Anda di halaman 1dari 32

DOPS

(LARINGOSKOPI INDIRECT)

Oleh:
Amalia Rasydini Salam (1618012126)
Nidya Tiaz Putri Azhari (1618012058)

Preceptor:
dr. Nanang Suhana, M.Kes, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Refluks Laringofaringeal (LPRD) disebabkan oleh aliran balik isi


lambung dan / atau asam lambung ke daerah laring, faring, trakea dan bronkus
yang menyebabkan kontak dengan jaringan pada traktus aerodigestif atas yang
menimbulkan jejas pada laringofaring dan saluran napas bagian atas, dengan
manifestasi penyakitpenyakit oral, faring, laring dan paru. LPRD didiagnosis
sekitar 10% dari pasien yang datang ke klinik otolaringologi rawat jalan, dan di
lebih dari 50% pasien yang datang dengan keluhan suara. Pada penelitian yang di
lakukan di amerika diperkirakan 75 juta penduduk diperkirakan menderita GERD,
dimana 50% dari populasi ini menunjukan gejala LPR atau extraesophageal reflux
(EER). Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih
dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi
keluhan LPR. Pria, wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa bisa mengalami LPR.1

Laryngopharyngeal reflux termasuk dari salah satu manifestasi refluks


ekstra esofagus yang berhubungan dengan gastroesophageal reflux (GERD),
hanya saja kejadian GERD berhubungan dengan disfungsi dari sfingter bawah
esofagus. Karakteristik gejala dapat berupa suara serak, berdehem (throat
clearing), sekret di belakang hidung (post nasal drips), kesulitan dalam proses
menelan atau rasa mengganjal di tenggorok, batuk setelah makan/saat berbaring
atau batuk kronik, dan tersedak. Gejala dari LPR harus dibedakan dari gejala
GERD. Kebanyakan pasien dengan LPR tidak mengeluhkan adanya rasa terbakar
di dada. 70 % penderita mengeluhkan suara serak yang disertai rasa penuh di
tenggorokan. Meski ada tumpang tindih yang signifikan antara gejala LPRD dan
proses penyakit lainnya, LPRD harus dicurigai jika adanya edema laring atau
eritema yang diamati pada pasien dengan gejala LPRD klasik.2

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. D
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Suku bangsa : Palembang
Alamat : Panjang

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis pada pasien dilakukan secara autoanamnesis.

Keluhan Utama:
Nyeri saat menelan sejak 1 minggu yang lalu.

Keluhan Tambahan:
Suara serak, terasa lendir ditenggorok yang sulit keluar, batuk, rasa panas di
ulu hati.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik THT-KL RSUD Abdul Moeloek dengan keluhan
nyeri saat menelan sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengatakan kesulitan
menelan tidak hanya ketika makan tetapi saat menelan ludah atau minum.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan suara serak yang hilang timbul.
Keluhan serak dirasakan terutama pada pagi hari. Pasien mengatakan
keluhan seperti ini baru pertama kali dirasakan. Pasien juga terkadang
mengalami batuk yang terasa gatal dan seperti terdapat dahak tetapi sulit
untuk dikeluarkan, sehingga terasa seperti mengganjal di tenggorokan.
Pasien mengaku sering berdehem untuk mencoba mengeluarkan dahaknya.
Pasien juga mengeluhkan bahwa sering merasa nyeri ulu hati disertai rasa
mual dan begah, terutama apabila pasien telat makan. Dalam satu tahun
terakhir, pasien sering berobat ke dokter spesial penyakit dalam akibat maag
yang sering kambuh.

Reflex Symptom Index (RSI)

3
Symptom Skor
Serak atau masalah dengan suara 2
Usaha membersihkan tenggorok 2
Lendir di tenggorok 3
Kesulitan menelan makanan/cairan 3
Batuk setelah makan 1
Sensasi sesuatu melekat pada tenggorok / gumpalan 2
pada tenggorok
Kesulitan bernafas / episode tercekik 0
Batuk yang parah dan mengganggu 1
Rasa panas di perut, nyeri dada, rasa begah atau 3
asam lambung meningkat
TOTAL SKOR 17

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Keluhan serupa sebelumnya (+)
 Riwayat maag (+)
 Riwayat alergi ( )
 Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Keluhan serupa di keluarga (-)
 Riwayat alergi (-), riwayat atopi (-)
 Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-)

Riwayat Pribadi Sosial :


Pasien memiliki pola makan yang tidak teratur, jarang berolahraga dan tidak
merokok.
2.2 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36.5˚C
Pernapasan : 18x/menit

Status Generalis
Kepala : normocephal, tidak ada kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera anikterik
Leher : pembesaran KGB leher (-), nyeri tekan (-)
Thoraks : Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen : Tidak dilakukan pemeriksaan

4
Ekstremitas : Tidak tampak edema tungkai, perfusi jaringan baik

Status Lokalis THT


Telinga

KANAN TELINGA LUAR KIRI


Normotia Bentuk telinga luar Normotia
Normal, nyeri tarik (-), Daun telinga Normal, nyeri tarik (-),
warna kulit sama warna kulit sama
dengan sekitarnya dengan sekitarnya
Warna kulit sama Preaurikular Warna kulit sama
dengan sekitar, nyeri dengan sekitar, nyeri
tekan (-), fistel (-), tekan (-), fistel (-),
abses (-) abses (-)
Normal, nyeri tekan (-), Retroaurikular Normal, nyeri tekan (-),
tidak ada benjolan tidak ada benjolan
Tidak ada Nyeri tekan tragus Tidak ada
Tidak ada Tumor Tidak ada

KANAN LIANG TELINGA KIRI


Lapang, edem (-) Lapang/Sempit Lapang, edem (-)
Hiperemis (-) Warna Epidermis Hiperemis (-)
Tidak ada Sekret Tidak ada
Minimal Serumen Minimal
Tidak ditemukann Kelainan Lain Tidak ditemukan

