal
yang selama ini belum dilakukan secara optimal. Tujuan kajian ini adalah: menemukan
teknologi pakan konsentrat dengan memanfaatkan Indigofera Sp sebagai sumber protein
berbasis leguminosa lokal. Kajian ini dilaksanakan di TTP Bone Desa sama elo pajeko,
Kecamatan Barebbo, Kabupaten Bone pada Bulan Januari hingga Desember 2017. Kegiatan
ini menggunakan 160 ekor itik yang di tempatkan dalam kandang kelompok, masing-masing
kelompok terdiri dari 40 ekor. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
dengan 4 perlakuan dan 10 ulangan setiap ulangan terdiri dari 4 ekor itik. Adapun perlakuan
pakan sebagai berikut: P0: tanpa daun indigofera (kontrol); P1: daun indigofera 5%; P2:
daun Indigofera 10% dan P3: daun Indigofera 15%. Dari hasil penelitian tampak bahwa
penggunaan tepung indigofera sebesar 10% masih baik pengaruhnya terhadap produksi
telur, berat telur dan konversi pakan.
Kata Kunci: Itik, Indigofera, Pakan
Pendahuluan
Sulawesi Selatan sebagai salah satu lumbung pangan terbesar di Kawasan Timur
Indonesia dengan luas arel persawahan 952.048 ha dengan produksi 4.916.911 ton serta
produktivitas rata-rata 5,16 ton/ha. Sementara produksi Kedelai Sulawesi Selatan pada tahun
2014 sebanyak 45,69 ribu ton biji kering, yang diperoleh dari luas panen 30,94 ribu hektar
dan tingkat produktivitas 14,77 kuintal per hektar (BPS, 2014). Luas areal penanaman
tersebut memiliki potensi berupa limbah pertanian berupa jerami, dedak dan limbah benih
sortiran kedelai. Dedak, sortiran kedelai adalah limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ternak unggas, dan sebagai bahan campuran konsentrat. Bahan baku utama pakan itik
ditingkat petani di penuhi dari limbah pertanian seperti dedak, tumpi jagung dan kedelai
sortiran, sedangkan sumber protein berasal dari tepung ikan, tepung darah (limbah RPH)
yang harganya masih sangat mahal sehingga perlu dicari sumber protein alternatif lainnya.
Salah satu leguminosa yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber
protein adalah daun Indigofera. Indigofera secara agronomis mudah untuk dikembangkan
secara generatif dan memiliki kemampuan produksi hijauan yang tinggi serta regrowing
Metode
Kegiatan ini menggunakan itik yang sudah berproduksi sebanyak 160 ekor yang di
tempatkan dalam kandang kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 40 ekor.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 10
ulangan setiap ulangan terdiri dari 4 ekor itik. Pakan perlakuan disusun berdasarkan
rekomendasi NRC (1994) Adapun perlakuannya sebagai berikut:
P0: Pemberian formula pakan konsentrat tanpa tambahan daun Indigofera (kontrol)
P1: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 5% daun Indigofera
P2: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 10% daun Indigofera
P3: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 15% daun Indigofera
Ket: P0: Pemberian formula pakan konsentrat tanpa tambahan daun Indigofera (kontrol)
P1: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 5% daun Indigofera
P2: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 10% daun Indigofera
P3: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 15% daun Indigofera
Parameter yang diamati adalah konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, dan
konversi pakan. Data yang diperoleh akan dianalisis ANOVA, jika berbeda nyata dilakukan
uji lanjut Duncan (Stell dan Torrie, 1980).
Produksi Telur
Produksi telur merupakan jumlah telur yang dihasilkan selama periode produksi yang
dapat dinyatakan dalam satuan jumlah (butir atau persen). Telur yang dihasilkan oleh
masing-masing kelompok perlakuan itik dicatat setiap hari dan dihitung berdasarkan rata-
rata produksi telur harian. Kemampuan produksi telur itik dapat dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada
produktivitas itik adalah ransum. Konsumsi kandungan energi dan protein ransum juga
berperan dalam produksi telur, karena pembentukan telur dihasilkan dari besarnya konsumsi
energi dan protein ransum (Brand et al., 2003). Rata-rata produksi telur itik penelitian
disajikan pada Tabel 2.
Pada tabel 2, menunjukkan bahwa produksi telur pada perlakuan P2 paling tinggi 316
butir sedangkan terendah sebanyak 284 butir yang dihasilkan dari perlakuan yang tanpa
mendapatkan tepung Indigofera dalam ransum. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa perlakuan pakan tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap produksi telur.
Pemberian tepung Indigofera dalam pakan itik memberikan pengaruh yang baik, oleh karena
ternak mampu berproduksi lebih baik dibandingkan dengan itik yang pakannya tidak
mengandung Indigofera.
Rendahnya produksi telur kemungkinan besar disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi dan protein yang dibutuhkan untuk pembentukkan telur pada ketiga perlakuan
tersebut. Padahal asupan energi dan protein sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan
hidup pokok, aktivitas harian dan produksi telur seekor itik. Brand et al. (2003), menyatakan
bahwa pembentukan telur dipengaruhi oleh besarnya konsumsi energi dan protein ransum.
Bila ransum mengandung energi dan protein dalam jumlah terbatas maka unggas
berkompensasi mengurangi ukuran telur dan jumlah telur dihasilkan, atau memperpanjang
interval bertelur. Hal ini Kemungkinan erat hubungannya dengan yang dikatakan
Konversi Ransum
Konversi ransum merupakan ukuran efisiensi dalam penggunaan ransum. Semakin
rendah nilai konversi ransum semakin efisien penggunaan dari ransum tersebut, karena
semakin sedikit jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan telur dalam jangka
waktu tertentu (Subekti, 2007).
Nilai konversi ransum pada Tabel 2, dihitung berdasarkan satuan butir telur yang
dihasilkan, sehingga dapat dihitung jumlah ransum yang dibutuhkan oleh itik untuk
menghasilkan satu butir telur. Rataan konversi ransum per butir telur selama penelitian
berkisar antara 45,3 - 53,8 %. Penggunaan indigofera dalam ransum hingga 15 % tidak
meningkatkan angka konversi ransum dibandingkan ransum kontrol. Konversi ransum yang
tinggi diperoleh dari perlakuan P0 yaitu 53,8 %, hal ini disebabkan produksi telur yang
rendah bila dibandingkan dengan perlakuan yang mendapatkan tambahan indigofera dalam
pakan. Berdasarkan perhitungan konversi ransum tersebut diatas dapat dilihat bahwa nilai
konversi ransum penelitian masih sangat tinggi. Hal ini terjadi karena produktivitas itik
masih rendah. Tingginya nilai konversi ransum ini menyebabkan penggunaan ransum
kurang efisien karena besarnya konsumsi ransum tidak disertai dengan tingginya produksi
telur itik.
Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Pakan, Produksi Telur dan Konversi Pakan
Konsumsi pakan Produksi Telur Konversi Pakan Berat
Perlakuan Telur
(g/ekor/hari) (butir) terhadap jumlah telur
(g/butir)
P0 153 284 53,8 56,2
P1 149 290 51,4 57,6
P2 143 316 45,3 58,5
P3 146 308 47,4 59,3
Sumber: data primer yang diolah (2017)
Ket: P0: Pemberian formula pakan konsentrat tanpa tambahan daun Indigofera (kontrol)
P1: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 5% daun Indigofera
P2: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 10% daun Indigofera
P3: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 15% daun Indigofera
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung Indigofera sebesar 15%
sebagai sumber protein menurunkan konsumsi pakan, produksi telur, berat telur dan
menaikkan konversi pakan. Penggunaan tepung Indigofera sebesar 10% masih baik
pengaruhnya terhadap produksi telur, berat telur dan konversi pakan.
Daftar Pustaka
Abdullah, L. 2013. Prospektif Agronomi dan Ekofisiologi Indigofera Zollingeriana sebagai
Tanaman Penghasil Hijauan Pakan Berkualitas Tinggi. Pastura Vol. 3 (2): 79 – 83.
Akbarillah Kususiyah, dan Hidayat. 2010. Pengaruh Penggunaan Daun Indigofera Segar
Sebagai Suplemen Pakan Terhadap Produksi dan Warna Yolk Itik. Jurnal Sain
Peternakan Indonesia. Vol. 5 (1): 27-33.
Brand, Z., T. S. Brand and C. R. Brown. 2003. The effect of dietary and protein levels on
production in breeding female ostrich. British Poultry Sci. Vol. 44 (4): 589-606.
Eun JS, KA Beauchemin, SH Hong, and MW Bauer. 2006. Exogenous enzymes added to
untreated or ammoniated rice straw: Effect on in vitro fermentation characteristic and
degradability. J.Anim. Sci. and Tech. Vol. 131: 86‐101.
Hardjosworo, P. S., A.R. Setioko, P .P. KetareN, L.H. Prasetyo, A.P. Sinurat dan Rukmiasih.
2002. Perkembangan teknologi peternakan unggas air di Indonesia. Pros Lokakarya
Unggas Air. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor,
Bogor dan Balai Penelitian Ternak, Ciawi. hlm. 22 - 41.
National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition.
Washington DC (US): National Academy Press.
Subekti, S. 2007. Komponen sterol dalam ekstrak daun katuk (Sauropus androgynou L.
