Anda di halaman 1dari 109

Penyakit Jantung kongestif

Oleh :
Poppy patilaya, S.Si.

Dirangkum oleh :
Imam Bagus Sumantri, S.Farm., Tuan Riaanto Romeo, S.Si., Junaidi halim, S.Si.

I. Identitas Pasien
Nama : T.S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Binjai
No.Rek.Medik : 135874
Status Pasien : Kartu Sehat

II. Keadaan Pasien Waktu MasukRSUP H. Adam Malik Medan.


II.1. Keadaan Umum
Pasien T.S masuk ke Instalasi RINDU A No.l kelas III pada tanggal 27
Agustus 2004 pukul 12.15 WIB. Pasien masuk melalui Instalasi Gawat Darurat
dengan diagnosa penyakit Jantung.
II.2 Status Praesens
Sensorium : Compos mentis (sadar penuh)
Suhu Tubuh : 36,4° C
Tekanan darah : 110/60mmHg
Resporatoiy Rate : 26 kali / menit
Heart Rate : 60 kali / menit

III. Pemeriksaan Laboratorium


Tabel I. Hasil Pemeriksaan Lab. Patologi Klinik Sub. Bagian Kimia Klinik.
Tanggal
Pemeriksaan Normal
31/8 5/9
Haematologi
Leukosit (103/mm3) 8,8 5-10
Trombosit(103 / mm3) 138 150-400
Hb (g/dl) 9,8 12-18
Faal hati
SGOT(UI/L) 83 0-38
SGPT (UI/L) 24 0-40 .
Total Protein 10,1 6-8
SPE:
-Albumin(g/dl) 3,98 4,30-5,10
-Alfa-1 globulin(g/dl) 0,38 0,10-0,20
-Alfa-2 globulin(g/dl) 0,88 0,5-0,8
-Beta globulin (g/dl) 2,10 0,6-0,9
-Gamma globulin(g/dl) 2,76 0,6- 1,1
Faal Ginjal
Urea (/ng/dl) 54 10-50
Creatine (mg/dl) 0,8 0,7- 1,4
Elektrolit
Natrium (mEq/L) 126 135-155
Kalium (mEq/L) 3,96 3,6-5,5
Klorida (mEq/L) 87 97- 137
Tabel II. Hasil Pemeriksaan Lab. Patologi Klinik Sub. Bagian Mikroskopik
No Tanggal Pemeriksaan Hasil Normal
1 27 - 08 – 2004 Urinalisa
- Warna Kuning Jernih-kuning
- Reduksi -
- Protein -
- Bilirubin -
- Urobilinogen +
- Eritrosit 0 - 11 / lpb <3
- Leukosit 0-1 / lpb <5
- Sel epitel 0 – 1 / Ipb <2

Tabel III. Hasil Pemeriksaan Foto


No Tanggal Pemeriksaan Kesan
1 29/08/2004 EKG Ganguan jantung dengan kelainan
pada katub mitral
2 01/09/2004 USG Abdomen Pembesaran hati (hepatomegali)

IV. Diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium untuk faal hati, faal ginjal,
urinalisa dan foto maka didiagnosa pasien menderita gagal jantung kongestif
disebabkan kelairan katub mitral yaitu mitral stenosis dan mitral insufisiensi disertai
dengan pembesaran hati (hepatomegali).

V. Riwayat Penyakit Pasien dan Penggunaan Obat Terdahulu


T.S mengalami sesak nafas dan nyeri dada sejak duduk dibangku Sekolah
Dasar. Keadaan ini semakin memberat dan telah berulang kali menjalani terapi di
rumah sakit dengan diagnosa penyakit jantung. Sebelum masuk ke Rumah Sakit
Umum Haji Adam Malik Medan tanggal 27 Agustus 2003, T.S pernah dirawat
ditempat yang sama kurang lebih sebulan yang lalu. Obat-obat yang pernah digunakan
pasien sebelumnya adalah digoksin, furosemida, Simarc®-2.

VI. Pelaksanaan TDM Digoksin


1. Kondisi klinik pasien
 Pasien mengalami gangguan jantung dengan kelainan pada katup mitral.
 Pasien juga mengalami pembesaran hati (Hepatomegali).
 Karena mengalami pembesaran hati, maka dalam hal ini, bersihan(clearance)
untuk organ ini mengalami penurunan.
2. Interaksi Obat-Obat yang digunakan
a. Digoksin >< Furosemida
Furosemida menurunkan kadar kalium dalam darah sehingga menyebabkan
toksisitas digoksin meningkat.
b. Digoksin >< Spironolakton
Spironolakton akan berinteraksi dengan digoksin dan menurunkan clearance
tubuh sehingga kadar digoksin dalam darah meningkat dan menimbulkan
keracunan.
c. Digoksin >< Laxadine
Laxadine berinteraksi dengan digoksin dan menurunkan konsentrasi digoksin
dalam plasma.
d. Digoksin >< Metoklopramid
Metoklopramid menyebabkan peningkatan gerakan peristaltik lambung dan
menurunkan waktu transit ke usus sehingga bioavailibilitas dari digoksin
menurun.
3. Estimasi parameter-parameter farmakokinetik digoksin
 Range terapi : 0,5-2,0 ng/ml
 T½ : 50 jam
 Vol. Distribusi : 7,14 L/kg x 50 kg = 357 L
 Dosis pemberian : 0,125 mg
 F (Bioavailibilitas) : 0,7
 τ (Interval pemberian) : 12 jam
0,693 0,693
 K   0,01386 jam 1
T½ 50 Jam
 12 jam
   T½  50 jam  0,24

 Cl = K x Vd = 0,01386 jam –1 x 357 L = 4,94802 L/jam


1
Css max  F  D

Vd 1  (½)  
 1
 0,7  0,125mg 

357 L 1  (½) 0,24 
 1,5993ng / ml

 Css min = Css max x (1/2)0,24 = 1,3542 ng/ml


1,44 xT½  F.D/   1,44 x50 jam(0,7.0,125mg / 12 jam)


