Oleh :
Poppy patilaya, S.Si.
Dirangkum oleh :
Imam Bagus Sumantri, S.Farm., Tuan Riaanto Romeo, S.Si., Junaidi halim, S.Si.
I. Identitas Pasien
Nama : T.S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Binjai
No.Rek.Medik : 135874
Status Pasien : Kartu Sehat
IV. Diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium untuk faal hati, faal ginjal,
urinalisa dan foto maka didiagnosa pasien menderita gagal jantung kongestif
disebabkan kelairan katub mitral yaitu mitral stenosis dan mitral insufisiensi disertai
dengan pembesaran hati (hepatomegali).
KASUS
Seorang pasien (Ny.I) umur 43 tahun dengan berat badan 44 kg masuk 6 Mei 2003
melalui IGD rumah sakit dalam keadaan koma, sesak nafas, wajah sembab dan
tungkai bengkak, kemudian dirawat dibagian neurology dan dipindahkan kebagian
interna pada tanggal 7 Mei 2003.
- Anamnase
Koma, DM tipe II (+), Hipertensi (+)
- Pemeriksaan Fisik
Nadi 140 x/mnt, Pernapasan 37 x/mnt, suhu 38,3ºC, TD 150/100 mmHg
Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Hasil Lab. Patologi Klinik Sub Bagian Kimia Klinik
Pemeriksaan Unit 7/5 9/5 11/5 13/5 14/5 16/5 20/5 Normal
Faal Hati
-Bilirubin total mg/dl 0,6 <1
-Bilirubin direk mg/dl 0,3 < 0,25
-Alkalin fospat U/I 217,9 60 - 170
-SGOT U/I 24 2 - 18
-SGPT U/I 38 < 22
Metabolisme lemak
-Total kolesterol mg/dl 136 160 - 260
-Trigliserida mg/dl 306 60 - 160
-HDL kolesterol mg/dl 34 < 55
-LDL kolesterol mg/dl 41 < 150
DIAGNOSA
Setelah dokter melakukan Pemeriksaan Fisik diasnostik, diperoleh data tanggal 7 Mei
2003
- Keadaan umum
Sensorium Koma, TD 150/100 mmHg, Nadi 104X/mnt, Pernapasan 37X/mnt,
Temperatur 38,3ºC
- KeadaanPenyakit
Refleks Fisiologis (+), Refleks Patologis Bobunsky (+), Chaddock (+), Udem (+),
Turgor kulit baik Dipshu (+).
Berdasarkan hasil pemeriksaan maka pasien di diagnosa menderita koma uremicum
yang disebabkan oleh gagal ginjal kronis yang disebabkan oleh Nepropati diabetik,
TERAPI
Terapi yang dilakukan dengan diet, Pemberian injeksi insulin, Pemberian obat-obat
Hipertensi, melakukan Hemodialisa, Pemberian gas O2 dan infus NaCl.
TINJAUAN UMUM
Diabetes Melitus
Berdasarkan Patofisiologinya diabetes melitus yang diderita pasien adalah DM tipe
II.
Pada tipe ini kelainan terletak pada :
1. Sekresi insulin oleh Pankreas yang cukup, tapi terjadi keterlambatan sehingga
glukosa sudah di absorbsi masuk ke darah tetapi insulin belum memadai
2. Jumlah reseptor jaringan kurang memadai
3. Jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin tidak
efektif
4. Terdapat kelainan di Pasca reseptor sehinga glikosis intraselluler terganggu.
Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah arteri melemah normal
yaitu sistole > 140 mmHg dan diastole > 90 mmHg
Gejala Klinis
Gejala hipertensi dapat berbeda untuk setiap orang. Kadang tanpa gejala, dan
gejala baru timbul setelah terjadi komplikasi pada target organ seperti pada ginjal,
mata dan jantung. Gejala seperti sakit kepala, pusing, marah, mimisan, sukar tidur
dan rasa mudah lelah sering ditemukan sebagai gejala klinis.
PEMBAHASAN
1.Pemberian injeksi ceftriaxone tidak rasional
Karena ceftriaxone bersifat nefrotoksik, sedangkan pasien menderita gagal ginjal
kronis. Lagi pula tidak dilakukan uji kultur terhadap kuman.
Oleh karena itu Ceftriaxone diganti dengan Amoxicillin, dengan dosis disesuaikan
dengan pasien penderita gangguan ginjal.
Sebaiknya dilakukan uji kultur untuk mengetahui jenis mikrobanya sehingga
dapat dipilih antibiotik yang tepat untuk diberikan kepada pasien.
2.Pemberian Amlodipin dan Adalat – OROS tidak rasional
Karena untuk pasien DM tipe 2 yang menderita hipertensi seharusnya diberikan
obat anti –hipertensi dari golongan penghambat ACE seperti Captopril. Dan
penggunaan obat hipertensi ini sebaiknya dikombinasi dengan diuretik dari mulai
awal pemberian untuk mengatasi retensi urin. (Obat-obat penting halaman 513).
Sedangkan Amlodipin dan Adalat – OROS merupakan obat hipertensi dari
golongan antagonisca.
3. Pemberian Lasix sebagai diuretic tidak rasional
Sebab Lasix adalah diuretic yang boros kalium, sedangkan pada pasien juga tidak
diberikan KSR untuk mengatasi kekurangan kalium.
Sebaiknya diuretic yang diberikan adalah Spironolakton yang tidak boros kalium.
4. Allupurinol
Pemberian Allupurinol untuk menurunkan kadar asam urat, namun dosis yang
diambil harus yang paling rendah yaitu 100 – 200 mg sehari, harus dilakukan
pemeriksaan kreatinin clearance dan BUN, penyesuaian dosis harus dilakukan
untuk pasien gangguan ginjal.
5. Infus NaCl 0,9%
Berdasarkan uji laboratorium kandungan elektrolit pasien dibawah normal
pemberian infus NaCl dimaksudkan untuk mengatur keseimbangan elektrolit
dalam tubuh. Tapi harus disertai pemeriksaan tekanan darah setiap hari.
6. Infus Na bicarbonat
Diberikan pada tanggal 7 dan 8 Mei (awal masuk) karena kadar bicarbonat darah
jauh di bawah normal (rendah) setelah itu infus dihentikan.
7. Infus NaCl 3%
Diberikan karena kadar Natrium pasien pada tanggal 16 Mei sangat rendah.
Infus NaCl 3% hanya diberikan 1 hari.
8. Pemberian paracetamol rasional
Hanya diberikan 1 hari untuk menurunkan panas tubuh pasien.
9. Injeksi regular Insulin sudah rasional
Injeksi ini untuk menormalkan kadar gula darah, pemberian ini rasional.
Rekomendasi
1. Untuk pasien Diabetes seharusnya pemeriksaan kadar gula darah minimal 4X
sehari. ( Obat-obat Penting, halaman 699)
2. Efek samping Allupurinol yang paling sering terjadi adalah ruam kulit,
hentikan penggunaan Allupurinal jika terjadi ruam kulit.
3. Sebelum pemberian antibiotik untuk mengobati infeksi, lakukan dahulu uji
kultur dan kepekaan terhadap kuman.
4. Sebaiknya pemeriksaan tekanan darah dan kadar kreatinin ginjal dilakukan
tiap hari.
Lampiran II
Perhitungan Kadar Obat dalam plasma:
Amoksisilin
Diket: t½ = 1 – 2 jam
Vd = 0,3 L/kg
RT = 3 μg/ml
- K = 0,693 = 0,346 jam‾¹
2 jam
- Vd = 0,3 L/kg. BB
= 0,3 L X 44 kg
= 13,2 L
- cl = k X Vd
= 0,346 jamֿ¹ X 13,2 L
= 4,56 L/jam
- MD = Cl X Css`
= 4,56 L/jam X 3 mg/L
= 13,68 mg/jam
∑ = T =6 =3
t½ 2
1
Css max = FD
Vd (1 – (½)Є)
1
= 1.82.08 mg
13,2L (1 – (½)Є)
= 82.08mg
11.55 L
= 7,106 mg/L
= 131,147mg
Tabel pemberian Obat Terlampir Pada Lampiran I, Halaman 2.
1. Identitas Pasien
Nama : NF
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 1 tahun 5 bulan
Berat Badan : 3.2 kg
Panjang Badan : 62 cm
Agama : Islam
Suku : Padang
Alamat : Jln.Karya Jaya
No.Rek.Medik : 27 8239
Status Pasien : Umum
b. Status Localisata
Kepala : Ubun-ubun besar cekung
Mata : Refleks cahaya +/+, pupil isokher kanan =kiri
Old man face (+)
Leher : Pembengkakan kelenjar getah bening (-), kaku
Kaku kuduk (+)
Dada : Simetris Fusiformis
Abdomen : Sopel
Anggota gerak : Pols 110 kali/menit, lemak subkutum sangat
kurang, otot hipotrofil
Elektrolit darah
Natrium 166 mEq/L 139-146
Kalium 4,80 mEq/L 4,1-5,3
Klorida 86 mEq/L 95-110
Analisa Gas Darah
Ph 7,37 mm Hg 7,35-7,45
PCO2 45 mm Hg 38-42
PO2 63 mm Hg 85-100
Bikarbonat 25,6 mm Hg 22-26
Total CO2 27,0 mm Hg 19-25
Base Excess 0,2 mm Hg -2 - +2
Saturai O2 91 mm Hg 95-100
Betabolisme 98 Mm / dl ≤ 200
Karbohidrat
3. Riwayat Penyakit
Pasien mengalami sesak nafas dan nafas berbunyi sejak berusia sejak berusia 4
bulan, pasien sering batuk tidak berdahak sejak usia 4 bulan dan berat badan terus
menurun.
4. Diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan
a. Pasien didiagnosa menderita laringomalasia yang ditandai dengan
pernafasan bersisik (stridor inspirasi) terutama pada saat
pasien terlentang, menangis dan makan.
b. Berdasarkan penilaian status gizi melalui pemeriksaan antropometri.
- BB pasien 3,2 kg (<60 % BB anak sehat yaitu 12 kg)
- Indeks masa tubuh 8,32 (nilai standar <20 – under wight)
- Lemak subkutum yang sangat kurang
- Karakteristik old man face
Maka pasien didiagnosa menderita gizi buruk tipe marasmus.
5. Terapi
Terapi yang diberikan untuk menangani keadaan laringomalasia dan gizi buruk
yang dialami pasien
6. Tinjauan Umum
Laringomalasia dan gizi buruk
Laringomalasia atau stridor laring kongenital merupakan penyebab paling
banyak pernapasan bersisik pada bayi. Laringomalasia adalah kelainan bawaan yang
muncul setelah bayi lahir. Selama pembentukan fetus, struktur laring tidak terbentuk
sempurna, akibatnya terjadi kelemahan pada laring saat bayi dilahirkan, sehingga
bayi mengalami kolaps pada saat bernafas.
Laringomalasia terjadi pada minggu pertama atau kedua setelah lahir dan
cenderung memburuk sampai usia 3 dan 6 bulan. Biasanya tidak ada perubahan
antara usia 6 sampai 12 bulan. Setelah itu mereda perlahan-lahan dengan
bertambahnya usia pasien dan hilang saat mencapai 18 sampai 24 bulan. Dalam
kasus tertentu laringomalasia terjadi sampai anak usia 5 tahun. Hanya sekitar 10%
dari penderita laringomalasia yang membutuhkan pengobatan dan atau pembedahan.