Merr) dan hubungannya dengan sistem reproduksi puyuh. Disertasi. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics Second Edition. New
York (US): McGraw-Hill.
ABSTRAK
Ayam broiler merupakan salah satu sumber daging yang banyak diminati oleh masyarakat.
Total produksi daging ayam broiler telah memenuhi 41,05% dari total kebutuhan masyarakat
Indonesia akan daging. Peningkatan konsumsi dan permintaan masyarakat akan daging
ayam broiler merupakan peluang bagi usaha peternakan ayam broiler. Namun kendala utama
budidaya ayam broiler adalah biaya pakan yang tinggi yakni mencapai 60-70% dari total
biaya produksi. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Unggas,
Fakultas Peternakan, IPB. Materi yang digunakan adalah ayam broiler strain Cobb sebanyak
25 ekor yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand dengan merk dagang CP-707 yang
tidak dibedakan jenis kelaminnya (Straight run atau unsex). Dengan rata-rata bobot badan
awal 47,728 g. Kandang yang digunakan adalah kandang koloni semi tertutup sebanyak 6
buah dengan ukuran 1 x 1 m. Pakan yang digunakan yaitu pakan broiler starter, finisher dan
gaplek. Pakan starter digunakan pada umur 0-1 minggu, sedangkan pakan finisher dari 2-6
minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan subsitusi tepung
gaplek sampai level 30% menyebabkan penurunan tingkat konsumsi, pertambahan bobot
badan dan konversi ransum dibandingkan kontrol.
Kata Kunci: Ayam Broiler, Tepung Gaplek, Pakan
Pendahuluan
Permintaan produk unggas meningkat diseluruh wilayah yang mengikuti pertumbuhan
populasi manusia. Produk unggas komersial yang sangat popular dimasyarakat adalah ayam
broiler. Ayam broiler merupakan ternak unggas yang didesain untuk menghasilkan daging
karkas dalam waktu yang singkat. Pertumbuhan ayam broiler lebih cepat dibandingkan
dengan ayam kampung. Dengan perbedaan tersebut, maka dibutuhkan kebutuhan pakan
yang berbeda pula. Pertumbuhan ayam broiler mencakup beberapa periode yaitu starter,
grower, dan finisher. Setiap periode memiliki kebutuhan asupan nutrien yang berbeda.
Periode starter dan grower membutuhkan asupan nutrien protein yang lebih tinggi
dibandingkan pada periode finisher. Pakan unggas untuk periode finisher memiliki
kandungan energi yang tinggi dan protein lebih rendah dibanding yang terkandung pada
pakan starter dan grower. Apabila pemberian pakan tidak sesuai kebutuhan, produktivitas
dari ternak tidak dapat mencapai optimal.
Pada umumnya sumber energi yang digunakan untuk ternak unggas berasal dari
jagung. Permintaan jagung sebagai pakan unggas sangat tinggi mengingat jagung
Metode
Persiapan Kandang
Sebelum pemeliharaan dilakukan maka kandang dibersihkan, diberi desinfektan
kemudian diberi air kapur. Setelah kapur kering, dibuat kandang koloni dengan ukuran luas
setiap petak kandang1 x 1 m sebanyak 6 buah. Kandang koloni kemudian diberi sekam
sampai menutup lantai. Kemudian diberi lapisan koran dan brooder serta bohlam untuk
menjaga kehangatan pada ayam broiler fase starter. Pada setiap petak diberi tempat pakan
dan tempat minum.
Pembuatan pakan
Pakan yang digunakan adalah pakan komersil yang diproduksi oleh PT. Sinta Prima
Feedmill. Sedangkan gaplek diperoleh dari distributor bahan pakan. Pencampuran bahan
pakan dilakukan setiap 5 hari (1 minggu pemeliharaan) untuk menjamin ketersediaan dan
kualitas pakan yang dibuat.
Metode
Pemeliharaan ayam broiler dilakukan selama 30 hari. Pemberian pakan dilakukan
setiap pagi dan sore hari. Air minum diberikan ad libitum dan diganti setiap pagi dan sore
hari. Memasuki fase finisher atau mulai hari ke-16 brooder dan koran diangkat kemudian
ditambahkan sekam. Pada fase ini bohlam sudah diangkat tinggi untuk menghindari heat
strees dan dipasang kipas angin selama 24 jam untuk menjaga suhu dan sirkulasi udara.
Parameter yang diamati meliputi: konsumsi pakan, Pertambahan bobot badan, dan konversi
pakan.
Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum adalah jumlah yang dikonsumsi oleh ternak dalam jangka waktu
tertentu. Konsumsi ransum terus meningkat seiring dengan pertambahan kebutuhan zat-zat
nutrisi oleh kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Menurut Anggorodi (1985) bahwa
tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya jumlah ransum yang dikonsumsi.
Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Pakan selama 30 Hari pemeliharaan (per ekor per minggu)
Rata-rata Konsumsi Pakan (g/ekor/mg)
Minggu
Perlakuan Kontrol Perlakuan Gaplek
1 23,4 20,2
2 47,0 30,7
3 76,0 78,9
4 140,7 73,7
5 121,7 106,9
6 131,0 104,3
Konsumsi/ekor/hari
160,0
140,0
120,0
g/ekor/hari
100,0
80,0
Kontrol
60,0
Gaplek
40,0
20,0
0,0
1 2 3 4 5 6
Minggu ke
100,00
g/ekor/hari
50,00 Kontrol
Gaplek
0,00
1 2 3 4 5 6
Minggu ke
Konversi Ransum
Konversi ransum adalah perbandingan jumlah konsumsi ransum pada satu minggu
dengan penambahan bobot badan yang dicapai pada minggu itu, bila rasio kecil berarti
pertambahan bobot badan ayam memuaskan atau ayam makan dengan efisien. Konversi
ransum ayam broiler yang diperlihara selama 30 hari disajikan pada Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa tingkat konsumsi ransum, bobot badan dan
konversi ransum ayam dengan perlakuan kontrol hampir mendekati nilai standar performan
ayam broiler AA CP-707. Hal ini mengindikasikan bahwa performan ayam DOC yang
dipelihara dengan manajemen pakan dan pemeliharaan yang bagus menghasilkan
pertumbuhan dan efektifitas penggunaan pakan menjadi daging juga optimal.
7,0
6,0
5,0
FCR
4,0 Kontrol
3,0 Gaplek
2,0
1,0
0,0
1 2 3 4 5 6
Minggu ke-
Gambar 3. Nilai Konversi Ransum Ayam Broiler yang diperlihara selama 30 Hari
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan subsitusi tepung
gaplek sampai level 30% menyebabkan penurunan tingkat konsumsi, pertambahan bobot
badan dan konversi ransum dibandingkan kontrol.
Daftar Pustaka
Anggorodi, R. 1985, Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.
Anthong, V.P., 2009. Utilization of low-grade cassava meal (gari) in the diets of egg type
chicks (0–8 weeks), Pakistan Journal of Nutrition, 8(1), 39–41.
Maynard, L. A. 1984. Animal Nutrition, 7th Ed, Mc, Grow Hill, Publishing Co. Ltd., New
Delhi.
Sarwono, B., 1996. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya, Jakarta
Sumangkut dan Suhadi. 1978. Penggunaan Gaplek vs Onggok Dalam Makanan Penguat
Yang Mengandung Urea Pada Sapi Perah Muda. IPB. Bogor.
Suprijatna, E. Umiyati, A. Ruhyat, K. 2006. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Tewe, O.O., Bokanga, M., Dixon, A.G.O. and Larbi, A., 2002. Strategies for cost effective
cassava plant-based feeds for livestock and fish production in Africa. Paper presented
at the regional workshop on improving the cassava sub-sector, 2002, Nairobi, Kenya.
Wahju, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Kedua. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan IV. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Yustiwira. 1996. Pengaruh Imbangan Energi – protein dalam Ransum dan Strain yang
Berbeda terhadap Gala Tumbuh Broiler di Dataran Rendah. Skripsi Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian USU, Medan.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ukuran tubuh dan pertambahan ukuran tubuh
Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional pada ketinggian tempat yang berbeda.
Penelitian ini penting sebab Kambing Kacang merupakan kambing lokal asli Indonesia yang
telah lama berperan dalam penyediaan daging sebagai sumber protein hewani nasional untuk
mendukung ketahanan pangan. Ukuran tubuh sangat penting diketahui sebab berhubungan
dengan bobot hidup dan bobot karkas. Pengumpulan data telah dilakukan dari bulan
September-November 2017 di Kabupaten Bone Bolango. Umur kambing yang diamati 9-12
bulan (Io) jenis kelamin jantan dan betina. Total sampel pengamatan 60 ekor, masing-masing
30 ekor berasal dari dataran sedang dan 30 ekor berasal dari dataran rendah. Data diperoleh
dengan melakukan pengukuran setiap 2 minggu sebanyak 6 kali (selama 12 minggu).