Cav    1,471ng / ml
Vd 357 L
 Rute Pemberian : Oral
 Konsentrasi rata-rata yang diinginkan
C target = (Cmax+ Cmin)/2
C target = (0,5 +2,0) / 2 ng/ml
= 1,25 ng/ml
Catatan :
Kadar Puncak Digoksin dalamn plasma dicapai dalam waktu 2-3 jam setelah
pemberian peroral dengan efek maksimal 4-6 jam. Kalau tidak diberikan Loading
dose, maka akan diperlukan waktu lebih kurang 5-7 hari untuk mencapai Css
dalam plasma.
Saran :
 Sebaiknya diberikan suatu Loading dose yang besarnya sebagai berikut :
LD = Vd x Css = 7,14 L/kg x 50 kg x 1,25 ng/ml = 0,44625 mg
 Dan untuk mempertahankan kadar digoksin dalam darah, maka diberikan suatu
dosis pertahanan yang besarnya sebagai berikut :
MD = Cl x Css = 4,94802 L/jam x 1,25 ng/ml = 6,185025 mcg/jam
 Dosing Rate yang diberikan adalah sebesar :
D Cl  Cav 4,94802 L / jam  1,471ng / ml
   10,3979mcg / jam
 F 0,7

 Interval Maksimum pemberian obat :


C max 1,5993
 max  1,44  T½  Ln  1,44  50 jam  Ln  11,97 jam  12 jam
C min 1,3542

