LAPORAN PRAKTIKUM
Disusun Oleh:
Kelompok 3/Offering I
1. Dea Audina (190342621264)
2. Dipta Septiya Rena Ningtiyas (190342621306)
3. Hanif Amirusdi Puteno (170342615586)
4. Luthfi Angely Pinandhita R. (190342621238)
5. Yulia Dewi Wulandari (190342621201)
No Tipe Bakteri Hasil Inokulasi Bakteri pada Medium NA Setelah Perlakuan Suhu
1 E.coli
2 S.aureus
Spesies
40 50 60 70 80 90 100 K
Bakteri
Keterangan:
+++ : pertumbuhan sangat banyak
++ : pertumbuhan banyak
+ : pertumbuhan sedikit
˗ : tidak ada pertumbuhan
H. Analisis Data
Pada praktikum pengaruh suhu terhadap pertumbuhan bakteri, dilakukan perlakuan
terhadap dua jenis koloni bakteri yaitu bakteri E. coli dan S. aureus. Bakteri pada koloni 1
dan 2 diberikan perlakuan berupa pemanasan pada suhu 40°C sampai dengan 100°C. Pada
bakteri 1 yaitu bakteri E. coli, diperoleh hasil bahwa bakteri mengalami pertumbuhan
paling banyak pada suhu 40-60°C (+++) dan bakteri tanpa kontrol, diikuti suhu 70°C
dengan pertumbuhan (++) lebih sedikit dari suhu 40-60°C dan pada suhu 80-90°C dengan
pertumbuhan (+) paling sedikit serta pada suhu 100 dan bakteri tanpa control bakteri E.
coli tidak mengalami pertumbuhan.
Pada bakteri 2 yaitu bakteri S. aureus, bakteri mengalami pertumbuhan paling
banyak pada suhu 40-50°C dan bakteri tanpa kontrol (+++), pertumbuhan sedang atau lebih
sedikit dari suhu sebelumnya yaitu pada suhu 60-70°C dengan tingkat pertumbuhan (++)
dan pertumbuhan bakteri paling sedikit terjadi pada suhu 80°C (+). Sedangkan pada suhu
90-100°C bakteri S. aureus tidak mengalami pertumbuhan. Berdasarkan hasil pengamatan
diatas bakteri E. coli dan S. aureus merupakan bakteri mesofilik yaitu bakteri yang tahan
terhadap suhu sedang. Pada bakteri E. coli digolongkan kedalam bakteri dengan tingkat
kematian termal pada suhu 90-100 °C sedangkan pada bakteri S. aureus mengalami tingkat
kematian termal pada suhu 80-90°C.
I. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh bahwa pertumbuhan bakter E. coli dan S.
aureus terhenti di antara rentan suhu 90℃ - 100℃ dan 80-90°C, pertumbuhan sangat
banyak terjadi pada rentan suhu 40℃ - 50℃, dan pertumbuhan mulai menurun pada suhu
60℃. Hal ini menunjukkan bahwa suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan sel. Menurut
Elias et al. (2014) suhu merupakan faktor fisik yang berpengaruh pada laju pertumbuhan
melalui pengaruhnya terhadap reaksi kimia dan stabilitas struktur molekul protein. Reaksi
kimia akan meningkat seiring meningkatnya suhu karena peningkatan suhu menyebabkan
peningkatan energi kinetik reaktan (Subagiyo, dkk., 2015). Peningkatan suhu akan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan hingga suatu saat peningkatan suhu tidak diikuti
dengan meningkatnya pertumbuhan. Hal ini berkaitan dengan pengaruh suhu terhadap
stabilitas konsformasi struktur protein enzim (Subagiyo, dkk., 2015). Selain itu, pada
proses metabolisme sel didukung oleh penyediaan nutrisi yang berasal dari luar sel. Proses
yang terkait antara uptake nutrient dengan suhu adalah bahwa molekul-molekul yang
berukuran besar harus dihidrolisis terlebih dahulu di luar sel (Subagiyo, dkk., 2015). Proses
ini dikatalisis oleh enzim ekstraseluler yang aktivitasnya dipengaruhi oleh suhu. Selain itu,
ada banyak protein membrane dan protein protein dinding sel yang berperan dalam proses
uptake nutrient yang secara fungsional dipengaruhi oleh suhu terutama terkait dengan
stabilitas strukturalnya. Selain itu, menurut Nedwell (1999) pengaruh suhu terhadap
uptake nutrient terjadi melalui mekanisme perubahan afinitas mikroorganisme terhadap
nutrient. Perubahan ini karena pengaruh perubahan suhu terhadap karakteristik lipid
penyusun membrane sel, terutama fluiditas membrane dan sistem energetika transport aktif
yang juga terdapat pada sistem membrane sehingga menyebabkan gangguan pada transpor
aktif.
