Anda di halaman 1dari 281

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional” |i
Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo
Jl. Drs. Achmad Nadjamuddin No. 17
Kota Gorontalo – Indonesia

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


ii | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
PROSIDING SEMINAR NASIONAL FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS
ICHSAN GORONTALO 2018
PEKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN “PEMBANGUNAN PERTANIAN
BERKELANJUTAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DAERAH
DAN NASIONAL”

Panitia:
Ketua : Muh. Sudirman Akili, S.TP., M.Si
Wakil Ketua : Muh. Iqbal Jafar, S.P., MP
Sekretaris : Evie Adriani, SP., M.Si
Bendahara : Ulfira Ashari, S.P., M.Si
Seksi Administrasi dan Kesekretariatan : I Made Sudiarta, S.P., M.Si
Seksi Acara Seminar Nasional : Irmawati, S.P., M.Si
Seksi Humas, Publikasi dan Dokumentasi : Firmansyah, S.Pi., M.Si
Seksi Konsmsi : Nur Pratiwi Rasyid, S.TP., M.Si

Editor:
Milawati Lalla, S.P., MP.
Muh. Darmawan, S.P., M.Si.
Darmiati Dahar, S.P., M.Si.
Fatmawati, S.P., M.Si.
Tri Handayani, S.Pd., M.Sc.
Muh. Arsyad, S.TP., M.Si.

Reviewer:
Dr. Zainal Abidin, SP., M.Si
Anto, S.TP., M.Sc.
Ikrar Taruna Syah, S.TP., M.Sc.
Evie Adriani, SP., M.Si
Deyvie Xyzquolyna, S.TP., M.Sc.

ISBN:
978-602-52820-0-3

Diterbitkan oleh:
Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo
Jl. Achmad Nadjamuddin No. 17 Telp: (0435) 829975 Fax: (0435)829976 Gorontalo
http://faperta.unisan.ac.id

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional” | iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur panitia pelaksana Pekan Pembangunan Pertanian tahun 2018 panjatkan
kehadirat Allah SWT karena atas karunia-Nya sehingga laporan prosiding karya ilmiah
kegiatan Pekan Pembangunan Pertanian dapat diselesaikan dengan baik. Tema kegiatan
Pekan Pembangunan Pertanian adalah Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam
mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional dilihat dari Peluang dan
Tantangannya. Isu pangan dan ketahahan pangan adalah isu yang tidak akan pernah ada
habisnya dibicarakan karena selain sebagai sumber energi juga sebagai sumber gizi yang
menjadi hak asasi setiap manusia dan kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. Tantangan
ketahanan pangan kedepan adalah peningkatan jumlah penduduk dan perubahan iklim.
PEKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN yang telah dilaksanakan pada tanggal 22 – 24
Maret 2018 mengangkat tema PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DAERAH DAN NASIONAL
dalam rangkaian kegiatan pekan pembangunan pertanian dalam bentuk seminar nasional
yang dirangkaikan dengan Seminar Paper. Sebagai hasil dari kegiatan seminar nasional
tersebut maka kami mengkompilasikan berbagai makalah yang telah dipResentasikan
dalam bentuk Prosiding.
Panitia mengapresiasi semua pihak yang terkait yang ingin mendapatkan informasi
yang positif terkait ketahanan pangan dan tentunya kritik, saran dan masukan untuk
penyempurnaan karya ilmiah ini kedepannya. Pada kesempatan ini panitia mengucapkan
penghargaan dan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Ichsan Gorontalo
2. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo
3. Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Ichsan Gorontalo
4. Donatur dari Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Gorontalo dan Perusahaan Hutan
Tanaman Industri Kabupaten Gorontalo Utara
5. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah terlibat dan
menyukseskan seluruh rangkaian kegiatan Pekan Pembangunan Pertanian Tahun 2018.
Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Gorontalo, Maret 2018
Ketua Panitia,

Muhammad Sudirman Akilie, S.TP, M.Si


Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
iv | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
DAFTAR ISI

Bidang Penelitian Agribisnis


Implementasi Sistem Agroforestri sebagai Solusi Pertanian Berkelanjutan di Gorontalo
Oleh: Merita Ayu Indrianti dan Ulfiasih (Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas
Muhammadiyah Gorontalo) (2 – 6)

Kelayakan Usaha Agroindustri Kacang Goyang (Studi Kasus UD Asli Totabuan, Kota
Kotamobagu)
Oleh: Indriana (Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo) (7 – 11)

Identifikasi Manfaat dan Kendala Usahatani Padi Sawah pada Petani Di Kecamatan
Pamona Puselemba Kabupaten Poso
Oleh: Marianne Reynelda Mamondol (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena
Poso) (12 – 20)

Meningkatkan Akses Pangan dan Sumberdaya Manusia Melalui Kelembagaan Petani


Oleh: Putu Arimbawa, dkk. (Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari) (21 – 31)

Program Pengembangan Agroforestri Berbasis Partisipasi Masyarakat untuk Pertanian


Berkelanjutan
Oleh: Dewa Oka Suparwata (Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian, Universitas Muhammadiyah
Gorontalo) (32 – 43)

Peningkatan Pendapatan Peternak Sapi dengan Keterpaduan Usaha Tanaman Padi dan
Palawija pada Lahan Teratas 0,5 Ha Di Provinsi Sulawesi Selatan- Gorontalo Indonesia
Oleh: Zainal Abidin (Fakultas Pertanian, Universitas Ichsan Gorontalo) (44 – 52)

Peran Sektor Pertanian dalam Penyelenggaraan Kawasan Andalan Palopo dan Sekitarnya
Oleh: Fadhil Surur dan Satriani (Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Sains
dan Teknologi, UIN Alauddin Makassar) (53 – 62)

Bidang Penelitian Agroteknologi


Rancang Bangun Alat Pengendali Hama Burung Pemakan Bulir Padi Sawah (Oryza sativa
l.) Sistem Mekanik Elektrik
Oleh: Ardiyanto Saleh Modjo, S.Pd., M.P (Faperta Universitas Negeri Gorontalo) (64 –
70)

Air Tersedia Profil Tanah Untuk Tanaman Padi pada Ustik Endoaquert Paguyaman-
Gorontalo
Oleh: Nurdin (Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (71 – 81)

Ketahanan Tanaman Okra Hijau (Abelmoschus esculentus L.) Varietas Naila IPB Terhadap
Cekaman Salinitas dengan Perlakuan NaCl
Oleh: Indriati Husain, dkk. (Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (82 – 89)
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional” |v
Efisiensi Penggunaan Radiasi Matahari Akibat Penggunaan Naungan pada Pertumbuhan
Stevia (Stevia rebaudiana bertoni M.) di Tanah Gambut Kota Palangka Raya
Oleh: Djoko Eko Hadi Susilo (Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas
Muhammadiyah Palangkaraya) (90 – 99)

Prospek Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pupuk Organik dalam Mewujudkan


Sistem Pertanian Berkelanjutan
Oleh: Nurfhin Ilma Bunga, dkk. (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso)
(100 – 105)

Kajian Efektifitas Penggunaan Pupuk Organik dengan Kombinasi Pupuk Anorganik


Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung
Oleh: Amiruddin (Teknologi Pertanian, Politeknik Gorontalo) (106 – 115)

Pengaruh Berbagai Media Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Seledri
(Apium graveolens) dengan Sistem Vertikultur
Oleh: M. Darmawan S.P M.Si (Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo) (116 –
124)

Bidang Penelitian Teknologi Hasil Pertanian

Optimalisasi Penambahan Lemak Kakao dan Minyak Sawit Terhadap Mutu Tekstur Pasta
Cokelat
Oleh: Herman Hatta (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Gorontalo) (126 – 136)

Karakteristik Mutu Yoghurt Jagung Manis (Zea mayz L. Saccharata) dengan Variasi
Konsentrasi Starter yang Berbeda
Oleh: Satria Wati Pade dan Nurhafnita (Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Gorontalo)
(137 – 146)

Pemanfaatan Tepung Jagung Pulut Subtitusi Tepung Terigu dalam Pembuatan Mie Kering
Oleh: Desi Arisanti dan Rosdiani azis (Teknologi Hasil Pertanian, Politeknik Gorontalo)
(147 – 156)

Analisis Aktivitas Antikoagulan dari Ikan Sidat Danau Poso Spesies Anguilla marmorata
Oleh: Martho Harry Melumpi (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso) (157 –
164)

Kajian Kandungan Fenolat dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Ubi Banggai
(Dioscorea) dari Berbagai Varietas
Oleh: Joice Noviana Pelima (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso) (165 –
181)

Karakteristik Organoleptik Makanan Otak-otak dengan Bahan Baku Berbagai Jenis Ikan
Oleh: A. Khairun Mutia (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo) (182 – 188)

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


vi | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Ekstraksi Bertingkat β- Karoten dari Wortel dengan Pelarut Heksana dan Petroleum
Eter
Oleh: Yulianti (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo) (189 – 196)

The Best Drying Time for Extruded Sago Noodle


Oleh: Adnan Engelen, dkk. (Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Gorontalo) (197 –
202)

Pengaruh Penambahan Gula dan Gelatin terhadap Sifat Sensoris Soyghurt


Oleh: Nurhafsah dan Asriani I. Laboko (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi
Barat) (203 – 211)

Bidang Penelitian Peternakan

Kajian Pemanfaatan Indigofera Sp sebagai Pakan Ternak Itik di Provinsi Sulawesi Selatan
Oleh: Andi Ella, dkk. (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo) (213 – 219)

Kajian Penggunaan Tepung Gaplek Sebagai Pakan Ayam Broiler


Oleh Novia Qomariyah dan Serli Anas (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo)
(220 – 229)

Ukuran Tubuh Kambing Kacang (Capra hircus) yang Dipelihara Secara Tradisional pada
Ketinggian Tempat yang Berbeda
Oleh: Fahrul Ilham, dkk. (Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (230 – 236)

Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Kambing Kacang (Capra hircus) yang
Dipelihara Secara Tradisional pada Ketinggian Tempat yang Berbeda
Oleh: Muhammad Sayuti, dkk. (Fakutas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (237 –
243)

Bidang Penelitian Perikanan dan Kelautan

Laju Pertumbuhan Spons Haliclona sp pada Kedalaman Berbeda dengan Metode Vertikal
di Pulau Dulowonu Boalemo
Oleh: Sri Yuningsih Noor dan Zulrina Paudi (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo)
(245 – 253)

Analisis Tingkat Pemanfaatan Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) di Perairan
Kota Gorontalo
Oleh: Nurul Auliyah dan Fitri Suryanengsih (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo)
(254 – 262)

Tingkat Kesukaan Lebah Madu Hutan (Apis dorsata) Terhadap Pakan di Kawasan Hutan
Lindung Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso
Oleh: Listianingsi D. Wanundo (Universitas Kristen Tentena Poso) (263 – 272)

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional” | vii
Bidang Penelitian Agribisnis

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional |1
IMPLEMENTASI SISTEM AGROFORESTRI SEBAGAI SOLUSI PERTANIAN
BERKELANJUTAN DI GORONTALO
“IMPLEMENTATION AGROFORESTRY SYSTEM AS THE SOLUTION OF
SUSTAINABLE AGRICULTURE”

*MERITA AYU INDRIANTI DAN ULFIASIH


Program Studi Agribisnis, Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian, Universitas Muhammadiyah
Gorontalo
*Email: ayu_sutarto@yahoo.co.id

ABSTRAK

Minimnya jumlah lahan subur saat ini membuat petani mengubah mindsetnya untuk
melanjutkan usahataninya dikawasan hutan dengan pola yang berbeda yaitu sistem
agroforestri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji seberapa besar peran
agroforestri dalam mendukung pertanian berkelanjutan. Metode pengkajian ini
menggunakan metode review literature dengan cara membandingan data-data sekunder
berupa penelitian terdahulu. Agroforestri memiliki peran penting dalam mendukung
pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sebagai fungsi produksi (ekonomi), fungsi
konservasi (ekologi) serta fungsi sosial budaya (sosio-culture).
Kata Kunci: Agroforestri, Pertanian Berkelanjutan

Pendahuluan
Realitas kegiatan pengelolaan usahatani saat ini lebih berorientasi pada pertumbuhan
dan peningkatan ekonomi masyarakat saja. Sehingga usaha meningkatkan perekonomian
benar-benar dilakukan sampai membuka hutan (deforestrasi) seluas-luasnya tanpa
memperhatikan dampak dari hal tersebut. Menurut Rianti dan Winarto (2011), deforestasi
diduga menjadi salah satu penyumbang emisi karbondioksida terbesar di dunia.
Berkurangnya luas tutupan hutan dan meningkatnya aktifitas manusia menyebabkanemisi
CO2 di permukaan bumi yang terperangkap dalam atmosfer semakin besar
jumlahnyasehingga memicu terjadinya pemanasan global. Solusi untuk mengembalikan
fungsi hutan seperti sediakala adalah reboisasi atau penanaman hutan kembali. Namun,
penanaman hutan kembali hanya akan mengembalikan fungsi hutan saja. Oleh karena itu,
diperlukan suatu pola penggunaan lahan yang tidak hanya dapatmembangun hutan namun
juga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petani dan masyarakat disekitarnya.
Melalui pola tanam agroforestri, dapat memberikan fungsi bagi hutan juga bagi petani
dan masyarakat disekitarnya, karena perpaduan antara tanaman pertanian dan tanaman
kehutanan. Menurut Amrullah (2008), agroforestri merupakan salah satu sistem pertanian

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


2 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
yang berkelanjutan dengan menggunakan sebagian lahan hutansebagai pengganti lahan
pertanian tanpa merusak ekosistem dan kondisilingkungan hutan.
Dalam pengembangan agroforestri tidak hanya terfokus padateknik dan biofisik saja
akan tetapi kebijakan pemerintah yang dibuat sebagaiaturan dalam penggunaan sistem
agroforestri juga sangat menentukanperkembangan agroforestri selanjutnya. Agroforestri
juga dapat diartikan sebagai sistem pertanian terpadu karena sistem ini memiliki beberapa
kombinasi antara lain (Hairiah et al., 2003): 1) Agrisilvikultur yakni kombinasi antara
komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.) dengan
komponen pertanian, 2) Agropastura yakni kombinasi antara komponen atau kegiatan
pertanian dengan komponen peternakan, 3) Silvopastura yakni kombinasi antara komponen
atau kegiatan kehutanan dengan peternakan, 4) Agrosilvopastura, yakni kombinasi antara
komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan. Berdasarkan
uraian di atas, maka penulisan ini bertujuan untuk mengkaji fungsi agroforestri sebagai
solusi pertanian berkelanjutan.

Bahan dan Metode


Bahan yang digunakan untuk membuat paper ini bersumber dari karya ilmiah
berbentuk jurnal, skripsi, makalah, dan karya ilmiah lainnya. Adapun metode yang
digunakan adalah metode review literature. Metode reviewli terature dilakukan dengan cara
membaca, memahami dan mereview dari berbagai macam sumber karya ilmiah.

Pembahasan
Perkembangan Agroforestri di Gorontalo
Pola tanam agroforestry sudah dipraktekkan sejak jaman dahulu, tetapi ilmu
agroforestry sendiri baru berkembang sejak tiga dekade yang lalu. Gorontalo merupakan
salah satu daerah penghasil jagung terbanyak sejak dicanangkannya program agropolitan
pada tahun 2002-2014 yang terbukti meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun
penanaman jagung dengan sistem monokultur secara massif membawadampak negatif
berupa kerusakanlahan, karena penanaman jagungjuga dilakukan pada lahan-lahandengan
kemiringan tinggi dengan menebang pepohonan yang ada (Andayani, 2002). Sedangkan
untuk lahan kering, masih banyak pola pertanaman monokultur yang dijumpai. Bersama
dengan ICRAF petani gorontalo mulai mengkaji sistem pertanaman yang menguntungkan
hingga beberapa tahun kedepan dengan memanfaatkan lahan-lahan marginaluntuk ditanami

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional |3
dengan tanamanyang mempunyai nilai ekonomibagi masyarakat dan dengan sistem
penanaman agroforestri (penanaman campuran). Sehingga, sebagian petani Gorontalo mulai
menerapkan sistem agroforestri tanaman pangan dengan tanaman kehutanan terlebih di
daerah bantaran sungai. Hal ini sengaja dilakukan oleh petani dengan alasan untuk
mengurangi dampak dari erosi tebing sungai.

Agroforestri sebagai Fungsi Produksi (Ekonomi)


Pada umumnya agroforestri memiliki arti perpaduan antara tanaman kehutanan
dengan tanaman pertanian. Agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat pada
manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri utamanya diharapkan
dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan
guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat dan dapat meningkatkan
daya dukung ekologi manusia khususnya di daerah pedesaan (Mayrowani dan Ashari, 2011).
Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan akan pangan semakin
meningkat pula, disisi lain ketersediaan lahan semakin terbatas karena adanya alih fungsi
lahan. Sehingga penerapan sistem agroforestri merupakan salah satu upaya optimalisasi
penggunaan lahan pertanian secara berkelanjutan. Menurut Mayrowani dan Ashari (2011),
salah satu alternatif peningkatan produksi adalah dengan pola ekstensifikasi dengan
memanfaatkan lahan kehutanan dengan mengembangkan sistem agroforestri.
Sudah sangat jelas bahwa agroforestri mampu meningkatkan jumlah produksi dan
perekonomian masyarakat hingga beberapa tahun kedepan. Hasil perhitungan manfaat
ekonomi pada tahun pertama memiliki perbandingan yang jauh. Model pertanaman kakao
monokultur memiliki manfaat ekonomi sebesar Rp. 4.690.313, kakao integrasi tanaman
non-kayu memiliki manfaat ekonomi sebesar Rp. 5.127.359 sedangkan kakao integrasi
tanaman kayu memiliki manfaat ekonomi Rp. 300.406. Namun, pada tahun ke-20
agroforestri memberikan manfaat tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur yaitu Rp.
86.378.348 dibandingkan dengan monokultur yang hanya memperoleh manfaat ekonomi
sebesar Rp. 17.595.624 (Rianse dan Abdi, 2010).
Agroforestri mementingkan keuntungan hingga kurun waktu kedepan karena bagian
tanaman tahunan yang dapat dipanen adalah bagian batangnya sebagai kayu, daun sebagai
pakan ternak, dan getah sebagai bahan tekstil. Hal ini dapat dilakukan apabila usia tanaman
mencapai waktu panen kurang lebih 5-10 tahun. Sehingga pada tahun-tahun pertama hasil
produksi yang diperoleh belum bisa menutupi biaya produksi awal, karena hasil panen hanya
berasal dari tanaman pertanian /musiman. Apabila usia tanaman tahunan siap panen, maka

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


4 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
produksi yang diperoleh akan lebih banyak karena hasil pertanian berasal dari tanaman
musiman juga tanaman tahunan.

Agroforestri sebagai Fungsi Konservasi (Ekologi)


Konservasi tanah pada lahan pertanian tidak hanya terbatas pada usaha untuk
mengendalikan erosi atau aliran permukaan, tetapi termasuk usaha untuk mempertahankan
kesuburan tanah (Santoso et al., 2004). Metode konservasi terdiri atas tiga yaitu konservasi
vegetatif, kimia dan mekanik. Agroforestri merupakan salah satu bagian dari pada
konservasi vegetatif.
Praktek konservasi dengan sistem agroforestri banyak dilakukan Hal ini dilakukan
untuk mengurangi jumlah pengikisan badan sungai akibat adanya banjir atau erosi tebing
sungai. Niemmanee et al., (2015), mengatakan bahwa agroforestri bukan hanya memberikan
manfaat ekonomi dari hutan, melainkan menjaga kesuburan tanah melalui nutrisi dari pohon,
melindungi lapisan atas tanah, penahan angin, daerah aliran sungai dan nilai rekreasi serta
menjadi contoh yang baik antara kebutuhan pertanian dan lingkungan, serta solusi untuk
masalah deforestrasi besar-besaran.

Agroforestri sebagai Fungsi Sosial-Budaya (Sosio-culture)


Sistem agroforestri memiliki keunggulan sosial budaya yaitu keunggulan agroforestri
yang berhubungan dengan kesesuaian (adoptibility) yang tinggi dengan kondisipengetahuan,
keterampilan dan sikap budaya masyarakat petani. Hal ini karenaagroforestri memiliki: 1)
teknologi yang fleksibel, dapat dilaksanakan mulai dari yang sangat intensifuntuk
masyarakat yang sudah maju, sampai kurang intensif untukmasyarakat yang masih
tradisional dan subsisten, 2) Kebutuhan input, proses pengelolaan sampai jenis hasil
agroforestri umumnya sudah sangat dikenal dan biasa dipergunakan oleh masyarakat
setempat, 3) Filosofi budidaya yang efisien, yakni memperoleh hasil yang relatif
besardengan biaya atau pengorbanan yang relatif kecil (Utami, 2003).

Simpulan dan Rekomendasi


Berdassarkan hasil pembahasan, maka agroforestri bukan hanya memberikan hasil
terhadap perekonomian masyarakat secara berkelanjutan melainkan mengembalikan fungsi
ekologi dan sosial ekonomi masyarakat serta mengubah mindset petani yang hanya memiliki
pola pikir konsumtif menjadi konservatif.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional |5
Adapun rekomendasi yang dapat diberikan adalah terus mengadopsi inovasi-inovasi
baru yang memberikan fungsi ekonomi-ekologi dan sosial budaya masyarakat.

Daftar Pustaka
Andayani, W. 2002. Analisis Finansial Potensi Sengon Rakyat Pola Agroforestri di
Kabupaten Wonosobo. Jurnal Hutan Rakyat Vol. 4 No. 2, 2002.
Amrullah, E.P. 2008. Analisis Implementasi Kebijakan Pemerintah Terhadap
Pengembangan Agroforestri Di Kawasan Hutan Bromo Karanganyar. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Hairiah, K., Sardjono, M.A., Sabarnurdin, S. 2003. Pengantar Agroforestri. ICRAF. Bogor.
Mayrowani, H., dan Ashari. 2011. Pengembangan Agroforestri untuk mendukung
Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan petani di Sekitarnya. Forum Penelitian Agro
Ekonomi.
Niemmanee, T., Kaveeta. R., dan Potchanasin. C. 2015. Assessing The Economic, Social,
And Environmental Condition for The Sustainable Agricultural System Planning In
Ban Phaeo District, Samut Sakhonn Province, Thailand. Jurnal Elsevier
ScienceDirect. Hal 2557. Suan Sunandha Rajabhat University. Bangkok.

Rianti, I.P dan Winarto, V. 2011. Ada Yang Berbeda dengan Agroforestri Suksesi Alami
Berkelanjutan. Artikel. Departemen Kehutanan.
Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestri; Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan
Sumberdaya Hutan. Alfabeta. Bandung.
Santoso, D., Purnomo, J., Wigena. IG. P., dan Tuherkih, E. 2004. Teknologi konservasi
Tanah Vegetatif halaman 77-104 dalam Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan
Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Utami, S.R., Verbist, B., Noorwidjk, M., Hairiah, K., Sardjono, M.A. 2003. Prospek
Penelitian dan Pengembangan Agroforestri di Indonesia. World Agroforestri Centre
(ICRAF). Bogor.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


6 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
KELAYAKAN USAHA AGROINDUSTRI KACANG GOYANG
(STUDI KASUS UD ASLI TOTABUAN, KOTA KOTAMOBAGU)

INDRIANA
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo
Email: indrianagani85@yahoo.com

ABSTRAK

Kacang tanah merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang dapat diolah menjadi
berbagai macam penganan. Salah satunya adalah produk kacang goyang yang ada di Kota
Kotamobagu. Salah satu industri yang mengolah kacang goyang adalah UD Asli Totabuan.
Produksi tanaman kacang tanah setiap tahunnya meningkat tetapi kebutuhan bahan baku
yang diperlukan UD Asli Totabuan sangat banyak dan sering tidak mencukupi apabila
membeli bahan baku dari petani yang berada di daerah Kota Kotamobagu, oleh karena itu
pengusaha sering membeli bahan baku dari luar daerah Kota Kotamobagu yang
menyebabkan harga input semakin meningkat sehingga penerimaan yang diperoleh
pengusaha kacang goyang dapat semakin berkurang. Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Gross
Benefit Cost Ratio (Gross B/C). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebutuhan bahan
baku (kacang tanah, gula pasir, dan coklat) tersedia secara kontinu karena dapat terpenuhi
setiap memproduksi kacang goyang. Industri kacang goyang UD Asli Totabuan Kota
Kotamobagu mempunyai prospek yang baik dan menguntungkan, secara finansial
menunjukkan bahwa industri tersebut layak untuk diusahakan karena Nilai Gross Benefit
Cost Ratio sebesar 1,06 menunjukkan nilai B/C ratio > 1.
Kata Kunci: Kelayakan Usaha, Agroindustri, Kacang Goyang, UD Asli Totabuan

Pendahuluan
Kacang tanah merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang dapat diolah
menjadi berbagai macam penganan. Menurut Wulandari (2008), kacang tanah merupakan
salah satu komoditas pertanian yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri. Salah
satunya adalah produk kacang goyang yang ada di Kota Kotamobagu. Hal ini menyebabkan
Kota Kotamobagu merupakan daerah yang terkenal akan penganan kacang goyang.
Kota Kotamobagu mempunyai potensi untuk mengembangkan pengolahan kacang
goyang. Hal ini dilihat dari keterampilan secara turun temurun, ketersediaan bahan baku
kacang tanah dan pemasaran hasil yang cukup luas. Kacang tanah banyak digemari oleh
masyarakat Kota Kotamobagu karena selain dikonsumsi juga digunakan sebagai bahan baku
pengolahan kacang goyang, kacang telur, kacang shanghai, dan berbagai macam penganan
lainnya. Kacang tanah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional |7
pendapatan daerah Kota Kotamobagu. Kacang tanah merupakan salah satu sumber
pendapatan petani yang diperoleh setiap tahun disamping pendapatan dari tanaman yang
lain.
Supply chain produk kacang goyang di UD Asli Totabuan akan menentukan produksi
usaha tersebut. Menurut Haris dan Utami (2011) bahwa bila terjadi ketidaksinambungan
mulai dari penyedia bahan baku hingga produksi, akan menyebabkan terganggunya
kelancaran usaha tersebut. Oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi supply chain pada
pengolahan kacang goyang di UD Asli Totabuan.
Kacang goyang yang dihasilkan oleh UD Asli Totabuan, Kota Kotamobagu memiliki
prospek yang sangat baik karena kacang goyang banyak dikenal oleh masyarakat, terutama
masyarakat Kota Kotamobagu. Permintaan kacang goyang di pasar cukup tinggi karena
selain harga yang terjangkau, rasanya juga enak dan gurih serta kemasan yang menarik.
Kacang goyang UD Asli Totabuan dipasarkan di beberapa toko swalayan di Kotamobagu,
Manado, Gorontalo, dan Ternate.
Kota Kotamobagu terdapat beberapa industri yang mengolah kacang tanah menjadi
kacang goyang dan memasarkan pada daerah yang sama. Hal ini yang menyebabkan
terjadinya persaingan bisnis yang ketat. Adanya persaingan bisnis yang ketat, maka industri
yang mempunyai kemampuan lebih dapat bertahan dan industri yang lemah akan tersisih.
Karena itu semua industri yang memproduksi kacang goyang diharapkan mampu bertahan
dan berkembang dalam pasar persaingan yang ketat. Industri pada umumnya dapat bertahan
dan berkembang apabila didukung dengan modal yang cukup. Terdapat empat faktor yang
dapat menunjang pengembangan agroindustri suatu komoditas yang kuat yaitu bahan baku,
pasar, permodalan, dan tekonologi (Indrawanto, 2008).
Permasalahannya walaupun produksi tanaman kacang tanah setiap tahunnya
cenderung meningkat, tetapi kebutuhan bagi industri kacang goyang sering tidak mencukupi.
Hal ini disebabkan karena di Kota Kotamobagu terdapat beberapa industri kacang goyang.
Upaya yang dilakukan oleh UD Asli Totabuan dalam mencukupi kebutuhan bahan baku
agroindustri kacang goyang adalah pengusaha melakukan impor bahan baku dari daerah lain.
Kendala produksi kacang tanah secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi kendala
biofisik, teknis, sosial, ekonomi, dan kebijakan (Sudaryono, 2009).
Apabila pengusaha memperoleh bahan baku dari luar daerah Kota Kotamobagu maka
pengusaha akan menanggung biaya transportasi. Hal ini dapat menyebabkan harga input
semakin mahal sehingga penerimaan pengusaha dapat semakin berkurang. Berdasarkan latar

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


8 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
belakang dan pemikiran tersebut maka telah dilakukan penelitian tentang kelayakan finansial
agroindustri kacang goyang di Kota Kotamobagu khususnya pada UD Asli Totabuan.

Metode Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi
kasus pada salah satu industri kacang goyang UD Asli Totabuan. Pengumpulan data meliputi
data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung kepada pemilik dan karyawan UD
Asli Totabuan, dan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kota Kotamobagu.

Metode Analisis Data


Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis keuntungan dan
analisis kelayakan usaha yang terdiri dari NPV, IRR dan Gross Benefit Cost Ratio (R/C
Ratio).

Hasil dan Pembahasan


Supply Chain (Rantai Pasokan) Kacang Goyang UD Asli Totabuan
Konfigurasi rantai pasokan pada industri kacang goyang UD Asli Totabuan yang
melibatkan pihak-pihak yang termasuk dalam rantai pasokan, diantaranya:
1. Petani kacang tanah di Gorontalo
2. Distributor gula di Kotamobagu
3. Distributor Coklat bubuk di Kotamobagu
4. Pabrik Kacang Goyang di UD Asli Totabuan Kotamobagu
5. Supermarket:
- untuk area Kotamobagu: Toko Dragon, dan Abdi Karya
- untuk area Manado: Supermarket Gelael, Golden, Multimart, dan Toko Paniki Jaya
- untuk area Amurang
- untuk area Gorontalo: Karsa Utama, Toko Makro
- untuk area Ternate.
Besarnya keuntungan yang diperoleh UD Asli Totabuan dianalisis dengan
menggunakan analisis keuntungan. Keuntungan yang diperoleh pemilik usaha pada produksi
kacang goyang adalah sebesar Rp. 42.354.825 pada tahun 2015. Berdasarkan hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh UD Asli Totabuan dalam

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional |9
memproduksi kacang goyang dari tahun 2003 sampai tahun tahun 2015 berfluktuasi karena
tingginya biaya variabel yang dikeluarkan, sedangkan kenaikan harga jualnya relatif kecil.

Perhitungan Kriteria Penilaian Investasi


Perhitungan kriteria penilaian investasi pada UD Asli Totabuan untuk produksi
kacang goyang menggunakan metode penilaian yaitu: Net Present Value (NPV), Internal
Rate of Return (IRR), Gross Benefit-Cost Ratio (gross B/C).

1. Net Present Value (NPV)


Apabila hasil perhitungan Net Present Value (NPV) menunjukkan nilai positif, maka
investasi tersebut diterima dan sebaliknya jika menunjukkan hasil yang negatif maka
investasi tersebut ditolak. Hasil perhitungan NPV untuk produk kacang goyang
84.157.170,08. Hasil perhitungan NPV menunjukkan angka yang positif yaitu sebesar 84,1
juta rupiah artinya produksi pengolahan kacang goyang UD Asli Totabuan Kecamatan
Kotamobagu Selatan layak untuk diusahakan dan dikembangkan.

2. Internal Rate of Return (IRR)


Perhitungan IRR dalam penelitian dimaksudkan untuk mengetahui tingkat bunga yang
dijadikan nilai sekarang dari cash flow yang diharapkan diterima sama dengan nilai sekarang
dari pengeluaran modal awal atau NPV mendekati nol. Mendapatkan nilai Internal Rate of
Return (IRR) tidak ditemukan secara langsung dan harus dicari dengan coba-coba.
Menggunakan discount factor 12% nilai NPV sebesar 84.157.170,08 dan discount factor
36% nilai NPV sebesar -13.520.912,02 sehingga nilai IRR yang diperoleh sebesar 32,68%.
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa IRR lebih besar dari bunga bank yang
sebesar 12%. Produksi kacang goyang UD Asli Totabuan di Kecamatan Kotamobagu
Selatan layak untuk dikembangkan.

3. Gross Benefit- Cost Ratio (gross B/C Ratio)


Gross B/C merupakan perbandingan antara penerimaan dan biaya yang diperoleh dari
nilai total sekarang total biaya. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai gross benefit-
cost ratio (gross B/C) sebesar Rp 1,0583 dengan demikian pemilik usaha kacang goyang
akan memperoleh keuntungan atau benefit sebesar 1,06 kali dari modal yang diinvestasikan,
sehingga produksi kacang goyang UD Asli Totabuan Kota Kotamobagu layak untuk
dikembangkan.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


10 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini sebagai berikut:
1. Kebutuhan bahan baku (kacang tanah, gula pasir, dan coklat) tersedia secara kontinu
karena dapat terpenuhi setiap memproduksi kacang goyang.
2. Industri kacang goyang UD Asli Totabuan Kota Kotamobagu mempunyai prospek yang
baik dan menguntungkan. Secara finansial, menunjukkan bahwa investasi pada industri
tersebut layak untuk diusahakan.

Daftar Pustaka
Haris, A., Hidayat, R. dan Utami, I. D. 2011. Fleksibilitas Supply Chain Dengan Pendekatan
Pujawan Framework. Diakses 11 Januari 2012.

Indrawanto, C. 2008. Penentuan Pola Pengembangan Agroindustri Jambu Mete. Jurnal Litri
Vol 14 No 2. Juni 2008. P 78-86.

Sudaryono. 2009. Kontribusi Ilmu Tanah Dalam Mendorong Pengembangan Agribisnis


Kacang Tanah di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 2 (4). p. 258-282.

Wulandari, W. D., Supardi, S. dan Rahayu, W. 2008. Analisis Usaha Kacang Sangrai di
Kabupaten Klaten, Mediagro Vol, 4 No. 2. p. 51-61.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 11
IDENTIFIKASI MANFAAT DAN KENDALA USAHATANI PADI SAWAH
PADA PETANI DI KECAMATAN PAMONA PUSELEMBA
KABUPATEN POSO

MARIANNE REYNELDA MAMONDOL

Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena


Email: mariannemamondol@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memberikan gambaran umum tentang usahatani padi
sawah di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso, dan (2) mengidentifikasi berbagai
manfaat dan kendala usahatani padi sawah pada petani di Kecamatan Pamona Puselemba
Kabupaten Poso. Data dikumpulkan melalui survey dengan menggunakan kuisioner dan
wawancara pada subyek peneltian. Sebanyak 100 petani padi sawah diambil sebagai subyek
penelitian melalui teknik sampling acak sederhana. Data yang terkumpul selanjutnya
dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Secara umum, usahatani padi sawah di Kecamatan
Pamona Puselemba merupakan usahatani berskala kecil (< 0,5 ha), jenis pengairan tadah
hujan, dominan dengan penggunaan input agrokimia, rata-rata produksi beras 2,39
ton/ha/musim tanam, dan intensitas penanaman 2 kali setahun. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 3 manfaat utama usahatani padi sawah, yaitu untuk memenuhi
kebutuhan beras keluarga petani (77 % responden), sebagai sumber dana untuk membiayai
pendidikan anak (32 % responden), dan sebagai sumber pendapatan keluarga (21 %
responden). Adapun kendala-kendala utama yang dihadapi petani dalam usahatani padi
sawah ialah masalah pengairan/irigasi (54 % responden), serangan hama dan penyakit
tanaman (42 % responden), cuaca yang sulit diprediksi (28 % responden), ketersediaan
traktor untuk mengolah tanah (26 % responden), dan ketersediaan modal (26 % responden).

Kata Kunci: Manfaat, Kendala, Usahatani Padi Sawah

Pendahuluan
Beras merupakan komoditas strategis dengan sensitivitas politik, ekonomi, dan sosial
yang tinggi karena merupakan bahan makanan pokok bagi sekitar 95 % rakyat Indonesia
(Nazam et al, 2011). Ketergantungan penduduk yang begitu besar pada beras menyebabkan
apabila terjadi sedikit gangguan terhadap produksi beras akan menimbulkan gangguan pada
pasokan beras sehingga mengakibatkan lonjakan harga beras di pasaran. Bagi Kabupaten
Poso, usahatani padi sawah merupakan aktivitas pertanian rakyat yang dominan dilakukan
oleh masyarakat petani. Hingga tahun 2015, usahatani padi sawah menyerap 50,03 %
angkatan kerja dengan produksi beras rata-rata sebesar 4,65 ton/ha/tahun. Potensi yang
dimiliki oleh Kabupaten Poso, secara khusus Kecamatan Pamona Puselemba untuk
pengembangan usahatani padi sawah meliputi beberapa faktor, yaitu: 1) ketersediaan
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
12 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
sumberdaya manusia petani sebagai pelaku usahatani, 2) ketersediaan lahan, 3) ketersediaan
sumber air untuk pengairan, dan 4) ketersediaan akses penyaluran hasil usahatani dari
wilayah penghasil ke konsumen.
Bagi petani selaku produsen beras, usahatani padi sawah telah menjadi bagian
kehidupan yang memberikan banyak manfaat, di antaranya sebagai penyangga ketahanan
pangan keluarga dan sumber pendapatan rumah tangga (Damayanti, 2013). Di sisi lain,
terdapat beberapa kendala yang dapat menjadi faktor pembatas usahatani padi sawah, di
antaranya masalah-masalah teknis seperti pengairan (Lamusa, 2010), organisme
pengganggu tanaman (Ruskandar, 2010), dan penerapan teknologi (Rangkuti, 2009),
maupun masalah permodalan dan ketersediaan sarana produksi (Lumintang, 2013). Petani
sebagai pelaku usahatani yang telah memiliki pengalaman berusahatani memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi atau mengenali manfaat yang diperoleh dan kendala
yang dihadapi dalam usahatani padi sawah yang dikelolanya.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) memberikan gambaran umum tentang usahatani padi
sawah di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso, dan 2) mengidentifikasi berbagai
manfaat dan kendala usahatani padi sawah pada petani di Kecamatan Pamona Puselemba
Kabupaten Poso. Identifikasi terhadap manfaat dan kendala ini dijadikan sebagai dasar
pemikiran tentang langkah-langkah kebijakan yang dapat ditempuh untuk penanganan
berbagai permasalahan usahatani padi sawah di tingkat petani.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso pada
bulan Januari hingga Maret 2017. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan
jumlah petani padi sawah yang mencapai 80 % dari total jumlah petani yang ada (BPS Poso,
2015). Sebanyak 5 sampel desa/kelurahan diambil secara acak di antara 10 desa/kelurahan
yang terdapat di Kecamatan Pamona Puselemba, yaitu Kelurahan Pamona, Desa
Buyumpondoli, Desa Soe, Desa Mayakeli, dan Desa Tonusu. Dari setiap desa dilakukan
pengambilan sampel responden penelitian masing-masing sebanyak 20 petani padi sawah
dengan teknik sampling acak sederhana, sehingga diperoleh 100 sampel responden secara
keseluruhan.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan wawancara,


sedangkan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso diperoleh melalui studi
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 13
pustaka. Responden diminta untuk melakukan identifikasi secara lengkap mengenai manfaat
dan kendala usahatani padi sawah. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan
gambaran umum mengenai usahatani padi sawah, sedangkan distribusi frekuensi relatif
digunakan untuk mengkaji manfaat dan kendala usahatani berdasarkan pernyataan
responden penelitian.

Hasil dan Pembahasan


1. Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah
Tabel 1. Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah di Kecamatan Pamona Puselemba
Kabupaten Poso Tahun 2017.
No. Komponen Persentase (%)
1. Luas tanam a. < 0,5 ha : 66 %
b. 0,5 – 1,00 ha : 27 %
c. > 1,00 ha : 7 %
2. Status lahan a. Milik sendiri : 93 %
b. Sewa : 3 %
c. Sakap : 4 %
3. Tipe pengairan sawah a. Tadah hujan : 63 %
b. Irigasi semi teknis : 7 %
c. Irigasi teknis : 30 %
4. Penggunaan input (pupuk, pestisida) a. Anorganik : 80 %
b. Organik : 20 %
5. Rata-rata produksi beras 2,39 ton/ha/musim tanam
6. Intensitas penanaman dalam setahun a. 2 kali : 81 %
b. 3 kali : 19 %
Sumber: Data Primer Setelah diolah, 2017.
Berdasarkan tabel diketahui bahwa usahatani padi sawah di Kecamatan Pamona
Puselemba pada umumnya memiliki luas tanam < 0,5 ha (66 % responden), status lahan
milik sendiri (93 % responden), dan tipe pengairan tadah hujan (63 % responden).
Penggunaan pupuk dan pestisida anorganik dipraktikkan oleh 80 % responden, sedangkan
pupuk dan pestisida organik digunakan oleh 20 % responden, yaitu petani yang menerapkan
metode tanam System of Rice Intensification (SRI). Rata-rata produksi beras ialah sebesar
2,39 ton/ha/musim tanam, lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata produksi beras
Kabupaten Poso sebesar 2,33 ton/ha/musim tanam. Intensitas penanaman umumnya 2 kali
setahun (81 % responden), terutama pada tipe pengairan tadah hujan. Intensitas penanaman
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
14 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
sebanyak 3 kali setahun hanya dapat dilaksanakan pada areal persawahan dengan irigasi
teknis yang terdapat di Desa Tonusu.

2. Manfaat dan Kendala Usahatani Padi Sawah


Pada penelitian ini responden diminta untuk menyebutkan selengkapnya manfaat dan
kendala usahatani padi sawah, sehingga pada umumnya responden memberikan lebih dari
satu jawaban. Manfaat usahatani padi sawah berdasarkan jawaban responden diperlihatkan
pada Tabel 2 sebagai berikut.
Tabel 2. Manfaat Usahatani Padi Sawah pada Petani di Kecamatan Pamona Puselemba
Kabupaten Poso, Tahun 2017.
No. Manfaat Usahatani Padi Sawah Persentase (%)
1. Pemenuhan kebutuhan beras keluarga 77
2. Sumber dana untuk biaya pendidikan anak 32
3. Sumber pendapatan keluarga 21
4. Penyedia lapangan pekerjaan 7
5. Sumber perolehan modal usahatani 3
6. Warisan leluhur 2
7. Sumber dana untuk investasi keluarga 1
8. Sumber pengetahuan tentang cara berusahatani 1
Sumber: Data Primer Setelah diolah, 2017.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa terdapat 3 manfaat utama usahatani padi sawah, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan beras keluarga (77 % responden), sebagai sumber dana untuk
membiayai pendidikan anak (32 % responden), dan sebagai sumber pendapatan keluarga
(21 % responden). Pemenuhan kebutuhan beras keluarga terkait dengan upaya petani
menciptakan ketahanan dan kemandirian pangan keluarga, karena dengan menanam padi
petani tidak perlu lagi membeli beras untuk kebutuhan makan sehari-hari. Ketahanan
pangan menurut FAO dalam Hanafie (2010) adalah situasi di mana semua rumah tangga
mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota
keluarganya, dan rumah tangga tidak berisiko untuk mengalami kehilangan kedua akses
tersebut. Dengan demikian, melalui usahatani padi sawah yang dilakukannya petani
berupaya untuk menciptakan akses perolehan beras sebagai bahan pangan keluarga.
Usahatani padi sawah juga bermanfaat sebagai sumber dana untuk biaya pendidikan
anak-anak dalam keluarga petani. Ini merupakan manfaat yang spesifik dari manfaat yang

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 15
sifatnya lebih umum, yaitu sebagai sumber pendapatan keluarga. Usahatani padi sawah yang
dikerjakan petani memiliki orientasi pemenuhan kebutuhan pasar, dan beras yang terjual
digunakan petani sebagai pendapatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan (Roidah, 2015),
termasuk di antaranya untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Petani menjadi
termotivasi untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksi dengan harapan agar
pada saat panen diperoleh hasil penjualan yang tinggi sehingga pendapatan petani pun
mengalami peningkatan.
Kendala usahatani padi sawah berdasarkan jawaban responden diperlihatkan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Kendala Usahatani Padi Sawah pada Petani di Kecamatan Pamona Puselemba
Kabupaten Poso, Tahun 2017.
No. Kendala Usahatani Padi Sawah Persentase (%)
1. Pengairan 54
2. Serangan hama dan penyakit 42
3. Cuaca yang sulit diprediksi 28
4. Ketersediaan peralatan mesin pengolah tanah (traktor) 26
5. Ketersediaan modal 26
6. Ketersediaan pupuk anorganik 11
7. Kegagalan panen 7
8. Ketersediaan pestisida anorganik 5
9. Ketersediaan tenaga kerja 3
10. Pengetahuan teknis usahatani 2
11. Ketersediaan benih unggul 1
Sumber: Data Primer Setelah diolah, 2017.
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa masalah pengairan merupakan kendala yang
paling banyak dihadapi petani dalam berusahatani padi sawah. Pengairan merupakan faktor
teknis yang turut menentukan keberhasilan usahatani padi sawah, terutama terkait dengan
kebutuhan air untuk menggenangi tanaman padi pada fase-fase tertentu (Mahananto et al,
2009), yaitu pada awal pertumbuhan, pembentukan anakan, masa bunting, dan pembungaan
(Anugrah et al, 2008). Sebagian besar lahan sawah di lokasi penelitian merupakan sawah
tadah hujan yang ketersediaan airnya sangat bergantung pada curah hujan. Kemarau yang
berkepanjangan merupakan ancaman bagi produksi, bahkan dapat menyebabkan kegagalan
panen.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


16 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Serangan hama dan penyakit tanaman juga menjadi faktor pembatas produksi padi
sawah, karena dapat mengurangi kuantitas maupun kualitas beras yang dihasilkan. Hama
yang paling banyak menyerang tanaman padi ialah tikus, keong, wereng, dan walang sangit,
sedangkan penyakit tanaman padi yang sering dihadapi petani ialah penyakit bercak coklat
dan blast yang disebabkan oleh cendawan serta penyakit tungro yang disebabkan oleh virus.
Untuk pengendalian atau pemberantasan hama dan penyakit umumnya petani menggunakan
pestisida anorganik, sedangkan pestisida organik digunakan oleh petani yang menerapkan
metode tanam SRI. Kadang terjadi kelangkaan sarana produksi pestisida anorganik di
pasaran, di samping kurangnya pengetahuan petani mengenai dosis anjuran penggunaan
pestisida anorganik.
Cuaca yang sulit diprediksi, terutama karena keterbatasan teknologi dan akses
informasi ramalan cuaca, menyebabkan petani sering tidak dapat menentukan waktu yang
tepat untuk memulai aktivitas usahatani padi sawah. Pemanasan global (global warming)
berdampak pada perubahan iklim (climate change) yang menyebabkan pergeseran pola
musim penghujan dan kemarau, di mana petani tidak akan melakukan penanaman padi
sepanjang kebutuhan air belum mencukupi melalui curah hujan (Suharyanto et al, 2013).
Hal ini terutama berlaku pada petani yang areal sawahnya memiliki pengairan tadah hujan.
Pada sawah beririgasi teknis dengan sumber air berupa sungai yang debit airnya relatif
konstan sepanjang tahun, petani lebih leluasa menentukan jadwal penanaman padi karena
ketersediaan air yang mencukupi. Cuaca yang tidak menentu juga mempengaruhi panen dan
penanganan gabah pasca panen, terutama bila kedua proses ini berlangsung pada saat musim
penghujan (Kaparang, 2015). Belum tersedianya alternatif teknologi pengeringan gabah
selain penjemuran di bawah sinar matahari berpotensi menyebabkan penurunan kualitas
gabah yang dihasilkan.
Kendala lainnya yang dihadapi petani ialah modal, baik modal dalam bentuk uang
tunai maupun peralatan usahatani. Modal ialah faktor yang sangat diperlukan dalam
kelancaran operasi usahatani, dan keterbatasan modal dapat menghambat petani dalam
menggerakkan usahataninya (Andri, 2014). Sebagian besar petani mengalami kesulitan
memperoleh uang tunai, terutama untuk memulaikan usahataninya. Bahkan kebanyakan
petani telah terlebih dahulu menggadaikan hasil produksinya pada pelepas uang sebelum
melakukan penanaman guna memperoleh uang tunai sebagai modal usahatani. Akibatnya
pada saat panen, penghasilan yang diperoleh sebagian digunakan untuk menutupi utang atau

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 17
pinjamannya. Demikian pula ketersediaan peralatan mesin berupa traktor tangan (hand
tractor) yang terbatas menyebabkan petani harus bergiliran untuk menggunakan traktor
dalam pengolahan tanah. Kesempatan ini digunakan oleh pemilik peralatan untuk
menetapkan tarif penggunaan mesin dalam jumlah yang besar yang menyebabkan biaya
sewa traktor oleh petani menjadi mahal.

3. Beberapa Langkah Kebijakan untuk Penanganan Masalah Usahatani Padi Sawah


Berdasarkan uraian manfaat dan kendala usahatani padi sawah pada petani di
Kecamatan Pamona Puselemba, terdapat beberapa langkah kebijakan yang dapat
direkomendasikan secara khusus kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Poso dan pemangku
kepentingan (stakeholder) lainnya terkait penanganan permasalahan usahatani padi sawah.
Langkah-langkah kebijakan tersebut ialah sebagai berikut:
1) Perbaikan sarana irigasi di Kecamatan Pamona Puselemba.
Di wilayah Kecamatan Pamona Puselemba sebenarnya terdapat beberapa check dam
yang sebenarnya dapat berfungsi memenuhi kebutuhan air bagi persawahan petani,
hanya saja kondisinya tidak terawat dengan baik. Perbaikan dan pemeliharaan sarana
irigasi dapat menjawab permasalahan pengairan, sehingga produktivitas lahan sawah dan
tanaman padi dapat ditingkatkan.
2) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani mengenai teknik budidaya tanaman
padi.
Upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) petani bertujuan untuk
penguasaan dan penerapan teknologi, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap
kuanititas dan kualitas hasil produksi (Wangke et al, 2011). Untuk menunjang
kemampuan dan keterampilan para petani dalam penguasaan dan penerapan teknik
budidaya tanaman padi, petani perlu diberikan pelatihan-pelatihan atau kursus-kursus
mengenai budidaya pertanian. Pihak-pihak yang dapat memberikan pelatihan ialah
Dinas Pertanian Kabupaten Poso, perguruan tinggi, dan atau Petugas Penyuluh Lapangan
(PPL) Kabupaten.
3) Penguatan organisasi/kelembagaan petani.
Selain kualitas SDM, organisasi/kelembagaan petani juga berperan membantu
keberhasilan pengembangan usahatani. Keberadaan kelembagaan (organisasi) tersebut
dapat mempermudah petani untuk melakukan akses kepada berbagai pihak yang terkait
untuk memasarkan hasil produksinya, memperoleh bantuan pendanaan, pengadaan bibit,
dan akses-akses lainnya. Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang mewadahi

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


18 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
kelompok-kelompok tani yang ada di setiap desa dapat mempengaruhi aksesibilitas
petani terhadap pemasaran, permodalan, pembelian sarana produksi, pengendalian hama
dan penyakit tanaman, serta pembibitan.
4) Pendirian Koperasi Unit Desa (KUD).
Koperasi Unit Desa (KUD) sebenarnya terdapat di setiap desa, hanya saja tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik terutama disebabkan permasalahan finansial dan
manajemen. KUD dapat difungsikan sebagai penampung dan penyalur hasil-hasil
produksi petani, di samping sebagai penyedia modal uang tunai, sarana produksi (pupuk,
pestisida, bibit), dan peralatan mesin dengan harga yang terjangkau oleh petani.
5) Peningkatan peran perguruan tinggi dalam diseminasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perguruan tinggi merupakan lembaga yang berperan melakukan riset atau kajian-kajian
teknis dan sosial ekonomi terkait permasalahan yang dihadapi petani, dan kemudian
mendiseminasikan hasil riset kepada petani sebagai wujud pelaksanaan dharma
pengabdian kepada masyarakat. Informasi mengenai teknik pemupukan, pengendalian
hama penyakit, pengelolaan air, penanganan pasca panen, dan agribisnis, termasuk isu
mengenai penerapan metode tanam SRI yang efisien dalam penggunaan air dan budidaya
padi sawah organik sangat dibutuhkan petani dalam pengembangan usahataninya.

Kesimpulan
Usahatani padi sawah di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso bermanfaat
dalam menunjang ketahanan dan kemandirian pangan serta pendapatan keluarga petani.
Hanya saja kendala-kendala teknis, faktor alam, dan permodalan berisiko terhadap
penurunan dan kegagalan produksi sehingga merupakan ancaman terhadap usaha-usaha
pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani. Diperlukan langkah-langkah penanganan
permasalahan yang terintegrasi antara pemerintah daerah, dunia usaha, dan perguruan tinggi
guna menjamin pengembangan dan keberlanjutan aktivitas usahatani.

Daftar Pustaka
Andri, K.B., 2014. Profil dan Karakter Sosial Ekonomi Petani Tanaman Pangan di
Bojonegoro. Jurnal Agroekonomika. 3 (1): 167 – 179.

Anugrah, I.S., Sumedi, dan I.P. Wardana, 2008. Gagasan dan Implementasi System of Rice
Intensification (SRI) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE). Jurnal Analisis
Kebijakan Pertanian. 6 (1): 75 – 99.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 19
BPS Poso, 2015. Kabupaten Poso dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Poso. Poso.

_________, 2015. Kecamatan Pamona Puselemba dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Poso. Poso.

Damayanti, L., 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi, Pendapatan dan


Kesempatan Kerja pada Usahatani Padi Sawah di Daerah Irigasi Parigi Moutong.
Jurnal SEPA. 9 (2): 249 – 259.

Hanafie, R., 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Edisi 1. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Kaparang, G., 2015. Kajian Usahatani Padi Sawah di Kelurahan Taratara Satu Kota
Tomohon. Jurnal Cocos. 6 (1): 1 – 12.

Lamusa, A., 2010. Risiko Usahatani Padi Sawah Rumah Tangga di Daerah Impenso
Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Agroland. 17 (3): 226 – 232.

Lumintang, F.M., 2013. Analisis Pendapatan Petani di Desa Teep Kecamatan Langowan
Timur. Jurnal EMBA. 1 (3): 991 – 996.

Mahananto, S. Sutrisno, dan C.F. Ananda, 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Produksi Padi: Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Jurnal
Wacana. 12 (1): 179 – 191.

Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I.W. Rusastra, 2011. Penetapan
Luas Lahan Optimum Usahatani Padi Sawah Mendukung Kemandirian Pangan
Berkelanjutan di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Agro Ekonomi. 29 (2): 113 – 142.

Rangkuti, P.A., 2009. Analisis Peran Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi
Traktor Tangan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi. 27 (1): 45
– 60.

Roidah, I.S., 2015. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Musim Hujan dan Musim Kemarau
(Studi Kasus di Desa Sopatan Kecamatan Gondang Kabupaten Tulungagung). Jurnal
Agribisnis Fakultas Pertanian Unita. 11 (13): 45 – 55.

Ruskandar, A., 2010. Persepsi Petani dan Identifikasi Faktor Penentu Pengembangan dan
Adopsi Varietas Padi Hibrida. Jurnal Iptek Tanaman Pangan. 5 (2): 113 – 125.

Suharyanto, J.H. Mulyo, D.H. Darwanto, dan S. Widodo, 2013. Analisis Efisiensi Teknis
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Provinsi Bali. Jurnal SEPA.
9 (2): 219 – 230.

Wangke, W.M., B.O.L. Suzana, dan H.A. Siagian, 2011. Penerapan Teknologi Usahatani
di Desa Sendangan Kecamatan Kakas Kabupaten Minahasa. Jurnal Agri Sosial
Ekonomi. 7 (1): 53 – 57.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


20 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
MENINGKATKAN AKSES PANGAN DAN SUMBERDAYA MANUSIA MELALUI
PERAN KELEMBAGAAN TANI

PUTU ARIMBAWA*1, NUR RAHMAH1) DAN MUHAMMAD ASWAR LIMI1)


1)
Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari
*
Email: ariembawa_kdi@yahoo.com

ABSTRACT

The existence of a farmer institution is expected to play a role in meeting community or


farmers’ need for food. However, since every region has different conditions, it is essential
to conduct a study of a sustainable farmer institution on food access and human resource
(HR). Farmers must have the ability to produce food and have a strategy to overcome any
food shortage in their region. The objectives of the current study to analyze the role of
agricultural institutions in improving farmers’ access to food and human resources for food.
The study was conducted in the Village of Peoho, District of Watubangga, Regency of
Kolaka, Southeast Sulawesi, Indonesia. The assumption used in this study wasthat the
existence of farmer institution in every region determined people access to food. Samples
were chosen with the simple random sampling method. The data were analyzed
quantitatively and qualitatively. Our results showed that the institutions that played a role in
meeting access to food were village authority, kiosks/warungs, families and neighbors, while
institutions playing a role in improving human resources were farmers’ groups, agricultural
extensions, family and neighbors.
Kata Kunci: Food Access, Human Resources, Institutional

Pendahuluan
Kebutuhan pangan nasional akan terus bertambah dari tahun ke tahun sebagai akibat
jumlah penduduk yang terus meningkat. Jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 237,5 juta
jiwa, dimana 53,45% berada di Pulau Jawa dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49% (BPS,
2011). Diperkirakan pada tahun 2020, penduduk Indonesia berjumlah 250 juta.
Ketersediaan lahan menjadi pengaruh langsung dari pertumbuhan penduduk. Sehingga
semakin banyaknya penduduk menyebabkan sempitnya lahan pertanian yang dapat dikelola
oleh petani. Hasil analisis yang dilakukan oleh Sumaryanto (2009), kendala utama yang
dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita adalah (1)
pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena laju perluasan lahan pertanian baru sangat
rendah dan konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit dikendalikan, dan degradasi
sumberdaya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia lahan
pertanian; dan (2) adanya gejala kemandegkan dalam pertumbuhan produktivitas. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari data semakin banyaknya petani gurem di Indonesia. Saat ini rata-

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 21
rata petani di Indonesia mempunyai lahan seluas 0,36 ha dan sebanyak 49% petani Indonesia
adalah buruh tani (Zulfahrizal, 2012). Kondisi tersebut berdampak pada terjadinya migrasi
tenaga kerja sektor pertanian ke sektor non pertanian. Jumlah pekerja pertanian saat ini terus
menurun setiap tahunnya. Siapa kelak yang menjadi petani di daerah tersebut kalau petani
muda kurang dari 30 tahun relative sedikit? Untuk itu, perbaikan SDM pangan melalui
jenjang pendidikan perguruan tinggi sangat penting. Yang perlu diperhatikan bagaimana
memberdayakan para alumni pertanian untuk dapat berperan dalam mewujudkan
kemandirian pangan (Arif, 2012).
Menurut Darsono (2012) usaha untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional
terkendala dengan permasalahan yaitu: (1) mengecilnya skala usaha karena perpecahan atau
perpencaran (fragmentasi) dan (2) alih fungsi lahan pertanian. Lahan yang tidak diusahakan
meningkat. Ahmad Suryana (2005) menyatakan bahwa kendala dan tantangan yang dihadapi
dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional antara lain adalah: (1) berlanjutnya konversi
lahan pertanian untuk kegiatan non pertanian, (2) teknologi produksi menggunakan benih
unggul dan pupuk kimia secara intensif, juga berdampak pada merosotnya kualitas dan
kesuburan tanah, (3) kebijakan pengembangan komoditas pertanian yang berfokus pada
beras yang telah mengabaikan potensi sumber pangan karbohidrat lainnya, (4 ) teknologi
pasca panen belum diterapkan dengan baik, (5) belum memadainya prasarana dan sarana
transportasi, (6) ketidakstabilan harga dan rendahnya efisiensi sistem pemasaran hasil hasil
pangan, (7) khusus beras perannya sangan sentral sehingga pemerintah sangat
memperhatikan kestabilan produk maupun harga, (8) terbatasnya kemampuan kelembagaan
produksi petani karena terbatasnya dukungan teknologi tepat guna, akses kepada sarana
produksi serta kemampuan pemasarannya, dan (9) terbatasnya kelembagaan yang
menyediakan permodalan bagi usahatani di pedesaan.
Revitalisasi kelembagaan memerlukan strategi yang luwes dan mampu memahami
elemen-elemen kelembagaan formal dan non formal. Penguatan kelembagaan lokal
mengarah pada pencapaian dampak positif sejalan dengan pembangunan daerah setempat.
Adapun komponen revitalisasi kelembagaan meliputi: partisipasi masyarakat, dampak yang
jelas yang akan dicapai dan sistem pendukung (Suradisastra, 2006). Dalam hal pemenuhan
lahan bagi petani, pembagian lahan pertanian untuk petani tidak otomatis akan membuat
petani mampu meningkatkan pendapatannya sehingga dapat keluar dari kemiskinannya.
Perbaikan akses pada pasar adalah hal penting yang dibutuhkan petani untuk meningkatkan
pendapatannya. Disamping itu dalam era persaingan pasar bebas, petani harus melakukan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


22 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
kerjasama tidak bekerja sendiri-sendiri dalam melayani persaingan pasar. Petani
bekerjasama melalui wadah kelembagaan bisnis yang dikenal dengan marketing
cooperative. Melalui lembaga kerjasama ini para petani di Negara maju mengembangkan
strategi bersaing global secara kolektif dan menciptakan serta mengembangkan segmen
pasarnya. Pemerintah perlu mendorong dan memfasilitasi para petani untuk membangun
kerjasama antar petani. Kerjasama membutuhkan wadah kelembagaan. Hasil penelitian P.
Arimbawa, dkk (2014) tentang optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan untuk usahatani
jagung dan kacang tanah oleh petani belum optimal. Untuk mencapai optimal agar petani
memperoleh pendapatan yang baik petani lebih baik menggusahakan tanaman kacang tanah
saja dari pada jagung dengan minimal luas penggunaan sumberdaya lahan seluas 0,249 Ha.
Permasalahan yang dihadapi petani dalam memperoleh pangan saat ini adalah
keterbatasan akses petani dalam pemenuhan faktor produksi dan pemasaran produk pangan
yang dihasilkan dan keterbatasan kemampuan sumberdaya lahan dan modal yang dimiliki
serta tidak adanya kelembagaan petani yang secara nyata membantu petani didalam
melakukan penanganan terhadap kecukupan pangan di daerah. Kecenderungan petani
bekerja sendiri-sendiri dengan keterbatasan sumberdaya manusia dan sumberdaya modal
lainnya dalam pemenuhan pangan keluarga. Kondisi tersebut menyebabkan posisi tawar
petani (bargaining position) sangat lemah. Lemahnya posisi tawar petani sangat rentan akan
krisis pangan yang akan dialaminya mengingat sumberdaya manusia petani kecenderungan
sudah mulai kurang produktif sementara generasi muda petani cenderung beralih bekerja ke
sektor non pertanian yang juga untuk memperoleh nafkah di luar sektor pertanian juga
tidaklah mudah. Untuk itu diharapkan keberadaan kelembagaan petani dapat membantu
petani dalam pemenuhan pangan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam
pemenuhan pangan diwilayahnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis
peran lembaga pertanian dalam meningkatkan akses petani terhadap pangan dan peningkatan
sumber daya manusia dalam mendukung pemenuhan pangan di wilayahnya.

Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian survei. Objek penelitian ini adalah rumah tangga petani
(RTP) yang ada di dua desa sampel. Masing-masing desa akan akan diambil sebanyak 10%
RTP secara acak. Masing-masing RTP akan dilakukan survey dengan menggunakan
kuesioner yang sudah disiapkan. Analisis data menggunakan analisis kuantitatif dan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 23
kualitatif. Analisis kuantitatif dimaksudkan dapat mengungkap data dalam bentuk skala
pengukuran tertentu dan menggunakan statistik inferensial, sehingga dapat menyimpulkan
dan membuat generalisasi pola interrelasi faktor fisik dan non fisik pola ketahanan pangan
keluarga tani (RTP). Analisis kualitatif digunakan sebagai komplemen dari analisis
kuantitatif sehingga lebih mendalam mengungkap informasi yang penting. Dalam penelitian
ini analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis strategi petani/RTP dalam mengakses
pangan keluarga dan peran kelembagaan tani dalam membantu RTP dalam akses pangan.

Hasil dan Pembahasan


Identitas Responden
Identitas responden yang termasuk dalam penelitian ini meliputi: umur, tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan rumah tangga petani, pengalaman berusahatani,
jumlah anggota keluarga dan luas lahan usahatani.
Umur merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang
dalam beraktivitas, baik berupa kegiatan fisik maupun non fisik. Kemampuan kerja seorang
petani akan bertambah sampai pada tingkat umur tertentu, kemudian akan menurun. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 32 orang atau 61,54% responden tergolong dalam
kategori usia produktif yaitu antara usia 26 - 54 tahun. Sedangkan sebanyak 20 orang
(38,46%) responden tergolong dalam kategori kurang produktif (> 54 tahun). Tingkat
pendidikan akan mempengaruhi perilaku dan kemampuan seseorang dalam penyerapan
informasi yang berkaitan dengan usahataninya. Sebagian besar petani responden yaitu
sebanyak 24 orang (46,16%) tamat sekolah dasar, dan yang tidak pernah mengikuti sekolah
formal sama sekali atau tidak tamat SD yaitu sebanyak 12 orang (23,08%). Sedangkan
responden yang tamat SMP dan SMA masing-masing sebanyak 8 orang (15,38%). Kondisi
tingkat pendidikan formal responden sebagian besar masih kategori tingkat pendidikan
rendah.
Faktor yang mendukung pendapatan petani adalah jenis pekerjaan. Berdasarkan hasil
penelitian dari keseluruhan jumlah responden, dalam hal ini kepala keluarga yang ada di
Desa Peoho, semuanya bekerja sebagai petani. Para responden memanfaatkan lahan
usahataninya sebagai sumber pendapatan. Sedangkan jenis pekerjaan anak maupun istri
sebagian besar mengikuti pekerjaan suami atau orang tuanya sebagai petani. Ada sebagian
dari responden yang anak maupun istri mereka bekerja membuka usaha/wirausaha dan
bekerja disektor formal. Sebagian besar istri dari responden bekerja sebagai petani yaitu
sebanyak 23 orang (44,23%). Hal ini menunjukkan bahwa selain menjadi ibu rumah tangga

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


24 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
seorang istri juga membantu kepala keluarga dalam kegiatan usahatani untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarga. Selain itu, pendapatan rumah tangga tolak ukur yang sangat
penting untuk melihat kesejahteraan petani adalah pandapatan rumah tangga, sebab beberapa
aspek dari kesejahteraan tergantung pada tingkat pendapatan petani. Tingkat pendapatan
rumah tangga responden antara 1 juta sampai 2 juta per bulan. Pendapatan rumah tangga
petani diperoleh dari hasil produksi usahatani yang dimilikinya, dan biasanya diperoleh per
musim. Hasil panen dari usahatani yaitu tanaman padi dan tanaman perkebunan inilah yang
dijual untuk memenuhi kebutuhan pangan petani. Sebagian responden juga memperoleh
pendapatan dari hasil penjualan ternak, dan usaha sampingan dari istri responden. Daya beli
masyarakat berhubungan dengan faktor ekonomi. Faktor yang paling banyak mempengaruhi
dalam pola konsumsi pangan masyarakat adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi dapat
dilihat dari pendapatan. Pada masyarakat yang tingkat ekonominya tinggi, maka akan dapat
memenuhi semua kebutuhan makanan yang diperlukan oleh tubuhnya. Bahkan, mereka
dapat membeli makanan yang lebih bervariasi, yang cenderung memiliki protein tinggi dan
banyak mengonsumsi makanan dari sumber hewani. Pada masyarakat yang tingkat
ekonominya rendah, kebutuhan mereka akan pangan cenderung kurang dari kebutuhan
makanan yang seharusnya sehingga pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, pola
makan menjadi terbatas dan cenderung makanan yang dikonsumsi sama dan berulang setiap
harinya, dalam artian tidak bervariasi (Madanijah dalam Saputri dkk, 2016).
Pengalaman berusahatani seorang petani berpengaruh dalam keterampilan mengelola
atau memelihara usahataninya. Rata-rata petani Desa Peoho sudah berpengalaman dalam
berusahatani, dengan demikian diharapkan petani mampu mengelola usahataninya dengan
baik agar kebutuhan akan pangan petani dapat terpenuhi. Jumlah anggota keluarga akan
mempengaruhi tingkat produktivitas kerja dikaitkan dengan jumlah penggunaan
(sumbangan) tenaga kerja terhadap kegiatan produksi usahatani. Jumlah angggota keluarga
responden rata-rata 4 orang. Sedangkan rata-rata luas lahan sawah yang dimiliki setiap
petani yaitu 0,68 ha. Lahan sawah ini terbagi menjadi dua yaitu petani yang memiliki lahan
sawah teririgasi dan petani yang memiliki lahan sawah tadah hujan. Jenis tanaman yang
diusahakan adalah tanaman padi. Sedangkan untuk lahan kering rata-rata luas lahan kering
yang dimiliki setiap petani adalah 1,83 ha. Jenis tanaman perkebunan yang diusahakan oleh
responden adalah tanaman kelapa, sawit, jambu mente, kakao, nilam dan jenis tanaman
lainnya. Dengan luas lahan basah (sawah) yang tergolong cukup luas dan lahan kering

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 25
(kebun) yang tergolong luas diharapkan hasil produksi usahatani petani responden dapat
memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga.

Pola Konsumsi Pangan


Pola konsumsi pangan masyarakat memang dominan pada pangan pokok yaitu beras.
Beras telah menjadi pangan pokok utama dan pertama, bahkan masyarakat yang semula
mempunyai pola pangan pokok bukan beras beralih ke beras. Seperti hasil analisis
yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan (2009) yang menggunakan data SUSENAS
2006, pola konsumsi pangan pokok di perkotaan pada semua kelompok pengeluaran adalah
beras dan terigu (termasuk turunannya). Sementara itu, untuk di pedesaan, pola pangan
pokok pertama pada semua kelompok pengeluaran adalah beras, kemudian diikuti dengan
jagung, ubi kayu, terigu pada kelompok berpendapatan rendah. Sementara itu, untuk hal
yang sama, setelah beras diikuti hanya terigu pada kelompok menengah dan kaya.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 87 persen rumah tangga
mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok dan hanya 13 persen menkonsumsi
bahan makanan selain beras yaitu ubi, jagung dan pisang dengan frekuensi konsumsi pangan
tiga kali sehari dengan rata-rata jumlah anggota keluarga responden empat orang. Untuk
responden biasanya mengkonsumsi ubi, jagung, dan pisang dilakukan ketika persediaan
beras akan habis strateginya adalah pisang atau ubi tersebut dicampur dengan beras untuk
dimasak sebagai pemenuhan kebutuhan makan keluarga saat paceklik. Jika dilihat dari
variasi menu makanan yang dikonsumsi sebagian besar (56%) rumah tangga mengkonsumsi
menu makanan mereka yaitu nasi dengan sayuran, dengan sekali kali ditambah lauk
ikan/daging dan buah. Tidak ada rumah tangga responden yang mengkonsumsi susu dalam
variasi menu makanan setiap harinya. Untuk pemenuhan lauk pauk, sebagian besar (58%)
rumah tangga mengkonsumsi ikan sebagai menumakanannya, dan sebagian lagi dengan
mengkonsumsi telur maupun daging. Sedangkan jenis sayur yang paling sering dikonsumsi
adalah kacang panjang, daun ubi dan bayam. Ketiga jenis sayuran yang dikonsumsi tersebut
merupakan sayuran yang mudah didapat di lokasi tempat tinggal responden sebagai hasil
panen sendiri di lahan milik maupun dengan membeli di pasar desa atau pedagang sayur
keliling. Untuk jenis buah yang sering dikonsumsi adalah pisang. Pisang merupakan
makanan pelengkap menu masyarakat di lokasi penelitian. Hampir semua masyarakat
memiliki pisang di lokasi rumah mereka maupun di kebun. Disamping untuk dikonsumsi,
keberadaan pisang sangat penting bagi masyarakat dalam pemenuhan upacara-upacara, baik
upacara dalam rumah maupun dalam upacara keagamaan. Sebagai informasi, sebagian besar

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


26 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
masyarakat di lokasi penelitian merupakan masyarakat suku Bali yang sangat terkenal
dengan adat istiadat budaya berupa banyaknya upacara yang ada pada masyarakat Bali
sebagai wujud dari kepercayaan yang dianut. Menurut Saputri dkk (2016) terdapat hubungan
yang bermakna antara pola konsumsi pangan dengan tingkat ketahanan pangan rumah
tangga. Demikian juga terdapat hubungan yang bermakna antara variabel luar (jumlah
anggota keluarga, akses pangan, pengeluaran keluarga, konsumsi energi, dan konsumsi
protein) dengan tingkat ketahanan pangan rumah tangga.
Dalam beberapa kasus terdapat adanya rumah tangga yang kesulitan dalam memenuhi
kebutuhan pangan mereka baik karena kekurangan bahan pangan karena ketiadaan uang
untuk membeli bahan pangan ataupu karena masa paceklik atau gagal panen. Beberapa
upaya yang dapat dilakukan rumah tangga responden di lokasi penelitian adalah dengan
menggurangi konsumsi pangan harian ataupun dengan cara pemenuhan pangan dengan
meminjam bahan pangan dari keluarga atau tetangga dan kios/warung yang ada di desa
mereka. Tabel 1 adalah strategi petani untuk bertahan hidup dalam pemenuhan pangan
keluarga.

Tabel 1. Cara responden dalam pemenuhan pangan


Jumlah Presentase
No Cara Pemenuhan Pangan
(orang) (%)
1 Meminjam sama keluarga 6 11,54
2 Meminjam sama tetangga 7 13,46
3 Meminjam di warung/kios 14 26,92
4 Lainnya (Lebih dari satu pilihan) 25 48,08
Jumlah 52 100,00
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2017

Kepercayaan responden untuk pemenuhan pangan melalui warung/kios yang ada di


desa mereka sangat tinggi. Dilihat dari Tabel 1 bahwa banyak responden menjadikan
kios/warung sebagai tumpuan hidup mereka di waktu kebutuhan pangan mendesak akibat
ketiadaan uang untuk membeli pangan dengan sistem utang atau menunggu musim panen
tiba untuk membayar. Adanya kepercayaan antara responden dan pemilik kios pun
sebaliknya menjadikan model pemenuhan pangan ini paling banyak dilakukan oleh
responden. Disamping itu, sistem pinjam meminjam bahan pangan antara keluarga maupun
antar tetangga menjadi pilihan responden dalam pemenuhan pangan di lokasi penelitian.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 27
Peran Kelembagaan Pangan
Peran kelembagaan pangan sangat penting dalam menunjang pola konsumsi pangan
dari segi kualitas dan kuantitasnya. Pangan yang dikonsumsi diharapkan memiliki kualitas
yang meliputi kandungna gizi yang baik dan tercukupi. Untuk menunjang kualitas pangan
dan kuantitas pangan, pengembangan pangan lokal dalam bentuk diversifikasi pangan
menjadi langkah strategis. Dalam mewujudkan diversifikasi pangan peran kelembagaan
pangan nasional maupun lokal perlu ditingkatkan. Untuk Pengembangan kelembagaan
ketahanan pangan lokal perlu dilakukan secara terintegrasi antar sektor. Kondisi tersebut
penting dilakukankarena selamaini pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal
belum menunjukkan keberhasilan sesuai yang direncanakan, karena tidak disertai adanya
proses mentransformasikan keorganisasian usaha ekonomi setempat, program Mapan masih
bersifat sektoral, dan belum terlihat adanya keberpihakan politik yang kuat untuk mengatasi
kemiskinan dan rawan pangan (Siti dkk, 2009).
a. Peran Kelembagaan dalam Pemenuhan Pangan
Jenis kelembagaan yang biasa membantu responden dalam memenuhi kebutuhan
pangan yaitu pemerintah desa/kepala desa, kelompok tani dan kios/toko. Sedangkan jenis
kelembagaanpangan yang membantu dalam pemenuhan sarana produksi yaitu kelompok
tani, kios/toko yang ada di desa dan kelembagaan keluargadan tetangga. Diantara
kelembagaan yang ada tersebut, kelembagaan desa dianggap berperan dalam pemenuhan
pangan dalam bentuk pemenuhan beras raskin, kemudian kios/toko dan selajutnya
keberadaan kelompok tni dianggap memberikan kontribusi bagi masyarakat atau anggota
kelompok dalam pemenuhan pangan. Khusus untuk kios/toko dirasakan perannya dalam
pemenuhan kebutuhan pokok maupun pemenuhan sarana produksi yang dibutuhkan
responden seperti pupuk, pestisida dan dan benih serta peralatan usahatani seperti alat
semprot, parang, dan lainnya. Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut bahwa keberadaan
kelembagaan pangan di lokasi penelitian sangat penting dalam menunjang akses pangan bagi
masyarakat khususnya dalam hal penyediaan pangan yang mudah diperoleh. Salah satu
permasalahan untuk menuju terciptanya ketahanan pangan adalah penyediaan, distribusi dan
konsumsi pangan (Yunastiti, 2008). Salah satu kendala pentinngya peran kelembagaan
dalam pemenuhan pangan adalah modal usaha yang dimiliki petani. Berdasarkan hasil
penelitian, modal usahatani responden berasal dari pribadi. Modal ini diperoleh dari hasil
panen sebelumnya dan akan digunakan untuk kegiatan usahatani berikutnya. Sebagian kecil
responden juga menganggap kelompok tani berperan dalam membantu petani dalam

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


28 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
pemenuhan modal usahatani. Kelompok tani memberikan pinjaman modal kepada
anggotanya dengan tingkat bunga yang sangat rendah dan waktu pengembaliannya sesuai
dengan kesepakatan anggota kelompok tani. Handewi dan Ariani (2002) menyatakan dalam
upaya mencapai ketahanan pangan, pemberdayaan kelembagaan lokal (seperti lumbung
desa) dan peningkatan peran serta masyarakat dalam penyediaan pangan merupakan strategi
yang patut dipertimbangkan.
b. Peran Kelembagaan dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia
Keberadaan sumber daya manusia sangat penting dalam mewujudkan ketahanan
pangan di suatu wilayah. Keberadaan sumber daya manusia tidak hanya dilihat dari faktor
fisik tetapi juga dari faktor perfomance yang kedua-duanya saling menunjang dalam
pemenuhan pangan dan akses pangan. Berdasarkan hasil penelitian umur responden
dominan masih produktif. Akan tetapi, secara umum kondisi sumber daya manusia di
wilayah pedesaan khususnya para petani produsen pangan diatas umur 40 tahun. Untuk itu,
perlu ada peningkatan SDM khususnya bagaimana menarik pemuda-pemuda untuk terjun
kedua pertanian maupun meningkatkan kompetensi sumber daya manusia yang ada saat ini.
Berdasarkan hasil penelitian beberapa kelembagaan yang ada di lokasi penelitian yang
berperan dalam peningkatan sumber daya manusia pangan meliputi ketua kelompok tani,
penyuluh pertanian lapangan dan keluarga. Peran ketua kelompok tani dan penyuluh
pertanian dilakukan dalam bentuk memfasilitasi responden untuk terlibat dalam pelatihan
yang berhubungan dengan kegiatan usahatani. Maupun peran dalam memotivasi petani
untuk tetap bersemangat dalam berusahatani. Sedangkan peran keluarga yangpaling besar
dirasakan berperan dalam memotivasi atau mendukung responden untuk terus
mengembangkan usahanya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lembaga keluarga
sangat penting dalam menunjang keberhasilan usahatani. Disamping itu, lembaga kelompok
tani dan penyuluh juga dirasakan peranya oleh petani sebagai lembaga yang dapat dijadikan
wadah petani untuk belajar dan berusahatani yang lebih baik lagi. Untuk itu, keberadaan
kelompok tani dan penyuluh sebagai perpanjangan tangan pemerintah bagi petani sangat
penting keberadaanya dalam meningkatkan kualitas dan kepercayaan diri masyarakat atau
petani. Hasil penelitian Made (2013), bahwa pentingya peran pemerintah agar segera
merumuskan suatu strategi untuk dapat merubah pola pikir masyarakat desa setempat
agar kembali memiliki rasa optimis, dalam rangka meningkatkan kualitas diri dan keluar

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 29
dari belenggu kemiskinan sebagai conoth adalah mengadakan pelatihan SDM yang
diberikan oleh para motivator.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan:
1. Aktivitas petani dalam memenuhi kebutuhan pangan beragam, seperti pemanfaatan
lahan untuk menanam tanaman pangan, pembagian makanan dengan anggota keluarga
selama bencana kelaparan atau gagal panen, pinjaman dari sesama keluarga, tetangga
dan kios/warung lokal dan pembayaran kembali itu dengan sistem pasca panen.
2. Lembaga yang berperan dalam memenuhi akses terhadap pangan adalah otoritas desa,
kios/warung, keluarga dan tetangga, sementara lembaga yang berperan dalam
peningkatan sumber daya manusia adalah kelompok tani, penyuluhan pertanian,
keluarga dan tetangga.

