(LARINGOSKOPI INDIRECT)
Oleh:
Amalia Rasydini Salam (1618012126)
Nidya Tiaz Putri Azhari (1618012058)
Preceptor:
dr. Nanang Suhana, M.Kes, Sp. THT-KL
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis pada pasien dilakukan secara autoanamnesis.
Keluhan Utama:
Nyeri saat menelan sejak 1 minggu yang lalu.
Keluhan Tambahan:
Suara serak, terasa lendir ditenggorok yang sulit keluar, batuk, rasa panas di
ulu hati.
3
Symptom Skor
Serak atau masalah dengan suara 2
Usaha membersihkan tenggorok 2
Lendir di tenggorok 3
Kesulitan menelan makanan/cairan 3
Batuk setelah makan 1
Sensasi sesuatu melekat pada tenggorok / gumpalan 2
pada tenggorok
Kesulitan bernafas / episode tercekik 0
Batuk yang parah dan mengganggu 1
Rasa panas di perut, nyeri dada, rasa begah atau 3
asam lambung meningkat
TOTAL SKOR 17
Status Generalis
Kepala : normocephal, tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik
Leher : pembesaran KGB leher (-), nyeri tekan (-)
Thoraks : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan
4
Ekstremitas : Tidak tampak edema tungkai, perfusi jaringan baik
Hidung
5
Terletak di linea Dorsum nasi Terletak di linea
mediana nasi mediana nasi
Nyeri tekan (-), Nyeri tekan, Nyeri tekan (-),
krepitasi (-) krepitasi krepitasi (-)
Selulitis (-), edema (-) Ala nasi Selulitis (-), edema (-)
Tidak ditemukan Nyeri tekan frontal Tidak ditemukan
Tidak ditemukan Nyeri tekan maksila Tidak ditemukan
Normal, tidak sempit, Nares anterior Normal, tidak sempit,
simetris simetris
Tidak ditemukan Tumor, fistel Tidak ditemukan
Rhinoskopi Anterior
Kanan Kiri
Lapang Cavum Nasi Lapang
Tidak ditemukan Sekret Tidak ditemukan
Tidak berbau Bau Tidak berbau
Normotrofi, warna Konka Inferior Normotrofi, warna
sesuai warna kulit sesuai warna kulit
Sulit dinilai Konka Media Sulit dinilai
Deviasi (-) Septum Nasi Deviasi (-)
Tidak ditemukan Krista, abses, massa Tidak ditemukan
Faring
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Tidak edema, tidak bergranular
Mukosa Hiperemis (+)
Uvula Ditengah
Arkus Faring Simetris, tidak hiperemis
Sekret Tidak ada
6
Tonsil
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T1 – T1
Kripta Tidak melebar
Detritus Tidak ada
Perlekatan Tidak ada
Sikatrik Tidak ada
Diagnosis Kerja :
Susp. Laryngopharingeal Reflux
7
- Laringoskopi direct (fiberoptic)
- Uji pH esofagus 24 jam
2.5 TERAPI
Non Medikamentosa
- Meminimalkan bersuara/berbicara
- Tidak boleh menunda makan dan waktu makan harus teratur
- Jika mual makan sedikit-sedikit tetapi sering
- Makanan berlemak, pedas, asem, kafein dan soda dikurangi
- Setelah makan tidak boleh langsung berbaring. Harus duduk dahulu
selama 30 menit. Usahakan tidur setelah 3 jam makan terakhir.
- Meninggikan kepala ketika berbaring/tidur
- Minum obat teratur dan kontrol kembali gejala ke dokter
Medikamentosa
- Omeprazole 2 x 20 mg a.c
- Ranitidin 2 x 150 mg a.c
- Ambroxol 2 x 30 mg p.c
2.6 PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
8
sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membantu
menggerakan lidah.3
9
Gambar 2. Anatomi Pita Suara4
Plika vokalis adalah dua lembar membran mukosa tipis yang terletak di atas
ligamentum vokalis, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam
kartilago tiroidea di bagian depan dan kartilago aritenoidea di bagian
belakang. Plika vokalis palsu adalah dua lipatan membran mukosa tepat di
atas plika vokalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalam produksi suara. 5
Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah
ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum
krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum
kornikulofaringeal, ligamentum hiotoroid lateral, ligamentum hiotiroid
media, ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis , ligamentum
vokal yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan
ligamentum tiroepiglotica. 5
10
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot
instrinsik, otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara
keseluruhan, sedangkan otot-otot instrinsik menyebabkan gerakan bagian-
bagian laring sendiri. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak diatas
tulang hyoid (suprahioid), dan ada yang terletak dibawah tulang hioid
(infrahioid). Otot ekstrinsik yang supra hioid ialah M. Digastricus, M.