Proses metabolisme anak pada dasarnya sama, akan tetapi relatif lebih aktif
dibandingkan dengan orang dewasa. Pertumbuhan berkurang atau terhenti, berat
badan <60% berat badan anak normal, anak masih menangis walaupun telah
mendapat minum atau disusui, sering bangun pada waktu malam, konstipusi atau
diare. Bila anak menderita diare maka akan terlihat berupa bercak hijau tua yang
terdiri dari lendir dan sedikit tinja. Jaringan lemak dibawah kulit akan menghilang,
sehingga kulit kehilangan turgornya dan keriput. Pada keadaan yang berat, lemak
pipi pun menghilang sehingga wajah bayi/ anak seperti wajah seorang tua (old man
face). Vena superfisial tampak lebih jelas, ubun-ubun cekung, tulang pipi dan dagu
kelihatan menonjol, mata tampak besar dan dalam. Ujung tangan dan jari terasa
dingin dan terjadi sianosis, perut membuncit atau cekung dengan gambaran usus
yang jelas.
Pemeriksaan laboratoriun
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan pada penilaian status gizi pasien
antara lain:
1. Kadar gula darah : Hipoglikemia terjadi bila kadar gula <3 mmol/1
2. Kultur Darah
3. Kadar Hemoglobin : Anemia parah terjadi bila Hb <40 g/1
4. Pemeriksaan urin dan kultur, kadar leukosit yang tinggi menunjukkan adanya
infeksi
5. Pemeriksaan kadar albumin
6. Pemeriksaan kadar elektrolit darah
7. Bila perlu dilakukan tes TBC, khusus bila anak belum mendapat vaksin BCG
Cl = k x Vd
= 1,12 L x 0,462 jam-1
=0,51744L/jam
Dari soal amoxicilin diberikan secara oral maka k= 0,8
ClxCss
D/t =
F
0,51744L / jamx2mg / L
= 0,8
= 1,2936 mg/jam
Interval pemberian
C max
t1/2 = 1,44 x t1/2 x ln
C min
3
= 1,44 x 1,5 jam-1 x ln
1
=1,44 x 1,5 jam-1 x 1,081
= 2,373 jam 4 x 1 hari
Dari soal amoxicillin 3 x 1hari = 8 jam x 1 hari
Dari Literatur 100 mg /ml
Dosis = 0,4 ml
D = 0,4 ml x 100 mg/ml
= 40mg
int erval
C = t1 / 2
8
= 1,5 = 5,38
1
Css max = F D
V 1 (1 / 2) c
1
= 0,8 x 40 mg
1,12 1 (1 / 2) 5, 33
32 mg .1
=
1,12(1 0,024)
32 mg 32mg
= = 1,092 = 29,99 mg/L
1,12(0,975)
= 29,29 g/ml
Css min = (1/2) c Css max
= 0,024 x 29,29 g/ml
= 0,702 g/ml
Rage terapi = 0,702g/ml – 29,29 mg/ml
= -28,5888 g
AMPISILIN
Dik. t1/2 = 1,3 ± 0,2 jam D = 200 mg/ 8jam
= 1,5 jam
V = 0,3 L/kg BB
BB = 3,2 kg
Range terapi = 7 – 10 mg/ml
X =1 ( IV )
7 10
Css = = 8,5 g/ml
2
V.d = V x BB
= 0,3 L/kg x 32 kg
= 0,196 L
0,693 0.693
k = 1 1,5 = 0,462 jam-1
t
2
cl = Vd x k
= 0,96L x 0,462 jam -1
= 0,44352 L/jam
cl x css
Dosis rate (D/t) =
F
0,44352 L x 8,5 g / ml
= jam
1
= 3,76992 mg/jam
c max
t max = 1,44 x t½ x ln c min
10 g / ml
= 1,44 x 1,5 jam x m 7 g / ml
10
= 1,44 x 1,5 jam x ln
7
= 0,77 jam 6 jam
Dari hasil yang diperoleh interval pemberian tiap 6 jam ini tidak rasional
karena akan terjadi emboli pada tempat penyuntikan oleh karena itu dipilih dosis yang
tepat.
Misalnya : t = 8 jam
D
Dosis regumen = xt
t
= 30,15936 mg
8 jam
c = t/t½ = 1,5 jam = 5,33 jam
1
Css max =FxDx
Vd 1 1
c
2
1
= 1 x 200 mg x
0,96 1 1
2
5, 33
1
= 200 mg x 0,96 1 0,0240
1 1
= 200 mg x 0,96 L 0,975 L = 200 mg x 0,936 L
12 c
v 1 1
Css min =FxDx c
2
2
1
5, 33
0,96 L 1 1
= 1 x 200 mg x
5, 33
2
0,0248
= 200 mg x 0,96 L 0,975
Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi pada tahap awal, leukosit berada
dalam batas normal maka kemungkinan pasien tidak mengalami infeksi,
sehingga pemberian antibiotik yang terlalu lama tidak dianjurkan.
2. Pada akhir pengamatan, pasien belum mengalami perbaikan gizi atau
peningkatan berat badan yang berarti pengaturan diet langsung perlu
diperhatikan kembali dan dilakukan pemeriksaan adanya malabsosi pada
pasien.
Saran
1. Dari data leukosit tidak ditemukan adanya infeksi pada pasien sehingga
penggunaan antibiotik dapat dihentikan karena pemberian antibiotik secara
berkepanjangan dapat mengakibatkan resistensi.
Dalam kasus ini kami menyarankan agar pemberian semua antibiotik
dihentikan,pasien perlu perhatihan dalam pengaturan gizi sehingga asupan gizi
dapat maximal dan pasien dapat sembuh.
2. Penggunaan vitamin Zamel dan San-B-plek kurang rasional karena terlalu
berlebih sebaiknya gunakan salah satunya saja,San-B- plek saja atau zamel
saja.efeksampingnya kerusakan hati.
3. Pemberian antibiotik yang lama dapat mengakibatkan resistensi.Oleh karena
itu pemakaian dapat dihentikan bila telah diperiksa kadar leukositnya.Dari
data didapat kadar leukosit normal (=7,3) olehkarena itu pemakain antibiotik
dapat dfihentikan.Ini dapat dimusyawarahkan dengan dokter yang
bertanggung jawab.
4. Karena pasien mengalami laringomalasi yang sudah dialami cukup lama, ini
mungkin karena pertumbuhan laringolamalasi yang tidak normal maka kami
merekomendasikan agar pasien dioperasi
5. Dalam memonitor keadaan nutrisi dari pasien maka perlu diadakan
pemeriksaan :
1. albumin
2. pemeriksaan elektrolit darah
3. pemeriksaan lukosit lanjutan selama terapi
4. pemeriksaan fisik pasien secara berkala
5. melakukan kultur dan kepekaan kuman untuk menentukan sensitivitas
terhadap antibiotik dan jenis dari bakteri tersebut.
MASTO I DITI S
(Otitis Media Supuratif Kronik)
DEWI ABSARI ( 053202062 )
NINA IRMAYANTI HRP ( 053202080 )
TINCE ROSALINA P ( 053202090 )
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : TU
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 17 Tahun
Berat Badan : 53 Kg
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Tirto Sari No. 83 Medan
SGOT 17 0 - 40 U/L
SGPT 12 0 – 40 U/L
76 64 – 306 U/L
Alkali Phospate
2. Fungsi Ginjal
Ureum 14 10 – 50 mg/dl
Creatinin 0,70 0,6 – 1,20 mg/dl
Hasil laboratorium menunjukkan tidak ada kelainan pada fungsi hati dan ginjal.
III.RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGGUNAAN OBAT TERDAHULU
Pasien merasakan nyeri pada telinga kanan sejak 3 (tiga) bulan terakhir.
Telinga mengeluarkan cairan yang hilang timbul dan terkadang menimbulkan demam.
Akibat hal tersebut aktivitas pasien sebagai pelajar terganggu karena fungsi
pendengarannya. Setahun yang lalu pasien mengalami hal yang sama dan
menggunakan obat tetes telinga, gejala tersebut hilang. Namun sejak 3 (tiga) bulan
terakhir gejala tersebut kambuh lagi.
IV. DIAGNOSIS
Berdasarkan keluhan pasien dan pemeriksaan fisik pada telinga kanan, maka
pasien didiagnosa menderita mastoiditis atau Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK).
V. TERAPI
Setelah dilakukan pemeriksaan maka dilakukan tindakan operasi yaitu
Simple Mastoidectomy yang bertujuan membersihkan telinga yang terinfeksi dari
jaringan patologik sehingga telinga tidak lagi berair. Selain itu pasien juga diterapi
dengan obat-obatan seperti dalam tabel berikut :
Pembahasan :
Pada tanggal 19 september 2005 pasien memeriksakan penyakitnya ke
Poliklinik RS Dr. Pringadi Medan bagian THT dengan keluhan telinga kanan nyeri
dan berair selama tiga bula terkhir. Pasien didiagnosa menderita penyakit Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) sehingga dianjurkan untuk dilakukan tindakan operasi
mastoidektomi. Pada hari itu juga pasien dirujuk ke rawat inap dan dilakukan operasi.
Pasien dipuasakan dan diberi infuse Ringer laktat yang merupakan larutan yang
mengandung ion – ion yang dibutuhkan tubuh dan digunakan sebagai pengganti
cairan tubuh.
Pada tanggal 19-25 September 2005 pasien diberikan ampisilin ampul secara
intra vena dengan dosis 1 g/6 jam, dengan pemberian dosis tersebut secara teori
farmakokinetik konsentrasi maksimum ampisilin pada pasien sebesar 87,49 mcg/ml
dan konsentrasi minimumnya 5,46 mcg/ml. Konsentrasi efektif ampisilin adalah 3
mcg/ml plasma sehingga pemberian ampisilin ampul dengan dosis 1 g/6 jam perlu
ditinjau kembali. Pada terapi OMSK penggunaan antibiotik sangat diperlukan karena
penyakit infeksi. Namun penggunaan antibiotik sebaiknya dipilih secara selektif
berdasarkan hasil uji kultur terhadap secret cairan telinga sehingga diketahui jenis
bakteri penginfeksi. Uji sensitivitas bakteri terhadap antibiotik juga perlu dilakukan.
Ampisilin merupakan antiboitika golongan penisilin yang bersifat bakterisid terhadap
bakteri gram positif dan beberapa gram negatif. Obat ini banyak digunakan untuk
mengatasi infeksi pernafasan, telinga, saluran cerna dan saluran kemih. Mekanisme
kerja antibiotik ini berdasarkan penghambatannya pada pembentukan dinding sel
bakteri. Pada hari yang sama juga diberikan forgesic ampul secara intra vena dengan
dosis 100 mg/6 jam.Forgesic ampul mengandung tramadol yang merupakan analgetik
opiat tetapi tidak bersifat adiktif. Senyawa ini banyak digunakan untuk mengatasi rasa
nyeri yang luar biasa. Mekanisme kerjanya secara sentral menduduki reseptor nyeri
disusunan saraf pusat (Rahrjdja & Tjay,2002).
Pada tanggal 19-25 september 2005 juga diberikan Ditranex ampul secara
intra vena dengan dosis 500 mg/8 jam. Ditranex ampul mengandung asam
traneksamat yang merupakan antifibrinolitik untuk mencegah degradasi fibrin.
Mekanisme kerjanya berdasarkan kemampuan menghambat konversi plasminogen
menjadi plasmin, plasmin merupakan enzim yang dapat melarutkan fibrin sehingga
mencegah terjadinya pendarahan. Ditranex ampul diberikan betujuan untuk mencegah
terjadinya pendarahan yang berlebihan pada saat operasi dan mempercepat proses
penyembuhan luka bekas operasi.