 Dosis Yang diberikan = 12 jam x 10,3979 mcg/jam = 124,7748 mcg = 0,1248 mg


Dari perhitungan Farmakokinetika, pasien yang mengkonsumsi digoksin ini sudah
mendapatkan dosis dan interval pemberian yang tepat. Namun untuk mencapai
konsentrasi mantap (Css) dalam darah dan memberikan efek terapi terapi, diperlukan
waktu yang cukup lama yaitu : ± 5-7 hari dan diperlukan suatu loading dose agar
konsentrasi mantap dari digoksin dapat tercapai dalam plasma.
VII. Pembahasan
Pasien masuk ke Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan pada tanggal
27 Agustus 2004 dengan keluhan sesak nafas dan nyeri dada yang didiagnosa sebagai
penyakit jantung. Pada hari pertama pasien melakukan aktivitas tirah baring dan
diberikan oksigen 2-4 Liter / menit untuk mengurangi kerja jantung. Disamping itu
karena kondisinya lemah dan susah makan maka pasien diberikan infus dekstrosa 5 %
dalam kombinasi dengan NaCl 0,9 % sebanyak 8 tetes/menit untuk memberikan
tambahan energi serta menjaga keseimbangan elektrolit pada tubuh. Infus dekstrosa
tersebut hanya digunakan selama 1 hari, karena dihari kedua pasien sudah bisa makan.
Penurunan kerja jantung merupakan suatu bentuk terapi yang sangat membantu pada
sebagian besar kasus. Penurunan kerja jantung dapat dicapai dengan cara menurunkan
tingkat aktivitas, menurunkan berat badan, mengontrol hipertensi dan pembatasan
masukan natrium dengan cara membatasi diet (Katzung, 2001). Oleh karena itu pasien
diberikan diet jantung III rendah garam maksimum hanya 1 gram per hari dengan
1756 kalori.
Furosemida merupakan diuretik kuat yang telah digunakan secara luas pada
pengobatan gagal jantung kongestif (Opie,1987). Bekerja dengan menghambat
reabsorpsi elektrolit di lengkung Henle asendens. Pada hari pertama pasien diberikan
injeksi intravena furosemida dengan dosis 20 mg/12 jam, kemudian setelah 48 jam
dosis ditingkatkan menjadi 40 mg/8 jam (sampai akhir pengamatan) dengan tujuan
untuk mengatasi retensi cairan yang menyebabkan udem. Konsentrasi obat dalam
plasma dapat diramalkan dengan menggunakan prinsip farmakokinetik. Pemberian
injeksi furosemida dengan dosis 20 mg / 12 jam akan menghasilkan konsentrasi
maksimum dalam plasma 3,6506 mcg/ml dan konsentrasi minimum 0,0142 mcg/ml.
Sedangkan pemberian injeksi furosemida dengan dosis 40 mg/ 8 jam akan
menghasilkan konsentrasi maksimum dalam Plasma 7,4621 mcg/ml dan konsentrasi
minimum 0,1858 mcg/ml. Range terapi furosemida adalah 1-10 mcg/ml dengan dosis
toksik 25 mcg/ml (Godman and Gillman, 1996). Ditinjau dari kerasionalannya terapi
furosemida tidak rasional karena konsentrasi minimum dibawah range terapi,
oleh karena itu dosis pemberian perlu ditingkatkan menjadi 80 mg/ 8 jam
sehingga diperoleh konsentrasi maksimum plasma 15,5152 mcg/ml dan konsentrasi
minimum 1,000 mcg/ml. Pemberian furosemida dapat menyebabkan efek samping
yaitu gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan saluran cerna, ketulian sementara
dan disfungsi hati (Ganiswarna, 1995). Hipokalemia dapat terjadi akibat pemberian
furosemida sehingga pasien perlu diberikan suplemen kalium secara bersamaan,
dalam hal ini diberikan kalium sustained release (KSR) 1 x 600 mg sehari selama 6
hari
Pada tanggal 28 Agustus 2004 pasien diberikan tablet digoksin 2 x 0,125 mg
sehari yang digunakan sampai akhir pengamatan. Digoksin bekerja dengan
meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium (inotropik positif). Efek inotropik
positif ini akan menyebabkan peningkatan curah jantung sehingga tekanan vena
berkurang, ukuran jantung mengecil dan refleks takikardia yang merupakan
kompensasi, diperlambat. Tekanan vena yang berkurang akan mengurangi gejala
bendungan, sedangkan sirkulasi yang membaik termasuk ke ginjal akan
meningkatkan diuresis dan hilangnya udem. Penyerapan digoksin dihambat oleh
adanya makanan dalam saluran cerna, melambatnya pengosongan lambung dan
sindrom malabsorpsi (Ganiswarna,1995). Dianjurkan kepada pasien untuk makan obat
ini dalam keadaan perut kosong. Efek samping digoksin adalah anoreksia, diare, mual
dan muntah, sakit kepala, aritmia jantung, penglihatan kabur dan bingung. Pada terapi
digoksin dosis muatan (Loading Dose) diperlukan karena sejumlah tertentu digoksin
dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan (steady state). Dosis muatan diberikan
berdasarkan berat badan (diturunkan pada usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal).
Apabila dosis muatan ini tidak diberikan, konsentrasi steady state (Css) pada plasma
dan jaringan dicapai dalam 5-7 hari. Setelah pemberian dosis muatan diikuti dengan
dosis pemeliharaan, umumnya 0,25 mg sehari (Opie,1987). Konsentrasi maksimum
digoksin dalam plasma setelah pemberian peroral dengan dosis 2 x 0,125 mg sehari
adalah 1,2456 ng/ml dan konsentrasi minimum 1,002 ng/ml. Indeks terapi digoksin
adalah 1,0 - 2,0 ng/ml (Katzung, 2001), berarti digoksin berada dalam range terapi.
Tetapi pasien tidak diberikan dosis muatan digoksin sehingga waktu untuk
mencapai konsentrasi steady state menjadi panjang. Berarti dosis yang diberikan tidak
rasional. Oleh karena itu pada terapi digoksin diperlukan dosis muatan yaitu dengan
pemberian digoksin secara intravena, dengan dosis 0,75 - 1 mg, atau pemberian
digoksin secara peroral dengan dosis 1 mg yang akan menghasilkan kadar plasma
digoksin diatas 1 ng/ml dalam waktu 1-5 jam dan efek inotfopik maksimum dicapai 4-
6 jam (Opie,1987).
Pada tanggal 29 Agustus 2004 pasien mengalami demam dengan temperatur
39 °C dan diberikan injeksi tramadol 50 mg. Pemberian tramadol diulangi lagi pada
tanggal 2 September 2004. Tramadol merupakan golongan analgesik opioid dengan
sedikit efek samping kecanduan. Pemberian tramadol dapat menimbulkan efek
samping antara lain pusing, berkeringat, mual, muntah, mulut kering, lelah, sedasi dan
sakit kepala. Pada tanggal 30 Agustus 2004 pasien mengalami mual dan diberikan
tablet metoklopramid 3 x 10 mg sehari dan digunakan bila timbul gejala mual.
Pemberian metoklopramid diulangi pada tanggal 31 Agustus, 3 September dan 9
September 2004. Metoklopramid merupakan antiemetik yang bekerja dengan
mempertinggi ambang rangsang muntah di Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ). Efek
samping yang timbul pada penggunaan metoklopramid antara lain mengantuk, lemah,
lelah, gelisah dan diare. Disamping itu metoklopramida berinteraksi dengan digoksin
bila digunakan secara bersamaan yaitu meningkatkan peristaltik lambung dan
menyebabkan menurunnya waktu transit ke usus sehingga absorpsi dan
bioavailabilitas digoksin menurun. Mual dapat disebabkan oleh efek samping dan
tramadol, maka dianjurkan agar tramadol diganti dengan analgesik lain yang tidak
menghasilkan efek samping mual dan muntah yaitu fenazocin, yang diberikan secara
sublingual.
Pada tanggal 31 Agustus 2004 pasien diberikan laxadine sirup 3 x l sendok
makan untuk mempermudah buang air besar sehingga menurunkan kerja jantung.
Laxadine mengandung fenolftalein, gliserin, parafin cair dan jeli. Pemakaian
Laxadine bersamaan dengan digoksin menyebabkan menurunnya absorpsi digoksin
dan kehilangan cairan dan elektrolit, sementara pasien tidak mengeluh sukar buang air
besar. Oleh karena itu disarankan kepada dokter agar pemakaian laxadine tidak perlu
diberikan.
Pada tanggal 2 September 2004 pasien diberikan spironolakton 1 x 100 mg
sehari dan pemberian KSR dihentikan. Spironolakton merupakan diuretik hemat
kalium yang bekerja dengan menghambat reseptor aldosteron sehingga mengurangi
kerja jantung melalui mekanisme penurunan tekanan darah (Karim, 1996). Pemberian
spironolakton dapat menurunkan klirens ginjal dari digoksin. Penurunan klirens
digoksin di ginjal akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi digoksin dalam
plasma, sehingga meningkatkan resiko keracunan digoksin. Oleh karena itu
spironolakton tidak perlu diberikan.
Pada tanggal 3 September 2004 pasien mengeluh nyeri dada dan dari hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan Protrombin Time berada diatas normal yang
merupakan indikasi adanya abnormalitas sistem koagulasi. Pasien diberikan Simarc ®2