Geniohioid, M. Stylohioid, dan M. Milohioid. Otot yang infrahioid ialah M.
Sternohioid dan M. Tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid
berfungsi menarik laring kebawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring
keatas. Otot-otot intrinsik laring adalah M. Krikoaritenoid lateral. M.
Tiroepiglotica, M. Vokalis, M. Tiroaritenoid, M. Ariepiglotica, dan M.
Krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik
laring yang terletak di bagian posterior adalah M. Aritenoid Transversum, M.
Ariteniod Oblik dan M. Krioaritenoid Posterior. Laring dipersarafi oleh
cabang-cabang Nervus Vagus, yaitu N. Laringeus Superior dan N. Laringeus
Inferior (rekuren). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. Nervus Laryngeus Superior mempersarafi M. Krikotiroid, sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Nervus
Laringeus Inferior merupakan lanjutan dari N. Rekuren setelah saraf itu
memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus Rekuren
merupakan lanjutan dari N. Vagus. 5
11
3.2 Fisiologi Laring
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, serta
fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan
rima glotis secara bersamaan. Terjadinya penutuan aditus laring ialah karena
pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid.
selanjutnya berfungsi sebagai sfingter. Penutupan rima glotis terjadi karena
aduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri dan kanan mendekat karena
aduksi otot-otot intrinsik. Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang
telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan
bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru dapat dikeluarkan. 6
Fungsi respirasi dari laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima
glotis. Bila m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan
prosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis
terbuka (abduksi). Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam
traktus trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah dari
alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga
mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga
sebagai alat pengatur sirkulasi darah. Fungsi laring dalam membantu proses
menelan adalah dengan 3 mekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke
atas, menutup aditus laringis dan mendorong bolus makanan turun ke
hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring.6
Fungsi laring yang lain adalah untuk fonasi dengan membuat suara serta
menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh
ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid
akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago
aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan menahan
atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan
yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid akan
mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan
mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan menentukan
tinggi rendahnya nada.6
12
3.3 Laryngopharyngeal reflux (LPR)
Laringofaring atau hipofaring merupakan bagian paling kaudal dari faring dan
tempat di mana tenggorokan berhubungan dengan esofagus. Laringofaring
terletak inferior dari epiglottis dan melebar hingga lokasi di mana jalur ini
bercabang menjadi jalur pernapasan (laring) dan pencernaan (esofagus). Pada
titik ini, laringofaring berhubungan langsung atau menyatu dengan esophagus
secara posterior. Esofagus mengalirkan makanan dan cairan menuju lambung;
sedangkan udara masuk ke laring pada bagian anterior. Ketika menelan,
13
makanan akan masuk ke jalurnya sedangkan aliran udara akan sementara
terhenti.
14
c. Gaya hidup seperti makan berlebih (makanan pedas, lemak, coklat, mint,
produk susu, soda, kafein dan lainnya), merokok, alkohol, obat-obatan
(teofilin, nitrat, dopamine, narkotik, dan lainnya), individu yang
menggunakan suara mereka secara sering dan keras, seperti guru dan
penyanyi
d. Peningkatan tekanan intraabdominal karena kehamilan, obesitas, makan
yang berlebihan, minuman karbonasi.
e. Hipersekresi asam lambung atau pepsin karena stress, obat-obatan,
alkohol, diet atau pengosongan lambung yang tertunda/lambat karena
obstruksi, diet (lemak), tembakau, dan alkohol.
3.3.3 Patofisiologi
Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, terdapat 2 hipotesa tentang
bagaimana asam lambung mempercepat respons patologis ekstraesofagus.