Pada tanggal 20 september dilakukan operasi Simple Mastoidectomi, yaitu
operasi mastoidektomi sederhana pada liang telinga yang bertujuan membersihkan
telinga bagian tengah dari jaringan patologik sebagai sumber infeksi agar infeksi tidak
menyebar kebagian yang lain.
Pada tanggal 20-25 September 2005 pasien diberikan kombinasi antibiotik
ampisilin dan gentamisin. Gentamisin diberikan secara intra vena dengan dosis 80mg/
8 jam. Gentasimin merupakan turunan aminoglikosida yang bersifat bakterisid
terhadap bakteri gram negativ dan beberapa bakteri gram positip. Mekanisme
kerjanya berdasarkan kemampuan penetrasinya ke dinding sel bakteri dan mengikat
dirinya pada ribosom didalam sel sehingga mengganggu proses biosintesa protein
bakteri. Pemberian injeksi gentamisin 80 mg/8 jam secara teori farmakokinetik
menghasilkan konsentrasi maksimum 7,32 mcg/ml dan konsentrasi minimum 0,46
mcg/ml. Range terapi gentamisin adalah 1-10 mcg/ml plasma maka pemberian
gentasimin 80 mg/6 ml jam perlu ditinjau kembali. Kombinasi antibiotik golongan
penisilin dan aminoglikosida oleh beberapa pendapat dinyatakan besifat sinergis, hal
ini dikarenakan ampisilin bekerja menghambat pembentukan dinding sel bakteri
sehingga mempermudah penetrasi gentamisin kedalam sel bakteri dan menghambat
biosintesa protein bakteri. Namun pendapat lain menyatakan kombinasi ampisilin dan
gentasimin akan menghasilkan suatu kompleks yang menginaktivasi gentamisin
sehingga menurunkan kadar gentamisin dalam darah. Oleh karena itu masih perlu
diklarifikasi melalui serangkaian penelitian dengan melakukan uji kultur dan uji
sensitivitas (William, 1987).
Pada tanggal 20-23 dan 26-27 September 2005 diberikan injeksi
deksametason 0,5 mg/6 jam. Dektametason merupakan analgetika steroid yang
memiliki daya anti radang kuat. Mekanisme kerjanya berdasarkan daya hambat pada
enzim fosfolipase sehingga merintangi sintesa prostaglandin dan leukotrien.
Pemberian deksametason ditujukan untuk menghentikan peradangan yang diakibatkan
oleh infeksi bekteri pada telinga pasien (Raharjdja & Tjay, 2002).
Pada tanggal 26-28 September 2005 diberikan tablet ciprofloksasin dengan
dosis 2x500 mg/hari. Ciprofloksasin merupakan senyawa kuinolon yang bersifat
bakterisid berdasarkan kemampuan inhibisinya terhadap enzim pembentukan DNA
bakteri. Ciprofloksasin aktif membunuh bakteri seperti Pseudomonas, Streptococcus,
Sthaphylococcus dan beberapa gram bakteri negativ. Seyogyanya dilakukan uji
kepekaan kuman sehingga diketahui dengan jelas antibiotik yang paling tepat untuk
terapi pasien, disamping meniadakan efek toksik serta meminimalkan efek samping
obat juga akan menekan biaya pengobatan pasien (Rahardjdja & Tjay, 2002).
Pada tanggal 26-28 September 2005 pasien mengeluh adanya gangguan
saluran cerna berupa rasa mual dan buang air besar yang encer sehngga pasien
diberikan metronidazol 2x500mg/hari. Metrinidazol merupakan senyawa nitrimedazol
yang memiliki sifat antiprotozoa. Obat ini juga berkhasiat kuat terhadap antiamoeba.
Pasien juga diberikan CTM tablet dengan dosis 3x4 mg/hari sebagai antihistamin,
karena gangguan saluran cerna dimungkinkan oleh adanya reaksi alergi terhadap
penggunaan obat sebelumnya. Pada tanggal 26-27 September 2005 pasien diberikan
asam mefenamat dengan dosis 3x500 mg/hari. Asam mefenamat merupakan turunan
antranilat yang berkhasiat sebagai analgetik, antipiretik serta antiradang.
Mekanismenya berdasarkan penghambatannya pada enzim siklooksigenase dalam
pembentukan prostaglandin. Pemberian asam mefenamat ditujukan untuk meredakan
rasa sakit dan mempercepat penyembuhan peradangan pasca operasi (Raharjdja &
Tjay, 2002).
1. Gentamicin
Dik : t½ = 2 jam
V = 0,2 L / kg BB
BB = 53 Kg
Range terapi = 2 – 8 mcg / ml
Css = 5 mcg / ml
Dosis = 80 mcg/ml
T = 8 jam
F = 1 infus atau i.v
Jawab :
1. Vd = V x BB
= 0,2 L/Kg x 53 Kg
=10,6 L
0,693 0,693
2. K = t1 / 2 2 jam 0,3465 jam -1
3. Cl = Vd x K
= 10,6 L x 0,3465 jam -1
= 3,6729 L/jam
ClxCss
4. Dosing rate =
F
3,6729 L / jamx5mcg / ml
=
1
3,6729L / jamx5mg / l
=
1
= 18,3645 mg/jam
C max
5. T = 1,44 x t½ x ln
C min
10
= 1,44 x 2 jam x ln
1
= 6,63 jam ~ 6 jam
D
6. Dosing Regimen = xT
T
= 18,3645 mg/jam x 6 jam
= 110,187 mg
T 8 jam
7. e = = 2 jam 4 daridata
t1 / 2
1
8. Css max = F x D x
Vd 1 1 / 2
e
1
= 1 x 80 mg x
10,6 L 1 1 / 2
4
80mg
= 9,9375 L
Jadi : Range terapi dari data = 0,5 – 8,05 mcg/ml dibulatkan menjadi 1 – 8 mcg/ml
Kesimpulan : Range terapi tidak tercapai dengan pemberian dosisi 80 mcg/8 jam.
Oleh sebab itu disarankan pemberian obat secara infuse interval
pemberiannya diperkecil.
Missal : diambil T = 6 jam
Maka :
T 6 jam
1. e = t1 / 2 2 jam 3
1
2. Css max = F x D x
Vd 1 1 / 2
e
1
= 1 x 80 mg x
10,6 L 1 1 / 2
3
= 8,6 mcg/ml
3. Css min = Css max (1/2) e
= 8,6 mcg/ml (1/2)3
= 1,075 mcg/ml
Jadi range terapi dengan dosis 80 mcg/6 jam adalah : 1,075 – 8,6 mcg/ml,
dibulatkan menjadi 1 – 9 mcg/ml.
Kesimpulan : Range terapi tidak tercapai.
2. Ampisilin
Dik : t½ = 1,5 jam
V = 0,3 L / kg BB
BB = 53 Kg
Range terapi = 7 – 10 mcg / ml
10 7
Css = 8,5 mcg / ml
2
Dosis pemberian = 1 gr/6jam
Jawab :
1. Vd = V x BB
= 0,3 L/Kg x 53 Kg
=15,9 L
0,693 0,693 1
2. K = t1 / 2 1,5 jam 0,462 jam
3. Cl = Vd x K
= 15,9 L x 0,462 jam -1
= 7,3458 L/jam
ClxCss
4. Dosing rate =
F
7,3458L / jamx8,5mcg / ml
=
1
7,3458L / jamx8,5mg / l
=
1
= 62,4393 mg/jam
C max
5. T = 1,44 x t½ x ln
C min
10
= 1,44 x 1,5 jam x ln
7
= 0,77 jam ~ 2 jam ~ 6 jam
D
6. Dosing Regimen = xT
T
= 62,4393 mg/jam x 6 jam
= 374,64 mg
T 6 jam
7. e = = 1,5 jam 4
t1 / 2
1
8. Css max = F x D x
Vd 1 1 / 2
e
1
= 1 x 1gr x
15,9 L 1 1 / 2
4
1
= 15,9 Lx 0,9375
TUBERKULOSIS PARU
I. Identitas Paru
Nama No. MR : A.O/42-64-39
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat/Tinggi badan : 48 kg/165 cm
Agama : Kristen
Suku/Kebangsaan : Batak/Indonesia
Alamat : LK VIII Sei Mati
Pembayaran : Kartu sehat
Pasien masuk ke ruang XVIII RSU Dr. Pirngadi Medan pada tanggal 14
September 2005 dari Unit Gawat Darurat dengan keluhan batuk darah, sesak dan
badan lemah.
Pemeriksaan fisik dihasilkan bahwa :
Kesadaran : Compos Mentis
Suhu Tubuh : 37,10C
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 64 kali/menit
Respiratory rate : 20 kali/menit
Selain pemeriksaan fisik juga dilakukan pemeriksaan Laboratorium Patologi
Klinik Sub. Bag. Kimia Klinik, kadar gula darah dan pemeriksaan radiologis. Tetapi
tidak dilakukan uji kultur dan uji sensitivitas bakteri sehingga dapat diperoleh
antibiotik yang tepat untuk pengobatan penyakit pasien.
8 hari yang lalu pasien mengalami batuk darah disertai sesak. Darah yang
keluar pertama berwarna hitam kemudian berwarna merah segar. Volume darah ±
setengah gelas. Pasien mengalami penurunan barat badan dan pasien belum pernah
dirawat sebelumnya.
IV. Diagnosis
Pasien didiagnosis menderita tuberculosis (TB) paru.
V. Terapi
Setelah dilakukan pemeriksaan maka pasien diberikan obat-obatan sebagai
berikut:
1. Injeksi Cefotaxim
Indikasi : infeksi yang disebabakan kuman gram negatif antara lain pada gonore.
Dosis : single dose 1 g secara i.m.
2. Injeksi Ulsikur
Kandungan : simetidina-HCl 200 mg/2 ml injeksi.
Indikasi : tukak usus 12 jari, tukak lambung tidak parah, penyakit refluks
gastroesofageal, hipersekresi patologik sehubungan dengan sindrom Zollinger
Ellison.
Pada pengobatan selanjutnya ulsikur diganti menjadi radin (kandungan ranitidi)
karena radin tidak memperlihatkan sifat hambatan metabolisme oksidatif sehingga
tidak mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan sedangkan ulsikur akan
menghambat enzim oksidatif hati sehingga perombakan obat-obatan lain dapat
diperlambat.
6. Tramadol Tablet
Obat ini bersifat analgesik yakni mengurangi rasa sakit. Jadi tamadol tablet ini
diberikan kapan diperlukan saja (jika nyeri kambuh).
7. Curcuma tablet
Ini diberikan untuk menambah nafsu makan karena pada penderita tuberkulosis
sering terjadi gejala malaise yakni berupa anoreksia sehingga badan makin kurus.
1. Pemeriksaan darah
2. Pemeriksaan sputum
3. Test tuberculin
4. Pemeriksaan radiologik
Tuberkulosis paru cukup mudah dikenal dari keluhan-keluhan klinis, gejala-
gejala kelainan fisik, kelinan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Tapi
dalam prakteknya sangat sulit untuk menegakkan diagnosisnya. Menurut American
Thoracic Spciety diagnosis kepastian seseorang menderita tuberkulosis paru adalah
dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan
paru secara biakan (Soeparman, 1990).
VII. Pembahasan
Keempat obat anti tuberculosis memiliki range terapi lebar sehingga tadak
perlu dimonitoring (therapy drug monitoring) karena dosis yang diperkirakan sudah
termasuk dalam range terapi. Dosis rifampisisn yang diberikan sekali sehari 450 mg
per oral, INH diberikan 1 x 300 mg sehari per oral, pyrazinamid 1 x 1000 mg sehari
per oral dan dosis etambutol yang diberikan 1 x 750 mg sehari per oral.