Daftar Pustaka
Ahmad, S. 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Simposium Nasional Ketahananan
Keamanan Pangan pada Era Otonomi dan Globalisasi. Tangal 22 November 2005,
IPB Bogor. Indonesia.

Arief, S. 2012. Sumberdaya Manusia untuk Pangan. Tantangan dan Antisipasi. Pangan
Rakyat: Soal Hidup Atau Mati 60 Tahun Kemudian. Editor: Anna Farianti dkk Penerbit
Safa Printing. Jakarta.

Darsono. 2012. Revolusi Pangan Dimulai dari Revolusi Cara Berpikir tentang Pangan.
Pangan Rakyat: Soal Hidup Atau Mati 60 Tahun Kemudian. Editor: Anna Farianti dkk
Penerbit Safa Printing. Jakarta.

Made, D.S.M. 2013. Analisis Strategi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam
Upaya Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan Nusa Penida. Jurnal Buletin Studi
Ekonomi. Vol. 18, No. 2, Agustus 2013: Hal. 98-106.

Handewi, P.S. Rachman dan M. Ariani. Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran dan
Strategi. FAE. Vol 20 No. 1 Juli 2002: Hal. 12-24.

Rahmadya, S., L.A Lestari, dan J. Susilo. 2016. Pola konsumsi pangan dan tingkat
ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Gizi
Klinik Indonesia Vol 12 No 3 - Januari 2016: Hal.123-130.

Siti, M., Titik Sumarti, dan T. Pranadji. 2009. Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan
Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal: Studi Kasus Program Aksi Mandiri Pangan
di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Vol 02 No.02
Agustus 2009: Hal. 259-272

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


30 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Sumaryanto 2009. Analisis Volatilitas Harga Eceran Beberapa Komoditas Pangan Utama
dengan Model ARCH/GARCH. Jurnal Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian.

Suradisastra, K. 2006. Revitalisasi Kelembagaan untuk Percepatan pembangunan Sektor


Pertanian dalam Otonomi Daerah. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 4. Nomor 4:
Hal. 308-313.

Putu A, M.A. Limi dan Rosmawaty. 2014. Optimalisasi Penggunaan Lahan Kering dan
Pemanfaatan Waktu Luang di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan.
Majalah Ilmiah Agriplus. Vol 24, No. 01 Januari 2014: Hal. 90-97.

Yunastti, P. 2008. Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan, Kebijakan, Dan Pemberdayaan


Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 9, No. 1, Juni 2008. Hal. 1 – 27.

Zulfahrizal. 2012. Pertanian Padi Indonesia (Masalah dan Solusinya). Pangan Rakyat: Soal
Hidup Atau Mati 60 Tahun Kemudian. Editor: Anna Farianti dkk Penerbit Safa
Printing. Jakarta.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 31
PROGRAM PENGEMBANGAN AGROFORESTRI BERBASIS PARTISIPASI
MASYARAKAT UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN

DEWA OKA SUPARWATA


Program Studi Agribisnis, Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian,
Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Indonesia
E-mail: suparwata_do@umgo.ac.id

ABSTRAK
Sistem agroforestri dapat dijadikan rujukan dalam mencapai keberlanjutan pertanian, baik
dari segi peningkatan ekonomi, sosial-budaya dan kelestarian lingkungan. Penelitian
bertujuan untuk mengkaji tingkat partisipasi masyarakat pada program pengembangan
agroforestri. Penelitian ini dilakukan di Desa Dulamayo Barat, Kecamatan Telaga,
Kabupaten Gorontalo, pada Bulan April 2016. Penelitian didesain dengan pendekatan
survei, dan sampel ditentukan secara sensus. Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan
analisis skoring untuk menentukan rendah, sedang, tinggi dari partisipasi masyarakat. Hasil
penelitian menunjukkan: (1) karakteristik internal dan eksternal masyarakat meliputi: luas
lahan (50% kisaran lahan 0,6-1 Ha), tingkat pendidikan (70% tamat SD), pendapatan (50%
berpendapatan <Rp. 500.000/Bln), intensitas sosialisasi (80% pada frekuensi 2-4 kali) dan
intensitas pendampingan (100% pada frekuensi 2-4 kali), dan (2) hasil skoring terhadap
tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan agroforestri sebesar 73,3% (kategori
tinggi), tahap pelaksanaan sebesar 73,6% (kategori tinggi), dan tahap evaluasi 54,7%
(kategori sedang). Untuk mencapai keberlanjutan pertanian dan keberhasilan program
agroforestri dibutuhkan keterlibatan aktif seluruh masyarakat baik perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi.
Kata Kunci: Agroforestri, Partisipasi Masyarakat, Pertanian Berkelanjutan

Pendahuluan
Desa Dulamayo Barat merupakan daerah yang didominasi perbukitan dengan
ketinggian 250-1000 m dpl. Terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Boalngo, sebagian
besar wilayah merupakan kawasan hutan lindung (HL). Hutan alam primer dan sekunder
mencakup 82% dari luas wilayah (Kow et al., 2015a). Masyarakat diharapkan memahami
fungsi ganda hutan sebagai penyangga kehidupan (Hakim, 2009) untuk mengurangi
kerusakan. Namun, laju kerusakan hutan telah mencapai titik nadirnya (Mahendra, 2009).
Faktor penyebab utama perubahan lahan yaitu pemenuhan kebutuhan keluarga,
kecenderungan pemilihan tanaman jagung dibandingkan tanaman jati, karena hasil panen
jagung lebih cepat (Kow et al., 2015b), pengaruh aktivitas dan pertambahan penduduk (Ishak
dan Saputra, 2015), illegal logging, kebakaran hutan (Mahendra, 2009), akibat tekanan
ekonomi masyarakat (Subarna, 2011), dan penebangan kayu yang tidak terkendali (Hamid
dan Romano, 2013). Aktivitas tersebut terjadi baik itu secara langsung maupun tidak
langsung (Hartati dan Harudu, 2016).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


32 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Pengelolaan lahan kering sesungguhnya tidaklah mudah, karena sangat berkaitan
dengan permasalahan lahan kering yang cukup kompleks baik SDA dan SDM (Catharina,
2009). Seperti penerapan pertanian monokultur secara terus menerus dapat memicu
pengangkutan hara berlebih oleh tanaman, penkritisan tanah, penurunan kesuburan dan
tinggi erosi. Risal et al., (2014), penerapan sistem monokultur pada lahan kering khususnya
topografi miring terbukti memberikan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan
produksi pertanian. Hairiah dan Ashari (2013), pengelolaan lahan perlu diubah sesuai
dengan masalah yang berkembang saat ini. Salah satu solusi yang dapat diterapkan ialah
penerapan agroforestri. Agroforestri memiliki peranan penting sebagai daerah penyangga
ekosistem (Wardhani et al., 2013), dapat menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan
dan pengadaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Suharti et al., 2013). Keunggulan lain ialah dalam
hal: productivity, diversity, self-regulation, dan stability (Rianse dan Abdi, 2010), dan guna
menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan (Mayrowani dan Ashari, 2011).
Sistem agroforestri dapat dijadikan rujukan dalam mencapai keberlanjutan pertanian, baik
dari segi peningkatan ekonomi, sosial-budaya dan kelestarian lingkungan.
Untuk mencapai keberhasilan program pengembangan agroforestri dan keberlanjutan
pertanian menurut Wahyudi dan Panjaitan (2013), perlu memperhatikan keterlibatan
masyarakat setempat dalam pemanfaatan dan pembangunan sumber daya alam di sekitarnya.
Keterlibatan atau keikutsertaan tersebut merupakan bentuk partisipasi masyarakat baik pada
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program agroforestri. Sari dan Widodo (2015),
Partisipasi masyarakat merupakan modal utama kemajuan dan keberlanjutan, sehingga
Ma’ruf (2017), mengatakan ini akan mempengaruhi keberhasilan pertanian berkelanjutan
(sosial budaya, ekonomi, teknologi pertanian, kelembagaan, dan kebijakan pemerintah).
Petani sebagai masyarakat memiliki peran dan tanggungjawab dalam upaya penyelamatan
lahan pertanian (Suwardane et al., 2015). Tanpa adanya partisipasi masyarakat,
pembangunan tidak akan berjalan dengan baik (Damanik dan Tahitu, 2007), sehingga
partisipasi petani sangat mutlak diperlukan (Suwardane et al., 2015).
Berdasarkan beberapa hal di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji
tingkat partisipasi masyarakat pada program pengembangan agroforestri. Target penelitian
ini ialah adanya menggambarkan tingkat keikutsertaan masyarakat dalam mengembangkan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 33
agroforestri untuk meningkatkan ekonomi mereka, menjaga keharmonisan sosial dan
kelestarian lingkungan sekitar.

Bahan dan Metode


Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Desa Dulamayo Barat, Kecamatan Telaga, Kabupaten
Gorontalo. Lokasi penelitian merupakan desa binaan Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian
Universitas Muhammadiyah Gorontalo sejak tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada
Bulan April 2016.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan survei. Pendekatan ini
dilakukan karena peneliti ingin menemukan fakta, kejadian sosial, serta data-data mengenai
partisipasi masyarakat terhadap program pengembangan agroforestri di Desa Dulamayo
Barat.
Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
Populasi dalam penelitian ini ialah masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani
yang mengembangkan agroforestri. Terdapat satu kelompok tani pengembang agroforestri,
dan terdiri dari 10 orang anggota. Sampel ditentukan dengan menggunakan sampling sensus,
artinya bahwa seluruh populasi tersebut digunakan sebagai sampel penelitian, karena jumlah
populasi yang relatif kecil.
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer sekunder. Teknik
pengumpulan data meliputi: (1) observasi, (2) wawancara, dan (3) dokumenter.
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: (1) analisis faktor internal
dan eksternal masyarakat dengan menggunakan statistik deskriptif. Analisis deskriptif
dimaksudkan ialah data hasil diolah dan disajikan ke dalam bentuk tabel, gambar, maupun
grafik hasil penelitian, (2) analisis partisipasi masyarakat dilakukan dalam dua tahap, yakni:
(a) menghitung keikutsertaan berdasarkan jawaban kelompok responden, dan (b) penentuan
rendah, sedang, tinggi terhadap partisipasi masyarakat dilakukan dengan melakukan skoring
dari setiap jawaban responden, dan selanjutnya melakukan interpretasi skor yang dibagi
dalam tiga kategori yaitu rendah (0-33,3%), sedang (33,4-66,6%), dan tinggi (66,7-100%).
Seluruh data selanjutnya diinterpretasi dan dideskripsikan berdasarkan hasil penelitian.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


34 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Hasil dan Pembahasan
Pengembangan tanaman kehutanan dengan pola agroforestri telah lama dipraktekkan
oleh masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa motif ekonomi masih mendominasi minat
mayarakat dalam mengusahakan tanaman pertanian dan kehutanan di lahan miliknya
(Lestari dan Premono, 2014). Pengembangan agroforestri, mempunyai prospek yang cukup
baik dalam kontribusinya terhadap peningkatan produksi pangan, dan peningkatan
pendapatan petani sehingga mempermudah akses terhadap pangan, disamping menjaga
keamanan dan kelestarian hutan bersama masyarakat (Mayrowani dan Ashari, 2011), serta
untuk mendorong partisipasi petani dalam pelestarian sumber daya tanah dan air (Syam,
2003). Partisipasi aktif petani menjadi kunci utama dalam pencapaian tujuan program
(Winata dan Yuliana, 2012), dan motivasi petani perlu ditingkatkan sehingga dapat
diwujudkan partisipasi atau perilaku aktif dari petani (Achmad et al., 2012). Partisipasi
masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Dalam penelitian ini faktor
internal terdiri dari: luas lahan, pendidikan dan pendapatan. Sedangkan eksternal meliputi:
intensitas sosialisasi dan pendampingan.

Faktor Internal
Faktor internal masyarakat yang disajikan pada penelitian ini ialah karakteristik luas
lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan. Hasil penelitian karakteristik internal masyarakat
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Faktor Internal Masyarakat Pengembang Agroforestri
Karakteristik Internal Persentase (%)
Luas Lahan:
<0,5 Ha 10
0,6-1 Ha 50
>1 Ha 40
Tingkat Pendidikan:
Tidak Tamat SD 20
Tamat SD 70
Tamat SMP 10
SMA 0
Perguruan Tinggi 0
Pendapatan:
<Rp.500.000/Bln 50
Rp.500.000-1.000.000/Bln 40
>Rp.1.000.000/Bln 10
Sumber: Data Primer Diolah, 2016

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 35
Karakateristik luas lahan masyarakat (Tabel 1), menunjukkan bahwa masyarakat
memiliki lahan tertinggi pada luas 0,6-1 Ha (50%), selanjutnya luas >1 Ha (40%), terkecil
pada luas <0,5 Ha (10%). Luas kepemilikan lahan yang dimiliki oleh petani sangat
menentukan keberlanjutan pertanian di masa depan. Kepemilikan lahan yang rendah akan
berkorelasi pada minimnya hasil yang diterima oleh petani apalagi proses budidaya yang
tidak dilakukan secara intensif. Menurut Wulandari (2010), bahwa luas lahan merupakan
faktor-faktor yang pengaruh sangat nyata pada masyarakat terhadap agroforestri.
Karakateristik tingkat pendidikan masyarakat (Tabel 1), menunjukkan bahwa 70%
masyarakat pendidikan Sekolah Dasar (SD), 20% tidak tamat SD, dan 10% berpendidikan
SMP. Hal ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang
mengembangkan program agroforestri. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi masyarakat
dalam penngembangan agroforestri baik perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Suprapto
(2004), mengatakan tingkat pendidikan petani yang rendah berpengaruh terhadap
ketrampilan, kurangnya masukan teknologi pertanian.
Karakateristik tingkat pendapatan masyarakat (Tabel 1), menunjukkan bahwa 50%
masyarakat memiliki pendapatan <Rp.500.000/Bln, 40% memiliki pendapatan Rp.500.000-
1.000.000/Bln, dan 10% berpendapatan >Rp.1.000.000/Bln. Pendapatan masyarakat sangat
berkorelasi terhadap kecukupan modal yang akan digunakan pada proses usahatani sistem
agroforestri.

Faktor Eksternal Masyarakat


Faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengembangkan agroforestri yang
berasal dari luar dirinya disebut sebagai faktor eksternal. Pada penelitian ini faktor eksternal
terdiri dari: intensitas sosialisasi dan intensitas pendampingan. Hasil penelitian terhadap
karakteristik eksternal masyarakat disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Faktor Eksternal Masyarakat Pengembang Agroforestri
Karakteristik Eksternal Masyarakat Persentase (%)
Intensitas Sosialisasi:
<2 kali 0
2-4 kali 80
>4 kali 20
Intensitas Pendampingan:
<2 kali 0
2-4 kali 100
>4 kali 0
Sumber: Data Primer Diolah, 2016

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


36 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Karakateristik intensitas sosialisasi yang diikuti masyarakat (Tabel 2), menunjukkan
bahwa 80% masyarakat menerima sosialisasi pada frekuensi 2-4 kali, 20% pada frekuensi
>4 kali, dan 0% pada frekuensi <2 kali. Hal ini mengindikasikan bahwa ferkuensi sosialisasi
yang diikuti oleh masyarakat sudah relatif efektif.
Karakateristik intensitas pendampingan yang diterima masyarakat (Tabel 2),
menunjukkan bahwa 100% pada frekuensi 2-4 kali pendapingan. Hal ini mengindikasikan
bahwa selama pendampingan yang dilakukan oleh petugas lapangan diikuti oleh seluruh
anggota kelompok tani pada pengembangan agroforestri. Kegiatan pendampingan yang
dilakukan memberikan dampak positif terhadap pengetahuan petani. Masyarakat akan dapat
menanyakan hal-hal yang kurang dipahaminya ketika melalakukan usahatani dengan sistem
agroforestri. Disamping itu, adanya pendampingan yang secara terus menerus akan
menumbuhkan partisipasi masyarakat pada program agroforestri.

Partisipasi Masyarakat Pada Program Pengembangan Agroforestri


Partisipasi masyarakat pada program pengembangan agroforestri dikelompokkan
dalam partisipasi tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Hasil penelitian diuraikan
secara lebih rinci sebagai berikut:

Partisipasi Masyarakat Tahap Perencanaan


Bentuk kegiatan tahap perencanaan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi:
memberikan pendapat, menghadiri pertemuan, dan penentuan jenis tanaman. Hasil
penelitian partisipasi masyarakat tahap perencanaan program agroforestri disajikan pada
Tabel 3.
Tabel 3. Partispasi Masyarakat Tahap Perencanaan Program Pengembangan Agroforestri
Partisipasi Masyarakat Pada Perencanaan Agroforestri
Bentuk Kegiatan Kategori Partisipasi
TI* KI* CI* SI* SSI*
Memberikan pendapat 1 0 4 1 4
Menghadiri pertemuan 1 0 2 6 1
Penentuan jenis tanaman 1 0 7 0 2
Jumlah 3 0 13 7 8
Persentase (%) 9,7 0 41,9 22,6 25,8
Sumber: Data Primer Diolah, 2016
*
Keterangan: TI (tidak ikut), KI (kadang-kadang ikut), CI (cukup ikut), SI (sering ikut), SS (sering
sekali)

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 37
Pada tahap perencanaan, hasil penelitian (Tabel 3), menunjukkan bahwa partisipasi
masyarakat berada pada kategori cukup ikut (41,9%), sering sekali ikut (25,8%), sering ikut
(22,6%), tidak ikut (9,7%), dan kadang ikut (0%). Hasil skoring terhadap nilai partisipasi
masyarakat pada tahap perencanaan agroforestri adalah 73,3%, dan tergolong tinggi. Hal ini
mengindikasikan bahwa tahap perencanaan, masyarakat telah diikutsertakan pada setiap
kegiatan-kegiatan perencanaan, meskipun masih terdapat masyarakat yang tidak mengikuti
kegiatan perencanaan tersebut. Namun, secara keseluruhan partisipasi masyarakat tahap
perencanaan program agroforestri tergolong tinggi. Winata dan Yuliana (2012) bahwa hal
ini terbukti dari beberapa sumbangan pemikiran yang telah diberikan dalam rapat
perencanaan program. Namun berbeda pada hasil penelitian oleh Sudrajat et al., (2016) yang
memperoleh partisipasi petani di Desa Kananga teridentifikasi rendah pada semua kegiatan
perencanaan pengelolaan hutan rakyat. Ditambahkan oleh Sandyatma dan Hariadi (2012)
hasil analisis partisipasi anggota gapoktan pada tahap perencanaan masih tergolong rendah
(27,33%).

Partisipasi Masyarakat Tahap Pelaksanaan


Dimensi pelaksanaaan agroforestri melingkupi kegiatan seperti: penyiapan lahan,
sanitasi lahan, pengolahan tanah, penyemaian benih tanaman, dan penentuan jenis tanaman.
Hasil penelitian partisipasi masyarakat tahap pelaksanaan program agroforestri disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Partispasi Masyarakat Tahap Pelaksanaan Program Pengembangan Agroforestri
Partisipasi Masyarakat Tahap Pelaksanaan Agroforestri
Bentuk Kegiatan Kategori Partisipasi
TI* KI* CI* SI* SSI*
Penyiapan lahan 0 0 5 2 3
Sanitasi lahan 0 0 3 4 3
Pengolahan tanah 0 0 4 3 3
Penyemaian benih 0 0 5 2 3
Penentuan jenis tanaman 1 2 5 1 1
Jumlah 1 2 22 12 13
Persentase (%) 2 4 44 24 26
Sumber: Data Primer Diolah, 2016
*
Keterangan: TI (tidak ikut), KI (kadang-kadang ikut), CI (cukup ikut), SI (sering ikut), SS (sering
sekali ikut)

Pada tahap pelaksanaan, hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa partisipasi


masyarakat berada pada kategori cukup ikut (44%), sering sekali ikut (26%), sering ikut
(24%), kadang ikut (4%), dan tidak ikut (2%). Hasil skoring terhadap nilai partisipasi
masyarakat pada tahap pelaksanaan agroforestri adalah 73,6%, dan tergolong tinggi. Hal ini

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


38 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki kepedulian dan kesadaran yang tinggi akan
pengembangan agroforestri baik pada kegiatan penyiapan lahan, sanitasi, pengolahan tanah,
penyemaian benih dan penentuan jenis tanaman. Hal ini didukung oleh Sudrajat et al.,
(2016), bahwa partisipasi pada pelaksanaan lebih baik dari perencanaan, dan keterlibatan
petani dalam kegiatan cenderung berintensitas lebih tinggi. Hamidah et al., (2006)
mengatakan bahwa 71,7 % masyarakat bersedia mengikuti program agroforestri. Rizal dan
Rahayu (2015) memperoleh hasil partisipasi petani tergolong tinggi dilihat pada komponen
keterlibatan sebanyak 62,50%. Selanjutnya, Azis (2006) memperoleh partisipasi tinggi
(62,50%), demikian juga oleh Ansori (2012), yang memperoleh nilai sangat tinggi 92,6%
pada tahap pelaksanaan program.

Partisipasi Masyarakat Tahap Evaluasi


Evaluasi dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengecek kembali kegiatan yang
telah direncanakan dan dilaksanakan. Pada penelitian ini kegiatan tahap evaluasi meliputi:
menghadiri pertemuan, memberikan pendapat dan memonitoring tanaman. Hasil penelitian
tingkat partisipasi masyarakat tahap evaluasi program agroforestri disajkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Partispasi Masyarakat Tahap Evaluasi Program Pengembangan Agroforestri
Partisipasi Masyarakat Pada Evaluasi Agroforestri
Bentuk Kegiatan Kategori Partisipasi
TI* KI* CI* SI* SSI*
Menghadiri pertemuan evaluasi 3 0 5 1 1
Memberikan pendapat 2 2 4 1 1
Memonitoring tanaman 3 1 3 1 2
Jumlah 8 3 12 3 4
Persentase (%) 26,7 10 40 10 13,3
Sumber: Data Primer Diolah, 2016
*
Keterangan: TI (tidak ikut), KI (kadang-kadang ikut), CI (cukup ikut), SI (sering ikut), SS (sering
sekali ikut)

Pada tahap evaluasi, hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa partisipasi


masyarakat berada pada kategori cukup ikut (40%), tidak ikut (26,7%), sering sekali ikut
(13,3%), kadang ikut (10%), dan sering ikut (10%). Hasil skoring terhadap nilai partisipasi
masyarakat pada tahap evaluasi agroforestri adalah 54,7%, dan tergolong sedang. Berbeda
halnya dilaporkan oleh Sandyatma dan Hariadi (2012), memperoleh keterlibatan petani
tahap pemantauan dan evaluasi hanya sebesar 25,17% (rendah). Hal ini bahwa tidak secara
keseluruhan anggota kelompok tani dilibatkan secara langsung pada kegiatan evaluasi
(Suparwata et al., 2016). Diakui bahwa dalam evaluasi tidak keseluruhan masyarakat
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 39
melakukan dan melaporkan kepada petugas, melainkan dalam bentuk perwakilan kelompok
tani saja. Pelaporan dalam evaluasi biasanya dilaporkan oleh ketua ataupun sekretaris
kelompok tani. Olehnya untuk mencapai keberlanjutan pertanian, sangat dibutuhkan proses
evaluasi program sehingga dapat diketahui hambatan, juga rencana yang belum terlaksana.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: karakteristik internal masyarakat
dilihat dari luas lahan ialah 50% (memiliki lahan berkisar 0,6-1 Ha), tingkat pendidikan
sebesar 70% (tamat SD), tingkat pendapatan sebanyak 50% (memiliki pendapatan <Rp.
500.000/Bln). Sedangkan karakteristik eksternal, dilihat dari intensitas sosialisasi yakni 80%
(pada frekuensi 2-4 kali), dan pada intensitas pendampingan yakni 100% (pada frekuensi 2-
4 kali). Dari hasil skoring menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada tahap
perencanaan agroforestri sebesar 73,3% (tergolong tinggi), tahap pelaksanaan sebesar 73,6%
(tergolong tinggi), dan tahap evaluasi 54,7% (tergolong sedang). Hal ini mengindikasikan
bahwa masyarakat telah berpartisipasi dengan baik pada tahap perencanaan dan pelaksanaan
agroforestri, namun belum maksimal pada tahap evaluasi program. Dengan demikian untuk
mencapai keberhasilan program agroforestri dibutuhkan keterlibatan aktif seluruh
masyarakat baik perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Daftar Pustaka
Achmad, B., H. Simon, D. Diniyati, dan T.S. Widyaningsih. 2012. Persepsi Petani Terhadap
Pengelolaan dan Fungsi Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis. Jurnal Bumi Lestari.
12(1): 123-136.

Ansori, M. 2012. Pengelolaan Hutan Kemitraan untuk Menyejahterakan Rakyat Kasus Pola
PHBM (Pengelolaan Hutan bersama Masyarakat) di Perum Perhutani BKPH Parung
Panjang, KPH Bogor. Disertasi. Sekolah Pascsarjana, IPB. Bogor.

Azis, N.A. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Program Gerakan Nasional Rehabilitasi
Hutan dan Lahan (GN-RHL): Kasus di Desa Sirnagalih dan Pamalayan, Kecamatan
Bayongbong serta Desa Margaluyu dan Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten
Garut. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Catharina, T.S. 2009. Respon Tanaman Jagung Pada Sistem Monokultur dengan
Tumpangsari Kacang-Kacangan terhadap Ketersediaan Unsur Hara N dan Nilai
Kesetaraan Lahan di Lahan Kering. GaneÇ Swara. 3(3): 17-21.

Damanik, I.P.N. dan M.E. Tahitu. 2007. Studi Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Desa (Kasus: Masyarakat Desa Layeni, Kecamatan Teon Nila Serua,
Kabupaten Maluku Tengah). Jurnal Agroforestri, 2(1): 5-12.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


40 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Hairiah, K. dan S. Ashari. 2013. Pertanian Masa Depan: Agroforestri, Manfaat, dan Layanan
Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri Tahun 2013. Hal. 23- 35.

Hakim, I. 2009. Kajian kelembagaan dan kebijakan hutan tanaman rakyat: sebuah terobosan
dalam menata kembali konsep pengelolaan hutan lestari. Jurnal analisis kebijakan
kehutanan. 6(1): 27-41.

Hamid, A.H. dan Romano. 2013. Upaya Pengembangan Agroforestry sebagai Langkah
Pengamanan Peyangga Hutan di Kabupaten Pidie Jaya. Agrisep. 14(2): 28- 35.

Hamidah, M.A. Sardjono dan J.J.H. Kueng. 2006. Analisis Pendekatan Agroforestri dalam
Upaya Perbaikan Pemanfaatan Lahan Berbasiskan Partisipasi Masyarakat (Studi
Kasus Hutan Lindung Sungai Wain Balikpapan). Jurnal Kehutanan UNMUL. 2(2):
159-175.

Hartati dan L. Harudu. 2016. Identifikasi Jenis-Jenis Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
Akibat Aktivitas Manusia di Kelurahan Lowu-Lowu Kecamatan Lea-Lea Kota
Baubau. Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi. 1(1): 30- 45.

Ishak dan I.A. Saputra. 2015. Pengaruh Aktivitas Penduduk terhadap Kerusakan Hutan
Mangrove di Desa Lalombi Kecamatan Banawa Selatan. Jurnal GeoTadulako. 3(6):
52-63.

Kow, E., C.I. Wijaya, N. Khasanah, S. Rahayu, E. Martini, A. Widayati, Sahabuddin, L.


Tanika, A. Hendriatna, E. Dwiyanti, M. Iqbal, Megawati, U. Saad. 2015a. Profil
Klaster Telaga-Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Bogor,
Indonesia. World Agroforestry Centre -ICRAF, SEA Regional Office.
Kow, E., C.I. Wijaya, N. Khasanah, S. Rahayu, E. Martini, A. Widayati, Sahabuddin, L.
Tanika, A. Hendriatna, E. Dwiyanti, M. Iqbal, Megawati, U. Saad. 2015b. Profil
Klaster Tibawa, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Bogor, Indonesia. World
Agroforestry Centre -ICRAF, SEA Regional Office.

Lestari, S. dan B.T. Premono. 2014. Penguatan Agroforestri dalam Upaya Mitigasi
Perubahan Iklim: Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 11(1): 1-12.

Mahendra, F. 2010. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Edisi Pertama. Graha Ilmu.
Yogyakarta.

Ma’ruf, A. 2017. Agrosilvopastura sebagai Sistem Pertanian Terencana Menuju Pertanian


Berkelanjutan. Jurnal Penelitian Pertanian Bernas. 3(2): 81-90.

Mayrowani, H. dan Ashari. 2011. Pengembangan Agroforestry untuk Mendukung


Ketahanan Pangan dan Pemberdayaan Petani Sekitar Hutan. Forum Penelitian Agro
Ekonomi. 29(2): 83-98

Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestri: Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Sumber
Daya Hutan. Cetakan Kesatu. Alfabeta. Bandung.
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 41
Risal, D., B. Ibrahim, dan H. Zubair. 2014. Efektivitas Sistem Pertanian Terpadu Hedgerows
terhadap Peningkatan Produktivitas Lahan Kering. J. Sains & Teknologi. 14(3): 226-
231.

Rizal, M. dan S.P. Rahayu. 2015. Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelompok Tani Padi
Sawah untuk Mendukung Program M-P3MI di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON. 1(2): 352-357.

Sandyatma, Y.H., dan S.M. Hariadi. 2012. Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam
Menunjang Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi
Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor. Jurnal Kawistara. 2(3): 225-328.

Sari, I.R. dan B.S. Widodo. 2015. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Seloringgit
Ecotourism di Dusun Mendiro Desa Panglungan Kecamatan Wonosalam. Swara
Bhumi. 2(3):42- 50.

Subarna, T. 2011. Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Menggarap Lahan di Hutan


Lindung: Studi Kasus di Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan
Ekonomi Kehutanan. 8(4): 265-275.

Sudrajat, A., Hardjanto, dan L. Sundawati. 2016. Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat Lestari: Kasus di Desa Cikeusal dan Desa Kananga Kabupaten Kuningan.
Jurnal Silvikultur Tropika. 7(1): 8-17.

Suharti, T., Y. Bramasto, dan N. Yuniarti. 2013. Kajian Pengembangan Tanaman Obat
dalam Sistem Agroforestri. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri Tahun 2013.
Hal. 66-71.

Suparwata, D.O., M. Arsyad, M.S. Hamidun, D. Rukmana, dan M.I Bahua. 2016.
Community Participation on Evaluation Stage in Critical Land Rehabilitation
Program. Advances in Environmental Biology. 10(10): 170-180.

Suprapto. 2004. Pengkajian Sistem Usahatani di Lahan Kering di Kecamatan Gerokgak


Kabupaten Buleleng, Bali. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. 7(1): 83-89.

Suwardane, K.E., I.D.P.O. Suardi dan M.T.H. Handayani. 2015. Partisipasi Petani dalam
Pengembangan Program Hutan Rakyat di Dusun Talang Gunung Desa Talang Batu
Kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung. E-Jurnal Agribisnis
dan Agrowisata. 4(2): 86-96.

Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering Di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu.
Jurnal Litbang Pertanian. 22(4): 162-171.

Wahyudi, dan S. Panjaitan. 2013. Perbandingan Sistem Agroforestry, Monokultur Intensif,


dan Monokultur Konvensional dalam Pembangunan Hutan Tanaman Sengon.
Prosiding Seminar Nasional Agroforestri Tahun 2013. Hal: 165-171.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


42 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Wardhani, E.K., D. Octavia dan Yuliah. 2013. Biodiversitas Komponen Agroforest Medang
Bambang Lanang (Michelia champaca) di Hutan Rakyat Pada Kawasan Lematang Ulu
Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri Tahun 2013. Hal. 42-48.

Winata, A. dan E. Yuliana. 2012. Tingkat Partisipasi Petani Hutan dalam Program
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perhutani. Mimbar. 28(1): 65-76.

Wulandari, C. 2010. Studi Persepsi Masyarakat Tentang Pengelolaan Lanskap Agroforestri


di Sekitar Sub DAS Way Besai, Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.
15(3): 137-140.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 43
PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI DENGAN KETERPADUAN
USAHA TANAMAN PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN TERATAS 0,5 HA DI
PROVINSI SULAWESI SELATAN- GORONTALO INDONESIA

ZAINAL ABIDIN
Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo
Email: zainalabidin.unisan@gmail.com

ABSTRAK
Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani, peningkatan
ekspor, memberi dukungan terhadap agribisnis hulu hilir, memperluas lapangan kerja serta
pertanian berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumber daya lahan pembangunan
sektor pertanian saat ini semakin berkuran akibat pemanfaatan lahan pertanin berlaih fungsi
kepada permukiman seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Salah satu
teknologi yang dapat mengantisipasi peningkatan pendapatan pada lahan terbatas yaitu
keterpaduan usaha ternak sapi dengan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui peningkatan pendapatan keterpaduan usaha ternak dan tanaman padi dan
palawija pada lahan terbatas 0,5 Ha di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone dan Maros) –
Gorontalo (Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango) Indonesia. Penelitian dilakukan mulai
Februari 2014 hingga Mei 2017. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
kuantitatif. Populasi dan sampel penelitian ini dilakukan secara bertahap, yaitu: Tahap
pertama menentukan wilayah penelitian dan menentukan jumlah populasi. Selanjutnya
dengan menggunakan rumus Slovin, diperoleh jumlah sampel petani ternak sebagai
responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak terpadu dengan padi dan
palawija pada lahan terbatas 0,5 Ha memberikan pendapatan dan kontribusi yang berbeda di
lokasi penelitian yaitu: 1). Lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Selatan (Kecamatan
Libureng Kabupaten Bone) usahatani ternak sapi memberikan kontribusi pendapatan sebesar
Rp. 13.061.950 (52,35%) lebih besar dibandingkan tanaman semusim yaitu Rp. 11.433.630
(47,65%). Sedangkan di Kec. Samangki Kabupaten Maros usahatani ternak sapi
memberikan kontrusi pendapatan Rp. 7.154.560 (88,76%) lebih besar dibandingkan uasaha
tanaman Rp. 913.960 (11,33%). 2) Lokasi Penelitian di Provinsi Gorontalo (Kec.
Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango) usahatani ternak sapi memberikan kontrusi
pendapatan Rp. 4.861.948 (33,60%) lebih kecil dibandingkan usaha tanaman Rp. 12.615.557
(66,40%). Sedangkan di (Kec. Telaga Kabupaten Gorontalo) usahatani ternak sapi
memberikan kontrusi pendapatan Rp. 12.381.262 (31,40%) lebih kecil dibandingkan usaha
tanaman Rp. 27.013.362 (68,60%).
Kata Kunci: Pendapatan, Peternak Sapi, Usaha Terpadu, Usahatani Padi dan
Palawija, Kepemilikan Lahan

Pendahuluan
Pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, melayani pasar
dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Terdapat sejumlah kendala pada pembangunan pertanian seperti hambatan penguasaan
sumberdaya produksi misalnya kepemilikan lahan sempit akibat alih fungsi lahan pertanian

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


44 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
dan modal. Lahan sempit dan modal yang sedikit akan mengakibatkan terbatasnya jumlah
produksi. Terbatasnya jumlah produksi akan membatasi pendapatan yang diterima oleh
petani (Mubyarto, 1989).
Berdasarkan mazhab strukturalis, sektor pertanian dapat berlangsung bila pendapatan
petani ikut meningkat dan kesejahteraan petani membaik. Oleh karena itu seluruh upaya
perlu diarahkan untuk memperbaiki kesejahteraan petani serta sektor pertanian pada
umumnya (Soetrisno, 2002) dalam Siregar (2016). Menurut pandangan mazhab populis,
revitalisasi pertanian dapat dikatakan berhasil apabila pembangunan pertanian yang telah
dijalankan mampu mengentaskan kemiskinan pada masyarakat petani dan warga pedesaan.
Pembangunan pertanian didukung oleh sejumlah sub sektor seperti peternakan.
Industri peternakan yang berperan dalam perekonomian dan kecukupan protein hewani
adalah ternak sapi. Produk daging sapi sangat digemari oleh masyarakat. Kebutuhan daging
sapi di Indonesia belum sepenuhnya dapat dipenuhi di dalam negeri, sehingga sebagian
kebutuhan daging masih dipasok dari impor yang jumlahnya meningkat terus (Hasan, 2014).
Secara umum, rata-rata komsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat
rendah yaitu kurang dari 4 gram per kapita per hari, Hasan (2014) dalam Siregar (2016).
Oleh karena itu peningkatan populasi sapi potong dan produksi daging perlu diupayakan
terus menerus guna mendukung upaya peningkatan konsumsi protein hewani.
Permintaan terhadap daging sapi meningkat terus setiap tahunnya. Kementerian
Pertanian memperkirakan kebutuhan daging sapi nasional tahun 2014 mencapai 593.040 ton
atau naik dari 2013 yang sebanyak 549.670 ton. Berdasarkan kebutuhan tersebut pemerintah
menargetkan kontribusi sapi lokal dapat memenuhi sebesar 90,1 persen atau 534.760 ton.
Kalkulasi penyediaan daging sapi tahun 2014 merujuk konsumsi daging per kapita yang naik
dari tahun 2013 sebesar 2,2 kg/tahun menjadi 2,36 kg/tahun (Riwantoro, 2013).
Keberhasilan penyediaan daging nasional ditentukan pula oleh kemampuan usaha
ternak sapi. Pengembangan ternak sapi tidak dapat berlangsung secara mandiri tanpa
dukungan industri pendukung lainnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
melakukan keterpaduan usaha antara ternak dengan tanaman pangan. Powell (1994); Joshi
dan Ghimire (1996) berpendapat bahwa keterpaduan suatu tanaman-ternak mempunyai
beberapa keuntungan, disamping hasil utama produk pangan (padi, palawija) dan sapi
(potong dan anakan), seperti (1) ternak dapat digunakan sebagai tenaga kerja (2) membantu
memperbaiki kesuburan tanah akibat penanaman yang terus menerus dengan menggunakan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 45
kompos yang berasal dari limbah ternak, dan (3) limbah tanaman hasil panen dapat
digunakan sebagai pakan ternak.
Menurut Badan Pusat Statistik (2015) jumlah populasi sapi potong di Indonesia pada
tahun 2014 mencapai 14.703 juta ekor. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan provinsi
dengan jumlah populasi terbesar ketiga yaitu sebanyak 1.338 juta ekor, setelah Provinsi
Jawa Timur sebanyak 4.071 juta ekor dan Provinsi Jawa Tengah sebanyak 1.534 juta ekor.
Salah satu wilayah pengembangan sapi potong di Provinsi Sulawesi Selatan adalah
Kabupaten Bone. Maros dan di Provinsi Gorontalo adalah Kabupaten Gorontalo dan Bone
Bolango. Pengembangan usahatani tanaman pangan pada kedua wilayah tersebut
merupakan peluang untuk meningkatkan pendapatan petani melalui sistem integrasi
tanaman padi, palawija dengan ternak sapi. Pemanfaatan sumber daya lahan, tenaga kerja
dan modal yang tersedia dapat menjadi pola usahatani terpadu antara ternak sapi dengan
tanaman padi dan palawija. Produksi tanaman pangan yang besar diharapkan mampu
menunjang ketersediaan pakan ternak yang murah dan berkelanjutan (Prasetyo, 2001) dan
Davina, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi pendapatan usahatani
terpadu antara ternak sapi, padi dan palawija berdasarkan skala luas lahan terbatas < 0,5 Ha.

Metode Penelitian
Penelitian ini melihat sistem usahatani tanaman-ternak dari paradigma positivisme.
Pada paradigma ini, realitas berasumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu mempunyai
keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap.
Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia (entities), hukum, dan mekanisme-
mekanisme ini secara konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak
terikat waktu dan tidak terikat konteks.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif (quantitative research) yaitu penelitian kuantitatif didasari oleh filsafat
positivisme (terukur dan teramati) yang menekankan fenomena-fenomena objektif dan
dikaji secara kuantitatif. Disebut sebagai penelitian positivistik adalah karena penelitian ini
hanya mendasarkan kepada fakta-fakta positif yang didapatkan di lapangan. Data berupa
angka-angka akan dijadikan sebagai informasi akurat penelitian.
Lokasi penelitian adalah usahatani terpadu yang memiliki skala luas lahan terbatas 0,5
Ha di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone, di Kecamatan Samangki Kabupaten Maros
Provinsi Sulawesi Selatan dan di Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo dan di Kecamatan
Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Pemilihan lokasi didasarkan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


46 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
kepada bentuk usahatani, luas lahan dan jumlah populasi sapi. Penelitian ini dilakukan mulai
bulan Februari 2014 hingga Mei 2016.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data Primer yaitu data yang diperoleh dari petani responden melalui wawancara
langsung dengan menggunakan alat bantu daftar pertanyaan yang sudah disiapkan
sebelumnya. Dari responden dikumpulkan data tentang pola tanam yang diusahakan petani,
data masukan-keluaran usahatani tanaman-ternak. Termasuk pemanfaatan sumberdaya.
Data Sekunder yaitu data yang menjadi penunjang dalam penelitian ini yaitu diantaranya
adalah dokumen-dokumen, laporan-laporan yang ada dari berbagai instansi/swasta seperti
Dinas Pertanian dan Peternakan.
Untuk menentukan besarnya sampel maka digunakan statistik deskriptif dengan
menggunakan rumus Slovin dalam Umar (2001) sebagai berikut.
Rumus:
n= __N__
1 + N (e)2

Dimana:
n = Jumlah Sampel
N = Jumlah Populasi
e = Tingkat Kelonggaran (15%)
Analisa data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif yaitu dengan
menghitung rata-rata pendapatan, dan mentabulasi data. Untuk menjawab tujuan penelitian
(mengetahui besarnya konstribusi pendapatan usahatani tanaman-ternak pada lahan terbatas
<0,5 Ha. Rumus pendapatan yang digunakan pada masing-masing wilayah penelitian yaitu
rumus dikembangkan oleh Soekartawi (2002) yaitu:
Pd = TR – TC
Dimana:

Pd = Pendapatan usahatani (Revenue of farming system).


TR = Total Penerimaan (Total benefit)
TC = Total pengeluaran (Total cost)

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 47
Hasil dan Pembahasan
a. Keterpaduan
Keterpaduan usaha ternak sapi dengan tanaman pangan padi palawija pada lahan
terbatas 0,5 Ha menunjukkan hasil yang berbeda. Para petani ternak di Sulawesi Selatan
maupun di Gorontalo yang melakukan kombinasi usaha dengan ternak sapi pada lahan
terbatas 0,5 Ha menunjukkan hasil yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 1 dan 2.
Dapat diperhatikan bahwa pada Tabel 1 dan 2, hasil keterpaduan usaha tanaman
semusim dan ternak sapi pada lahan terbatas < 0,5 Ha setiap daerah penelitian memberikan
pendapatan yang berbeda: Hasil Tabel 1 menunjukkan petani ternak di Sulawesi Selatan
daerah penelitian Kecamatan Libureng Kabupaten Bone memiliki pendapatan sebesar Rp.
33.995.062 dan daerah penelitian Kecamatan Samangki Kabupaten Maros memperoleh
pendapatan Rp. 28.068.521. Sementara hasil penelitian Tabel 2 menunjukkan daerah
penelitian Kecamatan Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango memiliki pendapatan Rp.
11.826.026 dan daerah penelitian di Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo memperoleh
pendapatan Rp. 39.394.624.

b. Kontribusi Pendapatan
Kontribusi pendapatan usahatani ternak sapi merupakan pendapatan yang diterima
dari usahatani yang terdiri dari tanaman padi, palawija dibagi dengan total pendapatan usaha
ternak sapi dikalikan dengan 100% sehingga dapat diketahui seberapa besar kontribusi
usahatani ternak terhadap pendapatan yang diperoleh dari usahatani tanaman dan ternak
secara terpadu di lokasi penelitian. Kontribusi usahatani tanaman dan ternak sapi dapat
diperoleh setelah mendapatkan besarnya masing-masing total pendapatan baik yang
bersumber dari pendapatan tanaman padi, palawija maupun pendapatan total dari usaha
ternak sapi di Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Adapun besarnya kontribusi pada usahatani
dan ternak di lokasi penelitian tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Berdasarkan pada Tabel 3 dan 4, diketahui bahwa kontribusi usahatani ternak sapi
terhadap pendapatan bersih petani responden baik pada lokasi penelitian di Kabupaten Bone
maupun di Kabupaten Maros relatif besar di atas 50 %. Berdasarkan tipologi usaha ternak
menurut Ditjen Peternakan, usaha ternak sapi ini secara rata-rata keseluruhan termasuk
dalam usaha sambilan.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


48 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Tabel 1 .Rata-Rata Pendapatan Usahatani Tanaman Semusim - Ternak Sapi Secara Terpadu di Sulawesi Selatan pada lahan Terbatas < 05 Ha
Skala Kep. Total
No Lokasi Penelitian PENDAPATAN (Rp/Th)
Ternak Pendapatan
Kabupaen Usaha Ternak Sapi Usaha Tanaman Semusim Rp

Biaya Jumlah Biaya Jumlah


Penerimaan Penerimaan
Produksi Pendapatan Produksi Pendaatan

1 Bone 5 53.310.700 30.248.750 23.061.950 23.884.470 12.450.840 11.433.630 33.995.062

2 Maros 3 32.149.561 14.995.000 17.154.56 19.340.380 8.426.420 11.913.960 28.068.521


Sumber: Data Setelah Diolah 2015 – 2016

Tabel 2. Rata-Rata Pendapatan Usahatani Tanaman Semusim - Ternak Sapi Secara Terpadu di Provinsi Gorontalo pada lahan Terbatas 0,5 Ha
Skala Kep. Total
No Lokasi Penelitian PENDAPATAN (Rp/Th)
Ternak Pendapatan
Kabupaen Usaha Ternak Sapi Usaha Tanaman Semusim Rp
Biaya Jumlah Biaya Jumlah
Penerimaan Penerimaan
Produksi Pendapatan Produksi Pendaatan
1 Bone Bolango
4 30.678.565 25.816.617 4.861.948 16.211.054 9.246.976 6.964.078 11.826.026
2 Gorontalo 2 20.391.334 8.010.072 12.381.262 23.622.000 6.608.638 17.013.362 29.394.624
Sumber: Data Setelah Diolah, 2017

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 49
Tabel 3. Kontribusi Pendapatan Usahatani Ternak Sapi Dengan Keterpaduan Tanaman Padi, Palawija pada Luas Lahan Terbatas <0,5 Ha di
Kabupaten Sulawesi Selatan.
Persentase Kontribusi Pendapatan/Tahun (Rp.000,-)

Usahatani
Lokasi Skala UsahaTernak Usahatni Kontribusi Kontribusi
Ternak Sapi Total Pendapatan %
Penelitian (ekor) Tanaman U.Tanaman Ternak Sapi
Bone 5 11.434.000 22.561.430 33.995.100 34% 66% 100
Maros 3 11.913.960 17.154.560 29.068.520 41% 59% 100
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2015

Tabel 4. Kontribusi Pendapatan Usahatani Ternak Sapi Dengan Keterpaduan Tanaman Padi, Palawija pada Luas Lahan Terbatas <0,5 Ha di
Gorontalo.
Persentase Kontribusi Pendapatan/Tahun (Rp.000,-)
Lokasi Skala Usahatani Usahatani Kontribusi Kontribusi
Total Pendapatan %
Penelitian Usaha Ternak (ekor) Tanaman Ternak Sapi U.Tanaman Ternak Sapi
Bone Bolango 5 7.753.089 4.861.948 12,615,557 66,40% 33,60% 100
Gorontalo 3 27.013.362 12.381.262 8.068,520 68,60%% 31,40% 100
Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2015

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


50 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Kesimpulan

Keterpaduan usaha tanaman semusim dan ternak sapi pada lahan terbatas 0,5 Ha
memberikan pendapatan yang berbeda pada setiap lokasi penelitian sebagai berikut : Petani
ternak di Provinsi Sulawesi Selatan (Kec. Libureng Kabupaten Bone) mendapatkan
pendapatan sebesar Rp. 33.995.062. Sedangkan petani peternak (Kec. Samangki Kabupaten
Maros) memiliki pendapatan sebesar Rp 28.068.521 per tahun. Sementara petani ternak di
Povinsi Gorontalo (Kecamatan Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango memperoleh
pendapatan Rp. 11.826.026 per tahun dan (di Kec. Telaga Kabupaten Gorontalo)
mendapatkan pendapatan Rp. 29.394.624 per tahun.
Kontribusi pendapatan usaha ternak lebih besar di Provinsi Sulawesi Selatan secara
keseluruhan dibandingkan pendapatan usaha tanaman pada lahan terbatas 0,5 Ha.
Berbanding terbalik dengan usahatani ternak sapi pada lahan teratas 0,5 Ha di Provinsi
Gorontalo. Kontribusi pendapatan usahatani ternak lebih besar dibandingkan tanaman.

Daftar Pustaka

Davina, H, 2011. Optimalisasi Pengembangan Usahatani Tanaman Padi dan Peternakan


Secara Terpadu di Kabupaten Majalengka. Journal Agroland 18(1)43-49 April 2011.
Diakses tgl 27 Oktober 2014.
Joshi, B.R and S.S., Ghimire, 1996. Livestock and Soil Fertility: A Double Bind Newsletter
of the Centre for Information on Low external Input and Sustainable Agriculture,
12(1):18.
Kusnadi. 2007. Inovasi Teknologi Peternakan dalam Sistem IntegrasiTanaman dan Ternak
(SITT) untuk Menunjang Swasembada daging Tahun 2010. Orasi Pengukuhan
Professor Riset Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit LP3ES, Jakarta.
Powell, M. 1994. Livestock and Nutrient Cyling Report on an International Confrence.
Newsletter of the Centre for Information on Low External Input and Sustainable
Agriculture, 10(2): 16.
Prasetyo 2001. Integrasi Tanaman dalam Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing
Berkelanjutan dan Berkerakyatan. Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak Bogor.
Riwantoro, 2013. Kebutuhan Daging Sapi Potong Nasional. Sesditjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Roehani & A. Noor. 2005. Kontribusi Pendapatan Pemeliharaan Peternak Sapi dalam
Sistem Integrasi Jagung dan Ternak Sapi di Lahan Kering. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Kalimantan Selatan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 51
Sinaga, R.R.1995; Perencanaan Pertanaman dan Pendugaan Fungsi Penawaran Padi dan
Palawija Terpadu di Daerah Trasmigrasi. Proceeding Seminar Penelitian Peternakan,
Puslitbangnak, Bogor.
Soedjana,T.D., T.Sudaryanto dan R.Sayuti, 1994. Estimasi Parameter Permintaan
Beberapa Komoditas Peternakan di Jawa. J.Penelitian Indonesia. J(1);13-23.
Soedjana, T.D. dan Ginting, 2007. Sistem Usahatani Terintegrasi Tanaman-Ternak Sebagai
Respons Terhadap Faktor Resiko. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2).Diakses 3 Oktober 2014.
Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Soetrisno, L. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan
Sosiologis. Penerbit Kanisius Anggota IKAPI., Yokyakarta.
Umar, 2001. Metode Penelitian . PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


52 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENYELENGGARAAN
KAWASAN ANDALAN PALOPO DAN SEKITARNYA
FADHIL SURUR1* DAN SATRIANI
Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Alauddin
Makassar
*Email: fadhil.surur@uin-alauddin.ac.id

ABSTRAK

Kesamaan karakteristik sosial ekonomi atau keterkaitan ekonomi antar wilayah menjadi
pembentuk utama pengembangan berbasis kewilayahan. Dalam kerangka tersebut, kawasan
andalan Palopo dan sekitarnya yang ditetapkan dalam RTRW Provinsi Sulawesi Selatan
memiliki kekuataan ekonomi yang bertumpu pada pengarusutamaan pertanian dalam
pembangunan daerah. Namun dalam perkembangannya sektor pertanian tidak lagi menjadi
fokus pemerintah daerah di beberapa kabupaten. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
sejauh mana peran sektor pertanian berkontribusi dalam penyelenggaran kawasan andalan
Palopo dan sekaligus memberikan arahan kebijakan bagi pemerintah daerah untuk tetap
menjadikan pertanian sebagai arus utama pembangunan. Metode pendekatan yang
digunakan yaitu pendekatan kuantitatif, dimana data diperoleh berupa data sekunder dan
dianalisis dengan menggunakan metode kontribusi sektoral, analisis sektor unggulan dan
analisis tipologi klassen. Hasil penelitian diperoleh peran sektor pertanian dalam
penyelenggaraan kawasan andalan Palopo telah mengalami pergeseran. Dimana sektor ini
tidak lagi menjadi sektor utama dalam menunjang kegiatan pembangunan di kawasan
andalan Palopo dan sekitarnya secara keseluruhan. Sehingga pengambilan kebijakan
kedepan perlu mempertimbangkan kerjasama antar kota/kabupaten dalam berbagai aspek
perencanaan dan pembangunan pertanian secara komprehensif, mendorong Kabupaten
Luwu Utara dan Kabupaten Luwu sebagai pusat kegiatan pertanian utama di kawasan
andalan Palopo dan sekitarnya dan Menjadikan sektor pertanian untuk sejalan dengan sektor
utama yang berkembang di beberapa kabupaten/kota.
Kata Kunci: Pertanian, Kawasan, Pengembangan

Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah
adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait
kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau
aspek fungsional. Wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas
spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling
berinteraksi secara fungsional (Rustiadi, Saefulhakim, & Panjunu, 2006). Maka dalam
kondisi tertentu batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali
bersifat dinamis (Mutaali, 2011).
Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah diharapkan mampu meningkatkan
kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan alternatif pemecahan-pemecahan
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 53
inovatif dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya, pada sisi yang berbeda
harus memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan
publik dasar serta bagaimana meningkatkan kemandirian daerah dalam melaksanakan
pembangunan (Tarigan & Si, 2009). Berlakunya otonomi daerah yang paling penting bagi
pembangunan adalah meningkatkan motivasi daerah untuk memiliki tingkat pertumbuhan
yang tinggi, melalui pemberdayaan potensi ekonomi lokal dengan mengembangkan kegiatan
yang berdasarkan potensi daerah dan memanfaatkan peluang yang ada untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (Prihardoyo & Setiawan, 2017). Satuan wilayah pengembangan
adalah wilayah yang secara geografis dan administrasi dikelompokan berdasarkan potensi
dan sumber daya untuk pengembangannya. Satuan wilayah pengembangan yang ditetapkan
berdasarkan kesamaan karakteristik sosial ekonomi, ataupun keterkaitan ekonomi antar
wilayah. Kesemuanya ini dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat lebih diperdayakan
dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah yang meliputi wilayah
pengembangan sesuai potensi daerah bersangkutan (Harzan, 2015). Maka hal ini diharapkan
mampu menetapkan alternatif kegiatan dengan mengembangkan potensi daerah yang
dimiliki.
Berdasarkan kebijakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009-2029 ditetapkan 4 kawasan andalan
yang bertujuan sebagai bentuk kerjasama daerah. Salah satunya adalah kawasan andalan
Palopo dan sekitarnya. Kawasan andalan Palopo terdiri dari Kabupaten Luwu Timur,
Kabupaten Luwu, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, Kota Palopo dan
Kabupaten Luwu Utara. Kerjasama keenam wilayah tersebut menunjukkan perkembangan
yang signifikan, dimana menempatkan Kota Palopo sebagai pusat kegiatan di kawasan
andalan tersebut. Potensi pertanian yang melimpah pada kawasan andalan Palopo
menjadikan sektor ini sebagai arus utama pembangunan, namun dalam perkembangannya
menunjukkan ketidaksesuaikan dengan program pembangunan di beberapa wilayah,
misalnya Kabupaten Tana Toraja yang berfokus pada pengembangan pariwisata. Sehingga
perlu dilakukan kajian untuk menganalisa sejauh mana peran sektor pertanian berkontribusi
dalam penyelenggaran kawasan andalan Palopo dan sekaligus memberikan arahan kebijakan
bagi pemerintah daerah untuk tetap menjadikan pertanian sebagai arus utama pembangunan.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


54 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober – November 2017 yang difokuskan pada
6 wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Kota Palopo, Kabupaten
Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Tana Toraja dan
Kabupaten Tana Toraja Utara berdarakan Perda Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun
2009 tentang RTRWP Sulawesi Selatan.

Jenis dan Sumber Data


Data yang diperoleh kaitannya dengan penelitian ini bersumber dari beberapa instansi
terkait seperti BPS Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu,
Kabupaten Tanah Toraja, Kabupaten Toraja Utara dan Kota Palopo dengan jenis data
sekunder. Data sekunder adalah data yang bersumber dari instansi atau lembaga-lembaga
terkait serta hasil penelitian sebelumnya yang sifatnya merupakan data baku, jenis data yang
dimaksud meliputi:
a. Data kondisi fisik wilayah studi yang mencakup data geografis dan kondisi
perekonomian kabupaten
b. Data kependudukan dengan spesifikasi data berupa jumlah penduduk kepadatan
penduduk, perkembangan dan penyebaran penduduk.
a. Data kebijakan pemerintah melalui RT/RW tingkat provinsi

Teknik Pengumpulan Data


a. Survei lapangan; survei lapangan secara langsung dilaksanakan untuk memperoleh
gambaran potensi pertanian di lokasi kajian
b. Studi Kepustakaan; studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh literatur pendukung
yang terkait dengan topik penelitian.

Teknik Analisis Data


a. Analisa Kontribusi Ekonomi

Konsep paling sederhana untuk menggambarkan kemampuan sektor basis adalah


indeks kontribusi sektoral dalam PDRB, yaitu dengan cara melihat besar kecilnya
kontribusi sektor tertentu terhadap perekonomian wilayah secara agregat. Indeks
kontribusi sektoral digunakan untuk melihat rasio nilai PDRB tiap sektor terhadap nilai
PDRB total.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 55
b. Analisis Sektor Unggulan
Model analisis LQ dan Shift Share merupakan metode yang relative banyak
digunakan untuk menentukan sektor unggulan. Dasar pemikiran metode dan dasar teori
Location Quotient (LQ) adalah teori basis ekonomi sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Analisis ini relatif sederhana dan manfaatnya cukup besar untuk
identifikasi awal kemampuan sektor dalam pembangunan wilayah. Teknik analisis ini
digunakan untuk menentukan sektor apa saja yang merupakan sektor basis yang dapat
mengekspor (ke luar daerah) dalam perekonomian wilayah yaitu suatu indikator yang
menunjukkan kekuatan peranan suatu sektor dalam suatu daerah dibandingkan dengan
peranan sektor yang sama di daerah acuan yang lebih luas. Sedangkan analisis shift
share digunakan untuk melihat perkembangan dari sektor perekonomian suatu wilayah
terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, juga melihat perkembangan
sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relative dengan sektor lain

c. Analisis Tipologi Klassen


Tipologi klassen ini adalah model yang paling populer untuk mengidentifikasi
tingkat perkembangan perekonomian wilayah dengan menggunakan basis data besaran
pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi dengan pembagian berdasarkan rata-
rata. Hasil pengelompokan wilayah dari tipologi klassen dapat digunakan sebagai dasar
perumusan kebijakan dan program pembangunan, sehingga lebih tepat dan terarah
sesuai dengan karakter, potensi dan permasalahannya.

Hasil dan Pembahasan


Gambaran Umum Wilayah
Kawasan andalan Palopo dan sekitarnya merupakan salah satu dari 4 kawasan andalan
di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara konseptual bertujuan membangun kerjasama antar
daerah dalam memaksimalkan potensi wilayah yang dimiliki. Setiap kawasan andalan
memiliki 1 pusat kegiatan yang menjadi sentral pelayanan kawasan secara keseluruhan,
dalam kasus ini ditetapkan Kota Palopo sebagai pusat kegiatan utama dan saling berintegrasi
dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Tana
Toraja dan Kabupaten Tana Toraja. Secara umum wilayah Kabupaten Luwu Utara
merupakan kabupaten yang paling luas dalam kawasan andalan Palopo dan sekitarnya yang

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


56 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
mencapai 35.98% dari luas kawasan. Berdasarkan data jumlah penduduk, Kabupaten Luwu
dengan luas 14,35% memiliki jumlah penduduk tertinggi yaitu 337.950 jiwa.
Tabel 1. Jumlah penduduk dan luas wilayah kawasan andalan Palopo
No Wilayah Jumlah Penduduk Persentase Luas Persentase

1 Kabupaten Luwu Timur 275.596 17.98 6.944,98 33.22

2 Kabupaten Luwu Utara 302.687 19.75 7.502 35.89

3 Kabupaten Luwu 337.950 22.05 3.000,25 14.35

4 Kota Palopo 164.903 10.76 247,52 1.18

5 Kabupaten Tana Toraja 225.984 14.74 2.054,30 9.82

6 Kabupaten Tana Toraja


225.521 14.71 1.151,47 5.50
Utara

Jumlah 1.532.641 100% 20.900,52 100%


Sumber: Badan Pusat Statistik Tahun 2017

Gambar 1. Peta kawasan andalan Palopo dan sekitarnya

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 57
Kontribusi Ekonomi
Penilaian kontribusi ekonomi terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto masing
masing daerah difokuskan pada sejauh mana sektor pertanian memberikan kontribusi
ekonomi. Pendekatan yang digunakan adalah penilaian indeks kontribusi sektoral (IKS)
dimana nilai IKS didapat dari nilai PDRB persektor dibagi dengan PDRB total. Hasil
menunjukkan bahwa nilai rata rata IKS pada kawasan andalan Palopo dan sekitarnya pada
posisi 6.25, hal ini menunjukkan bahwa jika nilai IKS melebihi nilai rata rata IKS total maka
sektor tersebut berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Sektor pertanian
pada masing masing kabupaten/kota memperlihatkan nilai yang positif secara merata dimana
jauh melebihi nilai rata rata IKS. Pada sisi yang berbeda jika dibandingkan keenam
kabupaten/kota memperlihatkan hasil yang beragam, dimana Kabupaten Luwu Timur
menyumbang nilai IKS paling rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya hanya pada
posisi 12,62. Secara keseluruhan sektor pertanian masih berkontribusi dalam perkembangan
ekonomi di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya, namun wilayah Kabupaten Luwu Timur
menunjukkan angka yang rendah.
Tabel 2. Nilai kontribusi sektoral pada kawasan andalan Palopo
Kab. Luwu Kab. Luwu
Sektor Kota Palopo Kab. Torut Kab. Toraja Kab Luwu
Utara Timur
A 56,74 12,64 22,47 23,29 29,89 58,38
B 0,002 33,22 0,37 1,10 1,64 2,98
C 4,34 4,87 3,37 7,40 8,29 4,46
D 0,05 1,31 0 0,08 0,10 0,05
E 0,01 0,08 0,37 0,15 0,10 0,01
F 8,77 5,49 25,84 24,74 9,39 11,24
G 10,92 3,89 6,74 5,49 2,65 0,82
H 0,80 3,03 1,49 2,77 1,80 0,75
I 0,002 5,67 4,49 4,80 4,46 2,40
J 1.46 3,48 9,73 4,65 3,35 1,50
K 6.19 4,47 5,99 6,52 6,17 6,37
L 0.02 2,88 0 0,09 0,10 0,02
M 5.04 5,21 9,73 6,16 11,17 5,19
Sumber: Hasil Analisis Tahun 2017
Keterangan : (a) Pertanian,Kehutanan,Perikanan, (b) Pertambangan dan Penggalian, (c) Industri Pengolahan
(d) Pengadaan Listrik dan Gas, (e) Pengadaan Air, Pengolahan Sampah, Limbah (f) perdagangan Besar dan
Eceran, (g) Transportasi dan pegudangan, (h) Penyediaan Akomodasi dan Makanan minuman (i) Informasi
dan komunikasi, (j) jasa keuangan dan asuransi (k) real Estate, (l) jasa perusahaan (m) administari pemerintah,
pertahanan, Jasa Pendidikan, Jasa kesehatan,kegiatan sosial dan jasa lainnya.

Sektor Basis
Dalam analisis penentuan sektor basis perekonomian wilayah, teknik LQ ditempuh
dengan cara membandingkan antara peranan relatif sektor atau subsektor wilayah (PDRB
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
58 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
sektoral) terhadap nilai tambah total wialayah (PDRB) dengan peranan relatif sektor atau
sub sektor yang sama pada wilayah yang lebih luas. Hasil penilaian sektor basis di kawasan
andalan Palopo dan sekitarnya menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi sektor
unggulan hanya pada Kabupaten Luwu Utara dengan nilai LQ > 1. Kondisi ini
memungkinkan Kabupaten Luwu Utara mengekspor hasil pertanian ke beberapa wilayah
kabupaten/kota di kawasan andalan Palopo. Sedangkan kelima kabupaten/kota lainnya
menunjukkan nilai LQ < 1, artinya terdapat sektor lain diluar dari sektor pertanian yang
menjadi sektor unggulan.
Interpretasi hasil analisis Shift Share merujuk pada nilai positif dan nilai negatif, maka
hasil menunjukkan bahwa sektor pertanian dalam batasan nilai positif. Sektor pertanian
dinilai mengalami pertumbuhan yang progresif atau maju untuk seluruh wilayah
kabupaten/kota. Namun dari perkembangan tersebut beberapa wilayah menunjukkan angka
yang pesimis karena bernilai postif akan tetapi mendekati nilai negatif yaitu di Kabupaten
Toraja, Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo. Selain itu arus
perkembangan sektor pertanian harus mampu mengimbangi sektor lainnya yang juga
mengalami perkembangan yang signfikan, misalnya di Kabupaten Luwu Timur dengan
sumbangsih sektor pertambangan. Secara umum penilaian sektor unggulan dengan fokus
Tabel 3. Hasil analisis LQ sektoral pada kawasan andalan Palopo
Kab. Luwu Kab. Luwu
Sektor Kota Palopo Kab. Torut Kab. Toraja Kab Luwu
Utara Timur
A 1,7 0,1 0,3 0,3 0,4 0,7
B 0 16,3 0,1 0,5 0,8 1,5
C 1,5 0,7 0,5 1,1 1,3 0,7
D 1,6 1,5 0 1,0 1,2 0,7
E 0,9 2,3 10,6 4,2 3,0 0,4
F 1,3 0,3 1,7 1,6 1,2 0,7
G 3,1 0,4 0,8 0,6 0,3 0,1
H 1,4 2,3 1,1 2,1 1,4 0,5
i 0,02 2,8 2,2 2,3 2,2 1,1
j 1,4 1,4 4,1 1,9 1,4 0,6
K 1,6 0,5 0,5 0,7 0,7 0,7
L 1,4 6,7 0 2,1 2,4 0,6
M 1,6 0,7 1,3 0,8 1,5 0,7
Sumber: Hasil Analisis Tahun 2017
sektor pertanian di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya menunukkan Kabupaten Luwu
Utara masih mampu bertahan dengan potensi pertanian sebagai sektor unggulan, sedangkan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 59
kelima kabupaten/kota yang lain memasuki tahap perkembangan sektor unggulan pertanian
yang melambat.
Tabel 4. Hasil analisis SSA sektoral pada kawasan andalan Palopo
Kab. Luwu Kab. Luwu
Sektor Kota Palopo Kab. Torut Kab. Toraja Kab Luwu
Utara Timur
a 0,33 0,19 0,07 0,28 0,19 0,24
b 0,49 0,39 0,70 0,26 0,08 1,07
c 0,19 0,45 0,37 0,45 0,17 0,29
d 0,37 0,23 0,48 0,50 0,36 0,40
e 0,08 0,17 0,51 0,09 10,6 0,23
f 0,43 0,51 0,55 -0,38 0,71 0,44
g 0,30 0,51 1,05 -0,75 0,55 0,38
h 0,26 0,42 0,84 -0,67 -0,34 0,54
i 0,88 0,58 0,80 0,53 0,35 0,70
j 0,47 0,62 0,64 -0,05 0,42 0,39
k 0,38 0,34 0,48 2,10 0,25 0,46
l 0,58 0,30 0,25 -0,96 0,22 0,31
m 0,15 0,18 0,20 61,47 0,17 0,21
Sumber: Hasil Analisis Tahun 2017

Tipologi Klassen
Analisis tipologi klassen ini digunakan untuk megetahui potensi perkembangan
perekonomian wilayah dan untuk menetukan kuadran dari kawasan andalan Palopo dan
sekitarnya. Interpretasi hasil analisis berdasarkan pada penilaian masing masing kuadran
dimana:
 Sektor yang terdapat pada kuadran 1 berarti sektor tersebut cepat maju, cepat tumbuh
dan merupakan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sektoral tinggi
dan kontribusi sektoral yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata sektor kawasan.
 Sektor yang terdapat pada kuadran 2 merupakan sektor yang berkembang cepat.
Merupakan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sektoral tinggi tetapi
kontribusi sektor lebih rendah dibandingkan rata-rata sektor kawasan.
 Sektor pada kuadran 3 adalah sektor maju tapi tertekan. Merupakan sektor yang
memiliki kontribusi sektor yang lebih tinggi tetapi tingkat pertumbuhan ekonomi
sektoralnya lebih rendah dibandingkan rata-rata sektor kawasan.
 Sektor pada kuadran 4 adalah sektor relatif tertinggal. Memiliki tingkat pertumbuhan
sektoral yang rendah dan kontibusi sektor yang lebih rendah dibandingkan rata-rata
sektor kawasan.
Hasil penilaian memperlihatkan bahwa sektor pertanian pada kawasan andalan Palopo
dengan posisi perkembangan cepat berada di Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


60 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
pada kuadaran 2 namun tidak mengalami perkembangan yang maju dan signifikan. Hal lain
terjadi di Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Toraja Utara yang berada pada kuadran 3,
menunjukkan bahwa sektor pertanian mengalami kemajuan tetapi tertekan dibandingkan
dengan sektor lainnya. Sedangkan pada kuadran 4 yang berarti bahwa sektor pertanian relatif
tertinggal berada di Kabupaten Toraja dan Kota Palopo. Secara umum sektor pertanian tidak
menujukkan perkembangan yang cepat dan maju untuk seluruh wilayah kabupaten dan kota
di kawasan andalan Palopo.
Tabel 5. Hasil analisis tipologi klassen pada kawasan andalan Palopo
Kab. Luwu Kab. Luwu Kota
Sektor Kab. Torut Kab. Toraja Kab. Luwu
Utara Timur Palopo
a 2 3 4 3 4 2
b 2 2 4 3 4 4
c 2 3 4 1 4 2
d 2 3 2 1 2 2
e 4 3 1 1 2 4
f 4 3 2 1 2 2
g 4 3 2 3 4 4
h 2 3 2 1 2 4
i 2 3 2 1 2 4
j 4 3 2 1 2 4
k 4 3 4 3 4 2
l 4 2 2 1 2 4
m 2 3 2 1 2 2
Sumber: Hasil Analisis Tahun 2017

Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan akhir bahwa peran sektor pertanian dalam penyelenggaraan kawasan andalan
Palopo telah mengalami pergeseran. Dimana sektor ini tidak lagi menjadi sektor utama
dalam menunjang kegiatan pembangunan di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya secara
keseluruhan. Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu merupakan dua kabupaten yang
menjadi tumpuan utama dalam mengembangkan sektor pertanian, sedangkan sektor
pertanian di empat kabupaten lainnya harus bersaing dengan sektor lainnya yang jauh lebih
berkembang. Hal ini diindikasian oleh berubahnya arus perkembangan beberapa sektor
dimana Kabupaten Toraja dan Toraja Utara saat ini menjadikan pariwisata sebagai fokus
utama pembangunan, sektor pertambangan dan galian di Kabupaten Luwu Timur dan Kota
Palopo sebagai pusat kegiatan di kawasan andalan Palopo menunjukkan perkembangan
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 61
wilayah urban, sehingga pertanian tidak lagi menjadi kegiatan utama wilayah dalam
kerangka pengembangan kawasan.

Rekomendasi
a. Perlunya kerjasama antar kota/kabupaten dalam berbagai aspek perencanaan dan
pembangunan pertanian secara komprehensif
b. Mendorong Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu sebagai pusat kegiatan
pertanian utama di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya
c. Menjadikan sektor pertanian untuk sejalan dengan sektor utama yang berkembang di
beberapa kabupaten/kota.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu Utara dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu Timur dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Tana Toraja dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Toraja Utara dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Badan Pusat Statistik. Kota Palopo dalam Angka Tahun 2017. BPS.
Harzan, M. 2015. Analisis Lokasi Pusat Pemerintahan dalam Rangka Pengembangan
Wilayah di Kabupaten Buton Tengah Sulawesi Tenggara. Surakarta: Doctoral
Dissertation Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Mutaali, L. 2011. Kapita Selekta Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Badan Penerbit
Universitas Gadjah Mada.
Prihardoyo, B., & Setiawan, N. B. 2017. Distribusi Fungsi Pelayanan Kecamatan dan
Interkasi Antar Kecamatan pada Satua Wilayah (SWP) di Kabupaten Tegal. Economic
Development Analysis Journal, 405-413.
Rustiadi, E., Saefulhakim, S., & Panjunu, D. R. 2006. Diktat Perencanaan Pengembangan
Wilayah. Bogor: IPB.
arigan, A., & Si, M. 2009. Kerjasama Antar Daerah (KAD) untuk Peningkatan
Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Daya Saing. Retrieved Maret 14, 2018, from
http://buletin. pemanfaatanruang. net/index.asp.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


62 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Bidang Penelitian Agroteknologi

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 63
RANCANG BANGUN ALAT PENGENDALI HAMA BURUNG
PEMAKAN BULIR PADI SAWAH (Oryza sativa L.)
SISTEM MEKANIK ELEKTRIK

ARDIYANTO SALEH MODJO


Faperta Universitas Negeri Gorontalo
Email: modjoardiyanto@gmail.com; ardiyantosm@ung.ac.id

ABSTRAK

Penelitian ini akan menghasilkan produk prototipe Alat Pengendali Hama Burung Pemakan
Bulir Padi Sawah (Oryza sativa L.) Sistem Mekanik Elektrik. Hama burung ini merupakan
pengganggu bagi tanaman padi dan petani. Selama ini petani membuat alat yang dapat
mengusir burung secara manual bertenaga manusia. Petani harus meluangkan waktu untuk
terus menjaga padinya sambil menggerakkan alat tersebut ketika burung pipit menyerang,
sebab alat yang mereka buat tak dapat bergerak sendiri. Metode yang digunakan adalah
eksperimen, rancang bangun prototipe alat pengendali hama burung sistem mekanik elektrik
yang merupakan target khusus berusaha meringankan petani beraktivitas dan waktunya.
Penggeraknya adalah motor listrik yang digerakkan secara otomatis. Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini adalah alat ini berfungsi dengan baik. Bekerjanya alat ini dapat dipicu dari
timbulnya suara yang ditangkap oleh sensor ataupun benda yang menyentuh sensor. Sensor
kemudian mengirimkan instruksi kepada rangkaian elektronik untuk mengalirkan arus listrik
dari baterai untuk menggerakkan motor listrik. Akibatnya tuas penggerak tali atau batang
mekanik akan ikut bergerak, sehingga tali-talipun akan bergerak pula. Akhirnya benda yang
ada ditali berupa kerincingan akan bergetar dan menimbulkan suara yang nanti akan
mengejutkan burung.
Kata Kunci: Rancang Bangun, Pengendali Burung Otomatis, Burung Pipit, Bulir Padi

Pendahuluan
Pengendalian hama padi sawah untuk memperoleh produksi yang lebih meningkat
terus dilakukan. Baik itu secara kimia maupun mekanik. Salah satu hama padi adalah burung
yang biasa makan bulir padi. Petani biasa membuat alat untuk mengendalikan hama burung
ini dengan beberapa untaian tali yang diberikan benda-benda yang dapat menimbulkan suara
ketika tali ditarik. Hal itu akan menyebabkan burung kaget dan terbang meninggalkan padi,
sehingga tidak jadi memakan tanaman padi.
Petani biasanya menggerakkan untaian tali tersebut dengan menggunakan tenaganya
sendiri melalui tangan, sehingga harus selalu diamati. Hal ini telah berlangsung secara turun
temurun. Petani selalu harus berada di lokasi sawahnya untuk berjaga-jaga agar burung tidak
akan makan tanaman padi ketika tiba waktu untuk memakan tanaman. Aktivitas dan waktu
petani ini sangat tersita akibat ulah burung, bisa saja petani dapat melakukan aktivitas lain
yang sama pentingnya untuk kebutuhan keluarganya. Misalnya saja petani harus mencari
pakan untuk ternaknya di rumah, karena adapula petani yang memiliki ternak disamping

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


64 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
bertani padi. Ternak yang dipelihara biasanya sapi, ayam atau kambing. Istrinya harus ke
pasar dan mempersiapkan makan, anaknya biasa harus sekolah sehingga bagi keluarga
petani yang kurang mampu tentunya tidak dapat menyewa orang lain untuk membantu
pekerjaannya.
Petani yang ekonominya lemah tentunya akan terasa sulit dengan kondisi seperti di
atas, oleh sebab itu dirasa perlu untuk membantu meringankan beban petani dengan
membuat alat pengendali hama burung pemakan bulir padi ini. Alatnya dapat bekerja
otomatis sehingga tidak perlu selalu ditunggui petani, hanya saat-saat tertentu saja petani
bisa mengontrol tanaman padinya. Hal ini memungkinkan petani dapat melakukan aktivitas
yang lain. Teknologi, sebagai penerapan ilmu / ilmu pengetahuan, adalah batuan dasar dari
industri modern, yang pada gilirannya berkontribusi pada pengembangan teknologi
(Akekere dan Yousuo, 2013).