Suhu sangat memengaruhi kecepatan mikroba, kecepatan sintesis enzim, dan
kecepatan inaktivasi enzim (Knob dan Carmona, 2008). Setiap mikroba memiliki suhu
optimum, maksimum, dan minimum untuk pertumbuhannya. Jika suhu lingkungan lebih
kecil dari suhu minimum atau lebih besar dari suhu maksimum pertumbuhannya, maka
aktivitas enzim akan terhenti bahkan pada suhu yang terlalu tinggi akan terjadi denaturasi
enzim (Sanchez-Peinado, et al., 2009). Isolate yang pertumbuhannya lambat dapat
disebabkan oleh faktor suhu yang diberikan terlalu kecil dari suhu minimum atau lebih
besar dari suhu maksimum pertumbuhannya. Menurut Sanchez-Peinado, et al. (2009).
pertumbuhan mikroba terjadi pada rentang suhu 30℃ (Suriani, dkk., 2013).
Staphylococcus aurens adalah bakteri Gram positif yang tidak memiliki kapsul dan
spora. Membrane selnya mengandung dua komponen utama, yaitu peptidoglikan dan asam
tekoat. S. aures bersifat anaerob fakultatif, tumbuh lebih cepat dan lebih banyak dalam
keadaan aerobic. Suhu optimumnya mencapai 35-40℃ panas (Hikmah, 2018). S. aerus
mudah tumbuh pada kebanyakan pembenihan bakteri dalam keadaan aerobik atau
mikroaerofilik. Bakteri ini tumbuh paling cepat pada suhu 37℃, tetapi membentuk pigmen
paling baik pada suhu kamar (20-25℃) panas (Hikmah, 2018). Sedangkan, bakteri E. coli
adalah bakteri Gram negatif, tidak memiliki kapsul dan spora. Bakteri ini bersifat anaerob
fakultatif, tumbuh dengan mudah pada medium nutrient sederhana. E. coli tumbuh pada
suhu antara 10-40℃ dengan suhu optimum 37℃. Bakteri ini sangat sensitif terhadap panas
(Hikmah, 2018). Kedua bakteri ini dapat digolongkan menjadi mikroorganisme mesofilik
karena dapat tumbuh dan hidup pada kisaran suhu 25-40℃ dan dengan kisaran suhu
optimum 25-37℃ (Black, 2005).
Bakteri dapat hidup di berbagai suhu, dari sangat dingin hingga sangat panas.
Mesofil adalah organisme yang tumbuh paling baik pada suhu sedang, tidak terlalu panas
maupun terlalu dingin. Organisme yang lebih menyukai lingkungan ekstrem dikenal
sebagai ekstremofil. Organisme yang lebih menyukai lingkungan dingin disebut psikrofilik,
organisme yang lebih menyukai suhu hangat disebut termofilik atau termotrof dan yang
berkembang di lingkungan yang sangat panas disebut hipertermofilik (Price & Tood, 2004).