Berdasarkan hasil Uji-t tidak berpasangan, ukuran tubuh kambing kacang umur 9-12 bulan
yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi
dengan di dataran rendah. Perbandingan rerata ukuran tubuh awal dan akhir penimbangan
antara dataran sedang : dataran rendah adalah lingkar dada 55,6±0,84 dan 58,5±0,85 :
54,9±0,86 dan 57,63±1,03 cm, lebar dada 10,68±0,76 dan 13,22±0,78 : 10,03±0,81 dan
12,67±0,88 cm, dalam dada 19,8±0,88 dan 22,6±0,89 : 19,2±1,00 dan 22,13±0,93 cm,
panjang badan 44,8±0,75 dan 47,8±0,65 : 44,1±0,80 dan 47,2±0,67 cm, tinggi pundak
46,9±0,79 dan 50,0±0,69 : 46,4±0,91 dan 49,5±0,89 cm, tinggi punggung 48,0±0,77 dan
51,1±0,72 : 47,4±0,82 dan 50,4±0,75 cm. Pertambahan ukuran tubuh harian Kambing
Kacang antara dataran sedang : rendah adalah lingkar dada 0,043 : 0,039 cm/hari, lebar dada
0,037 : 0,036 cm/hari, dalam dada 0,041: 0,039 cm/hari, panjang badan 0,043 : 0,042
cm/hari, tinggi pundak 0,045 : 0,044 cm/hari, tinggi punggung 0,044 : 0,042 cm/hari.
ABSTRACT
This study aims to determine the size of the body and the increase in body size of kacang
goat that are kept traditionally at different altitudes. This research is important because the
kacang goat is a native indigenous Indonesian goat that has long played a role in the
provision of meat as a source of national animal protein to support food security. Body size
is very important because it is associated with the body weight and carcass weight. Data
collection has been conducted from September-November 2017 in Bone Bolango District.
Age of goats observed 9-12 months (Io) of male and female sex. Total sample of observation
60, each 30 come from medium plain and 30 tail come from lowland. The data obtained by
measuring every 2 weeks as much as 6 times, for 12 weeks. Based on the result of unpaired
T-Test, body size of 9-12 month old kacang goat kept traditionally on plains is different from
in lowland (P<0,05). Comparison of the mean body size of the initial & final weighing
between the medium plains: the lowlands are chest circumference 55,6±0.84 & 58,5±0.85 :
54,9±0.86 & 57,63±1.03 cm, chest width 10,68±0.76 & 13,22±0.78 : 10,03±0.81 &
12,67±0.88 cm, in chest 19,8±0.88 & 22,6±0.89 : 19, 2±1.00 & 22.1±0.93 cm, body length
Pendahuluan
Kambing kacang merupakan ternak yang cukup digemari oleh beberapa kalangan
masyarakat bahkan dijadikan menu khas dalam setiap acara ritual keagamaan. Sebagian
besar skala usahanya masih kecil-kecilan dengan sistem pemeliharaan dan
perkembangbiakannya secara tradisional. Kambing Kacang di beberapa daerah di Indonesia
telah beradaptasi terhadap lingkungan setempat dan sering dikawinsilangkan dengan bangsa
kambing lainnya sehingga membentuk karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh ternak
tersebut.
Kambing Kacang relatif mudah dipelihara, cepat berkembang biak, dan tidak
memerlukan lahan yang luas untuk pemeliharaanya, serta relatif tahan terhadap penyakit dan
parasit lokal. Ternak kambing disamping memberikan manfaat utama untuk menghasilkan
daging, juga penghasil sampingan berupa kulit, air susu, dan feses.
Sistem pemeliharan ternak Kambing Kacang di Gorontalo khususnya di Kabupaten
Bone Bolango sebagian besar masih tradisional, yaitu siang dilepas dan dibiarkan mencari
pakan sendiri dan malam hari baru dikandangkan. Tingkat penyebaran kambing ini hampir
merata di seluruh wilayah Kabupaten Bone Bolango, dari dataran tinggi, sedang, maupun
dataran rendah. Kondisi geografis di Kabupaten Bone Bolango yang memiliki ketinggian
tempat yang bervariasi diduga telah menyebabkan produktivitas dan ukuran tubuh Kambing
Kacang berbeda.
Ukuran tubuh merupakan faktor yang erat hubungannya dengan penampilan seekor
ternak khususnya terhadap bobot badan maupun bobot karkas. Berdasarkan hal tersebut
maka telah dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada perbedaan kuran tubuh ternak
Kambing Kacang yang di pelihara pada ketinggian yang berbeda.
Uji Statistik Perbedaan Ukuran Tubuh antara Dataran Sedang dan Dataran Rendah
Hasil analisis uji-t tidak berpasangan pada Tabel 2 diperoleh seluruh ukuran tubuh
Kambing Kacang antara dataran sedang dan dataran rendah berbeda secara statistik (nilai siq
< 0.05). Perbedaan ukuran tubuh ini semakin menegaskan bahwa ketinggian tempat
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ukuran-ukuran tubuh. Perbedaan ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor makanan yang dikonsumsi, suhu
lingkungan, dan sistem pemeliharaan.
Hasil pengamatan di lokasi penelitian, hijauan makanan ternak yang banyak
ditemukan pada kedua lokasi penelitian berbeda. Vegetasi tanaman hijauan makanan ternak
yang dominan pada dataran sedang adalah pohon gamal, kayu jawa, lamtoro dan pada
dataran rendah adalah kayu jawa, rumput griting, dan rumput teki. Nilai nutrisi protein yang
Perbedaan vegetasi tanaman yang tumbuh di kedua lokasi disebabkan lahan di dataran
rendah untuk tumbuhnya hijauan lebih sempit karena berada dipinggiran pantai dan sebagian
sudah diigunakan untuk pekarangan rumah. Perbedaan hijauan makanan ternak yang
tersedia beserta kandungan nutrisi yang dimilikinya menyebabkan jenis pakan yang
dikonsumsi kambing kacang di kedua lokasi penelitian juga berbeda sehingga hal ini diduga
juga mempengaruhi ukuran tubuh dan pertambahan ukuran tubuh perhari. Dataran rendah
yang menjadi lokasi penelitian ini berada pada pesisir pantai sehingga berpengaruh terhadap
performans makanan, yaitu rasa makanan yang lebih asin. Perbedaan citarasa makanan juga
akan mempengaruhi selera makan kambing, dimana ternak akan lebih menyukai pakan yang
memiliki rasa manis dan hambar dari pada asin dan pahit.
Sistem pemeliharaan ternak Kambing Kacang di lokasi penelitian secara umum adalah
tradisional semi intensif, yaitu pada pagi hari sampai sore hari kambing dilepas diluar
kandang untuk mencari pakan sendiri dan malam hari dikandangkan. Beberapa diantaranya
bahkan tidak memiliki kandang sehingga ternak kambing dilepas secara terus menerus.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya persaingan untuk mendapatkan pakan antar ternak
kambing, terutama di dataran rendah yang cukup minim sumber hijauan pakan. Tingkat
persaingan pada kondisi sumber pakan yang berbeda diduga telah menimbulkan perbedaan
pertambahan ukuran tubuh harian pada lokasi penelitian.
Perubahan ukuran tubuh ternak Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional
pada dataran sedang dan dataran rendah, selain dipengaruhi oleh jenis pemeliharaan dan
makanan juga dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang ada dikedua tempat. Hasil
pengukuran yang telah dilakukan Nirwan (2013) menghasilkan rata-rata suhu dataran sedang
di Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango yang berdekatan dengan lokasi
penelitian adalah 24,04ºC dan dataran rendah adalah 31,96ºC. Suhu lingkungan yang lebih
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penlitian disimpulkan ukuran tubuh ternak Kambing Kacang umur
9-12 bulan yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda nyata (P<0,05)
lebih tinggi dengan di dataran rendah. Perbandingan rerata ukuran tubuh awal & akhir
penimbangan antara dataran sedang : dataran rendah adalah lingkar dada 55,6 dan 58,5 : 54,9
dan 57,63 cm, lebar dada 10,68 dan 13,22 : 10,03 dan 12,67 cm, dalam dada 19,8 dan 22,6 :
19,2 dan 22,1 cm, panjang badan 44,8 dan 47,8 : 44,1 dan 47,2 cm, tinggi pundak 46,9 dan
50,0 : 46,4 dan 49,5 cm, tinggi punggung 48,0 dan 51,1 : 47,4 dan 50,4 cm. Pertambahan
ukuran tubuh harian Kambing Kacang antara dataran sedang : rendah adalah lingkar dada
0.043 : 0.039 cm/hari, lebar dada 0.037 : 0.036 cm/hari, dalam dada 0.041 : 0.039 cm/hari,
panjang badan 0.043 : 0.042 cm/hari, tinggi pundak 0.045 : 0.044 cm/hari, tinggi punggung
0.044 : 0.042 cm/hari.
Daftar Pustaka
Bakrie, B. 1996. Feeding management of ruminant livestock in Indonesia. In: Ruminant
nutrion and production in the tropics and subtropics. Australian Centre for
International Agricultural Research. Canberra. pp. 119-130.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Edisi kelima. Diterjemahkan oleh Aminuddin Parakkasi.
UI-Press. Jakarta.
Nuryanto, B., A. Priyatmojo, dan B. Hadisutrisno. 2014. Pengaruh Tinggi Tempat dan Tipe
Tanaman Padi terhadap Keparahan Penyakit Hawar Pelepah. Jurnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol. 33 No. 1.