Metode
Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen yang dilengkapi
dengan alat yaitu sebagai berikut: pas, avo meter, adaptor, power suplay, tang pengupas
kabel, gunting seng, gunting, kikir besi/kayu, solder, dan timah solder. Bahannya adalah
kayu, tripleks, baut mur, pipa besi, paku, siku rak, baut mur siku rak, besi beton, gagang
pintu (pegangan), motor listrik, baterai aa, baterai (aki), katup, klem pipa, poros nok, roda
gigi, rantai kecil, sakelar, kabel, relai, pegas ulir, engsel, kerincingan, dan nilon.

Pembuatan Miniatur Model Alat Pengendali Hama Burung


Pembuatan alat ini diawali dengan pembuatan miniatur modelnya untuk melihat bisa
tidaknya rancangannya beroperasi, dimana rancangan alatnya dibuat sama dalam ukuran
skala kecil. Rancangan mekanisme elektroniknya terutama yang akan diketahui apakah
berfungsi sesuai harapan atau belum, sehingga apabila belum berfungsi maka dapat
diperbaiki tanpa menyita waktu dan bahan yang banyak. Proses dapat dilanjutkan ke
perancangan alat pada skala prototipe.

Pembuatan Prototipe Alat Pengendali Hama Burung


Pembuatan Rangka
Awal proses pembuatannya adalah dengan membuat kerangka sebagai pembentuk alat
dan sebagai pemegang komponen-komponen lainnya nanti. Rangka ini dibuat dari bahan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 65
besi siku rak, dipotong sesuai ukuran yang diinginkan menjadi beberapa bagian. Potongan-
potongan tersebut nantinya akan disambung dengan baut mur siku rak menjadi bentuk kubus.

Konstruksi
Proses selanjutnya adalah mengkonstuksi besi siku rak menjadi bentuk kubus sebagai
dasar ataupun pondasi alat pengendali hama burung. Penyambungannya mudah saja, yaitu
dengan mengikatnya menggunakan baut mur lalu dikencangkan dengan kunci pas dan kunci
sock. Bila telah selesai dapat dilanjutkan dengan mengkonstruksi komponen-komponen
yang lain seperti motor listrik, poros nok, katup dan rantai kecil.

Pengujian
Pengujian perlu dilakukan setelah alat pengendali hama burung otomatis ini selesai.
Pengujian awal dilakukan di halaman rumah tempat pembuatan alat ini yang kebetulan
sering banyak burung sejenis pipit datang setiap hari. Proses pengujian yang dilakukan
menunjukkan kinerja prototipe alat sesuai dengan harapan rancangan yang telah dibuat.

Hasil dan Pembahasan


Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah prototipe alat ini berfungsi dengan baik.
Bekerjanya alat ini dapat dipicu dari timbulnya suara yang ditangkap oleh sensor ataupun
benda yang menyentuh sensor (Gambar 1). Sensor kemudian mengirimkan instruksi kepada
rangkaian elektronik untuk mengalirkan arus listrik dari baterai untuk menggerakkan motor
listrik. Akibatnya tuas penggerak tali atau batang mekanik akan ikut bergerak, sehingga tali-
talipun akan bergerak pula. Akhirnya benda yang ada ditali berupa kerincingan akan bergetar
dan menimbulkan suara yang nanti akan mengejutkan burung.
Gambar 2 menunjukkan kalau dengan suara yang ditimbulkan dari menepuk tangan
dapat menggerakkan alat pengendali hama burung. Suara tepukan itu ditangkap oleh sensor
yang selanjutnya ditransfer ke rangkaian elektronik kemudian diubah menjadi mengalirkan
arus listrik. Arus listrik akan menggerakkan elemen elektronik, selanjutnya akan
menggerakkan mekanisme penggerak tali yang nanti menggerakkan tali-tali nilon dimana
komponen kerincingan yang dilekatkan pada tali-tali nilon tersebut akan ikut bergerak dan
menghasilkan bunyi. Burung-burung akan terkejut dengan bunyi-bunyian tadi sehingga
mereka akan terbang menjauh.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


66 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Penahan
Tuas penggerak
tuas
Baut tali
pengikat Casing
Tuas

Baut
pengikat
Tali nilon
dan
kerin-
Baut
pengikat

Kabel Kabel
bodi bodi
Motor
Baut listrik
Pemegang
pengikat
baterai/aki
Baterai/aki

Gambar 1. Prototipe Alat Pengusir Burung

Tali-tali nilon Prototipe


dan kerincingan

Tepukan tangan
menghasilkan suara
untuk menggerakkan
alat.

Gambar 2. Pengujian Prototipe Alat Pengusir Burung

Pembuatan
Proses pembuatan alat pengendali hama burung dilakukan sendiri. Lokasi
pembuatannya di rumah sendiri. Adapun proses pembuatannya berurutan seperti dijelaskan
berikut ini.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 67
Pembuatan Rangka
Rangka ini berfungsi sebagai penopang komponen lain dan juga sebagai bentuk dasar
alat pengendali hama burung seperti Gambar 3. Sulharman (2015) menyatakan rangka
merupakan tempat ganjalan motor, kotak roda gigi dan roda.

Gambar 3. Rangka

Pemasangan Komponen
Komponen-komponen yang akan dipasangkan pada rangka adalah: motor listrik
(Gambar 4), poros nok, baterai/Aki, papan rangkaian elektronik, tuas penggerak tali dan
relai.

Gambar 4. Pemasangan Motor Listrik

Motor listrik ini untuk menggerakkan poros nok, arus listriknya diperoleh dari baterai/aki 12
volt 5 A. Setiap motor digerakkan oleh tenaga DC yang voltase dan arus adalah diukur
dengan Tektronix P5200A probe tegangan (Tsai et.al., 2009). Motor listrik melakukan
kebalikan dari listrik generator. Alih-alih mengubah energi mekanik menjadi listrik, motor
listrik mengambil listrik dan mengubahnya menjadi energi mekanik (Manney, 2017). Semua
motor, induksi atau magnet permanen, memiliki komponen dasar yang sama: stator, rotor,
poros, dan rumahan motor (Gambar 1). Selain itu, mereka semua beroperasi melalui medan
magnet yang dihasilkan sehingga menghasilkan torsi yang memutar rotor untuk menciptakan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


68 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
kerja mekanik yang dapat digunakan. Cara dimana medan magnet dihasilkan bervariasi
menurut jenis dan konstruksi motor (King et al., 2012).

Gambar 5. Pemasangan Poros Nok, Katup dan Rantai

Poros nok dan katup serta rantai dipasang untuk menggerakkan tuas penggerak tali.
Poros nok mendapat tenaga putar dari motor listrik melalui rantai, selanjutnya nok akan
menggerakkan katup. Tuas penggerak tali yang ditempatkan di atas katup akan ikut bergerak
dengan bergeraknya katup (Gambar 5). Alofs (2015) mengungkapkan bahwa poros sisi
sejajar dan kepala bodi berbentuk kerucut, piramida, peluru, atau pahat memiliki kekuatan
yang besar.
Tuas penggerak tali dipasang tepat di atas katup, tujuannya agar gerakan katup yang
berasal dari poros nok dapat diteruskan ke tuas penggerak tali (Gambar 6). Nantinya gerakan
tuas penggerak akan sama dan seirama dengan gerakan poros nok, motor listrik dan suara
yang ditangkap sensor. Gerakan tuas penggerak hanyalah lurus ke atas dan ke bawah.
Gerakan lurus ini telah diubah oleh katup dari gerakan melingkar poros nok dan motor listrik.

Gambar 6. Pemasangan Tuas Penggerak Tali

Kesimpulan
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah prototipe alat ini berfungsi dengan baik.
Bekerjanya alat ini dapat dipicu dari timbulnya suara yang ditangkap oleh sensor ataupun

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 69
benda yang menyentuh sensor. Sensor kemudian mengirimkan instruksi kepada rangkaian
elektronik untuk mengalirkan arus listrik dari baterai untuk menggerakkan motor listrik.
Akibatnya tuas penggerak tali atau batang mekanik akan ikut bergerak, sehingga tali-talipun
akan bergerak pula. Akhirnya benda yang ada ditali berupa kerincingan akan bergetar dan
menimbulkan suara yang nanti akan mengejutkan burung.

Daftar Pustaka
Akekere, J. and Yousuo, P.O.J. 2013. National electric energy supply and industrial
productivity in Nigeria from 1970 to 2010. Journal of Economics and Sustainable
Development, Vol. 4 (14).

Alofs, E. 2015. Studies on Mounted Warfare in Asia III: The Iranian Tradition – Cavalry
Equipment, Infantry, and Servants. War in History. Vol. 22 (2): 132-154.

C.-Y. Tsai, K.-T. Song, X. Dutoit, H. Van Brussel, and M. Nuttin. 2009. “Robust visual
tracking control system of amobile robot based on a dual-Jacobian visual interaction
model,” Robotics and Autonomous Systems, vol. 57 (6-7): 652–664.

King, D.J., Cooperman, A., Diecmann, J., Brodrick, J. 2012. Induction or PM motors.
ASHRAE Journal. October. 81-85.

Manney, D. 2017. Electric motors and generators: Sizing up the difference. L&S Electric.
Vol. 20 (6): 36-38.

Sulharman, 2015. Engineering of rocking nut maker tools. The Journal for Technology and
Science, Vol. 26 (2): 35-39.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


70 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
AIR TERSEDIA PROFIL TANAH UNTUK TANAMAN PADI PADA USTIK
ENDOAQUERT PAGUYAMAN-GORONTALO

WATER AVAILABILITY OF SOIL PROFILES FOR PADDY IN USTIC ENDOAQUERT


PAGUYAMAN OF GORONTALO
NURDIN
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo
Email: nurdin@ung.ac.id

ABSTRACT

Rice crops require sufficient amount of water for their development, but water is often a
limiting factor if it is grown on dry Vertisol soils. The study aimed to determine the monthly
water availability and water available of soil profiles for paddy on Endoaquert Ustic of
Paguyaman. The research was conducted on 2 pedon of Vertisol soil profiles, which were
pedon from Sidomukti Village of Mootilango District of Gorontalo Regency and from Sosial
Village of Paguyaman District of Boalemo Regency. The soil profile was constructed and
sampled according to soil survey principles. Climate data were collected from the Sidodadi
and Molombulahe climate stations, including: rainfall data (mm), temperature (°C), relative
humidity (%) and wind speed (km hour-1). Soil data used, including: soil water content of
field capacity (pF = 2.5) and permanent wilting point (pF = 4.2) and root depth on 30 cm
(rice roots). Monthly water availability analysis was using water balance method followed
by water balance of soil profiles. The results showed that monthly water availability of
Vertisol from Sidomukti Village was higher than Vertisol from Social Village. Water
available of Vertisol soil profile from Sidomukti Village more by 41.09% compared to
Vertisol from Social Village.
Keywords: Water Availability, Profile, Soil, Vertisol

Pendahuluan
Wilayah Paguyaman adalah salah satu sentra utama pengembangan tanaman pangan,
terutama padi sawah dan merupakan lumbung beras terbesar di Provinsi Gorontalo. Wilayah
ini merupakan lembah gunung Boliyohuto dan tercakup dalam Daerah Aliran Sungai
Paguyaman yang terdiri dari endapan danau (lakustrin), dataran alluvial dan teras sungai.
Menurut Bahcri et al. (1993), geologi daerah Paguyaman dominan berkembang dari bahan
lakustrin yang terdiri dari batu liat (claystones), batu pasir (sandstones), dan kerikil (gravel)
pada epoch kuarter pleistosen dan holosen. Sementara Prasetyo (2007) melaporkan bahwa
daerah Paguyaman mengandung mineral kuarsa dan dalam jumlah yang lebih sedikit masih
dijumpai mineral ortoklas, sanidin dan andesin. Mineral epidot, amfibol, augit dan hiperstin

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 71
dijumpai dalam jumlah sangat sedikit. Sehingga, cadangan hara di daerah ini tergolong
sedang.
Data Stasiun Iklim Sidodadi dan Molombulahe selang tahun 2007-2013 menunjukkan
bahwa daerah Paguyaman menurut Zona Agroklimat (Oldeman dan Darmiyati, 1977)
termasuk E4 karena memiliki 6-9 bulan kering (<100 mm) dan 1 bulan basah (≥200 mm).
Rata-rata curah hujan bulanan stasiun Sidodadi hanya sebanyak 93 mm bulan -1 dan 85 mm
bulan-1 pada stasiun Molombulahe. Melihat kondisi tersebut, maka daerah ini mempunyai
faktor pembatas penggunaan lahan yang optimal, antara lain beriklim kering dan
ketersediaan air yang minim sehingga akan mempengaruhi penggunaan lahan untuk
pertanian terutama pertanian tanaman pangan. Padahal, sejak tahun 1965 daerah Paguyaman
dikenal sebagai kawasan pertanian, terutama pengembangan padi sawah dan tanaman
palawija. Menurut Rachim (2003), budidaya pertanian dapat mempengaruhi kondisi
kelembaban tanah selama tanah diusahakan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa suhu tanah
dapat mengontrol proses biologik dan kemungkinan pertumbuhan tanaman karena setiap
spesies tanaman memiliki persyaratan suhu tersendiri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui ketersediaan air bulanan dan air tersedia dalam profil tanah untuk padi di
Paguyaman.

Bahan dan Metode


Site Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan pada 2 pedon tanah yang mewakili dua area penelitian,
yaitu bagian utara dan bagian selatan DAS Paguyaman berasarkan aliran utama sungai
Paguyaman (Gambar 1). Site spesifik 2 (dua) lokasi tersebut, yaitu: (1) areal tanah sawah
tadah hujan Desa Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo, (2) areal tanah
sawah tadah hujan Desa Sosial Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo. Penelitian
dimulai pada bulan April-Augustus 2013.
Pelaksanaan lapang didasarkan pada lokasi contoh profil (pedon). Profil tanah dibuat
dan diambil contohnya sesuai dengan prinsip-prinsip survei tanah (NSSC-NCRS USDA
2002 dalam Abdullah 2006).
Berikut adalah deskripsi dan klasifikasi tanah di daerah penelitian.
1. Deskripsi dan klasifikasi tanah dari Desa Sidomukti Kec. Mootilango Kabupaten
Gorontalo

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


72 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA) : Ustik Endoaquert
PPT : Eutrik Grumusol
FAO/UNESCO : Cambisol
Bahan Induk : Endapan Danau
Posisi Fisiografik : Kaki Lereng, Depresi
Topografi : Datar-Landai; Lereng <2%
Elevasi : 58 m dpl
Drainase : Buruk
Kedalaman Air Tanah : Dangkal
Vegetasi : Padi (Oryza sativa L.)

Tabel 1. Klasifikasi tanah Desa Sidomukti, Kec. Mootilango, Kabupaten Gorontalo


Kedalaman
Horison Uraian
(cm)
0-12 Apg1 Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur masif;
sangat lekat, plastis; perakaran halus, banyak; jelas rata
12-31 Apg2 Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur gumpal
bersudut, halus, lemah; sangat lekat, plastis; karatan
coklat (10YR 5/3), biasa, halus, jelas, bintik, tajam;
perakaran halus, banyak; berangsur rata
31-53 Bwg1 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut
sedang, lemah; sangat lekat, plastis; perakaran halus,
sedikit; baur rata
53-71/92 Bwg2 Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut, kasar,
lemah; sangat lekat, plastis; jelas berombak.
71/92-119 Bwssg Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut,
sedang, sedang; sangat lekat, plastis; ada bidang kilir;
karatan coklat (10YR 5/3), biasa, halus, jelas, tabung,
jelas; baur rata.
119-150 BCg1 Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut,
kasar, kuat; sangat lekat, plastis; karatan coklat (10YR
5/3), biasa, halus, jelas, tabung, jelas; jelas rata.
150-200 BCg2 Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; sangat lekat, sangat
gembur; baur rata.

Berdasarkan deskripsi dan morfologi tanah, maka kedua pedon diklasifikasi sebagai
Ustik Endoaquert (Soil Taxonomy), dimana kedua pedon memiliki regim kelembaban ustik
yang selalu jenuh air dan tergolong tanah Vertisol (Tabel 1 dan Tabel 2). Adanya proses
eluviasi dan iluviasi serta gleisasi dan karatan menunjukkan bahwa tanah telah berkembang
dengan adanya Horison B. Djaenuddin dan Hendrisman (2005) melaporkan bahwa profil
tanah di daerah Paguyaman ditemukan karatan besi dan mangan, konkresi dan nodul dalam
jumlah cukup sampai banyak pada kedalaman 0-110 cm.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 73
2. Deskripsi dan klasifikasi tanah dari Desa Sosial, Kec. Paguyaman, Kabupaten Boalemo
Klasifikasi Tanah
Taksonomi (USDA) : Ustik Endoaquert
PPT : Eutrik Grumusol
FAO/UNESCO : Cambisol
Bahan Induk : Endapan Danau
Posisi Fisiografik : Kaki Lereng, Depresi
Topografi : Datar-Landai; Lereng <2%
Elevasi : 42 m dpl
Drainase : Buruk
Kedalaman Air Tanah : Dangkal
Vegetasi : Padi (Oryza sativa L.)

Tabel 2. Klasifikasi tanah dari Desa Sosial, Kec. Paguyaman, Kabupaten Boalemo
Kedalaman
Horison Uraian
(cm)
0-21 Apg1 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur masif; agak lekat, plastis;
karatan coklat (10YR 4/3), sedikit, halus, baur, bintik, tajam;
perakaran halus, banyak; berangsur rata.
21-37 Apg2 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus,
lemah; agak lekat, plastis; perakaran halus, sedikit;
berangsur rata.
37-60 Bwg1 Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus,
sedang; agak lekat, plastis; berangsur rata.
60-80 Bwg2 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah;
agak lekat, plastis; perakaran halus, banyak; berangsur rata.
80-103 Bwg3 Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur prismatik,
halus, lemah; lekat, plastis; nyata rata.
103-200 BCg Kelabu terang (10YR 7/1); liat; struktur prismatik, halus,
lemah; lekat, plastis; karatan coklat terang (7,5YR 6/3),
sedang, sedang, jelas, bintik, jelas; nyata rata.

Penetapan Air Tersedia Profil Tanah


Data iklim dikumpulkan dari dua stasiun iklim, yaitu stasiun Sidodadi, dan
Molombulahe. Data curah hujan (mm), suhu (oC), kelembaban relatif (%) dan data kecepatan
angin (km/jam-1) tersedia di dua stasiun yang ada. Sedangkan data panjang penyinaran (%)
hanya di stasiun iklim Sidodadi. Data iklim tersebut disajikan pada Tabel 3 hingga Tabel 6.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


74 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Tabel 3. Data Curah Hujan Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman
Nama Altitut Data Curah Hujan Bulanan (mm)
No Jumlah Rataan BB BK ZAK
Stasiun (m dpl) J F M A M J J A S O N D
Molomb
1 46 91 48 48 111 100 121 118 37 41 59 113 134 1.021 85 0 6 E3
ulahe
13
2 Sidodadi 44 53 101 127 264 68 71 81 31 42 83 113 1.112 93 1 8 E4
4

Tabel 4. Data Suhu Udara Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman


Altitut Suhu Bulanan (oC)
No Nama Stasiun Jumlah Rataan
(mdpl) J F M A M J J A S O N D
1 Molombulahe 43 28 27 27 28 26 26 25 26 26 26 27 28 320 26,67
2 Sidodadi 44 27 26 26 28 28 27 26 27 27 28 27 27 324 27,00

Tabel 5. Data Kelembaban Udara Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman


Altitut Kelembaban Udara Bulanan (%)
No Nama Stasiun Jumlah Rataan
(mdpl) J F M A M J J A S O N D
1 Molombulahe 43 72 65 69 66 76 62 68 52 43 68 66 58 765 63,75
2 Sidodadi 44 91 90 87 89 90 92 90 88 85 90 92 92 1076 89,67

Tabel 6. Data Panjang Penyinaran Matahari di Stasiun Iklim Sidodadi Kabupaten Gorontalo
Nama Altitut Panjang Penyinaran Bulanan (%)
No Jumlah Rataan
Stasiun (mdpl) J F M A M J J A S O N D
1 Sidodadi 44 43 48 52 48 44 39 45 52 52 46 43 42 554 46,17
BB = bulan basah; BK = bulan kering; ZAK = zona agroklimat.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 75
Data yang digunakan, yaitu data iklim (curah hujan rata-rata bulanan, dan suhu udara),
data kadar air tanah kondisi kapasitas lapang (pF=2.5) dan titi layu permanen (pF=4.2), dan
kedalaman efektif perakaran 30 cm (tanaman pangan). Penentuan air tersedia bulanan
menggunakan metode penentuan neraca air wilayah, sementara penentuan tersedia profil
(ATP) untuk padi menggunakan metode neraca air profil dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Curah hujan efektif (CHE) atau CH75 (CH peluang terlampaui 75%) ditetapkan dengan
metode rangking dari data CH bulanan periode sepuluh tahun. Semua daerah penelitian
tergolong datar, sehingga diasumsikan CH dapat meresap ke dalam tanah sebesar
90%CHE.
2. Nilai ETo (reference crop evapotranspiration) ditetapkan dengan metode Blaney-
Criddle.
3. Nilai ETc diperoleh dari persamaan ETc = kc x ETo, dimana Etc (crop
evapotranspiration) adalah evapotranspirasi potensial, kc (crop coefficient) adalah
koefisien tanaman.
4. Pengurangan CHE 90% dengan ETc pada bulan tertentu yang sama. Apabila 90%CHE
> Etc, maka diperoleh nilai positif. Sebaliknya, apabila 90%CHE < Etc, maka diperoleh
nilai negatif.
5. Air tersedia profil (ATP), yaitu kemampuan tanah menyimpan air yang tersedia bagi
tanaman atau water holding capacity (WHC). Apabila pada tahap ke-4 diperoleh nilai
positif menunjukkan ATP pada kondisi WHC, dimana pertumbuhan tanaman yang
dipengaruhi oleh faktor iklim. Sedangkan apabila pada tahap ke-4 diperoleh nilai
negatif, maka besarnya air pada WHC dikurangi dengan jumlah air yang defisit dari
tahap ke-4 dan menunjukkan periode pertumbuhan yang dipengaruhi oleh faktor tanah,
yaitu WHC.
6. Apabila nilai WHC lebih kecil dari nilai defisit tersebut, maka nilai ATP bernilai negatif
atau 0. Pada kondisi nilai ATP sama dengan nol, maka terjadi evapotranspirasi aktual
(ETa).
7. Setelah ATP bulan ditetapkan, maka dihitung air yang digunakan tanaman (ETc) dari
ATP. Penggunaan ATP untuk memenuhi ETc mengacu pada Doorenbos dan Pruitt
(1977), yaitu penyerapan ATP oleh tanaman (ETc) berdasarkan penggunaan air dalam
tanah dengan perbandingan 40%, 30%, 20% dan 10% pada 1/4 bagian pertama, kedua,
ketiga dan keempat.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 76
8. Apabila ATP pada bagian pertama tidak mampu mencukupi ETc, maka tanaman
mengambil air pada lapisan kedua, seterusnya sampai lapisan keempat hingga ETc
terpenuhi. Apabila nilai ATP sampai lapisan keempat tidak mencukupi kebutuhan ETc,
maka terjadi defisit air pada bulan tersebut. Untuk tanaman pangan, tebal lapisan yang
digunakan yakni per 7,5 cm (0-7,5; 7,5-15; 15-30 cm).
Koefisien tanaman (kc) tergantung pada fase pertumbuhan tanaman dan jenis tanaman.
Nilai kc masing-masing tanaman tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai kc Tanaman pada Penelitian
Fase dan Waktu (hari) Masa Tanam
Tanaman
Initial Crop Middle Season Late Season (hari)
Padi Lokal 1,05 (60) 1,20 (80) 0,70 (40) 180
Padi Unggul 1,05 (40) 1,20 (54) 0,70 (26) 120
Sumber Data: Allen et al. (1998)
Hasil dan Pembahasan
Ketersediaan Air Bulanan
Tampaknya, ketersediaan air bulanan (KAB) tanah Vertisol berdasarkan data iklim
terpilih dari pedon asal Desa Sidomukti, rata-ratanya masih lebih tinggi dibandingkan pedon
asal Desa Sosial (Tabel 8). Hanya pada bulan Mei dan Juli yang mengalami penurunan KAB
yang masing-masing sebanyak 49,93 mm dan 51,33 mm. Sementara pedon dari Desa Sosial
penurunannya relatif lebih besar pada bulan Agustus yang hanya 9,68 mm dan bulan
September sebanya 36,28 mm. Namun, pada prinsipnya kedua pedon hanya mengalami
penurunan KAB dari rata-rata bulanan sebanyak dua bulan saja, meskipun berbeda bulan.
Kondisi KAB tersebut akan mempengaruhi air tersedia dalam profil tanah (ATP).
Berdasarkan KAB ini, maka padi dapat mulai ditanam pada bulan Maret sampai bulan
Agustus. Salah satu faktor pembatas penggunaan lahan untuk komoditas ini adalah
ketidakmenentuan curah hujan (Suyamto et al., 2008), selain karena kesuburan tanah yang
sedang (Nurdin, 2010).

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 77
Tabel 8. Kondisi Ketersediaan Air Bulanan untuk Padi di Daerah Paguyaman Gorontalo
Bulan (mm)/Lokasi
Unsur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Desa Sidomukti
ETo 102.5 90.5 100.2 101.5 104.9 99.2 100.2 99.2 99.2 104.9 99.2 102.5
ETo50 51.3 45.3 50.1 50.7 52.4 49.6 50.1 49.6 49.6 52.4 49.6 51.3
ETc 14.9 13.6 52.6 53.3 62.9 59.5 60.1 34.7 14.4 15.2 14.4 14.9
ETc Padi 52.6 53.3 62.9 59.5 60.1 34.7
CH75 100.5 39.8 75.8 95.3 198.0 51.0 53.3 60.8 23.3 31.5 62.3 84.8
CHE90 90.5 35.8 68.2 85.7 178.2 45.9 47.9 54.7 20.9 28.4 56.0 76.3
CHE90-ETc 75.6 22.2 15.5 32.4 115.3 -13.6 -12.2 19.9 6.5 13.1 41.6 61.4
KAB Ver 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 49.93 51.33 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53
Desa Sosial
ETo 103.5 91.4 101.0 99.7 98.8 95.6 96.5 95.6 95.6 98.8 97.9 103.5
ETo50 51.7 45.7 50.5 49.8 49.4 47.8 48.3 47.8 47.8 49.4 48.9 51.7
ETc 15.0 13.2 14.6 52.3 51.9 57.4 57.9 57.4 33.5 14.8 14.2 15.0
ETc Padi 52.3 51.9 57.4 57.9 57.4 33.5
CH75 68.3 36.0 36.0 83.3 75.0 90.8 88.5 27.8 30.8 44.3 84.8 100.5
CHE90 61.4 32.4 32.4 74.9 67.5 81.7 79.7 25.0 27.7 39.8 76.3 90.5
CHE90-ETc 46.4 19.2 17.8 22.6 15.6 24.3 21.7 -32.4 -5.8 25.0 62.1 75.4
KAB Ver 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 9.68 36.28 42.08 42.08 42.08
ETo=evapotranspirasi potensial, ETo50=50% dari evapotranspirasi potensial, ETc=evapotranspirasi tanaman, CH75=curah hujan peluang
terlampaui 75%, CHE90=curah hujan efektif 90%, KAB=ketersediaan air bulanan, Ver=vertisol.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional | 78
Pada beberapa bulan tertentu untuk padi menunjukkan nilai negatif. Tanda ini
menunjukkan bahwa kondisi air tersedia profil pada bulan tersebut merupakan bulan defisit
air. Terdapat dua bulan defisit, yaitu pada bulan Juni dan Juli untuk lokasi Desa Sidomukti
serta bulan Agustus dan September untuk lokasi Desa Sosial. Berdasarkan klasifikasi
tanahnya (Tabel 1 dan 2), menunjukkan bahwa kandungan fraksi liat yang tinggi pada kedua
pedon, sehingga apabila ketersediaan air bulanan relatif rendah akan mempengaruhi sifat
fisik tanahnya terutama sifat mengembang-mengkerut (swelling-shrinking). Salter et al.
(1966) menyatakan bahwa fraksi liat berkorelasi positif terhadap kapasitas menahan air.
Sebelumnya Hillel (1998) menyatakan bahwa liat mampu menyerap dan mengikat air yang
menyebabkan tanah mengembang saat pembasahan dan menyusut saat kering. Apabila
musim kemarau terjadi, maka akan terbentuk rekahan-rekahan pada musim kemarau yang
jika tanaman masih dalam masa perkembangan akan menghambat atau bahkan
menyebabkan putusnya akar-akar tanaman dan akhirnya mati.

Air Tersedia dalam Profil Tanah


Curah hujan sangat mempengaruhi tinggi rendahnya ketersediaan air bagi tanaman.
Hal ini terlihat pada lokasi penelitian yang ketersediaan air tanahnya mampu menyediakan
air untuk kebutuhan tanaman (ETc), tetapi ada juga yang harus mendapatkan suplai air dari
hujan. Kondisi air tersedia profil atau ATP (Tabel 9) menunjukkan pola yang fluktuatif antara
kedua pedon. Hal ini disebabkan karena jumlah hujan yang tidak tetap pada setiap bulannya,
sehingga mempengaruhi ATP masing-masing pedon. Selanjutnya, penurunan ATP
menyebabkan pemenuhan kebutuhan air tanaman (ETc) juga menurun. Menurut Firmansyah
(2007), penurunan ETc akan mempengaruhi produksi tanaman. Walaupun penurunan
tersebut tidak sampai menghambat perkembangan tanaman.
Tabel 9. Kondisi Air Tersedia Profil Rata-Rata Bulanan untuk Padi di Paguyaman Gorontalo
Tanah/Lokasi
Vertisol Desa Sidomukti Vertisol Desa Sosial
……………………………………………….. mm/bulan-1 ……………………………………..
58,4 34,4

Tampaknya, ATP tanah Vertisol asal Desa Sidomukti (58,4 mm bulan-1) masih lebih
banyak 41,09% dibandingkan ATP tanah Vertisol asal Desa Sosial yang hanya 34,4 mm
bulan-1. Hal ini sudah tergambarkan dari ketersediaan air bulanan (Tabel 8). Kondisi
lapangan kedua jenis tanah merupakan tanah sawah tadah hujan yang sumber air utama
hanya berasal dari air hujan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nurdin (2010) bahwa tanah
sawah tadah hujan di wilayah ini mendapat suplai air dari hujan dan dari pemompaan sungai

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 79
terdekat yang volumenya cukup terbatas. Kondisi ini ditunjang oleh data curah hujan
bulanan yang rata-rata hanya 85 mm dan 93 mm untuk kedua stasiun iklim (Tabel 3, 4 dan
5) dengan suhu yang relatif tinggi (26,67 dan 27,00oC) serta kelembaban udara yang cukup
tinggi (63,75 dan 89,67%). Oleh karena itu daerah penelitian ini masuk dalam zona
agroklimat E3 dan E4 dengan bulan kering 6-8 bulan.
Menurut Setiobudi (1997), kebutuhan air tanaman padi berbeda-beda pada setiap
stadia perkembangan tanaman padi. Lebih lajut dikatakannya, untuk varitas IR64 total
kebutuhan air tanaman padi mulai dari tanam sampai panen sebanyak 760 mm. Sementara
untuk varitas Ciliwung sebanyak 590 mm dan varitas Muncul sebanyak 645 mm. Dengan
demikian, maka dengan pertimbangan ketersediaan air dalam profil tanah eksisting,
evapotranspirasi dan perkolasi kebutuhan air untuk tanaman padi sampai saat ini belum
dapat penuhi. Beberapa hal yang dapat dlakukan adalah pembangunan sumur irigasi karena
potensi wilayah yang merupakan zona depresi, pembangunan embung dan jaringan iriasi,
serta efisiensi penggunaan air agar air yang tersedia cukup.

Kesimpulan
1. Ketersediaan air bulanan tanah Vertisol asal Desa Sidomukti lebih tinggi dibandingkan
Vertisol dari Desa Sosial.
2. Air tersedia profil tanah Vertisol asal Desa Sidomukti lebih banyak, yaitu sebesar
41,09% dibandingkan tanah Vertisol asal Desa Sosial.

Daftar Pustaka
Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranspiration: guidelines for
computing crop water requirement. Rome: FAO p.300.

Abdullah TS. 2006. Buku lapang untuk pendekripsian dan pengambilan contoh tanah
berdasarkan Taksonomi Tanah USDA. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor.

Bahcri S, Sukido, Ratman N. 1993. Peta geologi lembar tilamuta, Sulawesi Skala 1:250.000.
Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Djaenuddin D, Hendrisman M. 2005. Evaluasi lahan secara kuantitatif: studi kasus pada
tanaman jagung, kacang tanah dan kacang hijau di daerah Paguyaman Kabupaten
Boalemo Provinsi Gorontalo. Jurnal Tanah dan Lingkungan 7:27-35.

Firmansyah MA. 2007. Karakteristik dan resiliensi tanah terdegradasi di lahan kering
Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Hillel D. 1998. Pengantar fisika tanah. Terjemahan Intriduction to soil physisc oleh RH
Susanto, RH Purnomo. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


80 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Nurdin. 2010. Perkembangan, Klasifikasi dan Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan dari Bahan
Lakustrin di Paguyaman, Gorontalo. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Oldeman LR, Darmiyati, S. 1977. An agroclimatic map of Sulawesi scale 1:2.500.000.


Bulletin No ke-60. Bogor: Contri Centre Research Institute of Agriculture.

Prasetyo BH. 2007. Perbedaan sifat-sifat tanah vertisol dari berbagai bahan induk. Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 9:20-31.

Rachim DA. 2003. Mengenal taksonomi tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas pertanian
Institut Pertanian Bogor.

Rachim DA. 2007. Dasar-dasar genesis tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor.

Salter PJ, Berry G, William JB. 1966. The influence of texture on moisture characteristics
of soils; quantitative relationships between particle size, composition and available-
water capacity. Jurnal of Soil Science 17(1): 93-98.

Setiobudi, DA. 1997. Alternatif teknik penghematan air irigasi melalui system pengairan
intermiten pada tanaman padi sawah. Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi
Pemanfaatan Air Irigasi di Tingkat Usahatani menuju Pertanian Modern. Balai Irigasi,
Bekasi. Hlm. 50-60.

Suyamto, Toha HM, P Hamdan, MY Sumaullah, TS Kadir, F Agus. 2008. Petunjuk teknis
pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah tadah hujan. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Departemen Pertanian RI.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 81
KETAHANAN TANAMAN OKRA HIJAU (Abelmoschus esculentus L.) VARIETAS
NAILA IPB TERHADAP CEKAMAN SALINITAS DENGAN PERLAKUAN NaCl
SARTIN LADIKU1, INDRIATI HUSAIN2* DAN YUNNITA RAHIM3
1,2,3
Universitas Negeri Gorontalo
*Email: indriati.husain@ung.ac.id

ABSTRAK
Cekaman salinitas merupakan salah satu faktor cekaman lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman. Berdasarkan permasalahan salinitas
maka perlu dilakukan upaya pemilihan jenis tanaman yang tahan (toleran) pada kondisi
cekaman salinitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan tanaman okra hijau
(Abelmoschus esculentus L.) varietas Naila IPB terhadap cekaman salinitas melalui
pemberian garam NaCl. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Dunggala Kecamatan Tapa
Kabupaten Bone Bolango pada bulan Mei sampai bulan Agustus 2017. Penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan konsentrasi garam NaCl:
0, 1, 2, 3.5, 4%. Parameter yang diamati adalah pertambahan jumlah daun, luas daun, waktu
berbunga, jumlah bunga, jumlah stomata, jumlah buah, berat basah akar, volume akar, berat
basah tanaman dan berat tanaman kering. Analisis data menggunakan sidik ragam ANOVA
dengan uji BNT 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman okra tahan terhadap
salinitas melalui pemberian NaCl hingga konsentrasi 4%. Peningkatan konsentrasi NaCl
berpengaruh nyata terhadap jumlah stomata, volume akar dan berat tanaman kering.

Kata Kunci: Cekaman, NaCl, Okra, Salinitas

Pendahuluan
Tanaman okra (Abelmoschus esculentus L.) merupakan tanaman sayuran berbentuk
buah. Sayuran ini mengandung sumber vitamin, mineral, protein, karbohidrat, lemak dan
sumber kalori yang dibutuhkan tubuh manusia. Buah okra mempunyai kandungan gizi yang
cukup tinggi pada setiap 100 g buah okra mengandung 1 g lendir, karbohidrat 7 g dan kalium
70-90 mg. Skala persen kandungan gizi buah okra yaitu protein 3,9%, lemak 2,05%, kalium
6,68%, fosfor 0,77%, dan karbohidrat 1,4% (Idawati, 2012).
Tanaman okra berbentuk persegi lima, buah okra memiliki manfaat yaitu sebagai
antioksidan, pholipenol, flavonoid yang dapat meringankan keletihan, mencegah stres
oksidatif, berpotensi untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan resiko penyakit
diabetes dan Alzheimer (Ikrarwati dan Nofi, 2016). Tanaman okra cocok dibudidayakan di
daerah tropis baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Kendala utama penanaman okra
di Indonesia adalah belum dikenal secara luas, selain itu belum tergarapnya peluang pasar
ekspor okra oleh petani (Awaludin, 2001).
Tanaman okra dikembangkan di Gorontalo melalui pemanfaatan lahan-lahan yang
ada. Pemanfaatan tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan marginal. Lahan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


82 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
marginal dapat diartikan sebagai lahan yang bermutu rendah karena kesuburannya
berkurang, memiliki beberapa faktor pembatas diantaranya kurangnya ketersediaan air dan
unsur hara. Salah satu kondisi cekaman yang dijumpai pada lahan-lahan penanaman yang
ada yaitu cekaman garam, terutama pada lahan marginal (Ma’ruf, 2016).
Lahan marginal dijumpai baik pada lahan pesisir pantai dan lahan kering. Lahan pesisir
pantai memiliki tekstur pasiran, daya menyimpan air rendah, kandungan hara rendah,
kecepatan air dan laju evaporasi yang tinggi (Yuwono, 2009). Terjadinya penimbunan garam
di lahan pesisir pantai, dikaitkan dengan penyusupan air laut kedaratan yang umumnya
berlangsung melalui saluran permukaan dan melalui jalur dibawah tanah (Sutedjo dan
Kartasapoetra, 2010).
Pemanfaatan lahan kering selalu di hadapkan berbagai faktor pembatas diantaranya
yaitu keterbatasan air, kadar bahan organik rendah, kadar hara relatif rendah dan kemasaman
tanah tinggi. Besarnya pori-pori tanah dan tingginya radiasi cahaya matahari di daerah lahan
kering yang mengakibatkan infiltrasi sehingga tidak dapat menahan air, tanah di daerah
lahan kering memiliki kadar garam yang tinggi sebagai dampak dari kombinasi tingginya
evapotranspirasi akibat suhu yang tinggi (Rauf, 2008). Tanah-tanah di daerah kering yang
curah hujan rendah menyebabkan kandungan garam diangkat keatas dari tanah dangkal
dibawa oleh air kepermukaan dan ditimbun dalam jumlah yang membatasi penyerapan air
oleh tanaman (Yulius et al., 1997).
Salinitas merupakan salah satu kendala pada lahan-lahan pertanian yang ada dan
menjadi faktor pembatas untuk produksi tanaman. Salinitas dapat menyebabkan penurunan
produktivitas dan hasil panen. Tanah menjadi tidak produktif (tidak subur) karena adanya
penimbunan garam dalam tanah, dimana pada daerah-daerah tersebut tumbuhan akan
menghadapi masalah yaitu tumbuhan sulit memperoleh air dari dalam tanah dan konsentrasi
ion natrium, karbonat dan klorida yang tinggi yang kemungkinan beracun (Salisbury dan
Ross, 1995). Untuk mengatasi masalah kondisi cekaman lingkungan (cekaman salinitas),
maka perlu dilakukan upaya pemilihan jenis tanaman yang tahan atau mampu tumbuh pada
kondisi cekaman salinitas.
NaCl adalah salah satu garam terlarut dalam tanah yang merupakan unsur esensial
yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Kelebihan larutan garam dalam tanah
mempengaruhi pola pertumbuhan tanaman. Salinitas didefinisikan sebagai garam terlarut
dalam konsentrasi berlebihan dalam tanah atau air. Pengaruh utama salinitas tanah yaitu
berkurangnya pertumbuhan vegetatif tanaman seperti berkurangnya luas daun sehingga

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 83
mengakibatkan proses fotosintesis menjadi lambat (Yuniati, 2004). Fotosintesis adalah
respon tumbuhan terhadap peningkatan konsentrasi NaCl berbeda-beda tergantung jenis
tanaman. Konsentrasi NaCl yang tinggi dapat meningkatkan atau menurunkan pertumbuhan
tanaman (Asih et al., 2015). Tanaman okra akan diuji ketahanannya terhadap cekaman
salinitas melalui pemberian garam NaCl dengan menggunakan konsentrasi dasar air laut
3.5%.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan tanaman okra hijau
(Abelmoschus esculentus L.) terhadap pemberian garam NaCl.

Metode
Penelitian dilaksanakan di Desa Dunggala, Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone
Bolango, pada bulan Mei sampai Agustus 2017. Secara umum keadaan fisik lokasi penelitian
yaitu memiliki luas wilayah ± 7.8 km2, berada pada ketinggian tempat 95 m dpl.
Alat dan bahan yang digunakan yaitu timbangan digital, polibag, sprayer, gelas ukur,
ember, meteran, mikroskop, kaca preparat, benih okra hijau varietas Naila IPB, media tanam
campuran tanah pupuk kandang ayam (2:1), NaCl dan cat kuku.
Rancangan percobaan menggunakan rancangan lingkungan rancangan acak lengkap
(RAL) yang terdiri dari lima taraf perlakuan dengan lima ulangan, sehingga terdapat 25
unit percobaan. Lima taraf perlakuan tersebut adalah P1= tanpa NaCl, P2= NaCl 1% , P3=
NaCl 2%, P4= NaCl 3.5% dan P5= NaCl 4%. NaCl ditimbang dan dilarutkan sesuai
perlakuan. Larutan NaCl diaplikasikan pada tanah sekitar akar tanaman sesuai perlakuan
saat tanaman berumur 4, 5, 6 dan 7 minggu setelah tanam (MST).
Media tanam dibuat dari campuran tanah dan pupuk kandang ayam (2:1). Media tanam
dimasukkan ke dalam polibag berukuran 40 cm x 40 cm x 20 cm seberat 5 kg. Benih okra
hijau ditanam sebanyak 2 benih tiap polibag.
Pengamatan diamati terhadap variabel:
1. Luas daun (cm). Luas daun diamati pada umur 5 minggu setelah tanam dan setelah
panen. Luas daun dihitung menggunakan rumus (Sitompul dan Guritno, 1995):
WR Keterangan :
LD= x LK
WT LD = Luas daun WR = Berat replika daun
LK = Luas kertas WT = Berat total kertas
2. Waktu berbunga (hari). Waktu berbunga diamati pada saat hari pertama tanaman okra
mulai berbunga.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


84 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
3. Jumlah stomata. Jumlah stomata diamati setelah panen. Sampel stomata diambil dengan
mengoleskan cat kuku pada bagian bawah daun. Cat kuku kemudian dikeringkan.
Setelah kering, jaringan daun yang terangkat bersama cat kuku diletakkan pada kaca
preparat dan diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali (10x lensa
okuler, 40x lensa objektif).
4. Jumlah buah. Jumlah buah dihitung pada masing-masing sampel tanaman tiap polibag
pada saat panen.
5. Berat basah akar (gram). Akar dibersihkan dari kotoran atau tanah yang menempel.
Akar yang sudah dibersihkan kemudian ditimbang. Berat akar diamati setelah panen.
6. Volume akar (mL). Akar tanaman okra dibersihkan dari tanah yang menempel. Akar
yan telah bersih dimasukkan ke dalam gelas ukur 1000 ml yang berisi air 250 ml.
Volume akar diamati setelah panen.
7. Berat basah tanaman (gram). Batang, daun dan akar tanaman okra dipanen, kemudian
ditimbang menggunakan timbangan digital. Berat basah tanaman diamati setelah panen.
8. Berat tanaman kering (gram). Bagian batang, daun dan akar tanaman okra setelah kering
angin selama seminggu, kemudian ditimbang menggunakan timbangan digital. Berat
tanaman kering diamati setelah panen.
Data yang di peroleh dianalisis secara statistik menggunakan metode analisis ragam
dalam Uji F taraf 5%. Hasil analisis ragam yang berbeda nyata dilakukan uji lanjut beda
nyata terkecil (BNT) taraf 5%.

Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil analisis ragam pada uji F 5% memperlihatkan bahwa perlakuan
konsentrasi NaCl tidak berpengaruh terhadap luas daun, waktu berbunga, jumlah buah, berat
basah akar, dan berat basah tanaman okra hijau. Perlakuan konsentrasi NaCl berpengaruh
terhadap jumlah stomata, volume akar dan berat tanaman kering tanaman okra hijau.
Tabel 1 memperlihatkan rataan dari semua variabel pengamatan seperti yang
disebutkan di atas, pada masing-masing perlakuan, menurun dengan meningkatnya
konsentrasi NaCl. Waktu berbunga menjadi lebih cepat, jumlah stomata berkurang karena
media tanam mengalami kekeringan, karena kadar air dalam media tanam rendah. Tanaman
beradaptasi pada kondisi ini dengan mengurangi jumlah stomata sehingga penguapan air
(transpirasi) dapat dikurangi.
Penurunan rataan luas daun dapat mempengaruhi proses fotosintesis karena intensitas
penerimaan cahaya matahari menjadi berkurang (Suwignyo et al., 2010). Luas daun

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 85
memegang peranan penting, karena laju fotosintesis berlangsung mengikuti perkembangan
luas daun (Haryadi, 2013). Menurut Dachlan et al. (2013), adanya NaCl dalam media
tumbuh dengan konsentrasi yang semakin meningkat akan berpengaruh pada proses-proses
fisiologi tanaman seperti fotosintesis. Pemberian NaCl dapat menginduksi cekaman air
(kekeringan) sehingga menurunkan laju fotosintesis. Penurunan potensial air tanaman akan
mempengaruhi penutupan stomata pada daun. Pengaruh salinitas terhadap fotosintesis
tanaman, dibagi dalam tiga kategori yaitu mempengaruhi sifat pertumbuhan daun yang
kemudian berpengaruh dalam fotosintesis, mempengaruhi resistensi stomata terhadap difusi
CO2 dan berpengaruh terhadap reaksi-reaksi biokimia dalam fotosintesis.
Menurut Arnanto et al. (2013), fase pembungaan dapat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan diantaranya iklim dan tanah. Pembentukan buah ada kaitannya dengan bunga
yang terbentuk. Banyaknya buah terbentuk dipengaruhi oleh beberapa kandungan unsur
hara salah satunya Kalium (Arnanto et al., 2013). Natrium memiliki fungsi yang sama
seperti unsur Kalium. Natrium dapat membantu dalam proses fotosintesis, pengangkutan
hasil asimilasi, enzim dan mineral (Sabban, 2012).
Berat basah akar menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi NaCl pada media
tanam. Walaupun tidak berbeda nyata, namun tanaman okra tahan sampai pemberian
konsentrasi NaCl 4%.
Cekaman salinitas menyebabkan akar berada dalam lingkungan dengan potensial air
yang lebih rendah, sehingga penyerapan air menjadi terhambat. Penurunan jumlah air akan
menyebabkan penurunan kemampuan fotosintesis sehingga ketersediaan karbohidrat
sebagai sumber energi akan menurun (Fitter dan Hay, 1994 dalam Asih, 2015)
Semakin tinggi konsentrasi NaCl, maka semakin menurun volume akar. Peningkatan
konsentrasi NaCl dalam media tanam dapat menurunkan potensial air sehingga
mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman okra menjadi kecil, akar menjadi kurus,
menggulung dan sedikit rambut akar.
Menurut Lubis (2000), salinitas yang tinggi dapat menyebabkan akar tanaman menjadi
lebih kecil, sedikit percabangannya. Menurut Siregar et al. (2010), panjang akar dan jumlah
akar menurun seiring meningkatnya konsentrasi NaCl. Konsentrasi garam yang tinggi
menyebabkan menurunnya permeabilitas akar dalam menyerap air, oleh sebab itu air akan
masuk ke akar tanaman dalam jumlah sedikit.
Berat basah tanaman berkaitan dengan luas daun dan akar tanaman. Berkurangnya luas
daun akan mempengaruhi proses fotosintesis sedangkan panjang akar akan mempengaruhi
penyerapan air dan unsur hara. Semakin tinggi konsentrasi NaCl, semakin menurun bobot

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


86 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
basah tanaman. Semakin tinggi konsentrasi NaCl menyebabkan meningkatnya Na + dan Cl-
yang terserap ke dalam jaringan tanaman yang kemudian akan menghambat proses
metabolisme (Lubis, 2008 dalam Djukri, 2009 ).
Tanaman okra yang diberi perlakuan NaCl 3.5% menunjukkan gejala salinitas dengan
gejala warna daun menguning di bagian tepi daun. Hasil percobaan di sini menunjukkan
semakin tinggi konsentrasi NaCl, maka semakin menurun berat tanaman kering. Penurunan
berat tanaman kering disebabkan oleh rendahnya ketersediaan air selama pertumbuhan
tanaman okra. Konsentrasi NaCl yang semakin meningkat dalam media tanam dapat
mempengaruhi penyerapan air, sehingga jumlah air yang terserap oleh akar tanaman okra
menjadi sedikit. Pengaruh yang nyata, tanaman okra memberikan respon terhadap salinitas
yaitu dengan memperlihatkan ukuran daun yang sempit, bukaan stomata yang lebih kecil
dan terlihat seperti layu, hal tersebut menunjukkan respon tanaman okra terhadap cekaman
salinitas.
Menurut Solichatun et al. (2005) bahwa ketersediaan air yang rendah akan
menurunkan tekanan turgor sel. Tekanan turgor yang rendah akan menurunkan kemampuan
sel untuk membentang, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Hasil penelitian Nugraheni et al. (2003), semakin tinggi salinitas semakin menurunkan berat
tanaman kering. Salinitas menyebabkan kekurangan air pada tanaman (proses difusi maupun
osmosis balik). Kekurangan air menurunkan laju fotosintesis tanaman sehingga mendorong
penutupan stomata. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa penutupan stomata akan
menghalangi masuknya CO2, sehingga menurunkan kecepatan fotosintesis.

Kesimpulan
Tanaman okra tahan terhadap salinitas melalui pemberian NaCl hingga konsentrasi
4%. Pemberian NaCl berpengaruh nyata terhadap jumlah stomata, volume akar, berat
tanaman kering dan mempercepat waktu berbunga.

Daftar Pustaka
Arnanto, D., Nur Basuki dan Respatijarti. 2013. Uji Toleransi Salinitas Terhadap Sepuluh
Genotip F1 Tomat (Solanum lycopersicum L). Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas
Pertanian. Universitas Brawijaya Malang. J. Produksi tanaman 1 (5): 415-421.

Asih, E.D, Mukarlina, Irwan L. 2015. Toleransi Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea L.)
terhadap Cekaman Salinitas Garam NaCl. J.Protobiont 4 (1): 203-208.

Awaludin. 2001. Karakteristik Distribusi dan Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya Pada Pola
Tanam Monokultur dan Tumpang Sari Tanaman Okra-Kedelei. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 87
Dachlan A, K Nurlina, A Kurnia Sari. 2013. Uji Ketahanan Salinitas Beberapa Varietas
Jagung (Zea mays L.) dengan Menggunakan Agen Seleksi NaCl. J. Biogenesis 1 (1):
9-17.

Djukri. 2009. Cekaman Salinitas Terhadap Pertumbuhan Tanaman. Fakultas MIPA.

Haryadi. 2013. Pengukuran Luas Daun dengan Metode Simpson. Anterior 12 (2): 1-5

Idawati N. 2012. Peluang Besar Budidaya Okra. Yogyakarta. Pustaka Baru.

Ikrarwati dan Nofi, A. R. 2016. Budidaya Okra dan Kelor dalam Pot. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta. Jakarta.

Lubis, K. 2000. Respon Morfogenesis Embrio Beberapa Varietas Kedelai (Glyciene max L.
Merr) pada Berbagai Konsentrasi NaCl Secara In Vitro. Thesis. Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.

Ma’ruf, A. 2016. Respon Beberapa Kultivar Tanaman Pangan Terhadap Salinitas. Jurusan
Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Asahan. J. Penelitian Pertanian 12 (3):
11-19.

Nugraheni, I. T., Solichatun dan Endang A. 2003. Pertumbuhan dan Akumulasi Prolin
Tanaman Orok-orok (Crotalaria juncea L.) pada Salinitas Berbeda. Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. J. Biosmart 5 (2): 98-101.

Rauf, A. 2008. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Dalam Meningkatkan Pendapatan


Petani Di Sumatera Utara. Makalah Pertemuan Koordinasi Peningkatan Kemampuan
Optimalisasi Lahan pada Program Peningkatan Ketahahan Pangan. Jurusan Ilmu
Tanah Fakultas Pertanian USU. Medan.

Sabban, I. F. 2012. Pengaruh Konsentrasi NaCl Terhadap pertumbuhan Tomat


(Lycopersicum esculentum commune). Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Khairun.

Salisbury, F.B., dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid III. Penerjemah: Diah R
Lukman dan Sumaryono. ITB Bandung.

Siregar, L. A. M., Rosmayati dan Julita. 2010. Uji Beberapa Varietas Tomat (Lycopersicum
esculentum Mill.) terhadap Salinitas. Program Studi Agroekoteknologi. Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. J. Ilmu Pertanian 4 (2): 19-24.

Sitompul, S.M dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada
University Press.

Solichatun, E. Anggarwulan dan W. Mudyantini. 2005. Pengaruh Ketersediaan Air terhadap


Pertumbuhan dan Kandungan Bahan Aktif Saponin Tanaman Gingseng Jawa (Talinum
panculatum Gaertn.). J. Biofarmasi 3 (2): 47-51.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


88 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Sutedjo, M. M., dan A. G. Kartasapoetra. 2010. Pengantar Ilmu Tanah, Terbentuknya Tanah
dan Tanah Pertanian. Edisi terbaru. Rineka Cipta. Jakarta.

Suwigyo, R.A., Renih Hayati Dan Mardiyanto. 2010. Toleransi Tanaman Jagung Terhadap
Salinitas dengan Perlakuan Stres Awal Rendah. Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya. J.Agrivigor 10(1): 73-83.

Yulius, A. K. P., J. L. Nanere., Arifin, S. S. R. Samosir., R. Tangkaisari., J. R. Lalopua., B.


Ibrahim dan H. Asamadi. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerja Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia Timur.

Yuniati R. 2004. Penapisan Galur Kedelai Glycine max (L) Merrill Toleran terhadap NaCl
untuk Penanaman di Lahan Salin. J. Makara Sains 8 (1): 21-24.

Yuwono, N.W. 2009. Membangun Kesuburan Tanah Di Lahan Marginal. Fakultas


Pertanian. Universitas Gadjah Mada. J. Ilmu tanah 9 (2): 137-141.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 89
EFISIENSI PENGGUNAAN RADIASI MATAHARI AKIBAT PENGGUNAAN
NAUNGAN PADA PERTUMBUHAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni M.)
DI TANAH GAMBUT KOTA PALANGKA RAYA

DJOKO EKO HADI SUSILO


Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian dan Kehutanan
Universitas Muhammadiyah Palangkaraya
Email: masdjoko_ns@yahoo.co.id

ABSTRAK

Masyarakat Indonesia umumnya mengonsumsi gula dari tebu sebagai bahan pemanis. Saat
ini kebutuhan gula melebihi kemampuan produksinya, sehingga diperlukan upaya
pemenuhan bahan pemanis berupa perluasan areal dan peningkatan produktivitas gula
termasuk melalui potensi produksi Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) sebagai pemanis
alami, rendah kalori dan umur panennya pendek. Pengembangan Stevia di Palangka Raya
didukung lahan gambut dan memiliki kendala agroklimat karena Stevia peka terhadap
cahaya dan panas sehingga penaungan diharapkan mengetahui kebutuhan cahaya sekaligus
nilai efisiensi penggunaan radiasi (radiation use efficiency = RUE) yang merupakan jumlah
biomassa yang dapat dihasilkan tanaman Stevia per satuan energi radiasi matahari yang
tersedia dan diintersepsi untuk fotosintesis. Penelitian dilaksanakan di lahan gambut yang
diberikan penaungan di Kota Palangka Raya. Stevia ditanam dari bahan tanam berupa stek
pucuk. Panen Stevia dilakukan umur 40 hari setelah tanam. Perlakuan yang diberikan adalah
penaungan yang terdiri dari : n0 = tanpa penaungan; n1 = 55% penaungan; n2 = 65%
penaungan; dan n3 = 75% penaungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penaungan
menggambarkan nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari. Penaungan 65% lebih efisien
menggunakan radiasi matahari yang diintersepsi mencapai 0,112 g MJ -1 pada pertumbuhan
Stevia sampai umur 40 hari setelah tanam stek pucuk dibandingkan tanpa penaungan
maupun penaungan 55% dan 75%.

Kata Kunci: Stevia, Efisiensi Penggunaan Radiasi, Intersepsi Cahaya, Naungan,


Gambut

Pendahuluan
Masyarakat Indonesia umumnya mengonsumsi gula dari tebu sebagai zat karbohidrat
untuk tubuh yang diproses menjadi energi, sekaligus sebagai bahan pemanis makanan dan
minuman. Pola makan masyarakat Indonesia termasuk ditunjukkan dengan kondisi
konsumsi gula secara nasional yang cukup tinggi, yaitu mencapai 17 Kg/kapita/tahun, dan 9
kg diantaranya untuk kebutuhan rumah tangga (Pramudiarja, 2010), bahkan saat ini tingkat
konsumsi gula di Indonesia perkapita pada tahun 2017 adalah sekitar 23 Kg/kapita/tahun
(sedangkan rata-rata komsumsi secara dunia perkapita sekitar 20 Kg/kapita/tahun). Total
konsumsi gula di Indonesia sekitar 4,93 juta ton gula/tahun pada tahun 2017 (gula industri
dan gula konsumsi) dan konsumsi gula industri makanan minuman tahun 2017 akan
mencapai 3,5 juta ton/tahun (Rusli, 2017).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


90 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Memenuhi kebutuhan pemanis alami di masyarakat yang selama ini dominan berupa
gula pasir dari tebu. Kondisi produksi gula setiap tahunnya hanya mampu memenuhi sekitar
60% kebutuhan, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui impor gula pasir.
Sedangkan memenuhi pemanis alami dari non tebu, saat ini kondisinya juga masih rendah
(Triyatna, 2012). Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I. menyampaikan bahwa pada
Tahun 2017 produksi gula di Indonesia kapasitasnya hanya sekitar 2,2 juta ton, sedangkan
kebutuhan masyarakat mencapai 3,5 juta ton. Untuk itu pemerintah menempuh langkah
mengimpor gula sebesar 1,3 juta ton (Ariyanti, 2017; Winarno, 2017).
Pemenuhan kebutuhan gula selain dengan cara impor, juga melalui upaya swasembada
gula dan revitalisasi sektor off-farm berupa pemberdayaan penelitian dan pengembangan.
Selain dilakukan produksi gula melalui tebu, maka diperlukan studi potensi produksi
pemanis alami yang dilakukan dari tanaman non tebu yaitu melalui tanaman Stevia (Stevia
rebaudiana Bertoni M.) yang merupakan alternatif pengganti tebu dalam menghasilkan gula
(pemanis) alami. Ilyas (2003) dan Rukmana (2007) menjelaskan bahwa Stevia sebagai
sumber pemanis alami, memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan tebu karena
mengandung senyawa glikosida diterpen dengan tingkat kemanisan mencapai beberapa kali
dibanding gula tebu, rendah kalori, bersifat non-karsinogenik. dan umur panennya pendek.
Budidaya tanaman sebagai sumber pemanis alami di Kota Palangka Raya dapat
dilakukan menggunakan tanaman Stevia yang ditanam di tanah gambut dengan beberapa
tindakan perbaikan media tanam tanah gambut dengan meningkatkan kesuburannya. Hal ini
terbukti dari beberapa kali Stevia dibudidayakan di tanah gambut memiliki potensi dan
dinamika pertumbuhan yang cukup bagus pada media tanah gambut tersebut. Tanah gambut
sangat baik sebagai lahan budidaya tanaman Stevia karena merupakan tanah organik,
meskipun harus dilakukan peningkatan kesuburan tanahnya (Susilo, 2012; Susilo et al.,
2012).
Kondisi sifat agronomis budidaya tanaman Stevia yang sederhana dan mudah tumbuh
pada tanah yang mengandung bahan organik berpotensi menjadikan Stevia sebagai tanaman
alternatif bahan baku pemanis alami, sehingga mempelajari peningkatan pertumbuhannya
menjadi sangat penting untuk mendukung aspek budidayanya khususnya apabila
dibudidayakan di tanah gambut. Pengembangan tanaman Stevia di Palangka Raya didukung
oleh potensi lahan gambut yang cukup luas yang mencapai 141.088 Ha yang dikembangkan
sebagai lahan budidaya tanaman hortikultura, meskipun memiliki kendala berupa rendahnya
kesuburan tanah (BPS, 2010), namun potensi tersebut juga memiliki kendala lain dari segi

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 91
agroklimat karena tanaman Stevia nampaknya peka terhadap cahaya yang berpengaruh
secara langsung maupun tidak langsung terhadap derajat panas di lingkungan tumbuh
tanaman Stevia sehingga memerlukan penyesuaian cuaca di sekitar tanaman Stevia tersebut
(Susilo, 2012). Untuk kondisi penyesuaian pengaturan cahaya dan panas tersebut, upaya
menggunakan penaungan diharapkan memberikan faktor tumbuh yang baik untuk
pertumbuhan dan hasil tanaman Stevia.
Berdasarkan potensi dan kondisi tersebut, maka tujuan penyesuaian pengaturan cahaya
menggunakan penaungan diharapkan memberikan gambaran kebutuhan cahaya yang
optimal untuk pertumbuhan dan hasil tanaman Stevia sekaligus penelitian ini mengetahui
dinamika besarnya intersepsi cahaya dan efisiensi penggunaan radiasi matahari pada
pertumbuhan tanaman Stevia akibat beberapa taraf penaungan pada pembudidayaan
tanaman Stevia yang dikembangkan di tanah gambut Kota Palangka Raya.

Metode
Penelitian ini dilaksanakan di lahan gambut yang diberikan penaungan di Kota
Palangka Raya. Budidaya tanaman Stevia dilakukan di lahan gambut daerah Jalan Gurame,
Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya pada bulan
September sampai November 2016. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu bibit
stek pucuk Stevia, kapur dolomit (dosis 7 ton ha-1), pupuk kandang kotoran ayam (dosis 30
ton ha-1), jaring naungan (agronet 55%, 65% dan 75%), dan tanah gambut. Alat yang
digunakan adalah peralatan budidaya, kamera digital, plastik milimeter blok, lux meter,
thermometer, oven listrik pengering tanaman, penggaris/meteran, neraca analitik, kalkulator,
alat tulis, dan komputer.
Penelitian ini melakukan percobaan budidaya tanaman Stevia yang ditanam
menggunakan bibit dari bahan tanam berupa stek pucuk Stevia dengan perlakuan yang
diberikan adalah penaungan yang terdiri dari: n0 = tanpa penaungan; n1 = 55% penaungan;
n2 = 65% penaungan; dan n3 = 75% penaungan. Penanaman Stevia dilakukan dengan jarak
tanam 20 x 20 cm. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali, sehingga seluruhnya
terdapat 40 satuan percobaan. Panen tanaman Stevia dilakukan pada umur 40 hari setelah
tanam. Pengamatan dilakukan terhadap dinamika intersepsi dan efisiensi penggunaan radiasi
matahari oleh tanaman Stevia yang telah tumbuh pada umur 10, 20, 30 dan 40 hari setelah
tanam, yang meliputi pengukuran indeks luas daun, berat kering tanaman, radiasi matahari
di atas tajuk, dan besarnya intersepsi radiasi matahari.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


92 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Pengukuran intersepsi radiasi matahari termasuk penipisan radiasi ke bawah melalui
tajuk tanaman yang dihitung didasarkan pada satuan leaf area index (LAI) menurut
persamaan matematis (Monsi dan Saeki, 1953 dalam Sitompul dan Guritno, 1995; Gardner
et al., 2008) sebagai berikut:
Ii/I0 = e–kL
Ii = I0 e–kL
yaitu:
Ii = radiasi aktif fotosintesis di bawah lapisan daun ke-i;
I0 = radiasi aktif fotosintesis di atas tajuk;
e = dasar logaritma natural (2,71828);
k = koefisien pemunahan karakteristik tajuk (untuk Stevia menggunakan nilai k = 0,4);
L = indeks luas daun pada lapisan daun ke-i.
Pengukuran efisiensi penggunaan radiasi (RUE = radiation used efficiency) dinyatakan
sebagai penekanan jumlah biomassa yang dapat dihasilkan tanaman per suatu satuan energi
radiasi yang tersedia. Efisiensi ditaksir menggunakan hubungan kumulatif produksi
biomassa dengan kumulatif radiasi matahari. Besarnya efisiensi dihasilkan dengan
meregresikan antara biomassa tanaman dengan radiasi yang diintersepsi oleh tanaman.
Besarnya nilai lereng (slope) hubungan tersebut menunjukkan harga efisiensi yang
menggambarkan besarnya biomassa yang terbentuk per satuan radiasi matahari (Sitompul
dan Guritno, 1995; Sitompul, 2016).

Hasil dan Pembahasan


Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan dan pengukuran indeks luas daun, berat kering tanaman, radiasi
matahari di atas tajuk, dan besarnya intersepsi radiasi matahari oleh tajuk menghasilkan
penghitungan berupa nilai intersepsi cahaya matahari dan berat kering tanaman (biomassa)
tanaman Stevia pada berbagai perlakuan penaungan sampai pada umur 40 hari setelah tanam
(HST) yang dibudidayakan pada tanah gambut di Kota Palangka Raya sebagaimana
disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan nilai intersepsi cahaya matahari dan berat kering tanaman (biomassa)
tanaman Stevia, maka hubungan kumulatif produksi biomassa dengan kumulatif radiasi
matahari yang diintersepsi oleh tanaman Stevia pada perlakuan penaungan diregresikan
seperti yang disajikan pada Gambar 1.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 93
Tabel 1. Nilai intersepsi cahaya matahari dan berat kering tanaman (biomassa) tanaman
Stevia pada berbagai perlakuan penaungan sampai pada umur 40 HST yang
dibudidayakan pada tanah gambut di Kota Palangka Raya
Umur Penghitungan
Perlakuan Pengukuran
10 HST 20 HST 30 HST 40 HST
n0 Intersepsi 1085.83 1963.14 2554.22 2647.19
(tanpa naungan) Berat kering tanaman 43.7012 85.8491 98.7002 104.0414
n1 Intersepsi 521.85 894.22 1089.32 1118.69
(naungan 55%) Berat kering tanaman 55.3012 94.3502 106.1788 111.8012
n2 Intersepsi 402.71 723.28 871.58 859.34
(naungan 65%) Berat kering tanaman 51.7091 89.6201 101.2611 106.5424
n3 Intersepsi 336.92 609.79 769.38 774.63
(naungan 75%) Berat kering tanaman 53.8915 91.9672 98.7002 104.4771
Keterangan: intersepsi dalam MJ m-2, berat kering tanaman dalam g m-2

120.00 120.00
y(n2 ) = 0.112 Qint + 6.851
100.00 y(n0 ) = 0.037 Q int + 5.600 100.00 R² = 0.986
Berat Kering Tanaman (g m-2 )
Berat Kering Tanaman (g m-2 )

R² = 0.973
80.00 80.00

60.00 60.00

40.00 40.00

20.00 20.00

0.00 0.00
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 0 200 400 600 800 1000
Qint = Intersepsi (MJ m-2 )
Qint = Intersepsi (MJ m-2 )
n0 (tanpa naungan) n2 (naungan 65%)

120.00 120.00
y(n3 ) = 0.108 Q int + 19.440
y(n1 ) = 0.092 Q int + 8.401
Berat Kering Tanaman (g m-2 )

100.00 100.00
Berat Kering Tanaman (g m-2 )

R² = 0.973 R² = 0.959

80.00 80.00

60.00 60.00

40.00 40.00

20.00 20.00

0.00 0.00
0 200 400 600 800 1000 1200 0 200 400 600 800 1000
Qint = Intersepsi (MJ m-2 ) Qint =Intersepsi (MJ m-2 )
n1 (naungan 55%) n3 (naungan 75%)

Gambar 1. Hubungan kumulatif produksi biomassa dengan kumulatif radiasi matahari


yang diintersepsi oleh tanaman Stevia pada perlakuan penaungan (55%, 65%
dan 75%) maupun tanpa perlakuan naungan (0%)

Pembahasan
Mengetahui penggunaan radiasi matahari oleh tanaman sangatlah penting, tetapi disisi
lain juga membutuhkan upaya mengetahui efisiensinya. Efisiensi penggunaan radiasi

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


94 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
matahari (EPR) merupakan upaya bijak untuk mengetahui perbandingan antara jumlah
produk (dalam hal ini biomassa tanaman) dengan jumlah masukan (dalam hal ini berupa
energi radiasi matahari).
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1, menunjukkan bahwa tingkat penaungan pada
budidaya tanaman Stevia mencapai 65% pada akhirnya lebih efisien dalam menggunakan
radiasi matahari untuk menghasilkan berat kering tanaman (biomassa) dibandingkan
perlakuan lainnya. Hal ini terlihat dari persamaan regresi yang dihasilkan oleh masing-
masing perlakuan bahwa penaungan 65% (n2) mempunyai efisiensi peningkatan berat kering
tanaman sebesar 0,112 g MJ-1 yang artinya terdapat peningkatan sebesar 0,112 g dalam
setiap Mega Joule (MJ) radiasi matahari yang diintersepsi oleh tanaman Stevia.
Secara umum, berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa semakin
meningkat penaungan yang diberikan maka semakin rendah intensitas cahaya matahari yang
datang ke tajuk tanaman sekaligus menunjukkan yang semakin rendah nilai intersepsi radiasi
matahari oleh tanaman Stevia. Hal ini diakibatkan oleh besarnya intensitas cahaya yang
terhalang oleh naungan sehingga penembusan cahaya juga menjadi berkurang sampai ke
tajuk tanaman Stevia. Hal ini sekaligus menggambarkan dengan semakin rendahnya cahaya
yang sampai ke tajuk tanaman maka menurunkan aktivitas fotosintesis oleh tanaman Stevia
sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman, khususnya pada pertumbuhan luas daun dan
indek luas daun yang secara langsung mempengaruhi secara teknis dan matematis terhadap
besarnya nilai intersepsi radiasi matahari oleh tanaman Stevia.
Saling memberikan nilai efisiensi antara masing-masing taraf penaungan yang
diberikan, mengakibatkan perbedaan jumlah intensitas cahaya yang diterima tajuk tanaman
dan perbedaan indek luas daun tanaman sehingga mempengaruhi besarnya intersepsi radiasi
matahari oleh tanaman. Hal ini sesuai dengan kondisi bahwa yang terlibat secara langsung
dalam efisiensi penggunaan radiasi matahari adalah radiasi matahari dalam bentuk PAR
(Photosynthetically Active Radiation) dan besarnya nilai indeks luas daun (LAI). Pengaturan
penggunaan radiasi matahari dalam bentuk PAR menggunakan penaungan merupakan
pengaturan nilai intersepsi yang dipengaruhi secara langsung oleh radiasi di atas tajuk
tanaman sehingga mempengaruhi pertumbuhan tajuk tanaman khususnya dalam bentuk nilai
indek luas daun (LAI) yang dimiliki tanaman Stevia. Begitu juga nilai indek luas daun (LAI)
perlu dilakukan pengaturan pada setiap pertumbuhan karena terlibat secara langsung dalam
menentukan nilai intersepsi dan efisiensi penggunaan radiasi matahari. Keterlibatan faktor-
faktor tersebut secara bersama-sama dalam bentuk radiasi matahari, indeks luas daun dan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 95
intersepsi radiasi matahari sesuai dengan kondisi studi pertumbuhan yang dapat
menghubungkan secara linear antara akumulasi biomassa tanaman dengan akumulasi radiasi
matahari yang diintersepsi (Monteith, 1977 dalam Sitompul, 2016; Sinclair & Muchow,
1999 dalam Sitompul, 2016). Kondisi ini menunjukkan bahwa antara besarnya intensitas
cahaya, besarnya pertumbuhan daun (indeks luas daun) dan besarnya intersepsi yang
dimiliki tanaman saling mempengaruhi sehingga hubungan diantara nilai-nilai tersebut akan
mendapatkan besarnya dan efisiensi radiasi yang dibutuhkan dan sesuai bagi pertumbuhan
dan hasil tanaman Stevia.
Memperhatikan Gambar 1, nampaknya masing-masing perlakuan penaungan memiliki
nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari (EPR), namun berdasarkan persamaan regresi
yang dihasilkan menunjukkan bahwa penaungan 65% (n 3) mendapatkan nilai intersepsi
radiasi matahari dan lebih efisien menggunakan radiasi matahari tersebut sebesar 0,112 g
MJ-1 pada pertumbuhan tanaman Stevia sampai umur 40 HST (panen), sedangkan perlakuan
lainnya berturut-turut 0,037 g MJ-1 untuk tanpa naungan (n0); 0,092 g MJ-1 untuk penaungan
55% (n1); dan 0,108 g MJ-1 untuk penaungan 75% (n3) dengan umur panen yang sama pada
40 HST. Intensitas cahaya yang tinggi diterima tanaman Stevia memang mempengaruhi
giatnya fotosintesis dan peningkatan pertumbuhan, tetapi secara iklim mikro juga
menggiatkan peningkatan derajat panas (suhu harian) di sekitar tanaman. Hal ini juga
mempengaruhi terpenuhinya dengan cepat satuan panas yang dibutuhkan oleh pertumbuhan
tanaman Stevia sehingga pertumbuhan dan hasilnya menjadi rendah karena tanaman menjadi
cepat berbunga dan cepat dipanen (Susilo, 2012), sementara itu apabila pengelolaan cahaya
dan satuan panas bisa dilakukan dengan lebih baik maka masa vegetatifnya bisa menjadi
lebih lama dan biomassa berpotensi menjadi lebih tinggi. Begitu juga apabila intensitas
cahaya dan intersepsi radiasi yang terlalu rendah juga menyebabkan rendahnya nilai EPR
dan tidak efisiennya nilai EPR. Sedangkan nilai EPR bisa meningkat dan dapat ditempuh
dengan peningkatan laju fotosintesis yang dapat dicapai pada laju fotosintesis yang tinggi
(Sinclair & Muchow, 1999 dalam Sitompul, 2016).
EPR secara langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan daun dan indeks luas daun.
Apabila dilihat dari nilai EPR yang dimiliki tanaman Stevia pada penelitian ini sebesar 0,122
g MJ-1 tersebut, nampaknya masih bernilai rendah dibandingkan nilai EPR dari tanaman
jenis C3 lainnya. Beberapa nilai EPR tanaman lainnya, yaitu padi mencapai 1,39 g MJ -1,
bunga matahari mencapai 1,27 g MJ -1, kedelai mencapai 1,02 g MJ -1, dan kacang tanah
mencapai 0,98 g MJ-1 (Sitompul, 2016). Hal ini mengisaratkan bahwa perlu peningkatan
nilai EPR dengan mengatur besaran radiasi matahari, dinamika indeks luas daun dan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


96 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
intersepsi radiasi pada tanaman Stevia. Selain itu, Sitompul (2016) juga menjelaskan dalam
meningkatkan perhitungan EPR dibutuhkan pendalaman pengamatan karena selama ini
perbedaan pengukuran EPR juga diakibatkan keterbatasan fasilitas alat pengamatan dan
waktu pengamatan yang dilakukan.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka disimpulkan sebagai berikut:
a. Penaungan menggambarkan nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari yang
diintersepsi oleh tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya.
b. Penaungan 65% lebih efisien menggunakan radiasi matahari yang diintersepsi mencapai
0,112 g MJ-1 pada pertumbuhan Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya sampai pada
umur 40 hari setelah tanam stek pucuk.
c. Penaungan 65% lebih efisien menggunakan radiasi matahari yang diintersepsi
dibandingkan tanpa penaungan maupun penaungan 55% dan 75% pada pertumbuhan
Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan, maka disarankan sebagai berikut:
a. Setiap budidaya tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya disarankan
memberikan penaungan 65% (atau 35% cahaya tembus) dikarenakan pada intensitas
cahaya tersebut terjadi penggunaan radiasi matahari yang efisien untuk pertumbuhan dan
hasilnya.
b. Apabila budidaya tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya tidak
menggunakan naungan, maka disarankan menanam Stevia dilakukan sebagai tanaman
sela pada sistem tumpangsari bersama tanaman yang tumbuhnya lebih tinggi dari
keragaan tanaman Stevia untuk memenuhi penaungan 60% dan dipanen minimal pada
umur 40 HST (sebelum masuk waktu berbunga).
c. Perlu penghitungan efisiensi penggunaan radiasi matahari terhadap berat kering daun
tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya sebagai produk utama bahan
pemanis alami, sehingga mendapatkan gambaran kesesuaian penaungan yang efisien
dalam meningkatkan produk daun keringnya, atau selalu melakukan pengukuran indeks
panen daun tanaman Stevia.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 97
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Program Studi Agroteknologi Fakultas
Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya yang terlibat dalam
praktikum mahasiswa dan pengayaan diskusi di penelitian ini. Terimakasih juga
disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)
Universitas Muhammadiyah Palangkaraya yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini
pada Tahun 2016/2017.