Yang pertama, asam-pepsin menyebabkan kerusakan secara langsung ke
laring dan jaringan di sekitarnya. Hipotesis kedua menunjukkan bahwa
asam di esofagus distal menstimulasi refleks vagal-mediated yang
menyebabkan bronkokonstriksi dan throat clearing dan batuk kronik, yang
akhirnya menyebabkan lesi mukosa. Dua mekanisme ini dapat bertindak
sebagai kombinasi untuk menghasilkan perubahan patologis yang terlihat
pada LPR. Pada saluran pencernaan bagian atas, terdapat 4 barier fisiologis
untuk melindungi saluran dari cedera refluks yaitu:
1. Sfingter esofagus bagian bawah
2. Fungsi motor esofagus dengan pembersihan asam
3. Resistensi jaringan mukosa esophagus
4. Sfingter esofagus bagian atas
15
nyeri tenggorokan.7 Dalam LPR, refluks asam lambung diduga
menyebabkan formasi granuloma laring. Pasien LPR mempunyai waktu
refluks asam lebih lama di esofagus atas. pH esofagus diatas 5 adalah cut-
off yang sesuai untuk diagnosis LPR. 1 pH faring adalah netral (pH 7),
sedangkan asam lambung kisaran dalam pH 1,5-2. Kerusakan pada faring
adalah hasil penurunan pH dan paparan komponen refluks seperti pepsin,
garam empedu, dan enzim pankreas. Pada esofagus, 50 episode refluks per
hari dianggap normal, sedangkan di laring tiga episode sudah dapat
menyebabkan kerusakan.8
3.3.4 Diagnosis
16
A. Anamnesis
a. Gejala yang paling umum dari LPR adalah suara serak, sakit
tenggorokan, throat-clearing, batuk kronis, sensasi globus (sensasi
benjolan di tenggorokan), disfagia, dan postnasal drip. Suara serak
umumnya gejala berfluktuasi yang terjadi di pagi hari dan membaik
siang hari. Selain itu dapat juga adanya halitosis, laringospasme,
bronkospasme, dan wheezing.1
GERD LPR
Heartburn + -
Esofagitis + Jarang
-
Selalu laringitis
Laringitis (kecuali sangat
posterior
parah)
Perubahan Suara - +
Abnormalitas
LES UES
Spincter
Nokturnal/saat
Refluks Siang hari/saat berdiri
berbaring
17
b. Belafsky dkk mengembangkan sembilan item kuesioner (Reflux
Symptom Index [RSI]) untuk penilaian gejala pada pasien dengan
penyakit refluks yang dapat selesai dalam waktu kurang dari 1 menit.
Skala untuk setiap individu rentang item dari 0 (tidak ada masalah)
hingga 5 (masalah serius), dengan skor maksimum 45. Skor RSI > 13
dianggap abnormal.9
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen leher AP: bisa tampak pembengkakan jaringan
subglotis (Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
2. Pemeriksaan laboratorium: gambaran darah dapat normal. Jika
disertai infeksi sekunder, leukosit dapat meningkat.
3. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa laring
18
yang sangat sembab, hiperemis dan tanpa membran serta tampak
pembengkakan. (17,18)
a. Indirect Laryngoscopy
Laringoskopi indirek berarti melihat laring secara tidak langsung yang dapat
dilakukan menggunakan kaca laring (laryngeal mirror) atau flexible
fiberoptic endoscope. Laringoskopi indirek yang dilakukan menggunakan
kaca laring disinari dengan cahaya. Keadaan laring pada cermin terlihat dari
bayangan yang dipantulkan cermin. Laringoskopi dapat mengidentifikasi
kelainan-kelainan laring dan faring baik akut maupun kronis, benigna atau
maligna.(12)
19
Kontraindikasi laringoskopi indirek, yaitu:
Epiglotitis
20
Gambar 5. Anatomi Laring
Penilaian organ:
Radiks lingue, epiglotis dan sekitarnya
- Kelihatan gambar dari radiks linguae, epiglotis yang menutup introitus
laringis, plika glossoepiglotika, valekula kiri dan kanan
- Perhatikan anatomi dan kelainannya seperti edema epiglotis, ulkus, tumor,
korpus alienum
- Fascies posterior tonsil pada kesempatan ini dapat diperiksa pada awal
tahap 1 atau akhir tahap 3
- Perhatikan warna, aftae, ulkus
- Penderita disuruh mengucapkan huruf „iiiii‟ yang panjang dan tinggi
sehingga laring serta epiglottis tertarik ke atas dan membuka sehingga
cahaya dapat masuk laring dan trakea. Korda vokalis bergerak ke garis
median.