dengan dosis 1 x 2 mg sehari. Simarc ®2 mengandung natrium warfarin 2 mg / tablet,
digunakan untuk pengobatan trombosis vena dan pengobatan penyakit yang
berkenaan dengan gangguan penyumbatan koroner. Konsentrasi maksimum warfarin
dalam plasma adalah 0,7320 mcg/ml dan konsentrasi minimum 0,4663 mcg/ml.
Pemberian warfarin dapat menggeser ikatan furosemida dengan protein, sehingga
menyebabkan konsentrasi furosemida dalam plasma menjadi meningkat dan dapat
meningkatkan resiko overdosis. Oleh karena itu dosis furosemida perlu diturunkan.
Pada tanggai 6-8 September 2004 pasien diberikan iso sorbid dinitrat (ISDN)
tablet sublingual dengan dosis 3 x 15 mg sehari. ISDN menurunkan kerja jantung melalui
efek dilatasi pembuluh darah sistemik. Venodilatasi menyebabkan penurunan resistensi
perifer sehingga beban hilir (tegangan dinding ventrikel sewaktu sistol) berkurang.
Akibatnya beban jantung dan konsumsi oksigen menjadi berkurang (Ganiswarna,1995).
Penggunaan sediaan nitrat secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya toleransi,
oleh karenanya hendaknya diadakan masa bebas nitrat lebih kurang 10 jam/ hari (Tjai,
2002).
Pada tanggai 8 September 2004 pasien kelihatan lesu dan wajah tampak pucat,
disertai sariawan Dari hasil pemeriksaan menunjukkan baliwa pasien mengalami anemia
makrolitik dengan kadar haemoglobin berada dibawah normal. Pasien diberikan tablet
Sulfas ferrosus dengan dosis 2 x 300 mg sehari secara peroral. Zat besi diperlukan untuk
pembentukan haemoglobin. Penggunaan Sulfas ferrosus harus diteruskan selama gejala
anemia belum hilang dan maksimum digunakan selama 6 bulan (Ganiswarna, 1995).
Pemakaian preparat besi peroral dapat menimbulkan konstipasi. Disamping itu pasien
juga diberikan tablet vitamin A 5000 IU 3 x sehari. Defisiensi vitamin A terjadi bila
kesanggupan tubuh menyimpan vitamin A terganggu, misalnya pada sirosis hati, penyakit
obstruksi saluran empedu dan sariawan (Ganiswarna, 1995).
Pada tanggai 9 September 2004 terjadi infeksi pada hidung dan timbul bau. Pasien
diberikan tablet amoksilin 2 x 500 mg sehari dan tetes hidung berisi Gentamisin 1 gram
dalam NaCl 0,9 % dengan dosis 4 tetes 3 kali sehari. Amoksilin merupakan antibiotik
berspektrum luas yang efektif terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.
Penyerapan amoksilin sangat baik pada keadaan perut kosong maupun sesudali
makan. Konsentrasi maksimum amoksilin dalam plasma adalah 43,729 mcg / ml dan
konsentrasi minimum 0,3280 mcg / ml. Tetapi kombinasi amoksilin dengan
gentamisin secara farmakokinetik menunjukkan interaksi yang merugikan, meskipun
dengan rute pemberian yang berbeda. Amoksislin dapat menginaktivasi gentamisin
sehingga menurunkan potensi gentamisin. Oleh karena itu dalam pemilihan antibiotik
perlu dilakukan uji kultur sehingga diperoleh antibiotik yang tepat, sesuai dengan
jenis bakteri.
Therapeutic Drug Monitoring (TDM) pada semua keadaan klinis yang hanya
didasarkan pada pemberian obat secara empiris yang diperoleh dan hubungan dosis
respon telah lama ditinggalkan di negara maju. Monitoring obat dilakukan dengan
mengukur konsentrasi obat dalam darah dengan maksud untuk meyakinkan bahwa
obat berada dalam range terapetik. Salah satu kriteria obat yang harus dimonitor
dalam tubuh adalah obat-obat yang mempunyai range terapi (margin of safety) sempit.
Digoksin mempunyai range terapi sempit (1-2 ng/ml), maka pemberiannya
harus selalu dimonitor disamping mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat
meningkatkan dan menurunkan kadar digoksin dalam plasma. Pemberian digoksin
bersama dengan metoklopramid atau spironolakton dapat mempengaruhi kadar
digoksin dalam plasma, oleh karena itu perlu dihindarkan. Metoklopramid dapat
menurunkan kadar digoksin dalam plasma, apabila metoklopramid harus diberikan
maka dosis digoksin harus ditingkatkan. Spironolakton dapat menurunkan kliren
ginjal dan menyebabkan kadar plasma digoksin meningkat. Kadar digoksin yang
tinggi dalam plasma akan meningkatkan resiko keracunan dimana kadar toksiknya
adalali lebih besar dari 1 ng/ml (Smith, et.al., 1994). Dalam hal ini maka dosis
digoksin harus diturunkan. Ginjal dan hati merupakan organ penting dalam proses
metabolisme obat. Kerusakan salah satu organ tersebut akan menyebabkan
perpanjangan waktu paruh eliminasi obat sehingga perlu penyesuaian dosis. Apabila
terjadi kerusakan ginjal maka obat akan dieliminasi melalui rute ektrarenal.
K total = K renal + K ekstrarenal
Cl total = Cl renal + Cl ekstrarenal
Kecepatan eliminasi = CItotal x konsentrasi obat dalam plasma
Secara matematis dapat dijelaskan bahwa adanya gangguan pada salah satu
organ akan menyebabkan menurunnya klirens total, sehingga laju eliminasi menjadi
lambat. Laju eliminasi yang lambat dapat meningkatkan kadar digoksin dalam plasma
yang dapat meningkatkan efek toksik. Pada keadaan yang menunjukkan adanya
gangguan ginjal atau hati maka dosis harus diturunkan (Shargel; dan Yu, 1985).
Pada pengobatan antibiotik, untuk mengetahui kepekaan mikroba: terhadap
antibiotik secara pasti perlu dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi diikuti
dengan uji kepekaan (Ganiswarna, 1995). Dengan demikian dapat menghindarkan
terjadinya praktek polifarmasi dan mengurangi biaya pengobatan.
Pasien T.S menderita gagal jantung kongestif disebabkan oleh kelainan katup.
Oleh karena itu apabila dengan terapi obat-obatan tidak terdapat kemajuan maka
disarankan agar dilakukan pergantian katup.
VIII. Pemberian Informasi Obat
Dalam kasus ini Apoteker berperan memberikan informasi kepada :
1. Pasien agar tidak banyak melakukan aktivitas sehingga kerja jantung tidak berat.
2. Pasien agar mengkonsumsi makanan yang direkomendasikan dari rumah sakit dan
menghindari makanan yang mengandung garam.
3. Keluarga pasien tentang kegunaan dari masing-masing obat yang diberikan kepada
pasien.
4. Perawat tentang cara dan wakru pemberian obat yang benar.
5. Dokter tentang kemungkinan terjadi interaksi antara obat-obat yang dipakai.
IX. Kesimpulan dan Saran
IX.1. Kesimpulan
1. Pengobatan yang dilakukan tidak rasional, karena obat-obat yang diberikan sering
kali berinteraksi secara farmakokinetik dengan obat lain yang diberikan
bersamaan, yaitu :
A. Furosemida dengan dosis 40 mg/8 jam diperoleh konsentrasi maksimum
dalam plasma 7,4621 mcg/ml dan konsentrasi minimum 0,1858 meg/ml.
Simarc®2 dapat menggeser ikatan furosemida dengan protein sehingga kadar
furosemida dalam plasma meningkat. Kadar furosemida yang tinggi dapat
meningkatkan resiko keracunan.
B. Laxadine menyebabkan menurunnya konsentrasi digoksin dalam plasma
sehingga bioavailabilitasnya menurun.
C. Metoklopramid dapat meningkatkan peristaltik lambung dan menyebabkan
menurunnya waktu transit ke usus sehingga bioavaiiabilitas digoksin
menurun.
D. Spironolakton dapat menurunkan kliren ginjal sehingga kadar digoksin dalam
plasma meningkat. Tingginya kadar digoksin dapat meningkatkan resiko
keracunan ( dosis toksik digoxin >2 ng/ml.)
2. Gejala udem yang terjadi pada bagian perut dan kaki masih terlihat.
3. Dalam terapi digoksin tidak diberikan dosis muatan (loading dose) sehingga
konsentrasi digoksin dalam plasma dicapai dalam waktu 5-7 hari.
4. Pemeriksaan laboratorium sebagai data penunjang dalam pengobatan penyakit
jantung lambat.
IX.2. Saran
1. A.. Pemberian laksansia (Laxadine) tidak diperlukan
B. Pemberian metoklopramid sebaiknya dihindarkan
C. Pemberian spironolakton tidak perlu karena pasien telali diberikan furosemida
sebagai diuretik.
2. Dosis pemberian furosemida injeksi perlu ditingkatkan menjadi 80 ng/6 jam agar
konsentrasi dalam plasma berada dalam range terapi.
3. Dalam terapi digoksin perlu diberian dosis muatan (loading dose) agar konsentrasi
steady state (Css) tercapai dengan cepat yaitu dengan pemberian dosis 1 mg,
dimana Css dicapai dalam waktu 1 - 5 jam. Kemudian diikuti dengan pemberian
dosis pemeliharaan 0,25 mg sehari. Pemberian dosis muatan dan dosis
pemeliharaan ini hendaknya mempertimbangkan keadaan ginjal dan hati pasien.
4. Pemeriksaan laboratorium perlu dipercepat sehingga terapi dapat berjalan
maksimal.