Daftar Pustaka
Ariyanti, F. 2017. Produksi Seret, R.I. Impor Gula 1,3 Juta Ton di 2017. Liputan6.com.
http://bisnis.liputan6.com/read/2890396/produksi-seret-ri-impor-gula-13-juta-ton-
di-2017. Diakses pada tanggal 12 Juni 2017.

BPS. 2010. Kota Palangka Raya Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kota Palangka
Raya, Palangka Raya. ISSN 0215-5990

Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya
(Terjemahan oleh Herawati Susilo dan Subiyanto). Universitas Indonesia (UI-Press),
Jakarta.

Ilyas, R., 2003. Stevia. Info POM Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
IV (11): 1-3.

Pramudiarja 2010. Waspadai Ancaman Gula & Polusi Udara Bagi Kesehatan di 2011.
http://us.health.detik.com/read/2010/12/31/095859/1536478/766/waspadai-ancaman-
gula-polusi-udara-bagi-kesehatan-di-2011. Diakses tanggal 28 Januari 2011.

Rukmana, H. R. 2007. Budidaya Stevia: Bahan Pembuatan Pemanis Alami. Cetakan Ke-5.
Kanisius, Yogyakarta.

Rusli, R. H. 2017. Nestapa Penderitaan Petani Gula Akibat Mafia Gula di Republik
Indonesia. http://ekbis.rmol.co/read/2017/07/17/299341/Nestapa-Penderitaan-
Petani-Gula-Akibat-Mafia-Gula-di-Republik-Indonesia-. Diakses tanggal 9 Februari
2018.

Sitompul, S. M. 2016. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Universitas Brawijaya Press (UB


Press), Malang.

Sitompul, S. M., dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Susilo, D.E.H. 2012. Studi Budidaya Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) Sebagai Bahan
Dasar Gula Pada Tanah Gambut di Kota Palangka Raya. J. Anterior 11 (2): 6–11.

Susilo, D.E.H., J. Hadie dan R. Zulhidiani, 2012. Dinamika Tumbuh Stek Pucuk Stevia
Menggunakan Naungan dan Pupuk Kotoran Ayam pada Tanah Gambut Pedalaman. J.
Anterior 12 (1): 1–12.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


98 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Triyatna, S.O. 2012. Produksi Gula Hanya 60% Kebutuhan.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/07/28/12445943/Produksi.Gula.Hanya
.60.Persen.Kebutuhan. Diakses tanggal 30 Juli 2012

Winarno, A. 2017. Pemerintah akan Impor Gula 1 Juta Ton Lebih. Kompas.com.
http://regional.kompas.com/read/2017/03/17/00244031/.2017.pemerintah.akan.impo
r.gula.1.juta.ton.lebih. Diakses pada tanggal 12 Juni 2017.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 99
PROSPEK PEMANFAATAN
LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PUPUK ORGANIK DALAM MEWUJUDKAN
SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN

NURFHIN ILMA BUNGA


AMOSSIUS ROMPOLEMBA ANDI BASO MERINGGI
Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Tentena
Email: nbunga89@gmail.com

ABSTRAK
Sisa tanaman dan kotoran ternak merupakan bahan pupuk organik yang mudah diperoleh
dan biaya pengolahan relatif lebih murah. Penggunaan pupuk dapat mengurangi
ketergantungan pemakaian pupuk sintetis dan bersifat lebih ramah lingkungan. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat pertumbuhan dan produksi tanaman sawi dengan menggunakan
pupuk organik. Parameter yang diamati yaitu jumlah daun dan berat basah tanaman sawi.
Dengan perlakuan P0 tanpa perlakuan sebagai kontrol, P1 perlakuan menggunakan kotoran
ayam, P2 perlakuan menggunakan abu sekam padi. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian pupuk organik berupa kotoran ayam dan abu sekam padi memberikan
respon yang berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi. Jumlah daun untuk
perlakuan P0 rata-rata 9 helai per tanaman, P1 jumlah daun rata-rata 12 helai per tanaman,
P2 jumlah daun 10 helai per tanaman. Sedangkan untuk produksi tanaman untuk P0 rata-rata
79,6 g per tanaman, P1 154,8 g per tanaman, P2 129,6 g per tanaman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan untuk pertumbuhan dan produksi
tanaman sawi. Jumlah daun dan produksi tertinggi terdapat pada perlakuan P1 dengan
jumlah daun rata-rata 12 helai per tanaman dan berat rata-rata 129,6 g per tanaman. Dari
ketiga perlakuan, penggunaan pupuk organik menunjukkan peningkatan pertumbuhan dan
produksi tanaman sawi.
Kata Kunci: Pupuk Organik, Sawi, Sistem Pertanian Berkelanjutan

Pendahuluan
Dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi dalam dunia pertanian, dan
didukung oleh bertambahnya kebutuhan akan pangan, persaingan dalam pertanian industrial
semakin berkembang pesat. Dalam proses produksi para petani lebih cenderung berorientasi
untuk memacu produktivitas lahan dengan memberikan input berupa pupuk kimia dan
pestisida yang secara terus-menerus yang mengakibatkan merosotnya kualitas lahan,
terjadinya pencemaran lingkungan dan membahayakan dari segi kesehatan manusia. Untuk
meminimalisir dampak-dampak tersebut maka solusi yang tepat adalah dengan konsep
sistem pertanian yang berkelanjutan.
Sistem pertanian berkelanjutan pada dasarnya merupakan sistem pertanian yang dalam
pengelolaannya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia namun tetap
mempertahankan, meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam
yang ada. Salah satu model dari sistem pertanian berkelanjutan adalah konsep pertanian

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


100 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
organik. Yang pada hakikatnya dimana bahan organik, baik makhluk hidup maupun yang
sudah mati menjadi faktor penting dalam proses produksi usaha tani. Penggunaan bahan
organik menjadi pupuk dapat dijadikan jaminan untuk keamanan produk pertanian, baik dari
segi kesehatan manusia ataupun bagi lingkungan. Bahan organik yang dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organik yaitu sisa tanaman dan kotoran ternak.
Sisa tanaman dan kotoran ternak merupakan bahan pupuk organik yang mudah didapat
dan pengolahannya relatif murah. Penggunaan pupuk organik dapat mengurangi
ketergantungan penggunaan pupuk sintetis dan bersifat lebih ramah lingkungan. Pupuk
organik memiliki beberapa kelebihan antara lain a) Berfungsi sebagai granulator sehingga
dapat memperbaiki struktur tanah, b) Daya serap tanah terhadap air dapat meningkat dengan
pemberian pupuk organik karena dapat mengikat air lebih banyak dan lebih lama, c) Pupuk
organik dapat menigkatkan kondisi kehidupan di dalam tanah, d) Unsur hara di dalam pupuk
organik merupakan sumber makanan bagi tanaman, e) Pupuk organik merupakan sumber
unsur hara N, P, dan S (Prihmantoro, 2004).
Kotoran ternak dan abu sekam padi merupakan limbah pertanian yang keberadaannya
cukup melimpah di Indonesia dan belum termanfaatkan dengan baik. Khususnya di wilayah
Kabupaten Poso ketersediaan kotoran ternak berupa kotoran ayam dan abu sekam padi
cukup melimpah dan belum termanfaatkan dengan baik. Kotoran ayam yang berasal dari
ternak masyarakat pada umumnya hanya dibiarkan begitu saja tanpa dimanfaatkan. Begitu
pula dengan sekam padi yang dihasilkan dari proses penggilingan padi. Sekam padi yang
melimpah di buang dan dibakar sehingga menjadi abu. Secara tradisional abu sekam padi ini
digunakan masyarakat untuk bahan mencuci alat dapur dan hanya digunakan dalam skala
kecil yaitu sebagai bahan campuran tanah untuk menanam sayuran di pekarangan rumah.
Pupuk organik memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk
organik memiliki kandungan unsur hara yang berbeda-beda. Kandungan unsur hara yang
terdapat pada kotoran ayam yaitu N 1,5%, P 0,80%, K 0,40% dan kadar air 55% , bahan
organik 29% (Lingga, 1991). Raihan (2000), menyatakan bahwa penggunaan bahan organik
kotoran ayam mempunyai beberapa keuntungan antara lain sebagai pemasok hara tanah dan
meningkatkan retensi air. Sedangkan abu sekam padi yang merupakan bahan organik yang
berasal dari limbah pertanian mengandung beberapa unsur penting seperti protein kasar,
lemak, serat kasar, karbon, hydrogen dan silika (Wardi, 1998). Kandungan kimia dari abu
sekam bakar yaitu SiO2 dengan kadar 52% dan C sebanyak 31%. Sementara kandungan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 101
lainnya terdiri dari Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO, dan Cu dengan jumlah yang kecil serta
beberapa bahan organik lainnya (Wuryan, 2008 dalam Gustia, 2013).
Tanaman sawi (Brassica juncea L.) yang merupakan tanaman indikator dalam
penelitian ini, merupakan sayuran yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Sayur sawi sendiri memiliki kandungan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Sayur
sawi memiliki kandungan vitamin antara lain vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan mineral
Fe (Rukmana, 1994). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pertumbuhan dan
produksi tanaman sawi dengan menggunakan pupuk organik berupa kotoran ayam dan abu
sekam padi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam pemanfaatan limbah
pertanian sebagai pupuk organi dalam mewujudkan sistem pertanian yang lebih ramah
lingkungan dan baik bagi kesehatan tubuh manusia.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena yang
dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2017. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu sekop, cangkul, ember, gayung, wadah persemaian, polybag ukuran 20
cm X 30 cm, meteran, penggaris, alat tulis menulis dan alat dokumentasi. Bahan yang
digunakan yaitu tanah dan abu sekam padi dan kotoran ayam. Penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 3 perlakukan yang diulang sebanyak 5
kali. Perlakuan terdiri dari: P0 = tanah (sebagai kontrol), P1= tanah dan kotoran ayam dengan
perbandingan 1:1, P2= tanah dan abu sekam padi dengan perbandingan 1:1. Masing-masing
perlakuan terdiri dari lima ulangan. Kegiatan penelitian meliputi persiapan media tanam,
persemaian, penanaman, pemeliharaan, dan panen.
Parameter yang diamati yaitu jumlah daun (helai) dan berat basah tanaman. Parameter
jumlah daun dilakukan dengan menghitung jumlah daun yang telah terbentuk sempurna dan
berat basah tanaman sawi, yaitu dilakukan dengan menimbang seluruh bagian tanaman saat
panen. Pengambilan data dilakukan pada 15 hari setelah tanaman (HST), dan pada saat
panen. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varians satu jalan untuk melihat
adanya pengaruh nyata dari perlakuan-perlakuan yang diberikan terhadap komponen
pengamatan.

Hasil dan Pembahasan


Jumlah Daun dan Berat Basah
Berdasarkan hasil penelitian secara umum perlakuan P1 yaitu penggunaan pupuk
dengan kotoran ayam memberikan pengaruh lebih baik kemudian diikuti dengan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


102 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
penggunaan pupuk abu sekam padi. Dengan rata-rata jumlah daun untuk perlakuan P1 yaitu
12 helai, kemudian diikuti perlakuan P2 yaitu 10 helai dan P0 9 helai per tanaman.
Sedangkan untuk parameter berat basah tanaman respon terbaik diberikan oleh perlakuan P1
dengan berat basah rata-rata tanaman sawi setelah panen yaitu P1 154,8 g per tanaman,
kemudian diikuti oleh P2 129,6 g per tanaman, dan P0 rata-rata 79,6 g per tanaman. Hal ini
terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Rata-Rata Jumlah Daun dan Berat Basah Tanaman Sawi
Perlakuan Jumlah Daun (Helai) Berat Basah (g)
a
P0 9 79,6 a
P1 12 b 154,8 b
c
P2 10 129,6 c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0,05

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan menggunakan bahan organik


cenderung lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa menggunakan bahan
organik. Kemampuan bahan organik dalam menyediakan nutrisi yang lebih baik untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman sawi. Foth (1998), menyatakan bahwa tanah-
tanah permukaan yang banyak mengandung bahan-bahan organik dengan tekstur halus
mempunyai ruang pori total lebih banyak dan proporsinya relatif besar yang disusun oleh
pori-pori kecil.
Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap
Jumlah Daun Tanaman Sawi

15
Jumlah Daun

10

0
P0 P1 P2
Pupuk Organik

Gambar 1. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Jumlah Daun

Hasil analisis varians satu jalan terhadap variabel jumlah daun menunjukkan bahwa
perlakuan dengan bahan organik yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman
sawi. Hasil uji lanjut dengan uji LSD terhadap rata-rata jumlah daun sebagai hasil dari
perlakuan pemberian pupuk organik yang berbeda dapat dilihat pada table 1. Hasil uji lanjut
menunjukkan bahwa perlakuan P1 dan P2 yaitu dengan menggunakan pupuk organik
memberikan rata-rata jumlah daun yang berbeda dibandingkan dengan P0 perlakuan tanpa

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 103
pupuk organik. Perlakuan P1 dengan menggunakan kotoran ayam memberikan hasil jumlah
daun yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan P2. Hal ini disebabkan karena
pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan
organik tanah dan akan meningkatkan kandungan air tanah. Pupuk organik berupa kotoran
ayam memiliki aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat
dengan penambahan pupuk organik. Aktivitas mikroba ini akan membantu tanaman dalam
menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang
pertumbuhan tanaman. Bahan organik dari kompos kotoran ayam merupakan makanan bagi
mikroorganisme tanah yang sebagian terdapat mikroorganisme pengikat N. Hal ini sejalan
dengan Hanafiah (2005), bahwa nitrogen dapat berasal dari bahan organik dan udara yang
difiksasi oleh mikroorganisme tanah tertentu.
Tanaman membutuhkan nutrisi untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi.
Komposisi pupuk yang diberikan melalui dua perlakuan memberikan kandungan nutrisi dan
memiliki respon yang berbeda untuk tiap perlakuan. Nutrisi yang ada dalam tanah diserap
melalui organ akar tanaman dan nutrisi dari udara diserapa memalui daun. Apabila tanaman
kekurangan nutrisi maka akan mengakibatkan malnutrisi atau bahkan kematian. Perlakuan
P0 = tanah tanpa penambahan pupuk organik mengalami hambatan dalam proses
pembentukan tanaman, yang diakibatkan oleh tidak terpenuhinya unsur hara terutama N
yang berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman.
Berat basah tanaman untuk tanaman sawi berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa perlakuan P1 memiliki berat rata-rata tertinggi yaitu 154,8 g per tanaman. Kemudian
diikuti oleh perlakuan P2 dan P0. Seperti yang terlihat pada tabel 1. Hasil analisis varians
satu jalan menunjukkan bahwa perlakuan dengan bahan organik yang berbeda berpengaruh
terhadap berat basah tanaman sawi. Hasil uji lanjut dengan uji LSD terhadap rata-rata berat
basah sebagai hasil dari perlakuan pemberian pupuk organik yang berbeda, dapat dilihat
pada tabel. 1. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan P1 dan P2 yaitu dengan
menggunakan pupuk organik memberikan rata-rata berat basah tanaman sawi yang berbeda
dibandingkan dengan P0 perlakuan tanpa pupuk organik.
Pada percobaan ini, perlakuan dengan menggunakan tambahan pupuk organik kotoran
ayam memiliki berat rata-rata tertinggi. Hal ini disebabkan karena kotoran ayam memiliki
kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman lebih banyak jika dibandingkan
dengan kandungan unsur hara yang dimiliki oleh abu sekam padi. Banyaknya serapan hara
yang terdapat pada daun, berhubungan dengan berat basah tanaman sawi. Hasil penelitian
Ramadhan, (2012) menunjukkan hasil analisis hara abu sekam padi yaitu C 2,15%, N

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


104 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
0,25%, C/N 8,6% sedangkan kotoran ayam mengandung C 8,22%, N 1,37% dan C/N 6%.
Tanaman yang terpenuhi kebutuhan unsur haranya, akan dapat merangsang pertumbuhan
daun baru.

Berat Basah Tanaman Sawi


200

150

100
(g)
50

0
P0 P1 P2
Perlakuan

Gambar 2. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Berat Basah Tanaman Sawi

Kesimpulan
1. Perlakuan dengan menggunakan pupuk organik berpengaruh nyata terhadap variabel
jumlah daun dan berat basah tanaman sawi.
2. Perlakuan dengan menggunakan pupuk organik kotoran ayam memberikan rata-rata
tertinggi pada jumlah daun (12 helai per tanaman) dan berat basah tanaman sawi (154,8
g per tanaman).

Daftar Pustaka
Foth, H.D. 1998. Dasar - Dasar Ilmu Tanah. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.
Gustia, H. 2013. Pengaruh Penambahan Sekam Bakar pada Media Tanam Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan
Lingkungan 1 (1): 12-17

Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lingga, P. 1991. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya: Jakarta.

Prihmatoro, Heru. 2004. Memupuk Tanaman Buah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Ramadhan, C.B. 2012. Pengaruh Kombinasi Media Tanam dengan Fertigasi Pupuk organik
terhadap pertumbuhan bibit tanaman kepel (stelechocarpus burahol (bl.) Hook. F. &
th.). Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian, Bogor.

Rukmana, Rahmat. 1994. Bayam, Bertanam & Pengelolaha Pascapanen. Yogjakarta:


Kanisius.

Wardi H., Sudarmodjo, D. Pitoyo. 1998. Teknologi Hidroponik Media Arang Sekam untuk
Budidaya Hortikultura. J. Litri.
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 105
KAJIAN EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK DENGAN
KOMBINASI PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN
JAGUNG

AMIRUDIN
Politeknik Gorontalo, Jurusan Teknologi Pertanian
Email: amirudin_82@poligon.ac.id

ABSTRACT

Dampak negatif yang disebabkan oleh penggunaan pupuk anorganik mendorong petani
untuk kembali kesistem pertanian organik (organik farming system). Namun, karena proses
dekomposisi pupuk organik yang lambat dan yang jumlahnya yang terbatas menyebabkan
hara yang dapat diserap oleh tanaman untuk pertumbuhannya juga menjadi sedikit. Oleh
karena itu, diperlukan kombinasi antara pupuk organik dengan pupuk anorganik. Penelitian
ini bertujuan untuk menguji efektifitas pengaruh kombinasi pemupukan organik dan
anorganik pada tanaman jagung. Penelitian ini dilakukan di grand house Desa Banuroja,
Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo pada bulan Oktober-
November 2017. Desain yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 (empat)
perlakuan, (1). Perlakuan J1 = 250 kg Urea/ha + 3 ton kompos/ha, (2). J2 = 230 kg Urea/ha
+ 6 ton kompos/ha, (3). J3 = 210 kg Urea/ha + 9 ton kompos/ha (4). J 4 = 190 kg Urea/ha +
12 ton kompos/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas penggunaan pupuk
terbaik adalah kombinasi antara pemupukan organik dan anorganik dengan rata-rata
pertumbuhan terbaik yaitu pada perlakuan J2 = 230 kg Urea/ha + 6 ton kompos/ha.
Kata Kunci: Jagung, Pupuk Kompos, Pupuk Urea, SP-36 dan KCl

Pendahuluan
Untuk menunjang usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan pokok
yang terus meningkat, perlu upaya pengembangan pertanian pada lahan-lahan marginal yang
cukup luas. Sebagian besar lahan darat tadah hujan merupakan lahan dengan topografi yang
beragam dan dengan tanah marginal yang pada dasarnya merupakan tanah dengan
kandungan air dan kesuburannya rendah.
Penggunaan bahan-bahan kimia secara berlebihan pada sistem petanian telah
menimbulkan kerusakan ekologi, seperti degradasi tanah, sumberdaya air dan kualitas bahan
makanan. Olehnya itu perlu mendorong petani untuk kembali kesistem pertanian yang ramah
lingkungan yaitu penerapan sistem pertanian organik (organik farming system) yang dapat
memperbaiki kerusakan yang diakibatkan penerapan sistem pertanian modern yang
mengandalkan penggunaan bahan kimia untuk meningkatkan produksi pertanian. Untuk itu
perlu dikembangkan pengelolaan hara melalui penggunaan sumber-sumber bahan organik
dari lingkungan pertanian yang didasarkan pada hasil penelitian dan sumberdaya lokal
(Somasundaram, 2007).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


106 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Penggunaan bahan organik saat ini sangat penting mengingat kadar bahan organik
pada tanah-tanah pertanian rendah. Bahan organik tanah adalah salah satu komponen yang
sangat penting, merupakan lapukan sisa-sisa tanaman/tumbuhan yang bercampur dengan
bahan mineral tanah pada lapisan atas tanah (Suhardjo et al., 1993). Lebih lanjut Buckman
dan Brady (1990) dan Sanchez (1992) menambahkan bahwa bahan organik berperan dalam
memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Serta mampu meningkatkan efisiensi
pemupukan dan serapan hara oleh tanaman (Roechan et al., 1997).
Alternatif untuk menjaga dan memperbaiki kesuburan tanah serta menghindarkan
dampak yang merugikan dari penggunaan zat kimia adalah pemberian bahan organik yang
berasal dari sisa tanaman, atau berasal dari sumber lainnya hasil fermentasi yang dikenal
dengan bokasi (bahan organik kaya sumberdaya hayati) atau limbah ternak yang diolah
menjadi kompos organik. Namun, keengganan masih sering timbul dalam pemakaian pupuk
organik karena proses fermentasi atau pematangannya lama, biaya tenaga kerja dan
transportasi yang tinggi. Selain itu, kandungan unsur hara dalam pupuk organik juga tidak
lebih dari pada pupuk anorganik.
Proses dekomposisi bahan organik yang lambat menyebabkan terlambatnya tanaman
memperoleh hara untuk pertumbuhannya. Jumlah bahan organik yang terbatas juga
menyebabkan adanya kesulitan dalam penyediaan bahan organik dalam jumlah yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, diperlukan kombinasi antara pupuk organik dan anorganik.
Musnamar (2003), menyebutkan bahwa terdapat interaksi positif pada penggunaan pupuk
organik dan pupuk anorganik secara terpadu. Pemberian pupuk organik yang dipadukan
dengan pupuk anorganik dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan efisiensi
penggunaan pupuk, baik pada lahan sawah maupun lahan kering.
Kajian terdahulu mengenai pemberian pupuk kompos dengan takaran yang berbeda
dimana dosis 2,5 % - 3 % mampu memberikan produksi biji dan biomas segar jagung yang
optimal, namun penggunaannya menyertakan penggunaan pupuk buatan sesuai dosis
anjuran (Faesal et al., 2003). Sementara pemberian pupuk kompos dengan mengurangi
penggunaan pupuk buatan guna mengukur efektifitas penggunaannya selama ini belum
banyak dilaporkan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka dilakukan penelitian untuk
mengkaji efektifitas penggunaan pupuk kompos pada tanaman jagung

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 107
Bahan dan Metode
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di grand house Desa Banuroja, Kecamatan Randangan,
Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai
November 2017.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih jagung hibrida Bisi 2, pupuk
urea, SP-36, KCl, polybag, tanah sebagai media tanam dan pupuk organik kompos yang
berasal dari sisa makanan ternak sapi yang terdiri dari limbah jagung, kacang tanah, rumput
gajah, daun gamal dan kotoran ternak sapi bali. Alat yang digunakan adalah timbangan
digital, label, alat ukur, ember, parang, cangkul dan tulis menulis.

Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan
kombinasi dosis pupuk urea dan pupuk kompos. Perlakuan yang diteliti adalah sebagai
berikut:
J1 = 250 kg urea/ha + 3 ton compost/ha
J2 = 230 kg urea/ha + 6 ton compost/ha
J3 = 210 kg urea/ha + 9 ton compost/ha
J4 = 190 kg urea/ha + 12 ton compost/ha

Implementasi Penelitian
Pembuatan Pupuk Kompos
Sisa pakan ternak yang terdiri dari limbah tanaman jagung, kacang tanah, rumput
gajah, daun gamal dan kotoran yang dihasilkan oleh sapi digunakan sebagai pupuk dasar
untuk tanaman jagung dengan cara fermentasi menggunakan EM4 selama tiga minggu
sehingga dihasilkan pupuk kompos. Bahan yang dibutuhkan dalam pengomposan adalah:
kotoran sapi 1.000 kg, EM4 2,5 kg, abu sekam 100 kg, kalsit/dolomite 20 kg, dengan cara
mencampurkan kotoran ternak dengan EM4, diaduk rata lalu dimasukkan ke dalam bak
kemudian didiamkan selama 1 minggu dan selanjutnya dibolak balik sambil mencampurkan
abu organik dan kalsit lalu didiamkan kembali dan seterusnya setiap minggu dilakukan
pembalikan sampai akhirnya menjadi matang yang ditandai dengan bentuk fisik sudah
menyerupai tanah yang berwarna kehitaman, strukturnya remah tidak menggumpal, tidak
mengeluarkan bau busuk, jika diraba suhu tumpukan bahan yang dikomposkan sudah dingin

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


108 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
mendekati suhu ruang dan jika dilarutkan ke dalam air kompos yang matang tidak akan larut.
kompos yang matang ini selanjutnya dianalisis kandungan haranya.

Pengambilan Tanah
Pengambilan tanah secara komposit dari lokasi penelitian, tanah kemudian dikering
udarakan, lalu diayak dan diaduk hingga homogen.

Pengisian Polibag
Setiap polibag percobaan diisi 10 kg tanah kering udara masing-masing unit percobaan
sebanyak 12 polibag. Bersamaan dengan pengisian polibag diberikan pupuk pupuk kompos
yang difermentasi dengan dosis sesuai perlakuan.

Pemupukan
Pemupukan untuk tanaman kacang tanah dilakukan dengan cara tugal. Pupuk SP-36
dan KCl masing-masing 50 kg ha-1 diberikan pada saat tanam.

Parameter pengamatan
a. Tinggi tanaman (cm), diukur mulai dari permukaan tanah sampai sampai pucuk daun.
Pengukuran dilakukan pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49 dan 56 hari setelah tanam
(HST).
b. Diameter batang (cm), diukur 5 cm dari atas permukaan tanah pada umur 7, 14, 21, 28,
35, 42, 49 dan 56 HST.
c. Jumlah daun (helai), ditentukan dengan menghitung jumlah daun yang telah terbentuk
sempurna. Dihitung pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49 dan 56 HST.
d. Berat basah batang dan daun kacang tanah
e. Berat kering batang dan daun kacang tanah

Rancangan Analisis
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan uji analisis varians (ANOVA).
Untuk menguji beda antara perlakuan digunakan uji DMRT 5%. Analisis data dilakukan
dengan mengaplikasikan software minitab 14, exel dan SPSS 11.0.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 109
Hasil dan Pembahasan
Komponen pertumbuhan tanaman

Tabel 1. Tinggi tanaman jagung (cm)


Perlakuan Umur (HST)
42 49 56
J1 143,33 ab 160,33 ab 168,00 ab
J2 147,33 a 163,33 a 174,33 a
J3 129,67 bc 151,33 b 162,33 b
J4 122,33 c 142,33 c 147,00 c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda
nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Tabel 2. Diameter batang jagung (cm)


Umur (HST)
Perlakuan
28 35 42 49 56
J1 0,97c 1,40a 1,60ab 0,00a 1,93a
J2 1,37a 1,63a 1,77a 1,77a 1,97a
J3 1,03b 1,37a 1,43b 1,87a 1,70a
J4 0,80c 1,00b 1,13c 1,60b 1,37b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda
nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Tabel 3. Berat basah batang jagung


Perlakuan Rata-rata NP BNT0,05
J1 0,137ab 0,0317
J2 0,149a
J3 0,114bc
J4 0,083c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda
nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


110 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Tabel 4. Berat basah daun jagung
Perlakuan Rata-rata NP BNT0,05
J1 0,089a 0,0169
J2 0,082ab
J3 0,066bc
J4 0,058c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda
nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Tabel 5. Berat kering batang jagung (g)


Perlakuan Rata-rata NP BNT0,05
J1 18,44b 6,3705
J2 31,88a
J3 23,06b
J4 17,60b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda
nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Tabel 6. Berat kering daun jagung (g)


Perlakuan Rata-rata NP BNT0,05
J1 18,35a 3,0075
J2 19,62a
J3 14,38b
J4 12,07b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda
nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05
Pembahasan
Berdasarkan hasil sidik ragam, penggunaan kombinasi pupuk organik dengan
anorganik dalam penelitian ini memberikan pengaruh sangat nyata pada perlakuan J2 pada
komponen pengamatan pertumbuhan tanaman jagung yaitu komponen pengamatan tinggi
tanaman pada tabel 1, diameter batang tabel 2, berat basah batang tabel 3, berat basah daun
jagung tabel 4, berat kering daun tabel 5 dan berat kering batang jagung tabel 6 dan
berpengaruh nyata pada diameter batang tabel 2. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan
kombinasi pupuk memberikan hasil pertumbuhan jagung yang relatif sama, karena dosis
pupuk anorganik yang diberikan walaupun berbeda tetapi juga diikuti perbedaan dosis pupuk
organik dimana setiap penambahan dosis pupuk organik akan diikuti pengurangan dosis

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 111
pupuk anorganik teruatama dosis urea. Ini dilakukan dengan tujuan agar semua perlakuan
memiliki jumlah N yang sama sesuai dengan kebutuhan N tanaman jagung baik yang
bersumber dari dalam tanah dan pupuk urea itu sendiri. Unsur N dengan kadar yang sama
yang berasal dari pupuk yang diberikan berguna dalam pembelahan dan pembesaran sel-sel
yang terjadi pada meristem apikal sehingga memungkinkan terjadinya pertambahan tinggi
tanaman pada tanaman jagung yang kemudian disusul dengan pertumbuhan daun yang
berlangsung dengan pesat. Setyamidjaja (1986), menyatakan bahwa unsur nitrogen berperan
penting dalam merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman yaitu menambah tinggi tanaman
serta jumlah daun.
Hara nitrogen merupakan unsur makro yang sangat penting untuk pertumbuhan dan
produksi tanaman, akan tetapi ketersediaannya didalam tanah selalu rendah sehingga perlu
upaya untuk menambah agar tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan secara memuaskan.
Kemampuan tanaman jagung menyerap nitrogen untuk menghasilkan biji dan batang
bervariasi sesuai stadia pada saat N diserap (Barley, 1975), sehingga dosis akan sangat
menentukan optimalnya suplay hara ke dalam jaringan tanaman. Adapun hasil analisis
laboratorium untuk jaringan tanaman jagung yaitu N = 1,66%, P = 0,07 % dan K = 4,72 %.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil kombinasi pemupukan antara pupuk organik dan pupuk
anorganik dapat meningkatkan kandungan hara N, P dan K yang terdapat pada jaringan
tanaman jagung. Menurut Kadekoh dan Barus (2010), penyediaan hara yang berasal dari
bahan organik akan membantu meningkatkan transfer fotosintat dari source (sumber) ke sink
(limbung) melalui pembuluh floem. Bahan yang biasa ditransfer di dalam floem adalah
sukrosa, sedangkan mineral yang banyak terangkut di dalam floem adalah K dan P (unsur
ini mudah diangkut dalam floem) (Salisbury dan Ross, 1995).
Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa, semua kompoenen pengamatan pada
penelitian ini berpengaruh sangat nyata pada perlakuan J2 dengan dosis bahan organik
kompos 6 ton/ha yang dikombinasikan dengan 230 kg urea/ha dibandingkan dengan
perlakuan lainnya dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung. Hal ini juga di
duga karena bahan organik kompos juga dapat meningkatkan konsentrasi hara dalam tanah,
terutama N, P, dan K, serta unsur lainnya. Selain itu bahan organik kompos dapat
memperbaiki tata udara dan air tanah. Dengan demikian, perakaran tanaman akan
berkembang dengan baik dan akar dapat menyerap unsur hara dan air yang lebih banyak.
Disisi lain bahan organik kompos juga merupakan sumber energi bagi mikroorganisme,
dalam hal ini adanya bahan organik akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme terutama
bakteri penambat nitrogen sehingga mempunyai potensi dalam meningkatkan konsentrasi N

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


112 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
melalui aktivitasnya mengfiksasi N2 dari udara.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kombinasi dosis pupuk
urea dengan kompos pada penelitian ini sudah sesuai dengan dosis anjuran yang secara
umum mampu menghasilkan rata-rata pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi. Hal ini
diduga disebabkan pada dosis yang diberikan tersebut mampu diserap dengan baik oleh
perakaran tanaman sehingga faktor ini akan mendukung berlangsungnya fotosintesis guna
pembentukan cadangan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman termasuk
dalam mendukung potensi-potensi pertumbuhan baik generatif maupun vegetatif (beberapa
peran unsur N dalam tubuh tanaman seperti bahan penyusun protein dan protoplasma,
dimana protein sangat penting bagi pembentukan enzim-enzim yang merupakan katalisator
bagi banyak reaksi pada fotosinetsis). Suseno (1981), lebih banyak menjelaskan faktor-
faktor pertumbuhan yang diterima oleh tanaman termasuk pemupukan yang menyebabkan
laju fotosintesis meningkat. Meningkatnya laju fotosintesis maka CO2 yang diikat dalam
proses fotosintesis tersebut akan lebih banyak dari pada CO 2 yang dilepaskan dalam proses
respirasi. Dengan demikian, asimilat yang dihasilkan lebih banyak berpengaruh terhadap
pertumbuhan serta hasil tanaman.
Pada penelitian ini, selain bahan organik kualitas jenis kompos juga ikut berperan andil
dalam peningkatan pertumbuhan tanaman. Adapun jenis bahan yang digunakan dalam
pembuatan kompos dalam penelitian ini adalah sisa hasil pakan ternak jerami jagung, jerami
kacang tanah, rumput gajah dan daun gamal dengan hasil analisis laboratorium yaitu pupuk
organik kompos N 1,89%, P 0,11%, K 1,82%, C-organik 27,88%, calsium (Ca) 0,03%,
Natrium (Na) 5,12%. Selain itu pula, menurut Amirudin (2009) kandungan hara gamal
adalah N 2,85 %, P 0,14 %, K 2,21 %, Ca 1,82 %, Mg 0,49 %. Berdasarkan hasil analis
tersebut diatas, ditambah dengan hasil analisis tanah sebelum penelitian menunjukkan
bahwa lokasi penelitian memiliki kandungan hara N, P, dan K yang rendah, serta C-Organik
yang rendah. Dengan demikian pemberian bahan organik pada penelitian ini
memperlihatkan respon yang sangat nyata terhadap peningkatan berat basah batang, daun
jagung dan berat kering batang dan daun jagung pada tabel 3, 4, 5 dan 6. Pada pemberian
bahan organik kompos akan memberikan unsur hara yang tersedia bagi tanaman dan akan
efisien terutama air, CO2 dan cahaya.
Kompos yang diberikan dapat pula menjadi sumber hara yang baik, sehingga
menunjang pertumbuhan tanaman jagung, dikarenakan terjadi keseimbangan antara
kebutuhan serta tingkat ketersediaan hara dalam tanah sehingga memungkinkan tanaman

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 113
mengalami pertumbuhan vegetatif serta perkembangan bagian-bagian reproduksi dengan
baik. Menurut Sarief (1995) bahwa hubungan antara bahan organik dapat berpengaruh
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung bahan organik merupakan substrat
alami untuk mikroorganisme saprofitik dan secara tidak langsung memberikan nutrisi bagi
tanaman melalui kegiatan dekomposisi mikroorganisme tanah. Disamping itu Wada et al.
(1981) dalam Sutanto (2002) mengemukakan bahwa pemberian kompos jangka panjang juga
mampu meningkatkan aktivitas mikroba penyemat nitrogen melalui peningkatan kandungan
bahan organik tanah yang mudah terdekomposisi meningkatkan pembentukan agregat yang
stabil dan kapasitas tukar kation.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, adanya pengaruh yang sangat nyata pada
pertumbuhan tanaman jagung yang dikombinasikan antara pupuk organik dan anorganik
juga dikarenakan kemampuan tanaman jagung memanfaatkan hara yang diterima dengan
anggapan menggunakan takaran pupuk yang tepat. Setiap tanaman perlu mendapatkan
pemupukan dengan takaran yang sesuai agar terjadi keseimbangan unsur hara didalam tanah
yang dapat menyebabkan tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta
menghasilkan produksi yang optimal. Efesiensi pemupukan yang optimal dapat dicapai
apabila pupuk diberikan dalam jumlah yang sesuai kebutuhan tanaman, tidak terlalu banyak
dan tidak terlalu sedikit (Setyamidjaja, 1986).

Kesimpulan
1) Perlakuan dosis bahan organik kompos dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
jagung. Hasil terbaik dicapai pada dosis 6 ton/ha yang dikombinasikan dengan pupuk
urea 230 kg/ha.
2) Terdapat perbedaan sangat nyata antara bahan organik kompos yang dikombinasikan
dengan pupuk anorganik urea terhadap pertumbuhan tanaman jagung .

Daftar Pustaka
Amirudin, 2009. Produktivitas Tanaman Jagung dalam Sistem Alley Cropping di Tanah
Mediteran Kabupaten Gowa. Tesis Program Magister Pascasarjana Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Buckman, C.A., and N.C. Brady. 1990. The nature and properties of soil. 1st ed. The
MacMillan Co., New York
Faesal, M. Akil dan E.O. Momuat. 2003. Pengaruh Subtitusi N-urea dengan N-pupuk
organik terhadap hasil jagung. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai
Penelitian Tanaman Serealia. Vol. 8:35-39.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


114 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Kadekoh, I., dan H. Barus., 2010. Pengaruh Lebar Lorong dan bahan Organik Terhadap
Hasil Jagung Manis, Gliricidia dan Hijauan Pakan Dalam Sistem Aley Cropping.
Laporan Peneltian Strategis Nasional. Universitas Tadulako
Salisbury, F.B. and C.W Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 2. Terjemahan Diah R
Lukman dan Sumaryono. ITB Pres bandung. Hal. 293 - 295
Musnamar, E.I. 2003. Pupuk organik : cair dan padat, pembuatan, Aplikasi. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Roechan, S., I. Nasution, dan A.K. Makarim. 1997. Ciri kimia berbagai jenis bahan organik
dan dampak pemberiannya pada padi sawah. Buku II. Pros. Kongres Nasional VI
HITI, Bogor, 12 – 15 Desember 1995
Sancehz, P.A. 1976. Properties and Management of Soil in the Tropics. John Wiley and
Sons. New York
Sarief, S. 1995. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
Setyamidjaja, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan. CV. Simplex. Jakarta
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.
Kanisius. Yogyakarta.
Somasundaram,E., Mohammad Amanullah, and K. Vaiyapuri. 2007. Influence organic
sources of nutrients on the yield and economics of crops under maize based cropping
system. Jounal of science research. 3 (12): 1774 – 1777

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 115
PENGARUH BERBAGAI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN
PRODUKSI TANAMAN SELEDRI (Apium graveolens) DENGAN SISTEM
VERTIKULTUR

M. DARMAWAN
Fakultas Pertanian, Universitas Ichsan Gorontalo
Email: m.darmawan98@yahoo.com

ABSTRAK
Tanaman seledri merupakan salah satu sayuran daun yang memiliki banyak manfaat, antara
lain dapat digunakan sebagai pelengkap masakan dan memiliki khasiat sebagai obat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai jenis media tanam terhadap
pertumbuhan dan produksi tanaman seledri (Apium graveolens) dengan system vertikultur.
Penelitian ini disusun engan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri
dari 4 perlakuan dan 3 ulangan sehingga terdapat 24 buah vertikultur, dengan media tanam
yang berbeda yaitu M0 sebagai kontrol, M1 media tanam arang sekam, M2 media tanam
cocopead, M3 media tanam serbuk gergaji. Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh
sangat nyata. Dengan BNJ (Beda Nyata Jujur) dan BNT (Beda Nyata Terkecil). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan M2 media tanam cocopeat memberikan pengaruh
nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, dan bobot panen.
Kata Kunci: Seledri, Media Tanam, Vertikultur

Pendahuluan
Tanaman seledri merupakan salah satu sayuran daun yang memiliki banyak manfaat,
antara lain dapat digunakan sebagai pelengkap masakan dan memiliki khasiat sebagai obat.
Tanaman seledri juga banyak mengandung vitamin A, vitamin C, dan zat besi serta zat gizi
lainnya yang cukup tinggi. Dalam 100 g bahan mentah, seledri mengandung 130 IU vitamin
A, 0,03 mg vitamin B, 0,9 g protein, 0,1 g lemak, 4 g karbohidrat, 0,9 g serat, 50 mg kalsium,
1 mg besi, 0,005 mg riboflavin, 0,003 mg tiamin, 0,4 mg nikotinamid, 15 mg asam askorbat,
dan 95 ml air (Rahayu et al., 2008).
Pada dasarnya prospek seledri sangat cerah, baik di pasaran dalam negeri (domestik)
maupun luar negeri sebagai komoditas ekspor, namun pembudidayaan seledri di Indonesia
pada umumnya masih dalam skala kecil yang dilakukan sebagai sambilan (sampingan).
Beberapa bukti tentang budidaya seledri di Indonesia yang belum dikelola secara komersial
dan diantaranya dapat merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang hasil
survey pertanian tanaman sayuran di Indonesia pada tahun 2008, ternyata belum ditemukan
data luas panen dan produksi seledri secara nasional. Demikian pula dalam program
penelitian dan pengembangan hortikultura di Indonesia pada Pusat Penelitian dan
pengembangan (Puslitbang). Hortikultura sampai 2003/2004, ternyata tanaman seledri

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


116 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
belum mendapatkan prioritas penelitian, baik sebagai komoditas utama, potensial maupun
introduksi (Lukman, 2011).
Permintaan seledri dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan baik permintaan
domestik maupun dari luar negeri. Peningkatan permintaan dari luar negeri mungkin
disebabkan semakin berkurangnya lahan pertanian akibat konversi lahan sehingga dialihkan
ke negara berkembang yang lahannya masih luas dengan tenaga kerja yang relatif murah,
serta kondisi iklim yang kurang mendukung terutama saat musim dingin dan musim gugur
sehingga praktis semua kebutuhan sayuran untuk masyarakatnya tergantung dari negara-
negara lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka perlu dilakukan peningkatan hasil,
baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi. Salah satu peningkatan hasil melalui
intensifikasi adalah dengan pemilihan media tumbuh.
Media tumbuh merupakan salah satu unsur penting dalam menunjang pertumbuhan
tanaman, karena sebagian besar unsur hara yang dibutuhkan tanaman, dipasok melalui media
tumbuh, selanjutnya diserap oleh akar dan digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Menurut
Susila dan Koerniawati (2004) media tumbuh adalah tempat akar tanaman tumbuh dan
mengisap zat makanan untuk pertumbuhannya serta tempat memperkokoh berdirinya
tanaman, sehingga di dalam media tumbuh harus tersedia unsur hara yang dibutuhkan
tanaman. Bahan-bahan untuk media tumbuh dapat dibuat dari bahan tunggal ataupun
kombinasi dari beberapa bahan, asalkan tetap berfungsi sebagai media tumbuh yang baik.
Jenis media tumbuh akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan
tanaman (Fahmi, 2015). Seledri yang disemaikan dengan biji, biasanya membutuhkan waktu
yang lama untuk tumbuh, sehingga diperlukan media tumbuh yang sesuai, dengan harapan
tanaman dapat terhindar dari kematian. Informasi tentang media yang sesuai untuk tanaman
seledri sampai saat ini belum diketahui.
Selain penggunaan media tanam, produksi tanaman seledri menurun karena
penggunaan lahan untuk penanaman seledri sangat kurang. Hal ini disebabkan karena seledri
hanya dianggap sebagai tanaman selingan. Penggunaan vertikultur yang tidak membutuhkan
lahan yang luas merupakan solusi teknologi untuk mengatasi masalah tersebut. Penelitian
ini bertujuan untuk pengetahui media tanam yang terbaik untuk pertumbuhan dan produksi
tanaman seledri.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan mengunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Perlakuan terdiri atas 4 perlakuan yang diulang sebanyak 3 ulangan sehingga terdapat 12

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 117
satuan percobaan. Adapun perlakuan yaitu M0 : Media tanah (kontrol), M1 : Media tanah +
arang sekam (1:1), M2 : Media tanah + cocopeat (1:1) dan M3 = Media tanah + serbuk
gergaji (1:1).

Pelaksanaan Penelitian
Persiapan penelitian dimulai dengan mempersiapkan bambu yang diposisikan secara
horizontal untuk wadah vertikultur. Setiap ulangan terdapat 2 bambu per perlakuan sehingga
terdapat 24 buah vertikultur. Bambu yang digunakan kemudian disusun dilahan dengan jarak
50 cm dengan menggunakan rak-rak yang telah dibuat sebelumnya. Media tanam
selanjutnya dimasukan ke dalam wadah vertikultur disesuaikan dengan perlakuan yang
digunakan.
Tahap selanjutnya dengan melakukan penanaman wadah vertikultur. Lubang tanam
yang gunakan sedalam 2-3 cm untuk tempat penanaman bibit tanaman seledri. Bibit ditanam
pada lubang tanam yang telah disiapkan dan disiram secukupnya. Setiap lubang tanam diisi
dengan 1 bibit tanaman.
Penyulaman dilakukan apabila terdapat tanaman seledri yang mati, rusak atau yang
pertumbuhanya tidak normal. Bibit yang digunakan adalah bibit yang sudah dipersiapkan.
Pembibitan dilakukan untuk meminimalisirkan tanaman seledri yang mati pada saat
penelitian. Penyiraman dilakukan secara intensif sebanyak 2 kali sehari yaitu pada setiap
pagi dan sore hari, setelah itu dilakukan penyiangan. Penyiangan dilakukan apabila
ditemukan ada tanaman lain selain seledri pada wadah vertikultur. Adapun variabel
pengamatan yang diamati dalam penelitian ini meliputi (a) Panjang tangkai daun (cm),
diukur dari pangkal batang sampai ujung titik tumbuh mulai pada umur 2 MST (Minggu
Setelah Tanam) sampai tanaman berumur 8 MST, yang pengukurannya dilakukan setiap 2
minggu (b) jumlah daun (helai) dihitung mulai minggu ke 2 setelah tanam sampai tanaman
berumur 8 minggu setelah tanam yang pengukurannya dilakukan setiap 2 minggu (c) bobot
panen (g) dihitung diakhir penelitian yang pengukuran menggunakan timbangan analitik (d)
panjang akar (cm) dihitung pada akhir penelitian. (e) volume akar (m3) dihitung pada akhir
penelitian.

Hasil Penelitian
Tinggi Tanaman
Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media
tanam berpegaruh terhadap tinggi tanaman pada tanaman seledri dengan menggunakan
sistem vertikultur. Adapun hasil analisis uji lanjut adalah sebagai berikut:

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


118 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Tabel 1. Rata-Rata Tinggi Tanaman Seledri pada Umur 2 MST sampai 8 MST dengan
Perlakuan Media Tanam

Perlakuan 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST


M0 25,92 ab 25,99 ab 27,51 a 37,33 b
M1 27,00 ab 33,38 ab 36,55 ab 41,13 c
M2 31,71 b 38,00 b 43,12 b 45,50 d
M3 20,58 a 25,13 a 28,52 ab 31,50 a
BNJ 0,01 8,99 10,11 9,61
BNT 0,01 1,31
Keterangan: M0 : Kontrol, M1 : Media Tanah + Arang Sekam (1:1), M2 : Media Tanah +
Cocopeat (1:1) M3 : Media Tanah + Serbuk Gergaji (1 : 1) MST : Minggu Setelah Tanam,
BNJ : Beda Nyata Jujur. BNT: Beda Nyata Terkecil. Angka-Angka pada kolom yang
berbeda sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan
uji lanjut BNJ 1 % dan BNT 1 %

Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian media tanam berpengaruh


terhadap parameter tinggi tanaman pada 6 MST dan 8 MST. Pada 2 MST dan 4 MST
menunjukkan perlakuan dengan media tanah + cocopeat (M2) menunjukkan hasil yang
tertinggi dibandingkan kontrol dan perlakuan yang lain, walaupun tidak menunjukkan hasil
yang berbeda nyata dibandingkan kontrol.
Pada 6 MST menunjukkan perlakuan M2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata di
bandingkan kontrol, sedangkan perlakuan M1 (media Tanah + arang Sekam) dan M3 (media
tanah + serbuk gergaji) tidak menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan kontrol. Pada
umur 8 MST perlakuan M1, M2, M3 menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan
dengan kontrol, namun perlakuan M3 menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan
dengan kontrol. Hasil tertinggi pada umur 8 MST terdapat pada perlakuan M2 yaitu 45,50
cm. Perlakuan dengan menggunakan campuran media tanah + cocopead (1:1) menunjukkan
hasil yang tertinggi bandingkan kontrol dan perlakuan yang lainnya. Hal ini disebabkan
karena kandungan unsur hara yang terkandung dalam cocopead yaitu unsur hara makro dan
mikro sangat dibutuhkan oleh tanaman. Menurut Ihsan (2013) cocopead mengandung unsur
hara kalium dan natrium.
Secara fisiologis kalium berfungsi dalam metabolisme karbohidrat seperti pembukaan,
pemecahan dan translokasi pati, metabolisme nitrogen dan sintesis protein, pengaturan
pemanfaatan barbagai unsur hara utama; netralisasi asam asam organik penting, aktivasi
berbagai enzim, percepatan pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem (pucuk,
tunas) dan pengaturan buka tutup stomata dan hal-hal yang terkait dengan penggunaan air
(Pratiwi, 2008).

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 119
Kalium diserap dalam bentuk K+ (terutama pada tanaman muda). Menurut penelitian,
kalium banyak terdapat pada sel-sel muda atau bagian tanaman yang banyak mengandung
protein, inti-inti sel tidak mengandung kalium. Pada sel-sel zat ini terdapat sebagai ion di
dalam cairan sel dan keadaan demikian akan merupakan bagian yang penting dalam
melaksanakan turgor yang disebabkan oleh tekanan osmotis. Selain itu ion kalium
mempunyai fungsi fisiologis yang khusus pada asimilasi zat arang, yang berarti apabila
tanaman sama sekali tidak diberi kalium, maka asimilasi akan terhenti (Sutedjo, 1994).
Natrium memiliki fungsi dalam tanaman, yaitu membantu dalam proses fotosintesis,
pengangkutan hasil asimilasi, enzim, dan mineral termasuk air serat meningkatkan daya
tahan/kekebalan tanaman terhadap penyakit. Natrium fungsinya dalam tanaman sama
dengan unsur kalium maka natrium dapat menggantikan fungsi kalium dalam tanaman
(Sugiyarto dan Kristian, 2003). Lebih lanjut dijelaskan oleh Sutedjo (2004), yang
menyatakan bahwa peran nartium dalam tanaman itu menyangkut dengan transport aktif.
Transpor aktif adalah pengangkutan lintas membran dengan menggunakan energi ATP,
melibatkan pertukaran ion Na+ dan K+ (pompa ion) serta protein kontrasport yang akan
mengangkut ion Na+ bersamaan molekul lain seperti asam amino dan gula. Pompa natrium
kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium keluar melalui
membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam. Klor (Cl)
dibutuhkan sebagai unsur mikro dalam tanaman untuk membantu pertumbuhan tanaman.
Jumlah Daun (Helai)
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan pemberian media
tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata pada variabel pengamatan jumlah daun dari
umur 2 MST sampai pada umur 8 MST. Adapun rata-rata jumlah daun pada tanaman seledri
terlihat pada Gambar 2.
Berdasarkan gambar 2, diperoleh bahwa perlakuan M2 menunjukkan hasil yang
tertinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan yang lainya dari umur 2 MST, 4 MST,
6 MST dan 8 MST. Sedangkan untuk perlakuan yang terendah terdapat pada perlakuan M3
baik pada umur 2 MST sampai pada umur 8 MST. Hal ini disebebakan karena cocopead
dapat menahan kandungan air sehingga sangat coco digunakan sebagai media tanam. Hal ini
sesuai dengan pendapat Anonima (2013) menyatakan bahwa cocopead dapat menahan
kandungan air dan pupuk cair serta dapat menetralkan keasaman tanah. Karena sifat tersebut.
Cocopead sebagai media tanam dapat menyimpan air yang mengandung unsur hara, sifat
cocopead yang senang menampung air dalam pori-pori menguntungkan karena akan
menyimpan pupuk cair sehingga frekuensi pemupukan dapat dikurangi dan di dalam

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


120 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
cocopead juga terkandung unsur hara dari alam yang sangat dibutuhkan oleh tanaman.
Cocopead memiliki daya serap air tinggi, menggemburkan tanah dan pH netral dan
menunjang pertumbuhan akar dengan cepat sehingga baik untuk pembibitan
(Anonimb, 2013).

Jumlah Daun (Helai)


30,00
25,00
20,00
M0
Helai

15,00
M1
10,00
M2
5,00 M3
0,00
2 MST 4 MST 6 MST 8 MST
MST (Minggu Setelah Tanam)

Gambar 2. Rata-Rata Jumlah Daun Pada Tanaman Seledri dengan Perlakuan Pemberian
Berbagai Media Tanam. M0: Kontrol, M1: Media Tanah + Arang Sekam (1:1),
M2: Media Tanah + Cocopeat (1:1) M3: Media Tanah + Serbuk Gergaji (1:1)

Perlakuan media tanah + arang sekam memiliki jumlah daun yang lebih banyak
dibandingkan kontrol. Hal ini disebabkan karena arang sekam memiliki unsur hara makro
dan mikro yaitu N, P, K, Ca, Fe, Mn dan lain-lainya. Arang sekam mengandung N 0,32 % ,
PO 15 % , KO 31 % , Ca 0,95% , dan Fe 180 ppm, Mn 80 ppm , Zn 14,1 ppm dan pH 6,8.
Karakteristik lain dari arang sekam adalah ringan (berat jenis 0,2 kg/l). Sirkulasi udara
tinggi, kapasitas menahan air tinggi, berwarna kehitaman, sehingga dapat mengabsorbsi
sinar matahari dengan efektif (Wuryaningsih, 1996). Arang sekam mempunyai sifat yang
mudah mengikat air, tidak mudah menggumpal, harganya relatif murah, bahannya mudah
didapat, ringan, steril dan mempunyai porositas yang baik (Embarsari et al, 2015).

Panjang Akar
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan pemberian berbagai
media tanam tidak menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan kontrol. Adapun uji lanjut
panjang akar dapat dilihat pada tabel 2.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 121
Tabel 2. Rata-Rata Panjang Akar dengan Perlakuan Berbagai Media Tanam

Perlakuan Rata-Rata Panjang Akar


M0 15,33 ab
M1 18,29 ab
M2 24,81 b
M3 13,25 a
BNJ 0,01 8,85
Keterangan : M0 : Kontrol, M1 : Media Tanah + Arang Sekam (1:1), M2 : Media Tanah +
Cocopeat (1:1) M3 : Media Tanah + Serbuk Gergaji (1 : 1) MST : Minggu
Setelah Tanam, BNJ : Beda Nyata Jujur. Angka-Angka pada kolom yang
berbeda sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata
berdasarkan uji lanjut BNJ 1 %

Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan media tanam tidak menunjukkan hasil yang
berbeda nyata dibandingkan kontrol. Namun perlakuan M2 menunjukkan hasil yang berbeda
nyata dibandingkan dengan perlakuan M3. Hal ini disebabkan karena cocopead mengandung
unsur hara yang dibutuhkan oleh pertumbuhan akar. Menurut Ilham (2013) selain
mengandung unsur kalium, cocopead juga mengandung unsur hara fosfor. Fosfor
dibutuhkan oleh tanaman untuk pembetukan sel pada jaringan akar dan tunas yang sedang
tumbuh (Thompson dan Troeh, 1978). Fosfor merupakan hara makro yang esensial yang
memeran peranan penting dalam proses fotosintesis, asimilasi dan respistasi. Fosfor sangan
berperan dalam pembertukan batang, akar, ranting dan daun (Aleel, 2008).
Penggunaan media tanam serbuk gergaji menunjukkan panjang akar yang lebih
pendek dibandingkan kontrol dan perlakuan yang lainnya. Hal ini sifat serbuk gergaji yang
mudah terkena oleh jamur. Hal ini sesuai dengan pendapat Ernawati (2008) kekurangan
media serbuk gergaji sebagai media tanam yaitu mudah dijangkiti jamur sehingga dapat
mematikan akar tanaman akibat aktivitas jamur yang dapat menghasilkan temperatur yang
tinggi. Perlu pemantauan, karena ketika serbuk gergaji dalam keadaan sangat kering, sifat
granulanya akan muncuk sehingga dapat mengurangi kemampuan dalam menyokong akar
tanaman.
Bobot Panen
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media tanam
tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan kontrol. Adapun uji lanjut bobot
panen dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan perlakuan berbagai media tanam tidak menunjukkan perbedaan
nyata dibandingkan kontrol. Namun, perlakuan M2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata
dibandingkan perlakuan M3. Perlakuan M2 menunjukkan bobot panen tertinggi

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


122 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
dibandingkan kontrol. Hal ini disebabkan karena cocopead mengandung unsur hara yang
sangat dibutuhkan oleh tanaman seledri dan memiliki daya simpan air baik. cocopeat
merupakan bahan organik alternatif yang dapat digunakan sebagai media tanam. Serbuk
tersebut sangat baik digunakan sebagai media tanam karena dapat menyerap air dan
menggemburkan tanah. Kelebihan sabut kelapa sebagai media tanam karena
karakteristiknya yang mampu mengikat dan menyimpan air dengan kuat, sesuai untuk
daerah panas, dan mengandung unsur-unsur hara esensial seperti kalsium (Ca), magnesium
(Mg), kalium (K), natrium (N), dan fosfor (P). Cocopead merupakan bahan yang
mengandung ligno selulosa dan lignin. Bahan ini memiliki porositas yang cukup tinggi
namun bisa diatur kepadatannya hingga mencapai tingkat porositas dengan mengatur rasio
pemberian air (Lubnan, 2013).
Tabel 4. Rata-Rata Bobot Panen Tanaman Seledri dengan Menggunakan Perlakuan Berbagai
Media Tanam.
Perlakuan Bobot Panen
M0 3,75 Ab
M1 4,67 Ab
M2 10,13 b
M3 3,58 a
BNT 0,01 6,03
Keterangan: M0 : Kontrol, M1 : Media Tanah + Arang Sekam (1:1), M2 : Media Tanah +
Cocopeat (1:1) M3 : Media Tanah + Serbuk Gergaji (1 : 1) BNT : Beda Nyata
Terkecil. Angka-Angka pada kolom yang berbeda sama diikuti oleh huruf yang
berbeda menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji lanjut BNT 1 %
Kesimpulan
1. Perlakuan pemberian media tanam memberikan pengaruh terhadap variabel tinggi
tanaman seledri, sedangkan pada perlakuan jumlah daun, panjang akar dan bobot panen
tidak menunjukkan perbedaan nyata.
2. Perlakuan dengan media tanah + cocopead (1:1) (M2) menunjukkan hasil yang terbaik,
pada variabel pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar dan bobot panen.

Daftar Pustaka
Budiyanto R. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Seledri pada Pemberian Beberapa
Kombinasi Pupuk N, P, K dan Vermikompos. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Medan.

Dalimoenthe S.L. 2013. Pengaruh Media Tanam Organik Terhadap Pertumbuhan dan
Perakaran pada Fase Awal Benih Teh di Pembibitan. Jurnal Penelitian Teh dan Kina,
Vol. 16 No.1. Bandung.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 123
Embarsari R.P, Ahmad T, Budy F.T.Q. 2015. Pertumbuhan dan Hasil Seledri (Apium
graveolens L.) pada Sistem Hidroponik Sumbu Dengan Jenis Sumbu dan Media
Tanam Berbeda. Jurnal Agro Vol. 2, No. 2. Bandung.

Ernawati, E. 2008. Pengaruh Media Tanam Kompos, Serbuk Gergaji dan Arang Sekam
Terhadap Pertumbuhan Gelombang Cinta. Skripsi. Universitas Muhammadiyah.
Surakarta.

Fahmi Z.I. 2015. Media Tanam Sebagai Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi
Pertumbuhan Tanaman. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan.
Surabaya.

Hayati Erita, Sabaruddin, Rahmawati. 2012. Pengaruh Jumlah Mata Tunas dan Komposisi
Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Stek Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas
L.). Jurnal Agrista Vol. 16 No. 3. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Lukman L. 2011. Teknologi Budidaya Tanaman Sayuran Secara Vertikultur. Balai


Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung.

Rahayu M, Samanhudi, Widodo A.S. 2008. Pengaruh Macam Media dan Konsentrasi
Fermentasi Ampas Tahu Terhadap pertumbuhan dan Hasil Tanaman Seledri (Apium
graveolens L.) secara Hidroponik. Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi.
Surakarta.

Riyanti Y. 2009. Pengaruh Jenis Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Bibit Sirih Merah
(Piper crocatum Ruiz and Pav.). Skripsi. IPB. Bogor.

Rukmana, R. 2011. Bertanam Seledri. Kanisius. Yogyakarta.

Susila, A.D dan Koerniawati Y. 2004. Pengaruh Volume dan Jenis Media Tanam pada
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada (Lactuca Sativa) Pada Teknologi Hidroponik
Sistem Terapung. Bul. Agron. Vol. 32 No. 3: 16-21.

Syahputra E, Marai R, Said I. 2014. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Konsetrasi
Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada. J. Floratek 9: 39 –
45. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Syahrudin. 2011. Respon Tanaman Seledri (Apium Graveolus L.) Terhadap Pemberian
Beberapa Macam Pupuk Daun Pada Tiga Jenis Tanah. Jurnal AGRI PEAT Vol. 12
Nomor 1. Fakultas Pertanian-Universitas Palangka Raya Kalimantan Tengah.

Wanitaningsih, S.K. 2012. Pemanfaatan Serabut Kelapa dan Sekam Padi sebagai Media
Tanam pada Pembibitan Tanaman Nyamplung Menggunakan Potrays. Jurnal Media
Bina Ilmiah Vol. 6 No. 1.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


124 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Bidang Penelitian Teknologi
Hasil Pertanian

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 125
OPTIMALISASI PENAMBAHAN LEMAK KAKAO DAN MINYAK SAWIT
TERHADAP MUTU TEKSTUR PASTA COKELAT

HERMAN HATTA
Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Gorontalo
Jalan. AA Wahab (eks Jend Sudirman) No 247, Limboto, Kabupaten Gorontalo
Email: hermanhatta88@yahoo.com

ABSTRAK
Pasta cokelat adalah produk semi cair yang memiliki viskositas yang baik dan tidak
mengeras pada suhu ruang. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi terbaik
dalam perbuatan pasta cokelat dengan penambahan lemak kakao dan minyak sawit terhadap
mutu tekstur pasta cokelat terhadap pengaruh sifat fisikokimia. Penelitian ini menggunakan
metode pengujian RAL satu faktorial dengan perbandingan lemak kakao dan minyak sawit
dengan perlakuan A0 lemak kakao 30% dan minyak sawit 0%, A1 lemak kakao 25% dan
minyak sawit 5%, A2 lemak kakao 15% dan minyak sawit 15%, A3 lemak kakao 5% dan
minyak sawit 25%, A4 lemak kakao 0% dan minyak sawit 30% dan data yang diperoleh
diolah dengan menggunakan SPSS 16. Apabila terdapat pengaruh nyata antara perlakukan
maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa berdasarkan hasil analisa pasta cokelat dengan penambahan lemak kakao dan minyak
sawit dengan formulasi terbaik terhadap pasta cokelat untuk asam lemak bebas, viskositas,
tekstur yaitu pada perlakuan A3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji organoleptik dari
segi tingkat penerimaan panelis untuk warna dan rasa yaitu perlakuan A4.
Kata Kunci: Lemak Kakao, Minyak Sawit, Tekstur, Pasta Cokelat.

Pendahuluan
Kakao merupakan salah satu komoditi yang cukup banyak dimanfaatkan pada dunia
industri, salah satunya adalah pemanfaatan lemak kakao. Lemak kakao dapat mengeras pada
suhu kamar yang disebabkan oleh sifat dan kandungan asam lemak yang terdapat pada lemak
kakao yang didominasi oleh asam strearat, sehingga diperlukan formulasi minyak sawit
dalam pembuatan pasta cokelat. Minyak kelapa sawit mempunyai beberapa keunggulan
yaitu mengandung karoten yang diketahui berfungsi sebagai anti kanker dan tokoferol
sebagai sumber vitamin E (Hariyadi, 2010).
Minyak kelapa sawit memiliki komposisi asam lemak yang seimbang antara asam
lemak jenuh dengan asam lemak tak jenuh, yaitu asam palmitat 14- 45%, asam oleat 39-
40%, asam linoleat 10-11% dan asam linolenat 0,3-0,4%. Kandungan asam linoleat dan
asam linolenatnya cukup rendah, sehingga minyak kelapa sawit cukup stabil terhadap
poksidasi (Essentiellea, 2009).
Pemanfaatan minyak kelapa sawit pada pembuatan cokelat telah dilakukan,
berdasarkan penelitian Muchtar dan Diza (2011), bahwa penambahan crude stearin
berpengaruh pada kestabilan dark chocolate yang dihasilkan. Jumlah crude stearin yang
digunakan divariasikan mulai dari 0%, 5%, 10%, 20%, dan 34%, sedangkan bahan-bahan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


126 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
lain (cokelat bubuk, lemak cokelat, gula, lesitin dan garam) diberikan dalam jumlah yang
sama pada produk cokelat yang dihasilkan.
Hasil penelitian Asmawit (2012), tentang substitusi lemak kakao dengan lemak kelapa
sawit dalam pembuatan cokelat batang, yang telah dilakukan dengan variasi konsentrasi
lemak kelapa sawit terhadap total lemak yaitu 0%, 25%, 50% dan 75%. Dari hasil data
penelitian dapat disimpulkan, bahwa perlakukan konsentrasi lemak kelapa sawit terhadap
total lemak sebesar 25%, menghasilkan cokelat batangan dengan titik leleh 360C dan tingkat
kesukaan yang baik.
Pasta cokelat adalah produk makanan berbentuk pasta yang dibuat dari campuran
kakao bubuk, gula, dan lemak kakao dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain
dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (Menurut Standar Nasional Indonesia 01–
4458-1998). Pada industri pasta cokelat yang sering dihadapi permasalahan di Indonesia
karena pasta cokelat sering mengeras pada suhu ruang dan kualitas warna yang belum
sebanding produk impor. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mendapatkan formulasi terbaik dalam pembuatan pasta cokelat sehingga diperlukan
penambahan lemak kakao dan minyak sawit. Minyak sawit mengandung karoten yang
diketahui berfungsi sebagai anti kanker dan tokoferol sebagai sumber vitamin E.

Metode
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemecah buah kakao, fermentor,
alat pengering mekanis, pemecah nibs, pemisah kulit nibs kakao, sangrai (mesin roasting),
pemisah kulit biji (mesin winnowing), pemasta (stone mill), alat pengepresan, conching (ball
mill mini), tempering, oven, cawan porselen, alat sentrifugasi, penjepit, timbangan analitik,
wadah plastik, pisau, erlenmeyer, gelas kimia, sendok, batang pengaduk, tabung reaksi, pipet
mikro, mixer, rak tabung, gelas ukur, labu semprot, peralatan gas, alat pemanas, pendinginan
balik, alat eksraksi soxhlet, pipet ukuran, desikator, termometer digital, viscometer
Bookfield Dv. 1 prime, Texture Pro CT V1.4 Build 17 metode pengujian tekanan
(compression test).
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, kakao yang difermentasi yang
peroleh dari Sulawesi Barat, minyak kelapa sawit yang dioleh dari PT Megasurya Mas
Sidoarjo, lemak kakao (cacao butter), sukrosa sebagai penambah rasa manis, lesitin, air
bersih, kertas saring, kertas label, alkohol netral, indicator PP, larutan NaOH, aquadest,
metanol, alkohol 94%.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 127
Prosedur Kerja
1. Proses Fermentasi
Proses fermentasi biji kakao dilakukan dengan menggunakan fermentor dengan kapasitas
18 kg. Biji kakao difermentasi selama 5 hari untuk mendapatkan hasil fermentasi yang
optimal.
2. Proses Pengeringan Mekanis
Pengeringan biji kakao dilakukan hingga diperoleh kadar air 7%. Pengeringan biji kakao
yang dilakukan secara mekanis dilakukan secara bertingkat, yaitu penjemuran
menurunkan kadar air 2–20%, selanjutnya dilakukan pengeringan hingga kadar air 7%
dalam waktu yang lebih terkontrol, dengan waktu 15–20 jam dengan suhu pengeringan >
600C.
3. Proses penyangraian
Penyangraian dilakukan dengan menggunakan mesin sangrai tipe silinder. Bahan yang
digunakan kakao fermentasi.suhu sangrai yang digunakan adalah 1050C selama 40 menit
dengan waktu pendinginan optimum yang digunakan adalah 10 menit.
4. Proses kakao cair
Setelah jadi nib kakao, maka lanjutkan proses pengilingan (menggunakan alat stone mill)
untuk jadi kakao cair.
5. Proses pembuatan bubuk kakao
Setelah jadi kakao cair maka di lanjutkan dengan pressingan dan pengayakan untuk jadi
bubuk kakao.
6. Proses Penghalusan (Conching)
Proses Conching atau proses penghalusan adonan cokelat hasil refiner pada suhu 70 0C
dengan 8 jam dengan alat conching (ball mill mini).
7. Tempering
Selanjutnya pasta cokelat tersebut dituang kembali kedalam tempering dan selanjutnya
suhu dinaikkan kembali menjadi 30-34°C selama 60 menit untuk melelehkan semua
kristal yang tidak stabil.

Hasil dan Pembahasan


Asam Lemak Bebas
Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit terhadap asam lemak bebas
dengan perbandingan lemak kakao dan minyak sawit pada perlakuan A0 (30% : 0%), A1
(25% : 5%), A2 (15% : 15%), A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


128 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Hasil analisa uji asam lemak bebas pada pasta cokelat, seperti yang terlihat pada
Gambar 1, diperoleh kandungan asam lemak bebas tertinggi dengan perlakuan A2 (lemak
kakao 15% : minyak sawit 15%) sebesar 0,93%, hal ini diduga karena peningkatan asam
lemak bebas (FFA) terjadi selama pengolahan dan tranportasi umumnya disebabkan oleh
adanya proses autokatalitik (Chairunisa, 2013). Asam lemak bebas adalah asam lemak yang
terpisahkan dari trigliserida, digliserida, monogliserida, dan gliserin bebas. Hal ini dapat
disebabkan oleh pemanasan dan terdapatnya air sehingga terjadi proses hidrolisis. Asam
lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam bebas tidak terikat sebagai
trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses hidrolisis dan oksidasi biasanya
bergabung dengan lemak netral (Mastegar, 2010).
Asam Lemak Bebas (%)

2,00
1,75
1,50 0,93
1,25 0,74 0,67
1,00 0,45 0,42
0,75
0,50
0,25
0,00
A0 (30% : A1 (25% : A2 (15% : A3 (5% : A4 (0% :
0%) 5%) 15%) 25%) 30%)
Perbandingan (Lemak Kakao : Minyak Sawit)

Gambar 1. Hasil analisa uji asam lemak bebas pada pasta cokelat
Viskositas/Kekentalan (cP)

10000000
7500000
8000000
6000000
4000000
1052667
2000000 169667 113000 60555
0
A0 (30% : A1 (25% : A2 (15% : A3 (5% : A4 (0% :
0%) 5%) 15%) 25%) 30%)
Perbandingan (Lemak Kakao : Minyak Sawit)

Gambar 2. Viskositas Pasta Cokelat


Hasil analisa sidik ragam asam lemak bebas pada pasta cokelat menunjukkan
berpengaruh sangat nyata, hasil uji lanjut duncan menunjukkan pada perlakuan A1 dan A0
berpengaruh sangat nyata terhadap perlakuan A2 pada pasta cokelat, hal ini ditunjukkan
dengan nilai sig (p< 0,00), hal ini sebabkan pula dipengaruhi reaksi Maillard yang terjadi
selama proses pengolahan. Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan tidak

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 129
jenuh. Asam lemak jenuh memiliki titik cair lebih tinggi daripada asam lemak tak jenuh dan
merupakan dasar dalam menentukan sifat fisik lemak dan minyak (Mandey, 2012).

Viskositas/Kekentalan
Gaya gesek antara permukaan spindle dengan cairan akan menentukan tingkat
viskositas cair (Anggraeni, 2010). Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit
terhadap viskositas dengan perbandingan lemak kakao dan minyak sawit pada perlakuan A0
(30% : 0%), A1 (25% : 5%), A2 (15% : 15%), A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%).
Hasil analisa viskositas pasta cokelat seperti yang terlihat pada Gambar 2, diperoleh
viskositas/kekentalan tertinggi pada perlakuan A0 (lemak kakao 30% : minyak sawit 0%)
dibandingkan dengan perlakuan A4 (lemak kakao 0% dan minyak sawit 30%), hal ini
disebabkan minyak merupakan gliserida yang terdiri dari berbagai asam lemak sedangkan
titik cair gliserida tersebut tergantung pada kejenuhan asam, semakin jenuh asam lemaknya
semakin tinggi titik cair dari minyak sawit tersebut. Minyak sawit murni mempunyai titik
cair 24,4-40 0C dibandingkan dengan lemak kakao dengan komposisi yaitu asam lemak
jenuh stearat (33,2%), palmitat (25,4%) dan asam lemak tak jenuh oleat (32,6%) sehingga
karakteristik lemak kakao mempunyai kekerasan pada suhu kamar dan memiliki kisaran titik
leleh sekitar 32-350C (Wahyudi dkk, 2008).
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa viskositas/kekentalan pasta cokelat
berpengaruh sangat nyata terhadap penambahan minyak sawit, berdasarkan hasil uji lanjut
duncan yang menunjukkan pada perlakuan A4, A3, A2 dan A1 yaitu sangat berpengaruh
nyata terhadap perlakuan A0 pada pasta cokelat, hal ini ditunjukkan dengan nilai sig (p<
0,00) minyak sawit sangat mempengaruhi tingkat viskositas dari cokelat pasta, di pengaruhi
peningkatan viskositas pada minyak diakbatkan oleh adanya reaksi polimerisasi berlangsung
selama pemanasan. Reaksi polimerisasi disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi dan
pemanasan yang lama (Nuwiah, 2010).