KANAN MEMBRAN KIRI


TIMPANI
Intak Bentuk Intak
Putih mutiara Warna Putih mutiara
(+) arah jam 5 Reflek Cahaya (+) arah jam 7
Tidak ditemukan Perforasi Tidak ditemukan
Retraksi (-), buldging (-) Kelainan Lain Retraksi (-), buldging (-)

Hidung

KANAN HIDUNG LUAR KIRI


Warna sama dengan Kulit Warna sama dengan
sekitarnya sekitarnya

5
Terletak di linea Dorsum nasi Terletak di linea
mediana nasi mediana nasi
Nyeri tekan (-), Nyeri tekan, Nyeri tekan (-),
krepitasi (-) krepitasi krepitasi (-)
Selulitis (-), edema (-) Ala nasi Selulitis (-), edema (-)
Tidak ditemukan Nyeri tekan frontal Tidak ditemukan
Tidak ditemukan Nyeri tekan maksila Tidak ditemukan
Normal, tidak sempit, Nares anterior Normal, tidak sempit,
simetris simetris
Tidak ditemukan Tumor, fistel Tidak ditemukan

Rhinoskopi Anterior

Kanan Kiri
Lapang Cavum Nasi Lapang
Tidak ditemukan Sekret Tidak ditemukan
Tidak berbau Bau Tidak berbau
Normotrofi, warna Konka Inferior Normotrofi, warna
sesuai warna kulit sesuai warna kulit
Sulit dinilai Konka Media Sulit dinilai
Deviasi (-) Septum Nasi Deviasi (-)
Tidak ditemukan Krista, abses, massa Tidak ditemukan

Rhinoskopi Posterior (Nasofaring)


Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Cavum Oris


CAVUM ORIS Hasil Pemeriksaan
Mukosa Tidak hiperemis
Gingiva Ulkus (-), edema (-)
Gigi Karies dentis (-)
Lidah Bentuk normal, Atrofi papil (-)
Palatum Durum Permukaan licin
Palatum Mole Permukaan licin
Uvula Posisi letak tengah
Tumor Tidak ditemukan

Faring
FARING Hasil Pemeriksaan
Dinding Faring Tidak edema, tidak bergranular
Mukosa Hiperemis (+)
Uvula Ditengah
Arkus Faring Simetris, tidak hiperemis
Sekret Tidak ada

6
Tonsil
TONSIL Hasil Pemeriksaan
Pembesaran T1 – T1
Kripta Tidak melebar
Detritus Tidak ada
Perlekatan Tidak ada
Sikatrik Tidak ada

Pemeriksaan Laring (Laringoskop Indirect)


• Pemeriksaan Laringofaring
• Mukosa : hiperemis (+) sedikit oedem (+), granulasi (+) di
beberapa tempat, massa (-), mukus bening (+)
• Pemeriksaan Laring
• Epiglotis : sedikit hiperemis (+)
• Komisura posterior : hipertrofi (+)
• Plika vokalis : hiperemis (+) oedem (+) granulasi (+)

Laryngopharyngeal Reflux Finding Score


Tanda Skor
Oedem subglotik 0
Obliterasi ventricular 0
Hiperemis 2
Oedem plika vokalis 1
Oedem laring difus ringan 1
Hipertrofi kommissura posterior 1
Granulasi 2
Mukus tebal endolaring 1
TOTAL SKOR 8

Pemeriksaan Nervus Kranialis


Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher


Inspeksi : tidak terlihat pembesaran kelenjar getah bening
Palpasi : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, nyeri tekan (-)
2.3 DIAGNOSIS
Diagnosis Banding :
- Laryngopharingeal Reflux
- Laringofaringitis

Diagnosis Kerja :
Susp. Laryngopharingeal Reflux

2.4 PEMERIKSAAN ANJURAN

7
- Laringoskopi direct (fiberoptic)
- Uji pH esofagus 24 jam

2.5 TERAPI
Non Medikamentosa
- Meminimalkan bersuara/berbicara
- Tidak boleh menunda makan dan waktu makan harus teratur
- Jika mual makan sedikit-sedikit tetapi sering
- Makanan berlemak, pedas, asem, kafein dan soda dikurangi
- Setelah makan tidak boleh langsung berbaring. Harus duduk dahulu
selama 30 menit. Usahakan tidur setelah 3 jam makan terakhir.
- Meninggikan kepala ketika berbaring/tidur
- Minum obat teratur dan kontrol kembali gejala ke dokter

Medikamentosa
- Omeprazole 2 x 20 mg a.c
- Ranitidin 2 x 150 mg a.c
- Ambroxol 2 x 30 mg p.c

2.6 PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Laring

Laring berada di depan dan sejajar dengan vertebrae cervical 4 sampai 6,


bagian atasnya yang akan melanjutkan ke faring berbentuk seperti bentuk
limas segitiga dan bagian bawahnya yang akan melanjutkan ke trakea
berbentuk seperti sirkular. Laring merupakan bagian terbawah dari saluran
napas bagian atas. Laring dibentuk oleh sebuah tulang yaitu tulang hioid di
bagian atas dan beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf
‘U’, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan
tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Saat menelan, konstraksi otot-otot (M.
Sternohioid dan M. Tirohioid) ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas,

8
sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membantu
menggerakan lidah.3

Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, krikoid,


aritenoid, kornikulata, kuneiform, dan epiglotis. Kartilago tiroid, merupakan
tulang rawan laring yang terbesar, terdiri dari dua lamina yang bersatu di
bagian depan dan mengembang ke arah belakang. Tulang rawan ini berbentuk
seperti kapal, bagian depannya mengalami penonjolan membentuk “Adam’s
apple” dan di dalam tulang rawan ini terdapat pita suara, dihubungkan
dengan kartilago krikoid oleh ligamentum krikotiroid.3