ABSTRAK
Kambing Kacang merupakan kambing lokal asli Indonesia yang berkontribusi dalam
penyediaan daging nasional dan mendukung ketahanan pangan nasional. Informasi bobot
badan Kambing Kacang sangat penting sebab menggambarkan seberapa banyak karkas yang
dimiliki sebelum dipotong. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bobot badan dan
pertambahan bobot badan Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional pada
ketinggian tempat yang berbeda. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September sampai
dengan November 2017 di Kabupaten Bone Bolango. Kambing Kacang yang digunakan
yaitu umur 9-12 bulan (Io) jenis kelamin jantan dan betina. Total kambing untuk sampel
pengamatan 60 ekor, masing-masing 30 ekor berasal dari dataran sedang dan 30 ekor berasal
dari dataran rendah. Bobot badan diperoleh dengan melakukan penimbangan setiap 2
minggu sebanyak 6 kali (selama 12 minggu) pada pagi hari sebelum kambing merumput di
lapangan. Berdasarkan hasil Uji-t tidak berpasangan diperoleh bobot badan Kambing
Kacang umur 9-12 bulan yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda
sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan di dataran rendah. Rerata bobot badan awal
penimbangan Kambing Kacang pada dataran sedang adalah 14,70 kg/ekor dan bobot akhir
penimbangan adalah 18,70 kg/ekor dengan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,06
kg/ekor/hari. Rerata bobot badan awal penimbangan Kambing Kacang pada dataran rendah
adalah 14,20 kg/ekor dan bobot akhir penimbangan adalah 16,79 kg/ekor dengan
pertambahan bobot badan harian sebesar 0,04 kg/ekor/hari.
Kata Kunci: Kambing Kacang, Bobot Badan, Ketinggian Tempat
ABSTRACT
Kacang goat is a native goat of Indonesia that has a contribution in national meet supply
and support national food security. Population and puryti of Kacang goats are very
important to be preserved because Kacang goats become contributors of animal protein,
particulary of lower class society. Information of Kacang goats’ body weight is crucial
because it describes how many carcasses they have before being slaughtered. This research
is aimed to investigate body weight, and weight gain of kacang goat farmed traditionally in
different altitudes at Sub-district of Kabila Bone. The research data were collected from
September to November 2017 at Bone Bolango district. The criteria of goats that become
the research samples are those aged 9-12 monts (Io), sexed both male and female. Total
sample are 60 goats, 30 from plateau and 30 from lowland. The body weight information is
obtained by weighing every 2 weeks for 6 weeks in the morning before goats graze in the
fieled. Based on unpaired t-tes, it obtains body weight of Kacang goats aged 9 to 12 monts
farmed traditionally at the plateau is different from lowland (sig value for <0,01). Average
initial body weight is 18.70 kg/goat with the addition of daily body weight is 0.06
kg/goat/day. Basides, the average initial body weight of Kacang goats in lowland is 14.20
Pendahuluan
Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak yang cukup digemari masyarakat,
namun skala usahanya masih bersifat usaha kecil dimana sistem pemeliharaan dan
perkembangbiakannya masih secara tradisional. Kambing Kacang yang ada di Kabupaten
Bone Bolango baik yang berada di daerah pegunungan maupun pesisir telah berkembang
puluhan generasi dan telah beradaptasi tinggi terhadap lingkungan setempat.
Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia yang mempunyai bobot hidup
lebih kecil dibanding bangsa kambing lainnya. Kambing Kacang reatif lebih mudah
dipelihara, cepat berkembang biak, dan tidak memerlukan lahan yang luas dalam
pemeliharaanya. Ternak kambing ini disamping memberikan manfaat untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi daging, juga merupakan ternak penghasil kulit, susu, dan feses.
Kambing Kacang memiliki keunggulan sifatnya lincah, mudah beradaptasi dengan
lingkungan setempat dan angka reproduksinya cukup baik. Kambing Kacang sangat cepat
berkembang biak karena pada umur 15-18 bulan sudah bisa menghasilkan keturunan.
Jenis kambing tersebut cocok untuk penghasil daging karena bersifat prolifik
(melahirkan anak lebih dari satu ekor). Terkadang dalam satu kelahiran menghasilkan
keturunan kembar tiga setiap induknya. Kambing Kacang berkembang biak sepanjang tahun
dan dapat hidup dengan pemeliharaan yang seadanya, bahkan hampir tidak memerlukan
pemeliharaan sama sekali. Sebagai penghasil daging, ternak ini digunakan sebagai
penyediaan daging alternatif untuk memenuhi gizi masyarakat, terutama pada hari raya
qurban, aqikah, pesta perkawinan dan kebutuhan warung nasi/restoran, baik sebagai olahan
tradisional maupun semi modern.
Sistem pemeliharan ternak Kambing Kacang di Gorontalo khususnya di kabupaten
Bone Bolango sebagian besar masih bersifat tradisional yaitu siang dilepas dan dibiarkan
mencari pakan sendiri dan malam hari baru dikandangkan. Kambing Kacang tersebar
hampir merata di seluruh wilayah Kabupaten Bone Bolango, dari dataran rendah sampai
dataran rendah. Kondisi alam di Kabupaten Bone Bolango yang sebagian besar dataran
rendah dan dataran sedang menyebabkan terjadinya perbedaan produktivitas Kambing
Kacang di kedua tempat tersebut. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui
Metode
Lokasi penelitian ini adalah Desa Modelomo (dataran rendah) dan Desa Olele (dataran
sedang) Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango. Pengumpulan data dilakukan
pada bulan September sampai dengan November 2017. Kambing Kacang yang digunakan
yaitu umur 9-12 bulan (Io) jenis kelamin jantan dan betina. Total kambing untuk sampel
pengamatan 60 ekor, masing-masing 30 ekor berasal dari dataran sedang dan 30 ekor berasal
dari dataran rendah.
Bobot badan diperoleh dengan melakukan penimbangan setiap 2 minggu sebanyak 6
kali (selama 12 minggu) pada pagi hari sebelum kambing merumput di lapangan. Data bobot
badan yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dengan
menghitung nilai rata-rata, simpangan baku, dan koefisien variasi. Guna mengetahui
pengaruh ketinggian tempat terhadap perbedaan bobot badan dilakukan dengan Uji-t tidak
berpasangan.
20,00
15,00
10,00
kg
5,00
0,00
P1 P2 P 3 P 4 P5 P6
dataran sedang 14,70 15,43 16,4 16,61 17,26 18,7
dataran rendah 14,2 14,56 15,1 15,6 16,17 16,79
Gambar 1. Grafik bobot badan Kambing Kacang umur 9-12 bulan pada dataran sedang dan
dataran rendah.
Berdasarkan hasil penelitian rata-rata bobot badan ternak Kambing Kacang, yang
dipelihara secara tradisional pada dataran sedang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak
Kambing Kacang yang dipelihara pada dataran rendah sejak penimbangan minggu pertama
sampai minggu terakhir. Rata-rata bobot badan awal penimbangan pada dataran sedang
adalah 14,70 kg/ekor dan di akhir penimbangan adalah 18,70 kg/ekor, sedangkan rata-rata
bobot badan di awal penimbangan pada dataran rendah adalah 14,20 kg/ekor dan di akhir
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 239
penimbangan adalah 16,79 kg/ekor (Gambar 1). Semakin bertambah umur kambing maka
bobot badan akan semakin besar pula, hal ini disebabkan karena ukuran tulang dan jumlah
sel otot dalam tubuh juga semakin bertambah.
Tabel 1. Laju pertambahan bobot badan Kambing Kacang pada dataran sedang dan dataran
rendah
Laju pertambahan bobot badan
Ketinggian Tempat
(/2 minggu) kg (/hari) kg
Dataran Sedang 0,80 0,06
Dataran Rendah 0,52 0,04
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 1), diperoleh laju pertambahan bobot badan ternak
Kambing Kacang pada dataran sedang adalah 0,80 kg/2 minggu dan dataran rendah 0,52
kg/2 minggu. Garantjang (2004), melaporkan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan
(PBB) anak Kambing Kacang jantan sebesar 61,5 g/hari dan PBB anak kambing betina
sebesar 54,25 g/hari. Tingginya rata-rata pertambahan bobot badan anak kambing jantan
dibandingkan dengan anak kambing betina pada semua tingkatan umur induk disebabkan
karena jantan lebih lincah dalam memperoleh makanan dan air susu serta pengaruh hormon
androgen yang terdapat pada jantan. Bobot tubuh ternak senantiasa berbanding lurus dengan
tingkat konsumsi pakannya. Makin tinggi bobot tubuhnya, maka semakin tinggi pula tingkat
konsumsi terhadap pakan.
Menurut Sampurna dan Suatha (2010), pertumbuhan mempunyai tahap-tahap yang
cepat dan lambat, tahap cepat terjadi pada saat ternak belum dewasa kelamin dan tahap
lambat terjadi pada saat dewasa tubuh tercapai. Kambing mencapai dewasa kelamin pada
umur 6-10 bulan. Hormon testosteron yang mulai diproduksi setelah dewasa kelamin
mempengaruhi laju pertambahan bobot badan (Soeparno, 2009).