Analisa Tekstur
Tekstur termasuk dalam salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan konsumen
terhadap produk pangan. Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit pada
perlakuan A0 (30% : 0%), A1 (25% : 5%), A2 (15% : 15%), A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


130 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Tingkat Kekerasan (g force)
3000
2500
2000 1285
1500 750
1000
133 13 14
500
0
A0 (30% A1 (25% : A2 (15% : A3 (5% : A4 (0% :30)
:0%) 5%) 15%) 25%)
Perbandingan (Lemak Kakao : Minyak Sawit)

Gambar 3. Tingkat kekerasan pada pasta cokelat


Hasil pengujian analisa tekstur dalam tingkat kekerasan pada pasta cokelat, seperti
yang terlihat pada Gambar 3, menunjukkan bahwa tingkat kekerasan pada pasta cokelat yang
tertinggi pada perlakuan A0 (lemak kakao 30% : minyak sawit 0%) sedangkan pasta cokelat
yang terendah pada perlakuan A0 (lemak kakao 30% : minyak sawit 0%), hal ini karena
lemak kakao terikat pada gugus gliserol dengan susunan seperti berikut palmitat oleat stearat
(POS) 36-42%, stearat oleat stearat (SOS) 23-29%, palmitat oleat palmitat (POP) 13-19%
dan penambahan susu bubuk akan berpengaruh pada tekstur cokelat serta dapat mencegah
kemungkinan menggumpal saat dikonsumsi, menimbulkan kesan bahan suatu bahan dapat
menimbulkan tekstur lembut atau agak keras (Kartika, 1998).
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa viskositas/kekentalan pasta cokelat
berpengaruh sangat nyata terhadap penambahan minyak sawit, berdasarkan hasil uji lanjut
duncan yang menunjukkan pada perlakuan A4, A3, A2 dan A1 yaitu sangat berpengaruh
nyata terhadap perlakuan A0 pada pasta cokelat, hal ini ditunjukkan dengan nilai sig (p<
0,00) minyak sawit sangat mempengaruhi tingkat viskositas dari cokelat pasta, tingkat
kekerasan mengacu kepada panjang atom (panjang rantai hidrokarbon) dan derajat
kejenuhan asam lemak (ikatan rangkap hidrokarbon) sebagai komponen penyusunnya.
Semakin panjang rantai hidrokarbon utama pada suatu asam lemak maka sifat fisik lemak
semakin keras (Yusianto, 2015).
Semakin panjang rantai hidrokarbon utama pada suatu asam lemak, maka sifat lemak
akan semakin keras (Poedjiadi, 2012). Dimana daya reaksi untuk mengikat ditentukan oleh
posisi ikatan rangkapnya. Posisi ikatan rangkap yang semakin dekat dengan ujung maka
ikatan rangkapnya semakin mudah bereaksi (Wahyudi dkk, 2015).
Tekstur merupakan faktor mutu yang terlihat nyata dan biasanya dapat diukur serta
diawasi dengan mudah karena pada umumnya seluruh permukaan bahan kelihatan dari luar.
Menurut Mandey (2012). Tingkat kekerasan mengacu kepada panjang atom (panjang rantai

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 131
hidrokarbon) dan derajat kejenuhan asam lemak (ikatan rangkap hidrokarbon) sebagai
komponen penyusunnya. Semakin panjang rantai hidrokarbon utama pada suatu asam lemak
maka sifat fisik lemak semakin keras (Yusianto, 2015). Dalam pembuatan cokelat, segi
kekentalan (viskositas) merupakan salah satu faktor (Enquiry, 2014). Penambahan susu
bubuk juga akan berpengaruh pada tekstur cokelat dan dapat mencegah kemungkinan
menggumpal saat dikonsumsi (Faidah dkk, 2008).
Lebih lanjut Warsita (2012), menyatakan bahwa lemak kakao memiliki sifat khusus,
yaitu volume saat pendinginan sehingga padatan lemak yang dihasilkan menjadi lebih
kompak. Selain itu dengan adanya penambahan gula dengan sifat higroskopis yang tinggi
menjadikan tekstur dari lemak kakao menjadi semakin kompak. Hal ini juga dipengaruhi
oleh penambahan lecitin yang memiliki sifat sebagai pengemulsi yang baik (Budi, dkk,
2012).

Uji Organoleptik
Uji organoleptik pada produk pasta cokelat ini, menggunakan uji hedonik untuk
menentukan tingkat kesukaan panelis dari segi warna dan rasa. Uji organoleptik pasta
cokelat ini menggunakan 5 hedonik yaitu 5 sangat suka, 4 suka, 3 agak suka, 2 tidak suka
dan 1 amat tidak suka. Dengan 30 Panelis.

Warna
Warna adalah salah satu penentuan kualitas pada produk dan menjadi salah satu sifat
organoleptik yang terdapat pada produk pangan. Warna yang dihasilkan pada cokelat pasta
yaitu dihasilkan warna yang hitam/gelap dan mengkilap. Pengaruh penambahan lemak
kakao dan minyak sawit pada perlakuan A0 (30% : 0%), A1 (25% : 5%), A2 (15% : 15%),
A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%).
Organoleptik Warna (Skala 1-5)

5,00 3,74 3,86


3,61 3,75 3,73
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
A0 (30% A1 (25% : A2 (15% : A3 (5% : A4 (0% :30)
:0%) 5%) 15%) 25%)
Perbandingan (Lemak Kakao : Minyak Sawit)

Gambar 4. Hasil uji organoleptik warna pasta cokelat

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


132 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Hasil pengamatan uji organoleptik pada Gambar 4, diperoleh pada tingkat kesukaan
warna pasta cokelat yang paling disuka pada perlakuan A4 (lemak kakao 0% : minyak sawit
30%) dengan tingkat kesukaan sebesar 3,86 dibandingkan dengan perlakuan A0 (lemak
kakao 30% : minyak sawit 0%) dengan tingkat kesukaan sebesar 3,61. Hal ini disebabkan
karena warna minyak kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kandungan karoten. Karoten
dikenal sebagai sumber vitamin A (Giraido dkk, 2010).
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat kesukaan warna pada pasta
cokelat berpengaruh nyata terhadap penambahan minyak sawit, berdasarkan hasil uji lanjut
duncan yang menunjukkan pada perlakuan A0 dan A2 yaitu berpengaruh nyata terhadap
perlakuan A4, hal ini disebabkan terjadi perubahan warna akibat reaksi Maillard antara gula
pereduksi dengan asam amino dan hasil akhirnya adalah melanoidin (Setyaningsih, 2010).

Rasa
Salah satu bahan yang mempengaruhi rasa pada produk cokelat pasta adalah gula. Rasa
manis adalah sifat rasa yang mempengaruhi cita rasa keseluruhan cokelat (Wahyudi, 2008).
Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit dengan perlakuan A0 lemak kakao
30% dan minyak sawit 0%, A1 (lemak kakao 25% dan minyak sawit 5%), A2 (lemak kakao
15% dan minyak sawit 15%), A3 (lemak kakao 5% dan minyak sawit 25%), A4 (lemak
kakao 0% dan minyak sawit 30%).

Gambar 5. Hasil uji organoleptik rasa pasta cokelat


Hasil pengamatan uji organoleptik rasa pasta cokelat yang terlihat pada Gambar 5,
menunjukkan bahwa tingkat kesukaan rasa pasta cokelat yaitu menunjukkan bahwa tingkat
kesukaan tekstur pasta cokelat yang tertinggi dengan perlakuan A4 dengan (lemak kakao 0%

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 133
dan minyak sawit 30%) dengan tingkat kesukaan adalah 3,60 dibandingkan dengan
perlakuan A0 (lemak kakao 30% dan minyak sawit 0%) dengan tingkat kesukaan adalah
3,08, hal ini karena penambahan lemak kakao yang terlalu banyak menyebabkan timbulnya
rasa pahit. Hal ini diduga cita rasa dan warna khas pada kakao dipengaruhi oleh kandungan
yang terdapat pada biji kakao (Pangkalan, 2008).
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat kesukaan tekstur pada pasta
cokelat tidak pengaruh nyata terhadap penambahan minyak sawit, berdasarkan hasil uji
lanjut duncan yang menunjukkan pada perlakuan A0 yaitu berpengaruh nyata terhadap
perlakuan A4 pada pasta cokelat, hal ini diduga cita rasa pada kakao dipengaruhi oleh
kandungan yang terdapat pada biji kakao. Lebih lanjut Misnawi dkk (2006), menyatakan
bahwa pembentukan warna cokelat dan warna gelap lainnya dalam produk cokelat pada
dasarnya dipicu oleh oksidasi senyawa flavonoid.

Kesimpulan
1. Penambahan lemak kakao dan minyak sawit dalam pembuatan pasta cokelat sangat
berpengaruh terhadap asam lemak bebas, viskositas, tekstur.
2. Sifat fisikokimia pasta cokelat dengan penambahan lemak kakao dan minyak sawit
menghasilkan produk pasta cokelat semakin banyak penambahan minyak sawit, maka
produk yang dihasilkan semakin cair dan sebaliknya.
3. Penambahan minyak sawit menghasilkan mutu produk pasta cokelat secara umum lebih
disukai oleh panelis, dengan perlakuan A4 dengan perbandingan lemak kakao 0% dan
minyak sawit 30%, hal ini lebih disukai karena tekstur pasta yang dihasilkan lebih baik.

Daftar Pustaka
Budi, Akra., Salengke dan Supratomo. 2012. Pengaruh Penambahan Lesitin dan Suhu
Counching Terhadap Sifat Reologi Pasta Kakao (Theobromin cocoa L). J. Agritech,
Vol. 5(1).

Anggraeni,G. (2010,0702).Viskositas. Retrieved oktober 25, 2013, from Wordpress:


http://ginaangraeni10. wordpress.com/about.

Asmawit. 2012. Penelitian Substitusi Lemak Kakao Dengan Lemak Kelapa Sawit Dalam
Pembuatan Cokelat Batang. Baristand Industri Pontianak, Jl. Budi Utomo no. 41
Pontianak 78243 . Biopropal Industry, Vol. 3(1).

Chairunisa. 2013. Uji kualitas minyak goreng pada pedagang gorengan di sekitar kampus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan. Program
Studi Farmasi, Jakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


134 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Enquiry. 2014. Texture Analyzer. http://www.bestech.com.au/texture-analyzers/. 19
September 2014.

Essentiellea, H. 2009. Komposisi minyak kelapa sawit. http://lemak minyak. blogspot. Com
/2009/08/palm - stearin. html, Teknologi Minyak dan lemak. Diakses tanggal 15
Oktober 2011.

Faridah, A., Kasmita, S.P.,Yulastri, A,. Yusuf, L. 2008. Patiseri, Jilid 3. Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.

Giraido, L. Camargo, G., Tirano J., Pirajan, M. J. C. 2010. Synthesis of Alcohols from Oil
Palm Using a Catalyst of Ni-Cu Supported onto Zeolite. E-Journal of Chemisty
7(1138-1147).

Hariyadi. 2010. Sepuluh Karakter Unggul Minyak Sawit. Artikel: Infosawit.

Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1998. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan, Edisi
I. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Yogyakarta.

Mandey, L. C. 2012. Teknologi Pengolahan Minyak. Universitas Sam Ratulangi. Manado.

Mastegar. 2010. Asam Lemak bebas, (http//:wordpresscom/2010/02/25). Diakses tanggal 15


Oktober 2011.

Misnawi. 2006. Peranan Pengolahan terhadap pembentukan citarasa cokelat. Warta Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 21,136 - 144.

Muchter, H. dan Diza, Yulia Helmi. 2011. Pengaruh Penambahan Crude Stearin Minyak
Kepala Sawit Terhadap Kestabilan Dark Chocolate. Jurnal Litbang Industri, Vol. l (1):
1-7.

Nuwiah, Asrin. 2010. Uji Senyawa Aroma Khas Cokelat Hasil Roasting Asam Amino
Hidrofobik dan Fruktosa dalam Lemak Kakao. J. Agriplus. Vol. 20 (1).

Pangkalan, I. 2008. Dark Chocolate Healing. PT Elex Media Komputindo Kelompok


Gramedia. Jakarta.

Poedjiadi, A. 2012. Dasar Dasar Biokimia. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Jakarta.

Setyaningsih. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor.

Standar Nasional Indonesia. Pasta Cokelat. SNI 01–4458-1998 Badan Standardisasi


Nasional.

Wahyudi, T., T.R. Panggabean dan Pujiyanto. 2008. Panduan Kakao Lengkap, Manajemen
Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.

Warsito. 2012. Desain dan Analisis Pengukuran Viskositas dengan Metode Bola Jatuh
Berbasis Sensor Optocoupler dan dan Sistem Akuisisinya pada Komputer.
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 135
http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JN/article/viewFile/839/832. Diakses pada tanggal
21 April 2014 Pukul 12:20 WIB.

Yusianto dan Hendy Firmanto. 2015. Panen dan Pasca Panen dalam Kakao Sejarah, Botani,
Proses Produksi, Pengolahan, dan Perdagangan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


136 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
KARAKTERISTIK MUTU YOGHURT JAGUNG MANIS (Zea mayz L. saccharata)
DENGAN VARIASI KONSENTRASI STARTER YANG BERBEDA

SATRIA WATI PADE1*, NURHAFNITA2


1,2
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Politeknik Gorontalo
*Email: lindapade@gmail.com

ABSTRAK

Jagung termasuk bahan pangan penting. Sebagai salah satu sumber bahan pangan, jagung
menjadi komoditas utama setelah beras. Pada tahun 2015 di provinsi Gorontalo, produk
jagung cukup melimpah tercatat 643.513 ton namun hasil produknya belum dimanfaatkan
secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah dari jagung adalah mengolahnya
menjadi minuman prebiotik yaitu berupa yoghurt. Untuk menghasilkan produk yoghurt
berkualitas baik, diperlukan perbandingan komposisi bahan penyusunnya dengan tepat
antara lain jumlah starter yang akan digunakan dalam pembuatan yoghurt. Penelitian ini
menggunakan metode rancangan acak lengkap yang terdiri atas empat perlakuan yaitu A1
(starter 1%), A2 (Starter 2%), A3 (Starter 3%) dan A4 (Starter 4%), masing-masing
perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Variabel yang diamati meliputi: organoleptik, pH, total
asam laktat, kadar lemak dan kadar protein. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesukaan
untuk formulasi terbaik adalah perlakuan A4 dengan nilai rasa (3,8), aroma (3,2), warna
(4,05) kekentalan (4,05), kadar pH keempat perlakuan berkisar antara 3,87-4,03, kadar total
asam laktat tertinggi adalah A4 sebesar 1,32%, kadar lemak tertinggi adalah A1 sebesar
4,75% dan kadar protein tertinggi adalah A4 sebesar 11,11%.
Kata Kunci: Jagung, Yoghurt, Starter

Pendahuluan
Jagung termasuk bahan pangan penting. Sebagai salah satu sumber bahan pangan,
jagung telah menjadi komoditas utama setelah beras, bahkan di beberapa daerah di
Indonesia, jagung dijadikan bahan pangan pengganti beras. Selain sebagai bahan pangan,
jagung juga dikenal sebagai salah satu bahan pakan ternak dan industri. Salah satu jenis
jagung yang ada di Gorontalo adalah jagung manis yang popular dikalangan masyarakat
karena rasanya yang lebih manis dibanding jenis jagung lainnya.
Menurut BPS (2015) Pada tahun 2015 di provinsi Gorontalo , produk jagung cukup
melimpah tercatat 643.513 ton jagung namun hasil produknya belum dimanfaatkan secara
optimal. Selama ini jagung hanya diolah menjadi makanan tradisional dan makanan ternak,
salah satu untuk meningkatkan nilkai tambah dari jagung adalah mengolahnya menjadi
minuman prebiotik yaitu dalam bentuk bahan olahan yaitu berupa yoghurt.
Produk yoghurt susu jagung ini merupakan variasi dari produk yoghurt yang telah ada.
Yoghurt susu jagung dibuat dengan bahan baku nabati yaitu susu jagung dan dicampur
dengan susu skim sebagai sumber protein serta bakteri asam laktat. Pembuatan produk

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 137
tersebut merupakan usaha dalam rangka diversifikasi pangan fungsional gara dapat dicerna
oleh masyarakat sebagai pangan dengan nilai gizi yang baik karena kandungan nilai gizi
jagung seperti kandungan vitamin sangat dibutuhkan tubuh. Selain itu penggunakan susu
jagung ini dapat meningkatkan nilai ekonomis yoghurt.
Untuk menghasilkan produk yoghurt dengan kualitas yang baik diperlukan
perbandingan komposisi bahan penyusunnya dengan tepat antara lain jumlah starter yang
akan digunakan dalam pembuatan yoghurt.
Berdasarkan hal tersebut, maka dipandang perlu melakukan penelitian tentang
karakteristik mutu yoghurt jagung manis dengan variasi konsentrasi starter yang berbeda.

Metode
Alat : Blender, pisau, sendok pengaduk, kain saring, panci, baskom dan alat-alat untuk
analisa.
Bahan : Jagung manis, air, susu skim, yoghurt plain dan bahan-bahan untuk analisis.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat
perlakuan konsentrasi starter yaitu:
A: 1%
B: 2%
C: 3%
D: 4 %
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali

Prosedur Kerja
a. Pembuatan susu jagung
1. dipilih jagung dengan kondisi yang baik, bebas dari jamur
2. jagung dibersihkan dan dicuci dengan air
3. Jagung dikukus selama 1jam
4. Jagung yang sudah masak, dipipil atau digerus dengan pisau.
5. Biji jagung diblender dan ditambahkan air dengan perbandingan 1:3.
6. Bubur jagung disaring untu memisahkan antara sari jagung dan ampas.
7. Sari jagung direbus sampai mendidih.

b. Pembuatan yoghurt susu jagung (Samsumaharto dan Puspawati, 2008 yang dimodifikasi)
1. Susu jagung sebanyak 1500 ml ditambah gula pasir 150 g dan susu skim 3,75 gr.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


138 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
2. Susu dipanaskan pada suhu diatas 85°C selama 15 menit sambil diaduk, kemudian
didinginkan hingga suhu mencapai 43 sampai 45°C
3. susu kemudian diinokulasi dengan starter (biakan lactobacillus bulgaricus dan
streptococcus thermophillus) yaitu plain yoghurt dan diaduk sampai homogen.
4. Susu jagung yang telah diinokulasi dengan variasi starter sebanyak 1%, 2%, 3% dan
4% dimsukkan kedalam cup kemudian ditutup rapat dan selanjutnya diinkubasi pada
suhu 37°C hingga kadar keasaman yoghurt mencapai pH4-5.
5. Yoghurt yang telah mencapai pH 4-5 dianalisis dan selanjutnya didinginkan pada suhu
5°C dan selanjutnya dikemas dalam botol yang telah disterilisasi terlebih dahulu.

Hasil dan Pembahasan


a. Rasa
3,8
4
3,4
3,05 3,05
3
Rasa

0
A B C D
Perlakuan

Gambar 1. Diagram Tingkat kesukaan Terhadap Rasa Yoghurt Jagung

Gambar 1 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap parameter rasa


pada yoghurt jagung menunjukkan nilai rata-rata berkisar antara 3,05 – 3,8 atau dalam taraf
sangat suka sampai biasa/netral. Yoghurt jagung pada perlakuan A1 dan A2 menghasilkan
rasa yang tidak disukai (3,05) oleh panelis, sedangkan perlakuan A3 dan A4 menghasilkan
rasa yang biasa/netral atau agak disukai (3,4 – 3,8) oleh panelis.
Dari empat perlakuan yang dilakukan, panelis lebih menyukai rasa perlakuan A4 (3,8).
Hal ini karena perlakuan A4 memiliki rasa asam yang lebih kuat jika dibandingkan dengan
ketiga perlakuan lainnya karena adanya penambahan starter sebanyak 4%. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin banyak starter yang digunakan maka kadar asam semakin
meningkat, hal ini disebabkan karena adanya aktivitas Lactobacillus bulgaricus dan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 139
Streptococcus thermophillus sebagai bakteri asam laktat yang mampu mengubah laktosa
dalam susu menjadi asam laktat.

b. Aroma

4
3,15 3,1 3,2
2,95
3

2
Aroma

0
A B C D
Perlakuan

Gambar 2. Diagram Tingkat kesukaan Terhadap Aroma Yoghurt Jagung

Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap yoghurt jagung


menunjukkan nilai yang berkisar antara 2,95 – 3,2 atau dalam taraf biasa/netral atau dalam
kategori agak suka. Yoghurt jagung pada semua perlakuan secara keseluruhan menghasilkan
aroma yang biasa/agak netral oleh panelis. Hasil uji hedonic diantara ke empat perlakuan
yang paling disukai oleh panelis yaitu perlakuan A4 (3,2).
Perbedaan perlakuan yang diberikan tidak menghasilkan perbedaan yang nyata
terhadap aroma yoghurt jagung. Semua perlakuan yang diberikan menghasilkan aroma yang
sama.
Parameter aroma sangat terkait dengan parameter rasa, karena yoghurt sendiri secara
umum memiliki rasa aroma yang khas seperti aroma asam. Aroma ini timbul karena selama
proses fermentasi terjadi perubahan laktosa susu menjadi asam laktat oleh bakteri asam
laktat. Asam laktat inilah yang menyebabkan yoghurt memiliki aroma khas asam. Aroma
yang lebih asam ini dikarenakan produksi asam laktat selama proses fermentasi (Alakali et
al, 2008).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


140 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
c. Warna

5
4,05 3,95 4,05 3,9
4

Warna
2

0
A B C D
Perlakuan

Gambar 3. Diagram Tingkat kesukaan Terhadap Warna Yoghurt Jagung

Gambar 3 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap warna pada


yoghurt jagung menunjukkan nilai yang berkisar antara 3.9-4.05 atau dalam taraf biasa/netral
atau agak suka. Hasil uji organoleptik terhadap warna yoghurt menujukkan bahwa panelis
menyukai warna yoghurt jagung. Hal ini dikarenakan pada yoghurt jagung terdapat warna
kuning. Warna kuning jagung disebakan karena adanya kandungan karotenoid dalam
jagung. Karotenodi adalah suatu kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange taua
merah orange, mempunyai sifat larut dalam lemak atau pelarut organic tetapi tidak larut
dalam air (Suarni dan Widowati, 2010).

d. Tekstur

5
4,05
3,7 3,65 3,7
4

3
Tekstur

0
A B C D
Perlakuan

Gambar 4. Diagram Tingkat kesukaan Terhadap Tekstur Yoghurt Jagung

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 141
Gambar 4 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap parameter tekstur
pada yoghurt jagung menunjukkan nilai yang berkisar antara 3.65 – 4.05 atau dalam taraf
biasa/netral sampai suka. Yoghurt jagung pada perlakuan A2, A3 dan A4 menghasilkan
tekstur yamg biasa/netral (3,65-3,7) oleh panelis, sedangkan perlakuan A1 menghasilkan
tekstur yang disukai 94,05) oleh panelis. Tekstur pada yoghurt dipengaruhi oleh
penggumpalan yang terjadi. Menurut Buckle et al (1985), penggumpalan atau pengentalan
merupakan salah satu sifat susu yang paling khas. Penggumpalan dapat disebabkan oleh
kegiatan enzim atau penambahan enzim.

e. Kadar pH

5
3,91 3,99 4,03
3,87
4

3
pH

0
A B C D
Perlakuan
Gambar 5. Diagram Kadar pH Yoghurt Jagung

Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar pH yoghurt jagung berada pada
kisaran 3,91- 4,03. Perbedaan perlakuan pada yoghurt jagung tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap kadar pH yang diperoleh. Hal ini diduga karena perbedaan jumlah
starter yang menyebabkan terbentuknya rasa asam yang berarti juga menurunnya pH antar
perlakuan jumlahnya sangat kecil sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan pH
antarperlakuan. Menurut Rahma et al, (1992), Terjadinya koagulasi susu selama inkubasi
disebabkan oleh menurunnya pH akibat aktivitas starter yang ditambahkan.
Penurunan pH tidak terjadi hanya karena asam yang dihasilkan oleh asam laktat tetapi
juga karena pemebntukan asam lemak rantai pendek dalam bentuk asam asetat, propionate,
butirat, dan karbondio0ksida serta hydrogen lainnya selama fermentasi berlangsung yang
akan menyebabkan pH yoghurt menjadi rendah (Yusmarini dan Efendi, 2004).
Menurut Ace dan Supangkat (2006) pH yoghurt pada umumnya berkisar antara 3,8-
4,4. Berdasarkan hasil yang didapat bahwa pH yoghurt jagung berkisar antara 3,87-4,03
maka dapat dikatakan bahwa pH produk berada dalam kisaran yang cukup baik.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


142 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
f. Total Asam Laktat

1,6
1,32

Total Asam Laktat (%)


1,4
1,2
0,99
0,9
1 0,81
0,8
0,6
0,4
0,2
0
A B C D
Perlakuan

Gambar 6. Diagram Total Asam Laktat Yoghurt Jagung

Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata total asam laktat yoghurt jagung yaitu
0,81-1,32%. Berdasarkan hasil analisis, perlakuan pada yoghurt jagung berpengaruh nyata
terhadap kadar asam laktat yoghurt jagung. Perlakuan A4 (4%) berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Perlakuan A4 memiliki kadar total asam laktat sebesar 1,32% dan lebih
tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena dengan semakin
meningkatnya konsentrasi starter maka diduga semakin tinggi pula jumlah mikroba yang
dapat merombak laktosa menjadi asam laktat. Hal ini senada dengan pendapat Kusmajadi et
al (1988) Perbedaan keasaman yoghurt disebabkan oleh jenis starter karena setiap starter
mempunyai karakteristik sendiri dalam memecah laktosa susu. Peningkatan konsetrasi
starter akan diikuti pula dengan peningkatan kadar asam, karena peningkatan konsentrasi
starter berarti peningkatan jumlah mikroba pada media. Peningkatan ini akan diikuti dengan
peningkatan aktifitas serta perkembangan mikrobia dan kemudian terjadi peningkatan
perombakan laktosa menjadi asam laktat yang dicerminkan dengan kadar asam yoghurt.
Kombinasi bakteri yoghurt akan menghasilkan asam laktat lebih cepat dibandingkan
kultur tunggal (Walstra et al., 1999). Keasaman titrasi susu meningkat dengan meningkatnya
jumlah mikroorganisme yang mengubah sebagian laktosa menjadi asam laktat oleh bakteri
pembentuk asam (Adnan, 1984).
Menurut SNI 01-2981-1992, kisaran nilai total asam laktat produk yoghurt adalah 0,5-
2,0%. Hasil analisis yoghurt jagung adalah 0,81-1,32%, maka berdasarkan acuan tersebut
dapat dikatakan bahwa total asam laktat yoghurt jagung berada dalam kisaran yang cukup
baik.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 143
g. Kadar Lemak

5 4,75

Kadar Lemak
2,87
3 2,56

(%)
2,21
2

0
A B C D
Perlakuan
Gambar 7. Diagram Kadar Lemak Yoghurt Jagung

Gambar 7 menunjukkan bahwa kadar lemak yoghurt jagung berada pada kisaran 2,21-
4,75%. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan pada yoghurt jagung tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Dianita (2005) mengatakan bahwa kadar lemak yoghurt menggunakan starter
Lactobacillus bulgaricus berbeda dengan kadar lemak yoghurt yang menggunakan Starter
streptococcus thermophillus karena Streptococcus thermophillus bersifat lebih dominan
dalam menghasilkan asam laktat saat proses fermentasi, sedangkan enzim lipase yang
dihasilkan oleh Lactobacillus bulgaricus juga lebih banyak terhidrolisis oleh starter
Lactobacillus bulgaricus daripada Streptococcus thermophillus. Enzim lipase terbentuk oleh
bakteri asam laktat sehingga lemak yang dihidrolisis akan bertambah banyak dan
mengakibatkan penurunan pada kadar lemak yoghurt jagung (Hastorini, 2002).
Menurut SNI 01-2981-1992, kadar lemak yoghurt adalah maks 3,8%. Hasil analisis
kadar lemak yoghurt jagung berkisar antara 2,21-4,75%, maka berdasarkan acuan tersebut
dapat dikatakan bahwa kadar lemak produk berada dalam kisaran yang cukup baik dan
memenuhi standar SNI.

h. Kadar Protein
Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar protein yoghurt berkisar antara
4,96-11%. Berdasarkan hasil analisis, perbedaan perlakuan pada yoghurt jagung tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang diperoleh, hal ini dikarenakan jumlah starter
bakteri Lactobacillus bulgaricus dan streptococcus thermophillus yang ditambahkan pada
setiap perlakuan memiliki selisih yang sangat kecil sehingga tidak menunjukkan pengaruh
yang besar terhadap kadar protein yang dihasilkan pada setiap perlakuan.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


144 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
12 11,11
9,38
10

8 6,84

Kadar Protein
6 4,96

(%)
4

0
A B C D
Perlakuan

Gambar 8. Diagram Kadar Protein Yoghurt Jagung Manis

Menurut Shodiq dan Zainal (2008), semakin banyak bakteri yang digunakan dalam
pembuatan yoghurt, semakin tinggi kandungan proteinnya karena sebagian besar komponen
penyusunnya mikroba adalah protein. Hal ini sejalan dengan pendapat Herastuti et al (1994)
dalam Yusmarini dan Efendi (2004) yang menyatakan bahwa protein yang terdapat pada
yoghurt merupakan jumlah total dari protein bahan yang digunakan dan protein bakteri asam
laktat yang terdapat didalamnya.
Menurut SNI 01-2981-1992, kadar protein yoghurt jagung minimal 3,5%. Hasil
analisis kadar protein yang terdapat pada yoghurt jagung adalah berkisar antara 4,96-11%,
maka dapat dikatakan bahwa kadar protein yoghurt jagung berada dalam kisaran yang baik
dan sesuai dengan standar SNI.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Tingkat kesukaan yang dihasilkan dari empat perlakuan yoghurt jagung secara
keseluruhan berada pada skala 3 -4,05 atau dalam taraf tidak suka sampai suka dan
yoghurt jagung yang disukai oleh panelis yaitu perlakuan A4 (starter 4%).
2. Perlakuan A4 (starter 4%) memiliki kandungan pH sebesar 4,03, total asam laktat 1,32%,
kadar lemak 2,87%, kadar protein 11,11%. Semua perlakuan yoghurt jagung berada pada
kisaran yang cukup baik dan memenuhi standar mutu SNI 01-2981-1992.

Daftar Pustaka
Ace, I. S. dan S. Supangkat. Pengaruh Konsentrasi Starter Terhadap Karakteristik Yoghurt.
Jurnal Penyuluhan Pertanian. 1(1) : 28-33.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 145
Adnan, M., 1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi offset. Yogyakarta.

Alakali. J. S., Okankwo, T. M dan Lordye, E.M. 2008. Effect of Stabilizer On The Physic
Chemical And Sensory Attributes Of Thermized Yoghgurt. African Journal Of
Biotechnology. 7(2):152-163.

Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Jagung Tahun 2015.


https://gorontalo.bps.go.id/preerelease/2016/07/01/342/produksi-jagung-tahun-2015-
sebanyak-643-513-ton-pipilan- kering.html . Diakses 12 November 2017.

Buckle, K. A., G. N. Edwards., Fleet dan Wooton. 1987. Food Science. Terjemahan
Purnomo. UI Press. Jakarta.

Dianita, T. 2005. Pengaruh Variasi Jenis Starter Dengan Konsentrasi Berbeda Terhadap
Kualitas Yoghurt. Jurusan Biologi. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Herastuti, S.R., R.S. Sujiman, dan N. Ningsih. 1994. Pembuatan Pati Gude (Cajanus cajan
L.) dan Pemanfaatan Hasil Sampingnya dalam Pembuatan Yoghurt dan Tahu. Laporan
Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian UNSOED. Purwekerto.

Kusmajadi, Suradi, Dedeh, D., Udju. D., Rusdi, dan N. Djuarnani. 1988. Pengaruh Tinggkat
dan Jenis Penambahan Starter Pada Pembuatan Yoghurt. Prosiding Bioproses Industri
Pangan. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Penerbit
Liberty. Yogyakarta

Samsumaharto, M.A dan Puspawati. 2008. Perbandingan Fermentasi Yoghurt Susu Biji
Asam (Tamarindus indica, L) dengan Yoghurt Susu murni. Jurnal Kimia Dan
Teknologi, Fakultas Biologi. Universitas Setia Budi. Surakarta.

Shodiq, A dan Zainal, A. 2008. Meningkatkan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa.
Agromedia Pustaka. Jakarta.

Suarni dan Widowati. 2010. Struktur, Komposisi dan Nutrisi Jagung.


http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/jagung/tigasnol.pdf. Diakses 21 November
2017.

Walstra, P., T. J. Geurs, A. Noemen, A. Jellema and M. A. J. S. Van Boekel. 1999. Dairy
Tecnology, Principles of Milk Properties and Processes. Marcel Dekker. New York

Yusmarini dan Effendi. 2004. Evaluasi Mutu Yoghurt Yang Dibuat Dengan Penambahan
Beberapa Jenis Gula. Fakultas Pertanian Universitas Riau. Riau.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


146 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
PEMANFAATAN TEPUNG JAGUNG PULUT SUBTITUSI TEPUNG
TERIGU DALAM PEMBUATAN MIE KERING
1*
DESI ARISANTI DAN 2ROSDIANI AZIS
1,2
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Politeknik Gorontalo
*Email: desiarisanti47@gmail.com

ABSTRAK

Mie kering adalah mie mentah yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10%.
Karena bersifat kering maka mie ini mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan
mudah penangannnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui kombinasi terbaik tepung terigu
dan tepung jagung pulut dalam pembuatan mie kering terhadap tingkat kesukaan dan sifat
fisiokimia mie kering. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
rancangan acak lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat formulasi yang
tepat antara tepung terigu dan tepung jagung pulut terhadap tingkat kesukaan adalah terdapat
pada perlakuan A2 (350 g Tepung Jagug Pulut : 150 g Tepung Terigu). Adapun hasil analisa
sifat kimia mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut yaitu; kadar air
6.85%, kadar abu 1.67%, dan kadar lemak 8.45%.Berdasarkan hasil dan pembahasan yang
dilakukan dapat disimpulkan bahwa, rata-rata kandungan gizi mie kering kombinasi tepung
terigu dan tepung jagung pulut formulasi yang terbaik adalah kadar air 6.85%, kadar abu
1.67%, dan kadar lemak 8.45%. Hal ini sudah memenuhi syarat mutu mie kering
berdasarkan SNI.
Kata Kunci: Mie Kering, Tepung Terigu, Tepung Jagung Pulut

Pendahuluan
Jagung berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan yang bernilai gizi.
ketersedian makanan olahan dari jagung, dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi
kejenuhan dalam mengkonsumsi jagung. Salah satu makanan alternatif yang dapat diolah
dari bahan baku jagung adalah produk mie jagung pulut. Pada umumnya mie yang beredar
di masyarakat berbahan dasar tepung terigu. Mie dari jagung pulut ini diharapkan mampu
mengurangi penggunaan tepung terigu yang merupakan salah satu komoditas yang diimport
dalam jumlah besar. Mie jagung pulut diharapkan lebih banyak dikonsumsi mengingat
jagung mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi setelah beras dan terigu.
Jagung pulut atau sering disebut ketan merupakan jenis jagung yang banyak
mengandung amilokpektin sedangkan pada jagung kuning mempunyai kandungan
amilopektin yang sangat sedikit. Jagung kuning lebih banyak mengandung amilosa. Daya
rekat adonan mie dipengaruhi oleh adanya kandungan amilopektin (Warisno, 1998).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini akan mencoba membuat produk
pangan berbahan dasar jagung yaitu mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung
pulut”.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 147
Metode Penelitian
Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : mesin penggiling jagung,
timbangan analitik, wadah, ayakan, panci, kompor, pencetak mie, wajan, gelas ukur,
desikator, oven, baskom, pipet, gelas ukur 250 ml, baker 300 ml, timbangan digital, cawan
petris, cawan porselin, tabung reaksi, penjepit cawan, mortal, spatula, soxhslet, dan tanur.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah: jagung pulut, tepung jagung
pulut, tepung terigu, garam, air, telur.

Proses Pembuatan Tepung Jagung Pulut dan Mie


 Proses Pembuatan Tepung Jagung Pulut (Modifikasi Fahmi, 2007).
1. Dibersihkan jagung dari biji yang cacat dan benda asing (sortasi).
2. Jagung digiling menggunakan disc mill dengan ayakan 10 mesh, pisahkan tepung
kasar dan grits jagung.
3. Jagung dicuci menggunakan air.
4. Jagung direndam selama 4 jam, kemudian keringkan grits jagung sampai grits tidak
terlalu basah.
5. Grits jagung digiling kembali menggunakan ayakan berukuran 80 mesh.
6. Grits jagung dikeringkan di oven pada suhu 50 oC selama 2 jam.
7. Diayak tepung jagung pulut, kemudian keringkan kembali di oven pada suhu 50
o
C selama 2 jam.
8. Tepung jagung pulut siap digunakan dalam pembuatan mie kering.
 Proses Pembuatan Mie Jagung Pulut (Juniawati, 2003).
1. Disiapkan bahan-bahan yang akan digunakan.
2. Tepung jagung pulut, tepung terigu, garam, baking powder, air dicampur sampai
kalis.
3. Setelah itu adonan dikukus selama ± 15 menit
4. Digiling adonan menggunakan penggiling mie sampai terbentuk untaian mie.
5. Untaian mie dikeringkan di oven pada suhu 60-70oC selama 1-2 jam.
6. Mie jagung pulut yang sudah dikeringkan siap dianalisa.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


148 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Hasil dan Pembahasan
Tingkat Kesukaan Mie Kering Kombinasi Tepung Terigu dan Tepung Jagung Pulut
Untuk melihat produk yang paling diminati atau disukai oleh panelis pada penelitian
ini ditentukan melalui uji organoleptik. Penilaian yang dilakukan meliputi empat parameter
yaitu rasa, warna, aroma, tekstur.
Rasa
Berdasarkan hasil uji organoleptik terhadap rasa mie kombinasi tepung jagung pulut
menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis rata-rata 3,47 – 3,5 artinya masih pada taraf
biasa/netral atau sampai suka. Dari ketiga perlakuan, perlakuan A2 yang paling disukai oleh
panelis. Ketiga perlakuan ini tidak berpengaruh nyata pada mie kombinasi tepung jagung
pulut. Hal ini menandakan tidak adanya pengaruh dalam penambahan tepung jagung
terhadap rasa mie yang dihasilkan.

Warna
Warna juga merupakan salah satu parameter yang digunakan konsumen dalam memilih
produk. Nilai sensori tingkat kesukaan warna dari mie kombinasi tepung terigu dan tepung
jagung pulut dapat dilihat pada Gambar 1.

Tingkat Kesukaan Warna


3,8
3,7
3,7 3,63
3,6
3,5 3,47

3,4
3,3
A1 A2 A3

250 g Tepung Jagung Pulut : 250 g Tepung Terigu


350 g Tepung Jagung Pulut : 150 g Tepung Terigu
300 g Tepung Jagung Pulut : 200 g Tepung Terigu

Gambar 1. Grafik tingkat kesukaan warna

Hasil dari uji organoleptik terhadap warna untuk mie kombinasi tepung jagung pulut
dari ketiga perlakuan berada pada kisaran 3,47 – 3,70 artinya masih pada taraf biasa/netral
sampai suka. Dari ketiga perlakuan ini perlakuan A2 yang paling disukai oleh panelis karena
panelis menyukai warna yang alami dan seragam dari jagung pulut. Warna yang seragam ini
juga dipengaruhi oleh adanya penambahan kuning telur. Hal ini sesuai dengan pendapat

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 149
Astawan (2001), bahwa penambahan kuning telur berfungsi untuk mengembangkan adonan
dan akan memberikan warna seragam.

Aroma
Nilai sensori tingkat kesukaan aroma dari mie kombinasi tepung terigu dan tepung
jagung pulut dapat dilihat pada Gambar 2.

Tingkat Kesukaan Aroma


3,6 3,53
3,5 3,47

3,4 3,37

3,3
3,2
A1 A2 A3

250 g Tepung Jagung Pulut : 250 g Tepung Terigu


350 g Tepung Jagung Pulut : 150 g Tepung Terigu
300 g Tepung Jagung Pulut : 200 g Tepung Terigu

Gambar 2. Grafik Tingkat Kesukaan Aroma

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap suatu produk adalah aroma.
Aroma banyak menentukan kelezatan dari suatu makanan. Hasil dari uji organoleptik
terhadap aroma mie kombinasi tepung jagung pulut yaitu berkisar Antara 3,37 – 3,53 artinya
masih berada pada taraf biasa/netral sampai suka. Dari ketiga perlakuan yang ada, perlakuan
yang paling disukai panelis adalah perlakuan A3 karena aroma dari jagung pulut ini paling
dominan artinya pada perlakuan A3 aroma khas dari jagung pulut itu sendiri masih ada
sehingga panelis menyukai perlakuan A3 dibandingkan perlakuan A1 dan A2.

Tekstur
Nilai sensori tengkat kesukaan tekstur mie kombinasi tepug terigu dan tepung jagung
pulut dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil dari uji organoleptik terhadap tekstur mie
kombinasi tepung jagung pulut yaitu berkisar Antara 3,37 – 3,53 atau dalam taraf
biasa/netral. Dari ketiga perlakuan yang disukai oleh panelis yaitu perlakuan A3 dan A1 hal
ini disebabkan karena pada dua perlakuan ini lebih banyak tepung terigu dimana tepung
terigu ini banyak mengandung gluten yang berfungsi untuk menentukan kekenyalan mie
serta berperan dalam pembentukan mie supaya tidak mudah putus dan menentukan kualitas
pada suatu makanan kenyal.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


150 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Tingkat Kesukaan Tekstur
4 3.30 3.87
3
3.47
2
1
0
A1 A2 A3

250 g Tepung Jagung Pulut : 250 g Tepung Terigu


350 g Tepung Jagung Pulut : 150 g Tepung Terigu
300 g Tepung Jagung Pulut : 200 g Tepung Terigu

Gambar 2. Tingkat kesukaan terhadap tekstur

Analisis Sifat Kimia


Kadar Air
Kadar air merupakan komponen penting dalam bahan pangan yang dapat
mempengaruhi kualitas bahan. Penurunan jumlah air dapat mempengaruhi laju kerusakan
bahan pangan akibat kerusakan mikrobiologis, kimiawi dan enzimatis. Rendahnya kadar air
suatu bahan pangan merupakan salah satu faktor yang dapat membuat bahan pangan menjadi
awet. Proses pengurangan kadar air dapat dilakukan dengan proses pengeringan ataupun
proses penggorengan. Pada proses pengeringan, kandungan air dikurangi dengan cara
menguapkan air pada bahan menggunakan energi panas, sedangkan pada proses
penggorengan terjadi penghilangan air dalam jumlah yang besar dari bahan pangan dan
terjadi penyerapan minyak ke dalam bahan pangan.
Hasil analisa rata-rata kadar air mie kombinasi tepung jagung pulut dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kadar air mie kering
Kode perlakuan Rata-rata (%)
A1 5.59a
A2 6.85c
A3 5.64ab

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, diperoleh bahwa nilai Fhitung(41,18) lebih besar
dari Ftabel (0,05) yaitu 5.14 dan Ftabel (0,01) yaitu 10.92, hasil sidik ragam menunjukkan
bahwa perbedaan perlakuan pada pembuatan mie kombinasi tepung jagung pulut dan tepung
terigu sangat berpengaruh nyata terhadap kadar air yang diperoleh, sehingga dilakukan uji

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 151
lanjut BNT. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa mie kombinasi tepung jagung pulut
pada perlakuan A1 berbeda sangat nyata dengan perlakuan A2, tetapi perlakuan A1 tidak
berbeda nyata dengan perlakuan A3. Dan perlakuan A2 menunjukkan nilai kadar air tertinggi
yaitu sebesar 6.85 kemudian disusul oleh perlakuan A3 yaitu dengan nilai 5.64 dan yang
paling terendah kadar air pada perlakuan A1 yaitu 5.59.Karena semakin banyak penambahan
tepung jagung pulut maka semakin tinggi kadar air pada mie kering yang dihasilkan. Karena
tepung jagung pulut itu sendiri memiliki kadar air yang cukup tinggi yaitu 11.0% (Suarni,
2005).
Rendahnya kadar air mie kering pada semua perlakuan dipengaruhi oleh proses
pengeringan pada suhu yang cukup tinggi dengan waktu cukup lama pula karena semakin
tingggi suhu dan lama waktu yang digunakan pada proses pengeringan maka meneyebabkan
sebagian besar air menguap sehingga kandungan air pada prodak rendah.Hal ini sesuai
dengan pendapat Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010), air yang terdapat dalam bahan
akan mengalami penguapan akibat kenaikan suhu bahan dan minyak. Sebagian minyak
masuk ke bagian kerak dan mengisi ruang kosong yang semula berisi air. Dari hasil
penelitian kadar air yang diperoleh pada mie kering lebih rendah dari standar SNI mie kering
yaitu dengan kadar air maksimal 8%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan air pada
masing-masing perlakuan pada mie kering sesuai dengan standar SNI.

Kadar Abu
Kadar abu merupakan zat organik sisa suatu pembakaran zat organik dalam bahan
pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya merupakan
unsur-unsur mineral. Penentuan kadar abu dapat ditentukan berbagai tujuan, antara lain
untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang
digunakan dan sebagai penentu nilai gizi suatu bahan makanan.
Hasil analisa rata-rata kadar abu mie kombinasi tepung jagung pulut dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Rata-Rata Kadar Abu Mie Kering
Kode Perlakuan Rata-Rata (%)
A1 1,54a
A2 1,63b
A3 1,67bc

Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, diperoleh bahwa nilai Fhitung(18,39) lebih besar
dari Ftabel (0,05) yaitu 5,14 dan Ftabel (0,01) yaitu 10,92, artinya bahwa perlakuan pada
pembuatan mie kombinasi tepung jagung pulut berbeda nyata terhadap kadar abu yang

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


152 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
diperoleh, sehingga dilakukan uji lanjut BNT. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa mie
kombinasi tepung jagung pulut pada perlakuan A2 sangat berbeda nyata dengan perlakuan
A1 tetapi perlakuan A2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan A3. Dan pada perlakuan A3
menunjukkan nilai rata-rata tertinggi yaitu 1,67 kemudian disusul oleh perlakuan A2 yaitu
1,63 dan yang paling terendah kadar abu pada perlakuan A1 yaitu 1,54.
Dilihat dari tabel diatas, nilai rata-rata kadar abu yang tertinggi dimiliki oleh perlakuan
A3 yaitu 1,67%, sedangkan nilai rata-rata kadar abu yang terendah dimiliki oleh perlakuan
A1 yaitu 1,54%. Hal ini disebabkan oleh kandungan kadar abu yang terdapat pada semua
bahan baku yang digunakan rendah yaitu kadar abu tepung terigu 0,25% (Astawan, 2006),
kandungan kadar abu yang terdapat pada tepung jagung pulut yaitu 0,98% (Suarni, 2005).
Kadar abu yang diperoleh ini merupakan zat anorganik yang tidak terbakar. Hal ini sesuai
dengan pendapat Menurut Winarno (2004), bahwa unsur mineral juga dikenal sebagai zat
organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat
anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu. Dalam tubuh, mineral-mineral ada yang
bergabung dengan zat organik, ada pula yang berbentuk ion-ion bebas. Di dalam tubuh unsur
mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur.
Mineral yang terdapat dalam bahan pangan termasuk dalam mie jagung instan ini
diukur ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran). Namun tidak selamanya
total abu yang diperoleh adalah jumlah mineral yang terdapat dalam mie jagung instant. Hal
ini terjadi karena dalam proses pembakaran banyak anion organik menghilang karena suhu
yang sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Deman (1997), bahwa mineral dalam
makanan biasanya ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran). pembakaran
ini merusak senyawa organik dan mininggalkan mineral. Akan tetapi, jika ditentukan
dengan cara ini, abu tidak mengandung nitrogen yang terdapat dalam protein dan dalam
beberapa segi lain berbeda dengan kandungan mineral yang sebenarnya. Anion organik
menghilang selama insinirasi dan logam diubah menjadi oksidanya. Karbonat dalam abu
dapat terbentuk karena penguraian bahan organik. Beberapa unsur sesepora dan beberapa
garam dapat hilang barena penguapan selama pengabuan. Natrium klorida akan hilang dari
abu jika suhu insinerasi lebih tinggi dari 600oC.
Kadar abu mie kombinasi tepung jagung pulut memenuhi syarat mutu SNI untuk mie
kering yang menyatakan bahwa kadar abu mie kering maksimal 3%. (SNI 01-2974-1992).

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 153
Kadar Lemak
Lemak adalah satu kelompok lipid sederhana yang disintesis dari asam lemak dan
gliserol. Lemak tersusun oleh atom utama Karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O).
dibandingkan dengan karbohidrat, jumlah atom hidrogen pada struktur lemak lebih banyak
sedangkan jumlah atom oksigennya lebih sedikit. Lemak yang diperlukan oleh manusia
adalah asam lemak esensial, yaitu asam lemak yang tidak dapat disintesis oleh tubuh
sehingga harus disuplai dari pangan, misalnya asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat
(Kusnandar, 2011).
Hasil analisa rata-rata kadar lemak mie kombinasi tepung jagung pulut dari ketiga
perlakuan dengan tiga kali ulangan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Rata-Rata Kadar Lemak Mie Kering
Kode Sampel Rata-Rata (%)
A1 6.28b
A2 8.45c
A3 4.09a

Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, diperoleh bahwa nilai Fhitung (27.9) lebih besar
dari Ftabel (0,05) yaitu 5.14 dan Ftabel (0,01) yaitu 10.92, artinya bahwa perlakuan pada
pembuatan mie kombinasi tepung jagung pulut berbeda nyata terhadap kadar lemak yang
diperoleh, sehingga dilakukan uji lanjut BNT. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa mie
kombinasi tepung jagung pulut pada perlakuan A3 sangat berbeda nyata dengan perlakuan
A1 dan A2.
Dilihat dari tabel diatas, nilai rata-rata kadar lemak yang tertinggi dimiliki oleh
perlakuan A2 yaitu 8.45%, sedangkan nilai rata-rata kadar lemak yang terendah dimiliki oleh
perlakuan A3 yaitu 4.09%. Hal ini diduga oleh penambahan telur pada pembuatan mie
terutama pada kuning telur dan minyak yang tidak diketahui jumlah minyak yang digunakan
pada saat proses pemisahan untaian mie setelah proses pengukusan, sehingga menyebabkan
kadar lemak yang dihasilkan memiliki perbedaan yang cukup berbeda jauh.Hal ini sesuai
dengan pendapat Andarwulan (2011), bahwa penambahan minyak dalam proses pembuatan
mie adalah proses penurunan kadar air dari sekitar 32% (kadar air adonan) menjadi 3%
sampai 4%. Pada proses ini terjadi pertukaran antara minyak goreng dengan air. Air yang
ada di dalam mi menguap dan meninggalkan pori-pori yang selanjutnya diisi dengan minyak
goreng.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, nilai kadar lemak mie kombinasi tepung jagung
pulut untuk ketiga perlakuan belum memenuhi standar SNI 01-2974-1992 karena kadar

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


154 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
lemak pada masing-masing perlakuan lebih tinggi dari standar mutu SNI untuk mie kering
yang menyatakan bahwa kadar lemak mie kering minimal 3% (SNI 01-2974-1996).

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian yang telah dilakukan terhadap mie
kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Formulasi rasio yang tepat antara tepung terigu dan tepung jagung pulut hasil penelitian
tingkat kesukaan adalah terdapat pada perlakuan A2 (350 g Tepung Jagug Pulut : 150 g
Tepung Terigu).
2. Nilai rata-rata kandungan gizi mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung
pulut pada formulasi yang disukai adalah kadar air 6.85% (350 g Tepung Jagung Pulut
: 150 g Tepung Terigu), kadar abu 1.67% (300 g Tepung Jagung Pulut : 200 g Tepung
Terigu), dan kadar lemak 8.45%(350 g Tepung Jagung Pulut : 150 g Tepung Terigu).
Hal ini sudah memenuhi syarat SNI.

Saran
1. Penelitian mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut dapat
diaplikasikan pada masyarakat.
2. Penelitian ini dapat diaplikasikan kembali agar mendapatkan kombinasi fisik dan kimia
yang terbaik.

Daftar Pustaka
Andarwulan, N., Kusnandar, F. dan Herawati, D. 2011. Analisis Pangan Pangan. Dian
Rakyat, Jakarta.
.Astawan, M., 2006. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3727-
1995. Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1996. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2974-1996. Mie
Kering. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.
Deman, John M., 1997. Principles of Food Chemistry. Penerjemah Kosasih Padmawinata
dalam Kimia Makanan. ITB. Bandung.
Fahmi, A. 2007. Optimasi Produksi Mie Basah Berbasis Tepung Jagung dengan Teknologi
Ekstrusi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Kajian
Preferensi Konsumen. Skripsi Departemen Teknologi Pangan Dan Gizi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kusnandar, F. 2011. Kimia Pangan. Dian Rakyat. Jakarta.
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 155
Suarni. 2005. Karakteristik Fisikokimia dan Amilograf Tepung Jagung Sebagai
Bahan Pangan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung.
Makassar, 29-30 September 2005. Puslitbang Tanaman Pangan.
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Warisno. 1998. Budi Daya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


156 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
ANALISIS AKTIVITAS ANTIKOAGULAN DARI IKAN SIDAT
DANAU POSO SPESIES Anguilla marmorata

MARTHO HARRY MELUMPI


Fakultas Pertanian Program Studi Agribisnis
Universitas Kristen Tentena
Email: harrymelumpi@rocketmail.com

ABSTRAK
Danau Poso merupakan sebuah ekosistem yang unik. Salah satu produk dari danau ini adalah
Ikan Sidat (Anguilla sp) yang oleh masyarakat lokal menyebutnya dengan nama Sogili atau
Masapi. Pada penelitian ini digunakan spesies ikan sidat Anguilla marmorata yang diambil
di danau Poso kota Tentena kabupaten Poso untuk diamati secara laboratorik apakah
Anguilla marmorata memiliki aktivitas antikoagulan. Pemanfaatan sidat atau sogili oleh
masyarakat di pesisir danau Poso masih terbatas untuk dikonsumsi bagian dagingnya dan
biasanya di jual ke penampung sidat. Kandungan antikoagulan yang dikandung dari spesies
tersebut sangat bermanfaat dalam bidang kesehatan namun belum diupayakan. Metode yang
digunakan untuk memperoleh ekstrak kasar dari sidat Anguilla marmorata adalah metode
ekstraksi secara maserasi. Pengujian dilakukan pada darah manusia. Pengujian ini dilakukan
pada konsentrasi 0,0018 g/ml, 0,0036 g/ml dan 0,0072 g/ml dengan 6 kali pengulangan pada
masing-masing perlakuan. Pengujian pertama yaitu pengujian darah yang di tambahkan
ekstrak fraksi metanol. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak metanol sidat
Anguilla marmorata memiliki aktivitas antikoagulan pada darah manusia dibandingkan
dengan kontrol. Pengujian kedua yaitu dengan menguji aktivitas antikoagulan sidat Anguilla
marmorata dengan fraksi hasil partisi etil asetat dan butanol, hasil yang diperoleh bahwa
fraksi etil asetat menunjukkan aktivitas antikoagulan terbaik, jika dibandingkan dengan
kontrol positif (EDTA), negatif (CaCl2) dan darah normal (tanpa perlakuan).
Kata Kunci: Ekstrak, Sidat, Anguilla Marmorata, Antikoagulan.

Pendahuluan
Penelitian kedokteran modern menemukan bahwa kandungan vitamin dan
mikronutrien dalam ikan sidat sangat tinggi, di antaranya sebagai vitamin B1, 25 kali lipat
susu sapi, vitamin B2, 5 kali lipat susu sapi, vitamin A, 45 kali lipat susu sapi, dan kandungan
zinc (emas otak) 9 kali lipat susu sapi, (Napitupulu, 2011). Sidat (Anguilla sp) memiliki pola
hidup katadromous yang artinya mengawali hidup di laut dalam, bertumbuh di perairan
tawar, dan setelah matang kelamin akan kembali beruaya ke laut untuk memijah. Selain
memiliki pola hidup yang unik, sidat juga populer sebagai makanan yang mewah karena
memiliki nilai nutrisi yang baik. Danau Poso merupakan sebuah ekosistem yang unik. Salah
satu produk dari danau ini adalah ikan sidat A. marmorata oleh masyarakat lokal di wilayah
Tentena menyebutnya dengan nama Sogili atau Masapi.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 157
Pemanfaatan sidat oleh masyarakat di pesisir danau Poso masih terbatas untuk
dikonsumsi bagian dagingnya dan biasanya di jual ke penampung sidat. Kandungan
antikoagulan yang dikandung dari spesies tersebut sangat bermanfaat dalam bidang
kesehatan namun belum diupayakan. Penjaringan substansi bioaktif seperti antikoagulan
sangatlah perlu dilakukan dan telah menjadi salah satu dasar untuk menemukan senyawa
obat untuk mengatasi penyakit jantung dan stroke. Hal ini dapat ditempuh dengan mencari
sumber-sumber antikoagulan baru dari organisme perairan.
Berbagai bahan bioaktif (bioactive substances, natural product) yang terkandung
dalam biota laut seperti omega 3, hormon, protein, dan vitamin memiliki potensi yang sangat
besar bagi penyediaan bahan baku industri farmasi dan kosmetik. Diperkirakan lebih dari
35.000 spesies biota perairan memiliki potensi menghasilkan bahan obat-obaatan, dan yang
dimanfaatkan baru sekitar 5.000 spesies (Rokhmin, 2003).
Antikoagulan adalah senyawa yang mencegah terjadinya pembekuan darah. Dalam
keadaan normal antikoagulan lebih menonjol sehingga darah tidak membeku, namun jika
pembuluh robek atau terjadi tromboemboli maka aktivitas prokoagulan dalam darah akan
jauh lebih besar dari aktivitas antikoagulan sehingga dapat terjadi pembekuan darah
(Guyton, 1981). O’ Reilly, (1989) menyatakan bahwa ada 13 faktor pembekuan darah, antara
lain: fibrinogen, protrombin, tromboplastin dan kalsium. Antikoagulan diperlukan untuk
mencegah terbentuk dan meluasnya trombus dan emboli serta untuk mencegah bekunya
darah in vitro pada pemeriksaan laboratorium atau transfusi.
Penjaringan substansi bioaktif seperti antikoagulan sangatlah perlu dilakukan dan telah
menjadi salah satu dasar untuk menemukan senyawa obat untuk mengatasi penyakit jantung
dan stroke. Kandungan antikoagulan yang dikandung dari organisme perairan sangat
bermanfaat dalam bidang kesehatan belum diupayakan, sehingga penelitian ini perlu
dilakukan untuk mengetahui aktivitas antikagulan dari ikan sidat.

Metode Penelitian
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini diambil di wilayah perairan Danau Poso
Sampel ikan sidat A. marmorata diambil pada disalah satu titik kemudian dimasukkan ke
dalam wadah. Sebanyak 3 kg sampel ikan sidat kemudian daging sidat A. marmorata akan
dipotong-potong ukuran dadu untuk di ekstraksi dan di partisi dengan pelarut yang berbeda
polaritas. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Hayati Laut Universitas Sam
Ratulangi Manado.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


158 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Ekstraksi dan Partisi Antikoagulan
Proses ekstraksi sidat menggunakan metode maserasi. Sampel kemudian direndam
dengan metanol sebanyak 1000 ml. Sampel yang sudah direndam dengan metanol disimpan
selama 3 hari dan sesekali diaduk. Selama 3 hari perendaman, sampel yang diperoleh berupa
homogenate dan debris yang dihasilkan direndam lagi selama 3 hari dengan metanol
sedangkan filtratnya disimpan. Setelah itu ekstrak metanol yang sudah diuji aktivitas
antikoagulannya kemudian dipartisi dengan pelarut etil asetat, heksan dan butanol.
Pemurnian dilakukan dengan metode partisi untuk menarik komponen-komponen
senyawa sesuai kepolarannya. Ekstrak kasar sidat yang memiliki aktifitas tertinggi dipartisi
dengan cara ditambahkan pelarut etil asetat (EtoAc) dengan perbandingan 1:3 v/v, setelah itu
dikocok berulang kali hingga tercampur, lalu didiamkan hingga terbentuk lapisan air dan
lapisan etil asetat. Masing-masing lapisan ditampung dalam wadah yang berbeda. Lapisan
etil asetat selanjutnya dievaporasi dengan vaccum rotary evaporator hingga kering lalu
ditimbang, hasil ini dinamakan fraksi etil asetat.

Sampel Uji Darah dan Uji Antikoagulan pada Darah Manusia


Sampel darah yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah lengkap diambil dari
vena cubiti. Lokasi pengambilan darah vena umumnya didaerah fossa cubiti yaitu vena cubiti
atau daerah dekat pergelangan tangan, dengan menggunakan alat suntik disposable 5ml/cc
dan jarum 22 G steril (Anonim, 2011).
Aktivitas antikoagulan dari ekstrak akan diujikan pada darah manusia, menggunakan
metode waktu rekalsifikasi yang dimodifikasi dari Kawatsu (1985) dalam Sorongan (2005),
dengan cara sebagai berikut : Darah manusia akan dimasukkan ke dalam tabung reaksi sesuai
dengan konsentrasi yaitu 0,0018 g/ml; 0,0036 g/ml; 0,0072 g/ml, setelah itu ekstrak
dilarutkan dalam larutan aquades.
Selanjutnya semua tabung di kocok/vortex hingga tercampur rata lalu tabung dimiring-
miringkan setiap 30 detik. Bila larutan dalam tabung sudah tidak mengalir ketika tabung
dimiringkan, lamanya pembekuan dicatat. Hasil yang didapatkan dibandingkan dengan
kontrol positif (EDTA+darah), kontrol negatif (CaCl2+darah) dan kontrol darah tanpa
perlakuan. Setiap perlakuan dilakukan 6 kali pengulangan.

Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian di laboratorium ditabulasi dan dianalisis
menggunakan analisis rancangan acak lengkap untuk mengetahui apakah variabel-variabel

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 159
independen secara parsial berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen. Derajat
signifikansi yang digunakan adalah 0.05.

Hasil dan Pembahasan


Pengujian Aktivitas Antikoagulan Sidat A. marmorata
1. Aktivitas Antikoagulan pada Ekstrak Metanol
Hasil pengujian aktivitas antikoagulan ekstrak metanol dari sidat A. marmorata
ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 2.

40 37 36 37 37 37 36
35
30 26 26 25 25 26 26
25 21 22
20 19 20 20
Menit

20
15 14 15 15
15 13 14

10
5 6 6 5 6 6
5 2 3 2 3 2 2
0
0,0018 0,0036 0,0072 Kontrol (-) Kontrol (+) Darah Normal
CaCl2 EDTA
Konsentrasi

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Ulangan 6

Gambar 2. Diagram perbandingan rata-rata perlambatan waktu pembekuan Ekstrak


Metanol pada darah pada setiap konsentrasi yang dibandingkan dengan
kontrol.

Grafik kontrol Positif (EDTA), negatif (CaCl 2) dan darah normal (tanpa perlakuan)
menunjukkan bahwa aktivitas perlambatan waktu pembekuan darah berlangsung normal
yaitu pada menit ke-15, menit ke-2 dan menit ke-6. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan
jelas terlihat bahwa dari konsentrasi pengujian yang dilakukan yaitu konsentrasi 0,0018
g/ml, 0,0036 g/ml dan konsentrasi 0,0072 g/ml menunjukkan aktivitas antikoagulan yang
berbeda dari masing-masing konsentrasi dimana aktivitas antikoagulan tertinggi terjadi pada
konsentrasi 0,0072 g/ml yang membeku pada menit ke-36, diikuti konsentrasi 0,0036 g/ml
pada menit ke-25 dan konsentrasi 0,0018 g/ml pada menit ke--20. Dari pengujian aktivitas
antikoagulan dari ekstrak metanol terlihat bahwa sidat A. marmorata memiliki aktivitas
antikoagulan yang tinggi dibandingkan dengan kontrol yang digunakan. Perlakuan ekstrak
metanol memperlihatkan adanya aktivitas antikoagulan yang terbaik, hal ini disebabkan
banyaknya senyawa aktif yang dimiliki oleh ekstrak metanol. Adanya hubungan sinergisme
antara senyawa-senyawa aktif yang larut pada ekstrak metanol dapat memperkuat tingkat

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


160 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
aktivitas antikoagulan yang dihasilkan. Hal ini berarti senyawa antikoagulan yang
dikandung oleh ekstrak metanol tersebut lebih tinggi dibanding dengan kontrol EDTA.

2. Aktivitas Antikoagulan pada Fraksi Hasil Partisi Etil Asetat


Perlakuan dengan fraksi etil asetat menunjukkan aktivitas antikoagulan yang disajikan
dalam bentuk grafik pada Gambar 3.

35 33 32 32 33 33 33
30 29 29 30
30 28 27 27 28 29
25 25 24
25
20
Menit

15 15 15
15 13 13 14

10 6 5 6 6 5 5
4
5 2 2 2 3 3

0
0,0018 0,0036 0,0072 Kontrol (-) Kontrol (+) Darah Normal
CaCl2 EDTA

Konsentrasi
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Ulangan 6

Gambar 3. Diagram perbandingan rata-rata perlambatan waktu pembekuan Fraksi Etil Asetat
pada darah pada setiap konsentrasi yang dibandingkan dengan kontrol.

Ekstrak sidat A. marmorata dipartisi menggunakan pelarut etil asetat berdasarkan


perbedaan polaritas. Hasil pengamatan pada grafik kontrol Positif (EDTA), negatif (CaCl 2)
dan darah normal (tanpa perlakuan) menunjukkan bahwa aktivitas perlambatan waktu
pembekuan darah berlangsung normal yaitu pada menit ke-15, menit ke-2 dan menit ke-6.
Berbeda dengan konsentrasi yang diberi perlakuan ekstrak hasil partisi dari pelarut etil
asetat terlihat bahwa dari konsentrasi pengujian yang dilakukan yaitu konsentrasi 0,0018
g/ml memiliki waktu pembekuan pada menit ke-26, pada konsentrasi 0,0036 g/ml memiliki
waktu pembekuan pada menit ke-29 dan konsentrasi 0,0072 g/ml memiliki waktu
pembekuan pada menit ke-32. Dari pengujian ini terlihat kembali bahwa konsentrasi 0,0072
g/ml memiliki aktivitas antikoagulan yang terbaik dibandingan dengan konsentrasi lainnya
setelah dibandingkan dengan kontrol yang digunakan dimana terlihat perbedaan waktu
perlambatan yang sangat jauh berbeda. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan
yang signifikan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 161
3. Aktivitas Antikoagulan pada Fraksi Hasil Partisi Butanol
Adapun tahap-tahap aktivitas antikoagulan pada kontrol dan waktu pembekuan yang
dihasilkan dari fraksi butanol pada Gambar 4.
30
25
24 24 24
25 23
22 22
23
22
23 23
22 22
21 21
20 20
19
20
16
15 15
Menit

14 14 14
15

10 7 7
6 6
5 5
4
5 3 3
2
3
2

0
0,0018 0,0036 0,0072 Kontrol (-) Kontrol (+) Darah Normal
CaCl2 EDTA

Konsentrasi

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Ulangan 6


Gambar 4. Diagram perbandingan rata-rata perlambatan waktu pembekuan Fraksi Butanol
pada darah pada setiap konsentrasi yang dibandingkan dengan kontrol.

Dari hasil pengujian yang dilakukan terlihat bahwa grafik kontrol Positif (EDTA),
negatif (CaCl2) dan darah normal (tanpa perlakuan) menunjukkan bahwa aktivitas
perlambatan waktu pembekuan darah berlangsung normal yaitu pada menit ke 15, menit ke-
2 dan menit ke-6. Jika dibandingan dengan konsentrasi pada percobaan yang dilakukan
terlihat bahwa konsentrasi 0,0072 g/ml memiliki waktu pembekuan darah pada menit ke-22,
setelah itu konsentrasi 0,0018 g/ml pada menit ke-23 dan konsentrasi 0, 0036 g/ml pada
menit ke-30.
Menurut Widmann (1994), EDTA mempunyai fungsi sebagai antikoagulasi yang
mengikat ion kalsium sehingga tidak terjadi proses dalam pembekuan darah. Pada
pengujian ini dapat dilihat bahwa ekstrak sidat A. marmorata memiliki sifat yang lebih
baik dari pada EDTA, keduanya dapat mengikat salah satu faktor pembekuan darah yaitu
kalsium, sehingga darah tidak membeku.
Dari pengujian aktivitas antikoagulan dari sidat A. marmorata ternyata memberikan
aktivitas antikoagulan yang baik. Hal ini di perkirakan adanya substansi bioaktif yang
dimiliki oleh ikan sidat sebagai bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang tinggi hal ini
ditunjukkan pada setiap ekstrak dan hasil partisi terdapat minyak, dimana telah disebutkan
bahwa minyak ikan sidat berfungsi sebagai omega 3 yang sangat baik untuk kesehatan tubuh.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


162 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Sehingga hal ini juga dapat memperlambat waktu pembekuan darah serta diduga ekstrak
ikan sidat dapat mengikat ion kalsium yang ada dalam darah.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka ekstrak dari Sidat A. marmorata
diasumsikan dapat dijadikan sebagai bahan sediaan obat untuk penyakit trombolisis, darah
tinggi, dan jantung. Hal ini didukung dengan pendapat (Macnair, 2011) yang mengatakan
antikoagulan digunakan pada mereka yang telah mengalami serangan jantung yang
disebabkan oleh thrombosis atau gumpalan di arteri koroner. Antikoagulasi dalam dunia
kedokteran, dapat dipakai baik penggunaan di laboratorium dan di klinik, untuk transfusi
darah, pembedahan, dan mencegah tromboemboli (Warrow, 1994). Faktor lain yang
mempengaruhi sifat antikoagulan yaitu berat molekul, namun berat molekul yang semakin
tinggi tidak menjadi jaminan semakin tinggi sifat antikoagulannya (Sinurat, 2011).
Lingkungan perairan menyediakan sumber komponen fungsional yang relatif belum
dimanfaatkan yang dapat digunakan pada berbagai aspek pengolahan, penyimpanan, dan
penyajian makanan. Semua bahan yang bersumber dari perairan telah diidentifikasi memiliki
berbagai aktivitas biologis diantaranya dilaporkan berpengaruh terhadap patogenesis
penyakit (Rokhmin, 2003).
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada pengujian aktivitas antikoagulan dari ikan
sidat spesis A. marmorata menunjukkan aktivitas yang terbaik yaitu pada menit ke-37 untuk
ektrak metanol, Fraksi etil asetat menit ke-32 dan hasil kromatografi lapis tipis pada fraksi
3 menit ke-38 pada konsentrasi 0,0072 g/ml. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
ikan sidat yang dikenal memiliki berbagai khasiat kesehatan dapat digunakan sebagai obat
antikoagulan yang bersumber dari alam dengan mengkonsumsinya dan tidak heran jika
masyarakat di negara Jepang menjadikan makanana ikan sidat ini sebagai makanan yang
mahal dengan khasiat kesehatan yang sangat tinggi untuk mengatasi berbagai penyakit.
Dengan meningkatnya harapan hidup, makanan memainkan peran penting dalam
mempertahankan kesehatan manusia. Hal ini merupakan tantangan bagi industri makanan
karena konsumen tidak saja menuntut makanan yang lezat dan nikmat, tetapi juga sehat dan
bergizi. Oleh karena itu, usaha-usaha yang dilakukan hendaklah diarahakan pada penelitian
dan pengembangan makanan-makanan fungsional berbasis dari organisme perairan dengan
prospek yang pada masa mendatang konsumsinya dapat menghasilkan penurunan prevalensi
dan keparahan penyakit-penyakit kronis.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 163
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Ekstrak metanol sidat A. marmorata mempunyai aktivitas antikoagulan terhadap
darah manusia. Fraksi unggul yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dianalisa lebih
lanjut untuk mengisolasi senyawa aktifnya melalui pemurnian dengan HPLC (High
Performance Liquid Chromatography) atau KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi).
Dengan demikian dapat direkomendasikan sebagai bahan makanan yang sehat dan juga
sebagai bahan sediaan farmasi.

Daftar Pustaka

Guyton, A.C. 1981. Textbook of Medical Physiology 6th Edition. Philadelphia, London,
Toronto, Tokyo: W.B. Saunders Company.

Macnair, 2011. Antikoagulan. http://news.bbc.co.uk.id.mk.gd/2/hi/health/medical_notes/a-


b/990593. stm. Diunduh tanggal 9 Mei 2012.

Napitupulu, R.J. 2011. Pengolahan Ikan Sidat. Modul Penyuluh Perikanan. Jakarta.

Rokhmin, D. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan


Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2003.

Sinurat, E., Peranginangin, R., Saepudin, E. 2011. Ekstraksi dan Uji Aktifitas Fukoidan dari
Rumput Laut Coklat (Sargassum crassifolium) sebagai Antikoagulan. Jurnal
Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol.6 No.2.
Warouw, V. 1994. Skripsi: Telaah Efek Antikoagulan dari Beberapa Jenis Rumput laut
(Rhodophyceae) di Perairan Sulut.Manado: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
UNSRAT.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


164 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
KAJIAN KANDUNGAN FENOLAT DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN
EKSTRAK ETANOL UBI BANGGAI (Dioscorea)
DARI BERBAGAI VARIETAS

JOICE NOVIANA PELIMA


Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso
Email: Joicenoviana.p5@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kandungan fenolat dan aktivitas antioksidan pada
tiga varietas ubi banggai. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan perlakuan varietas ubi banggai yang terdiri dari 3 varietas ubi banggai yaitu
ubi ungu, ubi kuning, ubi putih dan diulang 5 kali sehingga diperoleh 15 unit percobaan.
Pencapaian tujuan dilakukan dengan menerapkan perlakuan pengaruh ratio pelarut etanol
terhadap tepung ubi banggai dan pengaruh waktu ekstraksi terhadap kadar fenolat ekstrak
yang dihasilkan, serta pengaruh jenis ubi banggai terhadap kadar fenolat dan aktivitas
antioksidan ekstrak etanol. Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar fenolat tertinggi
(2,63%) untuk ubi banggai putih 2,44% untuk ubi banggai ungu dan 1,90% untuk ubi
banggai kuning pada ratio 15 : 1 atas dasar v/b dan pada waktu ekstraksi 2 jam. Aktivitas
antioksidan ekstrak etanol tertinggi (74,87%) ditemukan pada ekstrak ubi banggai putih dan
aktivitas antioksidan terendah (37,19%) pada ekstrak etanol ubi banggai kuning. Aktivitas
antioksidan sejalan dengan kandungan fenolat. Aktivitas antioksidan BHT 200 ppm sebagai
kontrol positif tidak berbeda dengan aktivitas antioksidan ekstrak ubi banggai putih

Kata Kunci: Kandungan Fenolat, Aktivitas Antioksidan, Ekstrak Etanol, Varietas Ubi
Banggai

Pendahuluan
Makanan dan kesehatan adalah dua hal penting yang terkait erat satu sama lain.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menimbulkan dampak
positif maupun negatif di bidang kesehatan. Salah satu dampak negatifnya adalah timbul
berbagai jenis penyakit kronis akibat pola makan seperti kanker, jantung koroner, hipertensi
yang mengarah ke stroke, penuaan dini dan terganggunya sistem kekebalan tubuh (Sabili,
2007). Hasil penelitian dari berbagai peneliti menyatakan bahwa timbulnya penyakit kronis
tersebut dipicu oleh adanya radikal bebas. Aktivitas molekul radikal bebas dapat
menimbulkan stress oksidatif yang menyebabkan berbagai penyakit. Stress oksidatif sendiri
adalah keadaaan tidak seimbangnya jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh (Sabili,
2007). Senyawa kimia yang mampu menghambat penuaan dan mengatasi berbagai penyakit
kronis yang diakibatkan oleh radikal bebas adalah senyawa kimia yang disebut antioksidan.
Antioksidan yang dikenal saat ini terdiri atas antioksidan sintesis dan antioksidan
alami. Menurut Barus (2009) penggunaan antioksidan sintetis tidak direkomendasikan oleh
Departemen Kesehatan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena diduga

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 165
dapat menimbulkan penyakit kanker (carcinogen agent) (Hernani dan Raharjo, 2005 dalam
Barus, 2009). Oleh karena itu perlu dicari alternatif lain yaitu antioksidan alami. Menurut
Sabili (2007) yang dimaksud antioksidan alami adalah antioksidan hasil ekstraksi bahan
alami tumbuhan maupun mikroba.
Tanaman ubi banggai termasuk family Dioscoreaceae merupakan tumbuhan
merambat dan memiliki umbi akar yang kadang berukuran sangat besar (Wikipedia, 2006).
Rahmatu dkk. (2001) menemukan 11 spesies tumbuhan yang tergolong dalam famili
Dioscoreaceae, yaitu: Babanal (Dioscorea warburgiana Uline), Ondot (Dioscorea hispida
Dennst.), Siloto (Dioscorea cf. deltoidea Wall.), Bakutu (Dioscorea glabra Roxb.), Baku
makuloloang (Dioscorea bulbifera var. celebica Burkill), Baku pusus (Dioscorea cf. alata),
Dioscorea keduensis Burkill, Dioscorea numularia, Ndolungun (Dioscorea esculenta
[Lour.] Burck.), Baku butun (Dioscorea alata L.). Salah satu ciri yang membedakan varietas
ubi banggai adalah warna umbinya. Umbi yang berwarna menandakan bahwa ubi banggai
mengandung komponen kimia yang berfungsi sebagai antioksidan alami.
Ubi banggai (Dioscorea) termasuk salah satu marga tanaman yang tidak bisa
dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Banggai Kepulauan (Bangkep). Hal tersebut
disebabkan karena ubi banggai merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Bangkep,
yang banyak ditemukan di Kecamatan Banggai dan Lainag. Dengan hasil 8.933,9 ton ubi
banggai memberikan kontribusi yang signifikan dalam peningkatan pendapatan daerah.
Masyarakat setempat mengolah ubi ini menjadi kolak, kripik, kue atau di rebus biasa
layaknya makanan utama. Pola makan dengan mengkonsumsi ubi sebagai menu utama pada
dasarnya adalah pola makan yang sehat dan patut untuk di pertahankan serta dikembangkan.
Warna ubi banggai yang teridentifikasi terdiri dari tiga golongan besar yaitu warna
ungu, kuning dan putih. Banyak kultivarnya yang memiliki umbi berwarna ungu sehingga
dalam bahasa Inggris dikenal sebagai purple yam (Wikipedia Indonesia, 2006). Umbi
berwarna ungu disebabkan karena adanya pigmen antosianin, sedangkan umbi yang
berwarna kuning disebabkan oleh adanya kandungan betakaroten (Retnati, 2009).
Kandungan beta karoten dan antosianin serta tokoferol dan senyawa-senyawa fenolat
berfungsi sebagai antioksidan (Hidayat, 2008; Retnati, 2009).
Sebagai perbandingan ubi jalar kaya akan serat, mineral, vitamin dan antioksidan
seperti asam fenolat, antosianin, tokoferol dan beta karoten (Hidayat, 2008). Kandungan
fenolat pada ubi jalar sekitar 0,14 – 0,51 mg/g berat segar. Kandungan antosianin pada ubi
jalar ungu lebih tinggi daripada ubi yang berwarna putih, kuning, dan jingga (Suardi, 2005
dalam Retnati, 2009). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Suprapta (2003) dalam Retnati

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


166 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
(2009) bahwa kandungan antosianin dalam ubi jalar putih adalah 0,06 mg/100g, ubi jalar
kuning 4,56 mg/100g, dan ubi jalar ungu 110,51 mg/100g. Ubi jalar ungu mengandung 0,4
– 0,6 mg antosianin/g berat segar (Hidayat, 2008).
Berdasarkan hal itu, terdapat indikasi ubi banggai mengandung senyawa fenolat,
karotenoid dan antosianin yang berperan sebagai antioksidan alami. Berdasarkan latar
belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah varietas mana yang
mengandung fenolat dengan konsentrasi tinggi dan varietas mana yang memiliki aktivitas
antioksidan yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kandungan fenolat pada
3 (tiga) varietas ubi banggai dan menentukan aktivitas antioksidan pada 3 (tiga) varietas ubi
banggai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal pengembangan ubi
banggai sebagai bahan pangan alternatif sumber antioksidan dan bahan pangan berbasis
umbi-umbian mendukung program ketahanan pangan nasional serta pengembangan ubi
banggai sebagai bahan pangan lokal mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat
secara mandiri.