Sepasang kartilago kornikulata atau bisa disebut kartilago Santorini melekat


pada kartilago aritenoid di daerah apeks dan berada di dalam lipatan
ariepiglotik. Sepasang kartilago kuneiformis atau bisa disebut kartilago
Wrisberg terdapat di dalam lipatan ariepiglotik, kartilago kornikulata dan
kuneiformis berperan dalam rigiditas dari lipatan ariepiglotik. Sedangkan
kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral. 3

Gambar 1. Anatomi Laring4

9
Gambar 2. Anatomi Pita Suara4

Epiglotis merupakan kartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas


dibelakang dasar lidah. Epiglotis ini melekat pada bagian belakang kartilago
tiroidea. Plika ariepiglotika, berjalan kebelakang dari bagian samping
epiglotis menuju kartilago arytenoidea, membentuk batas jalan masuk laring. Membran
mukosa di laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius, terdiri dari
sel-sel silinder yang bersilia. Plika vokalis dilapisi oleh epitel skuamosa.5

Plika vokalis adalah dua lembar membran mukosa tipis yang terletak di atas
ligamentum vokalis, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam
kartilago tiroidea di bagian depan dan kartilago aritenoidea di bagian
belakang. Plika vokalis palsu adalah dua lipatan membran mukosa tepat di
atas plika vokalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalam produksi suara. 5

Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah
ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum
krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum
kornikulofaringeal, ligamentum hiotoroid lateral, ligamentum hiotiroid
media, ligamentum hioepiglotika, ligamentum ventrikularis , ligamentum
vokal yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid dan
ligamentum tiroepiglotica. 5

10
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot
instrinsik, otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara
keseluruhan, sedangkan otot-otot instrinsik menyebabkan gerakan bagian-
bagian laring sendiri. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak diatas
tulang hyoid (suprahioid), dan ada yang terletak dibawah tulang hioid
(infrahioid). Otot ekstrinsik yang supra hioid ialah M. Digastricus, M.
Geniohioid, M. Stylohioid, dan M. Milohioid. Otot yang infrahioid ialah M.
Sternohioid dan M. Tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid
berfungsi menarik laring kebawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring
keatas. Otot-otot intrinsik laring adalah M. Krikoaritenoid lateral. M.
Tiroepiglotica, M. Vokalis, M. Tiroaritenoid, M. Ariepiglotica, dan M.
Krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik
laring yang terletak di bagian posterior adalah M. Aritenoid Transversum, M.
Ariteniod Oblik dan M. Krioaritenoid Posterior. Laring dipersarafi oleh
cabang-cabang Nervus Vagus, yaitu N. Laringeus Superior dan N. Laringeus
Inferior (rekuren). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. Nervus Laryngeus Superior mempersarafi M. Krikotiroid, sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara. Nervus
Laringeus Inferior merupakan lanjutan dari N. Rekuren setelah saraf itu
memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus Rekuren
merupakan lanjutan dari N. Vagus. 5

Vaskularisasi untuk laring terdiri dari 2 cabang yaitu A. Laringeus Superior


dan A. Laringeus Inferior. Arteri Laringeus Superior merupakan cabang dari
Arteri Tiroid Superior. Arteri Laringeus Superior berjalan agak mendatar
melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-sama dengan cabang
internus dari N. Laringeus Superior kemudian menembus membran ini untuk
berjalan kebawah di submokosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus
piriformis, untuk memperdarahi mukosa dan otot-otot laring. Arteri Laringeus
Inferior merupakan cabang dari A. Tiriod Inferior dan bersama-sama dengan
N. Laringeus Inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring
melalui daerah pinggir bawah dari M. Konstriktor Faring Inferior. 5

11
3.2 Fisiologi Laring
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, serta
fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untuk mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan
rima glotis secara bersamaan. Terjadinya penutuan aditus laring ialah karena
pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid.
selanjutnya berfungsi sebagai sfingter. Penutupan rima glotis terjadi karena
aduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri dan kanan mendekat karena
aduksi otot-otot intrinsik. Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang
telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan
bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru dapat dikeluarkan. 6
Fungsi respirasi dari laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima
glotis. Bila m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan
prosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis
terbuka (abduksi). Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam
traktus trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah dari
alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga
mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga
sebagai alat pengatur sirkulasi darah. Fungsi laring dalam membantu proses
menelan adalah dengan 3 mekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke
atas, menutup aditus laringis dan mendorong bolus makanan turun ke
hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring.6
Fungsi laring yang lain adalah untuk fonasi dengan membuat suara serta
menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh
ketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid
akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago
aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan menahan
atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan
yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m.krikoaritenoid akan
mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan
mengendor. Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan menentukan
tinggi rendahnya nada.6

12
3.3 Laryngopharyngeal reflux (LPR)

Laryngopharyngeal reflux (LPR) didefinisikan sebagai aliran balik


(retrograde) isi perut ke laring dan faring, di mana bahan ini bersentuhan
dengan saluran pencernaan bagian atas. Sebaliknya, gastroesophageal reflux
disease (GERD) adalah aliran asam lambung kembali ke kerongkongan.
Berdasarkan penelitian telah terbukti bahwa gastroesophageal refluks bukan
satu-satunya penyebab LPR. GERD disebabkan oleh disfungsi sfingter
esofagus bawah dan disfungsi mekanisme pengosongan lambung, mukosa
esofagus memiliki pelindung mekanisme melawan faktor agresif isi perut
(penghalang mukosa) dan tetap utuh ketika terjadi refluks fisiologis, yang
biasanya terjadi pada malam hari. Mukosa laring dan faring tidak memiliki
mekanisme pelindung tersebut, sehingga aktivitas acidopeptic isi lambung
dengan cepat dapat menyebabkan lesi mukosa. Refluks laring dan faring
terjadi paling sering pada siang hari sebagai akibat dari disfungsi sfingter
esofagus bagian atas.