Uji Beda Antara Bobot Badan Ternak Kambing Kacang Dataran Sedang Dan Dataran
Rendah
Pengukuran pertambahan bobot badan ternak Kambing Kacang merupakan sesuatu
yang sangat penting dilakukan. Namun demikian, sering kali peternak kambing tidak
mengetahui dengan pasti perkembangan tubuh ternak kambingnya dari awal kelahiran, tahap
pemeliharaan, hingga saat penjualan. Hal ini menyebabkan peternak tidak mengetahui
dengan pasti produktifitas dan keuntungan nominal yang diperoleh.
Berdasarkan hasil analisis uji-t tidak berpasangan diperoleh hasil bobot badan ternak
Kambing Kacang yang dipelihara pada dataran sedang berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih
tinggi dengan di dataran rendah sejak penimbangan awal hingga penimbangan akhir (Tabel
Hasil pengamatan di lapangan, jenis hijauan pakan yang banyak ditemukan pada
dataran sedang adalah pohon gamal, kayu jawa, dan lamtoro, sedangkan pada dataran rendah
adalah kayu jawa, rumput griting dan rumput teki. Kandungan nutrisi yang dimiliki vegetasi
tanaman di dataran sedang dan di dataran rendah berbeda, dimana pada dataran sedang
kandungan proteinnya lebih tinggi dari pada di dataran rendah (Tabel 3). Protein merupakan
salah satu komponen gizi yang diperlukan oleh ternak untuk pertumbuhan. Kekurangan
protein dalam pakan ternak dapat berpengaruh negatif terhadap ternak, baik pertumbuhan
maupun produksinya (McDonald et al., 1988). Faktor pakan sangat penting dalam
pemenuhan kebutuhan pertumbuhan, sedangkan kekurangan pakan merupakan kendala
besar dalam proses pertumbuhan (Syawal et al., 2013).
Tabel 3. Kandungan protein hijauan ternak Kambing Kacang pada dataran sedang dan
dataran rendah.
No. Dataran Jenis Hijauan Kandungan Protein
Kayu Jawa 18,46%
1. Sedang Lamtoro 29,82%
Gamal 22,70%
Kayu Jawa 18,46%
2. Rendah Rumput Griting 7,00%
Rumput Teki 11,90%
Sumber: Bakrie (1996)
Selain faktor nutrisi, ketersediaan jumlah hijauan pakan antara kedua dataran tersebut
juga berbeda, dimana jumlah pakan di dataran sedang lebih banyak dibandingkan dengan
dataran rendah. Hal ini disebabkan oleh lahan di dataran rendah untuk hijauan pakan makin
sempit karena lingkungannya berada dipinggiran pantai dan pekarangan rumah masyarakat.
Ternak Kambing Kacang hanya mampu mengkonsumsi hijauan yang hidup disekitar tempat
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa bobot badan ternak Kambing
Kacang umur 9-12 bulan yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda
sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan di dataran rendah. Pertambahan bobot badan
harian ternak Kambing Kacang pada dataran sedang adalah 0,06 kg/hari dan dataran rendah
adalah 0,04 kg/hari.
Daftar Pustaka
Bakrie, B. 1996. Feeding management of ruminant livestock in Indonesia. In: Ruminant
nutrion and production in the tropics and subtropics. Australian Centre for
International Agricultural Research. Canberra. pp. 119-130.
Garantjang, S. 2004. Pertumbuhan anak kambing kacang pada berbagai umur induk yang
dipelihara secara tradisional. Jurnal Sains and Technology 4 (1): 40-45.
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke-5. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Syawal, S., B.P. Purwanto, dan I.G. Permana. 2013. Studi hubungan respon ukuran tubuh
dan pemberian pakan terhadap pertumbuhan sapi pedet dan dara. JITP 2 (3): 175-188.
Thalib, A. 2004. Uji efektivitas saponin buah Sapindus rarak sebagai inhibitor
metanogenesis secara in vitro pada sistem pencernaan rumen. JITV 9 (3): 164-171.
ABSTRAK
Spons merupakan hewan laut yang dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang bermanfaat
sebagai antibiotik, anti jamur, anti virus, anti kanker, anti inflamasi dan antioksidan. Oleh
sebab itu dilakukan pengembangan teknologi budidaya spons. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui laju pertumbuhan spons Haliclona sp pada kedalaman yang berbeda dengan
metode vertikal. Penelitian ini dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan yaitu; perlakuan A (kedalaman 1 meter), perlakuan
B (kedalaman 3 meter), perlakuan C (kedalaman 5 meter). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perlakuan C memiliki laju pertumbuhan tertinggi yaitu 2,97%; perlakuan B memiliki
laju pertumbuhan 2,83%; dan perlakuan A dengan laju pertumbuhan terendah yaitu 2,75%.
Panjang mutlak (Pm) tertinggi terdapat pada perlakuan C sebesar 24,81 cm, perlakuan B
dengan Panjang mutlak (Pm) 22,16 cm, dan perlakuan A dengan Panjang mutlak (Pm)
terendah yaitu 20,62 cm. Kondisi kualitas air selama penelitian menunjukkan suhu berkisar
antara 29ºC - 30ºC; salinitas 34-34 ppt; DO 5,15-5,35 ppm; pH 8-8,3; kecerahan 8 meter dan
kecepatan arus 2,60-5,37 cm/detik.
ABSTRACT
Sponges are marine organisms which known to be able to produce bioactive metabolite as
antibiotic, antifungal, antivirus, anticancer, antiinflammation, and antioxidant. Therefore,
further investigated agriculture technology of sponge. The aim of the research is to
determine growth rate of the sponge Haliclona sp in different depths by using vertical
method. This research using Completely Randomized design Method with three different
treatments and three time repetitions; treatment A (1 meter depth), treatment B (3 meters
depths), and treatment C (5 meters depths). The research result showed that treatment C
have a good growth rate of 2.97%: treatment B has growth rate of 2.83%; and treatment A
has the lowest growth rate of 2,75%. Absolute length 29°C-30°C; salinity 34-34 pt; DO
5.15-5.35 ppm; pH 8-8.3; brightness about 8 meters and flow velocity from 2.60-5.37 cm/sec.
Keyword: Growth of Sponge, Haliclona sp, Vertical Method
Pendahuluan
Salah satu biota laut yang banyak diteliti selain ikan ialah spons. Wilayah laut
Indonesia merupakan salah satu pusat penyebaran terbesar spons di dunia dan diperkirakan
terdapat sekitar 850 spesies yang hidup tersebar di wilayah ini (Hooper dan Van Soest,
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 245
2002). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa biota laut seperti spons dan biota laut
lainnya memiiki potensi yang sangat besar dalam menghasilkan senyawa - senyawa aktif
yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat (Ismet, 2007).
Penggunaan metode vertikal untuk budidaya spons merupakan tradisi yang sudah
cukup lama di Mediterania, Florida dan Kuba. Budidaya spons saat ini bertujuan untuk
memproduksi spons mandi. Namun, usaha pengembangan budidaya spons untuk sediaan
bahan bioaktif masih sangat jarang (Duckworth & Battershill, 2003; Hades et al., 2005; Page
et al., 2005).
Untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan spons di alam, maka diperlukan
berbagai upaya termasuk budidaya organisme ini (Koopmans et al., 2009). Budidaya spons
sudah berkembang dan terus meningkat semenjak penemuan bahan hayati laut dari spons
dimanfaatkan. Kebutuhan akan bahan hayati laut terus meningkat terutama disebabkan
perkembangan biofarmasi untuk mendapatkan obat baru yang dibutuhkan oleh manusia
(Page et al., 2005).
Budidaya terhadap biota laut khususnya spons harus tetap dilakukan untuk terus
menjaga keseimbangan ekosistem laut dan kelestarian biota laut lainnya. Berdasarkan hal
tersebut dilakukan penelitian dengan judul “Laju Pertumbuhan Spons (Haliclona sp) pada
Kedalaman Berbeda dengan Metode Vertikal di Perairan Pulau Dulowonu” yang nantinya
hasil dari penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi dan referensi untuk
mahasiswa, pengusaha atau instansi terkait dalam hal melaksanakan kegiatan budidaya
spons.
Metode
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Dulowonu Desa Tabulo Selatan Kecamatan
Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo (Gambar 1). Penentuan stasiun
pengamatan dilakukan dengan beberapa pertimbangan yaitu transportasi, kualitas dan
kuantitas perairan, ketersediaan bibit tidak jauh dari pengambilan bibit, dan daerah tersebut
memiliki kedalaman pada surut terendah yaitu 1 sampai 3 m.
Prosedur Penelitian
Bibit spons Haliclona sp berasal dari alam di Perairan Desa Tabulo Selatan,
Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Bibit spons yang sudah
disiapkan terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran-kotoran atau organisme penempel.
Selanjutnya dilakukan pemotongan spons di atas kapal dengan menggunakan pisau dan
dilakukan dalam wadah berisi air laut yang diberi aerasi. Selama proses pemotongan air laut
dalam wadah diganti beberapa kali. Spons dipotong dengan ukuran panjang yang sama
sebesar 3 cm. Untuk mengurangi stress selama pengangkutan dan pemotongan, maka spons
induk yang belum dipotong ditaruh di dalam keranjang tali yang dihanyutkan di samping
kapal.