Tabel Pemberian Obat dapat dilihat pada lampiran I, Halaman 1.


Koma Uremikum Yang Disebabkan
Oleh Gagal Ginjal Kronis Akibat Dari Nefropati Diabetik, Diabetes
Mellitus Tipe II Dan Hipertensi
Dirangkum oleh:
Desyanti, S.Si., Yulfianis, S.Si., Yunida

KASUS
Seorang pasien (Ny.I) umur 43 tahun dengan berat badan 44 kg masuk 6 Mei 2003
melalui IGD rumah sakit dalam keadaan koma, sesak nafas, wajah sembab dan
tungkai bengkak, kemudian dirawat dibagian neurology dan dipindahkan kebagian
interna pada tanggal 7 Mei 2003.
- Anamnase
Koma, DM tipe II (+), Hipertensi (+)
- Pemeriksaan Fisik
Nadi 140 x/mnt, Pernapasan 37 x/mnt, suhu 38,3ºC, TD 150/100 mmHg

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Lab. Patologi Klinik Sub Bagian Mikroskopi


Pemeriksaan 7 – 5 - 2003 8 – 5 - 2003 Normal
Urinalisa
Warna urin Kuning keruh Jernih-kuning
BJ 1,025 <1
PH 7,5 6-7
Nitrit - -
Glukosa - -
Protein +++ -
Bilirubin - -
Urobilinogen + -
Eritrosit (lpb) 0–1 <3
Lekosit (lpb) 5–8 <5
Sel epitel (lpb) 1–2 <2
Kristal Ca. oksalat + -
Keton (-) -

Tabel 2. Hasil Lab. Patologi Klinik Sub Bagian Hematologi


Pemeriksaan Unit 9/5 16/5 20/5 Normal
Hemoglobin g% 8,4 L = 14-18
P = 12-16
Lekosit 10³/mm³ 12,7 18,6 11,4 5-11

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Kadar Gula Darah


Pemeriksaan Unit 7/5 8/5 9/5 10/5 11/5 12/5 13/5 16/5 20/5 Normal
Gula darah* mg/dl 154 100-140
Gula darah** mg/dl 340 70-100
Gula darah*** mg/dl 318 <200
Gula serum* md/dl 351 432 630 530 219 120 203 78 75-115
Keterangan: * : adrandom
** : puasa
***: post prandial

Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1. Hasil Lab. Patologi Klinik Sub Bagian Kimia Klinik
Pemeriksaan Unit 7/5 9/5 11/5 13/5 14/5 16/5 20/5 Normal
Faal Hati
-Bilirubin total mg/dl 0,6 <1
-Bilirubin direk mg/dl 0,3 < 0,25
-Alkalin fospat U/I 217,9 60 - 170
-SGOT U/I 24 2 - 18
-SGPT U/I 38 < 22
Metabolisme lemak
-Total kolesterol mg/dl 136 160 - 260
-Trigliserida mg/dl 306 60 - 160
-HDL kolesterol mg/dl 34 < 55
-LDL kolesterol mg/dl 41 < 150

