LAPORAN PRAKTIKUM
Oleh :
Kelompok 3 / Offering A
Arief Baskara (170341615087)
Fikri Syahir Robi (170341615037)
Inaya Setianai (170341615028)
Izjaachwatul Diah (170341615004)
Windhi Agustin Riskikolis (170341615089)
Witia Ardipeni (170341615073)
Bahan
A1 40 oC +++
A2 50oC +++
A3 60oC +
A4 70oC ++
A5 80oC ++
A6 90oC +
A7 100oC -
A8 Kontrol +++
Keterangan :
- : Tidak ada
VIII. Pembahasan
Pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor nutrisi dan
kondisi lingkungan. Menurut Tarigan (1988) kondisi lingkungan akan memberikan
gambaran yang menunjukkan peningkatan jumlah sel berbeda dan pada akhirnya akan
memberikan gambaran terhadap kurva pertumbuhannya. Salah satu faktor lingkungan
yang memengaruhi pertumbuhan bakteri adalah suhu. Suhu merupakan salah satu
faktor utama yang sangat memengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, karena suhu
akan mempengaruhi kinerja enzim dan metabolisme bakteri.
Bakteri memiliki daya tahan terhadap temperatur (suhu) yang berebda-beda
tergantung pada jenis dan spesiesnya. Perlakuan yang dilakukan pada praktikum ini
adalah dengan diberikannya perbedaan suhu (40oC-100oC) di tabung kultur bakteri.
Tujuan dilakukannya perlakuan tersebut untuk mengetahui pengaruh abiotik yang
terfokus pada suhu terhadap pertumbuhan bakteri sertta untuk mengetahui titik
kematian termal bakteri (thermal death point). Titik kematian bakteri merupakan batas
temperatur minimum yang dapat membunuh bakteri yang berada di dalam standar
medium selama 10 menit (Dwidjoseputro, 1984).
Ketahanan bakteri terhadap suhu berbeda-beda hal tersebut bergantung pada
jenis dan spesisenya. Bakteri dapat digolongkan menjadi tiga macam berdasarkan
ketahanan suhunya yaitu bakteri psikrofil, mesofil, termofil. Bakteri psikrofil
merupakan bakteri yang mampu hidup pada suhu rendah, bakteri mesofil merupakan
bakteri yang mampu hidup pada suhu sedang, dan bakteri termofil merupakan bakteri
yang mampu hidup pada suhu tinggi (Suharni, 2008). Bakteri memiliki batas
temperatur untuk melangsungkan hidupnya dan bakteri memiliki temperatur optimum
untuk tumbuh dengan baik. Menurut Dwijoseputro (1994) berdasarkan batas
temperaturnya , bakteri dapat digolongkan menjadi:
1. Bakteri psikofilik (oligotermik) yaitu bakteri yang dapat hidup antara 0 oC-30oC,
temperature optimumnya 10oC-20oC.
2. Bakteri mesofilik (mesotermik) yaitu bakteri yang dapat hidup dengan baik antara
50 oC-60 oC, temperature optimumnya 25oC-40oC.
3. Bakteri termofilik (politermik) yaitu bakteri yang tumbuh baik sekali pada
temperature 55oC-60oC.
Dari hasil pengamatan yang diperoleh menunjukkan bahwa bakteri yang diuji
mampu hidup dengan rentang suhu 40oC-90oC karena pada suhu 90oC masih terdapat
koloni bakteri yang masih hidup sedangkan pada suhu 100 oC sudah tidak ada koloni
bakteri yang tampak atau mati, lalu petumbuhan bakteri uji yang optimum ada pada
rentang suhu 40oC-50oC dengan indikasi pertumbuhan koloni bakteri yang banyak.
Apabila dibandingkan dengan perlakuan kontrol jumlah koloni pada rentang suhu
40oC-50oC dengan perlakuan kontrol menunjukkan hasil yang sama, jadi dapat
dikatakan bahwa pada rentang suhu 40oC-50oC merupakan pertumbuhan bakteri yang
optimal. Dari hasil tersebut, bakteri yang telah diamati termasuk ke dalam jenis bakteri
mesofilik. Bakteri mesofilik ini hidup pada suhu sedang dengan rentangan antara 50oC-
60oC dan tumbuh optimum pada rentang 25oC-40oC (Dwijoseputro, 1994).
Karakteristik dari bakteri ditentukan oleh sifat biokimia dan fisiologisnya. Pada
bakteri mesofilik asam nukleat dan makromolekul seperti protein akan tetap aktif untuk
melakukan metabolisme apabila berada pada suhu yang sedang. Hal tersebut tidak
terelpas dari mekanisme kinerja enzim. Enzim apabila terkena suhu rendah maka enzim
tidak bekerja, sedangkan jika terkena suhu tinggi maka enzim akan rusak. Enzim
bekerja dengan baik pada suhu optimal. Aktivitas enzim juga akan meningkat dengan
meningkatnya suhu sampai mencapai suhu optimumnya, tetapi setelah melewati suhu
optimumnya aktivitas enzim akan menurun (Rudiger dkk., 1994). Pada suhu datas 90
o
C bakteri tepatnya 100 oC yang merupakan titik termal kematian bakteri atau
temperatur minimum yang dapat membunuh bakteri. bakteri tersebut tidak dapat
tumbuh atau mati dikarenakan metabolisme enzim yang terdenaturasi sehingga tidak
berkerja yang mengakibatkan kematian pada koloni bakteri. Pada suhu yang ekstrim
protein, asam nukleat, dan komponen-komponen sel lainnya mengalami kerusakan
yang permanen sehingga bakteri mengalami kematian (Brooks dkk., 2005). Sedangkan
rentang suhu 40oC-90oC bakteri masih bisa hidup dikarenakan metabolisme selnya
mampu untuk tetap bekerja salah satunya kinerja enzim, lalu pada rentang suhu 40oC-
50oC merupakan pertumbuhan optimal dari koloni bakteri karena suhu terebut
merupakan suhu optimum bagi metabolisme selnya.