Spons yang telah dipotong diambil lalu diletakkan pada tali nilon. Spons tidak
diikatkan pada tali namun tali ditusukkan di bagian tengah spons hingga tembus. Setiap
untaian terdapat 42 fragmen spons dengan jarak 10 cm. Kemudian untaian diletakkan pada
wadah lain yang diaerasi dan beberapa kali dilakukan pergantian air. Pengikatan spons pada
rak percobaan (jaring) dilakukan dalam air.
Pembuatan konstruksi budidaya diawali dengan menggunakan tali panjang yang
dibentangkan. Teknik budidaya spons dengan metode ini adalah menggunakan tali sesuai
kebutuhan banyaknya wadah yang digunakan untuk budidaya, kedua ujung tali diberi
A1 A2
A3
B2 B1 B3
1 meter
C C1 C3
3 meter
5 meter
Gambar 2. Tata letak wadah percobaan
Analisis Data
1. Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)
Laju pertumbuhan spesifik dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 2003):
ln 𝑃𝑡 − ln 𝑃𝑜
LPS = 𝑥 100%
t
Keterangan:
LPS : Laju pertumbuhan spesifik (cm)
Pt : Panjang spons rata-rata pada waktu akhir (cm)
P0 : Panjang spons rata-rata pada waktu awal (cm)
t : Lama penelitian (hari)
3. Analisis Ragam
Hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Menurut Hanafiyah (2014), rumus yang digunakan yaitu:
Yij = 𝜇+ ∝ 𝑖 + 𝜀𝑖𝑗
Keterangan:
Yij : Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
𝜇 : Rata-rata umum
∝ 𝑖 : Pengaruh perlakuan i
𝜀𝑖𝑗 : Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Keterangan:
BNT (α) : Uji Beda Nyata Terkecil Taraf (5%) atau (1%)
t (α) : Taraf Pengujian (5%) atau (1%)
db galat : Derajat Bebas Galat
KTG : Kuadrat Tengah Galat
r : Jumlah Ulangan
2,75
2,8
2,6
A B C
Perlakuan
Gambar 3. Laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp)
Perlakuan B memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik dari perlakuan A yaitu sebesar
2.83%. Hal ini diduga karena kualitas perairan pada kedalaman 3 meter cenderung tetap atau
tidak berubah-ubah. Selain itu cahaya matahari juga berpengaruh terhadap pertumbuhan
spons. Menurut pernyataan Suparno et al., (2009), bahwa cahaya matahari dalam bentuk
radiasi ultra violet (UV) adalah faktor pembatas bagi pertumbuhan spons di perairan
dangkal. Hal ini didukung oleh Yusnaini et al., (2013) dimana laju pertumbuhan spesifik
yang tertinggi dengan nilai 1,36% terdapat pada kedalaman jarak tanam 3 meter.
Perlakuan C dinyatakan sebagai kedalaman jarak tanam yang baik bila dibandingkan
dengan perlakuan A dan B. Sesuai pernyataan Suparno et al., (2009), bahwa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan spons pada kedalaman yang berbeda antara lain intensitas
cahaya matahari, kesediaan makanan dan kompetisi ruang. Sebagai hewan filter feeder yang
menetap, hidup spons sangat bergantung kepada makanan terutama bahan organik yang
berada disekitarnya. Di Great Barrier Reef, spons umumnya hidup pada kedalaman 10
meter. Selanjutnya dikemukakan oleh Wilkinson et al., (1999) bahwa sinar ultra violet
menjadi salah satu faktor pembatas distribusi spons yang dapat mengakibatkan stres.
Untuk mengetahui pengaruh kedalaman jarak tanam terhadap laju pertumbuhan
spesifik spons (Haliclona sp), maka dilakukan analisis sidik ragam Rancangan Acak
Lengkap. Hasil analisis ragam laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp) menunjukkan
bahwa kedalaman jarak tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap laju
pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp). Keputusan ini diambil berdasarkan
perbandingan antara nilai FHitung (35) lebih besar dari nilai FTabel pada taraf 5% (5,14) maupun
pada taraf 1% (10,92). Jika FHitung > FTabel taraf 5% atau 1% maka H1 diterima dan H0 ditolak.
Untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT
Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan mutlak spons Haliclona sp ditunjukkan pada Gambar 4. Pertumbuhan
mutlak terendah terdapat pada perlakuan A dengan nilai sebesar 20,62 cm. Perlakuan B
dengan pertumbuhan mutlak sebesar 22,16 cm, dan pertumbuhan mutlak perlakuan C yaitu
sebesar 24,81 cm. Hasil yang diperoleh dari keseluruhan perlakuan selama penelitian
menunjukkan peningkatan pertumbuhan mutlak yang berbanding lurus dengan peningkatan
kedalaman jarak tanam bibit spons, dimana pertumbuhan mutlak meningkat pada
peningkatan kedalaman jarak tanam.
Pertumbuhan Mutlak
40 22,16 24,81
20,62
Panjang (cm)
20
0
A B C
Perlakuan
Sesuai dengan penjelasan Pong-Masak et al., (2013) bahwa kedalaman jarak tanam
yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap nilai pertumbuhan mutlak.
Namun kedalaman jarak tanam yang lebih dalam tidak selalu menghasilkan pertumbuhan
mutlak yang lebih tinggi tergantung pada kondisi lingkungan dan kualitas perairan pada
lokasi penelitian. Sesuai dengan pernyataan Suparno et al., (2009) bahwa pada lingkungan
dan kualitas air yang berbeda akan menghasilkan respon pertumbuhan yang relatif berbeda.
Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, DO, pH, kecerahan air,
dan kecepatan arus yang diamati 5 kali selama 75 hari proses penelitian. Hasil pengukuran
kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pengamatan beberapa
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan kedalaman jarak
tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan spons (Haliclona sp) yang
dibudidayakan dengan metode vertikal. Perlakuan C dengan kedalaman jarak tanam 5 meter
memiliki laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan mutlak yang paling tinggi yaitu 2,97
% dan 24,81 meter.
Daftar Pustaka
Duckworth AR, Battershill CN. 2003. Developing Farming Structures for Productions of
Biologically Acive Sponge Metabolites. Aquaculture 217: 139 – 156.
Duckworth AR, Battershill CN. 2003. Sponge Aquaculture for the Production of
Biologically Active Sponge Metabolites. The Influence of Farming Protocols and
Environment. Aquaculture 221: 311 – 329.
Effendie, I. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta
Hades E. Sphigel M, Ilan M, 2005. Sea Ranching of the Marine Sponge Negombata
Magnifica (Demospongiae, Latruncullidae) as a First Step for Latrunculin B Mass
Production. Aquaculture 244: 159 – 169.
Hanafiah. 2014. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Hooper dan Van Soest. 2002. Systema Porifera: A Guide to the Classification of Sponges.
Kluwer Academic/Plenum Publishers. New York, (USA).
Ismet, M.S. 2007. Penapisan Senyawa Bioaktif Spons Aaptops dan Petrosia sp, dari Lokasi
yang Berbeda. Thesis. Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Page, M.J., P.T. Northcote, V.L. Webb, S. Mackey & S.J. Handley. 2005. Aquaculture trials
for the production of biologically active metabolites in the New Zealand sponge
Mycale hentscheli (Demospongiae: Poecilosclerida). Aquaculture. 250:256–269. doi:
10.1016/j.aquaculture. 2005. 4. 69
ABSTRAK
Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) adalah spesies tuna yang ditemukan di perairan
pelagik samudera tropis dan subtropis di seluruh dunia. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui produksi maksimum lestari (MSY) ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares)
dan upaya penangkapan optimum pada perairan Kota Gorontalo serta mengetahui tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares). Analisis data
dilakukan tiap upaya tangkapan, tingkat pemanfaatan, analisis secara deret waktu (time
series). Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah produksi maksimum lestari (MSY) untuk
penangkapan ikan Tuna Sirip Kuning pada perairan Kota Gorontalo sebesar 9.767.127
ton/unit/tahun, dengan upaya penangkapan (f optimum) sebesar 56.209 unit/tahun. Nilai
produksi tertinggi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) pada tahun 2015 sebesar
11.267 ton/tahun dan nilai produksi terendah pada tahun 2011 sebesar 2.829 ton/tahun. Hasil
analisis tingkat pemanfaatan terhadap ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) yang ada
di perairan Kota Gorontalo sebesar 61,48% dengan tingkat pemanfaatan dikategorikan
dalam pemanfaatan under eksploited.
Kata Kunci: Ikan Tuna Sirip Kuning, MSY, Tingkat Pemanfaatan
ABSTRACT
Yellow Fin Tuna (Thunnus albacares) is one of species tunas were found on tropic
and sub tropic ocean. The aimed of this research to determinate maximum sustainable yield
(MSY) of yellow fin tuna (Thunnus albacares) and optimum effort in Gorontalo City Coastal,
to know the empowerment level of yellow fin tuna. Data analyzed conduct on the catch per
unit effort and empowerment level, time series analysis. The result shown that maximum
sustainable yield (MSY) for yellow fin tuna catches in Gorontalo City waters is 9767,13
ton/unit/year while catching effort (f optimum) is 56209 unit/year. The Highest yield of
yellow fin tuna in 2015 that is 11.267 ton/year and the lowest yield in 2011 that is 2829
ton/year. The result of empowerment level analysis result shown that is 61 % where it’s mean
that under exploited.