Faal Ginjal mg/dl 197 190 105 108 44 20 - 40


-Ureum mg/dl 6,1 5,2 2,6 2,4 2,5 0,6 – 1,6
-Creatinin mg/dl 13,1
-Asam urat
meq/l 132 133 134 133 128 124 134 136 – 144
Elektrolit meq/l 7,6 5,74 4,9 4,17 3,56 4,6 3,87 4–5
meq/l 116 106 105 106 102 100 107 97 – 137
-Natrium
-Kalium mmHg 7,323 7,437 7,47 7,35 – 7,4
-Klorida mmHg 17,6 21,5 26 31 – 50
AnalisaGas Darah mmHg 117,9 113,5 75 – 90
-pH mmol/l 9,2 14,2 18,5 23 – 30
mmol/l 9,8 19,8 19,5 21 – 31
-pCO2 -14,2 -1,0 (-2,3)-(+5)
-pO2 % 98,3 98,4 98,6
-Bikarbonat
-Total CO2
-Base exess
-O2 sat

- Riwayat Penyakit terdahulu


DM ±3 tahun yang lalu, Hipertensi ±2 tahun yang lalu.

-Riwayat Penggunaan obat


Insulin, Dexacap, Furosemid, Clonidin

DIAGNOSA
Setelah dokter melakukan Pemeriksaan Fisik diasnostik, diperoleh data tanggal 7 Mei
2003
- Keadaan umum
Sensorium Koma, TD 150/100 mmHg, Nadi 104X/mnt, Pernapasan 37X/mnt,
Temperatur 38,3ºC
- KeadaanPenyakit
Refleks Fisiologis (+), Refleks Patologis Bobunsky (+), Chaddock (+), Udem (+),
Turgor kulit baik Dipshu (+).
Berdasarkan hasil pemeriksaan maka pasien di diagnosa menderita koma uremicum

yang disebabkan oleh gagal ginjal kronis yang disebabkan oleh Nepropati diabetik,

Diabetes mellitus tipe II dan Hipertensi.

TERAPI
Terapi yang dilakukan dengan diet, Pemberian injeksi insulin, Pemberian obat-obat
Hipertensi, melakukan Hemodialisa, Pemberian gas O2 dan infus NaCl.

TINJAUAN UMUM

Diabetes Melitus
Berdasarkan Patofisiologinya diabetes melitus yang diderita pasien adalah DM tipe
II.
Pada tipe ini kelainan terletak pada :
1. Sekresi insulin oleh Pankreas yang cukup, tapi terjadi keterlambatan sehingga
glukosa sudah di absorbsi masuk ke darah tetapi insulin belum memadai
2. Jumlah reseptor jaringan kurang memadai
3. Jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek sehingga insulin tidak
efektif
4. Terdapat kelainan di Pasca reseptor sehinga glikosis intraselluler terganggu.

Gagal ginjal kronik


Gagal ginjal kronik merupakan hilangnya fungsi ginjal secara bertahap, yang
disusul dengan hilangnya fungsi ginjal secara cepat. Tanpa pengobatan racun yang
tidak difilter didalam darah akan merusak sejumlah organ tubuh penderita. Apabila
penderita dapat mentelerirnya, maka penderita gagal ginjal kronis dapat menerima
hemodialisa atau transplantasi ginjal.
Gejala Klinis:
1. Kulit sangat karakteristik kulit menjadi pucat, edema, coklat kebiruan, kering
bersisik, kuku jari tangan menjadi tipis, rapuh, rambut kering dan mudah
patah, perubahan warna dan mudah rontok
2. Sistem saraf pusat : neuropati, koma
3. Perubahan darah : anemia, penurunan umur sel darah merah, kehilangan
darah sewaktu dialysis
4. Kardio vaskuler : hipertensi, perikarditis.

Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah arteri melemah normal
yaitu sistole > 140 mmHg dan diastole > 90 mmHg
Gejala Klinis
Gejala hipertensi dapat berbeda untuk setiap orang. Kadang tanpa gejala, dan
gejala baru timbul setelah terjadi komplikasi pada target organ seperti pada ginjal,
mata dan jantung. Gejala seperti sakit kepala, pusing, marah, mimisan, sukar tidur
dan rasa mudah lelah sering ditemukan sebagai gejala klinis.

PEMBAHASAN
1.Pemberian injeksi ceftriaxone tidak rasional
Karena ceftriaxone bersifat nefrotoksik, sedangkan pasien menderita gagal ginjal
kronis. Lagi pula tidak dilakukan uji kultur terhadap kuman.
Oleh karena itu Ceftriaxone diganti dengan Amoxicillin, dengan dosis disesuaikan
dengan pasien penderita gangguan ginjal.
Sebaiknya dilakukan uji kultur untuk mengetahui jenis mikrobanya sehingga
dapat dipilih antibiotik yang tepat untuk diberikan kepada pasien.
2.Pemberian Amlodipin dan Adalat – OROS tidak rasional
Karena untuk pasien DM tipe 2 yang menderita hipertensi seharusnya diberikan
obat anti –hipertensi dari golongan penghambat ACE seperti Captopril. Dan
penggunaan obat hipertensi ini sebaiknya dikombinasi dengan diuretik dari mulai
awal pemberian untuk mengatasi retensi urin. (Obat-obat penting halaman 513).
Sedangkan Amlodipin dan Adalat – OROS merupakan obat hipertensi dari
golongan antagonisca.
3. Pemberian Lasix sebagai diuretic tidak rasional
Sebab Lasix adalah diuretic yang boros kalium, sedangkan pada pasien juga tidak
diberikan KSR untuk mengatasi kekurangan kalium.
Sebaiknya diuretic yang diberikan adalah Spironolakton yang tidak boros kalium.
4. Allupurinol
Pemberian Allupurinol untuk menurunkan kadar asam urat, namun dosis yang
diambil harus yang paling rendah yaitu 100 – 200 mg sehari, harus dilakukan
pemeriksaan kreatinin clearance dan BUN, penyesuaian dosis harus dilakukan
untuk pasien gangguan ginjal.
5. Infus NaCl 0,9%
Berdasarkan uji laboratorium kandungan elektrolit pasien dibawah normal
pemberian infus NaCl dimaksudkan untuk mengatur keseimbangan elektrolit
dalam tubuh. Tapi harus disertai pemeriksaan tekanan darah setiap hari.
6. Infus Na bicarbonat
Diberikan pada tanggal 7 dan 8 Mei (awal masuk) karena kadar bicarbonat darah
jauh di bawah normal (rendah) setelah itu infus dihentikan.
7. Infus NaCl 3%
Diberikan karena kadar Natrium pasien pada tanggal 16 Mei sangat rendah.
Infus NaCl 3% hanya diberikan 1 hari.
8. Pemberian paracetamol rasional
Hanya diberikan 1 hari untuk menurunkan panas tubuh pasien.
9. Injeksi regular Insulin sudah rasional
Injeksi ini untuk menormalkan kadar gula darah, pemberian ini rasional.