STUDI KASUS
MENINGITIS SEROSA
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : ER
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 15 Bulan
Berat badan : 5,7 kg
Alamat : Tanjung Leidong, Labuhan Batu
4. DIAGNOSA
Berdasarkan keluhan pasien, orang tua pasien yang menderita TBC dan hasil
pemeriksaan Lumbar Puncture (LP) yaitu pengambilan cairan serebrospinal ternyata
kandungan Leukositnya jauh diatas normal yaitu 105/mm³ dan hasil CT SCAN serta
didukung oleh simpton pada saat pasien masuk ruangan maka pasien didiagnosa
menderita Meningitis Serosa.
5. TERAPI
Setelah dilakukan pemeriksaan maka pasien diberikan terapi obat-obatan
seperti tercantum pada tabel 3.
Patofisiologi
Meningitis Tuberkulosa selalu terjadi skunder dari proses tuberkulosis primer
diluar otak. Fokus primer biasanya diparu-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah
bening, Tulang Sinus Nasales, Traktus, Gastrointestinalis dan Ginjal. Dengan
demikian Meningitis Tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi penyebaran Tuberkulosis
paru-paru.
Terjadinya Meningitis bukan karena terjadinya peradangan langsung pada
selaput otak tetapi melalui pembentukan Tuberkel. Tuberkel kecil berwarna putih
pada permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang belakang, dan tulang. Tuberkel
tadi melunak, pecah dan masuk kedalam ruang subaraknoid dan Ventrikulus sehingga
terjadi peradangan akibat reaksi radang ini maka terbentuk eksudat kental. Eksudat
ini tidak terbatas didalam ruang subaraknoid saja tetapi terutama berkumpul didasar
tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh darah dan
menyerang jaringan otak dibawahnya, sehingga proses sebenarnya adalah meningo–
ensefalitis.
Manifestasi Klinis
Tanda manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga sering juga
didapatkan pada anak-anak baik yang terkena meningitis maupun tidak. Tanda dan
gambaran klinis sangat bervariasi tergantung kepada umur pasien, lama sakit dirumah
sebelum didiagnosis dan respon tubuh terhadap infeksi.
Meningitis pada bayi baru lahir dan premature sangat sulit didiagnosis,
gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir
hanya terjadi pada ½ dari jumlah kasus.
Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran klasik meningitis.
Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang
berulang. Tanda fisik yang tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan menonjol.
Oleh karena insiden meningitis pada umur ini sangat tinggi, maka adanya infeksi
susunan saraf pusat perlu dicurigai pada anak dengan demam terus menerus yang
tidak dapat diterangkan penyebabnya.
7. PEMBAHASAN
Pasien masuk ke RSUP H.Adam Malik pada tanggal 14 Mei 2005 dalam
keadaan penurunan kesadaran. Mulai pasien masuk kerumah sakit tanggal 14 Mei,
pasien diberi oksigen sebanyak 1-2 L/menit untuk menjamin tersedianya oksigen
didalam tubuh pasien dan membantu pernafasan yang belum stabil akibat pasien yang
tidak sadar. IVFD ringer laktat 6 tetes/menit mikro untuk mempertahankan
keseimbangan cairan tubuh. Pada umumnya pasien Meningitis berada dalam keadaan
kesadaran yang menurun maka pasien juga diberi IVFD Dextrosa 5% + Nacl 0,225%
dengan kecepatan 10 tetes/menit mikro untuk mensuplay energi dan electrolit yang
tidak dapat diperoleh pasien secara oral. Pasien juga mengalami kejang akibat
demam dimana suhu tubuh pasien 38,2°C sehingga diberi injeksi Diazepam 3 mg
secara I-V. Untuk menghilangkan demam pasien diberi parasetamol serbuk melalui
NGT dengan dosis 3 X 75 mg selama pasien masih demam. Pemberian
fenobarbitaldalam terapi ini untuk mengatasi kejang tidak rasional, karena untuk
mengatasi kejang ini sudah diberikan diazepam lagipula untuk mengatasi kejang
penggunaan diazepam masih lebih baik bila dibandingkan dengan penggunaan
fenobarbital.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Lumbar Puncture (LP) nilai LDH dan glukosa
pada tanggal 20 Mei menunjukkan nilai LDH masih dalam batas normal dan nilai
glukosa jauh dibawah normal yaitu 12 mg/dl. Pada tanggal 30 Mei nilai LDH 361 u/1
(sudah diatas normal) dan glukosa 59 mg/dl (masih dibawah normal). Hal ini
menunjukkan pasien menderita meningitis bacterial karena diduga bakteri
menggunakan banyak glukosa untuk metabolisme sehingga kadar glukosa turun.
Sedangkan hasil pemeriksaan kultur dan kepekaan kuman ternyata bakteri penyebab
radang pada selaput otak adalah streptococcus haemolyticus, dari bakteri ini
berdasarkan kultur sensitivitynya paling sensitif terhadap ciprofloxacin dan
cloramphenikol. Tetapi dalam hal ini obat yang dipilih untuk terapi meningitisnya
adalah chloramphenikol, karena obat ini merupakan obat yang spesifik untuk
pengobatan meningitis bacterial yang disebabkan oleh streptococcus haemolyticus.
Pemakaian ampisilin dalam terapi ini tidak rasional, karena sudah diberikan kemisetin
( kloramfenikol) yang bisa dipakai sebagai terapi tunggal untuk meningitis.
Disamping itu pemberian bersama-sama ampisilin dengan kemisetin secara
farmakokinetika menunjukkan interaksi yang merugikan, yaitu kemisetin dapat
menginaktivasi ampisilin sehingga menurunkan potensi ampisilin.
Pemberian kemisetin dengan dosis 125 mg/6 jam secara IV menghasilkan
konsentrasi maksimum dalam darah sebesar 21,44 mg/L dan konsentrasi minimum
sebesar 1,5 mg/L.
Pemberian deksametason 0,5 mg/8 jam secara IV ini rasional karena
deksametason merupakan obat anti inflamasi dan juga dapat mengurangi peningkatan
intrakranial. Pemberian dosisnya sudah tepat.
Dalam hal ini pemberian obat-obat anti TBC yaitu: rifampisin, INH,
etambutol, pirazinamid dan vitamin B6 tidak rasional, karena berdasarkan hasil
pemeriksaan kultur dan kepekaan kuman ternyata bakteri penyebab radangnya adalah
streptococcus haemolyticus bukan Mycobacterium tuberkulosis yang menyebabkan
TBC. Jadi dalam hal ini meningitisnya adalah meningitis bakterial bukan meningitis
tuberkulosa. Maka pemberian obat-obat anti TBC tidak perlu diberikan.
Pemberian furosemid dalam terapi ini digunakan untuk pengobatan udem
akibat gangguan hati yang disebabkan efek samping pemakaian rifampisin yang
bersifat hepatotoksik, jadi dalam hal ini obat ini rasional diberikan. Pemberian Kcl
dalam terapi ini digunakan untuk mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit yang terjadi karena pemakaian furosemid. Pemberian asetazolamid juga
untuk mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pemberian asam folat dan vitamin A dalam terapi ini rasional karena
pemberiannya untuk mencukupi gizi pasien. Pemberian prednison dalam terapi ini
tidak rasional karena sebagai anti radang sudah digunakan deksametason yang sama-
sama golongan kortikosteroid.
Berdasarkan Tabel 1 pemeriksaan dan hasil Laboratorium patologik klinik
pada tanggal 31 Mei nilai SGOT dan SGPT berada jauh diatas normal, hal ini
menandakan fungsi hati pasien terganggu yang disebabkan pasien banyak
menggunakan obat (polifarmasi) diantaranya penggunaan obat-obat TBC yang tidak
rasional dalam terafi Meningitis Bacterial.
Mengingat jumlah item obat yang diberikan kepada pasien sangat banyak dan
ditinjau dari usia pasien yang masih balita, dimana fungsi organ belum sempurna
maka pemilihan obat dan dosis dalam terapi sangat perlu diperhatikan.
8.2. Saran
1. Sebaiknya uji pemeriksaan kultur dan LP dilaksanakan sesegera mungkin
agar jenis Bacterinya segera diketahui.
2. Sebaiknya Ampicillin tidak digunakan dalam terapi tetapi yang digunakan
adalah Kemycetin (chloramfenicol) sesuai dengan hasil uji kultur dan
kepekaan kuman.
PERHITUNGAN
KLORAMFENIKOL
Ceff = 10 – 20 μg/ml
Css = 15 μg/ml
Vd = 1,1 – 2,5 L/kg
= 1,1 L/kg X 5,27 kg = 6,27 L
t½ = 1,6 – 5,0 jam
= 1,6 jam
k = 0,693 = 0,693 = 0,43 jam¹־
t½ 1,6 jam
F = 1
Cl = 1,1 – 2,5 ml/min/Kg
= 1,1 ml/min/Kg X 5,7 Kg = 6,27 ml/min
LD = Vd X Css
= 6,27 L X 15 mg/L
= 94,05 mg
MD = Cl X Css
= 6,27 ml/min X 15 μg/ml
= 94,05 μg/min X 60 min
= 5643 μg/jam = 5,643 mg/jam = 5,6 mg/jam
D = Cl X Css
τ F
= 6,27 ml/min X 15 μg/ml
1
= 94,05 μ/min X 60 min = 5643 μ/jam = 5,643 mg/jam = 5,6 mg/jam
Σ = τ = 6 jam = 3,75
t½ 1,6 jam
= 1 X 125 mg 1
3,75
6,27 L 1 – (½)
= 1 X 125 mg 1
5,83 L
= 21,44 mg/L
Σ
Css min = Css max . (½)
= 21,44 mg/L X 0,07
= 1,5 mg/L
Berdasarkan nilai Css max dan Css min, dengan dosis yang diberikan yaitu 125 mg/6
jam tidak berada dalam range terapi. Jadi, direkomendasikan obat diberikan secara
infus dengan kecepatan konstan agar kadar obat dalam plasma tetap berada pada
range terapi.
AMPISILIN
Ceff = 7 – 10 μg.ml
Css = 8 μg/ml = 8 mg/L
Vd = 0,3 L/kg
= 0,3 L/kg X 5,7 Kg = 1,71 L
t½ = 1,3 ± 0,2 jam
= 1,3 jam
k = 0,693 = 0,693 = 0,53 jam¹־
t½ 1,3 jam
F =1
Cl = k X Vd
= 0,53 jam¹ ־X 1,71 L = 0,906 = 0,91 L/jam
LD = Vd X Css
= 1,71 L X 8 mg/L
= 13,68 mg
MD = Cl X Css
= 0,91 L/jam X 8 mg/L = 7,28 mg/jam
D = Cl X Css
τ F
= 0,91 L/jam X 8 mg/L = 7,28 mg/jam
1
Σ = τ = 6 = 4,6
t½ 1,3
= 1 X 250 mg 1
4,6
1,71 L 1-(½)
= 1 X 250 mg 1
1,64 L
= 152,44 mg/L
ε
Css min = Css max X (½)
4,6
Elektrolit darah
Natrium 138 127 mEq/L 139-146
Kalium 3,64 3,34 mEq/L 4,1–5,3
Klorida 94 86 mEq/L 95–110
Hematologi
Hemoglobin 10 g% 10-15
Lekosit 5,92 10³/mm³ 5-10
Hematokrit 34,4 % 30-40
Trombosit 684 10³/mm³ 150-450
Faal Hati
Bilirubin total 1,52 mg/dl 1-2
Bilirubin direct 0,69 mg/dl < 0,4
Alkalin fosfatase 203 U/I 100-330
SGOT 446,21 U/I 2-55
SGPT 257 U/I L : < 41
P : < 31
Faal Ginjal
Kreatinin 0,19 mg/dl 0,3-1,1
Uric acid 7,3 mg/dl L : 1,5-7,5
P : 1,8-7,2
0,693 0,693
K= 0,3465 jam 1
t1 / 2 2
Cl = k.V
= 0,3465 jam-1.6,6 liter = 2,2869ltr/jam = 2286,9 ml/jam
C max C min 1 10
Konsentrasi rata-rata yang digunakan = 5,5mg / ml
2 2
D 12,57 mg / jam
12,57 mg / jam
1
C max
σ max = 1,44 t½. ln
C min
10mcg / ml
= 1,44.2 jam. ln 1mcg / ml
= 1,44.2 jam.2,3026
= 6,631 jam
Interval pemberian yang dipilih adalah 6 jam
12,57 mg/ml.6 = 75,42 mg/jam
(1 / 2)
Css min = F .D.