Gambar 3. Regio Faring

Laringofaring atau hipofaring merupakan bagian paling kaudal dari faring dan
tempat di mana tenggorokan berhubungan dengan esofagus. Laringofaring
terletak inferior dari epiglottis dan melebar hingga lokasi di mana jalur ini
bercabang menjadi jalur pernapasan (laring) dan pencernaan (esofagus). Pada
titik ini, laringofaring berhubungan langsung atau menyatu dengan esophagus
secara posterior. Esofagus mengalirkan makanan dan cairan menuju lambung;
sedangkan udara masuk ke laring pada bagian anterior. Ketika menelan,

13
makanan akan masuk ke jalurnya sedangkan aliran udara akan sementara
terhenti.

Gambar 4. Anatomi Saluran Pernafasan


3.3.1 Epidemiologi
Diperkirakan bahwa 15-20% pasien yang datang ke otolaryngologist
mengeluh batuk kronis, sensasi globus, dysphonia, atau sakit tenggorokan.
LPR didiagnosis sekitar 10% dari pasien yang datang ke klinik
otolaringologi rawat jalan, dan di lebih dari 50% pasien yang datang dengan
keluhan suara. Kurang dari 40% pasien LPRD dilaporkan mempunyai gejala
khas GERD, seperti rasa panas. Sebaliknya, 44% dari orang dewasa
Populasi AS melaporkan gejala GERD setidaknya sebulan sekali, 20%
seminggu sekali, dan 7% dilaporkan gejala terjadi setiap hari. Meski ada
tumpang tindih yang signifikan antara gejala LPR dan proses penyakit
lainnya, LPR harus dicurigai jika adanya edema laring atau eritema yang
diamati pada pasien dengan gejala LPR klasik.1

3.3.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi dan faktor risiko dari LPR di antaranya adalah 3,5,6
a. Masalah pada Lower Esophageal Sphincter (LPS) (hiatus hernia),
pengosongan lambung yang lambat (obstruksi, diet (lemak), tembakau,
dan alkohol), obat-obatan (teofilin, nitrat, dopamine, narkotik,
dll),.masalah dengan kontraksi saluran makanan (motilitas esofagus yang
abnormal karena penyakit neuromuskular, laringektomi, etanol),
b. Penurunan resistensi mukosa karena radioterapi rongga mulut,
radioterapi esofagus, xerostomia..

14
c. Gaya hidup seperti makan berlebih (makanan pedas, lemak, coklat, mint,
produk susu, soda, kafein dan lainnya), merokok, alkohol, obat-obatan
(teofilin, nitrat, dopamine, narkotik, dan lainnya), individu yang
menggunakan suara mereka secara sering dan keras, seperti guru dan
penyanyi
d. Peningkatan tekanan intraabdominal karena kehamilan, obesitas, makan
yang berlebihan, minuman karbonasi.
e. Hipersekresi asam lambung atau pepsin karena stress, obat-obatan,
alkohol, diet atau pengosongan lambung yang tertunda/lambat karena
obstruksi, diet (lemak), tembakau, dan alkohol.
3.3.3 Patofisiologi
Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, terdapat 2 hipotesa tentang
bagaimana asam lambung mempercepat respons patologis ekstraesofagus.
Yang pertama, asam-pepsin menyebabkan kerusakan secara langsung ke
laring dan jaringan di sekitarnya. Hipotesis kedua menunjukkan bahwa
asam di esofagus distal menstimulasi refleks vagal-mediated yang
menyebabkan bronkokonstriksi dan throat clearing dan batuk kronik, yang
akhirnya menyebabkan lesi mukosa. Dua mekanisme ini dapat bertindak
sebagai kombinasi untuk menghasilkan perubahan patologis yang terlihat
pada LPR. Pada saluran pencernaan bagian atas, terdapat 4 barier fisiologis
untuk melindungi saluran dari cedera refluks yaitu:
1. Sfingter esofagus bagian bawah
2. Fungsi motor esofagus dengan pembersihan asam
3. Resistensi jaringan mukosa esophagus
4. Sfingter esofagus bagian atas

Ketika keempat mekanisme perlindungan di atas gagal, maka epitel


pernapasan yang bersilia pada laring posterior menjadi rentan dan
mengakibatkan disfungsi dari silia tersebut sehingga terjadi stasis dari
mukus. Akumulasi dari mukus menyebabkan sensasi post-nasal drip dan
menstimulasi “throat clearing”. Iritasi langsung dari zat refluks dapat
menyebabkan laringospasme yang menghasilkan gejala batuk kronik dan
tersedak karena sensitivitas pada ujung sensorik laring meningkat akibat
inflamasi lokal. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut menyebabkan edema
pita suara, ulkus kontak, dan granuloma, kemudian menghasilkan gejala
yang berhubungan dengan LPR yaitu suara serak, globus faringeus, dan

15
nyeri tenggorokan.7 Dalam LPR, refluks asam lambung diduga
menyebabkan formasi granuloma laring. Pasien LPR mempunyai waktu
refluks asam lebih lama di esofagus atas. pH esofagus diatas 5 adalah cut-
off yang sesuai untuk diagnosis LPR. 1 pH faring adalah netral (pH 7),
sedangkan asam lambung kisaran dalam pH 1,5-2. Kerusakan pada faring
adalah hasil penurunan pH dan paparan komponen refluks seperti pepsin,
garam empedu, dan enzim pankreas. Pada esofagus, 50 episode refluks per
hari dianggap normal, sedangkan di laring tiga episode sudah dapat
menyebabkan kerusakan.8

3.3.4 Diagnosis

16
A. Anamnesis
a. Gejala yang paling umum dari LPR adalah suara serak, sakit
tenggorokan, throat-clearing, batuk kronis, sensasi globus (sensasi
benjolan di tenggorokan), disfagia, dan postnasal drip. Suara serak
umumnya gejala berfluktuasi yang terjadi di pagi hari dan membaik
siang hari. Selain itu dapat juga adanya halitosis, laringospasme,
bronkospasme, dan wheezing.1
GERD LPR
Heartburn + -
Esofagitis + Jarang
-
Selalu laringitis
Laringitis (kecuali sangat
posterior
parah)
Perubahan Suara - +
Abnormalitas
LES UES
Spincter
Nokturnal/saat
Refluks Siang hari/saat berdiri
berbaring