10. Oxoferin sudah rasional


Oxoferin mengandung tetrakloroksigen berfungsi sebagai antiseptik dan
desinfektan.

Rekomendasi
1. Untuk pasien Diabetes seharusnya pemeriksaan kadar gula darah minimal 4X
sehari. ( Obat-obat Penting, halaman 699)
2. Efek samping Allupurinol yang paling sering terjadi adalah ruam kulit,
hentikan penggunaan Allupurinal jika terjadi ruam kulit.
3. Sebelum pemberian antibiotik untuk mengobati infeksi, lakukan dahulu uji
kultur dan kepekaan terhadap kuman.
4. Sebaiknya pemeriksaan tekanan darah dan kadar kreatinin ginjal dilakukan
tiap hari.

Lampiran II
Perhitungan Kadar Obat dalam plasma:
Amoksisilin
Diket: t½ = 1 – 2 jam
Vd = 0,3 L/kg
RT = 3 μg/ml
- K = 0,693 = 0,346 jam‾¹
2 jam

- Vd = 0,3 L/kg. BB
= 0,3 L X 44 kg
= 13,2 L

- Dosis muatan : LD = Vd X Css


= 13,2 L X 3 mg/L
= 39,6 mg

- cl = k X Vd
= 0,346 jamֿ¹ X 13,2 L
= 4,56 L/jam

- MD = Cl X Css`
= 4,56 L/jam X 3 mg/L
= 13,68 mg/jam

-Dosing rate. D = Cl X Css


σ F

= 4,56 L/jam X 3mg/L


1
= 13,68 mg/jam

-t.max = 1,44. t½ ln 3 mg/L


= 1,44. 2 jam. 1,0986 mg/L
= 3,163 jam dibulatkan jadi 6 jam
- Regimen dosis = 6 jam X 13,68 mg/jam
= 82,08 mg

∑ = T =6 =3
t½ 2

1
Css max = FD
Vd (1 – (½)Є)

1
= 1.82.08 mg
13,2L (1 – (½)Є)

= 82.08mg
11.55 L

= 7,106 mg/L

Css min = Css max . (½)


= 7,106 mg/L . (½)³
= 0,88 mg/L

Perhitungan dosis yang disesuaikan dengan nilai kreatinin pasien.


Diket:
- creatinin normal = 0,6 – 1,6
- creatinin pasien = 6,1
- dosis Amoxisilin = 500 mg

creatinin clearence = 1,6 X 500 mg


6,1

= 131,147mg
Tabel pemberian Obat Terlampir Pada Lampiran I, Halaman 2.

LARINGOMALASIA DAN GIZI BURUK TIPE MARASMUS

Oleh : 1. Zulfahmi Putra S.Farm


2. Dormauli Manurung S.Si
3. Marsintauli Purba S.Si

1. Identitas Pasien
Nama : NF
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 1 tahun 5 bulan
Berat Badan : 3.2 kg
Panjang Badan : 62 cm
Agama : Islam
Suku : Padang
Alamat : Jln.Karya Jaya
No.Rek.Medik : 27 8239
Status Pasien : Umum

2. Ringkasan pada waktu pasien masuk


Pasien masuk rawat inap anak ( Rindu B1 ) RSUP H.Adam Malik Medan pada
tanggal 9 mei 2005 pukul 22.30 wib dari instalasi Gawat Darurat dengan keluhan
sulit bernafas. Hal ini dialami sejak berusia 4 bulan, stridor inspirator (+), demam
(-), muntah (-), mencret (-), pasien belum dapat berbicara, merangkak, pasien
hanya dapat tidur terlentang.

Pemeriksaan yang dilakukan


A. Pemeriksaan Fisik :
a. Status Praecens
Sensorium : Compas Mentis (kesadaran Penuh)
Suhu Tubuh : 37 º C
HR : 110 kali/menit
RR : 30 kali/menit
BB : 3,2 kg
PB : 62 cm

b. Status Localisata
Kepala : Ubun-ubun besar cekung
Mata : Refleks cahaya +/+, pupil isokher kanan =kiri
Old man face (+)
Leher : Pembengkakan kelenjar getah bening (-), kaku
Kaku kuduk (+)
Dada : Simetris Fusiformis
Abdomen : Sopel
Anggota gerak : Pols 110 kali/menit, lemak subkutum sangat
kurang, otot hipotrofil

B. Pemeriksaan dan hasil laboratorium


Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik
Tanggal
9 – 05 - 05
Pemeriksaan Unit Normal

Elektrolit darah
Natrium 166 mEq/L 139-146
Kalium 4,80 mEq/L 4,1-5,3
Klorida 86 mEq/L 95-110
Analisa Gas Darah
Ph 7,37 mm Hg 7,35-7,45
PCO2 45 mm Hg 38-42
PO2 63 mm Hg 85-100
Bikarbonat 25,6 mm Hg 22-26
Total CO2 27,0 mm Hg 19-25
Base Excess 0,2 mm Hg -2 - +2
Saturai O2 91 mm Hg 95-100
Betabolisme 98 Mm / dl ≤ 200
Karbohidrat

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hematologi

No. Tanggal Pemeriksaan Unit Hasil Normal

1. 9 – 05 - Hemoglobin g% 10,1 10 -15


2005 Lekosit 103/ mm3 7,3 5 – 10
Hematokrit % 33 30 – 40
Trombosit 103/mm3 379 150 - 450

3. Riwayat Penyakit
Pasien mengalami sesak nafas dan nafas berbunyi sejak berusia sejak berusia 4
bulan, pasien sering batuk tidak berdahak sejak usia 4 bulan dan berat badan terus
menurun.