Keyword: Yellow Fin Tuna, MSY, The Empowerment Level
Pendahuluan
Potensi perikanan laut Indonesia terdiri dari potensi perikanan pelagis dan demersal
tersebar pada hampir semua bagian perairan laut Indonesia seperti pada perairan laut
teritorial, nusantara dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ikan Pelagis adalah kelompok ikan
yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air. Ciri utama ikan pelagis adalah dalam
beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk
berbagai kebutuhan hidupnya. Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi
dua. Pertama, ikan pelagis besar, misalnya jenis ikan tuna, cakalang, tongkol dan lain-lain.
Kedua, ikan pelagis kecil, misalnya ikan layang, teri, kembung (Fadhli, 2015).
Beberapa istilah lain untuk jenis ikan tuna sirip kuning adalah tuna madidihang, yellow
fin-tuna (Inggris) dan Thunnus albacares (latin). Salah satu ciri utama tuna sirip kuning
adalah garis berwarna kuning yang terdapat di sepanjang sisi kiri dan sisi kanan ikan tuna.
Garis kuning tersebut akan tampak jelas apabila terkena cahaya. Hidupnya bergerombol dan
bergerak sangat cepat sehingga sulit ditangkap. Potensi ikan tuna jenis sirip kuning di
Indonesia sangat besar sebab jenis tersebut merupakan jenis terbanyak yang terdapat di
perairan laut Indonesia. Wilayah kelautan dengan sumber daya ikan tuna sirip kuning
terbesar di Indonesia adalah Laut Flores dan Selat Makassar (Gufran, 2011).
Salah satu jenis sumberdaya ikan laut yang mempunyai nilai ekonomis penting dan
mempunyai prospek yang baik adalah ikan tuna madidihang. Secara ekonomis ikan tuna
memberikan kontribusi besar yang ditunjukkan oleh sebagian besar masyarakat pesisir
memiliki pekerjaan sebagai nelayan baik pada usaha penangkapan, pengolahan,
perdagangan dan industri penunjang. Keadaan ini dapat dilihat jelas di Provinsi Gorontalo
khususnya di wilayah administrasi Kota Gorontalo. Ikan madidihang juga tercatat sebagai
komoditi ekspor baik dalam bentuk segar, beku maupun olahan. Dari ekspor, negara
Indonesia khususnya Gorontalo mendapat tambahan devisa yang penting bagi keseimbangan
neraca perdagangan luar negeri (DPK, 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut maka
perlunya dilakukan penelitian untuk mengetahui produksi maksimum lestari terhadap Ikan
Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares).
Metode Penelitian
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 2 (dua) bulan mulai bulan Mei sampai dengan Juni,
dilakukan di perairan Kota Gorontalo.
Analisis Data
Data-data kemudian dianalisis dengan beberapa analisa data sebagai berikut:
Pendugaan stok dilakukan berdasarkan data alat tangkap, jumlah armada dan produksi
perikanan tahun 2011-2015. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk menilai hasil
tangkapan ikan dengan upaya penangkapan (Catch Per Unit Effort), menggunakan rumus
Gulland (1991).
𝐶
𝐶𝑃𝑈𝐸𝑖 = 𝑓𝑖 …………………………………………… (1)
𝑖
Dari rumus tersebut maka akan dilakukan analisis TAC (Total Allowable Catch)
Tingkat Pemanfaatan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Tingkat Pemanfaatan = Ci x 100% ………………………..………………… (5)
MSY
Ci = Jumlah tangkapan pada tahun ke-i
TAC = Total Allowable Catch
(jumlah tangkapan yang diperbolehkan yaitu 80% dari nilai MSY)
Berdasarkan Tabel 1, nilai CPUE tertinggi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares)
pada tahun 2012 sebesar 305,88 ton/tahun dan nilai CPUE terendah pada tahun 2015 sebesar
35,93 ton/tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ikan tangkap di perairan
Kota Gorontalo adalah kapasitas kapal nelayan. Sebagian besar kapal nelayan masih di
bawah 30 gross ton sehingga hanya dapat beroperasi di kawasan perairan pesisir dan
tentunya tidak mampu mendapatkan hasil yang banyak. Perubahan nilai CPUE juga setiap
tahun dipengaruhi oleh penambahan atau pengurangan jumlah trip (effort). Nabunome
(2007) menjelaskan bahwa nilai CPUE berbanding terbalik dengan nilai effort, dimana setiap
160.000
143.127
140.000
115.263
120.000
Trip Produksi
100.000 91.951
(Effort)
80.000
60.000
35.248
40.000
20.000 13.641
0
2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 7. Perkembangan trip produksi (Effort) ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares)
di perairan Kota Gorontalo
Dalam periode lima tahun terakhir (2011-2015) data trip hasil tangkapan khususnya
pada ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ditangkap di perairan Kota Gorontalo,
dimana trip terendah pada tahun 2012 adalah 13.641 dan trip tertinggi pada tahun 2015
adalah sebesar 143.127. Dengan jumlah keseluruhan adalah 399.230 dan rata-rata per tahun
adalah 79.846.
8.000
7.038
7.000
6.000
Tahun (Cacth)
Produksi Per
5.055 5.143
5.000
4.226 4.173
4.000
3.000
2.000
1.000
-
2011 2012 2013 2014 2015
Gambar 8. Perkembangan produksi per tahun (Catch) ikan tuna sirip kuning (Thunnus
albacares) di perairan Kota Gorontalo
Adapun produksi per tahun (Catch) dalam periode lima tahun terakhir (2011-2015)
untuk ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ditangkap di perairan Kota Gorontalo
mengalami kenaikan dan penurunan jumlah hasil produksi di setiap tahunnya. Hal ini terlihat
pada produksi tahun 2011 sebesar 4.226 ton/tahun dan mengalami penurunan jumlah
produksi pada tahun 2012 menjadi 4.137 ton/tahun. Kenaikan terjadi pada tahun 2013 dari
5.055 ton/tahun hingga tahun 2014 menjadi 7.038 ton/tahun. Hal itu tidak bertahan lama
karena terjadi penurunan yang cukup besar di tahun 2015 menjadi 5.143 ton/tahun sehingga
diperoleh jumlah rata-rata per tahun adalah 5.127 ton/tahun. Dengan demikian diperoleh
produksi terendah sebesar 4.173 ton/tahun pada tahun 2012 dan produksi tertinggi sebesar
7.038 ton/tahun pada tahun 2014.
0,4
0,35
CPUE = 0,3475 - 3E-06x
0,3 R² = 0,5657
CPUE
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0 20000 40000 60000 80000 100000
Effort (Trip)
Gambar 9. Grafik hubungan antara CPUE dengan (Effort) pada penangkapan ikan tuna sirip
kuning (Thunnus albacares)
disebabkan oleh jumlah kapal dan alat tangkap yang bertambah, sehingga upaya
penangkapan dan persaingan antar nelayan bertambah tinggi. Menurut Wijayanto (2008),
prinsip MSY adalah apabila level produksi yang dipanen surplus, maka tidak akan
mengganggu kelestarian stok dari sumberdaya ikan yang ada. Hal ini berarti usaha
penangkapan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) akan tetap lestari apabila hasil
tangkapan tidak melebihi CMSY.
6000000
4000000
2000000
FMSY
0 56.209
0 20000 40000 60000 80000 100000 120000
Usaha
Tingkat produksi lestari (MSY) ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ada
di wilayah perairan Kota Gorontalo sebesar 9.767.127 sedangkan upaya penangkapan yang
dilakukan oleh nelayan pada perairan tersebut hanya sebesar 56.209. Hal ini diduga karena
pemanfaatan terhadap sumberdaya kurang optimal sehingga produksi hasil tangkapan
sedikit.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Potensi Maksimum Lestari (MSY) ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) sebesar
9.304.711,15 dimana potensi sumberdaya dinilai tinggi akan tetapi tidak sejalan dengan
upaya penangkapannya (FMSY) yang hanya sebesar 73.121,48.
2. Tingkat pemanfaatan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) belum optimum dilihat
dari persentase pemanfaatan hanya sebesar 61,48%.
Daftar Pustaka
Dahuri, R. 2010. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu.
PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Fauzi, A. dan Suzy Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan (untuk
Analisis Kebijakan). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 343 hlm.
Gufran, M. dan N.K. Kordi. 2011. 32 Ikan Laut Ekonomis. Lily Publisher. Yogyakarta.
Wijayanto, D. 2008. Buku Ajar Bioekonomi Perikanan, FIKP, UNDIP. Semarang. 165 hlm.
LISTIANINGSI D. WANUNDO
Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso
Email: ningsiwanundo@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis pakan yang disukai oleh lebah madu
hutan Apis dorsata di kawasan hutan lindung Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara
Kabupaten Poso. Jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan pengamatan dan observasi langsung terhadap pakan yang dikunjungi lebah
madu hutan Apis dorsata di kawasan hutan lindung serta wawancara langsung dengan petani
yang berpengalaman mengenai lebah madu hutan, sedangkan data sekunder diperoleh
melalui literature dan informasi dari stakeholder yang berkaitan dengan penelitian ini.