Dari perlakuan dengan berbagai macam suhu terhadap bakteri, maka dapat
diketahui titik kematian thermal bakteri. Dengan demikian bakteri isolat memiliki titik
minimum, titik optimum, titik maksimum dan titik ekstrim maksimum. Namun, dalam
pengamatan pengaruh suhu terhadap pertumbuhan bakteri ini tidak dapat ditentukannya
titik minimum pertumbuhannya hal tersebut dikarenakan perlakuan suhu rendah tidah
dilakukan dari suhu 0 oC
Pertumbuhan Bakteri
4
Jumlah koloni
3
2
1
0
40 50 60 70 80 90 100
Temperatur (oC)
IX. Diskusi
1. Jelaskan pengaruh ketujuh macam suhu tersebut dalam percobaan ini terhadap
pertumbuhan bakteri!
Jawab: Pengaruh ketujuh suhu ini terlihat pada saat bakteri sudah di inokulasikan
pada medium lempeng NA. Pada suhu 40ºC-80ºC, bakteri masih bisa tubuh dengan
baik, akan tetapi pada suhu 90ºC pertubuhan bakteri mulai berkurang dan tidak
tumbuh pada suhu 100ºC. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu 100ºC merupakan
titik kematian termal. Dan pada saat suhu mencapai 100ºC bakteri tidak bisa tumbuh
lagi.
2. Suhu berapakah yang merupakan titik kematian termal bakteri-bakteri yang digunakan
dalam percobaan ini?
Jawab: Titik kematian termal bakteri-bakteri yang digunakan dalam percobaan ini
yakni pada suhu 1000C.
3. Jelaskan mekanisme kematian bakteri akibat perlakuan dengan suhu tinggi?
Jawab: Mekanisme kerusakan bakteri oleh suhu tinggi, Panas yang tinggi
menyebabkan perubahan fungsi senyawa-senyawa selluler yang menyebabkan
perubahan struktur protein, yaitu denaturasi protein. Selain itu juga akan menyebabkan
inaktivasi enzim sehingga akan mengganggu sistem metabolisme dalam sel bahkan
kematian sel tesebut akibat pemanasan. Kerusakan membran sel akan menyebabkan
pembebasan fraksi lipid membran sehingga membran sel akan kehilangan sifat
selektifnya dan kerusakan DNA. Temperatur yang tinggi yang melebihi temperatur
maksimaum akan menyebabkan denaturasi protein dan enzim yang mengakibatkan
terhentinya proses metabolisme mikrobia.
Inaktivasi bakteri oleh panas tidak dapat digambarkan dalam peristiwa
biokimia sederhana. Meskipun efek letal panas lembab suatu temperatur tertentu
biasanya dihubungkan dengan denaturasi dan koagulasi protein, pola kerusakan oleh
panas tersebut cukup kompleks, dan secara tidak diragukan koagulasi
menyembunyikan suatu perubahan kecil yang menginduksi sel sebelum koagulasi
menjadi nyata.
Peristiwa yang mematikan terutama produksi rantai-tunggal (terlepasnya
rantai) DNA. Hilangnya viabilitas (kelangsungan hidup) sel oleh panas sedang, dapat
dihubungkan dengan pelepasan rantai DNA tersebut. Kerusakan DNA terlihat bersifat
enzimatik, sebagai akibat dari aktivasi nuklease. Kemampuan sel untuk memperbaiki
kerusakan dan memperoleh viabilitasnya bergantung pada tempat fisiologik dan
susunan genetik organisme.
Panas juga dapat menghilangkan kekuatan fungsional membran, membocorkan
molekul kecil dan 260 nm pengabsorbsi materi. Materi tersebut berasal dari degradasi
ribosom oleh ribonuklease yang teraktivasi karena perlakuan panas. Dari keadaan
tersebut, dapat dilihat adanya hubungan antara degradasi RNA ribosomal dengan
hilangnya viabilitas sel karena temperatur tinggi.
Mekanisme kerusakan mikroorganisme oleh panas kering berbeda dengan
kerusakan oleh panas lembab. Efek letal panas kering, atau desikasi (pengawetan
melalui pengeringan) secara umum, biasanya karena denaturasi protein, kerusakan
oksidatif, dan efek toksik dari meningkatnya elektrolit. Dalam keadaan tidak ada air,
terjadi pengurangan sejumlah grup polar pada rantai peptida, dan banyak energi
dibutuhkan untuk melepaskan molekul tersebut.
X. Kesimpulan
Campbell, N.A., Reece, J.B., Mitchell, L.G. 2002. Biologi. Alih bahasa lestari, R. et al.
safitri, A., Simarmata, L., Hardani, H.W. (eds). Erlangga, Jakarta.
Rudiger, A, A Sunna, And G. Antranikian. 1994. Enzymes From Extreme Thermophilic And
Hyperthermophilic Archea And Bacteria Carbohydrases, Handbook Of Enzyme
Catalysis in Organic Synthesis. Weinhem: VCH Verlagsge sellsc hafft .
Suharni, T., T , dkk. 2008. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.