17
b. Belafsky dkk mengembangkan sembilan item kuesioner (Reflux
Symptom Index [RSI]) untuk penilaian gejala pada pasien dengan
penyakit refluks yang dapat selesai dalam waktu kurang dari 1 menit.
Skala untuk setiap individu rentang item dari 0 (tidak ada masalah)
hingga 5 (masalah serius), dengan skor maksimum 45. Skor RSI > 13
dianggap abnormal.9

B. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen leher AP: bisa tampak pembengkakan jaringan
subglotis (Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50% kasus.
2. Pemeriksaan laboratorium: gambaran darah dapat normal. Jika
disertai infeksi sekunder, leukosit dapat meningkat.
3. Pada pemeriksaan laringoskopi indirek akan ditemukan mukosa laring

18
yang sangat sembab, hiperemis dan tanpa membran serta tampak
pembengkakan. (17,18)

a. Indirect Laryngoscopy
Laringoskopi indirek berarti melihat laring secara tidak langsung yang dapat
dilakukan menggunakan kaca laring (laryngeal mirror) atau flexible
fiberoptic endoscope. Laringoskopi indirek yang dilakukan menggunakan
kaca laring disinari dengan cahaya. Keadaan laring pada cermin terlihat dari
bayangan yang dipantulkan cermin. Laringoskopi dapat mengidentifikasi
kelainan-kelainan laring dan faring baik akut maupun kronis, benigna atau
maligna.(12)

Syarat yang harus dipenuhi12:


1) Diperlukan jalan yang lebar untuk cahaya yang dipantulkan oleh cermin
dari faring ke laring sehingga lidah harus dikeluarkan agar pangkal lidah
yang menutup jalan itu bergerak ke ventral
2) Diperlukan tempat luas untuk cermin dan tidak boleh ditutup uvula
sehingga penderita diminta bernafas dari mulut agar uvula bergerak keatas
dengan sendirinya dan menutup jalan ke nasofaring

Indikasi laringoskopi indirek, yaitu:


 Batuk kronis
 Dyspnea
 Disfonia
 Stridor
 Perubahan suara
 Sakit tenggorokan kronis
 Otalgia persisten
 Disfagia
 Epistaksis
 Aspirasi
 Merokok dan alkoholisme lama
 Skrining karsinoma nasofaring
 Kegawat daruratan: angioderma, trauma kepala-leher

19
Kontraindikasi laringoskopi indirek, yaitu:
Epiglotitis

Alat dan Bahan :


 Cermin laring, ukuran 4 (boies) atau 5 (paparella)
 Lampu kepala
 Kasa steril
 Tongue spatula
 Anestesi lokal (semprotan atau larutan kental)
 Lampu alkohol atau air panas
Prosedur laringoskopi indirek, yaitu:
1) Pasien duduk berhadapan dengan dokter, posisi pasien sedikit lebih tinggi
dibandingkan dokter.
2) Tubuh pasien sedikit condong ke depan, dengan mulut terbuka lebar dan
lidah dijulurkan keluar, tutup lidah dengan kasa steril lalu tarik dengan ibu
jari dan jari tengah tangan pemeriksa yang tidak dominan. Minta pasien
untuk tenang dan mengambil nafas secara lambat dan dalam melalui
mulut.
3) Agar kaca laring tidak berkabut oleh nafas pasien, hangatkan kaca laring
sampai sedikit di atas suhu tubuh.
4) Fokuskan sinar dari lampu kepala ke orofaring pasien.
5) Untuk mencegah timbulnya refleks muntah, arahkan kaca laring ke dalam
orofaring tanpa menyentuh mukosa kavum oris, palatum molle atau
dinding posterior orofaring.
6) Putar kaca laring kearah bawah sampai dapat melihat permukaan mukosa
laring dan hipofaring. (ingat bahwa pada laringoskopi indirek, bayangan
laring dan faring terbalik: plika vokalis kanan terlihat di sisi kiri kaca
laring dan plika vokalis kanan terlihat di sisi kiri kaca laring).
7) Minta pasien untuk berkata “aaaaaaa”, amati pergerakan plika vokalis
(true vocal cords) dan kartilago arytenoid.
8) Plika vokalis akan memanjang dan beraduksi sepanjang linea mediana.
Amati gerakan pita suara (adakah paresis, asimetris gerakan, vibrasi dan
atenuasi pita suara, granulasi, nodul atau tumor pada pita suara).
9) Amati pula daerah glotis, supraglotis dan subglotis.

20
Gambar 5. Anatomi Laring
Penilaian organ:
 Radiks lingue, epiglotis dan sekitarnya
- Kelihatan gambar dari radiks linguae, epiglotis yang menutup introitus
laringis, plika glossoepiglotika, valekula kiri dan kanan
- Perhatikan anatomi dan kelainannya seperti edema epiglotis, ulkus, tumor,
korpus alienum
- Fascies posterior tonsil pada kesempatan ini dapat diperiksa pada awal
tahap 1 atau akhir tahap 3
- Perhatikan warna, aftae, ulkus
- Penderita disuruh mengucapkan huruf „iiiii‟ yang panjang dan tinggi
sehingga laring serta epiglottis tertarik ke atas dan membuka sehingga
cahaya dapat masuk laring dan trakea. Korda vokalis bergerak ke garis
median.

 Laring dan sekitarnya. Organ yang perlu diperhatikan antara lain:


- Epiglotis dan pinggirnya
- Aritenoid kiri dan kanan
- Plika ari-epiglotika kiri dan kanan
- Sinus piriformis kiri dan kanan
- Dinding posterior dan dinding lateral faring

21
- Plika ventrikularis kiri dan kanan
- Komisura anterior dan posterior
- Korda vokalis kiri dan kanan
- Dilihat apakah adanya radang, ulkus, edema, cairan, tumor. Perhatikan
gerakan korda vokalis kiri kananapakahnormal, simetris, tidak bergerak
(parese) unilateral atau bilateral.