21
- Plika ventrikularis kiri dan kanan
- Komisura anterior dan posterior
- Korda vokalis kiri dan kanan
- Dilihat apakah adanya radang, ulkus, edema, cairan, tumor. Perhatikan
gerakan korda vokalis kiri kananapakahnormal, simetris, tidak bergerak
(parese) unilateral atau bilateral.
Trakea
- Korda vokalis hanya dapat dilihat dalam stadium fonasi
- Dalam stadium respirasi lumen laring tertutup oleh epiglotis sehingga
mukosa trakea hanya dapat dilihat waktu belum ada aduksi yang komplit,
atau di waktu permulaan abduksi
- Perhatikan anatomi, patologi mukosa, warna mukosa, sekret regio
subglotik, edema, tumor
b. Direct Laryngoscopy
22
gambaran yang dihasilkan merupakan gambaran yang asli dan sesuai dengan
posisi tubuh pasien.
23
- Jika laringoskopi indirek tidak dapat dilakukan, seperti pada bayi
dan anak kecil.
- Jika laringoskopi indirek tidak berhasil, misalnya akibat refleks
muntah berlebih atau overhanging epiglottis
- Untuk memeriksa area tersembunyi dari hipofaring, yaitu dasar
lidah, valekula, dan fossa piriformis bagian bawah.
- Untuk melihat perluasan massa atau untuk mengambil sampel biopsi.
Terapeutik
- Mengangkat lesi jinak pada laring (papiloma, fibroma, nodul, polip,
kista).
- Mengambil benda asing pada laring dan hipofaring.
- Dilatasi striktur laring.
Kontraindikasi
Gangguan pada vertebra servikalis
Dispnea sedang sampai berat, kecuali jika jalan napas dilindungi
dengan trakeostomi
24
Pasien dengan trauma leher mungkin memerlukan tindakan laringoskopi
langsung dan juga trakeoskopi serta esofagoskopi untuk menetapkan luas
dan beratnya trauma. Laringoskopi dan trakeoskopi juga dilakukan jika
terdapat trauma tumpul pada leher yang disertai hemoptosis atau adanya
emfisema subkutis, meskipun gambaran laring pada laringoskopi tak
langsung tidak dapat sepenuhnya menunjukkan kelainan yang berarti,
untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur trakea atau terpisahnya trakea.
Pasien dengan paralisis pita suara yang penyebabnya tidak diketahui,
juga harus dievaluasi dengan laringoskopi langsung, di samping
melakukan foto tengkorak, toraks, esofagus dan laring serta pemeriksaan
CT-scanlaring. Pemeriksaan laringoskopi harus dilakukan bersama dengan
bronkoskopi, esofagoskopi dan pemeriksaan nasofaring. Paralisis pita
suara harus dibedakan dengan artritis krikoaritenoid dengan melakukan uji
gerakan pasif aritenoid. Pada paralisis pita suara aku, maka tidak akan
dijumpai pembatasan gerakan sewaktu dilakukan manipulasi pasif pada
aritenoid dengan spatula laring. Sedangkan pada artritis krikoaritenoid,
pembatasan gerakannya akan terlihat sangat berat. Namun juga harus
diingat, bahwa pada paralisis pita suara yang telah berlangsung lama juga
akan terlihat sedikit pembatasan gerakan sendi krikoaritenoid karena
fiksasi.