Metode Penelitian
Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi banggai yang diperoleh
dari petani Banggai Kepulauan, terdiri atas 3 varietas, ubi banggai berwarna ungu, putih dan
kuning. Bahan lain sebagai bahan pengekstrak dan bahan kimia untuk analisis mencangkup
etanol teknis, fenol, NH4OH 0,5 N, buffer fosfat (pH = 12), indikator Metil Orange (MO),
asam fosfat, minyak kedelai, tween 20, ammonium tiosianat 30%, ferroklorida 0,02M, HCl
3,5%, aquades, alumunium foil dan kertas saring. Peralatan yang digunakan terdiri atas :
blender, ayakan 60 mesh, talang alumunium, neraca analitik, mesin kocok, penangas air,
rotary evaporator, lemari pendingin, Spektrofotometer UV-VIS, kuvet, corong buchner, labu
ukur, gelas ukur, erlenmeyer dan alat – alat gelas yang umum digunakan dalam laboratorium
Kimia. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan perlakuan varietas ubi banggai yaitu varietas Dioscorea bulbifera var celebica
Burkill dengan umbi berwarna ungu, varietas Dioscorea sp dengan umbi berwarna kuning
dan varietas Dioscorea of alata dengan umbi berwarna putih. Masing-masing perlakuan
diulang 5 kali sehingga diperoleh 15 unit percobaan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan 2 tahap yaitu: pembuatan tepung ubi banggai
selanjutnya ekstraksi dan analisis kandungan fenolat ekstrak etanol ubi banggai. Ubi banggai
(3 varietas) yang di peroleh dari Petani ubi banggai di daerah Banggai Kepulauan dicuci
sampai bersih dan direndam dalam air mendidih selama 7 menit, kemudian ditiriskan dan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 167
diiris tipis. Irisan ubi banggai selanjutnya dikeringkan di bawah sinar matahari hingga
kering, kemudian dibuat menjadi tepung menggunakan blender. Tepung ubi banggai yang
dihasilkan selanjutnya disimpan dalam wadah plastik sebelum digunakan dalam penelitian
selanjutnya.
Ekstraksi dan analisis kandungan fenolat tepung ubi banggai dari 3 varietas dilakukan
bertahap sebagai berikut: Tepung ubi banggai dari tiga varietas ditimbang dengan berat
tertentu, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan etanol. Rasio etanol
terhadap tepung ubi yang diterapkan terdiri atas rasio 5 : 1 (A), 7 : 1 (B), 9 : 1 (C), 11 : 1
(D), 13 : 1 (E), 15 : 1 (F), 17 : 1 (G), atas dasar volume/berat (v/b). Setiap perlakuan diulang
lima kali sehingga terdapat tiga puluh lima unit percobaan. Ekstraksi berlangsung diatas
mesin kocok agitasi 200 rpm selama 2 jam. Campuran selanjutnya disaring untuk
mendapatkan ekstrak etanol tepung ubi banggai. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan secara
vakum menggunakan rotary evaporator. Parameter yang diamati adalah kadar fenolat tepung
ubi banggai menggunakan metode spektrofotometri. Rasio etanol terhadap tepung ubi yang
menghasilkan kadar fenolat tertinggi dinyatakan sebagai rasio etanol terhadap tepung ubi
terseleksi dan digunakan pada tahap penentuan waktu ekstraksi.
Aktivitas antioksidan ditentukan menggunakan persamaan berikut:

𝑨𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍
Aktivitas antioksidan (%) = 1 - x 100%
𝑨 𝒃𝒍𝒂𝒏𝒌𝒐

Hasil dan Pembahasan


Kurva Baku Fenol
Kadar fenolat total dalam ekstrak ubi banggai dari berbagai varietas dilakukan
menggunakan metode spektrofotometri. Metode tersebut diawali dari pembuatan kurva baku
menggunakan senyawa fenol murni. Serapan maksimum larutan baku fenol murni
ditemukan pada panjang gelombang 460 nm. Hasil pengukuran serapan larutan standart
fenol antara konsentrasi 5 ppm dan 25 ppm dengan selang konsentrasi 5 ppm disajikan pada
Lampiran 3 Gambar 1. Hubungan antara absorbans (serapan) terhadap konsetrasi fenol
mengikuti kurva linier dengan persamaan Y = 0,017x + 0,111, dan koefisien regresi (R 2)
mendekati 1 yakni 0,999 (Gambar 1). Hal tersebut memberikan indikasi linieritas antara
serapan terhadap konsentrasi cukup tinggi (Miller, 1993; Ibrahim, 1997).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


168 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
0,6
y = 0,0176x + 0,1112
R² = 0,9829
0,5

0,4
Absorbansi
0,3

0,2

0,1

0
0 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi (ppm)

Gambar 1. Kurva baku fenol pada panjang gelombang 460 nm

Kadar Fenolat Total pada Berbagai Ratio Tepung Ubi Banggai/Pengekstrak Etanol
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap rendemen ekstrak suatu proses ekstraksi
adalah konsentrasi pengekstrak relatif terhadap jumlah yang diekstrak atau ratio antara
pengekstrak terhadap bahan yang diekstrak. Berdasarkan hal itu dilakukan ekstraksi senyawa
fenolat ubi banggai dengan pengekstrak etanol pada berbagai ratio pengekstrak etanol
terhadap tepung ubi banggai. Kadar fenolat total tertinggi untuk ketiga varietas ubi banggai
(ubi ungu, ubi kuning dan ubi putih) ditemukan pada ratio 15 : 1 atas dasar volume/berat
(v/b), akan tetapi kadar fenolat total berbeda antar varietas ubi banggai (Gambar 2 Tabel
Lampiran 6). Ubi banggai putih menghasilkan ekstrak etanol dengan kadar fenolat tertinggi
2,63% kemudian ubi banggai ungu dengan kadar fenolat 2,44% dan terakhir sebagai kadar
fenolat terendah terdapat pada ubi banggai kuning sebesar 1,90%
Hasil penelitian Fitrya dkk (2010) menyatakan bahwa dari fraksi etil asetat kulit batang
tumbuhan Gandaria (Bouea macrophylla Griff) berhasil diisolasi senyawa yang berupa
kristal berwarna putih sebanyak 10 mg. Berdasarkan analisis spektroskopi dan uji fitokimia
dengan pereaksi senyawa warna FeCl3 diduga senyawa tersebut merupakan senyawa
golongan fenolat yang tersubstitusi oleh gugus alifatik dan gugus karbonil. Sedangkan
Wijono (2004) menemukan bahwa dari ekstrak etanol 95% simplisia daun katu (Sauropus
androgynus (L.) Merr.) telah diisolasi senyawa-senyawa asam fenolat yang diidentifikasi
sebagai asam p-hidroksibenzaoat, asam ferulat, asam vanilat dan asam kafeat. Hasil analisis
kuantitatif menunjukkan bahwa asam p-hidroksibenzoat mempunyai presentase yang
tertinggi diantara keempat jenis asam fenolat yang telah diidentifikasi.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 169
Perbedaan kadar fenolat antar varietas ubi banggai diduga disebabkan oleh perbedaan
varietas yang berkaitan dengan komposisi kimia umbi karena faktor genetik seperti species.
Hal ini didukung oleh Farah dan Donanngelo (2006) yang menyatakan bahwa varietas sangat
menentukan komposisi kimiawi tanaman. Umbi banggai kuning diduga mengandung
karotenoid yang relatif tinggi dibandingkan dengan ubi banggai lainnya. Sebagai
perbandingan umbi kuning pada ubi jalar (Ipomoea batatas L.) mengandung betakarotin
antara 245,30 ug - 533,80 ug (Limbongan dan Albert, 2007). Dengan kandungan yang
tinggi tersebut, maka kandungan fenolatnya kemungkinan menurun. Demikian pula ubi
banggai ungu mengandung flavonoid yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ubi
banggai kuning. Kelompok terbesar dari senyawa fenolik adalah flavonoid, yang merupakan
senyawa yang secara umum dapat ditemukan pada semua jenis tumbuhan dan antosianin
yang terdapat pada umbi berwarna ungu termasuk senyawa flavonoid (Herdiansyah dkk,
2011). Dengan kandungan flavonoid yang tinggi maka kadar fenolatnya relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan ubi banggai kuning akan tetapi relatif lebih rendah dibandingkan
dengan ubi banggai putih.
3

2,5
Kadar Fenolat Total (%)

1,5 ubi ungu


ubi kuning
1 ubi putih

0,5

0
5 7 9 11 13 15 17
Rasio Etanol Terhadap Tepung Ubi (v/b)

Gambar 2. Kurva hubungan kadar fenolat total terhadap rasio etanol terhadap tepung ubi

Pola perubahan kadar fenolat pada berbagai ratio untuk semua varietas ubi banggai
mengikuti garis kurva parabola yang menunjukkan adanya daerah ratio yang kadar
fenolatnya meningkat dan kadar fenolatnya menurun (Gambar 2). Pengekstrak etanol pada
ratio 5 : 1, 7 : 1, 9 : 1 dan 11 : 1 belum cukup optimal berpenetrasi dalam tepung ubi banggai
akibatnya kadar fenolat yang dilarutkan juga belum optimal. Pada ratio 13 : 1 mulai terjadi

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


170 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
peningkatan kadar fenolat yang terlarut tetapi belum mencapai kadar yang optimum. Kadar
fenolat total tertinggi untuk semua jenis ubi banggai ditemukan pada ratio etanol 15 : 1
karena pada ratio ini tepung ubi banggai mencapai kadar fenolat yang optimum. Pola ini
ditemukan juga oleh Noviyanty (2011) dan Fitrya dkk. (2010).
Ratio etanol /tepung ubi banggai berpengaruh sangat nyata terhadap kadar fenolat
(Tabel Lampiran 7). Hasil analisis lanjut dengan UJI BNJ taraf 5% menunjukkan ratio
ethanol/ubi banggai 15:1 (v/b) berbeda dengan ratio etanol/ubi banggai yang lain untuk
semua jenis ubi banggai.

Kadar Fenolat Total pada Berbagai Waktu Ekstraksi


Faktor lain yang juga turut berpengaruh terhadap kadar fenolat hasil ekstraksi adalah
waktu ekstraksi. Untuk mengetahui waktu ekstraksi yang menghasilkan ekstrak dengan
kadar fenolat tinggi diterapkan perlakuan pengaruh waktu ekstraksi terhadap kadar fenolat.
Kadar fenolat tertinggi untuk semua jenis ubi banggai ditemukan pada waktu ekstraksi 2 jam
(Gambar 3 Tabel Lampiran 9). Ubi banggai putih kadar fenolat tertinggi (2,62%) ditemukan
pada waktu ekstraksi 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,55%) terdapat pada waktu
ekstraksi 1 jam. Ubi banggai ungu kadar fenolat tertinggi (2,39%) ditemukan pada
penggunaan waktu ekstrak 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,15%) terdapat pada waktu
ekstraksi 5 jam. Ubi banggai kuning kadar fenolat terrtinggi (1,90%) ditemukan pada waktu
ekstraksi 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,13%) terdapat pada waktu ekstraksi 5 jam.
Kadar fenolat terendah ubi banggai putih pada waktu ekstraksi 1 jam diduga karena
ubi banggai putih memerlukan waktu ekstraksi lebih lama untuk melarutkan senyawa fenolat
yang dikandungnya. Sedangkan kadar fenolat terendah ubi banggai ungu dan ubi banggai
kuning diduga disebabkan waktu ekstraksi lebih dari 2 jam mengakibatkan senyawa fenolat
mengalami dekomposisi sebagaimana dikemukakan Palupi dkk (2007) bahwa senyawa
polifenol seperti fenolat dan flavonoiddan tanin akan mudah teroksidasi dengan adanya
oksigen membentuk senyawa radikal orto-kuinon.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 171
3

2,5
Kadar Fenolat Total (%)

1,5
ubi ungu

1
ubi kuning

0,5 ubi putih

0
1 2 3 4 5

Waktu Ekstraksi (jam)

Gambar 3. Kurva hubungan kadar fenolat total terhadap waktu esktraksi

Perubahan kadar fenolat total terhadap waktu reaksi mengikuti pula perubahan garis
kurva parabola dimana waktu ekstraksi optimumnya terjadi pada waktu reaksi 2 jam
(Gambar 3). Pola perubahan kadar fenolat total yang juga ditemukan oleh Septiani (2011).
Pola perubahan kadar fenolat total terhadap waktu ekstraksi menunjukkan bahwa makin
lama ekstraksi maka fenolat yang diperoleh makin banyak dan mencapai titik optimumnya
pada waktu ekstraksi 2 jam dimana proses ekstraksi fenolat mencapai titik optimumnya dan
selanjutnya mulai menurun sampai ekstrak jenuh terhadap etanol.
Pola perubahan kadar fenolat terhadap waktu reaksi yang mengikuti kurva parabola
memberikan petunjuk senyawa fenolat mudah teroksidasi selama proses ekstraksi. Fenolat
dalam ketiga varietas umbi telah mengalami oksidasi setelah waktu ekstraksi 2 jam. Faktor
penyebab kerusakan fenolat selama ekstraksi diduga disebabkan oleh faktor cahaya yang
mengakibatkan senyawa fenol mengalami oksidasi oleh enzim tertentu sehingga terjadi
dekomposisi fenolat. Disamping itu etanol sebagai pengekstrak ikut menguap sehingga
mempengaruhi kadar fenolat ekstrak yang dihasilkan.
Analisis ragam menunjukkan waktu ekstraksi berpengaruh sangat nyata terhadap
kadar fenolat (Tabel Lampiran 10). Analisis lanjut dengan Uji BNJ taraf 5% menunjukkan
kadar fenolat berbeda antar waktu ekstraksi (Tabel Lampiran 11). Hal ini memperkuat
dugaan bahwa pola perubahan kadar fenolat terhadap waktu ekstraksi mengikuti kurva
parabola.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


172 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Ubi Banggai
Senyawa fenolat yang berasal dari kelompok flavonoid maupun dari kelompok
polifenol berperan sebagai antioksidan. Akan tetapi aktivitas antioksidannya sangat
ditentukan oleh jenis senyawa fenolat. Senyawa fenol merupakan senyawa yang banyak
terdapat pada semua jenis tanaman (Anwariyah, 2011). Selanjutnya dari hasil penelitian
terhadap tanaman Cymodocea rotundata diduga senyawa fenol berpengaruh terhadap
kandungan antioksidan karena Meenakshi dkk (2009) dan Lim dkk. (2002) dalam Anwariyah
(2011) menyatakan bahwa ada hubungan antara total fenol dan aktivitas antioksidan dimana
jika suatu bahan mememiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi maka aktivitas
antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi.
Hasil ekstraksi dari 3 varietas ubi banggai menunjukkan ketiga varietas mengandung
senyawa fenolat dengan kandungan tertinggi pada ubi banggai putih kemudian diikuti oleh
ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning. Ubi banggai putih diduga mengandung senyawa
fenol alami yang telah diketahui memiliki lebih dari seribu struktur dengan flavonoid
merupakan golongan terbesar. Dan sebagian besar senyawa flavonoid ditemukan dalam
bentuk glikosida, yaitu kombinasi antara suatu gula dan alkohol yang saling berikatan
melalui ikatan glikosida (Suradikusumah, 1989 dalam Anwariyah 2011)
Uji aktivitas ekstrak ubi banggai yang kadar fenolatnya tertinggi dilakukan yang
selanjutnya dibandingkan dengan aktivitas antioksidan sintetik yang umum digunakan
dalam pengolahan pangan, yakni Butylated Hidroksi Toluen (BHT) 200 ppm. Hasil yang
diperoleh diperlihatkan pada Gambar 4 Tabel Lampiran 11 yang menunjukkan aktivitas
antioksidan tertinggi (75,75%) ditemukan pada BHT, dan aktivitas antioksidan terrendah
(37,19%) terdapat pada ubi banggai kuning.
Aktivitas antioksidan sejalan dengan kandungan fenolat, sebab aktivitas antioksidan
tertinggi (74,87%) ditemukan pada ubi banggai putih, diikuti dengan ubi banggai ungu
(61,17%) dan terakhir ubi banggai kuning dengan aktivitas antioksidan sebesar 37,19%
(Gambar 4). Menurut Andayani dkk. (2008) dalam Anwariyah (2011), senyawa fenol yang
memiliki aktivitas antioksidan biasanya memiliki gugus –OH dan –OR seperti flavonoid dan
asam fenolat. Hal yang sama dinyatakan oleh Oktaviana (2010) dalam Anwariyah (2011)
bahwa senyawa fenol bisa berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuannya
meniadakan radikal-radikal bebas dan radikal peroksida sehingga efektif menghambat
oksida lipida. Disamping itu diduga ada senyawa fenolat lain yang terdapat dalam ubi
banggai putih sehingga dapat meningkatkan aktivitas antioksidannya (Arinanti dkk, 2002).

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 173
Ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning memiliki aktivitas antioksidan yang relatif
lebih rendah karena kandungan fenolat kedua varietas ubi tersebut juga relatif lebih rendah
dibanding ubi banggai putih. Dan diduga pula bahwa ekstraksi senyawa fenolik dengan
pengekstrak etanol berpengaruh pada aktivitas antioksidannya karena penggunaan
pengekstrak yang tidak sesuai dengan sifat bahan yang diekstrak dapat mempengaruhi
pengukuran jumlah senyawa antioksidan dan aktivitasnya (Arinanti dkk., 2002).

80

70
Aktivitas Antioksidan (%)

60

50

40

30

20

10

0
Ubi ungu Ubi kuning Ubi putih BHT
Varietas Ubi Banggai dan Kontrol

Gambar 4. Histogram Aktivitas Antioksidan Ubi Banggai dan BHT

Varietas ubi banggai berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan (Tabel


Lampiran 14). Hasil analisis lanjut dengan Uji BNJ taraf 5% menunjukkan aktivitas
antioksidan berbeda antar varietas ubi banggai (Tabel Lampiran 15). Hal ini memberikan
indikasi kadar fenolat ubi banggai sejalan dengan aktivitas antioksidannya.
Aktivitas antioksidan ekstrak ubi banggai putih tidak berbeda dengan aktivitas
antioksidan BHT (Tabel Lampiran 15). Dengan demikian, ubi banggai putih termasuk
penghasil senyawa antioksidan alami yang relatif tinggi. Senyawa antioksidan alami pada
tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan
asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Senyawa
antioksidan alami polifenol dan flavonoid yang bersifat relatif polar dan diduga berperan
aktif sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan, flavonoid memiliki kemampuan sebagai
penangkap radikal bebas dan pengkompleks ion logam (Robinson, 1991 dalam Tensiska
dkk, 2003).
Prosant dkk, 2010 menyatakan aktivitas antioksidan ubi jalar ditentukan oleh
kandungan flavonoid, sedangkan flavonoid termasuk senyawa fenolat. Hal yang sama

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


174 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
dikemukakan oleh. Zhang (2007), Everette (2012) dan Ghasemzadeh (2012) yang
menyatakan bahwa kadar fenolat total hasil ekstraksi tanaman ubi jalar berkorelasi tinggi
dengan aktivitas antioksidan. Sebagai perbandingan dengan hasil penelitian Teow dkk
(2006) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan bervariasi antara varietas ubi jalar dan
intensitas warna ubi cenderung sejalan dengan aktivitas antioksidannya.

2,5
Kadar Fenolat Total (%)

1,5 ubi ungu


ubi kuning
1
ubi putih

0,5

0
5 7 9 11 13 15 17
Rasio Etanol Terhadap Tepung Ubi (v/b)

Gambar 5. Kurva hubungan kadar fenolat total terhadap rasio etanol terhadap tepung ubi

Pola perubahan kadar fenolat pada berbagai ratio untuk semua varietas ubi banggai
mengikuti garis kurva parabola yang menunjukkan adanya daerah ratio yang kadar
fenolatnya meningkat dan kadar fenolatnya menurun (Gambar 5). Pengekstrak etanol pada
ratio 5 : 1, 7 : 1, 9 : 1 dan 11 : 1 belum cukup optimal berpenetrasi dalam tepung ubi banggai
akibatnya kadar fenolat yang dilarutkan juga belum optimal. Pada ratio 13 : 1 mulai terjadi
peningkatan kadar fenolat yang terlarut tetapi belum mencapai kadar yang optimum. Kadar
fenolat total tertinggi untuk semua jenis ubi banggai ditemukan pada ratio etanol 15 : 1
karena pada ratio ini tepung ubi banggai mencapai kadar fenolat yang optimum. Pola ini
ditemukan juga oleh Noviyanty (2011) dan Fitrya dkk. (2010).
Ratio etanol /tepung ubi banggai berpengaruh sangat nyata terhadap kadar fenolat
(Tabel Lampiran 7). Hasil analisis lanjut dengan UJI BNJ taraf 5% menunjukkan ratio
ethanol/ubi banggai 15:1 (v/b) berbeda dengan ratio etanol/ubi banggai yang lain untuk
semua jenis ubi banggai.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 175
Kadar Fenolat Total pada Berbagai Waktu Ekstraksi
Faktor lain yang juga turut berpengaruh terhadap kadar fenolat hasil ekstraksi adalah
waktu ekstraksi. Untuk mengetahui waktu ekstraksi yang menghasilkan ekstrak dengan
kadar fenolat tinggi diterapkan perlakuan pengaruh waktu ekstraksi terhadap kadar fenolat.
Kadar fenolat tertinggi untuk semua jenis ubi banggai ditemukan pada waktu ekstraksi 2 jam
(Gambar 6 Tabel Lampiran 9). Ubi banggai putih kadar fenolat tertinggi (2,62%) ditemukan
pada waktu ekstraksi 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,55%) terdapat pada waktu
ekstraksi 1 jam. Ubi banggai ungu kadar fenolat tertinggi (2,39%) ditemukan pada
penggunaan waktu ekstrak 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,15%) terdapat pada waktu
ekstraksi 5 jam. Ubi banggai kuning kadar fenolat terrtinggi (1,90%) ditemukan pada waktu
ekstraksi 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,13%) terdapat pada waktu ekstraksi 5 jam.
Kadar fenolat terendah ubi banggai putih pada waktu ekstraksi 1 jam diduga karena
ubi banggai putih memerlukan waktu ekstraksi lebih lama untuk melarutkan senyawa fenolat
yang dikandungnya. Sedangkan kadar fenolat terendah ubi banggai ungu dan ubi banggai
kuning diduga disebabkan waktu ekstraksi lebih dari 2 jam mengakibatkan senyawa fenolat
mengalami dekomposisi sebagaimana dikemukakan Palupi dkk (2007) bahwa senyawa
polifenol seperti fenolat dan flavonoiddan tanin akan mudah teroksidasi dengan adanya
oksigen membentuk senyawa radikal orto-kuinon.

2,5
Kadar Fenolat Total (%)

1,5 ubi ungu


ubi kuning
1
ubi putih
0,5

0
1 2 3 4 5

Waktu Ekstraksi (jam)

Gambar 6. Kurva hubungan kadar fenolat total terhadap waktu esktraksi

Perubahan kadar fenolat total terhadap waktu reaksi mengikuti pula perubahan garis
kurva parabola dimana waktu ekstraksi optimumnya terjadi pada waktu reaksi 2 jam
(Gambar 6). Pola perubahan kadar fenolat total yang juga ditemukan oleh Septiani (2011).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


176 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Pola perubahan kadar fenolat total terhadap waktu ekstraksi menunjukkan bahwa makin
lama ekstraksi maka fenolat yang diperoleh makin banyak dan mencapai titik optimumnya
pada waktu ekstraksi 2 jam dimana proses ekstraksi fenolat mencapai titik optimumnya dan
selanjutnya mulai menurun sampai ekstrak jenuh terhadap etanol.
Pola perubahan kadar fenolat terhadap waktu reaksi yang mengikuti kurva parabola
memberikan petunjuk senyawa fenolat mudah teroksidasi selama proses ekstraksi. Fenolat
dalam ketiga varietas umbi telah mengalami oksidasi setelah waktu ekstraksi 2 jam. Faktor
penyebab kerusakan fenolat selama ekstraksi diduga disebabkan oleh faktor cahaya yang
mengakibatkan senyawa fenol mengalami oksidasi oleh enzim tertentu sehingga terjadi
dekomposisi fenolat. Disamping itu etanol sebagai pengekstrak ikut menguap sehingga
mempengaruhi kadar fenolat ekstrak yang dihasilkan.
Analisis ragam menunjukkan waktu ekstraksi berpengaruh sangat nyata terhadap
kadar fenolat (Tabel Lampiran 10). Analisis lanjut dengan Uji BNJ taraf 5% menunjukkan
kadar fenolat berbeda antar waktu ekstraksi. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pola
perubahan kadar fenolat terhadap waktu ekstraksi mengikuti kurva parabola.
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Ubi Banggai
Senyawa fenolat yang berasal dari kelompok flavonoid maupun dari kelompok
polifenol berperan sebagai antioksidan. Akan tetapi aktivitas antioksidannya sangat
ditentukan oleh jenis senyawa fenolat. Senyawa fenol merupakan senyawa yang banyak
terdapat pada semua jenis tanaman (Anwariyah, 2011). Selanjutnya dari hasil penelitian
terhadap tanaman Cymodocea rotundata diduga senyawa fenol berpengaruh terhadap
kandungan antioksidan karena Meenakshi dkk. (2009) dan Lim dkk. (2002) dalam
Anwariyah (2011) menyatakan bahwa ada hubungan antara total fenol dan aktivitas
antioksidan dimana jika suatu bahan mememiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi
maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi.
Hasil ekstraksi dari 3 varietas ubi banggai menunjukkan ketiga varietas mengandung
senyawa fenolat dengan kandungan tertinggi pada ubi banggai putih kemudian diikuti oleh
ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning. Ubi banggai putih diduga mengandung senyawa
fenol alami yang telah diketahui memiliki lebih dari seribu struktur dengan flavonoid
merupakan golongan terbesar. Dan sebagian besar senyawa flavonoid ditemukan dalam
bentuk glikosida, yaitu kombinasi antara suatu gula dan alkohol yang saling berikatan
melalui ikatan glikosida (Suradikusumah, 1989 dalam Anwariyah, 2011).

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 177
Uji aktivitas ekstrak ubi banggai yang kadar fenolatnya tertinggi dilakukan yang
selanjutnya dibandingkan dengan aktivitas antioksidan sintetik yang umum digunakan
dalam pengolahan pangan, yakni Butylated Hidroksi Toluen (BHT) 200 ppm. Hasil yang
diperoleh diperlihatkan pada Gambar 7 Tabel Lampiran 11 yang menunjukkan aktivitas
antioksidan tertinggi (75,75%) ditemukan pada BHT, dan aktivitas antioksidan terrendah
(37,19%) terdapat pada ubi banggai kuning.
Aktivitas antioksidan sejalan dengan kandungan fenolat, sebab aktivitas antioksidan
tertinggi (74,87%) ditemukan pada ubi banggai putih, diikuti dengan ubi banggai ungu
(61,17%) dan terakhir ubi banggai kuning dengan aktivitas antioksidan sebesar 37,19%
(Gambar 7). Menurut Andayani dkk. (2008) dalam Anwariyah (2011), senyawa fenol yang
memiliki aktivitas antioksidan biasanya memiliki gugus –OH dan –OR seperti flavonoid dan
asam fenolat. Hal yang sama dinyatakan oleh Oktaviana (2010) dalam Anwariyah (2011)
bahwa senyawa fenol bisa berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuannya
meniadakan radikal – radikal bebas dan radikal peroksida sehingga efektif menghambat
oksida lipida. Disamping itu diduga ada senyawa fenolat lain yang terdapat dalam ubi
banggai putih sehingga dapat meningkatkan aktivitas antioksidannya (Arinanti dkk., 2002).

80

70
Aktivitas Antioksidan (%)

60

50

40

30

20

10

0
Ubi ungu Ubi kuning Ubi putih BHT
Varietas Ubi Banggai dan Kontrol

Gambar 7. Histogram Aktivitas Antioksidan Ubi Banggai dan BHT

Ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning memiliki aktivitas antioksidan yang relatif
lebih rendah karena kandungan fenolat kedua varietas ubi tersebut juga relatif lebih rendah
dibanding ubi banggai putih. Dan diduga pula bahwa ekstraksi senyawa fenolik dengan
pengekstrak etanol berpengaruh pada aktivitas antioksidannya karena penggunaan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


178 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
pengekstrak yang tidak sesuai dengan sifat bahan yang diekstrak dapat mempengaruhi
pengukuran jumlah senyawa antioksidan dan aktivitasnya (Arinanti dkk, 2002).
Varietas ubi banggai berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan. Hasil analisis
lanjut dengan Uji BNJ taraf 5% menunjukkan aktivitas antioksidan berbeda antar varietas
ubi banggai. Hal ini memberikan indikasi kadar fenolat ubi banggai sejalan dengan aktivitas
antioksidannya.
Aktivitas antioksidan ekstrak ubi banggai putih tidak berbeda dengan aktivitas
antioksidan BHT. Dengan demikian, ubi banggai putih termasuk penghasil senyawa
antioksidan alami yang relatif tinggi. Senyawa antioksidan alami pada tumbuhan umumnya
adalah senyawa fenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat,
kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Senyawa antioksidan alami
polifenol dan flavonoid yang bersifat relatif polar dan diduga berperan aktif sebagai
antioksidan. Sebagai antioksidan, flavonoid memiliki kemampuan sebagai penangkap
radikal bebas dan pengkompleks ion logam (Robinson, 1991 dalam Tensiska dkk, 2003).
Prosant dkk, 2010 menyatakan aktivitas antioksidan ubi jalar ditentukan oleh
kandungan flavonoid, sedangkan flavonoid termasuk senyawa fenolat. Hal yang sama
dikemukakan oleh. Zhang (2007), Everette (2012) dan Ghasemzadeh (2012) yang
menyatakan bahwa kadar fenolat total hasil ekstraksi tanaman ubi jalar berkorelasi tinggi
dengan aktivitas antioksidan. Sebagai perbandingan dengan hasil penelitian Teow dkk
(2006) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan bervariasi antara varietas ubi jalar dan
intensitas warna ubi cenderung sejalan dengan aktivitas antioksidannya.

Kesimpulan
Rasio etanol terhadap tepung ubi banggai dari berbagai varietas yang menghasilkan
kadar fenolat tertinggi terdapat pada rasio 15 : 1 (v/b). Waktu ekstraksi tepung ubi banggai
dari berbagai varietas yang menghasilkan kadar fenolat tertinggi terdapat pada waktu
ekstraksi 2 jam. Ubi banggai putih mengandung fenolat tertinggi (2,63%) diikuti oleh ubi
banggai ungu (2,44%) dan ubi banggai kuning (1,90%). Ubi banggai putih memiliki
aktivitas antioksidan tertinggi (74,87%) diikuti oleh ubi banggai ungu (61,17%) dan ubi
banggai kuning (37,19%).

Daftar Pustaka

Andayani,R.,Y. Lisawati dan Maimunah, 2008. Penentuan aktivitas antioksidan, kadar


fenolat total dan likopen pada buah tomat (Solanum Lycopersicum L.), Jurnal Sains
dan Teknologi Farmasi, Vol. 13 (1).

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 179
Anwariyah, S, 2011. Kandungan Fenol, Komponen Fitokimia dan aktivitas antioksidan
Lamun Cymodocea rotundata. Departemen teknologi Hasil Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Agwunobi, L.N., 1999. Dioscorea alata (water yam) as a replacement for maizei diets laying
hens. Tropical animal Health and production; Dec 1999; 31(6), 391- 396; ProQuest
Agriculture Journals.

Arinanti M, Marsono Y, Noor Z, 2002. Aktivitas Antioksidan pada Berbagai Jenis Kacang.
Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada.

Arnau G, Nemorin A, Maledon E and Abraham K, 2009. Revision of Ploidy Status of


Dioscorea alata L. (Dioscoreaceae) by cytogenetic and microsatellite segregation
analysis. Theor Appl Genet (2009) 118: 1239-1249.

Barus, Pina, 2009. Pemanfaatan Bahan Pengawet dan Antioksidan Alami pada Industri
Bahan Makanan. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu
Kimia Analitik pada Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara. Medan.

Boesalem M, Viader V, Mariac C, Gomez R-M, Hochu I, Santoni S, and David J, 2010.
Evidence of diploidy in the wild Amerindian yam, a putative progenitor of the
endangered species Dioscorea trifida (Dioscoreaceae). Publised on the NRC
Research Press.

Champagne, 2011. Biological Pigments: Research Result from Chatolic University Update
Knowledge of Biological Pigments. The Journal of Food Composition and
Anthocyanins and Other Phenolic Compound among Tropical Root Crops from
Vanuatu, South Pasific. Journal of Food Composition Analisis. 24(3): 315-325.

Chan, EWC and Lim, YY, 2006. Antioxidant Activity of Thunbergia Laurifolia Tea. Journal
of Tropical Forest Science, 20(2) Proquest Agriculture Journals pg. 130

Chung, 2008. Food Science; Research in the area of Food Science Reported from Asian
University. Internasional Jurnal of Food Science and Technology, 2008: 43(5): 859-
864.

Delahaye, PD and Techeira N, 2009. Chemical and Functional Properties of native and
Modified Yam (Dioscorea alata) Starch. Biologa, Universidad Central de Venezuale
(UCV).

Duvivier, P, Hsieh, PC, Lai, PY, Charle, AL, 2010. Retention of Phenolics, carotenoids, and
Antioxidant Activity in the Taiwanese sweet potato (Ipomoea batatas L.) CV tainong
66 subjected to different drying conditions. African Journal of Food Agriculture,
Nutrition and Development. Vol. 10, No. 11.

Eni, AO, Hughes, J.d′A. Asiedu, R, 2008. Sequence diversity among badnavirus isolates
infecting yam (Dioscorea spp.) in Ghana, Togo, Benin and Nigeria. Original Article.
Arch Virol (2008) 153:2263-2272

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


180 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Everette, JD and Islam, S, 2012. Effect of Extraction Produsers, Genotypes and screening
Methods to Measure the Antioksidan Activity Potential and Phenolic content of
Orange- fleshed sweet potato (Ipomoea batatas L.). Journal of Agricultural and Food
Chemistry 54(23), pp 8733-8737

Fitrya, Anwar, L, Novitasari, E, 2010. Isolasi Senyawa Fenolat dari fraksi Etil Asetat Kulit
Batang Tumbuhan Gandaria. Jurnal Penelitian Sains Volume 13 Nomor 1(c) Jurusan
kimia FMIPA Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 181
KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK MAKANAN OTAK-OTAK DENGAN
BAHAN BAKU BERBAGAI JENIS IKAN

A. KHAIRUN MUTIA
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gorontalo
Email: andikhairunmutia@gmail.com

ABSTRAK
Otak-otak adalah salah satu jenis makanan yang dibuat dari ikan, yang dibungkus dengan
menggunakan daun pisang kemudian dibakar. Makanan ini adalah salah satu makanan khas
Sulawesi Selatan, yang merupakan produk modifikasi antara kamaboko dan baso. Ikan yang
banyak digunakan pada umumnya yaitu ikan tenggiri namun memiliki harga yang mahal
serta sulit ditemukan. Maka perlu dilakukan modifikasi dengan menggunakan ikan yang
relative murah namun memiliki sifat daging yang sama dengan ikan tenggiri. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui rasa, tekstur, warna dan rasa dari ikan swangi, ikan
selar kuning, dan ikan kurisi bali yang digunakan sebagai pengganti ikan tenggiri.
Karakteristik produk diuji secara organoleptik dan pengukuran komposisi gizi meliputi
kadar protein, kadar air, kadar lemak dan kadar abu. Jenis otak-otak yang paling disukai
adalah otak-otak dari ikan kurisi bali. Nilai uji kandungan gizi dari produk yang terbaik
adalah kadar protein 19,13%, kadar abu 0,95%, kadar air 72,88%, dan kadar lemak 0,48%.
Kata Kunci: Ikan Swangi, Ikan Selar Kuning, Ikan Kurisi Bali, Uji Organoleptik, Uji
Proksimat

Latar Belakang
Otak-otak merupakan salah satu jenis makanan tradisional di Indonesia berbahan dasar
ikan yang dibungkus dengan daun pisang kemudian dibakar. Setelah dibakar akan di makan
bersama saus kacang. Namun penyajiannya dapat menggunakan saus kacang ataupun
dimakan tersendiri tanpa menggunakan saus kacang.
Ikan yang sering digunakan dalam pembuatan otak-otak adalah jenis ikan tenggiri.
Ikan ini memiliki tekstur daging yang kenyal dan padat serta memiliki warna yang putih
tetapi memiliki harga yang sangat tinggi dan jarang untuk ditemukan. Untuk mengatasi hal
itu dilakukan modifikasi dengan mengganti ikan tersebut dengan jenis ikan lain sehingga
mudah dijangkau bagi masyarakat menengah ke bawah karena memiliki harga yang relatif
murah. Ikan yang menjadi kriteria dalam pembuatan otak-otak yaitu memiliki daging yang
putih dan padat.
Namun, saat ini masih sangat jarang ditemukan otak-otak yang berbahan dasar selain
ikan tenggiri. Misalnya dengan ikan-ikan yang murah dan mudah diperoleh, sehingga perlu
dilakukan pengkajian mengenai bagaimana mutu organoleptik terhadap produk otak-otak
ini. Dengan uraian inilah, maka dilakukan penelitian tentang “Karakteristik Organoleptik
Makanan Otak-otak dengan Bahan Baku Berbagai Jenis Ikan”.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


182 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Metode Penelitian
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah talenan, baskom, panic, mixer,
blender, pisau, timbangan analitik, sendok, piring, cawan, oven, tabung reaksi, pipet tetes,
tanur, erlenmeyer, cawan porselin, gelas ukur, soxhlet, tabung kjeldahl, kjedhal sistem,
desikator, tungku pengabuan, dan oven, alat tulis menulis, kuisioner.
Bahan-bahan yang digunakan yaitu daging ikan, merica, garam, daun bawang, bawang
merah, bawang putih, putih telur, santan, tepung tapioka, gula, es batu, air, tissue roll,
aluminium foil, NaOH 2,5 M, CuSO4 0,01 M, alkohol netral, indikator phenolpthalein (pp),
NaOH 0,1 M, kapas.

Prosedur Penelitian
Penelitian Pendahuluan
Sebelum melakukan penelitian utama, perlu dilakukan penelitian pendahuluan dengan
melakukan survey-survey mengenai beberapa jenis ikan yang masuk dalam kriteria daging
ikan yang dapat diolah menjadi otak-otak. Penelitian pendauhuluan ini dilakukan di Tempat
Pelelangan Ikan Potere dan Lelong.

Penelitian Utama
Pembuatan Daging Ikan Giling
1. Ikan disortasi terlebih dahulu
2. Dilakukan penyiangan ikan, yang meliputi penghilangan sisik, pemisahan kepala dan
badan ikan.
3. Pemisahan daging dan kulitnya
4. Kemudian dilakukan pencucian hingga bersih
5. Ditimbang 150 g kemudian digiling hingga halus, dengan penambahan es sebanyak 20%

Pembuatan Otak-otak
1. Ikan yang telah dihaluskan, lalu ditambahkan tepung tapioka 15%
2. Dimasukkan bahan-bahan tambahan, meliputi santan, bawang merah, bawang putih,
merica, daun bawang, garam dan gula serta putih telur secara bergantian, diaduk hingga
±15 menit
3. Dilakukan pengemasan dengan menggunakan daun pisang

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 183
4. Dilakukan pengukusan dengan suhu 90°C dengan waktu 25 menit
Setelah dibuat otak-otak, kemudian dilakukan uji organoleptik dengan mengamati parameter
hedonik (tekstur, rasa, aroma dan warna) terhadap lima jenis otak-otak yang dihasilkan dari
lima jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Kemudian akan menghasilkan satu jenis
otak-otak yang terbaik.

Perlakuan Penelitian
A1. Daging Ikan Ekor Kuning (150g) + Tepung Tapioka (15%)+Bumbu
A2. Daging Ikan Selar Kuning (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu
A3. Daging Ikan Swangi (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu
A4. Daging Ikan Kurisi (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu
A5. Daging Ikan Kurisi Bali (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu

Hasil dan Pembahasan


Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan yang dilakukan ke pasar-pasar ikan menghasilkan beberapa
ikan yang digunakan sebagai bahan utama untuk pembuatan otak-otak, yaitu ikan ekor
kuning, ikan selar kuning, ikan swangi, ikan kurisi dan ikan kurisi bali. Ikan-ikan tersebut
baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan otak-otak dengan kriteria berdaging
putih, kenyal, tidak memiliki banyak tulang, murah serta melimpah.

Penelitian Utama
Tekstur
Respon panelis pada tekstur dari otak-otak dari berbagai jenis ikan ini dapat dilihat
pada Gambar 1. Dari hasil tersebut dapat dilihat skor yang tertinggi pada perlakuan otak-
otak ikan selar kuning dengan nilai 4 yaitu suka sedangkan yang terendah adalah pada
perlakuan otak-otak ikan swangi dengan nilai 3,6 yaitu agak suka. Perbedaan ini disebabkan
karena kandungan protein yang terdapat pada jenis ikan, yang dimana protein dapat
mempengaruhi tingkat kekenyalan dari otak-otak. Hal ini sesuai dengan pendapat Eka et al
(2015) bahwa kualitas dan kandungan protein ikan dapat berpengaruh terhadap tingkat
kekenyalan otak-otak dan kaki naga.
Jumlah dan jenis tepung tapioka yang digunakan juga sangat mempengaruhi hasil akhir
dari otak-otak yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Arumsari (2013), bahwa
tepung tapioka berfungsi sebagai bahan pengisi, pengikat, dan pemantap yang sangat
berpengaruh pada mutu akhir produk terutama tekstur dan konsistensi produk otak-otak.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


184 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Jenis dan jumlah bahan pengikat akan snagat berpengaruh pada kualitas tekstur dari otak-
otak yang dihasilkan.

Gambar 1. Histogram Uji Organoleptik Tekstur

Rasa
Respon panelis terhadap rasa dari otak-otak berbagai jenis ikan ini dapat dilihat pada
Gambar 2. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa skor yang tertinggi yaitu pada otak-otak
ikan kurisi bali dengan skor 4,4 yaitu suka sedangkan yang terendah yaitu pada otak-otak
ikan ekor kuning dengan skor 4 yaitu suka. Hal ini disebabkan karena kandungan lemak
pada ikan kurisi bali lebih banyak dibandingkan ikan ekor kuning sehingga otak-otak ikan
kurisi bali lebih terasa gurih dibandingkan otak-otak dari jenis ikan lainnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Candra et al (2014), bahwa banyak cita rasa dan keharuman yang
menyenangkan dari makanan diperoleh dari lemak dalam pangan. Lemak adalah pembawa
vitamin A, D, E, dan K yang larut dalam lemak.

Aroma
Respon panelis terhadap aroma dari otak-otak dari berbagai jenis ikan ini dapat dilihat
pada Gambar 3. Dari hasil tersebut, dapat dilihat skor yang tertinggi yaitu pada otak-otak
ikan kurisi dengan skor 4,3 yaitu suka, sedangkan yang terendah yaitu pada perlakuan
dengan otak-otak ikan ekor kuning dengan skor 4 yaitu suka Perbedaan yang dihasilkan ini
disebabkan oleh kandungan lemak yang dikandung oleh setiap jenis ikan, yang dimana ikan
kurisi lebih banyak memiliki kandungan lemak sehingga saat pemanasan memiliki aroma
yang khas karena pecahnya komponen-komponen lemak menjadi produksi volatil seperti
aldehid, keton, alkohol, asam, dan hidrokarbon yang sangat berpengaruh terhadap
pembentukan flavor. Hal ini sesuai dengan pendapat Dimas et al (2015), bahwa akibat
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 185
pemanasan daging maka lemak dalam daging akan mencair sehingga menambah
palatabilitas daging. Hal ini disebabkan oleh pecahnya komponen-komponen lemak menjadi
produksi volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam, dan hidrokarbon yang sangat
berpengaruh terhadap pembentukan flavor.

Gambar 2. Histogram Uji Organoleptik Rasa

Gambar 3. Histogram Uji Organoleptik Aroma

Warna
Respon panelis terhadap warna otak-otak dari berbagai jenis ikan yang dihasilkan pada
Gambar 8, menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata. Namun dari kelima sampel
tersebut, memperlihatkan skor yang tertinggi adalah pada perlakuan otak-otak ikan kurisi
bali dengan skor 4,1 yaitu suka, sedangkan yang terendah pada perlakuan otak-otak ikan
swangi dengan skor 3,4 yaitu agak suka. Perbedaan ini disebabkan karena kandungan protein
dari setiap ikan berbeda. Diketahui ikan swangi memiliki kandungan protein yang lebih
rendah dibandingkan ikan kurisi bali. Sehingga warna yang terdapat pada ikan swangi tidak
terlalu disukai oleh panelis karena perubahan warna pada otak-otak ikan swangi tidak terlalu

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


186 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
bagus. Hal ini sesuai dengan pendapat Karim et al (2013), bahwa pemanasan protein dapat
menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi Reaksi-reaksi tersebut diantaranya kehilangan
aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, pemutusan ikatan
peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Reaksi ini dipengaruhi
kandungan protein, suhu dan lama pemanasan, kandungan protein, pH, dan senyawa aktif
lainnya khususnya senyawa karbonil.

Gambar 4. Histogram Uji Organoleptik Warna

Profil Kimia Produk Otak-otak dengan Bahan Baku Ikan yang Terbaik
Jenis otak-otak yang terbaik dengan bahan baku ikan yang terbaik dari uji organoleptik
diperoleh Ikan Kurisi Bali adalah jenis otak-otak yang terbaik. Maka dari jenis otak-otak
ikan kurisi bali tersebut dilakukan uji lanjutan yaitu berupa uji proksimat meliputi kadar air,
kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Komposisi Gizi otak-otak ikan kurisi bali dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1.Komposisi Gizi Otak-otak Ikan Kurisi Bali
Komponen Jenis
Air 72,88 %
Abu 0,91 %
Protein 19,13 %
Lemak 0,48 %
Sumber : Data Primer Penelitian, 2010.
Dari table 1 dapat dilihat kandungan gizi untuk otak-otak yang terpilih dari uji
organoleptik. Dari table terlihat kandungan kadar air sebanyak 72,88%, kadar abu sebanyak
0,91%, kadar protein sebanyak 19,13% dan lemak sebanyak 0,48%. Menurut Karim et al
(2013), bahwa otak-otak yang merupakan diversifikasi dari kamaboko yang berbahan dasar
surimi maka otak-otak dapat mengikuti SNI No. 01–2693-1992, yaitu kadar abu antara

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 187
0,44% – 0,96%, kadar protein antara 10,44% – 19,40%, dan kadar lemak antara 0,09% –
0,55%. Sehingga setelah dibandingkan otak-otak kurisi bali, hasil penelitian memenuhi
standar SNI.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan hasil uji organoleptik, perlakuan yang terbaik adalah dengan perlakuan
daging ikan kurisi bali (150gr) + tepung tapioka (15%) + bumbu.
2. Komposisi gizi otak-otak ikan kurisi bali yaitu kadar air sebanyak 72,88%, kadar abu
sebanyak 0,91%, kadar protein sebanyak 19,13% dan lemak sebanyak 0,48%.

Saran
Diharapkan setelah melakukan penelitian ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu
masa simpan dari otak-otak yang dihasilkan sehingga dapat di pasarkan secara luas.

Daftar Pustaka
Arumsari, M. D., YS Darmanto dan P. H. Riyadi. 2013. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi
Tepung Kentang (Solanum tuberosum) terhadap Karateristik Pasta dari Ikan Air
Tawar, Payau dan Laut. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 2 (5) :
108-117.

Candra, F. N., P. H. Riyadi, dan I. Wijayanti. 2014. Pemanfaatan Karagenan (Euchema


cottoni) sebagai Emulsifier terhadap Kestabilan Bakso Ikan Nila (Oreochromis
nilotichus) pada Penyimpanan Suhu Dingin. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi
Hasil Perikanan. 3 (1) : 167-176.

Dimas Ahmad, Tri Winarni dan Ima Wijayanti. 2015. Pengaruh Penambahan Keragenan
sebagai Stabilizer Terhadap Karakteristik Otak-otak Ikan Kurisi (Nemipterus
nematophorus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. Vol.4 No.4. Thn
2015: 1-10.

Eka Irma Q.Bariah, S.Berhimpon, Eunike L.Mongi. 2015. Karakteristik Organoleptik Otak-
otak Ikan yang diberi Edible Coating Keraginan dengan Penambahan Asap Cair.
Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. Vol.3 No.1. Februari 2015: 19-24.

Karim, Mutemainna., Susilowati, A. dan Asnidar, 2013. Tingkat Kesukaan Konsumen


Terhadap Otak-Otak dengan Bahan Baku Ikan Berbeda. Jurnal Balik Diwa Sains dan
Teknologi Volume 4 No. 1 Januari-Juni 2013. Makassar.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


188 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
EKSTRAKSI BERTINGKAT β- KAROTEN DARI WORTEL DENGAN PELARUT
HEKSANA DAN PETROLEUM ETER

STRATIFIED EXTRACTION OF BETA CAROTENE FROM CARROTS WITH


HEXSANE AND PETROLEUM
ETHER SOLVENT

YULIANTI
Universitas Gorontalo
Email: yuliantibora@gmail.com

ABSTRAK
Proses ekstraksi beta karoten menggunakan pelarut organik seperti heksana, aseton,
petroleoum eter, kloroform dan lain lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas pelarut dalam mengekstrak beta karoten pada wortel dan pengaruh lama
penyimpanan dingin setelah sentrifugasi terhadap kandungan beta karoten. Pada penelitian
ini, ekstraksi beta karoten dilakukan dengan menggunakan pelarut heksana dan petroleum
eter serta campuran pelarut antara heksana dengan petroleum eter (75% : 25%). Hasil
ekstraksi disimpan selama 20 jam dan 40 jam di dalam refrigerator (4oC) kemudian pelarut
dan sampel dipisahkan dengan metode sentrifugasi (10000 rpm, 15 menit, 5 oC). Sampel
dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer ± 7 jam. Hasil ekstraksi bertingkat
menunjukkan penggunaan pelarut pertama tidak melarutkan beta karoten secara
keseluruhan, pada pelarut kedua dan ketiga masih terdapat beta karoten yang terlarut.

Kata Kunci: Wortel, Ekstraksi, Beta Karoten, Heksana, Petroleum Eter

ABSTRACT
Extraction of beta carotene can be used organic solvents such as hexane, acetone,
petroleoum ether, chloroform and others. The purpose of this study was to determine the
effectiveness of solvent to extract the beta carotene in carrots and the effect of long time
storage in cool temperature on the content of beta carotene after centrifugation. In this
study, beta carotene extraction is carried out by using hexane and petroleum ether and
solvent mixture between hexane with petroleum ether (75% : 25%). Extraction results were
stored for 20 hours and 40 hours in refrigerator (4oC) and then solvent and sample were
separated by centrifugation method (10000 rpm, 15 min, 5°C). The samples were dried by
using freeze dryer ± 7 hours. The results of stratified step extraction reveal that the first
solvent can not completely solve beta carotene, the second and third solvents can be found
of beta carotene.
Keywords: Carrot, Extraction, Beta Carotene, Hexane, Petroleum Ether.

Pendahuluan
Wortel (Daucus carota L.) merupakan tanaman sayuran umbi semusim berbentuk
semak, tumbuh sepanjang tahun, musim hujan maupun kemarau. Wortel merupakan salah
satu sumber β-karoten. Kandungan karoten wortel antara 60 – 120 mg/100 g. Karoten yang
terdapat pada wortel tidak hanya beta karoten tetapi terdapat juga alfa karoten, dan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 189
alfatokoferol. Beta karoten adalah salah satu jenis karotenoid yang berfungsi sebagai
prekursor vitamin A, pigmen esensial untuk kesehatan mata, mencegah kebutaan.
Metode ekstraksi karoten yang sering dilakukan yaitu dengan menggunakan pelarut
organik (Schoefs, 2004). Karoten merupakan salah satu jenis karotenoid. Karotenoid
bersifat tidak larut dalam air, metanol, etanol dingin, larut dengan baik dalam pelarut-
pelarut organik seperti karbon disulfida, benzena, kholoform, aseton, eter dan petroleum
eter (Purnamasri et al, 2013). β-karoten merupakan senyawa non polar yang sangat larut
baik dalam pelarut non polar seperti heksana (Gusti, 2012). Metode ekstraksi dengan
menggunakan larutan cair biasa disebut juga ekstraksi pelarut (solvent extraction). Metode
ini melibatkan pelarut dengan tujuan untuk memisahkan komponen yang diinginkan, dimana
pelarut melarutkan sebahagian bahan padatan sehingga bahan terlarut yang diinginkan dapat
diperoleh.
Esktraksi β-karoten pada wortel telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan
pelarut etanol dan 2-propanol dengan kondisi ektsraksi yang berbeda-beda (Fikselova et al.,
2008). Esktraksi β-karoten pada wortel juga telah dilakukan dengan menggunakan pelarut
heksana dan petroleum eter dengan metode penelitian satu tahap (Yulianti et al,2017). Pada
penelitian ini ektraksi mengunakan pelarut heksana dan petroleum eter dengan cara ektraksi
dilakukan secara bertingkat. Tujuan dilakukannya ekstraksi bertingkat yaitu untuk
mengesktrak secara keseluruhan β-karoten yang ada pada wortel.

Metode Penelitian
Metode yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan melarutkan β-karoten dari
wortel dengn menggunakan pelarut heksana pada tahap pertama, selanjutkanya ampas hasil
penyaringan dari tahap pertama dilarutkan dengan menggunakan pelarut petroleum eter
(tahap kedua). Ampas hasil penyaringan tahap kedua selanjutnya dilarutkan dengan
menggunakan pelarut heksana dan petroleum eter (75% : 25%) Setiap hasil ekstraksi
disimpan dalam refrigerator selama 20 jam dan 40 jam pada suhu 4 oC dan dilakukan
pemisahan antara pelarut dengan β-karoten yang terekstrak dengan cara sentrifugasi.
Sentrifugasi dilakukan pada 10000 rpm selama 20 menit pada suhu 5 oC. Ekstrak kemudian
dibekukan dan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer sampai menjadi
bubuk (± 7 jam). Sebelum dilakukan pengeringan ditambahkan bahan pengisi maltodekstrin
10% dari berat hasil sentrifugasi.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


190 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Hasil dan Pembahasan
Rendemen akhir dari ekstrak β-karoten dari umbi wortel dipengaruhi oleh banyaknya
komponen yang terekstrak pada saat proses ekstraksi. Di mana keberhasilan proses ekstraksi
sangat ditentukan oleh penggunaan pelarut. Kesesuaian pelarut dengan komponen yang akan
diekstrak akan menghasilkan rendemen yang tinggi. Komponen yang bersifat polar akan
larut pada pelarut polar, begitupun pada komponen nonpolar akan larut pada pelarut
nonpolar. Gambar 1 menunjukkan bahwa setelah diekstrak dengan pelarut pertama yaitu
heksana dan ampasnya kemudian diekstrak kembali dengan pelarut petroleum eter masih
ada komponen yang terekstrak, begitupun pada ekstraksi pelarut ketiga dengan penggunaan
campuran pelarut antara heksana dan petroleum eter dengan perbandingan 75 : 25 masih ada
komponen yang terekstrak walaupun jumlahnya kecil. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
semua komponen terekstrak pada ekstraksi pelarut pertama.
0,35
0,3
0,3

0,25
Rendmen (%)

0,2

0,15

0,1 0,085
0,065
0,05

0
H PE H : PE
75 :25
Pelarut

Gambar 1. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Rendemen Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel
dengan Ekstraksi Bertingkat (H: Heksana, PE: Petroleum Eter)

Banyaknya komponen yang terekstrak dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan,
dalam hal ini sifat polaritas pelarut dan komponen yang akan diekstrak harus sama,
komponen yang bersifat polar akan terekstrak dengan pelarut yang bersifat polar, begitupun
komponen yang bersifat non polar akan terekstrak dengan pelarut yang bersifat nonpolar.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Bennita (2008), bahwa prinsip ekstraksi adalah melarutkan
senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam senyawa non-polar.
.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 191
0,2
0,18
0,18
0,16
Rendemen (%) 0,14
0,12
0,12
0,1
0,08
0,06
0,04
0,02
0
20 Jam 40 jam
Lama Penyimpanan Dingin

Gambar 2. Pengaruh Lama Penyimpanan Dingin Setelah Ekstraksi terhadap Rendemen


Akhir Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel dengan Ekstraksi Bertingkat

Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin lama hasil ekstraksi disimpan pada suhu
dingin semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Penyimpanan selama 40 jam memiliki
rendemen lebih banyak dibandingkan dengan penyimpanan selama 20 jam karena pada suhu
dingin energi kinetik partikel melemah dan menyebabkan gravitasi menurun sehingga daya
tarik antar partikel semakin kuat untuk menyatu. Pada suhu tinggi energi kinetik akan
meningkat sehingga akan terjadi tumbukan antar partikel. Hal ini sesuai dengan Heriyanto
dkk (2011), bahwa semakin tinggi suhu, energi kinetik yang dimiliki oleh molekul-molekul
akan meningkat. Molekul molekul akan bertumbukan dan menyebabkan reaksi kimia
semakin cepat.
0,4
0,35
0,3
Rendemen (%)

0,25
0,2 Lama Penyimpanan
0,15 Dingin 20 Jam
Lama Penyimpanan
0,1
Dingin 40 jam
0,05
0
H PE H : PE
75 :25
Pelarut

Gambar 3. Pengaruh Interaksi Antara Jenis Pelarut dengan Lama Penyimpanan Dingin
Setelah Ekstraksi terhadap Rendemen Akhir Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel
dengan Ekstraksi Bertingkat (H: Heksana, PE: Petroleum Eter)

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


192 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Interaksi antara penggunaan jenis pelarut dengan lama penyimpanan dingin setelah
proses ekstraksi sangat berpengaruh terhadap rendemen. Penggunaan pelarut yang sesuai
dengan polaritas beta karoten akan mengekstrak lebih banyak beta karoten pada wortel dan
penyimpanan dingin selama 40 jam akan memudahkan penyatuan antara molekul-molekul
beta karoten karena pada suhu dingin energi kinetik menjadi lemah dan ikatan antara pelarut
dengan partikel juga melemah. Pada prinsipnya, senyawa nonpolar akan larut dalam pelarut
nonpolar. Semakin panjang rantai beta karoten semakin bersifat nonpolar.
Beta karoten merupakan zat organik yang bersifat nonpolar yang dapat larut dalam
pelarut nonpolar. Heksana dan petroleum eter merupakan pelarut nonpolar sehingga beta
karoten dapat larut. Ekstraksi bertingkat bertujuan agar beta karoten yang tidak larut pada
ektraksi pelarut pertama larut pada ekstraksi pelarut kedua begitu seterusnya. Gambar 4
menunjukkan bahwa pada pelarut pertama (heksana) tidak semua beta karoten dapat larut
sempurna (2,466 mg), pada pelarut kedua (petroleum eter) masih terdapat beta karoten yang
terlarut walaupun jumlahnya sedikit (0,116 mg) begitupun pada pelarut ketiga (heksana 75 :
petroleum eter 25) masih terdapat beta karoten yang larut yaitu 0,389 mg. Pelarut yang
dicampur yaitu heksana dan petroleum eter (75 : 25) lebih mendekati tingkat polaritas beta
karoten dibandingkan dengan petroleum eter.
3
2,466
2,5
Beta Karoten (mg)

1,5

0,5 0,389
0,116
0
H PE H : PE (75 : 25)
Pelarut

Gambar 4. Pengaruh Pelarut terhadap Kandungan Beta Karoten Pewarna Bubuk dari Umbi
Wortel dengan Ekstraksi Bertingkat (H : Heksana, PE : Petroleum Eter)

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 193
Heksana dan petroleum eter merupakan pelarut yang sering digunakan dalam proses
ekstraksi. Kedua pelarut ini memiliki selektifitas yang tinggi dalam melarutkan zat. Heksana
dan petroleum eter adalah pelarut yang memiliki toksitas rendah. Petroleum eter sangat
mudah menguap sehingga dalam proses ekstraksi harus memperhatikan kondisi ruangan
ekstraksi. Hal ini sesuai dengan Guenther (1990), bahwa keuntungan pelarut heksana yaitu
bersifat selektif dalam melarutkan zat, menghasilkan jumlah kecil lilin, albumin, dan zat
warna, namun dapat mengekstrak zat pewangi dalam jumlah besar. Penggunaan petroleum
eter sangat menguntungkan karena bersifat selektif dalam melarutkan zat, tapi mempunyai
kelemahan yaitu kehilangan pelarut cukup besar selama proses berlangsung.

1,4
1,198
1,2
Beta Karoten (mg)

1
0,783
0,8
0,6
0,4
0,2
0
20 Jam 40 Jam
Lama Penyimpanan Dingin (4°C)

Gambar 5. Pengaruh Lama Penyimpanan Dingin terhadap Kandungan Beta Karoten


Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel dengan Ekstraksi Bertingkat

Energi kinetik molekul sangat mempengaruhi penyatuan antar molekul-molekul.


Semakin tinggi energi kinetik maka molekul akan bertumbukan, begitupun sebaliknya
semakin rendah energi kinetik molekul akan mudah bersatu. Gambar 5 menunjukkan bahwa
lama penyimpanan dingin 40 jam kandungan beta karotennya lebih tinggi (1,198 mg)
dibandingkan dengan lama penyimpanan dingin selama 20 jam (0,783 mg). Suhu akan
mempengaruhi energi kinetik, semakin rendah suhu maka energi kinetik juga rendah
begitupun sebaliknya. Semakin tinggi suhu, energi kinetik yang dimiliki oleh molekul-
molekul akan meningkat. Molekul molekul akan bertumbukan dan menyebabkan reaksi
kimia semakin cepat.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


194 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
3,5

Beta Karoten (mg)


2,5

1,5 20 Jam
1 40 Jam

0,5

0
H PE H : PE
(75 : 25)
Pelarut

Gambar 6. Pengaruh Interaksi Pelarut dengan Lama Penyimpanan Dingin terhadap


Kandungan Beta Karoten Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel dengan Ekstraksi
Bertingkat (H: Heksana, PE: Petroleum Eter)

Penggunaan jenis pelarut dengan lama penyimpanan dingin setelah proses ekstraksi
berpengaruh terhadap kandungan beta karoten melalui ektraksi bertingkat. Penggunaan
pelarut yang sesuai dengan polaritas beta karoten akan mengekstrak lebih banyak beta
karoten pada wortel dan penyimpanan dingin selama 40 jam akan memudahkan penyatuan
antara molekul-molekul beta karoten karena pada suhu dingin energi kinetik menjadi lemah
dan ikatan antara pelarut dengan partikel juga melemah. Pada prinsipnya, senyawa nonpolar
akan larut dalam pelarut polar. Semakin panjang rantai beta karoten semakin bersifat
nonpolar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bennita (2008), bahwa prinsip ekstraksi adalah
melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam senyawa non-
polar.

Kesimpulan
Ekstraksi bertingkat menunjukkan bahwa pelarut pertama tidak melarutkan beta
karoten secara keseluruhan, dan pada pelarut kedua dan ketiga masih terdapat beta karoten
yang terlarut walaupun jumlahnya kecil.

Daftar Pustaka
Bennita BL. 2008. Karakterisasi Dan Purifikasi Antosianin Pada Buah Duwet (Syzygium
cumini) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Gusti DR. 2012. Studi Pengaruh Kerusakan Beta-karoten dalam Pelarut Heksana, Aseton
dan Metanol serta Tanpa Pelarut Dalam Udara Terbuka. Jurnal Penelitian
Universitas Jambi Seri Sains., Vol 14 (2) : 25-28.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 195
Fikselova M, Silhar S, Marecek J, Francakova H. 2008. Extraction of Carrot (Daucus carota
L.) Carotenes under Different Conditions. Czech J. Food Sci., 26 (4) : 268 – 274.

Heriyanto H. Rochmadi, Arief B. 2011. Kinetika Reaksi Alkyd Resin Termodifikasi


Minyak Jagung dengan Asam Phtalat Anhidrat. J. Rekayasa Proses 5(1): 1-9.

Guenther, E., 1990. Minyak Atsiri Jilid III. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mariana L, Yayuk A, Erin RG. 2013. Analisis Senyawa Flavonoid Hasil Fraksinasi Ekstrak
Diklorometana Daun Keluwih (A.camansi). Majalah Ilmiah Chemistry Progress 6
(2): 50-55.

Muslich, Prayoga S, Indri RH. 2010. Kinetika Adsorpsi Isotermal β-Karoten dari Olein
Sawit Kasar dengan Menggunakan Bentonit. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 19(2), 93-100.

Purnamasari N, MAM Andriani, Kawiji. 2013. Pengaruh Jenis Pelarut dan Variasi Suhu
Pengering Spray Dryer terhadap Kadar Karotenoid Kapang Oncom Merah
(Neurospora sp.). Jurnal Teknosains Pangan. 2 (1): 107-114.

Schoefs B. 2004. Determination of Pigments in Vegetables. J. of Chromatography A,


1054: 217-226.

Skrede G, Nilsson A, Baardseth P, Rosenfeld HJ, Enersen G, Slinde E. 1997. Evaluation of


carrot varieties for production of deep fried carrot chips – III. Carotenoids. Food
Research International 30:73–81.

Yulianti, Amran, L., Meta, M. 2017. Ekstraksi Beta Karoten dari Wortel dengan Pelarut
Heksana dan Petroleum Eter. Jurnal Bertani. 12(1): 48-58.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


196 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
THE BEST DRYING TIME FOR EXTRUDED SAGO NOODLE
ADNAN ENGELEN1*, SUGIYONO2, SLAMET BUDIJANTO2
1
Department of Agricultural Product Technology, Polytechnic of Gorontalo,
Botupingge District, Gorontalo Province 96583, Indonesia
2
Department of Food Science, Bogor Agricultural University, West Java,
Bogor 16680, Indonesia
*Email: adnanengelen@poligon.ac.id

ABSTRACT

The aim of this research was to determine of drying time in sago noodle. Sago noodle was
made through a process using twin screw extruder with the addition of GMS (Glycerol
Monostearate) and ISP (Isolated Soybean Protein). This study consisted of two stages: 1)
determination of the range of process variable and formula, 2) Drying of sago noodle using
a tray drier. Based on the line equation and the change rate (k) of the value of moisture
content during the drying time of the one ordo equation, the required drying time of dried
sago noodles at the temperature of 50, 60, and 70°C was 161, 146, and 124 minutes
respectively.
Keywords: Glycerol Monostearate (GMS); Noodle; Sago; Isolated Soybean Protein
(ISP)

Introduction
Sago is one of the agricultural products in Indonesia which has a high production rate
and good benefits (Yuliani et al. 2015). Area of sago world is 2.5 million ha, about 50% is
in Indonesia (1:25 million ha). From the total, 1.2 million ha is in Papua and West Papua
(Nasir, 2013). Products of processed sago is starch sago (Adawiyah et al., 2013; Budijanto
and Yuliyanti 2012; Mohamed et al. 2008). (Syakir, 2013) reports that the productivity
potential of sago in Indonesia may reach 6.84 million tons / year. The production of sago
starch can be up to 25 tons of dry starch/ha/year (Sumaryono, 2007). (Ruku, 2009; Muin,
2014) report that the sago starch has been used as a food ingredient in several regions of
Indonesia, such as sago processing in the form of papeda (Papua), sinonggi (Southeast
Sulawesi), and Kapurung (South Sulawesi). In addition, the other utilization of sago starch
is for the production of starch noodles (Singhal et al., 2008; Sugiyono et al., 2009; Purwani
et al., 2006).
According to (Tan et al., 2009) the different of starch noodle characteristics with
noodles made from wheat is starch noodles have one or two heat treatment during the
process. The heat treatment can be done through boiling or steaming process makes starch
gelatinized and subsequently undergo retrogradation to form a starch noodles. (Tan et al.,
2009) divide the starch noodles processing technology into three methods: dropping, cutting,
and extrusion. Methods of dropping and cutting technology is the making process of

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 197
traditional starch noodles, while the method of extrusion is a process technology that modern
manufacture of starch noodles. Extrusion method can produce starch noodles efficient and
simpler procedure without preparing starch pasta separately. Starch noodle obtained from
these methods are not easily damaged by cooking.
Starch noodle with addition of isolated soybean protein (ISP) and glycerol
monostearate (GMS) in the manufacture of dry noodles is expected to affect the
characteristics of the resulting dried noodles. In addition, in the making process of dried
noodles, temperature and drying time have a very important role. This is because of the
drying temperature is too high and the drying time is too long, so that it can effect to a
decrease in the nutritional value and color changes of dried noodles. Meanwhile, when the
temperature, which is too low then require a long drying time. Therefore, this study aimed
to know of drying time in sago noodle in accordance with (Indonesia Nasional Standard,
1996).

Materials and Methods


The main material used in this study is glycerol monostearate (GMS) was obtained
from PT. Lautan Luas, Jakarta, Isolated Soybean Protein (ISP) and sago starch extraction
plant stems sago (sago Metroxylon) from PT. Bina Sago Lestari, Jakarta. The tools used in
this research is the dough mixer, scales, twin screw extruder (Berto BEX-DS-2256), tray
drier, desicator, oven, bath, and other support tools. This study determined the drying time
sago noodle which was obtained from the extrusion. The drying of sago noodle used tray
dryer.
Drying Of Sago Noodle with Tray Dryer; The important factor that must be
considered in making of dried sago noodle was temperature and drying time. The drying
temperature used for drying sago noodle was 50, 60, and 70 °C. Drying was conducted by
the time variation of 15, 30, 60, 90, 120 and 180 minutes. After drying, dried sago noodle
was measured its water content. Before doing the process, first done the stages that have
been conducted by (Engelen et al., 2015) who reported that determination of the range of
process variables and formulation was conducted by trial and error, which consisted of three
stages, namely : 1) the selection of the range of the process temperature extruder and the
water content of the dough, 2) the selection of temperature and time of drying in tray drier,
and 3) selection of Isolated Soybean Protein (ISP) and Glycerol Monostearate (GMS).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


198 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Results and Discussion
Drying of Sago Noodle with Tray Dryer; The important factor that must be
considered in making of dried sago noodles was temperature and drying time. Sago noodle
coming out of the extruder was inserted into the tray drier for dried perfectly into dry
products. Drying was conducted by the time variation of 0, 15, 30, 60, 90, 120, and 180
minutes. Changes in water content (%db) of dried sago noodles for drying time (minutes) at
a drying temperature of 50, 60 and 70 °C could be seen in Fig. 1.

80

70
Moisture content (%)

60

50

40 Temperature 50°C
Temperature 60°C
30
Temperature 70°C
20

10

0
0 15 30 60 90 120 180
Drying Time (minutes)

Fig. 1 The change in water content (%db) of dried sago noodles for drying time 0, 15, 30,
60, 90, 120, and 180 minutes at the drying temperature of 50, 60 and 70°C

The change in the value of the water content of dried sago noodles at the temperature
and drying time certains could be made the model of its the reaction kinetics, i.e. the reaction
of zero ordo and one ordo. The following was the reaction equation of zero ordo and one
ordo:
Zero ordo reaction equation: [At] = [Ao] - kt
One ordo reaction equation: lin [At] = lin [Ao] - kt
The equation of change in water content could be seen in Table 1. Based on the table
showed the correlation value between the change in water content and drying time was good
relatively (R2 > 0.70). In general, the increase value of the reaction rate constant (k) of the
decrease in water content was concomitant with the increase in temperature.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 199
Table 1 Equation line and a constant rate of change (k) values of moisture content during
drying time
Zero ordo One Ordo
Temperature
Parameter Reaction Reaction
(°C) k R2 k R2
equations equations
y = -0.309x y’ = -0.010x
50 0.309 0.796 0.010 0.923
+ 55.95 + 4.057
Moisture
y = -0.306x y’ = -0.011x
content 60 0.306 0.759 0.011 0.894
+ 52.49 + 3.984
y = -0.314x y’ = -0.013x
70 0.314 0.710 0.013 0.884
+ 49.48 + 1.698
Notes: y = water content (%); y’ = lin [water content (%)]; x = drying time (minute)
Selection of the reaction ordo based on the value of the correlation (R 2) which was the
largest. The value of R2 to one ordo larger than the value of R2 to zero ordo, so reaction ordo
used was one ordo. Initial moisture content of dried sago noodles before drying was 70.1%,
while the water content of the target was 14%. This was consistent with those required by
Codex (2006) was 14%. Drying time at 50, 60 and 70 °C in accordance with one ordo
equation reaction could be seen in Table 2.
Table 2 Drying long-time of dried sago noodle with tray dryer at the temperature of 50, 60,
and 70°C in accordance with one ordo reaction equation
One Ordo
Temperature Ao At
Parameters Lin Lin Drying time
(oC) (%) (%) k
Ao At (min)
50 70.1 14 0.010 4.25 2.64 161
Moisture
60 70.1 14 0.011 4.25 2.64 146
contenr
70 70.1 14 0.013 4.25 2.64 124
Notes: Ao = initial water content; At = target water content; k = constant reaction
Drying time of this study was according to the results of research of (Wahyudi and
Kusningsih 2008) which were drying sago noodle with rack drying techniques. Research
results of (Wahyudi and Kusningsih 2008) showed the water content of 10,13% and 7.86%
could be obtained with a drying time of 120 minutes at the temperature of 50 and 60°C.

Conclusion
Based on the line equation and the change rate constant (k) of water content value
during drying by the one ordo reaction equation of the drying time of dried sago noodle
which was needed to achieve the target water content (14%) at the temperature of 50, 60,
and 70°C respectively were 161, 146, and 124 minutes.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


200 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Acknowledgment
This research was financially supported by the Technopark of Agricultural
Technology Faculty. Bogor Agricultural University.