 Trakea
- Korda vokalis hanya dapat dilihat dalam stadium fonasi
- Dalam stadium respirasi lumen laring tertutup oleh epiglotis sehingga
mukosa trakea hanya dapat dilihat waktu belum ada aduksi yang komplit,
atau di waktu permulaan abduksi
- Perhatikan anatomi, patologi mukosa, warna mukosa, sekret regio
subglotik, edema, tumor
b. Direct Laryngoscopy

Laringoskopi langsung (laringoskop direct) merupakan pemeriksaan laring


secara langsung dengan menggunakan spekulum. Pemeriksaan ini
menggunakan visualisasi secara langsung pada laring, berbeda dengan
gambaran yang dihasilkan dengan kaca pada laringoskopi tak langsung
(laringoskop indirect). Perbedaan ini menjadi sedikit berkurang dengan
kemampuan melihat laring dengan mempergunakan laringoskop serat optik
(lentur), bronkoskop dan teleskop.

Gambar laring direfleksikan dari permukaan laring ke mata pemeriksa.


Sumber cahaya biasanya terletak di bagian distal laringoskop yang digunakan
sekarang, dan sudut antara sumber cahaya yang mengenai permukaan laring
dengan sorotan pantulan cahaya sangat besar.

Laringoskopi langsung (laringoskop direct) merupakan pelengkap untuk


pemeriksaan laringoskopi tak langsung (laringoskop indirect), dan bukan
sebagai penggantinya.. Pada laringoskopi langsung gambar tidak terbalik,

22
gambaran yang dihasilkan merupakan gambaran yang asli dan sesuai dengan
posisi tubuh pasien.

Tujuan dan keuntungan dari pemeriksaan laringoskopi langsung (laringoskop


direct) adalah dapat melihat laring secara langsung untuk mendeteksi adanya
tumor, benda asing, kerusakkan saraf atau struktur lain atau kelainan-kelainan
lain. Terdapat dua cara pemeriksaan laringoskopi langsung (laringoskop
direct) yang saat ini dilakukan agar dapat memeriksa laring secara langsung.
Pertama, dengan menggunakan selang yang lentur (fleksibel), yang dibantu
dengan suatu alat serat optik yang disusupkan melalui hidung dan
dimasukkan terus hingga masuk ke dalam tenggorokan, sedangkan metode
lainnya adalah dengan menggunakan selang kaku yang dimasukkan langsung
dari mulut hingga ke dalam laring. Kedua metode ini, pada endoskopnya akan
dilengkapi sebuah lampu dan lensa yang akan digunakan sebagai alat
penerangan sehingga diharapkan akan lebih jelas dalam melakukan evaluasi
pada laring serta daerah-daerah disekitarnya. Selain itu pada selang
endoskopik ini juga akan dilengkapi dengan alat penyedot lendir atau kotoran
sehingga akan sangat berguna untuk membersihkan daerah yang akan
dievaluasi, sehingga akan semakin jelas daerah-daerah disekitar laring yang
diperiksa.

Indikasi Laringoskopi Direct


Indikasi Laringoskopi direct atau laringoskopi langsung adalah untuk
memperjelas permasalahan klinik yang berhubungan dengan suara dan laring.
Pasien dengan suara serak yang telah menetap selama 2 sampai 3 minggu,
dimana pada pemeriksaan laringoskop tak langsung tidak dapat dilihat adanya
kelainan, atau keadaan suara serak yang tidak dapat dijelaskan secara tepat
dengan laringoskopi tak langsung, pada keadaan ini harus dilakukan
laringoskopi langsung untuk menyingkirkan adanya lesi yang mungkin hanya
akan terlihat dengan pemeriksaan laringoskopi langsung, misalnya tumor di
daerah subglotik.
 Indikasi Diagnostik

23
- Jika laringoskopi indirek tidak dapat dilakukan, seperti pada bayi
dan anak kecil.
- Jika laringoskopi indirek tidak berhasil, misalnya akibat refleks
muntah berlebih atau overhanging epiglottis
- Untuk memeriksa area tersembunyi dari hipofaring, yaitu dasar
lidah, valekula, dan fossa piriformis bagian bawah.
- Untuk melihat perluasan massa atau untuk mengambil sampel biopsi.
 Terapeutik
- Mengangkat lesi jinak pada laring (papiloma, fibroma, nodul, polip,
kista).
- Mengambil benda asing pada laring dan hipofaring.
- Dilatasi striktur laring.

Kontraindikasi
 Gangguan pada vertebra servikalis
 Dispnea sedang sampai berat, kecuali jika jalan napas dilindungi
dengan trakeostomi