Pada biomolekuler, dikenal adanya cold-shock domain (CSD) yang merupakan domain
protein dari sekitar 70 asam amino yang telah ditemukan dalam protein pengikat DNA
prokariotik dan eukariotik. Bagian dari domain ini sangat mirip dengan motif pengikat
RNP-1 RNA (Price & Tood, 2004). Ketika E. coli mengalami penurunan suhu dari 37℃
menjadi 10℃, empat hingga lima jam mengalami fase lag dan pertumbuhan dilanjutkan
dengan kecepatan yang berkurang (Price & Tood, 2004). Selama fase lag, diekspresikan
13 protein yang mengandung domain CSD meningkat dua hingga sepuluh kali lipat.
Protein CSD ini membantu sel bertahan pada suhu yang lebih rendah dari suhu
pertumbuhan optimal, berbeda dengan protein heat-shock yang membantu sel bertahan
pada suhu yang lebih tinggi dari suhu optimum pertumbuhan dengan cara kondensasi
kromosom dan pengorganisasian nucleoid prokariotik. Protein heat-shock pada E. coli
disebut δ32 (Price & Tood, 2004).
J. Kesimpulan
- Suhu merupakan faktor fisik yang berpengaruh pada laju pertumbuhan melalui
pengaruhnya terhadap reaksi kimia dan stabilitas struktur molekul protein. Suhu
memengaruhi stabilitas konsformasi struktur protein enzim. Perubahan ini karena
pengaruh perubahan suhu terhadap karakteristik lipid penyusun membrane sel,
terutama fluiditas membrane dan sistem energetika transport aktif yang juga terdapat
pada sistem membrane sehingga menyebabkan gangguan pada transpor aktif.
- Bakteri E. coli digolongkan kedalam bakteri dengan tingkat kematian termal pada suhu
90-100 °C sedangkan pada bakteri S. aureus mengalami tingkat kematian termal pada
suhu 80-90°C.
K. Diskusi
1. Jelaskan pengaruh ke tujuh macam suhu tersebut dalam percobaan ini terhadap
pertumbuhan bakteri?
Jawab: Dengan temperatur yang diuji pada bakteri dapat dilihat bagaimana pengaruh
terhadap pertumbuhan bakteri. Pada suhu 40°C sampai 60°Cmenandakan banyaknya
pertumbuhan bakteri E.coli .. sedangkan pada suhu 40°C- 50°C merupakan suhu optimal
di mana bakteri s. aureus banyak berkembang dan tumbuh. Menurut Elias et al., (2014),
temperatur merupakan faktor fisik yang berpengaruh pada laju pertumbuhan melalui
pengaruhnya diantaranya terhadap reaksi kimia dan stabilitas struktur molekul protein.
Bakteri mempunyai temperatur optimum, maksimum, dan minimum untuk
pertumbuhannya. Jika temperatur lingkungan lebih kecil dari suhu minimum dan lebih
besar dari suhu maksimum pertumbuhannya maka aktivitas enzim akan terhenti bahkan
pada temperatur yang terlalu tinggi (Knop A., 2008).
2. Suhu berapakah yang merupakan titik kematian termal bakteri-bakteri yang digunakan
dalam percobaan ini?
Jawab: Titik kematian termal bakteri Escherichia coli adalah 100°C. Dapat dilihat pada
tabel hasil pengamatan pertumbuhan pada suhu 100°C sudah tidak ada lagi bakteri yang
tumbuh membentuk koloni. Sedangkan pada titik kematian termal bakteri S. aureus adalah
90°C . Dapat dilihat juga pada tabel hasil pengamatan pertumbuhan bakteri S. aureus pada
suhu 90°C sudah tidak ada lagi bakteri yang tumbuh membentuk koloni.
Dapat dilihat bahwa pada suhu 90°C bakteri S.aurrus tidak mampu mengalami
pertumbuhan sama sekali sedangkan pada suhu yang sama bakteri Escherichia colli masih
dapat tumbuh.