References
Adawiyah, Dede R., Tomoko Sasaki, and Kaoru Kohyama. 2013. “Characterization of
Arenga Starch in Comparison with Sago Starch.” Carbohydrate Polymers 92 (2).
Elsevier Ltd.: 2306–13. doi:10.1016/j.carbpol.2012.12.014.
Engelen, Adnan, Sugiyono, and Slamet Budijanto. 2015. “Process and Formula
Optimizations on Dried Sago (Metroxylon Sagu) Noodle Processing.” AGRITECH 35
(4): 359–67.
Indonesia Nasional Standard (SNI). 1996. “Dried Noodles - Indonesia.”
Mohamed, A., B. Jamilah, K. A. Abbas, R. Abdul Rahman, and K. Roselina. 2008. “A
Review on Physicochemical and Thermorheological Properties of Sago Starch.”
American Journal of Agricultural and Biological Science 3 (4): 639–46.
doi:10.3844/ajabssp.2008.639.646.
Muin, Nurhaedah. 2014. “Manfaat Sagu ( Metroxylon Spp.) Bagi Petani Hutan Rakyat Di
Kabupaten Konawe Selatan.” Info Teknis EBONI 11 (2): 95–102.
Nasir, Gamal. 2013. “Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Sagu.” Jakarta.
Purwani, Endang Y., Y. Setiawaty, H. Setianto, and Widaningrum. 2006. “Karakteristik Dan
Studi Kasus Penerimaan Mi Sagu Oleh Masyarakat Di Sulawesi Selatan.” AGRITECH
26 (1): 24–33.
Ruku, Subadah. 2009. “Meningkatkan Minat Masyarakat Mengolah Sagu Untuk Berbagai
Produk Olahan.” Buletin Teknologi Dan Informasi Pertanian.
Singhal, Rekha S., John F. Kennedy, Sajilata M. Gopalakrishnan, Agnieszka Kaczmarek,
Charles J. Knill, and Putri Faridatul Akmar. 2008. “Industrial Production, Processing,
and Utilization of Sago Palm-Derived Products.” Carbohydrate Polymers 72 (1): 1–
20. doi:10.1016/j.carbpol.2007.07.043.
Slamet Budijanto, Yuliyanti. 2012. “Studi Persiapan Tepung Sorgum (Sorghum Bicolor L.
Moench) Dan Aplikasinya Pada Pembuatan Beras Analog.” Teknologi Pertanian 13
(3): 177–86.
Sugiyono, Ridwan Thahir, Feri Kusnandar, Endang Yuli Purwani, Dian Herawati. 2009.
“Peningkatan Kualitas Mi Instan Sagu Melalui Modifikasi Heat Moisture Treatment.”
In Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB, 666–77.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 201
Sumaryono. 2007. “Tanaman Sagu Sebagai Sumber Energi Alternatif.” Warta Penelitian
Dan Pengembangan Pertanian 29 (4): 3–4.
Syakir, M., and Elna Karmawati. 2013. “Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon Sp.) Sebagai
Bahan Baku Bio Energi.” Perspektif 12 (2): 57–64.
Tan, Hong Zhuo, Zai Gui Li, and Bin Tan. 2009. “Starch Noodles: History, Classification,
Materials, Processing, Structure, Nutrition, Quality Evaluating and Improving.” Food
Research International 42 (5–6). Elsevier Ltd: 551–76.
doi:10.1016/j.foodres.2009.02.015.
Wahyudi, Marman, and Kusningsih. 2008. “Teknik Pengeringan Mi Sagu Dengan
Menggunakan Pengering Rak.” Buletin Teknik Pertanian 13 (12): 62–64.
Yuliani, Hilka, Nancy Dewi Yuliana, Slamet Budijanto, Departemen Ilmu, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Sdwl Phuxsdndq, et al. 2015.
“Formulation of Dry Sago Noodles with Mung Bean Flour Substitution.” AGRITECH
35 (4).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


202 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
PENGARUH PENAMBAHAN GULA DAN GELATIN TERHADAP SIFAT
SENSORIS SOYGHURT

NURHAFSAH1* DAN ASRIANI I. LABOKO2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat.
Jl. H. Abdul Malik Pattana Endeng-Mamuju, Sulawesi Barat
2
Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Ichsan Gorontalo
Jl. Drs. Achmad Najamuddin
*Email: nurhafsah_tiro@yahoo.com

ABSTRAK

Soyghurt merupakan makanan berupa gel hasil hasil fermentasi asam laktat pada susu
kedelai dengan menggunakan bakteri Streptococcusn thermophillus dan Lactobacillus
bulgaricus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis gula dan
persentase gelatin terhadap sifat sensoris soyghurt. Perlakuan penelitian terdiri atas
penambahan penambahan gula (sukrosa, glukosa, laktosa) serta gelatin 3%, 5% dan 7%.
Parameter pengamatan adalah penerimaan panelis terhadap rasa, aroma, warna dan
konsistensi soyghurt. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) yang disusun secara factorial dengan dua kali ulangan dengan menggunakan
uji lanjutan Beda Nyata Jujur (BNJ). Berdasarkan hasil uji panelis yang telah dilakukan
diperoleh, rasa, aroma dan warna yang paling disukai adalah pada penambahan sukrosa
dengan persentase gelatin masing-masing 3% dan 7%%; 3 dan 7%; serta 7%. Kosistensi
soyghurt yang paling disukai adalah penambahan glukosa dengan persentase gelatin 5%.
Kata Kunci: Soyghurt, Fermentasi, Kedelai, Susu

Pendahuluan
Kacang-kacangan atau legume merupakan kelompok tanaman yang digolongkan
dalam famili Leguminosae, seperti kedelai. Kedelai banyak dimanfaatkan sebagai sumber
gizi utama dan sumber komponen pangan fungsional khususnya protein. Biji kedelai utuh
(whole seeds) terseusun dari 8% kulit biji (hull/seed coats), 90% keping biji (cotyledon), dan
2 hipokotil. Protein biji kedelai mengandung 18 jenis asam amino, yaitu 11 asam amino
esensial (Cysteine, Histidine, Isoleucine, Leucine, Lysine, Methioine, Phenylalanine,
Threonin, Tryptophan, Tyrosine dan Valine) dan 7 asam amino non esensial (Alanine,
Arginine, Aspartic acid, Glutamic acid,Glycine, Proline dan Serin). Kompnen asam amino
penyusun paling banyak adalah asam glutamat (Kametro, 2017).
Susu kedelai merupakan salah satu bentuk olahan kedelai yang dapat menjadi salah
satu alternatif pengganti susu sapi karena memiliki komponen gizi yang hampir sama. Susu
kedelai mengandung lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1, B2 dan
Isoflavon. Kandungan asam lemak tak jenuh relatif tinggi dan tidak mengandung kolesterol
(Liu, 2004).

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 203
Susu kedelai dapat difermentasi menjadi susu kedelai asam (Soyghurt). Kondisi
fermentasi akan memberikan pengaruh terhadap terbentuknya bioaktif peptida. Pada produk
hasi fermentasi, bioaktif peptida yang terbentuk tergantung dari jenis bakteri yang terdapat
dalam kultur starter dan derajat hidrolisis (waktu fermentasi yang terjadi) (Nirmagustina,
2014).
Soyghurt merupakan produk fermentasi susu kedelai dengan menggunakan bakteri
Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Soyghurt memiliki kelebihan
antara lain bebas laktosa, bebas kolesterol, mengandung lemak yang rendah dan memiliki
protein yang tinggi. Soyghurt dapat membantu pencernaan, mencegah diare, dan mencegah
peningkatan kadar kolesterol darah yanh terlalu tinggi (Purwati, 2008).
Gelatin merupakan bahan yang berbentuk padat (solid) dan tidak berwarna sampai
berwarna sedikit kekuningan, serta hampir tidak memiliki bau dan rasa. Gelatin dalam dunia
industry pangan berfungsi untuk menigkatkan elastisitas, konsistensi dan stabilitas produk
pangan yang dihasilkan. Selain itu gelatin dapat pula digunakan sebagai pengganti lemak
dalam bahan pangan (Jaswir, 2007).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis gula dan persentase
gelatin terhadap sifat sensoris soyghurt.

Metode
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian di laksanakan di Labortorium Nutrisi Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar. Waktu Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai bulan Juli
sampai Agustus 2015.

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian, baskom, panci, kompor, blender, saringan,
inkubator, lamir flow, oven, timbangan analitik, pH meter, desikator, botol timbang, labu
kajedhal, labu destilasi, alat titrasi, automatic stirer dan alat-alat gelas.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan soyghurt, kacang kedelai, sukrosa, glukosa,
laktosa, gelatin, bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Bahan
kimia yang digunakan H2SO4, H2BO3, K2SO4, HgO, NaOH-Na2S2O3, Indikator MM, HCl,
Hexan dan Aquades.

Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu pembuatan susu kedelai dan fermentasi
susu kedelai (soyghurt). Pembuatan susu kedelai dengan menggunakan metode Illiones

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


204 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
(Yusmasari et al., 1998). Pembuatan susu kedelai dilakukan dengan cara, biji kedelai yang
telah disortir direndam dalam larutan NaHCO3 0,5% selama 12 jam dengan perbandingan 1
: 3 dan tiriskan. Kedelai yang telah di rendam kemudian di blanching dengan larutan
NaHCO3 0,5% selama 30 menit dengan perbandingan 1 : 3. Kulit kedelai dibuang dan dicuci
hingga bersih kemudian ditiriskan. Kedelai dihancurkan dengan menggunakan blender
sambil ditambahkan air panas (80 – 100oC) dengan perbandingan 1 : 7. Kedelai diblender
selama 7 menit kemudian disaring. Susu kedelai yang telah disaring kemudian digunakan
untuk pembuatan soyghurt.
Pembuatan soyghurt menurut Kanda et al. (1976) dilakukan dengan cara, susu kedelai
sebanyak 2700 ml untuk setiap kali ulangan dibagi menjadi 3 bagian sebanyak 900 ml untuk
tiap bagian dan dimasukkan ke dalam wadah yang berbeda. Wadah pertama ditambahkan
sukrosa sebanyak 7%, wadah ke dua ditambahkan glukosa 7% dan wadah ke tiga
ditambahkan laktosa 7% dari volume susu kedelai yang digunakan. Wadah pertama dibagi
menjadi 3 bagian, untuk tiap bagian sebanyak 300 ml. untuk setiap bagian ditambahkan
gelatin sebanyak 3%, 5% dan 7%, begitupun untuk wadah ke dua dan wadah ke tiga. Wadah
yang telah ditambahkan gula, gelatin dan susu skim diaduk hingga larut. Susu kedelai
dipasteurisasi pada suhu 70 oC selama 15 menit dan didinginkan dengan cepat hingga
mencapai 45oC. Susu kedelai diinokulasi dengan starter yang terdiri dari Streptococcus
thermaphillus dan Lactobacillus bulgaricus masing-masing sebanyak 15% dari volume susu
kedelai. Susu kedelai yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18 jam.
Parameter pengamatan adalah warna, aroma, rasa dan konsistensi yang didasarkan
pada uji organoleptik menurut Sukarto (1985). Pengujian dilakukan dengan menggunakan
skala hedonik yaitu, 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 = agak suka, 2 = tidak suka, 1 = sangat
tidak suka. Perlakuan penelitian terdiri dari dua faktor yaitu faktor pertama penambahan
jenis gula (A1 = Sukrosa 7%, A2 = Glukosa 7%, A3 = Laktosa 7%), faktor ke dua adalah
persentase gelatin (B1 = 3%, B2 = 5% dan B3 = 7%). Rancangan penelitian adalah rancangan
acak lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan dua kali ulangan. Model
rancangan penelitian yang digunakan adalah: 𝑌𝑖𝑗𝑘 = 𝑈 + 𝐴𝑖 + 𝐵𝑗 + (𝐴𝐵)𝑖𝑗 + 𝑒𝑖𝑗, dimana
Yijk = Nilai pengamatan dari perlakuan A ke – I, B ke – j. U = Nilai tengah (rata-rata) di
seluruh nilai pengamatan. Ai = Pengaruh Penambahan gula. Bj = Pengaruh persentase
gelatin. (AB) ij = Pengaruh interaksi antara faktor penambahan gula dengan persentase
gelatin. eij = Pengaruh kesalahan percobaan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 205
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil penelitian sifat sensoris soyghurt yang meliputi warna, aroma, rasa dan
konsistensi diperoleh hasil:

Warna
Warna mempunyai peranan yang sangat penting terhadap produk pangan. Penentuan
mutu suatu bahan pangan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor, tetapi
sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan
kadang-kadang sangat menentukan (Winarno, 1988).
4,6
4.4
4,4 4.3 4.3

4,2 4.1 4.1 Sukrosa


4
4 3.9 3.9 Glukosa
3,8 3.7
Laktosa
3,6

3,4

3,2
Gelatin 3% Gelatin 5% Gelatin 7%

Gambar 1. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Warna
Soyghurt yang Dihasilkan

Warna yang paling disukai adalah pada penambahan gelatin 7% dengan penambahan
sukrosa. Rasa yang paling tidak disukai adalah pada penambahan gelatin 3% dengan
penambahan sukrosa sebagaimana yang terlihat pada Gambar 1. Dari hasil analisa sidik
ragam menunjukkan bahwa penggunaan persentase gelatin dengan penambahan berbagai
jenis gula tidak tidak berpengaruh nyata, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Warna Soyghurt.
Sumber F. Tabel
DB JK KT F.Hiting
Keragaman 5% 1%
Perlakuan 8 1,20444 - - - -
tn
K 2 0,031107 0,015553 0,90906 19,38 99,39
G 2 0,124444 0,06222 0,02272tn 19,38 99,39
tn
KG 4 1,04889 0,26222 0,384363 6,00 14,66
Galat 9 6,16 0,68444 - - -
Total 17
Keterangan: tn = tidak berpengaruh nyata.

Tidak adanya perbedaan secara nyata pada perlakuan tersebut disebabkan oleh warna
kedelai yang digunakan berwarna kuning dan berpengaruh terhadap produk susu yang

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


206 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
dihasilkan serta kandungan ribovlafin pada kedelai. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Winarno (2008), bahwa kandungan riboflavin yang terdapat pada kacang kedelai
menyebabkan warna susu kedelai dan soyghurt menjadi kekuningan. Penggunaan berbagai
jenis gula tidak mempengaruhi warna soyghurt, karena gula hanya dimanfaatkan oleh
mikroba sebagai sumber energi dan sebagian digunakan untuk menghasilkan asam-asam
organik. Susu kedelai tidak mengandung laktosa, sehingga tidak dapat digunakan sebagai
sumber energi maupun sebagai sumber karbon oleh kultur starter (Purwati, 2008).

Aroma
Aroma salah satu penentu kelezatan dari suatu bahan makanan. Aroma dan cita rasa
mempunyai peranan yang sangat penting bagi penentuan derajat penerimaan dan kualitas
suatu bahan pangan (Winarno, 1988).
3,5
3.4 3.4
3,4 3.3
3,3
Sukrosa
3,2 3.1
3.1
3.2 Glukosa
3,1
3
3 3.1 3.1
Laktosa
2,9

2,8
Gelatin 3% Gelatin 5% Gelatin 7%

Gambar 2. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Aroma
Soyghurt yang Dihasilkan

Tingkat penerimaan panelis terhadap aroma soyghurt yang dihasilkan, berkisar antara
3 sampai 3.4 sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2. Aroma soyghurt yang paling
disukai adalah pada penambahan gelatin 3% dan 7% pada penggunaan jenis gula sukrosa
dengan tingkat penerimaan 3.4. Tingkat penilain paling terendah terdapat pada penambahan
gelatin 7% dengan penggunaan jenis gula glukosa. Aroma yang kurang disukai dapat
disebabkan karena adanya bau langu dari kacang kedelai yang turut mempengaruhi aroma
soyghurt yang dihasilkan, sebagai akibat dari aktivitas enzim lipogsigenase dari kacang
kedelai (Nizori, dkk., 2013).
Aroma langu pada produk soyghurt, belum mampu ditutupi oleh proses fermentasi
yang dilakukan. Lebih lanjut Purwati (2008), menyatakan bahwa aroma pada soyghurt

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 207
dipengaruhi oleh asam laktat, sisa-sisa asetaldehid, diasetil, asam asetat dan bahan-bahan
mudah menguap lainnya setelah proses fermentasi.
Hasil analisa sidik ragam (Tabel 2), menunjukkan bahwa penambahan jenis gula dan
persentase gelatin tidak berpengaruh nyata, sedangkan pengaruh interaksi antara
penambahan jenis gula dan persentase gelatin berpengaruh terhadap aroma soyghurt yang
dihasilkan.
Tabel 2. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Aroma Soyghurt.
Sumber F. Tabel
DB JK KT F.Hiting
Keragaman 5% 1%
Perlakuan 8 2,92444 - - - -
K 2 0,10444 0,05222 0,62667tn 19,38 99,39
G 2 0,191107 0,09555 1,146646tn 19,38 99,39
KG 4 2,628893 0,657223 7,88699* 6,00 14,66
Galat 9 0,72 0,08 - -
Total 17
Keterangan : tn = Tidak berpengaruh nyata.
* == Berpengaruh nyata

Hasil uji BNJ (Tabel 3), menunjukkan pengaruh interaksi antara perlakuan
penambahan jenis gula dan persentase gelatin berpengaruh nyata terhadap aroma soyghurt
yang dihasilkan.

Tabel 3. Uji BNJ Pengaruh Interaksi antara Penambahan Jenis Gula dengan Persentase
Gelatin terhadap Aroma Soyghurt.
Perlakuan Jenis Pengaruh Rata-Rata Persentase Gelatin NP BNJ
Gula 3% 5% 7% 5%
a a a
Sukrosa 3,4 3,3 3,4
Glukosa 3,1b 3,1b 3ab 1,004
b b a
Laktosa 3,1 3,1 3,2

Rasa
Rasa merupakan salah satu faktor yang turut menentukan mutu makanan. Penerimaan
konsumen terhadap suatu produk makanan umumnya dilakukan dengan indera manusia
melalui kuncup cicipan setelah makanan tersebut ditelan (Winarno, 1988).
Rasa dari soyghurt dipengaruhi oleh keberadaan asam laktat dan senyawa-senyawa
yang mudah menguap lainnya setelah proses fermentasi (Purwati dkk., 2008; Shahani,
1993). Berdasarkan hasil penilaian panelis terhadap rasa soyghurt diperoleh tingkat
kesukaan yang paling disukai pada penambahan gelatin 5% pada penggunaan gula sukrosa.
Rasa soyghurt yang kurang disukai oleh panelis adalah pada penambahan gelatin 7% pada
penggunaan gula laktosa (Gambar 3).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


208 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
6
4.9 5 4.9
5
4.1 4.1
4 4.5 Sukrosa
3 Glukosa
3.4 3.4
2 2.8
Laktosa
1

0
Gelatin 3% Gelatin 5% Gelatin 7%
Gambar 3. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Aroma
Soyghurt yang Dihasilkan.

Tingkat penilaian panelis terhadap soyghurt yang berkisar antara 2,8% sampai 5% atau
dari penilaian agak suka sampai pada penilaian sangat suka. Perbedaan tingkat kesukaan
tersebut disebabkan karena penggunaan jenis gula dengan tingkat kemanisan yang berbeda.
Sebagaiman yang dikatakan oleh Poetjadi (1994) bahwa tingkat kemanisasn gula dari yang
paling manis sampai dengan tingkat kemanisan rendah adalah fruktosa, glukosa, galaktosa
dan laktosa.
Tabel 4. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Rasa Soyghurt.
Sumber F. Tabel
DB JK KT F.Hiting
Keragaman 5% 1%
Perlakuan 8 11,72 - - - -
K 2 0,3733 0,18667 2,79991tn 19,38 99,39
G 2 11,08 5,54 83,0958* 19,38 99,39
KG 4 0,2667 0,06677 1tn 6,00 14,66
Galat 9 0,6 0,06667 - -
Total 17
Keterangan : tn = Tidak berpengaruh nyata.
* == Berpengaruh nyata

Hasil analisa sidik ragam (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan persentase gelatin
memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa soyghurt, sedangkan interaksi antara
penambahan jenis gula dan persentase gelatin tidak berpengaruh nyata terhadap rasa
soyghurt. Sedangkan dari hasil uni BNJ pengaruh gelatin terhadap rasa soyghurt (Tabel 5)
menunjukkan bahwa persentase gelatin 3%, 5% dan 7% berpengaruh nyata terhadap rasa
soyghurt.
Tabel 5. Uji BNJ Pengaruh Persentase Gelatin Terhadapo Rasa Soyghurt
Persentase Gelatin Nilai Rata-Rata NP BNJ 5%
3% 4,267a
5% 4,167a 0,721
7% 3,93ab

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 209
Konsistensi
Konsistensi pada soyghurt yang dihasilkan (Gambar 4) menunjukkan bahwa
penambahan gelatin 5% lebih disukai oleh panelis untuk penambahan semua jenis gula
dengan penilaian mulai dari 4,9% - 5,035% (suka). Penambahan gelatin dengan persentase
3 – 5% yang berfungsi sebagai stabilizer membantu mencegah terjadinya sinersis
(pemisahan air dari sistem gel). Gelatin bereaksi dengan kasaein susu untuk mengurangi
kecenderungan pemisahaan air sdari curd soyghurt (Jaswir, 2007).
6
5.035
5 4.9
4.9 4
4 3.5 4.1 Sukrosa
3.9
3 3.1 3.1 Glukosa
2
Laktosa
1

0
Gelatin 3% Gelatin 5% Gelatin 7%
Gambar 4. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Konsistensi
Soyghurt yang Dihasilkan.

Penambahan gelatin dalam soyghurt menyebabkan terjadinya hidrolisis gelatin oleh


mikroorganisme yang dikatalisasikan oleh koenzim yang disebut gelatinase, gelatin yang
telah dicerna tidak mampu membentuk gel dan bersifat cair (Bibiana, 1994).
Hasil analisa sidik ragam (Tabel 6) menunjukkan bahwa perlakuan jenis gula dan
persentase gelatin tidak berbeda nyata terhadap konsistensi soyghurt begitupula interaksi
antara penambahan jenis gula dan persentase gelatin tidak berpengaruh nyata terhadap
konsistensi soyghurt yang dihasilkan.
Tabel 6. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Konsistensi Soyghurt.
Sumber F. Tabel
DB JK KT F.Hiting
Keragaman 5% 1%
Perlakuan 8 8,28 - - - -
tn
K 2 8,01333 4,0067 18,7755 19,38 99,39
G 2 0,0533 0,02665 0,01677tn 19,38 99,39
KG 4 0,2134 0,05335 0,25tn 6,00 14,66
Galat 9 14,3 - - - -
Total 17
Keterangan : tn = Tidak berpengaruh nyata.
* == Berpengaruh nyata

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


210 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji organoleptik yang meliputi warna, aroma, rasa dan konsistensi
soyghurt diperoleh kesimpulan bahwa; penggunaan gula jenis sukrosa lebih disukai oleh
panelis baik dari segi warna, aroma, rasa dan konsistensi soyghurt yang dihasilkan.
Penggunaan persentase gelatin yang disukai oleh panelis untuk aroma dan rasa terdapat pada
persentase gelatin 3% dan 7%. Warna yang paling disukai terdapat pada persentase gelatin
7% dan konsistensi soyghurt terdapat pada penambahan gelatin 5%. Penggunaan berbagai
jenis gula tidak memberikan pengaruh nyata terhadap warna, aroma, dan konsistensi
soyghurt yang dihasilkan. Interaksi antara gula dan gelatin berpengaruh terhadap aroma
soyghurt sedangkan pada rasa soyghurt yang dihasilkan tidak memberikan pengaruh nyata
begitupun terhadap konsistensi soyghurt yang dihasilkan.

Daftar Pustaka
Bibiana, W. Lay, 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.

Jaswir, Irwandi, 2007. Memahami Gelatin. www.beritaiptek.com. Akses 2 Oktober 2017.


15.20 WITA.

Kanetro, Bayu, 2017. Teknologi Pengolahan dan Pangan Fungsional Kacang-Kacangan.


Plantaxia, Yokyakarta.

Liu, K, 2004. Fermented Soy Foods, In : Shinha, N.K., Y.H. Hui., E.O. Evranuz., M.Siddiq
and J. Ahmed (Eds). 2011. Handbook of Vegetanbles and Vegetable Processing Wiley
Blacwell. USA. dalam Rossi Evy, Raswen Effendi dan Suci Lestari, 2013.
Karasteristik Soyghurt dengan Variasi Konsentrasi Sukrosa dan Inulin. Seminar
Nasional dan Rapat Tahunan Dekanat Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN
Wilayah Barat. http://respository.unri.ac.id. Up Date, 15 Maret 2018; 13.30 WITA.

Nirmagustina Dwi Eva dan Chandra Utami Wirawati, 2014. Potensis Susu Kedelai Asam
(Soyghurt) Kaya Bioaktif Peptida Sebagai Antimikroba. Jurnal Penelitian Pertanian
Terapan Vol. 14 (3) : 158 – 166.
Nizori Addion, dkk., 2013. Pembuatan Soyghurt Simbiotik Sebagai Makanan Fungsional
dengan Penambahan Kultur Campuran. J.Tek. Industri Pertanian. Vol. 18 (1), 28 – 33.

Purwati Henny, dkk., 2008. Pengaruh Waktu Simpan Terhadap Kualitas Soyghurt dengan
Penambahan Susu Bubuk. Widya Teknik Vol 7, No. 2 : 134 – 143.

Poetjadi Anna, 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press),
Jakarta.

Winarno, F.G., 1988. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 211
Bidang Penelitian Peternakan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


212 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
KAJIAN PEMANFAATAN Indigofera Sp SEBAGAI PAKAN TERNAK ITIK DI
PROVINSI SULAWESI SELATAN

ANDI ELLA1), NOVIA QOMARIYAH1)*DAN SERLI ANAS2)


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo, Kabupaten Bonebolango, Provinsi
Gorontalo
*
Email: novia_joyo@yahoo.com

ABSTRAK
Pakan merupakan kebutuhan pokok dalam usaha pemeliharaan ternak itik. Biaya untuk
pakan menempati presentase terbesar dibandingkan dengan biaya lainnya. Untuk menekan
biaya pakan itik yang tinggi maka dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan pakan lokal
yang selama ini belum dilakukan secara optimal. Tujuan kajian ini adalah: menemukan
teknologi pakan konsentrat dengan memanfaatkan Indigofera Sp sebagai sumber protein
berbasis leguminosa lokal. Kajian ini dilaksanakan di TTP Bone Desa sama elo pajeko,
Kecamatan Barebbo, Kabupaten Bone pada Bulan Januari hingga Desember 2017. Kegiatan
ini menggunakan 160 ekor itik yang di tempatkan dalam kandang kelompok, masing-masing
kelompok terdiri dari 40 ekor. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
dengan 4 perlakuan dan 10 ulangan setiap ulangan terdiri dari 4 ekor itik. Adapun perlakuan
pakan sebagai berikut: P0: tanpa daun indigofera (kontrol); P1: daun indigofera 5%; P2:
daun Indigofera 10% dan P3: daun Indigofera 15%. Dari hasil penelitian tampak bahwa
penggunaan tepung indigofera sebesar 10% masih baik pengaruhnya terhadap produksi
telur, berat telur dan konversi pakan.
Kata Kunci: Itik, Indigofera, Pakan

Pendahuluan
Sulawesi Selatan sebagai salah satu lumbung pangan terbesar di Kawasan Timur
Indonesia dengan luas arel persawahan 952.048 ha dengan produksi 4.916.911 ton serta
produktivitas rata-rata 5,16 ton/ha. Sementara produksi Kedelai Sulawesi Selatan pada tahun
2014 sebanyak 45,69 ribu ton biji kering, yang diperoleh dari luas panen 30,94 ribu hektar
dan tingkat produktivitas 14,77 kuintal per hektar (BPS, 2014). Luas areal penanaman
tersebut memiliki potensi berupa limbah pertanian berupa jerami, dedak dan limbah benih
sortiran kedelai. Dedak, sortiran kedelai adalah limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ternak unggas, dan sebagai bahan campuran konsentrat. Bahan baku utama pakan itik
ditingkat petani di penuhi dari limbah pertanian seperti dedak, tumpi jagung dan kedelai
sortiran, sedangkan sumber protein berasal dari tepung ikan, tepung darah (limbah RPH)
yang harganya masih sangat mahal sehingga perlu dicari sumber protein alternatif lainnya.
Salah satu leguminosa yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber
protein adalah daun Indigofera. Indigofera secara agronomis mudah untuk dikembangkan
secara generatif dan memiliki kemampuan produksi hijauan yang tinggi serta regrowing

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 213
yang cepat. Selain itu memiliki kemampuan adaptasi kekeringan (Abdullah, 2013). Daun
Indigofera ini belum banyak digunakan untuk ternak unggas dan penggunaan dalam bentuk
segar masih terbatas sebagai pakan ternak ruminansia, khususnya kambing. Pemanfaatan
leguminosa Indigofera sebagai pakan itik telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain
(Akbarilla et al, 2008). Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa, Indigofera mengandung
protein kasar 27,89%, lemak kasar 3,70%, dan serat kasar 14,96%. Walaupun demikian
kajian penggunaan tepung daun Indigofera untuk ternak itik belum banyak dilakukan, disisi
lain pengembangan itik di Sulawesi Selatan sangat potensil dan mempunyai prospek sebagai
cabang usaha tani bahkan dapat berkembang menjadi agribisnis yang skalanya memenuhi
skala ekonomi 1000 ekor/kk tani. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknologi pakan
konsentrat dengan memanfaatkan Indigofera sebagai sumber protein berbasis leguminosa
lokal.

Materi dan Metode


Materi
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Desember 2017 bertempat di TTP Bone,
Desa Samaello Pajeko, Kec. Barebbo, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Adapun bahan yang
digunakan meliputi itik betina yang sudah berproduksi; bahan pakan (jagung, dedak padi,
bungkil kelapa, tepung ikan, tepung Indigofera, kedelai hasil sortiran CPO, DCP, mineral, L-
lys, DL-met). Alat yang digunakan adalah kandang kelompok, tempat makan dan minum, dan
timbangan.

Metode
Kegiatan ini menggunakan itik yang sudah berproduksi sebanyak 160 ekor yang di
tempatkan dalam kandang kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 40 ekor.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 10
ulangan setiap ulangan terdiri dari 4 ekor itik. Pakan perlakuan disusun berdasarkan
rekomendasi NRC (1994) Adapun perlakuannya sebagai berikut:

P0: Pemberian formula pakan konsentrat tanpa tambahan daun Indigofera (kontrol)
P1: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 5% daun Indigofera
P2: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 10% daun Indigofera
P3: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 15% daun Indigofera

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


214 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Tabel 1. Susunan ransum penelitian
Ransum Perlakuan (%)
No Bahan Pakan
P0 P1 P2 P3
1 Jagung 50 50 50 50
2 Dedak padi 10,1 10,1 8,6 8,1
3 Bungkil kelapa 15 15 13,1 10,1
4 Tepung Indigofera 0 5,5 10,9 15,9
5 Tepung ikan 2 2 2 2
6 Kedelai hasil sortiran UPBS 18,25 12,95 10,45 8,45
7 CPO 3,5 3,5 4 4,5
8 DCP 0,5 0,3 0,3 0,3
9 DL-met 0,3 0,3 0,3 0,3
10 L-lys 0,25 0,25 0,25 0,25
11 Mineral 0,1 0,1 0,1 0,1
Total 100 100 100 100
Harga Ransum (Rp/kg) 4.852 4.573 4.521 4.491
No Nutrien ----------------Kandungan Nutrien Ransum--------
1 Protein Kasar (%) 15,97 15,23 15,13 15,04
2 Lemak Kasar (%) 8,20 8,65 9,33 10,04
3 Serat Kasar (%) 5,99 6,71 7,16 7,46
4 ME (kkal/kg) 2946,22 2912,85 2904,5 2915,7
*
Berdasarkan hasil perhitungan

Ket: P0: Pemberian formula pakan konsentrat tanpa tambahan daun Indigofera (kontrol)
P1: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 5% daun Indigofera
P2: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 10% daun Indigofera
P3: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 15% daun Indigofera

Parameter yang diamati adalah konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, dan
konversi pakan. Data yang diperoleh akan dianalisis ANOVA, jika berbeda nyata dilakukan
uji lanjut Duncan (Stell dan Torrie, 1980).

Hasil dan Pembahasan


Konsumsi Pakan
Konsumsi ransum dipengaruhi oleh tingkat palatabilitas ransum yang diberikan pada
ternak itik. Salah satu faktor yang mempengaruhi palatabilitas adalah adanya anti nutrisi
yang terkandung dalam ransum, seperti lignin, selulosa dan hemiselulosa (lignoselulosa)
yang tinggi sehingga membatasi kecernaan selulosa dan hemiselulosa (polisakarida) sebagai
sumber energi pakan ternak ruminansia (Eun et al., 2006).
Berdasarkan Tabel 2, terlihat rata-rata konsumsi pakan yang tertinggi selama
penelitian adalah perlakuan P0, dimana ternak diberi pakan tanpa mengandung tepung
indigofera dengan konsumsi sebesar 153 gram/ekor/hari, kemudian perlakuan P1 yang diberi

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 215
tepung indigofera sebesar 5% dengan konsumsi sebesar 149 g/ekor/hari, dan terendah adalah
perlakuan P2 dengan konsumsi sebesar sebesar 143 g/ekor/hari, Pemberian indigofera
sebesar 15% (P3) tidak mempengaruhi rata-rata konsumsi pakan bila dibandingkan kontrol
(P0). Hal ini menunjukkan bahwa level pemberian tepung indigofera sebesar 15 %
menurunkan palatabilitas ransum. Hasil yang sama juga disampaikan oleh Akbarillah et al
(2010) bahwa peningkatan level pemberian daun indigofera segar cenderung menurunkan
konsumsi pakan total pada itik, hal ini diduga penggunaan daun indigofera segar bersifat
bulky sehingga konsumsi pakan secara nyata menurun dibandingkan kontrol.

Produksi Telur
Produksi telur merupakan jumlah telur yang dihasilkan selama periode produksi yang
dapat dinyatakan dalam satuan jumlah (butir atau persen). Telur yang dihasilkan oleh
masing-masing kelompok perlakuan itik dicatat setiap hari dan dihitung berdasarkan rata-
rata produksi telur harian. Kemampuan produksi telur itik dapat dipengaruhi oleh faktor
genetik dan lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada
produktivitas itik adalah ransum. Konsumsi kandungan energi dan protein ransum juga
berperan dalam produksi telur, karena pembentukan telur dihasilkan dari besarnya konsumsi
energi dan protein ransum (Brand et al., 2003). Rata-rata produksi telur itik penelitian
disajikan pada Tabel 2.
Pada tabel 2, menunjukkan bahwa produksi telur pada perlakuan P2 paling tinggi 316
butir sedangkan terendah sebanyak 284 butir yang dihasilkan dari perlakuan yang tanpa
mendapatkan tepung Indigofera dalam ransum. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa perlakuan pakan tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap produksi telur.
Pemberian tepung Indigofera dalam pakan itik memberikan pengaruh yang baik, oleh karena
ternak mampu berproduksi lebih baik dibandingkan dengan itik yang pakannya tidak
mengandung Indigofera.
Rendahnya produksi telur kemungkinan besar disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi dan protein yang dibutuhkan untuk pembentukkan telur pada ketiga perlakuan
tersebut. Padahal asupan energi dan protein sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan
hidup pokok, aktivitas harian dan produksi telur seekor itik. Brand et al. (2003), menyatakan
bahwa pembentukan telur dipengaruhi oleh besarnya konsumsi energi dan protein ransum.
Bila ransum mengandung energi dan protein dalam jumlah terbatas maka unggas
berkompensasi mengurangi ukuran telur dan jumlah telur dihasilkan, atau memperpanjang
interval bertelur. Hal ini Kemungkinan erat hubungannya dengan yang dikatakan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


216 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Hardjosworo et al. (2001) bahwa keragaman dalam produktivitas itik lokal sangat tinggi
karena itik-itik yang memiliki kemampuan berproduksi tinggi dengan yang rendah di tangan
peternak mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang biak.

Konversi Ransum
Konversi ransum merupakan ukuran efisiensi dalam penggunaan ransum. Semakin
rendah nilai konversi ransum semakin efisien penggunaan dari ransum tersebut, karena
semakin sedikit jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan telur dalam jangka
waktu tertentu (Subekti, 2007).
Nilai konversi ransum pada Tabel 2, dihitung berdasarkan satuan butir telur yang
dihasilkan, sehingga dapat dihitung jumlah ransum yang dibutuhkan oleh itik untuk
menghasilkan satu butir telur. Rataan konversi ransum per butir telur selama penelitian
berkisar antara 45,3 - 53,8 %. Penggunaan indigofera dalam ransum hingga 15 % tidak
meningkatkan angka konversi ransum dibandingkan ransum kontrol. Konversi ransum yang
tinggi diperoleh dari perlakuan P0 yaitu 53,8 %, hal ini disebabkan produksi telur yang
rendah bila dibandingkan dengan perlakuan yang mendapatkan tambahan indigofera dalam
pakan. Berdasarkan perhitungan konversi ransum tersebut diatas dapat dilihat bahwa nilai
konversi ransum penelitian masih sangat tinggi. Hal ini terjadi karena produktivitas itik
masih rendah. Tingginya nilai konversi ransum ini menyebabkan penggunaan ransum
kurang efisien karena besarnya konsumsi ransum tidak disertai dengan tingginya produksi
telur itik.
Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Pakan, Produksi Telur dan Konversi Pakan
Konsumsi pakan Produksi Telur Konversi Pakan Berat
Perlakuan Telur
(g/ekor/hari) (butir) terhadap jumlah telur
(g/butir)
P0 153 284 53,8 56,2
P1 149 290 51,4 57,6
P2 143 316 45,3 58,5
P3 146 308 47,4 59,3
Sumber: data primer yang diolah (2017)
Ket: P0: Pemberian formula pakan konsentrat tanpa tambahan daun Indigofera (kontrol)
P1: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 5% daun Indigofera
P2: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 10% daun Indigofera
P3: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 15% daun Indigofera

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 217
Berat Telur
Rata-rata berat telur yang diperoleh sebesar 58,5 g dengan kisaran antara 56,2 – 58,5
g. Tabel 2 menunjukkan, berat telur R2 dan R3 sebesar 58,5 g sedangkan R1 sedikit lebih
rendah sebesar 57,6 g. Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P
> 0,05) antara perlakuan pakan dengan berat telur. Berat telur yang diperoleh masih lebih
rendah dari yang diperoleh Roesdiyanto (2004) yaitu rataan berat telur 69,62 g dengan
kisaran 68,35 – 72,35 g yang diberi perlakuan pakan substitusi tepung ikan dengan Squilla
empussa. Biasanya hasil telur pertama kali, beratnya masih rendah, ukuran telur pada awal
masa produksi belumlah stabil. Ada yang besar sekali, ada juga yang terlalu kecil.

Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung Indigofera sebesar 15%
sebagai sumber protein menurunkan konsumsi pakan, produksi telur, berat telur dan
menaikkan konversi pakan. Penggunaan tepung Indigofera sebesar 10% masih baik
pengaruhnya terhadap produksi telur, berat telur dan konversi pakan.

Daftar Pustaka
Abdullah, L. 2013. Prospektif Agronomi dan Ekofisiologi Indigofera Zollingeriana sebagai
Tanaman Penghasil Hijauan Pakan Berkualitas Tinggi. Pastura Vol. 3 (2): 79 – 83.

Akbarillah T, Kususiyah, D. Kaharuddindan Hidayat. 2008. Kajian tepung Daun Indigofera


Sebagai Suplemen Pakan Terhadap Produksi dan Kualitas Telur Puyuh. Jurnal
Peternakan Indonesia. Vol. 3 (1): 20-23.

Akbarillah Kususiyah, dan Hidayat. 2010. Pengaruh Penggunaan Daun Indigofera Segar
Sebagai Suplemen Pakan Terhadap Produksi dan Warna Yolk Itik. Jurnal Sain
Peternakan Indonesia. Vol. 5 (1): 27-33.

Badan Pusat Statistik. 2014. Sulawesi Selatan dalam Angka.

Brand, Z., T. S. Brand and C. R. Brown. 2003. The effect of dietary and protein levels on
production in breeding female ostrich. British Poultry Sci. Vol. 44 (4): 589-606.

Eun JS, KA Beauchemin, SH Hong, and MW Bauer. 2006. Exogenous enzymes added to
untreated or ammoniated rice straw: Effect on in vitro fermentation characteristic and
degradability. J.Anim. Sci. and Tech. Vol. 131: 86‐101.

Hardjosworo, P. S., A.R. Setioko, P .P. KetareN, L.H. Prasetyo, A.P. Sinurat dan Rukmiasih.
2002. Perkembangan teknologi peternakan unggas air di Indonesia. Pros Lokakarya
Unggas Air. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor,
Bogor dan Balai Penelitian Ternak, Ciawi. hlm. 22 - 41.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition.
Washington DC (US): National Academy Press.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


218 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Roesdiyanto. 2004. Substitusi Tepung Ikan dengan Udang Pengko (Squella empussa)
dalam Pakan Terhadap Kinerja Reproduksi Itik Lokal. Animal Production. Vol.6 (2):
hlm. 110 – 117.

Subekti, S. 2007. Komponen sterol dalam ekstrak daun katuk (Sauropus androgynou L.
Merr) dan hubungannya dengan sistem reproduksi puyuh. Disertasi. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics Second Edition. New
York (US): McGraw-Hill.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 219
KAJIAN PENGGUNAAN TEPUNG GAPLEK SEBAGAI PAKAN AYAM
BROILER

NOVIA QOMARIYAH1)*DAN SERLI ANAS2)


1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
2)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Prov.
Gorontalo
*
Email: novia_joyo@yahoo.com

ABSTRAK

Ayam broiler merupakan salah satu sumber daging yang banyak diminati oleh masyarakat.
Total produksi daging ayam broiler telah memenuhi 41,05% dari total kebutuhan masyarakat
Indonesia akan daging. Peningkatan konsumsi dan permintaan masyarakat akan daging
ayam broiler merupakan peluang bagi usaha peternakan ayam broiler. Namun kendala utama
budidaya ayam broiler adalah biaya pakan yang tinggi yakni mencapai 60-70% dari total
biaya produksi. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Unggas,
Fakultas Peternakan, IPB. Materi yang digunakan adalah ayam broiler strain Cobb sebanyak
25 ekor yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand dengan merk dagang CP-707 yang
tidak dibedakan jenis kelaminnya (Straight run atau unsex). Dengan rata-rata bobot badan
awal 47,728 g. Kandang yang digunakan adalah kandang koloni semi tertutup sebanyak 6
buah dengan ukuran 1 x 1 m. Pakan yang digunakan yaitu pakan broiler starter, finisher dan
gaplek. Pakan starter digunakan pada umur 0-1 minggu, sedangkan pakan finisher dari 2-6
minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan subsitusi tepung
gaplek sampai level 30% menyebabkan penurunan tingkat konsumsi, pertambahan bobot
badan dan konversi ransum dibandingkan kontrol.
Kata Kunci: Ayam Broiler, Tepung Gaplek, Pakan

Pendahuluan
Permintaan produk unggas meningkat diseluruh wilayah yang mengikuti pertumbuhan
populasi manusia. Produk unggas komersial yang sangat popular dimasyarakat adalah ayam
broiler. Ayam broiler merupakan ternak unggas yang didesain untuk menghasilkan daging
karkas dalam waktu yang singkat. Pertumbuhan ayam broiler lebih cepat dibandingkan
dengan ayam kampung. Dengan perbedaan tersebut, maka dibutuhkan kebutuhan pakan
yang berbeda pula. Pertumbuhan ayam broiler mencakup beberapa periode yaitu starter,
grower, dan finisher. Setiap periode memiliki kebutuhan asupan nutrien yang berbeda.
Periode starter dan grower membutuhkan asupan nutrien protein yang lebih tinggi
dibandingkan pada periode finisher. Pakan unggas untuk periode finisher memiliki
kandungan energi yang tinggi dan protein lebih rendah dibanding yang terkandung pada
pakan starter dan grower. Apabila pemberian pakan tidak sesuai kebutuhan, produktivitas
dari ternak tidak dapat mencapai optimal.
Pada umumnya sumber energi yang digunakan untuk ternak unggas berasal dari
jagung. Permintaan jagung sebagai pakan unggas sangat tinggi mengingat jagung

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


220 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
merupakan salah satu pakan utama ternak unggas. Untuk menurunkan harga dari pakan,
penggunaan bahan atau hasil samping dari produk pertanian dibutuhkan untuk
mengatasinya. Indonesia merupakan negara penghasil singkong. Produksi singkong yang
melimpah pada umumnya akan dikeringkan menjadi gaplek. Gaplek dapat dijadikan
alternatif sumber energi dari pakan ternak. Melimpahnya produksi gaplek menjadikannya
sebagai sumber bahan pakan alternatif yang semakin meningkat permintaannya (Anthong,
2009). Namun demikian penggunaan singkong sebagai pakan ternak terbatas karena adanya
hydrogen cyanide (HCN) (Tewe et al., 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung gaplek terhadap
pertumbuhan ayam broiler.

Materi dan Metode


Materi
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Unggas Fakultas
Peternakan IPB. Adapun bahan yang digunakan meliputi ayam broiler strain Cobb sebanyak
25 ekor yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand dengan merk dagang CP-707 yang
tidak dibedakan jenis kelaminnya (Straight run atau unsex). Dengan rata-rata bobot badan
awal 47,728 g. Kandang koloni semi tertutup sebanyak 6 buah dengan ukuran 1 x 1 m.
Pakan yang digunakan yaitu pakan broiler starter, finisher dan gaplek. Pakan starter
digunakan pada umur 0-1 minggu, sedangkan pakan finisher dari 2-6 minggu.

Metode
Persiapan Kandang
Sebelum pemeliharaan dilakukan maka kandang dibersihkan, diberi desinfektan
kemudian diberi air kapur. Setelah kapur kering, dibuat kandang koloni dengan ukuran luas
setiap petak kandang1 x 1 m sebanyak 6 buah. Kandang koloni kemudian diberi sekam
sampai menutup lantai. Kemudian diberi lapisan koran dan brooder serta bohlam untuk
menjaga kehangatan pada ayam broiler fase starter. Pada setiap petak diberi tempat pakan
dan tempat minum.

Pembuatan pakan
Pakan yang digunakan adalah pakan komersil yang diproduksi oleh PT. Sinta Prima
Feedmill. Sedangkan gaplek diperoleh dari distributor bahan pakan. Pencampuran bahan
pakan dilakukan setiap 5 hari (1 minggu pemeliharaan) untuk menjamin ketersediaan dan
kualitas pakan yang dibuat.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 221
Perlakuan
Penelitian ini menggunakan ayam sebanyak 25 ekor yang terbagi menjadi 6 kandang
koloni, dengan jumlah masing-masing kandang koloni 4-5 ekor ayam. Perlakuan pakan
percobaan sebagai berikut:
A. Kontrol:
a. Umur 0-1 minggu pakan starter komersil
b. Umur 2-6 minggu pakan finisher komersil
B. Perlakuan:
a. Umur 0-1 minggu pakan starter komersil (70%) + gaplek (30%)
b. Umur 2-6 minggu pakan finisher komersil (70%) + gaplek (30%)
Tabel 1. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian
Starter Finisher
Nutrien Ransum
(BR-21) (BR-22)
Kadar air (max) 12% 12%
Protein kasar 21-23% 19-21%
Lemak kasar 4-8% 4-8%
Serat kasar (max) 4% 4,5%
Abu (max) 8% 6,5%
Kalsium 0,9-1,2% 0,9-1,1%
Pospor 0,7-1,0% 0,7-0,9%
Antibiotik - +
Sumber: Data Primer yang diolah (2014)

Metode
Pemeliharaan ayam broiler dilakukan selama 30 hari. Pemberian pakan dilakukan
setiap pagi dan sore hari. Air minum diberikan ad libitum dan diganti setiap pagi dan sore
hari. Memasuki fase finisher atau mulai hari ke-16 brooder dan koran diangkat kemudian
ditambahkan sekam. Pada fase ini bohlam sudah diangkat tinggi untuk menghindari heat
strees dan dipasang kipas angin selama 24 jam untuk menjaga suhu dan sirkulasi udara.
Parameter yang diamati meliputi: konsumsi pakan, Pertambahan bobot badan, dan konversi
pakan.

Hasil dan Pembahasan


Ransum yang diberikan pada ternak adalah ransum komersil produksi PT. Sinta Prima
Feedmill. Kandungan nutrien ransum pabrikan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Ransum pabrikan ini berbentuk butiran (crumble). Program pemberian ransum sangat
tergantung terhadap rencana ayam itu dipanen, jika ayam yang akan dipanen berukuran kecil
sampai sedang, pemberian ransum menggunakan program dua jenis ransum (Fadillah,
2004). Pakan tambahan berupa gaplek diujicobakan untuk mengetahui sejauh mana

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


222 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
efektifitasnya dalam mengefisienkan biaya pakan. Pakan disusun sedemikian rupa sehingga
mencukupi kebutuhan nutrisi ayam broiler.

Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum adalah jumlah yang dikonsumsi oleh ternak dalam jangka waktu
tertentu. Konsumsi ransum terus meningkat seiring dengan pertambahan kebutuhan zat-zat
nutrisi oleh kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Menurut Anggorodi (1985) bahwa
tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya jumlah ransum yang dikonsumsi.
Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Pakan selama 30 Hari pemeliharaan (per ekor per minggu)
Rata-rata Konsumsi Pakan (g/ekor/mg)
Minggu
Perlakuan Kontrol Perlakuan Gaplek
1 23,4 20,2
2 47,0 30,7
3 76,0 78,9
4 140,7 73,7
5 121,7 106,9
6 131,0 104,3

Sumber: Data Primer yang diolah (2014)


Berdasarkan Tabel 2 tampak bahwa selama 30 hari rata-rata konsumsi pakan ayam
kontrol sebesar 2.699 kg/ekor, sedangkan pada ayam perlakuan gaplek sebesar 2073,5
kg/ekor. Rendahnya tingkat konsumsi pakan pada ayam broiler dengan pemberian gaplek
disebabkan kandungan serat kasar yang tinggi pada ransum dengan pemberian gaplek. Selain
itu, pemanfaatan gaplek sebagai bahan pakan perlu memperhatikan asam sianida (HCN)
yang terkandung di dalam gaplek. Kandungan asam sianida dibawah 50 mg/kg berat basah
tidak membahayakan bagi ternak. Pada rentang 50-100 mg HCN/kg berat basah maka bahan
akan menjadi beracun dan menjadi sangat beracun bila kandungan asam sianida mencapai
lebih dari 100 mg/kg berat basah. Proses pengolahan ubi kayu telah memberikan peranan
signifikan dalam mereduksi kandungan asam sianida, sehingga didalam gaplek kandungan
asam sianida cukup rendah (Sumangkut dan Suhadi, 1978).
Pada Gambar 1 disajikan grafik pola konsumsi pakan per ekor per minggu. Dari grafik
tampak jelas bahwa dari minggu 1 sampai minggu 4 trend konsumsi ransum kontrol
cenderung meningkat, kemudian menurun pada minggu ke-5 dan naik kembali pada minggu
ke-6. Berbeda dengan pemberian ransum gaplek menunjukkan trend kenaikan konsumsi
ransum meningkat dari minggu ke 1 sampai minggu ke-3, kemudian mengalami penurunan
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 223
yang landai pada minggu ke-4 dan meningkat pada minggu ke-5 namun menginjak minggu
ke-6 mengalami penurunan kembali. Trend penurunan tingkat konsumsi ransum kontrol
cenderung lebih tajam dibandingkan ransum gaplek. Hal ini diduga karena pemberian
ransum pada fase starter diberikan hanya sampai umur 1 minggu.
Selain itu, berdasarkan Tabel 2 tampak bahwa rata-rata secara umum konsumsi pakan
ayam broiler yang dipelihara lebih kecil dibandingkan standar konsumsi yang ada (Rasyaf,
1993). Hal ini disebabkan pola pemberian pakan tidak sesuai fase pertumbuhan. Kandungan
protein yang tinggi pada fase starter dibutuhkan ayam untuk pertumbuhan dan pembentukan
bulu dan sebagainya, pemberian pakan finisher di fase starter menyebabkan pertumbuhan
ayam tidak optimal. Hal ini salah satunya tampak pada pertumbuhan bulu ayam perlakuan
kontrol yang kurang sempurna. Menurut Wahyu (1988) bahwa kualitas dari bahan ransum
dan keserasian komposisi gizi sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan merupakan dua hal
mutlak yang menentukan tercapainya performan puncak.
Tabel 3. Rata-rata Konsumsi Ransum Standar Ayam Broiler
Konsumsi Ransum (kg/ekor/mg)
Umur (Minggu)
Minggu Kumulatif
1 0,08 0,08
2 0,24 0,31
3 0,40 0,71
4 0,56 1,26
5 0,68 1,94
6 0,78 2,22
7 0,86 3,58
Sumber: Rasyaf (1993).

Konsumsi/ekor/hari
160,0
140,0
120,0
g/ekor/hari

100,0
80,0
Kontrol
60,0
Gaplek
40,0
20,0
0,0
1 2 3 4 5 6
Minggu ke

Gambar 1. Rata-Rata Konsumsi Pakan (g/ekor/hari)

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


224 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Ditambahkan oleh Anggorodi (1979) dalam mengkonsumsi ransum ternak
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: umur, palatabilitas ransum, aktifitas ternak,
energi ransum dan tingkat protein. Selain itu juga ditentukan oleh kualitas dan kuantitas dari
ransum yang diberikan serta pengolahannya. Ransum yang diberikan pada ternak harus
disesuaikan dengan umur dan berdasarkan atas kebutuhan, hal ini bertujuan selain untuk
mengefisienkan jumlah ransum pada ternak juga untuk mengetahui sejauh mana
pertambahan bobot badan yang dicapai.

Pertambahan Bobot Badan


Kemampuan ternak mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam ransum menjadi
daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan merupakan
salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan (Maynard, 1984). Berikut
disajikan data pertambahan bobot badan rata-rata gram per ekor per hari pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/hari)
Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Hari (g/ekor/hari)
Minggu
Perlakuan Kontrol Perlakuan Gaplek
1 22,3 15,8
2 33,3 22,4
3 49,0 32,5
4 69,0 48,9
5 74,7 49,6
6 100,7 53,3
Sumber: Data Primer yang diolah (2014)
Berdasarkan Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa selama 30 hari pemeliharaan rata-rata
pertambahan bobot badan ayam kontrol sebesar 232,6 g/ekor/hari, sedangkan pada ayam
perlakuan gaplek sebesar 157,5 g/ekor/hari. Rendahnya pertambahan bobot badan pada
ayam broiler dengan pemberian gaplek disebabkan kandungan serat kasar yang tinggi pada
ransum dengan pemberian gaplek sehingga konsumsinya rendah dibandingkan ayam
kontrol. Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh jenis dan ransum yang dikonsumsi (Jull,
1982). Wahyu (1997) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan adalah bangsa, tipe ayam, jenis kelamin, energi metabolisme, kandungan
protein dan suhu lingkungan. Pertumbuhan dipengaruhi oleh hereditas, hormon dan pakan
serta tatalaksana yang mencakup program pemberian ransum yang baik, tempat ransum yang
sesuai, air yang cukup, luas kandang yang optimal, ventilasi yang cukup dan konsumsi
ransum. Selain itu pertumbuhan dipengaruhi oleh galur, jenis kelamin dan umur (Anggorodi,
1994).
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 225
Pada Gambar 2, dijelaskan trend pertambahan bobot badan ayam per ekor per minggu,
dari grafik tampak jelas bahwa kedua perlakuan pakan baik kontrol maupun gaplek
menunjukkan trend kenaikan bobot badan yang significan sesuai fase pertumbuhannya.
Apabila dibandingkan dengan trend konsumsi pakannya maka ada indikasi bahwa pola
konsumsi dari minggu 1 sampai minggu 4 trend konsumsi ransum kontrol cenderung
meningkat, kemudian menurun pada minggu ke-5 dan naik kembali pada minggu ke-6.
Berbeda dengan pemberian ransum gaplek menunjukkan trend kenaikan konsumsi ransum
meningkat dari minggu ke 1 sampai minggu ke-3, kemudian mengalami penurunan yang
landai pada minggu ke-4 dan meningkat pada minggu ke-5 namun menginjak minggu ke-6
mengalami penurunan kembali.
Trend penurunan tingkat konsumsi ransum kontrol cenderung lebih tajam
dibandingkan ransum gaplek. Dari pola konsumsi ini ternyata tidak mempengaruhi trend
pola grafik pertambahan bobot badan, justru pertambahan bobot badan membentuk trend
yang terus meningkat dari fase starter sampai fase pemotongan/panen. Fenomena ini
mungkin dipengaruhi oleh kualitas bibit DOC yang baik, serta kecukupan nutrien yang
terkandung dalam pakan yang diberikan untuk kebutuhan untuk hidup pokok dan produksi.
Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), kualitas DOC yang baik akan mempengaruhi
pertumbuhan ayam broiler.

Pertambahan Bobot Badan (PBB)


150,00

100,00
g/ekor/hari

50,00 Kontrol
Gaplek
0,00
1 2 3 4 5 6
Minggu ke

Gambar 2. Pertambahan Bobot Badan per Ekor per Minggu

Konversi Ransum
Konversi ransum adalah perbandingan jumlah konsumsi ransum pada satu minggu
dengan penambahan bobot badan yang dicapai pada minggu itu, bila rasio kecil berarti
pertambahan bobot badan ayam memuaskan atau ayam makan dengan efisien. Konversi
ransum ayam broiler yang diperlihara selama 30 hari disajikan pada Tabel 5.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


226 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Tabel 5. Nilai Konversi Ransum Ayam Broiler selama 30 Hari
Minggu Kontrol Gaplek
1 1,1 1,3
2 1,4 1,4
3 1,6 2,4
4 2,0 1,5
5 1,6 2,2
6 1,3 6,3
Sumber: Data Primer yang Diolah (2014)
Berdasarkan data pada Tabel 5, tampak bahwa rata-rata FCR broiler dengan pemberian
pakan kontrol selama 30 hari pemeliharaan lebih kecil (1,51) dibandingkan dengan pakan
gaplek (2,51). Hal ini terkait dengan kualitas nutrisi ransum gaplek yang lebih rendah
dibandingkan ransum kontrol, dimana semakin baik mutu ransum, semakin kecil pula angka
konversinya. Selain itu mutu ransum sangat ditentukan oleh keseimbangan zat-zat gizi yang
dibutuhkan ternak dan kualitas bahan-bahan pakan yang digunakan untuk ransum. Ransum
yang kekurangan salah satu unsur gizi akan mengakibatkan ayam memakan ransumnya
secara berlebihan untuk mencukupi kekurangan zat yang akan diperlukan tubuhnya.
Kelebihan energi selanjutnya akan disimpan dalam bentuk lemak (Sarwono, 1996). Hal
inilah yang menyebabkan tingginya nilai FCR ayam broiler dengan pemberian pakan gaplek.
Berikut disajikan standar performan ayam broiler AA CP-707 pada Tabel 6.
Tabel 6. Standar Performans Ayam Broiler AA CP-707
Konsumsi Ransum Bobot Badan
Umur (minggu) Konversi Ransum
(gram) (gram)
1 135 155 0,81
2 284 385 1,09
3 462 700 1,26
4 653 1081 1,42
5 860 1515 1,58
6 1056 1982 1,74
7 1237 2452 1,91
8 1405 2913 2,09
Sumber: PT. Charoen Pokphand Jaya Farm (1995) dalam Yustiwira (1996).

Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa tingkat konsumsi ransum, bobot badan dan
konversi ransum ayam dengan perlakuan kontrol hampir mendekati nilai standar performan
ayam broiler AA CP-707. Hal ini mengindikasikan bahwa performan ayam DOC yang
dipelihara dengan manajemen pakan dan pemeliharaan yang bagus menghasilkan
pertumbuhan dan efektifitas penggunaan pakan menjadi daging juga optimal.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 227
Berbeda dengan perlakuan tepung gaplek, untuk mengubah ransum menjadi
komponen daging membutuhkan pakan dalam jumlah besar, hal ini disebabkan kandungan
serat dalam gaplek tinggi sehingga ayam sulit mencerna akibatnya untuk mencukupi
kebutuhan nutrisinya, ternak mengkonsumsi pakan dalam jumlah besar sehingga FCR
menjadi besar. Berikut disajikan grafik pola FCR ayam dengan perlakuan kontrol dan
pemberian tepung gaplek (Gambar 3). Terlihat bahwa diakhir pemeliharaan ayam dengan
pemberian tepung gaplek menunjukkan nilai FCR cukup tinggi, hal ini dikarenakan ayam
meningkatkan konsumsinya untuk mengimbangi kebutuhan energi yang meningkat pada
periode finisher. Kandungan nutrisi yang rendah, memacu ayam untuk memakan ransum
sebanyak-banyaknya sehingga tercukupi kebutuhan tubuhnya akan nutrien diakhir periode
pemeliharaan ini.

Feed Convertion Ratio

7,0

6,0

5,0
FCR

4,0 Kontrol
3,0 Gaplek

2,0

1,0

0,0
1 2 3 4 5 6
Minggu ke-

Gambar 3. Nilai Konversi Ransum Ayam Broiler yang diperlihara selama 30 Hari

Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan subsitusi tepung
gaplek sampai level 30% menyebabkan penurunan tingkat konsumsi, pertambahan bobot
badan dan konversi ransum dibandingkan kontrol.

Daftar Pustaka
Anggorodi, R. 1985, Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT Gramedia. Jakarta.

Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit Gramedia. Jakarta.

Anthong, V.P., 2009. Utilization of low-grade cassava meal (gari) in the diets of egg type
chicks (0–8 weeks), Pakistan Journal of Nutrition, 8(1), 39–41.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


228 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Fadillah, R. 2004. Ayam Broiler Komersial. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Jull, M.A., 1982. Poultry Husbandry. Tata Mc Graw-Hill, New Delhi.

Maynard, L. A. 1984. Animal Nutrition, 7th Ed, Mc, Grow Hill, Publishing Co. Ltd., New
Delhi.

Rasyaf, M. 1993. Makanan Ayam Broiler. Penebar Kanisius. Jakarta.

Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta

Sarwono, B., 1996. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya, Jakarta

Sumangkut dan Suhadi. 1978. Penggunaan Gaplek vs Onggok Dalam Makanan Penguat
Yang Mengandung Urea Pada Sapi Perah Muda. IPB. Bogor.

Suprijatna, E. Umiyati, A. Ruhyat, K. 2006. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Tewe, O.O., Bokanga, M., Dixon, A.G.O. and Larbi, A., 2002. Strategies for cost effective
cassava plant-based feeds for livestock and fish production in Africa. Paper presented
at the regional workshop on improving the cassava sub-sector, 2002, Nairobi, Kenya.

Wahju, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Kedua. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan IV. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Yustiwira. 1996. Pengaruh Imbangan Energi – protein dalam Ransum dan Strain yang
Berbeda terhadap Gala Tumbuh Broiler di Dataran Rendah. Skripsi Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian USU, Medan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 229
UKURAN TUBUH KAMBING KACANG (Capra hircus) YANG DIPELIHARA
SECARA TRADISIONAL PADA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA

FAHRUL ILHAM1), NIBRAS K LAYA1) AMIRUROSAD HIKAYA2),


1)
Dosen Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo
2)
Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ukuran tubuh dan pertambahan ukuran tubuh
Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional pada ketinggian tempat yang berbeda.
Penelitian ini penting sebab Kambing Kacang merupakan kambing lokal asli Indonesia yang
telah lama berperan dalam penyediaan daging sebagai sumber protein hewani nasional untuk
mendukung ketahanan pangan. Ukuran tubuh sangat penting diketahui sebab berhubungan
dengan bobot hidup dan bobot karkas. Pengumpulan data telah dilakukan dari bulan
September-November 2017 di Kabupaten Bone Bolango. Umur kambing yang diamati 9-12
bulan (Io) jenis kelamin jantan dan betina. Total sampel pengamatan 60 ekor, masing-masing
30 ekor berasal dari dataran sedang dan 30 ekor berasal dari dataran rendah. Data diperoleh
dengan melakukan pengukuran setiap 2 minggu sebanyak 6 kali (selama 12 minggu).
Berdasarkan hasil Uji-t tidak berpasangan, ukuran tubuh kambing kacang umur 9-12 bulan
yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi
dengan di dataran rendah. Perbandingan rerata ukuran tubuh awal dan akhir penimbangan
antara dataran sedang : dataran rendah adalah lingkar dada 55,6±0,84 dan 58,5±0,85 :
54,9±0,86 dan 57,63±1,03 cm, lebar dada 10,68±0,76 dan 13,22±0,78 : 10,03±0,81 dan
12,67±0,88 cm, dalam dada 19,8±0,88 dan 22,6±0,89 : 19,2±1,00 dan 22,13±0,93 cm,
panjang badan 44,8±0,75 dan 47,8±0,65 : 44,1±0,80 dan 47,2±0,67 cm, tinggi pundak
46,9±0,79 dan 50,0±0,69 : 46,4±0,91 dan 49,5±0,89 cm, tinggi punggung 48,0±0,77 dan
51,1±0,72 : 47,4±0,82 dan 50,4±0,75 cm. Pertambahan ukuran tubuh harian Kambing
Kacang antara dataran sedang : rendah adalah lingkar dada 0,043 : 0,039 cm/hari, lebar dada
0,037 : 0,036 cm/hari, dalam dada 0,041: 0,039 cm/hari, panjang badan 0,043 : 0,042
cm/hari, tinggi pundak 0,045 : 0,044 cm/hari, tinggi punggung 0,044 : 0,042 cm/hari.

Kata Kunci: Kambing Kacang, Ukuran Tubuh, Ketinggian Tempat

ABSTRACT
This study aims to determine the size of the body and the increase in body size of kacang
goat that are kept traditionally at different altitudes. This research is important because the
kacang goat is a native indigenous Indonesian goat that has long played a role in the
provision of meat as a source of national animal protein to support food security. Body size
is very important because it is associated with the body weight and carcass weight. Data
collection has been conducted from September-November 2017 in Bone Bolango District.
Age of goats observed 9-12 months (Io) of male and female sex. Total sample of observation
60, each 30 come from medium plain and 30 tail come from lowland. The data obtained by
measuring every 2 weeks as much as 6 times, for 12 weeks. Based on the result of unpaired
T-Test, body size of 9-12 month old kacang goat kept traditionally on plains is different from
in lowland (P<0,05). Comparison of the mean body size of the initial & final weighing
between the medium plains: the lowlands are chest circumference 55,6±0.84 & 58,5±0.85 :
54,9±0.86 & 57,63±1.03 cm, chest width 10,68±0.76 & 13,22±0.78 : 10,03±0.81 &
12,67±0.88 cm, in chest 19,8±0.88 & 22,6±0.89 : 19, 2±1.00 & 22.1±0.93 cm, body length

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


230 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
44,8±0.75 & 47,8±0.65 : 44,1±0.80 & 47,2±0.67 cm, shoulder height 46,9±0.79 &
50,0±0.69 : 46,4±0.91 & 49,5±0.89 cm, height of back 48,0±0.77 & 51.1±0.72 : 47.4±0.82
& 50.4±0.75 cm. The daily body size increase of kacang goat between medium plains : low
is chest circumference 0.043 : 0.039 cm/day, chest width 0.037 : 0.036 cm/day, in chest
0.041 : 0.039 cm/day, body length 0.043 : 0.042 cm/day, shoulder height 0.045 : 0.044
cm/day, high back 0.044 : 0.042 cm/day.
Keywords: Goat Nut, Body Size, Elevation Place

Pendahuluan
Kambing kacang merupakan ternak yang cukup digemari oleh beberapa kalangan
masyarakat bahkan dijadikan menu khas dalam setiap acara ritual keagamaan. Sebagian
besar skala usahanya masih kecil-kecilan dengan sistem pemeliharaan dan
perkembangbiakannya secara tradisional. Kambing Kacang di beberapa daerah di Indonesia
telah beradaptasi terhadap lingkungan setempat dan sering dikawinsilangkan dengan bangsa
kambing lainnya sehingga membentuk karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh ternak
tersebut.
Kambing Kacang relatif mudah dipelihara, cepat berkembang biak, dan tidak
memerlukan lahan yang luas untuk pemeliharaanya, serta relatif tahan terhadap penyakit dan
parasit lokal. Ternak kambing disamping memberikan manfaat utama untuk menghasilkan
daging, juga penghasil sampingan berupa kulit, air susu, dan feses.
Sistem pemeliharan ternak Kambing Kacang di Gorontalo khususnya di Kabupaten
Bone Bolango sebagian besar masih tradisional, yaitu siang dilepas dan dibiarkan mencari
pakan sendiri dan malam hari baru dikandangkan. Tingkat penyebaran kambing ini hampir
merata di seluruh wilayah Kabupaten Bone Bolango, dari dataran tinggi, sedang, maupun
dataran rendah. Kondisi geografis di Kabupaten Bone Bolango yang memiliki ketinggian
tempat yang bervariasi diduga telah menyebabkan produktivitas dan ukuran tubuh Kambing
Kacang berbeda.
Ukuran tubuh merupakan faktor yang erat hubungannya dengan penampilan seekor
ternak khususnya terhadap bobot badan maupun bobot karkas. Berdasarkan hal tersebut
maka telah dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada perbedaan kuran tubuh ternak
Kambing Kacang yang di pelihara pada ketinggian yang berbeda.

Materi dan Metode


Penelitian ini telah dilakukan di Desa Modelomo sebagai dataran sedang dan Desa
Olele sebagai dataran rendah, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango. Total
sampel kambing dalam penelitian adalah 60 ekor berumur sekitar 9-12 bulan (Io),

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 231
dikelompokkan berdasarkan ketinggian tempat, dimana 30 ekor berasal dari dataran sedang
dan 30 ekor dari dataran rendah. Kriteria ketinggian tempat berdasarkan Nuryanto, dkk
(2012) yaitu wilayah dataran rendah adalah 0-200 meter dari permukaan laut, dataran
sedang/menengah antara 200-500 meter dari permukaan laut.
Variabel ukuran tubuh yang diamati adalah lingkar dada, lebar dada, dalam dada,
panjang badan, tinggi pundak, tinggi punggung. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan tongkat ukur dan pita ukur setiap 2 minggu selama 3 bulan (sebanyak 6 kali
pengukuran). Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif
dengan menghitung nilai rata-rata, simpangan baku, dan koefisien variasi. Untuk
mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadap perbedaan ukuran tubuh dilakukan dengan
uji Uji-Tidak Berpasangan.

Hasil dan Pembahasan


Ukuran Tubuh dan Pertambahan Ukuran Tubuh Kambing Kacang
Ukuran tubuh merupakan faktor yang erat hubungannya dengan penampilan dan sifat
produksi seekor ternak, dapat digunakan untuk menduga berat badan ternak kambing dan
seringkali dipakai sebagai parameter teknis dalam penentuan kambing bibit berdasarkan
mutu genetisnya. Pengukuran dimensi tubuh penting dilakukan, sebab seringkali peternak
kambing tidak mengetahui dengan pasti perkembangan tubuh ternak kambingnya dari awal
kelahiran, pemeliharaan hingga saat penjualan, sehingga produktivitas ternak dan
keuntungan nominal yang akan dan seharusnya diperoleh tidak diketahui dengan pasti.
Hasil penelitian diperoleh rata-rata ukuran tubuh Kambing Kacang yang dipelihara
secara tradisional pada dataran sedang lebih besar dibandingkan dengan ternak Kambing
Kacang yang dipelihara pada dataran rendah sejak minggu pertama sampai minggu terakhir
pengukuran (Gambar 1). Demikian pula pada laju pertambahan ukuran tubuh di dataran
sedang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah. Pertambahan ukuran tubuh perhari
pada dataran sedang pada lingkar dada adalah 0,043 cm/hari, lebar dada 0,037 cm/hari,
dalam dada 0,041 cm/hari, panjang badan 0,043 cm/hari, tinggi pundak 0,045 cm/hari, tinggi
punggung 0,044 cm/hari. Pertambahan ukuran tubuh pada dataran rendah pada lingkar dada
adalah 0,039 cm/hari, lebar dada 0,036 cm/hari, dalam dada 0,039 cm/hari, panjang badan
0,042 cm/hari, tinggi pundak 0,044 cm/hari, tinggi punggung 0,042 cm/hari (Tabel 1).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


232 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Table 1. Laju Pertambahan Ukuran Tubuh Kambing Kacang pada ketinggian tempat yang
berbeda
Laju pertumbuhan ukuran tubuh (cm)
No Ukuran tubuh
(/2 minggu) (/hari)
Sedang Rendah Sedang Rendah
1 Lingkar Dada 0,50 0,45 0,043 0,039
2 Lebar Dada 0,42 0,38 0,037 0,036
3 Dalam Dada 0,47 0,46 0,041 0,039
4 Panjang Badan 0,49 0,48 0,043 0,042
5 Tiggi Pundak 0,52 0,51 0,045 0,044
6 Tinggi Punggung 0,51 0,49 0,044 0,042

Berdasarkan Gambar 1, seiring dengan semakin bertambahnya umur kambing, maka


ukuran tubuh juga semakin besar, dan hal tersebut disebabkan ukuran dan berat tulang yang
semakin bertambah. Pertumbuhan tulang terlihat linear sebab umur ternak masih dalam masa
pertumbuhan. Secara garis besar, masa pertumbuhan ternak terbagi 2 yaitu pertumbuhan
cepat dan pertumbuhan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat ternak baru lahir hingga
mencapai dewasa kelamin dan tahap lambat terjadi pada saat ternak mencapai dewasa tubuh.
Devendra dan Burns (1994) menyatakan pada dasarnya seekor ternak akan mengalami
perubahan dimensi tubuh yang diakibatkan oleh sistem pemeliharaan, perubahan musim,
umur dan jenis kelamin ternak. Selain faktor genetik ternak, perkembangan tubuh ternak
kambing dipengaruhi oleh faktor sistem manajemen pemeliharaan, faktor lingkungan antara
lain ketinggian tempat, curah hujan, ketersediaan air, suhu lingkungan, faktor penyakit, dan
lain-lain (Santosa, 1991).

Uji Statistik Perbedaan Ukuran Tubuh antara Dataran Sedang dan Dataran Rendah
Hasil analisis uji-t tidak berpasangan pada Tabel 2 diperoleh seluruh ukuran tubuh
Kambing Kacang antara dataran sedang dan dataran rendah berbeda secara statistik (nilai siq
< 0.05). Perbedaan ukuran tubuh ini semakin menegaskan bahwa ketinggian tempat
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ukuran-ukuran tubuh. Perbedaan ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor makanan yang dikonsumsi, suhu
lingkungan, dan sistem pemeliharaan.
Hasil pengamatan di lokasi penelitian, hijauan makanan ternak yang banyak
ditemukan pada kedua lokasi penelitian berbeda. Vegetasi tanaman hijauan makanan ternak
yang dominan pada dataran sedang adalah pohon gamal, kayu jawa, lamtoro dan pada
dataran rendah adalah kayu jawa, rumput griting, dan rumput teki. Nilai nutrisi protein yang

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 233
dimiliki pada hijaun tanaman tersebut memiliki perbedaan, dimana kayu jawa 18.46%,
gamal 22.7%, lamtoro 29.82%, rumput griting 7%, dan rumput teki 11.9% (Bakrie, 1996).
Table 2. Nilai siqnifikansi dari hasil analisis uji-t ukuran tubuh Ternak Kambing Kacang.
Ukuran tubuh yang Nilai Siqnifikansi pengukuran ke
No
diamati I II III IV V VI
1 Lingkar Dada 0,005 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
2 Lebar Dada 0,002 0,002 0,003 0,004 0,010 0,015
3 Dalam Dada 0,013 0,021 0,016 0,015 0,027 0,021
4 Panjang Badan 0,003 0,003 0,001 0,002 0,001 0,001
5 Tinggi Pundak 0,029 0,030 0,014 0,017 0,015 0,014
6 Tinggi Punggung 0,004 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001

Perbedaan vegetasi tanaman yang tumbuh di kedua lokasi disebabkan lahan di dataran
rendah untuk tumbuhnya hijauan lebih sempit karena berada dipinggiran pantai dan sebagian
sudah diigunakan untuk pekarangan rumah. Perbedaan hijauan makanan ternak yang
tersedia beserta kandungan nutrisi yang dimilikinya menyebabkan jenis pakan yang
dikonsumsi kambing kacang di kedua lokasi penelitian juga berbeda sehingga hal ini diduga
juga mempengaruhi ukuran tubuh dan pertambahan ukuran tubuh perhari. Dataran rendah
yang menjadi lokasi penelitian ini berada pada pesisir pantai sehingga berpengaruh terhadap
performans makanan, yaitu rasa makanan yang lebih asin. Perbedaan citarasa makanan juga
akan mempengaruhi selera makan kambing, dimana ternak akan lebih menyukai pakan yang
memiliki rasa manis dan hambar dari pada asin dan pahit.
Sistem pemeliharaan ternak Kambing Kacang di lokasi penelitian secara umum adalah
tradisional semi intensif, yaitu pada pagi hari sampai sore hari kambing dilepas diluar
kandang untuk mencari pakan sendiri dan malam hari dikandangkan. Beberapa diantaranya
bahkan tidak memiliki kandang sehingga ternak kambing dilepas secara terus menerus.
Kondisi ini menyebabkan terjadinya persaingan untuk mendapatkan pakan antar ternak
kambing, terutama di dataran rendah yang cukup minim sumber hijauan pakan. Tingkat
persaingan pada kondisi sumber pakan yang berbeda diduga telah menimbulkan perbedaan
pertambahan ukuran tubuh harian pada lokasi penelitian.
Perubahan ukuran tubuh ternak Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional
pada dataran sedang dan dataran rendah, selain dipengaruhi oleh jenis pemeliharaan dan
makanan juga dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang ada dikedua tempat. Hasil
pengukuran yang telah dilakukan Nirwan (2013) menghasilkan rata-rata suhu dataran sedang
di Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango yang berdekatan dengan lokasi
penelitian adalah 24,04ºC dan dataran rendah adalah 31,96ºC. Suhu lingkungan yang lebih

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


234 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Gambar 1. Grafik Perbedaan Ukuran Tubuh (lingkar dada, lebar dada, dalam dada, panjang badan, tinggi pundak, tinggi punggung) Kambing
Kacang umur 9-12 bulan antara dataran sedang dan dataran rendah.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 235
tinggi menyebabkan ternak Kambing Kacang sering mengalami kehausan sehingga akan
banyak minum air, akibatnya ternak lebih sedikit mengkonsumsi pakan. Ternak yang
mengalami stres panas akibat meningkatnya temperatur lingkungan, fungsi kelenjar
tiroidnya akan terganggu, sehingga akan mempengaruhi selera makan dan penampilan
(McDowell, 2000). Pada kondisi panas beberapa ternak mencari pertolongan melalui
mekanisme tingkah laku seperti pembatasan konsumsi makanan secara sukarela, tidak aktif
dan lebih banyak mencari peneduh (Lawrie, 2003).

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penlitian disimpulkan ukuran tubuh ternak Kambing Kacang umur
9-12 bulan yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda nyata (P<0,05)
lebih tinggi dengan di dataran rendah. Perbandingan rerata ukuran tubuh awal & akhir
penimbangan antara dataran sedang : dataran rendah adalah lingkar dada 55,6 dan 58,5 : 54,9
dan 57,63 cm, lebar dada 10,68 dan 13,22 : 10,03 dan 12,67 cm, dalam dada 19,8 dan 22,6 :
19,2 dan 22,1 cm, panjang badan 44,8 dan 47,8 : 44,1 dan 47,2 cm, tinggi pundak 46,9 dan
50,0 : 46,4 dan 49,5 cm, tinggi punggung 48,0 dan 51,1 : 47,4 dan 50,4 cm. Pertambahan
ukuran tubuh harian Kambing Kacang antara dataran sedang : rendah adalah lingkar dada
0.043 : 0.039 cm/hari, lebar dada 0.037 : 0.036 cm/hari, dalam dada 0.041 : 0.039 cm/hari,
panjang badan 0.043 : 0.042 cm/hari, tinggi pundak 0.045 : 0.044 cm/hari, tinggi punggung
0.044 : 0.042 cm/hari.