Populasi penelitian terdiri dari petani pemanen madu yang bermukim di sekitar kawasan
Hutan Lindung. Pengambilan sampel penelitian terdiri dari pucuk daun serta bunga atau
buah dari tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan lebah madu kemudian mengidentifikasi
jenis-jenis tanaman/tumbuhan dengan menggunakan buku literatur tumbuhan. Hasil
penelitian menunjukan bahwa lebah menyukai nektar yang merupakan pakan bagi lebah
pekerja sehingga ketersediaan nektar sepanjang tahun menjamin kekuatan koloni lebah
madu hutan, yang terdiri dari 25 tanaman/tumbuhan pertanian, perkebunan dan kehutanan
yang berperan sebagai tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan lebah madu di kawasan hutan
lindung Desa Uelincu.
Kata Kunci: Pakan Lebah, Lebah Madu Hutan, Petani Pemanen Madu
Pendahuluan
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam pemanfaatannya memiliki keunggulan
dibanding hasil kayu. Salah satu keunggulan HHBK yaitu tidak menimbulkan kerusakan
yang besar terhadap hutan dibandingkan dengan pemanfaatan kayu, sehingga HHBK
memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya. Salah satu kegiatan pemanfaatan
dan pengusahaan HHBK yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi adalah hasil dari lebah
madu.
Keuntungan yang diperoleh, selain mendapat madu, kelestarian dari tanaman-tanaman
di hutan tersebut dapat dijaga. Terjadinya penyerbukan oleh lebah akan membantu
regenerasi dan perbanyakan dari pohon-pohon yang ada. Selain itu, kegiatan masyarakat
untuk menebang hutan secara liar setidaknya dapat dikurangi, jika masyarakat dapat
membudidayakan lebah madu di dalam atau sekitar hutan, itu dikarenakan untuk
Kabupaten Poso. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi
mengenai jenis-jenis pakan lebah madu hutan.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara Kabupaten
Poso pada bulan Maret sampai Mei 2017. Pengumpulan jenis data yang digunakan yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan pengamatan dan observasi langsung
terhadap pakan yang dikunjungi lebah madu hutan Apis dorsata di kawasan hutan lindung
serta wawancara langsung dengan petani yang berpengalaman mengenai lebah madu hutan,
sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur dan informasi dari stakeholder yang
berkaitan dengan penelitian ini. Populasi penelitian terdiri dari petani pemanen madu yang
bermukim di sekitar kawasan hutan lindung. Pengambilan sampel penelitian terdiri dari
pucuk daun serta bunga atau buah dari tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan lebah madu
kemudian mengidentifikasi jenis-jenis tanaman/tumbuhan dengan menggunakan buku
literatur tumbuhan.
Pengetahuan lokal petani pemanen madu terhadap tumbuhan pakan, diketahui dari
hasil pengalaman petani dalam mencari madu di hutan. Petani menjaga tumbuhan/tanaman
agar tidak mendapatkan gangguan dari para pembalak liar. Identifikasi bagian-bagian bunga
yang dikonsumsi lebah madu hutan berdasarkan dengan jenis pakannya, dan ini dapat dilihat
pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa lebah menyukai nektar
yang merupakan pakan bagi lebah pekerja sehingga ketersediaan nektar sepanjang tahun
menjamin kekuatan koloni (Sihombing, 2005). Sebagian tanaman yang mempunyai nektar
dan tepung sari namun sebagian besar tanaman hutan alami yang bunganya menjadi pakan
lebah madu hanya menghasilkan nektar saja seperti Antoli (Disoxillum sp), Gopu
Kondisi jalan menuju lokasi pohon tempat lebah A. dorsata bersarang dengan berjalan
kaki melalui jalan-jalan setapak dengan topografi bergelombang dan perbukitan terjal
memperlihatkan bahwa pada lokasi ini tersedia tanaman pakan lebah yang dapat mendukung
peningkatan produksi madu di Desa Uelincu.
Sumberdaya pengaman hutan sebaiknya dimanfaatkan pemerintah setempat untuk
bekerja sama dengan polisi hutan dalam mengamankan hutan dari adanya upaya-upaya
pengrusakan. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan daerah yang mengatur
Tabel 3. Jenis tumbuhan/ tanaman yang diketahui petani pemanen madu di Desa Uelincu
sebagai jenis pohon sarang lebah
Pohon sarang lebah merupakan obyek yang dicari ketika mencari madu di hutan oleh
petani pemanen madu. Selain menandai adanya kerumunan lebah berwarna hitam yang
mengelantung di atas pohon, juga menandai jenis pohon tempat lebah madu bersarang. Hal
ini yang menjadikan para petani pemanen madu lebah mengenal dengan baik jenis-jenis
pohon tempat lebah membangun sarang.
Adapun 9 jenis pohon yang digunakan sebagai tempat bersarang lebah madu, yaitu
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Pohon memiliki posisi cabang yang relatif lebih tinggi dari rata-rata pohon lain yang ada
di sekitarnya. Posisi sarang yang relatif berada di atas tajuk rata-rata memberi
kemudahan bagi lebah untuk kembali pulang kesarang setelah menjelajahi lokasi sumber
pakan. Selain itu juga memberikan pandangan yang lebih luas bagi lebah pekerja untuk
melihat lokasi pakan. Keistimewaan pohon yang tinggi adalah untuk mendapatkan
cahaya matahari yang lebih banyak daripada pohon yang lain yang ada di bawahnya.
2) Pohon memiliki cabang yang relatif datar dengan sudut kemiringan sampai membentuk
sudut ± 30°.
3) Pohon memiliki kulit batang yang tidak mudah terkupas. Hal ini merupakan suatu upaya
agar sarang menggantung dengan kuat atau untuk menghindari jatuhnya sarang akibat
terkelupasnya kulit pohon.
yang berupa nektar dan pollen sangat berperan dalam menentukan kekuatan koloni lebah,
dimana koloni yang kuat akan menghasilkan madu yang banyak.
Kalender Pembungaan
Kalender ketersediaan pakan dalam 12 bulan secara umum dinyatakan dalam masa
berbunga. Dalam terminologi pembungaan dikenal dengan kalender pembungaan. Untuk
sumber makanan pada bunga, kalender ketersediaan pakan sama dengan kalender
pembungaan. Sedangkan untuk makanan berupa ekstra floral, ketersediaannya tidak selalu
sama dengan kalender pembungaan. Hal ini disebabkan karena nektar ekstrafloral diambil
dari pucuk daun, sehingga tidak berhubungan dengan masa berbunga suatu tanaman.
Peran penting kalender ketersediaan pakan ini adalah pada saat pemanenan madu.
Ketika tanaman banyak menyediakan pakan, maka lebah madu dapat memanen nektar atau
pollen untuk disimpan di dalam sarang. Ketersediaan pakan di dalam sarang ini akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan disimpan sebagai cadangan
makanan. Cadangan makanan ini digunakan lebah ketika kekurangan sumber makanan di
lapangan (masa paceklik).
Petani lebah madu dapat memanen madu atau pollen ketika sumber makanan banyak
di lapangan. Pada waktu itu, sumber makanan yang disimpan lebah di sarang berlimpah.
Tetapi pada saat sumber makanan di lapangan sedikit, maka sumber makanan yang ada di
sarang digunakan untuk persediaan makan lebah sehari-hari. Saat itu lebah membutuhkan
makanan tambahan untuk mempertahankan koloni. Dalam mempertahankan koloni pada
saat sumber pakan di lapangan kurang, seorang peternak dapat memindahkan koloni lebah
ke tempat lain yang banyak sumber pakannya. Masa berbunga tanaman sangat penting
digunakan untuk mengetahui ketersediaan pakan lebah di lapangan. Adanya variasi masa
berbunga menunjukkan bahwa harus ada perhatian tentang jenis-jenis tanaman yang
berbunga pada waktu tertentu. Pengetahuan tentang masa berbunga ini digunakan untuk
memindahkan koloni lebah madu ke tempat yang banyak tersedia pakan, pada saat di lokasi
budidaya lebah tidak tersedia pakan.
Selain bidang ekonomi, lebah madu juga memberikan keuntungan ekologis khususnya
bagi kelestarian flora. Hal ini berkaitan dengan peran lebah madu dalam penyerbukan
tanaman. Tanaman berbunga membutuhkan serangga seperti lebah untuk penyerbukan.
Lebah mengumpulkan makanan berupa nektar dan polen dari tanaman. Proses-proses
tersebut menimbulkan interaksi antara tanaman dan lebah yang saling menguntungkan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Di kawasan hutan lindung terdapat 25 jenis tanaman/tumbuhan sumber pakan lebah,
yang diantaranya terdapat 15 jenis tanaman/tumbuhan pertanian dan perkebunan serta
10 jenis tanaman/tumbuhan kehutanan yang termasuk dalam pakan lebah madu hutan.
2. Pakan lebah madu di kawasan hutan lindung relatif tersedia sepanjang tahun, walaupun
secara kuantitas bervariasi dari bulan ke bulan.
Daftar Pustaka
Akranatul, P. 1985. Beekeeping for pural Develonment di Terjemahkan oleh Brata Miharja,
M. Kasno, Et al, Perum Perhutani Departemen Kehutanan.
Direktorat Penghijauan dan Perhutanan Sosial. 1996. Petunjuk Teknis Pemungutan Madu
Lebah Hutan (Apis dorsata F). Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitas Lahan,
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Sihombing, D. T. H. 2005. Ilmu Ternak Lebah Madu. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.