Laringoskopi langsung harus dilakukan pada pasien dengan massa di
leher yang tidak diketahui penyebabnya. Setelah dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara teliti, yang disertai pemeriksaan kelenjar liur,
nasofaring, faring, hipofaring, laring, radiografi sinus paranasal, leher,
toraks, esofagus dan CTscan tiroid, maka laringoskopi langsung harus
dilakukan bersamaan dengan bronkoskopi, esofagoskopi, nasofaringoskopi
dan biopsy nasofaring secara acak. Jika evaluasi laring hanya tergantung
pada laringoskopi indirek, maka lesi yang tersembunyi pada permukaan
laringeal epiglotis, sinus piriformis, daerah postkrikoid dan subglotik
mungkin akan terlewati.
25
Gambar 7. Alat laringoskop
26
lebih penting daripada gerakan laringoskop dan lapangan penglihatan.
Dengan cara kedua, manipulasi bimanual dapat dilaksanakan, dan cara ini
lebih cocok untuk manipulasi yang lama dan luas. Sering kedua cara ini
dikombinasikan, sehingga penelitian awal terhadap laring dan hipofaring
dilakukan dengan laringoskop yang dipegang oleh tangan, dan kemudian
laringoskop dengan penopang dan mikroskop digunakan untuk mengevaluasi
mukosa atau tindakan bedah endolaring.
Cara lain yaitu pasien dibaringkan dalam posisi Boyce. Laringoskop Jackson
standar dipegang oleh tangan kiri dengan menggenggam bagian vertikal
gagang laringoskop memakai empat jari dan ibu jari diletakkan pada sudut
antara bagian vertikal dan horizontal gagang laringoskop. Kabel cahaya
diletakkan di atas pergelangan tangan kiri agar berada di luar lapangan
pandang. Laringoskop dipegang dengan tangan kiri ahli bedah yang tidak
kidal agar tangan kanan bebas untuk melakukan manipulasi yang sulit dengan
bermacam-macam alat lewat laringoskop. Ahli bedah yang tidak kidal melihat
lapangan operasi dengan mata kanan, sehingga kepala ahli bedah berada lebih
banyak ke kiri untuk menghindarkan gangguan pada saat memasukkan alat
dan melakukan manipulasi sambil melihat terus menenis lewat laringoskop.
Bibir atas ditarik dengan jari telunjuk kanan. Ujung laringoskop dimasukkan
melalui sisi kiri dasar lidah, kemudian dasar lidah, valekula dan tepi bebas
epiglotis serta permukaan lingual epiglotis diamati. Ujung distal laringoskop
dimasukkan melintasi bagian posterior epiglotis, dan permukaan laringeal
epiglotis, serta endolaring diamati. Laringoskop Jackson standar diteruskan
mendekati pita suara palsu. Agar endolaring terlihat seluruhnya, laringoskop
harus diangkat. Bagian proksimal laringoskop mungkin bersentuhan dengan
gigi atas, akan tetapi gigi tidak boleh diperlakukan sebagai tumpuan. Dinding
hipofaring posterior dan masing-masing sinus piriformis diperiksa. Dalam
anestesi lokal gerakan pita suara dapat diamati dengan meminta pasien
berfonasi dan menarik nafas dalam.
27
Laringoskop komisura anterior dimasukkan dengan menggunakan cara yang
sama sampai ke batas glotis untuk melihat pita suara, komisura anterior dan
ventrikel. Gerakan pita suara dievaluasi lagi. Pita suara palsu ditarik ke latetal
dengan memiringkan ujung laringoskop untuk menginspeksi ventrikel.
Gagang laringoskop di putar 90 derajat ke kanan dan dimasukkan perlahan-
lahan lewat pita suara agar dapat menginspeksi daerah subglotik. Sinus
piriformis dapat diperiksa dengan lebih memuaskan memakai laringoskop
komisura anterior dari pada laringoskop Jackson standar.9
28
c. pH monitoring
Pemantauan Ambulatory 24-jam dual-probe pH dianggap standar
emas untuk diagnosis LPR, namun metode ini bisa salah/tidak sesuai
karena hasil positif palsu dapat terjadi karena artefak di probe atas,
dan hasil negatif palsu dapat terjadi sebagai akibat karakter episode
refluks yang intermiten. Meskipun ada kontroversi, LPR terjadi ketika
pH proksimal menurun menjadi <4 selama atau segera setelah paparan
asam distal (dekat sfingter esofagus bawah) dan LPR dikonfirmasi
saat waktu pemaparan total asam (persentase waktu selama
pemantauan 24 jam ketika sensor mendeteksi pH <4) adalah > 1%.