Daftar Pustaka
Bakrie, B. 1996. Feeding management of ruminant livestock in Indonesia. In: Ruminant
nutrion and production in the tropics and subtropics. Australian Centre for
International Agricultural Research. Canberra. pp. 119-130.

Devendra, C dan M. Burns. 1994. Produksi kambing di daerah tropis. Terjemahan: I. D.


K. Harya Putra. Penerbit ITB. Bandung.

Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Edisi kelima. Diterjemahkan oleh Aminuddin Parakkasi.
UI-Press. Jakarta.

Nuryanto, B., A. Priyatmojo, dan B. Hadisutrisno. 2014. Pengaruh Tinggi Tempat dan Tipe
Tanaman Padi terhadap Keparahan Penyakit Hawar Pelepah. Jurnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol. 33 No. 1.

Santosa, U. 1991. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Kambing. Penebar Swadaya. Jakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


236 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
BOBOT BADAN DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN
KAMBING KACANG (Capra hircus) YANG DIPELIHARA
SECARA TRADISIONAL PADA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA

MUHAMMAD SAYUTI1), FAHRUL ILHAM1), FERDIYANTO I. HAMANI2)


1)
Dosen Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo
2)
Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo

ABSTRAK

Kambing Kacang merupakan kambing lokal asli Indonesia yang berkontribusi dalam
penyediaan daging nasional dan mendukung ketahanan pangan nasional. Informasi bobot
badan Kambing Kacang sangat penting sebab menggambarkan seberapa banyak karkas yang
dimiliki sebelum dipotong. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bobot badan dan
pertambahan bobot badan Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional pada
ketinggian tempat yang berbeda. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September sampai
dengan November 2017 di Kabupaten Bone Bolango. Kambing Kacang yang digunakan
yaitu umur 9-12 bulan (Io) jenis kelamin jantan dan betina. Total kambing untuk sampel
pengamatan 60 ekor, masing-masing 30 ekor berasal dari dataran sedang dan 30 ekor berasal
dari dataran rendah. Bobot badan diperoleh dengan melakukan penimbangan setiap 2
minggu sebanyak 6 kali (selama 12 minggu) pada pagi hari sebelum kambing merumput di
lapangan. Berdasarkan hasil Uji-t tidak berpasangan diperoleh bobot badan Kambing
Kacang umur 9-12 bulan yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda
sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan di dataran rendah. Rerata bobot badan awal
penimbangan Kambing Kacang pada dataran sedang adalah 14,70 kg/ekor dan bobot akhir
penimbangan adalah 18,70 kg/ekor dengan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,06
kg/ekor/hari. Rerata bobot badan awal penimbangan Kambing Kacang pada dataran rendah
adalah 14,20 kg/ekor dan bobot akhir penimbangan adalah 16,79 kg/ekor dengan
pertambahan bobot badan harian sebesar 0,04 kg/ekor/hari.
Kata Kunci: Kambing Kacang, Bobot Badan, Ketinggian Tempat

ABSTRACT

Kacang goat is a native goat of Indonesia that has a contribution in national meet supply
and support national food security. Population and puryti of Kacang goats are very
important to be preserved because Kacang goats become contributors of animal protein,
particulary of lower class society. Information of Kacang goats’ body weight is crucial
because it describes how many carcasses they have before being slaughtered. This research
is aimed to investigate body weight, and weight gain of kacang goat farmed traditionally in
different altitudes at Sub-district of Kabila Bone. The research data were collected from
September to November 2017 at Bone Bolango district. The criteria of goats that become
the research samples are those aged 9-12 monts (Io), sexed both male and female. Total
sample are 60 goats, 30 from plateau and 30 from lowland. The body weight information is
obtained by weighing every 2 weeks for 6 weeks in the morning before goats graze in the
fieled. Based on unpaired t-tes, it obtains body weight of Kacang goats aged 9 to 12 monts
farmed traditionally at the plateau is different from lowland (sig value for <0,01). Average
initial body weight is 18.70 kg/goat with the addition of daily body weight is 0.06
kg/goat/day. Basides, the average initial body weight of Kacang goats in lowland is 14.20

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 237
kg/goat, and final body is 16.79 kg weight the addition of daily body weight is 0.04
kg/goat/day.
Keywords: Kacang Goats, Body Weight, Altitude

Pendahuluan
Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak yang cukup digemari masyarakat,
namun skala usahanya masih bersifat usaha kecil dimana sistem pemeliharaan dan
perkembangbiakannya masih secara tradisional. Kambing Kacang yang ada di Kabupaten
Bone Bolango baik yang berada di daerah pegunungan maupun pesisir telah berkembang
puluhan generasi dan telah beradaptasi tinggi terhadap lingkungan setempat.
Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia yang mempunyai bobot hidup
lebih kecil dibanding bangsa kambing lainnya. Kambing Kacang reatif lebih mudah
dipelihara, cepat berkembang biak, dan tidak memerlukan lahan yang luas dalam
pemeliharaanya. Ternak kambing ini disamping memberikan manfaat untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi daging, juga merupakan ternak penghasil kulit, susu, dan feses.
Kambing Kacang memiliki keunggulan sifatnya lincah, mudah beradaptasi dengan
lingkungan setempat dan angka reproduksinya cukup baik. Kambing Kacang sangat cepat
berkembang biak karena pada umur 15-18 bulan sudah bisa menghasilkan keturunan.
Jenis kambing tersebut cocok untuk penghasil daging karena bersifat prolifik
(melahirkan anak lebih dari satu ekor). Terkadang dalam satu kelahiran menghasilkan
keturunan kembar tiga setiap induknya. Kambing Kacang berkembang biak sepanjang tahun
dan dapat hidup dengan pemeliharaan yang seadanya, bahkan hampir tidak memerlukan
pemeliharaan sama sekali. Sebagai penghasil daging, ternak ini digunakan sebagai
penyediaan daging alternatif untuk memenuhi gizi masyarakat, terutama pada hari raya
qurban, aqikah, pesta perkawinan dan kebutuhan warung nasi/restoran, baik sebagai olahan
tradisional maupun semi modern.
Sistem pemeliharan ternak Kambing Kacang di Gorontalo khususnya di kabupaten
Bone Bolango sebagian besar masih bersifat tradisional yaitu siang dilepas dan dibiarkan
mencari pakan sendiri dan malam hari baru dikandangkan. Kambing Kacang tersebar
hampir merata di seluruh wilayah Kabupaten Bone Bolango, dari dataran rendah sampai
dataran rendah. Kondisi alam di Kabupaten Bone Bolango yang sebagian besar dataran
rendah dan dataran sedang menyebabkan terjadinya perbedaan produktivitas Kambing
Kacang di kedua tempat tersebut. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


238 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
bobot badan dan pertambahan bobot badan Kambing Kacang yang di pelihara secara
tradisional pada dataran rendah dan dataran sedang.

Metode
Lokasi penelitian ini adalah Desa Modelomo (dataran rendah) dan Desa Olele (dataran
sedang) Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango. Pengumpulan data dilakukan
pada bulan September sampai dengan November 2017. Kambing Kacang yang digunakan
yaitu umur 9-12 bulan (Io) jenis kelamin jantan dan betina. Total kambing untuk sampel
pengamatan 60 ekor, masing-masing 30 ekor berasal dari dataran sedang dan 30 ekor berasal
dari dataran rendah.
Bobot badan diperoleh dengan melakukan penimbangan setiap 2 minggu sebanyak 6
kali (selama 12 minggu) pada pagi hari sebelum kambing merumput di lapangan. Data bobot
badan yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dengan
menghitung nilai rata-rata, simpangan baku, dan koefisien variasi. Guna mengetahui
pengaruh ketinggian tempat terhadap perbedaan bobot badan dilakukan dengan Uji-t tidak
berpasangan.

Hasil dan Pembahasan


Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan

20,00

15,00

10,00
kg

5,00

0,00
P1 P2 P 3 P 4 P5 P6
dataran sedang 14,70 15,43 16,4 16,61 17,26 18,7
dataran rendah 14,2 14,56 15,1 15,6 16,17 16,79

Gambar 1. Grafik bobot badan Kambing Kacang umur 9-12 bulan pada dataran sedang dan
dataran rendah.

Berdasarkan hasil penelitian rata-rata bobot badan ternak Kambing Kacang, yang
dipelihara secara tradisional pada dataran sedang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak
Kambing Kacang yang dipelihara pada dataran rendah sejak penimbangan minggu pertama
sampai minggu terakhir. Rata-rata bobot badan awal penimbangan pada dataran sedang
adalah 14,70 kg/ekor dan di akhir penimbangan adalah 18,70 kg/ekor, sedangkan rata-rata
bobot badan di awal penimbangan pada dataran rendah adalah 14,20 kg/ekor dan di akhir
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 239
penimbangan adalah 16,79 kg/ekor (Gambar 1). Semakin bertambah umur kambing maka
bobot badan akan semakin besar pula, hal ini disebabkan karena ukuran tulang dan jumlah
sel otot dalam tubuh juga semakin bertambah.
Tabel 1. Laju pertambahan bobot badan Kambing Kacang pada dataran sedang dan dataran
rendah
Laju pertambahan bobot badan
Ketinggian Tempat
(/2 minggu) kg (/hari) kg
Dataran Sedang 0,80 0,06
Dataran Rendah 0,52 0,04

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 1), diperoleh laju pertambahan bobot badan ternak
Kambing Kacang pada dataran sedang adalah 0,80 kg/2 minggu dan dataran rendah 0,52
kg/2 minggu. Garantjang (2004), melaporkan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan
(PBB) anak Kambing Kacang jantan sebesar 61,5 g/hari dan PBB anak kambing betina
sebesar 54,25 g/hari. Tingginya rata-rata pertambahan bobot badan anak kambing jantan
dibandingkan dengan anak kambing betina pada semua tingkatan umur induk disebabkan
karena jantan lebih lincah dalam memperoleh makanan dan air susu serta pengaruh hormon
androgen yang terdapat pada jantan. Bobot tubuh ternak senantiasa berbanding lurus dengan
tingkat konsumsi pakannya. Makin tinggi bobot tubuhnya, maka semakin tinggi pula tingkat
konsumsi terhadap pakan.
Menurut Sampurna dan Suatha (2010), pertumbuhan mempunyai tahap-tahap yang
cepat dan lambat, tahap cepat terjadi pada saat ternak belum dewasa kelamin dan tahap
lambat terjadi pada saat dewasa tubuh tercapai. Kambing mencapai dewasa kelamin pada
umur 6-10 bulan. Hormon testosteron yang mulai diproduksi setelah dewasa kelamin
mempengaruhi laju pertambahan bobot badan (Soeparno, 2009).

Uji Beda Antara Bobot Badan Ternak Kambing Kacang Dataran Sedang Dan Dataran
Rendah
Pengukuran pertambahan bobot badan ternak Kambing Kacang merupakan sesuatu
yang sangat penting dilakukan. Namun demikian, sering kali peternak kambing tidak
mengetahui dengan pasti perkembangan tubuh ternak kambingnya dari awal kelahiran, tahap
pemeliharaan, hingga saat penjualan. Hal ini menyebabkan peternak tidak mengetahui
dengan pasti produktifitas dan keuntungan nominal yang diperoleh.
Berdasarkan hasil analisis uji-t tidak berpasangan diperoleh hasil bobot badan ternak
Kambing Kacang yang dipelihara pada dataran sedang berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih
tinggi dengan di dataran rendah sejak penimbangan awal hingga penimbangan akhir (Tabel

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


240 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
2). Perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh jenis pakan yang dikonsumsi selama dilepas
mencari pakan sendiri.
Table 2. Nilai signifikansi dari hasil analisis uji-t bobot badan Ternak Kambing Kacang
pada dataran sedang dan dataran rendah.
Bobot Badan
No Penimbangan Dataran Dataran Nilai sig. Kesimpulan
Sedang Rendah
1. I 14,70 14,20 0,002 Berbeda sangat nyata
2. II 15,43 14,56 0,002 Berbeda sangat nyata
3. III 16,40 15,10 0,000 Berbeda sangat nyata
4. IV 16,61 15,60 0,000 Berbeda sangat nyata
5. V 17,26 16,17 0,000 Berbeda sangat nyata
6. VI 18,70 16,79 0,000 Berbeda sangat nyata

Hasil pengamatan di lapangan, jenis hijauan pakan yang banyak ditemukan pada
dataran sedang adalah pohon gamal, kayu jawa, dan lamtoro, sedangkan pada dataran rendah
adalah kayu jawa, rumput griting dan rumput teki. Kandungan nutrisi yang dimiliki vegetasi
tanaman di dataran sedang dan di dataran rendah berbeda, dimana pada dataran sedang
kandungan proteinnya lebih tinggi dari pada di dataran rendah (Tabel 3). Protein merupakan
salah satu komponen gizi yang diperlukan oleh ternak untuk pertumbuhan. Kekurangan
protein dalam pakan ternak dapat berpengaruh negatif terhadap ternak, baik pertumbuhan
maupun produksinya (McDonald et al., 1988). Faktor pakan sangat penting dalam
pemenuhan kebutuhan pertumbuhan, sedangkan kekurangan pakan merupakan kendala
besar dalam proses pertumbuhan (Syawal et al., 2013).
Tabel 3. Kandungan protein hijauan ternak Kambing Kacang pada dataran sedang dan
dataran rendah.
No. Dataran Jenis Hijauan Kandungan Protein
Kayu Jawa 18,46%
1. Sedang Lamtoro 29,82%
Gamal 22,70%
Kayu Jawa 18,46%
2. Rendah Rumput Griting 7,00%
Rumput Teki 11,90%
Sumber: Bakrie (1996)

Selain faktor nutrisi, ketersediaan jumlah hijauan pakan antara kedua dataran tersebut
juga berbeda, dimana jumlah pakan di dataran sedang lebih banyak dibandingkan dengan
dataran rendah. Hal ini disebabkan oleh lahan di dataran rendah untuk hijauan pakan makin
sempit karena lingkungannya berada dipinggiran pantai dan pekarangan rumah masyarakat.
Ternak Kambing Kacang hanya mampu mengkonsumsi hijauan yang hidup disekitar tempat

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 241
tinggal masyarakat seperti, kayu jawa yang diberikan oleh peternak, selebihnya ternak
Kambing Kacang mengkonsumsi rumput liar diantaranya rumput teki dan rumput griting
yang kandungan proteinnya sangat rendah.
Perubahan bobot badan ternak Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional
pada dataran sedang dan dataran rendah, selain dipengaruhi oleh jenis pemeliharaan dan
pakan juga dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang ada dikedua tempat tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian Nirwan (2013) bahwa suhu dataran sedang di Kecamatan
Kabila Bone adalah 24,04ºC dan dataran rendah adalah 31,96ºC. Hal ini berpengaruh pada
pertumbuhan ternak Kambing Kacang yang ada di dataran rendah. Ternak Kambing Kacang
sering mengalami kehausan dan terlalu banyak minum air, sehingga ternak lebih sedikit
mengkonsumsi pakan. McDowell (2000) menyatakan bahwa ternak yang mengalami stres
panas akibat meningkatnya temperatur lingkungan, fungsi kelenjar tiroidnya akan
terganggu. Hal ini akan mempengaruhi selera makan dan penampilan.
Ternak Kambing Kacang yang ada di dataran sedang pada lokasi penelitian, tingkat
konsumsi pakannya lebih tinggi disebabkan oleh suhu udara yang lebih rendah. Makin
rendah suhu udara, maka akan semakin tinggi kebutuhan akan pakan dan kemauan ternak
untuk makan sangat dipengaruhi oleh penampilan bahan pakan. Ternak lebih suka pakan
yang lebih memiliki rasa manis dan hambar dari pada asin dan pahit, sehingga meningkatkan
selera makan ternak (Kartadisastra, 1997).

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa bobot badan ternak Kambing
Kacang umur 9-12 bulan yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda
sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan di dataran rendah. Pertambahan bobot badan
harian ternak Kambing Kacang pada dataran sedang adalah 0,06 kg/hari dan dataran rendah
adalah 0,04 kg/hari.

Daftar Pustaka
Bakrie, B. 1996. Feeding management of ruminant livestock in Indonesia. In: Ruminant
nutrion and production in the tropics and subtropics. Australian Centre for
International Agricultural Research. Canberra. pp. 119-130.

Garantjang, S. 2004. Pertumbuhan anak kambing kacang pada berbagai umur induk yang
dipelihara secara tradisional. Jurnal Sains and Technology 4 (1): 40-45.

Kartadisastra, H.R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia.


Kanisius. Yogyakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


242 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
McDonald, P., R.A. Edward, dan J.F.O. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrion. 4th Ed.
Longman Scientific and Technical. John Willey and Sons Inc. New York. pp. 445-
884.

McDowell, R.E. 2000. Improvement of livestock production in warm climates. W.H.


Freeman and Co. San Fransisco.

Nirwan. 2013. Laporan Geografi. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo

[NRC] National Research Council. 2006. Nutrient Requirements of Small Ruminants


(Sheep, Goats, Cervids, and New World Camelids). National Academic Press.
Washington D.C.

Sampurna, I.P. dan I.K. Suatha. 2010. Pertumbuhan Alometri.

Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke-5. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Syawal, S., B.P. Purwanto, dan I.G. Permana. 2013. Studi hubungan respon ukuran tubuh
dan pemberian pakan terhadap pertumbuhan sapi pedet dan dara. JITP 2 (3): 175-188.

Thalib, A. 2004. Uji efektivitas saponin buah Sapindus rarak sebagai inhibitor
metanogenesis secara in vitro pada sistem pencernaan rumen. JITV 9 (3): 164-171.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 243
Bidang Penelitian Perikanan dan
Kelautan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


244 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
LAJU PERTUMBUHAN SPONS Haliclona sp PADA KEDALAMAN BERBEDA
DENGAN METODE VERTIKAL DI PULAU DULOWONU BOALEMO

(GROWTH OF SPONGE Haliclona sp IN DIFFERENT DEPTHS WITH VERTICAL


METHOD IN DULOWONU ISLANDS BOALEMO)

*SRI YUNINGSIH NOOR DAN ZULRINA PAUDI


Program Studi Perikanan Fakultas Pertanian
Universitas Gorontalo
*Email: yuyun.noor@gmail.com

ABSTRAK

Spons merupakan hewan laut yang dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang bermanfaat
sebagai antibiotik, anti jamur, anti virus, anti kanker, anti inflamasi dan antioksidan. Oleh
sebab itu dilakukan pengembangan teknologi budidaya spons. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui laju pertumbuhan spons Haliclona sp pada kedalaman yang berbeda dengan
metode vertikal. Penelitian ini dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan yaitu; perlakuan A (kedalaman 1 meter), perlakuan
B (kedalaman 3 meter), perlakuan C (kedalaman 5 meter). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perlakuan C memiliki laju pertumbuhan tertinggi yaitu 2,97%; perlakuan B memiliki
laju pertumbuhan 2,83%; dan perlakuan A dengan laju pertumbuhan terendah yaitu 2,75%.
Panjang mutlak (Pm) tertinggi terdapat pada perlakuan C sebesar 24,81 cm, perlakuan B
dengan Panjang mutlak (Pm) 22,16 cm, dan perlakuan A dengan Panjang mutlak (Pm)
terendah yaitu 20,62 cm. Kondisi kualitas air selama penelitian menunjukkan suhu berkisar
antara 29ºC - 30ºC; salinitas 34-34 ppt; DO 5,15-5,35 ppm; pH 8-8,3; kecerahan 8 meter dan
kecepatan arus 2,60-5,37 cm/detik.

Kata Kunci: Pertumbuhan Spons, Haliclona sp, Metode Vertikal

ABSTRACT

Sponges are marine organisms which known to be able to produce bioactive metabolite as
antibiotic, antifungal, antivirus, anticancer, antiinflammation, and antioxidant. Therefore,
further investigated agriculture technology of sponge. The aim of the research is to
determine growth rate of the sponge Haliclona sp in different depths by using vertical
method. This research using Completely Randomized design Method with three different
treatments and three time repetitions; treatment A (1 meter depth), treatment B (3 meters
depths), and treatment C (5 meters depths). The research result showed that treatment C
have a good growth rate of 2.97%: treatment B has growth rate of 2.83%; and treatment A
has the lowest growth rate of 2,75%. Absolute length 29°C-30°C; salinity 34-34 pt; DO
5.15-5.35 ppm; pH 8-8.3; brightness about 8 meters and flow velocity from 2.60-5.37 cm/sec.
Keyword: Growth of Sponge, Haliclona sp, Vertical Method
Pendahuluan
Salah satu biota laut yang banyak diteliti selain ikan ialah spons. Wilayah laut
Indonesia merupakan salah satu pusat penyebaran terbesar spons di dunia dan diperkirakan
terdapat sekitar 850 spesies yang hidup tersebar di wilayah ini (Hooper dan Van Soest,
Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018
Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 245
2002). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa biota laut seperti spons dan biota laut
lainnya memiiki potensi yang sangat besar dalam menghasilkan senyawa - senyawa aktif
yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat (Ismet, 2007).
Penggunaan metode vertikal untuk budidaya spons merupakan tradisi yang sudah
cukup lama di Mediterania, Florida dan Kuba. Budidaya spons saat ini bertujuan untuk
memproduksi spons mandi. Namun, usaha pengembangan budidaya spons untuk sediaan
bahan bioaktif masih sangat jarang (Duckworth & Battershill, 2003; Hades et al., 2005; Page
et al., 2005).
Untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan spons di alam, maka diperlukan
berbagai upaya termasuk budidaya organisme ini (Koopmans et al., 2009). Budidaya spons
sudah berkembang dan terus meningkat semenjak penemuan bahan hayati laut dari spons
dimanfaatkan. Kebutuhan akan bahan hayati laut terus meningkat terutama disebabkan
perkembangan biofarmasi untuk mendapatkan obat baru yang dibutuhkan oleh manusia
(Page et al., 2005).
Budidaya terhadap biota laut khususnya spons harus tetap dilakukan untuk terus
menjaga keseimbangan ekosistem laut dan kelestarian biota laut lainnya. Berdasarkan hal
tersebut dilakukan penelitian dengan judul “Laju Pertumbuhan Spons (Haliclona sp) pada
Kedalaman Berbeda dengan Metode Vertikal di Perairan Pulau Dulowonu” yang nantinya
hasil dari penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi dan referensi untuk
mahasiswa, pengusaha atau instansi terkait dalam hal melaksanakan kegiatan budidaya
spons.

Metode
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Dulowonu Desa Tabulo Selatan Kecamatan
Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo (Gambar 1). Penentuan stasiun
pengamatan dilakukan dengan beberapa pertimbangan yaitu transportasi, kualitas dan
kuantitas perairan, ketersediaan bibit tidak jauh dari pengambilan bibit, dan daerah tersebut
memiliki kedalaman pada surut terendah yaitu 1 sampai 3 m.

Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu DO meter, current meter,
refraktometer, secchi disk, pisau, baskom, mistar, nilon, alat tulis menulis, kamera, dan
jaring. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu spons Haliclona sp.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


246 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Gambar 1. Peta lokasi penelitian (bendera biru)

Prosedur Penelitian
Bibit spons Haliclona sp berasal dari alam di Perairan Desa Tabulo Selatan,
Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Bibit spons yang sudah
disiapkan terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran-kotoran atau organisme penempel.
Selanjutnya dilakukan pemotongan spons di atas kapal dengan menggunakan pisau dan
dilakukan dalam wadah berisi air laut yang diberi aerasi. Selama proses pemotongan air laut
dalam wadah diganti beberapa kali. Spons dipotong dengan ukuran panjang yang sama
sebesar 3 cm. Untuk mengurangi stress selama pengangkutan dan pemotongan, maka spons
induk yang belum dipotong ditaruh di dalam keranjang tali yang dihanyutkan di samping
kapal.
Spons yang telah dipotong diambil lalu diletakkan pada tali nilon. Spons tidak
diikatkan pada tali namun tali ditusukkan di bagian tengah spons hingga tembus. Setiap
untaian terdapat 42 fragmen spons dengan jarak 10 cm. Kemudian untaian diletakkan pada
wadah lain yang diaerasi dan beberapa kali dilakukan pergantian air. Pengikatan spons pada
rak percobaan (jaring) dilakukan dalam air.
Pembuatan konstruksi budidaya diawali dengan menggunakan tali panjang yang
dibentangkan. Teknik budidaya spons dengan metode ini adalah menggunakan tali sesuai
kebutuhan banyaknya wadah yang digunakan untuk budidaya, kedua ujung tali diberi

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 247
jangkar dan pelampung utama, dan pada setiap jarak perlakuan diberi pelampung berupa
potongan styrofoam/karet sendal jepit atau botol air mineral bekas 1500 ml.
Perlakuan yang diuji cobakan adalah kedalaman yang berbeda dengan metode vertikal.
Penelitian ini disusun dengan menggunakan 3 perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali
ulangan jadi terdapat 9 unit percobaan. Sebagai acuan dalam perlakuan ini yaitu penelitian
dari Yusnaini et al., (2013) dimana kedalaman jarak tanam yang baik yaitu 3 meter dengan
pertumbuhan mutlak sebesar 15,57 cm. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui laju
pertumbuhan dengan membedakan kedalaman jarak tanam pada bibit spons dengan
perlakuan sebagai berikut: (1) Perlakuan A (kedalaman 1 meter), (2) Perlakuan B
(kedalaman 3 meter), (3) Perlakuan C (kedalaman 5 meter) (Gambar 2).
Perawatan spons (Haliclona sp) dilakukan dengan membersihkan media dari
gangguan alga yang tumbuh pada wadah dan kotoran lain yang terbawa arus. Teknik
pengukuran dan pengambilan data pertumbuhan bibit spons dilakukan setiap 15 hari sekali
selama 75 hari penelitian agar perkembangan spons terlihat nyata dan dapat terukur
menggunakan mistar. Penghitungan ukuran dilakukan di darat menggunakan analisis foto
dokumentasi.
Ulangan I Ulangan II Ulangan III

A1 A2
A3
B2 B1 B3
1 meter
C C1 C3
3 meter
5 meter
Gambar 2. Tata letak wadah percobaan

Analisis Data
1. Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS)
Laju pertumbuhan spesifik dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 2003):
ln 𝑃𝑡 − ln 𝑃𝑜
LPS = 𝑥 100%
t
Keterangan:
LPS : Laju pertumbuhan spesifik (cm)
Pt : Panjang spons rata-rata pada waktu akhir (cm)
P0 : Panjang spons rata-rata pada waktu awal (cm)
t : Lama penelitian (hari)

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


248 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
2. Pertumbuhan Panjang Mutlak (Pm)
Pertumbuhan panjang mutlak dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 2003):
Pm = Pt – P0
Keterangan:
Pm : Pertumbuhan panjang mutlak (cm)
Pt : Panjang spons pada waktu ke-t (cm)
P0 : Panjang spons pada waktu awal (cm)

3. Analisis Ragam
Hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Menurut Hanafiyah (2014), rumus yang digunakan yaitu:
Yij = 𝜇+ ∝ 𝑖 + 𝜀𝑖𝑗
Keterangan:
Yij : Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
𝜇 : Rata-rata umum
∝ 𝑖 : Pengaruh perlakuan i
𝜀𝑖𝑗 : Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

4. Uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil)


Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan terhadap laju pertumbuhan dilakukan uji
Beda Nyata Terkecil (BNT). Rumus uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Hanafiah, 2014):
2𝐾𝑇𝐺
BNT (α) = t (α) (db galat) x √ 𝑟

Keterangan:
BNT (α) : Uji Beda Nyata Terkecil Taraf (5%) atau (1%)
t (α) : Taraf Pengujian (5%) atau (1%)
db galat : Derajat Bebas Galat
KTG : Kuadrat Tengah Galat
r : Jumlah Ulangan

Hasil dan Pembahasan


Laju Pertumbuhan Spesifik
Bersadarkan Gambar 3 laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp) mengalami
peningkatan pada setiap perlakuan. Laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp) berkisar
antara 2,75% - 2,97%. Rata-rata pertumbuhan spesifik secara berurutan yaitu perlakuan A
sebesar 2,75%, perlakuan B sebesar 2,83%, dan perlakuan C sebesar 2,97%.
Laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp) Perlakuan A memiliki laju
pertumbuhan spesifik yang terendah dari keseluruhan perlakuan yaitu sebesar 2,75%.
Penanaman dengan kedalaman jarak tanam 1 meter menyebabkan keterlambatan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 249
pertumbuhan spons bila dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini dimungkinkan terjadi
karena fluktuasi kualitas perairan. Sesuai dengan pernyataan Pong-Masak et al., (2013),
bahwa pertumbuhan spons sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan seperti suhu, arus dan
salinitas yang dapat berubah-ubah karena pengaruh cuaca.

Laju Pertumbuhan Spesifik


2,97
3
2,83
LPS (%)

2,75
2,8

2,6
A B C
Perlakuan
Gambar 3. Laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp)
Perlakuan B memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik dari perlakuan A yaitu sebesar
2.83%. Hal ini diduga karena kualitas perairan pada kedalaman 3 meter cenderung tetap atau
tidak berubah-ubah. Selain itu cahaya matahari juga berpengaruh terhadap pertumbuhan
spons. Menurut pernyataan Suparno et al., (2009), bahwa cahaya matahari dalam bentuk
radiasi ultra violet (UV) adalah faktor pembatas bagi pertumbuhan spons di perairan
dangkal. Hal ini didukung oleh Yusnaini et al., (2013) dimana laju pertumbuhan spesifik
yang tertinggi dengan nilai 1,36% terdapat pada kedalaman jarak tanam 3 meter.
Perlakuan C dinyatakan sebagai kedalaman jarak tanam yang baik bila dibandingkan
dengan perlakuan A dan B. Sesuai pernyataan Suparno et al., (2009), bahwa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan spons pada kedalaman yang berbeda antara lain intensitas
cahaya matahari, kesediaan makanan dan kompetisi ruang. Sebagai hewan filter feeder yang
menetap, hidup spons sangat bergantung kepada makanan terutama bahan organik yang
berada disekitarnya. Di Great Barrier Reef, spons umumnya hidup pada kedalaman 10
meter. Selanjutnya dikemukakan oleh Wilkinson et al., (1999) bahwa sinar ultra violet
menjadi salah satu faktor pembatas distribusi spons yang dapat mengakibatkan stres.
Untuk mengetahui pengaruh kedalaman jarak tanam terhadap laju pertumbuhan
spesifik spons (Haliclona sp), maka dilakukan analisis sidik ragam Rancangan Acak
Lengkap. Hasil analisis ragam laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp) menunjukkan
bahwa kedalaman jarak tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap laju
pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp). Keputusan ini diambil berdasarkan
perbandingan antara nilai FHitung (35) lebih besar dari nilai FTabel pada taraf 5% (5,14) maupun
pada taraf 1% (10,92). Jika FHitung > FTabel taraf 5% atau 1% maka H1 diterima dan H0 ditolak.
Untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


250 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
(Beda Nyata Terkecil) dengan taraf 5% dan 1%. Hasil uji BNT laju pertumbuhan spesifik
spons Haliclona sp pada taraf 5% dan 1% dapat dijelaskan bahwa perlakuan C memberikan
pengaruh lebih besar terhadap pertumbuhan spons (Haliclona sp) dan merupakan perlakuan
yang baik pada penelitian ini. Artinya perlakuan yang diberikan berbanding lurus dengan
pertumbuhan spons, dimana pada penelitian ini semakin dalam jarak tanam yang diberikan,
maka semakin baik pertumbuhan spons.

Pertumbuhan Mutlak
Pertumbuhan mutlak spons Haliclona sp ditunjukkan pada Gambar 4. Pertumbuhan
mutlak terendah terdapat pada perlakuan A dengan nilai sebesar 20,62 cm. Perlakuan B
dengan pertumbuhan mutlak sebesar 22,16 cm, dan pertumbuhan mutlak perlakuan C yaitu
sebesar 24,81 cm. Hasil yang diperoleh dari keseluruhan perlakuan selama penelitian
menunjukkan peningkatan pertumbuhan mutlak yang berbanding lurus dengan peningkatan
kedalaman jarak tanam bibit spons, dimana pertumbuhan mutlak meningkat pada
peningkatan kedalaman jarak tanam.

Pertumbuhan Mutlak
40 22,16 24,81
20,62
Panjang (cm)

20

0
A B C
Perlakuan

Gambar 4. Laju pertumbuhan mutlak spons (Haliclona sp)

Sesuai dengan penjelasan Pong-Masak et al., (2013) bahwa kedalaman jarak tanam
yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap nilai pertumbuhan mutlak.
Namun kedalaman jarak tanam yang lebih dalam tidak selalu menghasilkan pertumbuhan
mutlak yang lebih tinggi tergantung pada kondisi lingkungan dan kualitas perairan pada
lokasi penelitian. Sesuai dengan pernyataan Suparno et al., (2009) bahwa pada lingkungan
dan kualitas air yang berbeda akan menghasilkan respon pertumbuhan yang relatif berbeda.

Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, DO, pH, kecerahan air,
dan kecepatan arus yang diamati 5 kali selama 75 hari proses penelitian. Hasil pengukuran
kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pengamatan beberapa

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 251
parameter kualitas air secara umum masih berada pada kisaran optimal untuk pertumbuhan
spons.
Tabel 1. Kisaran Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian
Nilai Kualitas Air Kisaran Kualitas air
Parameter Kualitas Air
selama Penelitian Optimal
Suhu (°C) 29 – 30 27 – 30
Salinitas (ppt) 34 – 35 34 – 35
DO (ppm) 5,15 – 5,35 5–6
pH 8 – 8,3 8 – 8,5
Kecerahan (m) 8 8,3 – 9,6
Kecepatan Arus (cm/dtk) 2,60 – 5,37 2,13 – 5,36

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan kedalaman jarak
tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan spons (Haliclona sp) yang
dibudidayakan dengan metode vertikal. Perlakuan C dengan kedalaman jarak tanam 5 meter
memiliki laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan mutlak yang paling tinggi yaitu 2,97
% dan 24,81 meter.

Daftar Pustaka
Duckworth AR, Battershill CN. 2003. Developing Farming Structures for Productions of
Biologically Acive Sponge Metabolites. Aquaculture 217: 139 – 156.
Duckworth AR, Battershill CN. 2003. Sponge Aquaculture for the Production of
Biologically Active Sponge Metabolites. The Influence of Farming Protocols and
Environment. Aquaculture 221: 311 – 329.
Effendie, I. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta
Hades E. Sphigel M, Ilan M, 2005. Sea Ranching of the Marine Sponge Negombata
Magnifica (Demospongiae, Latruncullidae) as a First Step for Latrunculin B Mass
Production. Aquaculture 244: 159 – 169.
Hanafiah. 2014. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Hooper dan Van Soest. 2002. Systema Porifera: A Guide to the Classification of Sponges.
Kluwer Academic/Plenum Publishers. New York, (USA).
Ismet, M.S. 2007. Penapisan Senyawa Bioaktif Spons Aaptops dan Petrosia sp, dari Lokasi
yang Berbeda. Thesis. Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Page, M.J., P.T. Northcote, V.L. Webb, S. Mackey & S.J. Handley. 2005. Aquaculture trials
for the production of biologically active metabolites in the New Zealand sponge
Mycale hentscheli (Demospongiae: Poecilosclerida). Aquaculture. 250:256–269. doi:
10.1016/j.aquaculture. 2005. 4. 69

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


252 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
Pong-Masak, Rachmansyah, Rosmiyati, Tjaronge, Suryati. 2013. Teknologi Budidaya
Sponge (Haliclona sp dan Callispongia sp) pada Rakit Apung di Laut. Loka Penelitian
dan Pengembangan Budidaya Rumput Laut dan balai Penelitian dan Pengembangan
Bididaya Air Payau.
Suparno, D. Soedharma, N.P. Zamani & R. Rachmat. 2009. Transplantasi Spons Laut
Petrosia nigricans. Ilmu Kelautan. 14(4):54-61.
Wilkinson, C, R., Roger ES., Elizabeth E., 1999. Light as a Factor Determoning the
Distribution of Sponges across the Central Great Barrier Reaf. Proceeding of the 5th
International Coral Reef Congress; Tahiti, 27 May-1 June 1985.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 253
ANALISIS TINGKAT PEMANFAATAN IKAN TUNA SIRIP KUNING
(Thunnus albacares) DI PERAIRAN KOTA GORONTALO
(Utilization Level of Yellow Fin Tuna (Thunnus albacares) at Gorontalo City Coastal)

NURUL AULIYAH1* DAN FITRI SURYANENGSIH2


1
Staf Pengajar Program Studi Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Gorontalo
2
Mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Gorontalo
*Email: nurulauliyah05@gmail.com

ABSTRAK
Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) adalah spesies tuna yang ditemukan di perairan
pelagik samudera tropis dan subtropis di seluruh dunia. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui produksi maksimum lestari (MSY) ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares)
dan upaya penangkapan optimum pada perairan Kota Gorontalo serta mengetahui tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares). Analisis data
dilakukan tiap upaya tangkapan, tingkat pemanfaatan, analisis secara deret waktu (time
series). Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah produksi maksimum lestari (MSY) untuk
penangkapan ikan Tuna Sirip Kuning pada perairan Kota Gorontalo sebesar 9.767.127
ton/unit/tahun, dengan upaya penangkapan (f optimum) sebesar 56.209 unit/tahun. Nilai
produksi tertinggi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) pada tahun 2015 sebesar
11.267 ton/tahun dan nilai produksi terendah pada tahun 2011 sebesar 2.829 ton/tahun. Hasil
analisis tingkat pemanfaatan terhadap ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) yang ada
di perairan Kota Gorontalo sebesar 61,48% dengan tingkat pemanfaatan dikategorikan
dalam pemanfaatan under eksploited.
Kata Kunci: Ikan Tuna Sirip Kuning, MSY, Tingkat Pemanfaatan

ABSTRACT
Yellow Fin Tuna (Thunnus albacares) is one of species tunas were found on tropic
and sub tropic ocean. The aimed of this research to determinate maximum sustainable yield
(MSY) of yellow fin tuna (Thunnus albacares) and optimum effort in Gorontalo City Coastal,
to know the empowerment level of yellow fin tuna. Data analyzed conduct on the catch per
unit effort and empowerment level, time series analysis. The result shown that maximum
sustainable yield (MSY) for yellow fin tuna catches in Gorontalo City waters is 9767,13
ton/unit/year while catching effort (f optimum) is 56209 unit/year. The Highest yield of
yellow fin tuna in 2015 that is 11.267 ton/year and the lowest yield in 2011 that is 2829
ton/year. The result of empowerment level analysis result shown that is 61 % where it’s mean
that under exploited.
Keyword: Yellow Fin Tuna, MSY, The Empowerment Level

Pendahuluan
Potensi perikanan laut Indonesia terdiri dari potensi perikanan pelagis dan demersal
tersebar pada hampir semua bagian perairan laut Indonesia seperti pada perairan laut
teritorial, nusantara dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ikan Pelagis adalah kelompok ikan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


254 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
 ISSN: 1978-152

yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air. Ciri utama ikan pelagis adalah dalam
beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk
berbagai kebutuhan hidupnya. Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi
dua. Pertama, ikan pelagis besar, misalnya jenis ikan tuna, cakalang, tongkol dan lain-lain.
Kedua, ikan pelagis kecil, misalnya ikan layang, teri, kembung (Fadhli, 2015).
Beberapa istilah lain untuk jenis ikan tuna sirip kuning adalah tuna madidihang, yellow
fin-tuna (Inggris) dan Thunnus albacares (latin). Salah satu ciri utama tuna sirip kuning
adalah garis berwarna kuning yang terdapat di sepanjang sisi kiri dan sisi kanan ikan tuna.
Garis kuning tersebut akan tampak jelas apabila terkena cahaya. Hidupnya bergerombol dan
bergerak sangat cepat sehingga sulit ditangkap. Potensi ikan tuna jenis sirip kuning di
Indonesia sangat besar sebab jenis tersebut merupakan jenis terbanyak yang terdapat di
perairan laut Indonesia. Wilayah kelautan dengan sumber daya ikan tuna sirip kuning
terbesar di Indonesia adalah Laut Flores dan Selat Makassar (Gufran, 2011).
Salah satu jenis sumberdaya ikan laut yang mempunyai nilai ekonomis penting dan
mempunyai prospek yang baik adalah ikan tuna madidihang. Secara ekonomis ikan tuna
memberikan kontribusi besar yang ditunjukkan oleh sebagian besar masyarakat pesisir
memiliki pekerjaan sebagai nelayan baik pada usaha penangkapan, pengolahan,
perdagangan dan industri penunjang. Keadaan ini dapat dilihat jelas di Provinsi Gorontalo
khususnya di wilayah administrasi Kota Gorontalo. Ikan madidihang juga tercatat sebagai
komoditi ekspor baik dalam bentuk segar, beku maupun olahan. Dari ekspor, negara
Indonesia khususnya Gorontalo mendapat tambahan devisa yang penting bagi keseimbangan
neraca perdagangan luar negeri (DPK, 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut maka
perlunya dilakukan penelitian untuk mengetahui produksi maksimum lestari terhadap Ikan
Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares).

Metode Penelitian
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 2 (dua) bulan mulai bulan Mei sampai dengan Juni,
dilakukan di perairan Kota Gorontalo.

Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain buku catatan
digunakan untuk mencatat data, kuisioner digunakan sebagai bahan pertanyaan kepada
nelayan, dan kamera digunakan sebagai alat dokumentasi saat penelitian dilaksanakan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 255
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: Data Primer yaitu data
yang akan diperoleh selama penelitian berupa produksi tangkapan, trip dan jumlah alat
tangkap. Data sekunder yaitu data-data pendukung yang berasal dari Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Gorontalo diantaranya data alat tangkap dan produksi perikanan.

Analisis Data
Data-data kemudian dianalisis dengan beberapa analisa data sebagai berikut:
Pendugaan stok dilakukan berdasarkan data alat tangkap, jumlah armada dan produksi
perikanan tahun 2011-2015. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk menilai hasil
tangkapan ikan dengan upaya penangkapan (Catch Per Unit Effort), menggunakan rumus
Gulland (1991).
𝐶
𝐶𝑃𝑈𝐸𝑖 = 𝑓𝑖 …………………………………………… (1)
𝑖

Dimana: Ci = Hasil tangkapan ke-i (kg),


fi = Upaya penangkapan ke-i (trip),
CPUE = Catch per Unit Effort.
Data hasil usaha tangkapan (CPUE) dan upaya penangkapan (Effort) yang didapatkan
dianalisa. Hubungan keduanya akan digambarkan dengan grafik parabola melalui persamaan
regresi (Schaefer, 1957).
𝑌 = 𝑎 + 𝑏𝑋 …………………………………………… (2)
Dimana: y = CPUE (kg/unit baku)
x = upaya penangkapan (unit baku)
a, b = konstanta
𝑎
Upaya penangkapan optimum (f opt. ) = …………………………………… (3)
2𝑏
𝑎²
Maximum Sustainable Yield (MSY) = …………………………………… (4)
4𝑏

Dari rumus tersebut maka akan dilakukan analisis TAC (Total Allowable Catch)
Tingkat Pemanfaatan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Tingkat Pemanfaatan = Ci x 100% ………………………..………………… (5)
MSY
Ci = Jumlah tangkapan pada tahun ke-i
TAC = Total Allowable Catch
(jumlah tangkapan yang diperbolehkan yaitu 80% dari nilai MSY)

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


256 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
 ISSN: 1978-152

Hasil dan Pembahasan


Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Tenda secara astronomi terletak di antara 0°30'38"
Lintang Utara (LU) dan 123°03'42" Bujur Timur (BT), berada di Kelurahan Tenda, Kota
Gorontalo. Lokasi Pangkalan Pendaratan Ikan Tenda yang berada di muara sungai Bone -
Bolango dan berada dekat dengan Teluk Tomini secara alami terlindung dari ombak dan
angin yang bertiup dominan dari arah barat walaupun pada musim angin timur PPI harus
berhadapan dengan gelombang besar. Posisi Tanjung Keramat yang berbukit turut
melindungi PPI dari terpaan angin Barat. Lebar sungai juga memungkinkan untuk lalu lintas
perahu/kapal dalam jumlah yang cukup.

Hasil Tangkapan per Satuan Upaya (CPUE)


Berdasarkan data yang diperoleh, bahwa hasil tangkapan ikan tuna sirip kuning
(Thunnus albacares) di perairan Kota Gorontalo yang paling banyak didaratkan di PPI
Tenda, alat tangkap dominan yang digunakan untuk menangkap tuna sirip kuning (Thunnus
albacares) adalah pancing ulur (handline). Hasil tangkapan per unit satuan upaya yang
diperoleh dari tahun 2011-2015 untuk wilayah perairan Kota Gorontalo memiliki jumlah
613 ton/tahun, dengan nilai rata-rata adalah 123 ton/tahun. Hasil perhitungan CPUE dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. CPUE Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) di Perairan Kota Gorontalo
Trip produksi
Produksi perikanan CPUE
Tahun perikanan laut
(Catch) (Ton/Trip)
(Effort)
2011 35.248 4.226 119,89
2012 13.641 4.173 305,88
2013 91.951 5.055 54,97
2014 115.263 7.038 61,06
2015 143.127 5.143 35,93
Sumber: Pengolahan Data (2016)

Berdasarkan Tabel 1, nilai CPUE tertinggi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares)
pada tahun 2012 sebesar 305,88 ton/tahun dan nilai CPUE terendah pada tahun 2015 sebesar
35,93 ton/tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ikan tangkap di perairan
Kota Gorontalo adalah kapasitas kapal nelayan. Sebagian besar kapal nelayan masih di
bawah 30 gross ton sehingga hanya dapat beroperasi di kawasan perairan pesisir dan
tentunya tidak mampu mendapatkan hasil yang banyak. Perubahan nilai CPUE juga setiap
tahun dipengaruhi oleh penambahan atau pengurangan jumlah trip (effort). Nabunome
(2007) menjelaskan bahwa nilai CPUE berbanding terbalik dengan nilai effort, dimana setiap

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 257
penambahan effort akan mengurangi hasil tangkapan per unit usaha (CPUE). Hal ini
disebabkan sumberdaya akan cenderung menurun apabila usaha penangkapan yang
dilakukan terus meningkat.
Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), mencerminkan perbandingan
antara hasil tangkapan dengan unit effort. Hasil tangkapan pada prinsipnya adalah output
dari kegiatan penangkapan, sedangkan effort yang diperlukan pada prinsipnya merupakan
input dari kegiatan penangkapan tersebut. Dalam istilah ekonomi produksi perbandingan
antara ouput dengan input mencerminkan tingkat efisiensi tehnik dari setiap penggunaan
input. Oleh karena itu, besaran CPUE dapat juga digunakan sebagai indikator tingkat
efisiensi tehnik dari pengerahan upaya (effort). Dengan kata lain nilai CPUE yang lebih
tinggi mencerminkan tingkat efisiensi penggunaan effort yang lebih baik (Nabunome, 2007).
Perhitungan CPUE harus dilakukan standarisasi alat tangkap terlebih dahulu karena
berdasarkan data produksi bahwa alat tangkap yang biasa digunakan untuk menangkap ikan
tuna sirip kuning adalah alat tangkap pancing ulur (handline). Untuk penstandaran alat
tangkap perlu diketahui adanya jumlah trip sehingga nantinya akan diketahui pula nilai
CPUE masing-masing alat tangkap dan tingkat Maximum Sustainable yield (MSY).
Berdasarkan produksi dan trip maka dapat dihitung nilai CPUE alat tangkap, dengan rumus
catch (produksi) alat tangkap dibagi dengan effort (trip) alat tangkap.

160.000
143.127
140.000
115.263
120.000
Trip Produksi

100.000 91.951
(Effort)

80.000

60.000
35.248
40.000

20.000 13.641

0
2011 2012 2013 2014 2015

Gambar 7. Perkembangan trip produksi (Effort) ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares)
di perairan Kota Gorontalo

Dalam periode lima tahun terakhir (2011-2015) data trip hasil tangkapan khususnya
pada ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ditangkap di perairan Kota Gorontalo,
dimana trip terendah pada tahun 2012 adalah 13.641 dan trip tertinggi pada tahun 2015

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


258 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
 ISSN: 1978-152

adalah sebesar 143.127. Dengan jumlah keseluruhan adalah 399.230 dan rata-rata per tahun
adalah 79.846.

8.000
7.038
7.000

6.000
Tahun (Cacth)
Produksi Per

5.055 5.143
5.000
4.226 4.173
4.000

3.000

2.000

1.000

-
2011 2012 2013 2014 2015

Gambar 8. Perkembangan produksi per tahun (Catch) ikan tuna sirip kuning (Thunnus
albacares) di perairan Kota Gorontalo

Adapun produksi per tahun (Catch) dalam periode lima tahun terakhir (2011-2015)
untuk ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ditangkap di perairan Kota Gorontalo
mengalami kenaikan dan penurunan jumlah hasil produksi di setiap tahunnya. Hal ini terlihat
pada produksi tahun 2011 sebesar 4.226 ton/tahun dan mengalami penurunan jumlah
produksi pada tahun 2012 menjadi 4.137 ton/tahun. Kenaikan terjadi pada tahun 2013 dari
5.055 ton/tahun hingga tahun 2014 menjadi 7.038 ton/tahun. Hal itu tidak bertahan lama
karena terjadi penurunan yang cukup besar di tahun 2015 menjadi 5.143 ton/tahun sehingga
diperoleh jumlah rata-rata per tahun adalah 5.127 ton/tahun. Dengan demikian diperoleh
produksi terendah sebesar 4.173 ton/tahun pada tahun 2012 dan produksi tertinggi sebesar
7.038 ton/tahun pada tahun 2014.

Hubungan CPUE dan Effort


Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan tuna sirip dengan persamaan
CPUE = 0,3475 – 0,0006x dengan R² = 0,855 artinya penurunan effort sebesar 0,0006
akan menurunkan jumlah tangkapan sebesar 0,3475 ton dengan tingkat kepercayaan sebesar
0,85 %.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 259
0,45

0,4

0,35
CPUE = 0,3475 - 3E-06x
0,3 R² = 0,5657
CPUE

0,25

0,2

0,15

0,1

0,05

0
0 20000 40000 60000 80000 100000
Effort (Trip)

Gambar 9. Grafik hubungan antara CPUE dengan (Effort) pada penangkapan ikan tuna sirip
kuning (Thunnus albacares)

Tingkat Produksi Lestari (MSY)


Penentuan MSY dilakukan dengan menggunakan model surplus produksi dari
Scheafer. Total hasil tangkapan dinyatakan sebagai fungsi kuadratik dari total effort yang
menangkap jenis perikanan tersebut, dimana kurva mulai dari titik origin (0,0). Tujuan
menggunakan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum,
yaitu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa
mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang atau hasil tangkapan maksimum
lestari (MSY).
Penelitian ini menggunakan data produksi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares)
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2011 - 2015). Berdasarkan analisis hasil regresi
diperoleh konstanta (a) sebesar 0,0006x dan (b) sebesar 0,3475. Dengan menggunakan
metode Scheafer maka diperoleh hasil dugaan potensi maksimum lestari sumberdaya
ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) di perairan Kota Gorontalo yaitu hasil
tangkapan lestari (FMSY) sebesar 73.121,486 ton/tahun dengan upaya penangkapan lestari
(MSY) sebesar 9.304.711,15 trip/tahun. Kurva potensi maksimum lestari dapat dilihat pada
Gambar 4.
Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 4, tahun 2015 memiliki jumlah upaya penangkapan
yaitu sebesar 143.127, akan tetapi hasil tangkapan kurang yaitu hanya sebesar 5.143
ton/tahun. Pada tahun 2015 kondisi sumberdaya ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares)
melimpah, akan tetapi pemanfaatan sumberdaya yang kurang optimal sehingga hasil
tangkapan yang didapatkan nelayan sedikit . Adapun peningkatan upaya penangkapan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


260 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
 ISSN: 1978-152

disebabkan oleh jumlah kapal dan alat tangkap yang bertambah, sehingga upaya
penangkapan dan persaingan antar nelayan bertambah tinggi. Menurut Wijayanto (2008),
prinsip MSY adalah apabila level produksi yang dipanen surplus, maka tidak akan
mengganggu kelestarian stok dari sumberdaya ikan yang ada. Hal ini berarti usaha
penangkapan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) akan tetap lestari apabila hasil
tangkapan tidak melebihi CMSY.

POTENSI MAKSIMUM LESTARI


12000000
MSY
10000000
9.767.127
8000000
Produksi

6000000

4000000

2000000
FMSY
0 56.209
0 20000 40000 60000 80000 100000 120000
Usaha

Gambar 10. Hubungan produksi dan trip

Tingkat produksi lestari (MSY) ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ada
di wilayah perairan Kota Gorontalo sebesar 9.767.127 sedangkan upaya penangkapan yang
dilakukan oleh nelayan pada perairan tersebut hanya sebesar 56.209. Hal ini diduga karena
pemanfaatan terhadap sumberdaya kurang optimal sehingga produksi hasil tangkapan
sedikit.

Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares)


Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dapat
diketahui setelah didapatkan MSY. Kemudian dihitung dengan cara mempersentasekan
jumlah hasil tangkapan pada tahun tertentu terhadap JTB (Jumlah Tangkapan yang
dibolehkan). Menurut Dahuri (2010), JTB tersebut adalah 80% dari potensi maksimum
lestari (CMSY). Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam kurun waktu 5
tahun terakhir tingkat pemanfaatan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) belum

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 261
optimum. Hal tersebut dilihat dari persentase pemanfaatan sebesar 61,48% dianggap masih
berada di bawah under eksploited.
Menurut Fauzi (2005), sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang bersifat
dapat diperbaharui (renewable), namun dalam memperbaharui kembali dirinya berjalan
secara lambat sekali. Jika dieksploitasi jauh melebihi dari kemampuan sumberdaya untuk
membentuk diri kembali, mengakibatkan sumberdaya tersebut menjadi tidak dapat
diperbaharui lagi (non renewable). Pengelolaan sumberdaya perikanan yang baik yaitu
dengan memanfaatkan populasi ikan tanpa harus menguras habis sumberdaya perikanan
tersebut. Jika pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan dengan cara melakukan
penangkapan ikan secara terus menerus tanpa memperhitungkan kemampuan sumberdaya
tersebut untuk memperbaharui, akibatnya akan membahayakan bagi persediaan ikan (over
fishing).

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Potensi Maksimum Lestari (MSY) ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) sebesar
9.304.711,15 dimana potensi sumberdaya dinilai tinggi akan tetapi tidak sejalan dengan
upaya penangkapannya (FMSY) yang hanya sebesar 73.121,48.
2. Tingkat pemanfaatan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) belum optimum dilihat
dari persentase pemanfaatan hanya sebesar 61,48%.

Daftar Pustaka
Dahuri, R. 2010. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu.
PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Fadhli, M. 2015. Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan Indonesia. Balai Besar


Pengambangan Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Fauzi, A. dan Suzy Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan (untuk
Analisis Kebijakan). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 343 hlm.

Gufran, M. dan N.K. Kordi. 2011. 32 Ikan Laut Ekonomis. Lily Publisher. Yogyakarta.

Nabunome, W. 2007. Model Analisis Bioekonomi dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan


Demersal (Studi Empiris di Kota Tegal, Jawa Tengah). Tesis. Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro. Semarang.

Wijayanto, D. 2008. Buku Ajar Bioekonomi Perikanan, FIKP, UNDIP. Semarang. 165 hlm.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


262 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
 ISSN: 1978-152

TINGKAT KESUKAAN LEBAH MADU HUTAN (Apis dorsata) TERHADAP


PAKAN DI KAWASAN HUTAN LINDUNG DESA UELINCU KECAMATAN
PAMONA UTARA KABUPATEN POSO

LISTIANINGSI D. WANUNDO
Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso
Email: ningsiwanundo@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis pakan yang disukai oleh lebah madu
hutan Apis dorsata di kawasan hutan lindung Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara
Kabupaten Poso. Jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan pengamatan dan observasi langsung terhadap pakan yang dikunjungi lebah
madu hutan Apis dorsata di kawasan hutan lindung serta wawancara langsung dengan petani
yang berpengalaman mengenai lebah madu hutan, sedangkan data sekunder diperoleh
melalui literature dan informasi dari stakeholder yang berkaitan dengan penelitian ini.
Populasi penelitian terdiri dari petani pemanen madu yang bermukim di sekitar kawasan
Hutan Lindung. Pengambilan sampel penelitian terdiri dari pucuk daun serta bunga atau
buah dari tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan lebah madu kemudian mengidentifikasi
jenis-jenis tanaman/tumbuhan dengan menggunakan buku literatur tumbuhan. Hasil
penelitian menunjukan bahwa lebah menyukai nektar yang merupakan pakan bagi lebah
pekerja sehingga ketersediaan nektar sepanjang tahun menjamin kekuatan koloni lebah
madu hutan, yang terdiri dari 25 tanaman/tumbuhan pertanian, perkebunan dan kehutanan
yang berperan sebagai tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan lebah madu di kawasan hutan
lindung Desa Uelincu.
Kata Kunci: Pakan Lebah, Lebah Madu Hutan, Petani Pemanen Madu

Pendahuluan
Hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam pemanfaatannya memiliki keunggulan
dibanding hasil kayu. Salah satu keunggulan HHBK yaitu tidak menimbulkan kerusakan
yang besar terhadap hutan dibandingkan dengan pemanfaatan kayu, sehingga HHBK
memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya. Salah satu kegiatan pemanfaatan
dan pengusahaan HHBK yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi adalah hasil dari lebah
madu.
Keuntungan yang diperoleh, selain mendapat madu, kelestarian dari tanaman-tanaman
di hutan tersebut dapat dijaga. Terjadinya penyerbukan oleh lebah akan membantu
regenerasi dan perbanyakan dari pohon-pohon yang ada. Selain itu, kegiatan masyarakat
untuk menebang hutan secara liar setidaknya dapat dikurangi, jika masyarakat dapat
membudidayakan lebah madu di dalam atau sekitar hutan, itu dikarenakan untuk

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 263
mendapatkan madu, mau atau tidak mau masyarakat harus menjaga pohon-pohon sumber
pakan lebah yang ada di kawasan hutan tersebut. .
Lebah madu merupakan salah satu sumberdaya alam yang potensial untuk
dikembangkan, hal ini disebabkan karena sumber pakan lebah yang melimpah (hampir
semua tanaman/tumbuhan yang menghasilkan bunga dapat dijadikan sebagai sumber pakan)
baik yang berasal dari tanaman hutan, tanaman pertanian maupun tanaman perkebunan.
Produk yang dihasilkan oleh lebah madu dapat dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi
yang tinggi, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk maka tingkat pemanfaatan
produk yang dihasilkan oleh lebah madu semakin meningkat baik untuk kepentingan
konsumsi atau obat-obatan.
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan lebah madu adalah tersedianya
pakan lebah. Sumber pakan lebah madu adalah tanaman yang meliputi tanaman buah,
tanaman sayuran, tanaman hias, tanaman pangan, tanaman hutan, dan tanaman perkebunan.
Bunga dari tanaman-tanaman tersebut mengandung nektar dan pollen, sehingga nektar dan
pollen tersebut sangat berpengaruh dalam produksi madu yang akan dihasilkan oleh lebah
madu. Nektar bagi lebah merupakan sumber karbohidrat yang diolah menjadi energi, sumber
air dan mineral. Pollen merupakan sumber protein yang berguna bagi kesehatan tubuh lebah
dari pertumbuhan anakan, serta merupakan sumber vitamin dan mineral.
Potensi tanaman pakan lebah madu di Indonesia diyakini cukup besar, tetapi belum
banyak informasi tentang tanaman-tanaman tersebut. Rusfidra (2006) menyatakan sekitar
25.000 tanaman berbunga tumbuh dan berkembang baik di Indonesia, dan keragaman jenis
tanaman yang sangat besar itu memungkinkan tersedianya nektar sepanjang tahun. Oleh
karena itu, informasi tentang tanaman-tanaman tersebut baik dari semak, rumput, tanaman
pertanian, tanaman perkebunan, maupun pohon sangat diperlukan serta perlu juga menjaga
kelestarian hutan agar tetap tersedia pakan lebah madu hutan.
Pakan lebah madu merupakan salah satu faktor utama yang harus dipenuhi dalam
kelangsungan hidup lebah madu. Perlindungan akan kelestarian hutan dimana hutan
menghasilkan vegetasi yang menjadi pakan lebah madu harus ditingkatkan. Oleh karena itu
perlu melakukan pengidentifikasian jenis-jenis tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan
lebah madu.
Bertitik tolak dari latar belakang yang diuraikan tersebut, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis tanaman/tumbuhan berbunga yang
menjadi pakan lebah madu hutan (Apis dorsata), dan waktu tersedianya pakan lebah pada
tanaman/tumbuhan di kawasan hutan lindung Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


264 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
 ISSN: 1978-152

Kabupaten Poso. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi
mengenai jenis-jenis pakan lebah madu hutan.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara Kabupaten
Poso pada bulan Maret sampai Mei 2017. Pengumpulan jenis data yang digunakan yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan pengamatan dan observasi langsung
terhadap pakan yang dikunjungi lebah madu hutan Apis dorsata di kawasan hutan lindung
serta wawancara langsung dengan petani yang berpengalaman mengenai lebah madu hutan,
sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur dan informasi dari stakeholder yang
berkaitan dengan penelitian ini. Populasi penelitian terdiri dari petani pemanen madu yang
bermukim di sekitar kawasan hutan lindung. Pengambilan sampel penelitian terdiri dari
pucuk daun serta bunga atau buah dari tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan lebah madu
kemudian mengidentifikasi jenis-jenis tanaman/tumbuhan dengan menggunakan buku
literatur tumbuhan.

Hasil dan Pembahasan


Tanaman Sumber Pakan Lebah Madu di Kawasan Hutan Lindung
Pada umumnya petani pemanen madu memahami jenis tumbuhan/tanaman sumber
pakan bagi lebah hutan, berupa bunga yang tersedia pada tumbuhan/tanaman yang ada di
dalam hutan. Ketersediaan pakan lebah secara berkesinambungan merupakan salah satu
syarat pendukung perkembangan koloni lebah dan produksi madu. Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan ditemukan sebanyak 25 jenis tumbuhan/tanaman yang menjadi
pakan lebah madu hutan. Dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang dapat dilihat pada Tabel 1,
terdapat beberapa jenis tanaman yang termasuk dalam pakan lebah madu hutan. Masyarakat
Desa Uelincu sendiri menanam tanaman/tumbuhan pakan di lahan perkebunan mereka. Pada
saat berbunga tanaman/tumbuhan, merupakan saat tersedianya nektar dan pollen yang
diperlukan oleh lebah madu sebagai pakan. Tanpa sumber pakan yang cukup, lebah tidak
akan dapat bertahan hidup di tempat tersebut dan akhirnya akan berpindah mencari tempat
lain yang cukup sumber pakannya (Hadisoesilo, 2003).
Musim berbunga tanaman di hutan berbeda-beda berdasarkan jenis, ruang dan waktu.
Kebanyakan tumbuhan yang berbunga di awal musim kemarau hingga awal musim hujan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 265
Banyaknya bunga yang tersedia pada suatu waktu, sangat ditentukan oleh jenis tanaman
yang mendominasi/menguasai wilayah tersebut.
Tabel 1. Jenis Tumbuhan/Tanaman Pakan Lebah Madu Hutan di Kawasan Hutan Lindung
Desa Uelincu.
No. Nama Lokal Nama Ilmiah
1 Asam Jawa** Tamarindus indica
2 Antoli* Disoxyllum sp
3 Aren* Arenga piñata
4 Durian** Durio zhiberthinus
5 Gopu* Elaeocarpus sp
6 Ipoli* Lithocarpus havilandii
7 Jagung** Zea mays
8 Jeruk** Citrus sp
9 Jongi** Phoebe grandis
10 Kapok Randu** Ceiba patandra
11 Kaju Kasa* Castanopsis accuminatissima
12 Kaju Mpada* Decaspermum sp
13 Kaju Ota* Vernonia arborea
14 Kaju Waka* Crytocarya crassinerviopsis
15 Kedele** Glychine max Merr
16 Kongkoli* Bauhinia sp
17 Kopi** Coffea Arabica
18 Labu Air** Legenaria leucantha
19 Malapare* Carallia brachiate
20 Mangga** Mangifera indica
21 Pisang** Musa sp
22 Putri Malu** Mimosa pudica
23 Rambutan** Nephelium lappaceum
24 Rumput-rumputan** Cyperus sp
25 Sarao** Areca sp

Pengetahuan lokal petani pemanen madu terhadap tumbuhan pakan, diketahui dari
hasil pengalaman petani dalam mencari madu di hutan. Petani menjaga tumbuhan/tanaman
agar tidak mendapatkan gangguan dari para pembalak liar. Identifikasi bagian-bagian bunga
yang dikonsumsi lebah madu hutan berdasarkan dengan jenis pakannya, dan ini dapat dilihat
pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa lebah menyukai nektar
yang merupakan pakan bagi lebah pekerja sehingga ketersediaan nektar sepanjang tahun
menjamin kekuatan koloni (Sihombing, 2005). Sebagian tanaman yang mempunyai nektar
dan tepung sari namun sebagian besar tanaman hutan alami yang bunganya menjadi pakan
lebah madu hanya menghasilkan nektar saja seperti Antoli (Disoxillum sp), Gopu

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


266 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
 ISSN: 1978-152

(Elaeocarpus sp), Ipoli (Lithocarpus havilandii), Jongi (Phoebe grandis), Kongkoli


(Bauhinia sp), dan Malapare (Carallia brachiate). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 yang
hasilnya diperoleh berdasarkan informasi dari masyarakat setempat yang sudah
berpengalaman dan memiliki pengetahuan mengenai lebah madu hutan.
Tabel 2. Jenis-Jenis Tumbuhan Kehutanan yang Berbunga sebagai Pakan Lebah yang
diketahui oleh Petani Pemanen Madu.
No. Nama Lokal Jenis Pakan Waktu Berbunga (Bln)
1 Antoli Nektar Des-Jan
2 Gopu Nektar Feb-Mar
3 Ipoli Nektar Okt-Des
4 Jongi Nektar November
5 Kaju Kasa Nektar+pollen September
6 Kaju Mpada Nektar+pollen Jan-Feb
7 Kaju Ota Nektar+pollen Feb-Mar
8 Kaju Waka Nektar+pollen Nov-Des
9 Kongkoli Nektar Maret
10 Malapare Nektar Agt-Sep

Gambar 1. Jenis Pakan Lebah Madu A. dorsata (rambutan)

Kondisi jalan menuju lokasi pohon tempat lebah A. dorsata bersarang dengan berjalan
kaki melalui jalan-jalan setapak dengan topografi bergelombang dan perbukitan terjal
memperlihatkan bahwa pada lokasi ini tersedia tanaman pakan lebah yang dapat mendukung
peningkatan produksi madu di Desa Uelincu.
Sumberdaya pengaman hutan sebaiknya dimanfaatkan pemerintah setempat untuk
bekerja sama dengan polisi hutan dalam mengamankan hutan dari adanya upaya-upaya
pengrusakan. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan daerah yang mengatur

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 267
perlindungan terhadap tanaman/tumbuhan pakan di sekitar pohon sarang lebah. Polisi hutan
bertugas untuk menjaga hutan di saat bukan musim madu dan petani pemanen madu menjaga
hutan di saat menjelang musim madu.

Jenis Pohon Sarang Lebah Apis dorsata


Pengetahuan para petani pemanen madu Lebah A. dorsata dalam membangun
sarangnya yaitu pada ranting atau cabang pohon yang memiliki posisi relatif horizontal
dalam bentuk lembaran setengah lingkaran. Lebah senang membangun sarangnya pada
permukaan batang yang tidak kasar. Pada setiap satu pohon sarang, dapat ditemukan satu
dan bahkan lebih dari satu sarang yang menggelantung. Hal ini merupakan ciri dari jenis
lebah A. dorsata khas Sulawesi.
Jenis pohon yang pernah ditemukan oleh petani madu di Desa Uelincu terdapat 9 jenis,
tampak jenis pohon rambutan dan pohon kacang yang merupakan jenis pohon yang paling
disenangi sebagai tempat bersarang di kawasan hutan lindung. Berbagai cabang dari jenis
pohon yang digunakan oleh lebah madu A. dorsata untuk barsarang cenderung tinggi. Jenis
pohon di kawasan hutan lindung didominasi oleh pohon pinus.

Gambar 2. Pohon Sarang Lebah Madu A. dorsata

Dari penuturan responden menunjukkan bahwa lebah A. dorsata tidak pernah


ditemukan bersarang pada pohon pinus. Menurut keterangan responden, yang digunakan
lebah untuk bersarang umumnya pohon berukuran tinggi antara 15 – 40 m dan tajuk pohon
yang lebar.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


268 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
 ISSN: 1978-152

Tabel 3. Jenis tumbuhan/ tanaman yang diketahui petani pemanen madu di Desa Uelincu
sebagai jenis pohon sarang lebah

Pohon sarang lebah merupakan obyek yang dicari ketika mencari madu di hutan oleh
petani pemanen madu. Selain menandai adanya kerumunan lebah berwarna hitam yang
mengelantung di atas pohon, juga menandai jenis pohon tempat lebah madu bersarang. Hal
ini yang menjadikan para petani pemanen madu lebah mengenal dengan baik jenis-jenis
pohon tempat lebah membangun sarang.
Adapun 9 jenis pohon yang digunakan sebagai tempat bersarang lebah madu, yaitu
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Pohon memiliki posisi cabang yang relatif lebih tinggi dari rata-rata pohon lain yang ada
di sekitarnya. Posisi sarang yang relatif berada di atas tajuk rata-rata memberi
kemudahan bagi lebah untuk kembali pulang kesarang setelah menjelajahi lokasi sumber
pakan. Selain itu juga memberikan pandangan yang lebih luas bagi lebah pekerja untuk
melihat lokasi pakan. Keistimewaan pohon yang tinggi adalah untuk mendapatkan
cahaya matahari yang lebih banyak daripada pohon yang lain yang ada di bawahnya.
2) Pohon memiliki cabang yang relatif datar dengan sudut kemiringan sampai membentuk
sudut ± 30°.
3) Pohon memiliki kulit batang yang tidak mudah terkupas. Hal ini merupakan suatu upaya
agar sarang menggantung dengan kuat atau untuk menghindari jatuhnya sarang akibat
terkelupasnya kulit pohon.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 269
4) Bagian-bagian pohon yang memiliki ciri-ciri demikian, merupakan salah atu pohon yang
menjadi sumber pakan lebah.
Pohon yang disenangi lebah untuk membuat sarang adalah pohon rambutan
(Nephelium lappaceum) dari family Sapindaceae. Pohon rambutan ditemukan petani
pemanen madu di lokasi penelitian sebagai tempat bersarangnya lebah madu. Selain
digunakan lebah sebagai tempat bersarang, pohon rambutan juga memberikan sumber nektar
yang baik bagi lebah.
Pohon tempat bersarangnya lebah madu yang dimiliki penduduk biasanya terdapat di
kebun/ladang ada juga di dalam hutan. Jarak menuju sarang lebah bervariasi, jarak terdekat
5 km sedangkan jarak terjauh sampai 20 km. Penduduk berjalan kaki menuju pohon-pohon
tersebut. Banyaknya sarang dalam 1 pohon bervariasi tergantung musim berbunga atau
musim berbuah. Bulan-bulan musim berbunga yaitu pada bulan Januari, Februari, Maret,
Agustus, September, Oktober, November, dan Desember. Pada waktu musim bunga jumlah
sarang biasanya mencapai 1 sampai 5 sarang sebaliknya bila tidak musim berbunga hanya
terdapat 1 sampai 2 sarang perpohonnya. Madu yang dihasilkan dalam setiap sarang
tergantung besar kecilnya sarang dan pohon, sarang terkecil sekitar 15 kg madu, sedangkan
sarang terbesar 20 – 45 kg madu.
Dalam hal memperoleh jumlah sarang, peneliti sependapat dengan beberapa petani
pemanen madu yang menyatakan bahwa berkurangnya perolehan sarang disebabkan oleh
ketersediaan bunga tanaman/tumbuhan sebagai sumber pakan lebah madu yang bergantung
pada bulan-bulan tertentu, karena peneliti berpendapat bahwa berkurangnya sarang lebah
yang didapatkan oleh petani pemanen madu bukan semata-mata disebabkan oleh
meningkatnya petani pencari madu dari daerah lain melainkan karena berkurangnya jumlah
pembungaan untuk pakan lebah. Bunga merupakan sumber untuk mendapatkan nektar dan
pollen sebagai pakan lebah madu, dan juga dipengaruhi oleh musim yaitu musim hujan dan
musim kemarau yang selalu terjadi setiap tahunnya. Keragaman suatu jenis pohon
memungkinkan musim berbunganya tidak serempak sehingga lebah bisa memperoleh
makanan hampir sepanjang tahun dari adanya keragaman jenis pohon yang tinggi. Ada
kalanya jenis tanaman/tumbuhan itu berbunga pada musim kemarau namun jenis tanaman
lainnya justru berbunga pada musim hujan (Direktorat Penghijauan dan Perhutanan Sosial,
1996).
Secara kuantitas penurunan sumber pakan lebah akan mengakibatkan hasil produksi
madu yang tidak optimal. Pakan lebah merupakan faktor utama yang mempengaruhi
kehidupan lebah madu. Sebagaimana yang diungkapkan Akranakul (1985), pakan lebah

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


270 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”
 ISSN: 1978-152

yang berupa nektar dan pollen sangat berperan dalam menentukan kekuatan koloni lebah,
dimana koloni yang kuat akan menghasilkan madu yang banyak.

Kalender Pembungaan
Kalender ketersediaan pakan dalam 12 bulan secara umum dinyatakan dalam masa
berbunga. Dalam terminologi pembungaan dikenal dengan kalender pembungaan. Untuk
sumber makanan pada bunga, kalender ketersediaan pakan sama dengan kalender
pembungaan. Sedangkan untuk makanan berupa ekstra floral, ketersediaannya tidak selalu
sama dengan kalender pembungaan. Hal ini disebabkan karena nektar ekstrafloral diambil
dari pucuk daun, sehingga tidak berhubungan dengan masa berbunga suatu tanaman.
Peran penting kalender ketersediaan pakan ini adalah pada saat pemanenan madu.
Ketika tanaman banyak menyediakan pakan, maka lebah madu dapat memanen nektar atau
pollen untuk disimpan di dalam sarang. Ketersediaan pakan di dalam sarang ini akan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan disimpan sebagai cadangan
makanan. Cadangan makanan ini digunakan lebah ketika kekurangan sumber makanan di
lapangan (masa paceklik).
Petani lebah madu dapat memanen madu atau pollen ketika sumber makanan banyak
di lapangan. Pada waktu itu, sumber makanan yang disimpan lebah di sarang berlimpah.
Tetapi pada saat sumber makanan di lapangan sedikit, maka sumber makanan yang ada di
sarang digunakan untuk persediaan makan lebah sehari-hari. Saat itu lebah membutuhkan
makanan tambahan untuk mempertahankan koloni. Dalam mempertahankan koloni pada
saat sumber pakan di lapangan kurang, seorang peternak dapat memindahkan koloni lebah
ke tempat lain yang banyak sumber pakannya. Masa berbunga tanaman sangat penting
digunakan untuk mengetahui ketersediaan pakan lebah di lapangan. Adanya variasi masa
berbunga menunjukkan bahwa harus ada perhatian tentang jenis-jenis tanaman yang
berbunga pada waktu tertentu. Pengetahuan tentang masa berbunga ini digunakan untuk
memindahkan koloni lebah madu ke tempat yang banyak tersedia pakan, pada saat di lokasi
budidaya lebah tidak tersedia pakan.
Selain bidang ekonomi, lebah madu juga memberikan keuntungan ekologis khususnya
bagi kelestarian flora. Hal ini berkaitan dengan peran lebah madu dalam penyerbukan
tanaman. Tanaman berbunga membutuhkan serangga seperti lebah untuk penyerbukan.
Lebah mengumpulkan makanan berupa nektar dan polen dari tanaman. Proses-proses
tersebut menimbulkan interaksi antara tanaman dan lebah yang saling menguntungkan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional | 271
Adanya interaksi tersebut lebah dapat memperoleh makanan dan tanaman dapat terjaga
kelestariannya dengan adanya penyerbukan oleh lebah.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Di kawasan hutan lindung terdapat 25 jenis tanaman/tumbuhan sumber pakan lebah,
yang diantaranya terdapat 15 jenis tanaman/tumbuhan pertanian dan perkebunan serta
10 jenis tanaman/tumbuhan kehutanan yang termasuk dalam pakan lebah madu hutan.
2. Pakan lebah madu di kawasan hutan lindung relatif tersedia sepanjang tahun, walaupun
secara kuantitas bervariasi dari bulan ke bulan.

Daftar Pustaka
Akranatul, P. 1985. Beekeeping for pural Develonment di Terjemahkan oleh Brata Miharja,
M. Kasno, Et al, Perum Perhutani Departemen Kehutanan.

Direktorat Penghijauan dan Perhutanan Sosial. 1996. Petunjuk Teknis Pemungutan Madu
Lebah Hutan (Apis dorsata F). Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitas Lahan,
Departemen Kehutanan. Jakarta.

Hadisoesilo, S., Purnomo, S. 2003. Teknologi Peningkatan Produktivitas dan Kualitas


Produk Lebah Madu. Perawang. Litbang Peningkatan Budidaya Hasil Hutan Bukan
Kayu Mendukung UKM.

Rusfidra A. 2006. Tanaman Pakan Lebah Madu.


http://www.bunghatta.info/content.php.article.141.2. [16 Juli 2006].

Sihombing, D. T. H. 2005. Ilmu Ternak Lebah Madu. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018


272 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Anda mungkin juga menyukai