Gambar 6. Posisi pasien saat pemeriksaan laringoskop langsung

24
Pasien dengan trauma leher mungkin memerlukan tindakan laringoskopi
langsung dan juga trakeoskopi serta esofagoskopi untuk menetapkan luas
dan beratnya trauma. Laringoskopi dan trakeoskopi juga dilakukan jika
terdapat trauma tumpul pada leher yang disertai hemoptosis atau adanya
emfisema subkutis, meskipun gambaran laring pada laringoskopi tak
langsung tidak dapat sepenuhnya menunjukkan kelainan yang berarti,
untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur trakea atau terpisahnya trakea.
Pasien dengan paralisis pita suara yang penyebabnya tidak diketahui,
juga harus dievaluasi dengan laringoskopi langsung, di samping
melakukan foto tengkorak, toraks, esofagus dan laring serta pemeriksaan
CT-scanlaring. Pemeriksaan laringoskopi harus dilakukan bersama dengan
bronkoskopi, esofagoskopi dan pemeriksaan nasofaring. Paralisis pita
suara harus dibedakan dengan artritis krikoaritenoid dengan melakukan uji
gerakan pasif aritenoid. Pada paralisis pita suara aku, maka tidak akan
dijumpai pembatasan gerakan sewaktu dilakukan manipulasi pasif pada
aritenoid dengan spatula laring. Sedangkan pada artritis krikoaritenoid,
pembatasan gerakannya akan terlihat sangat berat. Namun juga harus
diingat, bahwa pada paralisis pita suara yang telah berlangsung lama juga
akan terlihat sedikit pembatasan gerakan sendi krikoaritenoid karena
fiksasi.
Laringoskopi langsung harus dilakukan pada pasien dengan massa di
leher yang tidak diketahui penyebabnya. Setelah dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara teliti, yang disertai pemeriksaan kelenjar liur,
nasofaring, faring, hipofaring, laring, radiografi sinus paranasal, leher,
toraks, esofagus dan CTscan tiroid, maka laringoskopi langsung harus
dilakukan bersamaan dengan bronkoskopi, esofagoskopi, nasofaringoskopi
dan biopsy nasofaring secara acak. Jika evaluasi laring hanya tergantung
pada laringoskopi indirek, maka lesi yang tersembunyi pada permukaan
laringeal epiglotis, sinus piriformis, daerah postkrikoid dan subglotik
mungkin akan terlewati.

25
Gambar 7. Alat laringoskop

Laringoskopi direk juga harus dilakukan pada setiap tindakan bronkoskopi


agar masalah pada saluran nafas atas yang mungkin berhubungan atau ada di
samping gejala dan tanda kelainan pada saluran nafas bawah tidak
terlewatkan. Demikian juga, laringoskopi langsung selalu dilakukan jika
mungkin untuk mempertahankan jalan nafas dengan melakukan intubasi
endotrakea atau memasukkan bronkoskop sebelum dilakukan trakeostomi
pada obstniksi jalan nafas atas, sehingga trakeostomi tidak lagi merupakan
tindakan darurat melainkan tindakan yang dapat dilakukan dengan tenang dan
benar.

Teknik Laringoskopi Langsung


Ada dua cara melakukan laringoskopi langsung yang biasa digunakan.
Pertama laringoskop Jackson standar atau jenis komisura anterior dipegang
dengan tangan kiri operator yang tidak kidal. Teknik ini cocok untuk prosedur
diagnostik, yang relatif lebih banyak diperlukan gerakan dari laringoskop.
Teknik ini juga digunakan untuk bermacam-macam tujuan terapi.

Pada teknik kedua, laringoskop dipegang oleh alat penopang, Laringoskopi


langsung dengan memakai trukroskop dan digunakan mikroskop dan anestesi
umum. Teknik ini lebih cocok untuk tujuan terapi, tetapi penting juga untuk
diagnostik. Dengan cara kedua, kecermatan observasi atau manipulasi relatif

26
lebih penting daripada gerakan laringoskop dan lapangan penglihatan.
Dengan cara kedua, manipulasi bimanual dapat dilaksanakan, dan cara ini
lebih cocok untuk manipulasi yang lama dan luas. Sering kedua cara ini
dikombinasikan, sehingga penelitian awal terhadap laring dan hipofaring
dilakukan dengan laringoskop yang dipegang oleh tangan, dan kemudian
laringoskop dengan penopang dan mikroskop digunakan untuk mengevaluasi
mukosa atau tindakan bedah endolaring.

Cara lain yaitu pasien dibaringkan dalam posisi Boyce. Laringoskop Jackson
standar dipegang oleh tangan kiri dengan menggenggam bagian vertikal
gagang laringoskop memakai empat jari dan ibu jari diletakkan pada sudut
antara bagian vertikal dan horizontal gagang laringoskop. Kabel cahaya
diletakkan di atas pergelangan tangan kiri agar berada di luar lapangan
pandang. Laringoskop dipegang dengan tangan kiri ahli bedah yang tidak
kidal agar tangan kanan bebas untuk melakukan manipulasi yang sulit dengan
bermacam-macam alat lewat laringoskop. Ahli bedah yang tidak kidal melihat
lapangan operasi dengan mata kanan, sehingga kepala ahli bedah berada lebih
banyak ke kiri untuk menghindarkan gangguan pada saat memasukkan alat
dan melakukan manipulasi sambil melihat terus menenis lewat laringoskop.
Bibir atas ditarik dengan jari telunjuk kanan. Ujung laringoskop dimasukkan
melalui sisi kiri dasar lidah, kemudian dasar lidah, valekula dan tepi bebas
epiglotis serta permukaan lingual epiglotis diamati. Ujung distal laringoskop
dimasukkan melintasi bagian posterior epiglotis, dan permukaan laringeal
epiglotis, serta endolaring diamati. Laringoskop Jackson standar diteruskan
mendekati pita suara palsu. Agar endolaring terlihat seluruhnya, laringoskop
harus diangkat. Bagian proksimal laringoskop mungkin bersentuhan dengan
gigi atas, akan tetapi gigi tidak boleh diperlakukan sebagai tumpuan. Dinding
hipofaring posterior dan masing-masing sinus piriformis diperiksa. Dalam
anestesi lokal gerakan pita suara dapat diamati dengan meminta pasien
berfonasi dan menarik nafas dalam.