V (1 1 / 2)
= Cssmax (½)
= 13,059 mg (½) 6 / 2
= 1,632 mg/L
= 1,632 µg/ml
1
Cssmax = F .D V (1 1 / 2)
1
= 1.75,45mg
6,6(1 1 / 2) 6 / 2
1
Cssmax = F .D V (1 1 / 2)
1
= 1.40
6,6(1 1 / 2) 12 / 2
= 6,15 mcg/ml
4. Pembahasan
1. Infus Dekstrosa 5%, diberikan karena kondisi pasien yang lemah
sehingga untuk energi diberikan infus glukosa.
2. Captopril, dosis 2x12,5 mg, digunakan sebagai vasodilator untuk
mengurangi tekanan darah dengan menghambat Angiotensin I menjadi
Angiotensin II, sehingga akan mengurangi beban jantung.
3. NR (Nitromark Retard), dosis 2x1 tablet, mengandung nitrogliserin
yang berfungsi sebagai vasodilator, dikombinasikan dengan Captopril
untuk menghasilkan efek sinergis.
4. Furosemid, diberikan secara injeksi dengan dosis turun secara bertahap
(1 ampul = 40 mg), digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
menaikkan ekskresi Na+ dan Cl- dari tubuh.
5. Lasix 2x40 mg tablet, digunakan sebagai pengganti furosemid untuk
mengurangi udem. Penggantian Furosemid injeksi menjadi Lasix tablet
dilakukan karena penggunaan pemberian Lasix dengan dosis tersebut
telah cukup sebagai diuretik.
6. KSR (Kalium Sustained Release), dosis 2x1 tablet, diberikan untuk
menggantikan kalium yang hilang akibat pemberian Furosemid yang
boros kalium. Pada hari I-IV tidak diberikan karena Captopril mampu
menghalangi pelepasan/menahan kalium yang dilepaskan oleh
Furosemid. Setelah hari ke IV, diberikan KSR karena diperkirakan
kalium yang dikeluarkan terlalu banyak.
7. Aspilet, yang berisi aspirin 80 mg, digunakan untuk memperlancar
aliran darah yang sulit akibat adanya platelet atau agregat di pembuluh
darah atau untuk mencegah terjadinya pengendapan trombosit di
pembuluh darah.
8. Dulcolax yang kemudian diganti dengan Laxadine dengan dosis 3xCl
karena pasien mengalami keluhan konstipasi, diganti untuk
menghindari efek samping Dulcolax yang dapat menyebabkan kejang
perut.
5. Kesimpulan
- Obat-obat yang digunakan untuk terapi pasien adalah rasional
(Terapi yang diberikan sesuai dengan diagnosis pasien).
- Pada akhir pengamatan kondisi pasien sudah membaik.
6. Saran
- Sebaiknya dilakukan uji elektrolit sebelum memberikan KSR,
karena jika elektrolit normal Captopril sudah cukup menahan
pengeluaran Kalium.
- Sebaiknya Dulcolax tidak perlu diberikan pada pasien karena
Dulcolax jika digunakan bersama-sama dengan diuretik dapat
meningkatkan resiko ketidakseimbangan elektrolit. Jika
pasien diberikan furosemid sebaiknya Dulcolax diganti
denagn pencahar lain misalnya Laxadine.
- Captopril diberikan sebelum makan karena bioavaibilitas
Captopril akan berkurang jika diberikan bersamaan dengan
makanan dan sebaiknya diberikan 1 jam sebelum makan.
- Sebaiknya berat badan pasien dicatat guna perhitungan
farmakokinetik.
Studi Kasus
Sinusitis dan Dispepsia
1. Identitas pasien
Nama : NH
Jenis kelamin : perempuan
Umur : 51
Berat badan : tidak dicantumkan (berat badan dibutuhkan dalam
penentuan dosis)
2. Ringkasan pada waktu pasien masuk
Pasien masuk ke rawat inap (ruang XI Kelas II) RSU Dr. pirngadi Medan
pada tanggal 19 September 2005 dari unit rawat jalan dengan keluhan
sakit kepala, nyeri dibagian wajah dan disertai myeri dibagian perut.
Hasil pemeriksaan fisik pasien :
sensorium : compos mentis
suhu tubuh : 37 oC
nadi : 88 kali/menit
respiratory rate : 24 kali/menit
dari hasil pemeriksaan laboratorium patologi klinik, keadaan
hati, darah, ginjal, dan gula pasien normal
4. Diagnosis
Berdasarkan keluhan pasien, pasien menderita sinusitis disertai dengan
gangguan pencernaan (dispepsia).
Interval pemberian
C max
1,44 x t1 / 2 x ln
C min
15 mcg / mL
= 1,44 x 1,5 jam x ln 0,2mcg / mL
= 9,325 jam
Maka dipilih interval pemberian 12 jam.
Regimen dosis
D
x 24,948 mg / jam x 12 jam
= 299, 376 mg.
Dari soal diketahui :
6 jam
Dosis pemberian = 1 g
6 jam
e 4
t1 / 2 1,5 jam
1
C ss max F . D.
Vd (1 (1 / 2) e )
1
= 1.1 g .
18 L (1 (1 / 2) 4 )
= 60 mcg/mL
C ss min C ss max .(1 / 2) e
= 60 mcg/mL . (1/2)4
= 3 mcg/mL
Range terapi = 3 – 60 mcg/mL
Berdasarkan teori, 12 jam
12 jam
e 8
t1 / 2 1,5 jam
1
C ss max F .D.
Vd (1 (1 / 2) e )
1
= 1.299,376 mg .
18 L(1 (1 / 2) 8 )
= 16,697 mcg/mL
Interval pemberian
C max
1,44. t1 / 2 . ln
C min
10
= 1,44.3. ln
1
= 9,94 jam
Maka interval pemberian dipilih 12 jam
Regimen dosis
D
x 17,325 mg / jamx12 jam
= 207,9 mg
Dari soal diketahui :
12 jam
12
e 4
t1 / 2 3
1
C ss max F .D.
Vd (1 (1 / 2) e
1
= 1.80 mg .
15 L (1 (1 / 2) 4 )
= 5,689 mcg/mL
Css min = Css max . (1/2)e
= 5,689 mcg/mL.(1/2)4
= 0,351 mcg/mL
Range terapi = 0,351 – 5,689 mcg/mL
Berdasarkan teori :
12 jam
12
e 4
t1 / 2 3
1
C ss max 1.207,9 mg.
15 L(1 (1 / 2) 4 )
= 14,784 mcg/mL
Css min = 14,784 mcg/mL.(1/2)4
= 0,924 mcg/mL
Range terapi = 0,924-14,784 mcg/mL
Rekomendasi:
Pemberian gentamisin dengan dosis 80 mg/12 jam secara i.v perlu
ditinjau kembali, karena konsentrasi obat dalam darah berada di
bawah range terapi. Sebaiknya dosis ditingkatkan agar
pengobatan mencapai range terapi. Dosis ditingkatkan menjadi
250 mg dan diberikan tiap 12 jam.
12
e 4
t1 / 2 3
1
C ss max 1.250 mg.
15 L(1 (1 / 2) 4 )
= 17,78 mcg/mL
Css min = 17,78 mcg/mL . (1/2)4
= 1,11 mcg/mL
Range terapi = 1,11-17,78 mcg/mL.
Literatur:
Barker,M. Brian. (1973). Antimicrobial Agent in Medicine. London : Blackwell
Scientific Publications.
PP. 19-20, 42-44,218,228.
Pracy,R.et al.(1971).A Short Textbook Ear,Nose, and Throat. English: The English
University Press. PP. 71-72.
STUDI KASUS:
CONGESTIVE HEART FAILURE
(GAGAL JANTUNG KONGESTIF)
1. IDENTITAS PASIEN
Nama/No. MR : SY / 26 22 02
Jenis kelamin/umur : Perempuan/38 tahun
Berat/tinggi badan : 62 kg / 160 cm
Pasien masuk ke rawat inap terpadu Interna RSUP H. Adam Malik Medan pada 26
Agustus 2004 dari Instalasi Gawat Darurat.
Kondisi pasien : terjadi pembengkakan seluruh tubuh dan perut membesar
Hasil pemeriksaan fisik :
Sensorium : Compos mentis (sadar penuh)
Suhu tubuh : 38,1o C
Tekanan darah : 90/70 mmHg
Nadi : 68 kali/menit
Respiratory rate : 26 kali/menit
Hasil pemeriksaan laboratorium :
Tabel 1. Hasil pemeriksaan foto
No. Tanggal Pemeriksaan Kesan
1. 27/8/2004 Radiologi (Thorax AP) Kardiomegali dan besar etelektase
lobus inferior kanan.
2. 27/8/2004 Elektrokardiografi (EKG) Disritmia sinus
3. 7/9/2004 Ultrasonografi (USG) Liver kongestif
Tabel 2. Hasil pemeriksaan Lab. Patologi Klinik Sub. Bag. Kimia Klinik
PEMERIKSAAN TANGGAL NORMAL
26/8 28/8 31/8 31/8
Haemotologi
Hemoglobin 10,5 P : 12-16 g%
L : 13-18 g%
Lekosit 8,7 5-11.103/mm3
Hematokrit 31 37-47%
Trombosit 700 150-450%
Elektrolit darah
Natrium 128 133 135-
155mEq/L
Kalium 2,9 2,68 3,6-5,5 mEq/L
Klorida 97 100 96-106 mEq/L
Faal Hati
Bilirubin total 0,8 0,3 0-1 mh/dl
Bilirubin direk 0,3 0,2 0-0,3 mg/dl
SGOT 29 33 0-38 UI/l
SGPT 42 36 0-40 UI/l
ALP 83 131 70-300 UI/l
Total albumin 6,6 6,7-8,7
SPE : - albumin 2,14 3,2-5,2
- alfa 1 globulin 0,69 0,1-0,3
- alfa 2 globulin 1,35 0,6-1,0
- beta globulin 1,07
-Gamma globulin 1,35 0,8-1,0
Faal Ginjal
Urea 60 40 10-50 mg/dl
Kreatin 1,7 0,7 0,7-1,4 mg/dl
CHF atau gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan dimana jantung tidak
dapat memompa darah untuk kebutuhan tubuh. Hal ini bisa disebabkan oleh:
- Gangguan kemampuan kontraksi otot jantung
- Meningkatnya beban kerja jantung sehingga darah terbendung di daerah vena
paru dan kaki.