3. Jelaskan mekanisme kematian bakteri akibat perlakuan dengan suhu tinggi!
Jawab: Pada saat pada saat bakteri berada di dalam lingkungan dengan suhu yang tinggi
bakteri akan membentuk spora dan melepaskannya. Spora cenderung memiliki ketahanan
terhadap panas. Untuk membunuh spora tersebut dibutuhkan sterilisasi dengan suhu yang
tinggi selama waktu tertentu. Biasanya suhu untuk membunuh spora mikroba patogen yang
dapat membentuk toksin dan dapat meracuni manusia dilakukan pada 110 sampai 130
derajat Celcius. Semakin tinggi suhu maka akan semakin pendek waktu yang diperlukan
untuk dapat membunuh mikroba tersebut.
L. Daftar Pustaka
Black and Hawks. 2005. Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive
Outcomes (Ed. 7). Missouri: Elsevier Saunder.
Elias, M., G. dkk. 2014. The Universality of Enzymatic Rate Temperature Dependency. Trends
Biochem, Sci, 39. DOI: https://dx.doi.org/10.1016/j.tibs.2013.11.001.
Hikmah, Jazilatul. 2018. Pengaruh pH dan Suhu terhadap Aktivitas Antibakteri Bekatul
Terfermentasi oleh Rhizopus oryzae. Skripsi. Jurusan Kimia. Fakultas Sains dan
Teknologi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.
Knob, A & Carmona, E. C. 2008. Xylanase Production by Penicillium sclerotiorum and Its
Characterization. World Appllied Sciences Journal, 4(2): 277-283.
Madigan, T.M., Martinko, J.M., Stahl, D.A., & Clark, D.P. 2012. Brock Biology of
Microorganisms. San Francisco: Pearson Education, Inc
Nedwell, D. B. 1999. Effect of Low Temperature on Microbial Growth: Lowered Affinity fos
Substrates Limits Growth at Low Temperature. DOI: http://dx.doi.org/10.1111/j.1574-
6941.1999.tb00639.101-111.
Price, P. Buford & Todd Sowers. 2004. Temperature Dependence of Metabolic Rates for
Microbial Growth, Maintenance, and Survival. Journal Microbiology, 101(13): 4631-
4636. DOI: 10.1073/pnas.0400522101.
Rifai, M.R., Widowati, H., Sutanto, A. 2020. Uji Sinergis Konsorsia Bakteri Indigen Lcn
Berkonsorsia Bakteri Tanah di Kebun Percobaan Universitas Muhammadiyah Metro
untuk Penyusunan Panduan Praktikum Mikrobiologi. Biolova, 1(2): 87-95.
Subagiyo, dkk. 2015. Pengaruh pH, Suhu, dan Salinitas terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Asam Organik Bakteri Asam Laktat yang Diisolasi dari Intestinum Udang Penaeid.
Jurnal Ilmu Kelautan, 20(4): 187-194.
Suriani, Sanita, dkk. 2013. Pengaruh Suhu dan pH terhadap Laju Pertumbuhan Lima Isolat
Bakteri Anggota Genus Pseudomonas yang diisolasi dari Ekosistem Sungai Tercemar
Deterjen di Sekitar Kampus Universitas Brawijaya. J-PAL, 3(2).
Suharni, T.T., Nastiti, S.J., Soetarto, A.E.S. 2008. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya.
Suriani, A. 2013. Pengaruh Suhu dan pH Terhadap Laju Pertumbuhan Lima Isolat Bakteri
Anggota Genus Pseudomonas yang Diisolasi dari Ekosistem Sungai Tercemar Deterjen
Di Sekitar Kampus Universitas Brawijaya. J-PAL. 3(2): 2087-3522
Winarwi. 2006. Uji Viabilitas Bakteri dan Aktivitas Enzim Bakteri Proteolitik pada Media
Carrier Bekatul. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.