3.3.5 Penatalaksanaan
a) Edukasi pasien dan perubahan gaya hidup
1. Penurunan berat badan
2. Menghentikan kebiasaan merokok
3. Menghindari alkohol
4. Membatasi konsumsi coklat, makanan berlemak, buah-buahan asam,
minuman berkarbonasi, makanan pedas, anggur merah, kafein, dan
makan terlalu malam
5. Mengkonsumsi obat-obatan secara teratur dan tepat waktu (30-60
menit sebelum makan untuk PPI) 1,3
b) Medikamentosa
1. PPI: Omeprazole, Esomeprazole, Lansoprazole
2. H2-receptor blocker: Ranitidine, Cimetidine
3. Prokinetic agents: Tegaserod, Metoclopramide, Domperidone
4. Mucosal cytoprotectants: Sucralfat 1,3
29
c) Pembedahan
Keuntungan nyata terapi operatif adalah bahwa dapat memperbaiki
barier antireflux di persimpangan gastroesofagus dan mencegah
refluks isi perut, sehingga mencegah asam dan bahan nonacidic
kontak dengan mukosa laringofaring. Fundoplikasi Laparoskopi atau
Nissen adalah perawatan bedah untuk GERD dan menghasilkan hasil
yang dapat diandalkan. Terdapat satu Penelitian menunjukkan bahwa
hanya 10% pasien yang merespons Nissen fundoplication setelah
kegagalan terapi PPI, dan respons ini tidak berbeda dari kelompok
yang terus menggunakan PPI (7%). Disebutkan juga dalam salah satu
penelitian jangka panjang baru-baru ini, bukti menunjukkan bahwa
fundoplikasi laparoskopi Nissen tidak memberikan hasil yang
memuaskan jangka panjang pada pasien yang menderita refluks
laringitis. 7,12
3.3.6 Prognosis
Tujuan dari pengobatan LPR adalah meredakan gejala dan menjaga agar
efek refluks terkontrol dengan diet dan medikamentosa. Apabila diet dan
medikamentosa tidak berhasil, maka dibutuhkan rujukan ke ahli
gastroenterologi atau bedah digestif. Pada umumnya, prognosis LPR baik
apabila gaya hidup sehat dapat diterapkan dan pengobatan dilakukan secara
teratur. Namun, apabila LPR tidak terdiagnosis atau gagal terapi, dapat
terjadi komplikasi seperti edema pita suara, ulkus pita suara, pembentukan
massa di tenggorokan, perburukan asma, emfisema, dan bronkitis. LPR
yang tidak teratasi juga dapat berperan dalam pembentukan kanker pada
daerah pita suara. 13
30
DAFTAR PUSTAKA
31
assessment of cause and effect association. Clin Gastroenterol
Hepatol;1:333–344.
8. Koufman JA. 1991. The otolaryngologic manifestations of
gastroesophageal reflux disease (GERD): a clinical investigation of 225
patients using ambulatory 24-hour pH monitoring and an experimental
investigation of the role of acid and pepsin in the development of
laryngeal injury. Laryngoscope; 101(4 Pt 2, Suppl 53):1–78.
9. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT.6th Ed.
Jakarta: EGC; 1999. p. 369-77.Lee KJ. Essential Otolaryngology. Head
and Neck Surgery, 6th ed. Appleton & Lange Stamfort,Connecticut P.
10. Moore KL, Dalley AF. Chater 7: Head. Clinically Orientes Anatomy, 11th
Edition. p.1012-1017. USA:Lippincott Williams & Wilkins, 2012.
11. Fakultas Kedokteran Unila. 2016. Buku Panduan Clinical Skill Lab. Ed:4.
Bandar Lampung.
12. Swoger J, Ponsky J, Hicks DM, et al. 2006. Surgical fundoplication in
laryngopharyngeal reflux unresponsive to aggressive acid suppression: a
controlled study. Clin Gastroenterol Hepatol;4:433–441.
13. Barry DW, Vaezi MF. 2010. Laryngopharyngeal Reflux: More Questions
than Answers. Cleveland Clinicjournal Of Medicine.
32