- Pengembalian ke jantung menyebabkan sesak nafas dan terjadi udema di kaki.
- Gangguan fungsi ventrikel (kiri/kanan/keduanya) terutama gangguan pada
sistole atau diastole.
Performa jantung dipengaruhi oleh 4 hal :
- Preload (tekanan atrium)
Terutama berpengaruh pada performa vaskular, dimana bila terjadi gagal
jantung maka volume darah akan meningkat dan tonus vena, sehingga preload
juga akan meningkat.
- After load (tahanan yang dihadapi jantung saat memompa darah)
Yang diawali oleh hambatan aortik dan tahanan vaskular sistemik. Pada kasus
CHF terjadi peningkatan tahanan vaskular sistemik.
- Kontraktilitas
Bila terjadi penurunan maka kecepatan pemendekan dan pembentukan tekanan
intraventrikel juga akan menurun sehingga performa jantung melemah dan
dapat terjadi gagal jantung.
- Denyut jantung (penentu curah jantung)
Pada gagal jantung fungsi intrinsik jantung menurun dan volume sekuncup
berkurang, disamping juga terjadi peningkatan denyut jantung melalui
peningkatan aktivitas simpatis dari adrenoreseptor β yang sebenarnya
bertujuan untuk memelihara curah jantung.
Penanganan kondisi gagal jantung adalah :
1. Istirahat untuk meringankan beban jantung
2. Pembatasan garam
3. Terapi dengan diuretik
Obat-obatan yang digunakan antara lain :
1) Diuretik
2) Glikosida jantung (seperti; digoxin) : Bekerja dengan meningkatkan kontraksi
jantung dan meningkatkan fungsi pompa Na+/K+/ATPase
3) Penghambat ACE : Menurunkan resistensi vaskular, vena , dan tekanan darah,
serta meningkatkancurah jantung.
4) Vasodilator koroner : Menurunkan afterload/tahanan vaskular dengan
vasodilatasi arteri, sedangkan ion nitrat dapat mengurangi preload.
6. TERAPI
7. PEMBAHASAN
Hari pertama pasien masuk ke Rumah Sakit Adam Malik pasien dianjurkan
melakukan aktifitas tirah baring dan diberikan oksigen 1-2 L/menit untuk
mengurangi kerja jantung.
Pasien diberikan diet jantung III (1756 kalori) dan garam (maksimal 1
gram/hari).
Pasien diberikan infuse dekstrosa 5 % 10 tetes/menit. Sebaiknya pemberian
infuse ini tidak perlu karena pasien tidak lemah dan ada nafsu makan. Selain
itu juga akan meningkatkan jumlah cairan tubuh. Sementara pasien dalam
keadaan udema sehingga akan memperparah udema pasien.
Diuretik yang diberikan adalah furosemid dengan dosis awal 1 ampul/12 jam
selama 3 hari, lalu ditingkatkan menjadi 2 ampul/8 jam secara intra vena.
Furosemid menimbulkan efek samping gangguan keseimbangan elektrolit
seperti hipokalemia. Ini dapat diatasi dengan pemberian suplemen kalium
yaitu Kalium Sustained Release (KSR) 1x600 mg/hari. Dosis KSR adalah 1-2
x 600 mg/hari, tetapi untuk dosis pemakaian yang tepat pada pasien harus
dilakukan pemantauan kadar dalam darah pasien.
Berdasarkan teori dan konsep perhitungan farmakokinrtika kadar furosemid
dalam darah pasien :
- dosis 2 ampul/ 8 jam diperoleh : Cmax = 6,05 mcg/ml
Cmin = 0,15 mcg.ml
Ini dibawah range terapi yaitu 1 – 10 mcg/ml
Untuk itu pemberian furosemid perlu ditingkatkan menjadi 2 ampul/4 jam
Cmax 6,95 mcg/ml dan Cmin 1,11 mcg/ml. Hal ini dilakukan supaya
konsentrasi obat didalam darah tetap berada dalam range terapi sehingga
menghasilkan efek yang diinginkan. Masa kerja furosemid 2-4 jam, sehingga
disaat masa kerjanya berakhir seyogyanya obat diinjeksikan lagi untuk
mempertahankan efeknya.
Berdasarkan pemeriksaan hematology terlihat bahwa jumlah hemoglobin dan
hematoksit dibawah normal, ini menunjukkan bahwa pasien mengalami
anemia, Jadi, sebaiknya pasien diberikan preparat besi seperti Sulfus Ferrosus
harus berlanjut selama anemia belum hilang dan maksimum digunakan selama
6 bulan.
Jumlah trombosit diatas normal (tinggi), maka pasien diberi Aspilet (Aspirin)
1x80 mg. Pemberian Aspilet harus dihentikan jika jumlah trombosit pasien
sudah normal. Beberapa waktu setelah pemberian Aspilet (7-10 hari) kadar
trombosit dalam darah sebaiknya ditentukan.
Dari har pertama masuk sampai tanggal 09-09-2004, pasien diberikan
Isisorbid dinitrat (ISDN) karena pasien mengeluh dengan rasa nyeri didada..
Berdasarkan mekanisme kerjanya pemberian ini sudah tepat.
Pada tanggal 31-08-2002 pasien diberikan Laxadin sirup untuk mempermudah
buang air besar sehingga tidak menambah kerja jantung. Pada hari yang sama
pasienjuga diberi Digoksin. Pemakaian Laxadin bersama Digoxin akan
menurunkan absorbsi digoxin. Selain itu Laxadin dapat juga menyebabkan
kehilangan cairan dan elektrolit. Jika terjadi hipokalemia akan meningkatkan
toksisitas digoksin. Sementara itu pasien tidak mengeluh susah buang air
besar, oleh karena itu disarankan kepada dokter agar pemakaian Laxadin tidak
perlu.
Pasien diberikan terapi Digoksin dengan dosis 2 x 0,125 mg/hari. Efek utama
digoksin adalah inotropik positif yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi
miokardium. Bila diberikan efek terapi penuh digoksin dalam waktu singkat
maka harus diberikan dosis muatan (loading dose) agar langsung dicapai kadar
terapi. Besarnya dosis muatan tersebut untuk pemberian oral adalah 0,75 – 1,5
mg. Selanjutnya, pengobatan diberikan dengan dosis pemeliharaan yang lebih
kecil (0,25 – 0,5 mg). Pada kasus ini dosis muatan tidak dibrikan sehingga
konsentrasi steady state akan lama tercapai (5-7 hari). Oleh karena itu
disarankan kepada dokter kalau hal ini perlu dilakukan. Penyerapan digoksin
dihambat oleh adanya makanan dalam saluran cerna. Oleh karena itu pasien
dianjurkan minum obat pada waktu perut kosong.
Digoksin merupakan obat yang perlu dimonitor karena nilai range terapi yang
yaitu 0,5-3 ng/ml. Untuk itu perlu diketahui kadar digoksin dalam darah
pasien. Berdasarkan hasil perhitungan farmakokinetika didapatkan bahwa
kadar obat didalam darah pasien didalam range terapi, yaitu Cmax 1.3 mg/ml
dan Cmin 1 ng/ml.
Tanggal 17-09-2004 pasien dibarikan Spironolakton sebagai kombinasi
diuretic Furosemid. Spironolakton adalah diuretk hemat kalium. Sehingga
disisni pemberian KSR dihentikan. Akan tetapi pemberian Spironolakton
dapat menurunkan kliren ginjal dari oksigen, sehingga dapat meningkatkan
konsentrasi digoksin dalam plasma dan meningkatkan resiko keracunan
digoksin. Seharusnya pemberian Spironolakton tidak perlu. Akan tetapi
pemantauan kadar kalium dalam darah perlu dilakukan, jika dibawah normal
maka pemberian KSR sebagai suplemen kalium sangat perlu diberikan.
Penambahn kombinasi diuretic HCT pada tanggal 11-09-2004 sebaiknya tidak
diperlukan karena bisa menimbulkan hipokalemia dan hiperurisemia yang juga
disebabkan oleh furosemid yang mana jika terjadi hipokalemia akan
meningkatkan toksisitas digoksin.
Apabila terapi dengan menggunakan obat-obatan tidak menunjukkan kemajun
yang berarti maka sebaiknya dilakukan tindakan operasi diantaranya
balonisasi atau kaleterisasi..
8. KESIMPULAN
1. Pemberian dosis Furosemid belm tepat dan dibawah range terapi sehingga
harus ditingkatkan menjadi 2 ampul/4 jam, disertai pemberian KSR untuk
suplemen kalium.
2. Kombinasi Furosemid, Spironolakton, HCT tidak rasional, karena ;
o Spironolakton meningkatkan kadar digoksin dalam darah dan dapat
menyebabkan hipokalemia dan meningkatkan toksisitas digoksin.
o HCT dapat meningkatkan efek samping dari Furosemid
3. Laxadin meningkatkan pengeluaran cairan dan elektrolit sehingga
menyebabkan hipokalemia dan meningkatkan toksisita digoksin.
4. Untuk mendapatkan efek optimal digoksin dalam waktu singkat diperlukan
dosis muatan 0,75 – 1,5 mg dengan cara oral.
5. Perlu diberikan obat untuk mengatasi anemia pada pasien.
9. SARAN
1. Pasien hanya diberikan 1 diuretrik (Furosemid), dosisnya dinaikkan menjadi 2
ampul/4 jam dan pemakaian kalium tidak dihentikan.
2. Lakukan selalu pemantauan kadar kalium akibat pemberian diuretic, untuk
mencegah terjadinya hipokalemia.
3. Laxadin sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan digoksin dalam obat-
obat diuretic.
4. Sebaiknya diberikan dosis muatan digoksin untuk mendapatkan efek optimal
digoksin dalam waktu singkat.
5. Sebaiknya diberikan Sulfas ferrosus untuk mengobati pasien anemia.
LAMPIRAN
Furosemid
Komposisi :
- 20 mg/ 2 ml ampul
- 250 mg / 25 ml infus
- 40 mg / tab
Penggunaan :
3 hari pertama 1 ampul tiap 12 jam
Selanjutnya 2 ampul tiap 8 jam
t½ = 1.5 jam
Vd = 0,11 L/kg
t = 1 (secara i.v)
Range terapi = 1-10 mcg/ml
Perhitungan :
0,693 0,693
K = 0,462 jam 1
t1 / 2 1,5 jam
D
Dmaintenance =σ x = 3,68 jam x 17,325 mg/jam = 63,8 mg
8
Ε = 5,33
t1 / 2 1,5
1
Css max = FxDx
V (1 (1 / 2) )
1
= 1 x 40mg x
6,82(1 (1 / 2)5,33 )
40
= 6,015mg / L 6,015mcg / ml
6,65
FxDx(1 / 2)
Css min =
V (1 (1 / 2)
4
Ε = 2,67
1,5
1
Css max = FxDx
V (1 (1 / 2) )
1
= 1 x 40mg x
6,82(1 (1 / 2) 2 , 67 )
40
= 6,95mg / L 6,95mcg / ml
5,75
FxDx(1 / 2)
Css min =
V (1 (1 / 2)
Digoxin
Perhitungan :
0,693 0,693
K = 0,0138 jam 1
t1 / 2 50 jam
Vd = 7,14 L/kg x 62 kg = 442,68 L
D
Dmaintenance =σ x = 16,06 jam x 10,9 ng/jam = 175,12 ng
12
Ε = 0,24
t1 / 2 50
1
Css max = FxDx
V (1 (1 / 2) )
1
= 0,7 x 0,125 mcg x
442,68 L(1 (1 / 2) 0, 24 )
0,0875mcg
= 0,00129mcg / L 1,29ng / ml
67,84L
FxDx(1 / 2)
Css min =
V (1 (1 / 2)
I. Identitas Pasien
Nama / No. MR : LB / 27. 77. 64
Agama / Suku : Kristen Protestan / Karo
Jenis kelamin / Umur : Perempuan / 6 th 5 bln
Hari / tanggal masuk : Kamis / 29 April 2005
Status Pasien : ASKES
Berat badan : 9 kg
Alamat : Desa Tani Jaya P. Brandan
II. Ringkasan pada waktu pasien masuk
Pasien masuk ke rawat inap terpadu bagian anak (Rindu B1) kamar III4,
tanggal 29 April 2005 melalui Poliklinik anak.
a. Keluhan umum
Keluhan utama pasien adalah cepat merasa lelah, sesak serta denyut jantung
capat. Keadaan ini semakin memburuk diikuti demam.
b. Status Praecens
Suhu tubuh : 38oC
Takipnea : (+)
Dispnea : (+)
HR : 150 kali/menit
RR : 36 kali/ menit
Abdomen : Soepel
Tinjauan Penyakit
Penyebab utama gagal jantung :
- Penyakit koronari arteri
- Kardiomiopati
- Hipertensi
- Penyakit jantung urogenital
- Penyalahgunaan alkohol dan obat
- Penyakit katup jantung
Kesimpulan :
Sebaiknya pemberian obat pada pasien ini dengan panyakit gagal jantung koroner
yang mengalami gangguan fungsi hati harus benar-benar diperhatikan lagi sehingga
konsentrasi obat dalam darah benar-benar sesuai dengan range terapi.