27
Laringoskop komisura anterior dimasukkan dengan menggunakan cara yang
sama sampai ke batas glotis untuk melihat pita suara, komisura anterior dan
ventrikel. Gerakan pita suara dievaluasi lagi. Pita suara palsu ditarik ke latetal
dengan memiringkan ujung laringoskop untuk menginspeksi ventrikel.
Gagang laringoskop di putar 90 derajat ke kanan dan dimasukkan perlahan-
lahan lewat pita suara agar dapat menginspeksi daerah subglotik. Sinus
piriformis dapat diperiksa dengan lebih memuaskan memakai laringoskop
komisura anterior dari pada laringoskop Jackson standar.9

28
c. pH monitoring
Pemantauan Ambulatory 24-jam dual-probe pH dianggap standar
emas untuk diagnosis LPR, namun metode ini bisa salah/tidak sesuai
karena hasil positif palsu dapat terjadi karena artefak di probe atas,
dan hasil negatif palsu dapat terjadi sebagai akibat karakter episode
refluks yang intermiten. Meskipun ada kontroversi, LPR terjadi ketika
pH proksimal menurun menjadi <4 selama atau segera setelah paparan
asam distal (dekat sfingter esofagus bawah) dan LPR dikonfirmasi
saat waktu pemaparan total asam (persentase waktu selama
pemantauan 24 jam ketika sensor mendeteksi pH <4) adalah > 1%.
3.3.5 Penatalaksanaan
a) Edukasi pasien dan perubahan gaya hidup
1. Penurunan berat badan
2. Menghentikan kebiasaan merokok
3. Menghindari alkohol
4. Membatasi konsumsi coklat, makanan berlemak, buah-buahan asam,
minuman berkarbonasi, makanan pedas, anggur merah, kafein, dan
makan terlalu malam
5. Mengkonsumsi obat-obatan secara teratur dan tepat waktu (30-60
menit sebelum makan untuk PPI) 1,3

b) Medikamentosa
1. PPI: Omeprazole, Esomeprazole, Lansoprazole
2. H2-receptor blocker: Ranitidine, Cimetidine
3. Prokinetic agents: Tegaserod, Metoclopramide, Domperidone
4. Mucosal cytoprotectants: Sucralfat 1,3

29
c) Pembedahan
Keuntungan nyata terapi operatif adalah bahwa dapat memperbaiki
barier antireflux di persimpangan gastroesofagus dan mencegah
refluks isi perut, sehingga mencegah asam dan bahan nonacidic
kontak dengan mukosa laringofaring. Fundoplikasi Laparoskopi atau
Nissen adalah perawatan bedah untuk GERD dan menghasilkan hasil
yang dapat diandalkan. Terdapat satu Penelitian menunjukkan bahwa
hanya 10% pasien yang merespons Nissen fundoplication setelah
kegagalan terapi PPI, dan respons ini tidak berbeda dari kelompok
yang terus menggunakan PPI (7%). Disebutkan juga dalam salah satu
penelitian jangka panjang baru-baru ini, bukti menunjukkan bahwa
fundoplikasi laparoskopi Nissen tidak memberikan hasil yang
memuaskan jangka panjang pada pasien yang menderita refluks
laringitis. 7,12

3.3.6 Prognosis
Tujuan dari pengobatan LPR adalah meredakan gejala dan menjaga agar
efek refluks terkontrol dengan diet dan medikamentosa. Apabila diet dan
medikamentosa tidak berhasil, maka dibutuhkan rujukan ke ahli
gastroenterologi atau bedah digestif. Pada umumnya, prognosis LPR baik
apabila gaya hidup sehat dapat diterapkan dan pengobatan dilakukan secara
teratur. Namun, apabila LPR tidak terdiagnosis atau gagal terapi, dapat
terjadi komplikasi seperti edema pita suara, ulkus pita suara, pembentukan
massa di tenggorokan, perburukan asma, emfisema, dan bronkitis. LPR
yang tidak teratasi juga dapat berperan dalam pembentukan kanker pada
daerah pita suara. 13

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Chiba T. 2017. Laryngopharyngeal reflux disease (LPRD) – Review


article. Medical Research Archives,(5): 2.
2. El-Serag HB. 2007. Time trends of gastroesophageal reflux disease: a
systematic review. Clin Gastroenterol Hepatol;5:17–26.
3. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala Leher: Disfonia. 6th Ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.p. 231-34.
4. Amirlak, B. 2016. Refluks Laringitis. emedicine.medscape.com.
5. Johnston N, Knight J, Dettmar PW, Lively MO, Koufman J. 2004. Pepsin
and carbonic anhydrase isoenzyme III as diagnostic markers for
laryngopharyngeal reflux disease. Laryngoscope;114:2129–2134.
6. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. 2001. The Validity and
Reliability of the Reflux Finding Score (RFS). The Laryngoscope.
Lippincott Williams & Wilkins, Inc., Philadelphia. 111:1313–1317.
7. Vaezi MF, Hicks DM, Abelson TI, Richter JE. 2003. Laryngeal signs and
symptoms and gastroesophageal reflux disease (GERD): a critical

31
assessment of cause and effect association. Clin Gastroenterol
Hepatol;1:333–344.
8. Koufman JA. 1991. The otolaryngologic manifestations of
gastroesophageal reflux disease (GERD): a clinical investigation of 225
patients using ambulatory 24-hour pH monitoring and an experimental
investigation of the role of acid and pepsin in the development of
laryngeal injury. Laryngoscope; 101(4 Pt 2, Suppl 53):1–78.
9. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT.6th Ed.
Jakarta: EGC; 1999. p. 369-77.Lee KJ. Essential Otolaryngology. Head
and Neck Surgery, 6th ed. Appleton & Lange Stamfort,Connecticut P.
10. Moore KL, Dalley AF. Chater 7: Head. Clinically Orientes Anatomy, 11th
Edition. p.1012-1017. USA:Lippincott Williams & Wilkins, 2012.
11. Fakultas Kedokteran Unila. 2016. Buku Panduan Clinical Skill Lab. Ed:4.
Bandar Lampung.
12. Swoger J, Ponsky J, Hicks DM, et al. 2006. Surgical fundoplication in
laryngopharyngeal reflux unresponsive to aggressive acid suppression: a
controlled study. Clin Gastroenterol Hepatol;4:433–441.
13. Barry DW, Vaezi MF. 2010. Laryngopharyngeal Reflux: More Questions
than Answers. Cleveland Clinicjournal Of Medicine.

32

Anda mungkin juga menyukai