1. Digoksin
Dik :
F = 0,7
t½ = 39 jam
Vd = 6,28 L/kg
Ceff = 0,8-2 ng/ml
0,693
k=
t½
0,693
= = 0,0178 jam-1
39
Vd = 6,28 L/kg x 9 kg = 56,52 L
Cl = k x Vd
= 0,0178 jam-1 x 56,52 L = 1,006 L/jam
D = Cl x Ceff
τ
= 1,006 L/jam x 0,8 ng/ml
= 0,805 x 10-3 mg/jam
τmaks = 1,44 x t½ x ln Cmaks
Cmin
= 1,44 x 39 jam x ln 2
0,8
= 51,46 jam 72 jam (3 hari)
Cmax = F.D 1
V (1- (½)Є)
Є =τ = 72/39 = 1,85
t½
2. Furosemida
Dik :
F = 0,61
t½ = 1,5 jam
Vd = 0,11 L/kg
Ceff = 1 – 10 mcg/ml
0,693
k=
t½
0,693
= = 0,462 jam-1
1,5
Vd = 0,11 L/kg x 9 kg = 0,99 L
Cl = k x Vd
= 0,462 jam-1 x 0,99 L = 0,45738 L/jam
D = Cl x Ceff
τ
= 0,45738 L/jam x 1 mcg/ml
= 457,38 mcg/jam
= 0,45738 mg/jam
Cmax = F.D 1
V (1- (½)Є)
Є =τ = 6/1,5 = 4
t½
Cmaks = 1 x 5,48856 mg 1
0,99 L (1 – (½)8)
= 5,566 mcg/ml
Cmin = Cmax x (½)8
= 5,566 mcg/ml x (½)8
= 0,022 mcg/ml
Sebaiknya pemberian furosemid secara iv tidak perlu diberikan lagi, karena
penggunaan diuretik telah dilakukan dengan memberikan kombinasi furosemid dan
spironolakton per oral.
2. Gentamisin
Dik :
F =1
t½ = 2 jam
Vd = 0,257 L/kg
Ceff = 5 – 10 mcg/ml
0,693
k=
t½
0,693
= = 0,3465 jam-1
2
Vd = 0,257 L/kg x 9 kg = 2,313 L
Cl = k x Vd
= 0,3465 jam-1 x 2,313 L = 0,8014 L/jam
D = Cl x Ceff
τ
= 0,8014 L/jam x 5 mcg/ml
= 4,007 mg/jam
τmaks = 1,44 x t½ x ln Cmaks
Cmin
= 1,44 x 1,5 jam x ln 10
5
= 1,996 jam 6 jam
Cmax = F.D 1
V (1- (½)Є)
Є =τ = 6/2 = 3
t½
Cmaks = 1 x 24,042 mg 1
2,313 L (1 – (½)3)
= 11,879 mcg/ml
Cmin = Cmax x (½)3
= 11,879 mcg/ml x (½)3
= 1,485 mcg/ml
Jika interval pemberian 12 jam dengan dosis 25 mg, maka :
Є =τ = 12/2 = 6
t½
Cmaks = 1 x 25 mg 1
2,313 L (1 – (½)6)
= 10,98 mcg/ml
Cmin = Cmax x (½)6
= 10,98 mcg/ml x (½)6
= 0,172 mcg/ml
Tabel Pemberian Obat dapat dilihat pada lampiran I, Halaman 4-9.
“KASUS HIV/AIDS”
Oleh :
ABIBAH LUBIS S.Si (053202060)
JULI MARLINA,R. S.Si (053202068)
NURMA S.Si (053202056)
Nama/no.MR : PNR/23 39 50
Jenis kelamin/umur : Laki-laki/35 tahun
Agama/suku : Islam/Jawa
Alamat : Mandala, Medan
Jenis pelayanan : Umum
Hari/tgl masuk RS : Selasa/22 April 2003
Berat badan : 30 kg
Pasien masuk ke ruang rawat inap (Rindu A 2) RSUP Adam Malik, Medan
dengan keluhan penurunan berat badan yang drastis dan kondisi badannya lemas.
Pemeriksaan yang dilakukan:
Tekanan darah : 80/50 mm/Hg.
Heart rate : 96 x /menit.
Respiratory rate : 31 x / menit.
Suhu tubuh : 37,8 oC.
III. Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik
Penurunan berat badan yang drastis dialami oleh pasien dalam 3 bulan ini
tubuh pasien makin lama makin kurus dan lemah. Nafsu makan, muntah, batuk dan
menggigil tidak ada. Mual, demam dan mulut terasa pahit ada. Pasien sebelumnya ada
riwayat homoseksual 10 tahun.
V. Diagnosa
Pasien didiagnosa menderita HIV/AIDS. Hal ini dapat diketahui dari data hasil
pemeriksaan laboratorium yang meliputi tes HIV/AIDS dengan menggunakan metode
ELISA, tes yang memperlihatkan adanya penurunan imunitas tubuh berupa
pemeriksaan kadar hemoglobin, bentuk sel darah, jumlah limfosit dan tes terhadap
adanya infeksi oportunistik.
VI. Terapi
VIII. Pembahasan
Pada awal masuk rumah sakit (tanggal 22 april 2003), pasien terlihat sangat
kurus dan lemas. Oleh karena itu, pasien diberikan IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan elektrolit tubuhnya. Pada hari yang sama,
pasien juga diberi terapi ranitidine injeksi 50 mg/12 jam, betadin kumur 4x1 C dan
mycostatin 4x20 gtt.
Pemberian ranitidine bertujuan untuk mengatasi rasa mual yang dialami oleh
pasien yang kemungkinan disebabkan oleh sekresi asam lambung yang berlebihan.
Pemberian betadin kumur dan mycostatin bertujuan untuk mengurangi atau
mengobati kandidiasis yang dialami oleh pasien.
Pada hari selanjutnya (23 april 2003), pasien diberikan kotrimoksazol 2x960
mg, INH 1x400 mg dan piridoksin (vitamin B6) 1x10 mg serta becombion sirup.
Pemberian kotrimoksazol dimaksudkan untuk mencegah penyakit radang
paru-paru (pneumocystis carinii pneumonia) dan pengobatan terhadap diare yang
dialaminya.
Pemberian INH dan piridoksin dimaksudkan untuk mencegah (profilaksis)
penyakit tuberkulosa. Pemberian piridoksin dimaksudkan untuk menurunkan
toksisitas dari INH.
Pemberian becombion sirup dimaksudkan untuk menambah nafsu makan
pasien.
Pada tanggal 24 april 2003, pasien diberikan parasetamol dengan tujuan untuk
menurunkan suhu tubuhnya.
Pada tanggal 20 april 2003, pasien diberikan sporacid 2x100 mg dengan tujuan
untuk mengobati kandidiasis oral yang dialaminya sejak masuk rumah sakit.
Ketiadaan dana untuk membeli obat-obat anti retroviral yang harganya cukup
mahal seperti azidotimidin, lamivudin, nevirapin atau nelvinavit mengakibatkan
pasien AIDS tersebut tidak mendapatkan terapi pengobatan yang maksimal.
Data Farmakokinetik
1. Ranitidin
t1/2 : 2,1 jam
V : 1,3 L/kg
F :1
Range terapi :100 ng/ml
Dosis : 50 mg
Interval : 12 jam
Perhitungan:
1
Cmax = FD
Vd 1 1 / 2
e
e = /t1/2 = 12 jam/2,1 jam = 5,7
Vd = 1,3 L/kg = 1,3 x 30 = 39 L
1
= 1 x 50 mg
39 L 1 1 / 2
5,7
= 1,308 mg/L.
1 / 2 e
Vd 1 1 / 2
Cmin = FD e
1 / 2 5 , 7
39 L1 1 / 2
= 1 x 50 mg 5,7
= 0,0248 mg/L.
2. Parasetamol
t1/2 : 2 jam
V : 0,3 L/kg
F : 0,88
Range terapi : 10 – 20 g/ml
Dosis : 500 mg
Interval : 8 jam
Perhitungan:
1
Cmax = FD
Vd 1 1 / 2
e
e = /t1/2 = 8 jam/2 jam = 4
Vd = 0,3 L/kg = 0,3 x 30 = 9 L
1
= 0,88 x 500 mg
9 L 1 1 / 2
4
= 52,148 mg/L.
1 / 2 e
Vd 1 1 / 2
Cmin = FD e
1 / 2 4
9 L1 1 / 2
= 0,88 x 500 mg 4
= 3,259 mg/L.
I.IDENTITAS PASIEN
Nama : AG
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 48 tahun
Tinggi/Berat Badan : 168 cm / 55 kg
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Alamat : P.Simalingkar Medan
No. RM : 234561
Status Pasien : Umum
Tanggal Masuk RS : 14 Mei 2003
III.PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tabel I.
No. Parameter Nilai / Hasil Nilai Normal
1 Faal Ginjal
Ureum (mg / dl) 355 10 – 50
Creatinin (mg / dl) 25,5 0,7 – 1,4
Glukosa (mg / dl) 96 75 – 115
2. Hematologi
Hemoglobin (9%) 6,4 13 – 18
Leukosit ( 103 / mm3) 41,9 5 – 11
Hematokrit (%) 18 37 – 47
Trombosit (103 / mm3) 2,9 150 – 450
3. Urinalisa
Warna putih keruh jernih – kuning
Glukosa (-) (-)
Protein (+++) (-)
Eritrosit (LPB) 3–5 <3
Leukosit (LPB) 40 – 50 <5
Sel Epitel (LPK) 2-3 <2
V.DIAGNOSA
Pasien (AG) didiagnosa menderita Gagal Ginjal Kronik (GGK) yang
disebabkan oleh penyakit Ginjal Obstrujsi dan Infeksi (PGOI).
VI.TERAPI
Pasien mendapat terapi diet protein, pengobatan infeksi dengan antibiotik
spektrum luas berdasarkan educated guess, pemberian diuretik kaut untuk pengobatan
retensi urin dan hipertensi. Pengobatan demam dengan Parasetamol, asam folat untuk
pengobatan anemia, Metoklopromida dan Diazepam untuk pengobatan mual, muntah
serta kejang yang dialami pasien selama perawatan di Rumah Sakit.
VII.TINJAUAN UMUM
Batasan
GGK merupakan perkembangan gagal ginjal yang lambat, biasa berlangsung
dalam beberapa tahun. Tanpa pangobatan, racun yang tidak di filter dalam darah dan
akan merusak organ tubuh lainnya.
Gejala klinik
Hipertensi, penurunan volume urine dan perubahan komposisi kimianya, sesak
nafas, mual dan muntah, kulit pucat, kering dan bersisik, kejang, peningkatan kadar
gula darahm anemia, klasifikasi.
VIII.PEMBAHASAN
Dari hasil pemeriksaan pasien didiagnosa menderita Gagal Ginjal Kronik
(GGK) yang disebabkan oleh penyakit ginjal obstruksi dan infeksi (PGOI). Tindakan
pertama adalah pemberian IVFD Dekstrosa 5% 10 tetes/menit dengan maksud untuk
mengembalikan kondisi tubuh pasien yang lemah.
Pemberian injeksi Furosemid 10 mg 2 kali sehari tidak memberikan efek
sedangkan pemberian 3 kali sehari selama 2 hari memberikan efek. Kemudian
pemberian Furosemid diturunkan menjadi 10 mg 2 kali sehari untuk mencegah
timbulnya efek toksik. Sebaiknya pemberian furosemid diikuti dengan pemantauan
kadar elektrolit untuk mencegah timbulnya efek samping simtom kejang.
Pemberian furosemid berguna untuk menurunkan tekanan darah dari 160/100
mm/Hg hingga 120/80 mm/Hg pada hari terakhir. Pemberian IVFD NaCl 0,9% 10
tetes/menit dimaksudkan untuk menggantikan kehilangan Natrium yang ikut bersama
urine.
Hasil pemeriksaan laboratorium tgl 14 Mei menunjukkan kadar ureum diatas
normal yaitu 355 mg/dl sehingga pasien harus diet protein sebesar 0,6 – 0,7 g/kg
BB/hari. Kadar Leukosit urine diatas normal (40 – 50 LPB), pasien diduga menderita
infeksi saluran kemih.
Penggunaan Seftriakson kurang tepat karena antibiotika golongan Sefalosporin
merupakan zat yang bersifat nefrotoksik, sehingga dapat memperburuk fungsi ginjal
pasien, sebaiknya diberikan antibiotika yang lebih aman.
Adapun antibiotika pada gangguan ginjal yang dapat digunakan adalah
a. derivat eritromisin b. rifamfisin
c. novabiosin d. dosisiklin
Pada pasien ini yaitu diberikan dosisiklin sebagai pengganti dari seftriakson.
Pemberian injeksi Metoklopromid 10 mg 2 kali sehari untuk mengatasi mual
dan muntah yang disebabkan oleh GGK dan obat-obatan yang digunakan. Pemberian
Parasetamol 3 x 500 mg untuk mengobati demam yang terjadi akibat infeksi.
Pemberian Diazepam 5 mg untuk mengatasi kejang yang dialami pasien,
dilanjutka dengan pemberian asam folat 3 x 10 mg untuk mengobati anemia yang
sering terjadi akibat komplikasi dari GGK.
IX.KESIMPULAN
Pasien didiagnosa menderita Gagal Ginjal Kronik (GGK) yang disebabkan oleh
penyakit Ginjal obstruksi dan infeksi (PGOI).
Pemberian Furosemid tidak diikuti dengan pemantauan kadar elektrolit pasien.
Pemberian anti biotika tidak didasari hasil uji kepekaan kuman tetapi hanya
berdasarkan educated guess,
Pemberian seftriakson pada pasien GGK kurang tepat karena bersifat nefrotoksik
Pemberian asam folat tidak didasarkan pada pengkajian terlebih dahulu terhadap
penyebab timbulnya anemia.
X.SARAN
Sebaiknya setelah pemberian antibiotika berdasarkan educated guess
dilanjutkan dengan pemberian antibiotika yang didasarkan pada pengujian
kepekaan bakteri.
Sebaiknya untuk pasien gagal ginjal tidak diberikan seftriakson yang bersifat
nefrotoksik tetapi diberikan antibiotika yang lebih aman seperti dosisiklin yang
efek toksiknya minimal.
Pemeriksaan kadar elektrolit sebaiknya dilakukan untuk mencegah efek
samping yang tidak diinginkan dari kegunaan Furosemid yaitu berupa
hiponatremia dan hipokalemia.
Untuk pengobatan anemia sebaiknya dilakukan pengujian terlebih dahulu untuk
mengetahui secara pasti penyebab anemia.
Perlu lebih ditingkatkan kerjasama antara Apoteker dengan tenaga kesehatan
lainnya di Rumah Sakit agar dapat dihasilkan terapi yang lebih rasional.
Sebaiknya diambil sampel darah pasien dan ditentukan kadarnya.
PERHITUNGAN
Dik : Berat Badan pasien 55 kg
Umur pasien 46 thn
Obat yang didokumentasikan adalah doksisiklin karena dosisiklin aman digunakan
untuk pasien yang GGK (Good Man`s & Gild Man). Parameter kinetik dari dosisiklin
yaitu :
Untuk Dewasa :
Vd = 0,32 – 0,75 l / kg
T1/2 = 6 – 16 jam
F = 1 diberikan secara IV
Konsentrasi maksimum dalam darah 3 µg / ml
Konsentrasi yang diketahui dari literatur hanya konsentrasi maksimum,
Maka konsentrasi minimum dianggap 1 µg / ml
Vd = V x BB
= 0,32 l/kg x 55 kg
= 17,6 L
K = 0,693 = 0,693 = 0,12 /jam
T1/2 6
Cl = K x V
= 0,12 / jam x 29,7 L
= 2,11 L / jam = 2110 ml/ jam = 35,16 ml / menit.
Css max= F x D 1
V (1- (1/2) ) = 16 = 1,7
9,50
= 33,75 mg = 33750 µg
17,6 L 17600
= 33750 µg = 2,74 µg / ml
12320 ml
Css min= (1/2) x Css max
= (1/2) 1,7 x 2,74 µg / ml
= 0,3 x 2,74 µg / ml
= 0,849 µg 0,85 µg / ml
STUDI KASUS
TUBERKULOSIS PARU
I. Indentitas Pasien
Nama : SR
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 35 Tahun
Agama : Islam
Suku : Melayu
Alamat : Jl.Utama Gang. Kuba, Medan
No. Rek. Medik : 42 75 47
Status pasien : Kartu sehat
Riwayat Penyakit
Pasien mengalami batuk darah sejak ± 4 hari yang lalu sebanyak ± setengah gelas
aqua. Pasien juga mengalami sesak nafas dan berkeringat pada malam hari. Riwayat
merokok ± 3 tahun. Pasien pernah mengalami hal yang sama pada ± 2 bulan yang lalu.
Diagnosis
Berdasarkan keluhan pasien, maka pasien didiagnosis menderita tuberkulosis paru.
Terapi
Setelah dilakukan pemeriksaan maka pasien diberikan terapi obat-obatan seperti
tercantum pada tabel.
PEMBAHASAN
Pasien masuk ke rumah sakit Pirngadi pada tanggal 22 September 2005 dengan
gejala batuk darah dan sesak nafas serta berkeringat dimalam hari.Dokter
mendiagnosis pasien menderita tuberkulosis paru. Berdasarkan gejala-gejala
tersebut,sebaiknya diagnosis ini didukung oleh pemeriksaan laboratorium,yaitu :
1.Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA (Bakteri
Tahan Asam), diagnosa tuberkulosis sudah dapat di pastikan.
2.Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis dan
uji ini merupakan pemeriksaan paling murah dan penting untuk mendeteksi
tuberkulosis.
Disamping pemeriksaan laboratorium diatas, sebaiknya dilakukan juga
pemeriksaan fungsi organ tubuh dari pasien tersebut (fungsi hati dan fungsi ginjal)
untuk ketepatan dosis dan pemberian obat.
Dalam kasus ini pasien diberikan :
- Infus KAEN 3B : 20 tetes/menit selama 8 hari
- Injeksi cetotaxim : 1 g/12 jam selama 8 hari
- Injeksi ditranex : 1 amp/8 jam selama 6 hari
- Injeksi vitamin K : 1 amp/hari selama 6 hari
- Rifampisin : 1 x 450 mg selama 12 hari
- INH : 1 x 300 mg mg selama 12 hari
- Pirazinamid : 1 x 1000 mg selama 12 hari
- Ethambutol : 1 x 750 mg selama 12 hari
- Curcumae : 2 x 1 selama 12 hari
- Codein : 3 x 20 mg selama 6 hari,pemberian dimulai dari
hari ke 7
- Dulcolax :1 x 1 selama 2 hari,pemberian dimulai dari hari ke 9
3. Injeksi Ditranex
Injeksi ditranex mengandung asam traneksamat 100 mg/ml.Injeksi ini diberikan
sebagai antiplasminikum untuk pendarahan abnormal seperti sputum berdarah pada
tuberkulosis paru,penyakit homoragi,pendarahan pada genetika.
Pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal, dosis yang dianjurkan adalah :
Serum Oral injeksi Frekuensi
Kreatinin
120-250 μmol/l 15 mg/KgBB 10 mg/KgBB 2x1
250-500 μmol/l 15 mg/KgBB 10 mg/KgBB 2x1
>500 μmol/l 15 mg/KgBB 10 mg/KgBB 2 hari sekali
Atau 7,5 mg/KgBB 5 mg/KgBB 1x1
4. Injeksi Vit K
Injeksi vit K diberikan untuk koagulasi darah sehingga muntah darah yang dialami
pasien dapat dihentikan.
5. Rifampisin
Rifampisin diberikan untuk tuberkulosis paru yang berkhasiat sebagai bakterisid
luas terhadap fase pertumbuhan bakteri tuberkulosa dan mikobakterium
leprae.Mekanisme kerjanyaobat ini mematikan kuman berdasarkan perintangan
spesifik dari suatu enzim bakteri RNA polimerase sehingga sintesa RNA terganggu
selama fase pembelahan.
Dosis = 1 x 450-600 mg pagi hari sebelum makan
Dosis = 10-20 mg/kg BB/hari
6. INH
INH adalah derivat dari asam nikotinat yang berkhasiat untuk tuberkulosis yang
paling kuat terhadap mycobakterium tuberkulosis (dalam fase istirahat) dan bersifat
bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat.
Dosis = oral = 1 x 4-5 mg/kg BB/hari atau 1 x 300-400 mg
7. Pirazinamid
Pirazinamid bekerja bakterisid pada suasana asam pada ph 5-6 oleh bakteriostatik
tergantung ph dan kadar obat dalam darah.Spektrum kerjanya sangat sempit dan
hanya meliputi mycobakterium tubeukulosis.
Dosis = 1 x 30 mg/kg BB/2-4 bulan,maksimum 2 gr/hari.
8. Ethambutol
Ethambutol berkhasiat sepesifik terhadap mycobakterium tuberkulosa dan
mycobakterium atipis,mekanisme kerjanya berdasarkan penghambtn sintesa RNA
pada kuman yang sedang membelah juga menghindari terbentuknya mikolik acid
pada dinding sel.
Dosis = 20-25 mg/kg BB/hari