4. Diagnosa
Berdasarkan hasil pemeriksaan
a. Pasien didiagnosa menderita laringomalasia yang ditandai dengan
pernafasan bersisik (stridor inspirasi) terutama pada saat
pasien terlentang, menangis dan makan.
b. Berdasarkan penilaian status gizi melalui pemeriksaan antropometri.
- BB pasien 3,2 kg (<60 % BB anak sehat yaitu 12 kg)
- Indeks masa tubuh 8,32 (nilai standar <20 – under wight)
- Lemak subkutum yang sangat kurang
- Karakteristik old man face
Maka pasien didiagnosa menderita gizi buruk tipe marasmus.

5. Terapi
Terapi yang diberikan untuk menangani keadaan laringomalasia dan gizi buruk
yang dialami pasien

6. Tinjauan Umum
Laringomalasia dan gizi buruk
Laringomalasia atau stridor laring kongenital merupakan penyebab paling
banyak pernapasan bersisik pada bayi. Laringomalasia adalah kelainan bawaan yang
muncul setelah bayi lahir. Selama pembentukan fetus, struktur laring tidak terbentuk
sempurna, akibatnya terjadi kelemahan pada laring saat bayi dilahirkan, sehingga
bayi mengalami kolaps pada saat bernafas.
Laringomalasia terjadi pada minggu pertama atau kedua setelah lahir dan
cenderung memburuk sampai usia 3 dan 6 bulan. Biasanya tidak ada perubahan
antara usia 6 sampai 12 bulan. Setelah itu mereda perlahan-lahan dengan
bertambahnya usia pasien dan hilang saat mencapai 18 sampai 24 bulan. Dalam
kasus tertentu laringomalasia terjadi sampai anak usia 5 tahun. Hanya sekitar 10%
dari penderita laringomalasia yang membutuhkan pengobatan dan atau pembedahan.
Proses metabolisme anak pada dasarnya sama, akan tetapi relatif lebih aktif
dibandingkan dengan orang dewasa. Pertumbuhan berkurang atau terhenti, berat
badan <60% berat badan anak normal, anak masih menangis walaupun telah
mendapat minum atau disusui, sering bangun pada waktu malam, konstipusi atau
diare. Bila anak menderita diare maka akan terlihat berupa bercak hijau tua yang
terdiri dari lendir dan sedikit tinja. Jaringan lemak dibawah kulit akan menghilang,
sehingga kulit kehilangan turgornya dan keriput. Pada keadaan yang berat, lemak
pipi pun menghilang sehingga wajah bayi/ anak seperti wajah seorang tua (old man
face). Vena superfisial tampak lebih jelas, ubun-ubun cekung, tulang pipi dan dagu
kelihatan menonjol, mata tampak besar dan dalam. Ujung tangan dan jari terasa
dingin dan terjadi sianosis, perut membuncit atau cekung dengan gambaran usus
yang jelas.

Pemeriksaan laboratoriun
Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan pada penilaian status gizi pasien
antara lain:
1. Kadar gula darah : Hipoglikemia terjadi bila kadar gula <3 mmol/1
2. Kultur Darah
3. Kadar Hemoglobin : Anemia parah terjadi bila Hb <40 g/1
4. Pemeriksaan urin dan kultur, kadar leukosit yang tinggi menunjukkan adanya
infeksi
5. Pemeriksaan kadar albumin
6. Pemeriksaan kadar elektrolit darah
7. Bila perlu dilakukan tes TBC, khusus bila anak belum mendapat vaksin BCG

Perawatan Gizi Buruk


Perawatan gizi buruk melalui 2 fase yaitu penyembuhan dan rehabilitasi
A. Penyembuhan ( 1-7 hari )
Pasien diberikan larutan glukosa 5 atau 10%. Dehidrasi pada malnutrisi
biasanya sulit untuk diamati. Larutan rehidrasi yang diberikan adalah larutan rendah
kandungan Na dan tinggi K. Penderita malnutrisi biasanya mengalami difisiensi K
dan Mg. Pasien diberikan extra K 2-4 mmol/kg/hari dan Mg 0,3-0,6 mmol/kg/hari.
Larutan ini dapat dipenuhi dengan pemberian larutan ReSoMal.
Larutan ReSoMal.
Komposisi :
- Glukosa 125 mmol/L
- Natrium 45 mmol/L
- Kalium 40 mmol/L
- Klorida 70 mmol/L
- Sitrat 7 mmol/L
- Magnesium 3 mmol/L
- Zink 0,3 mmol/L
- Cu 0,045 mmol/L
- Osmolaritas 300 mmol/L
ReSoMal 5 ml /kg/BB setiap 30 menit selama 2 jam secara oral atau melalui
NGT, selanjutnya 5-10 ml/kg/BB/jam untuk 10-14 jam berikutnya. Bila terjadi
edema jangan diberikan diuretik, karena dapat menyebabkan hipernatremia dan
dapat menyebabkan kematian .
Pasien malnutrisi memiliki resiko tinggi mengalami gagal jantung , maka
pengaturan larutan elektrolit harus lebih hati-hati, serta harus diperhatikan tanda-
tanda adanya gagal jantung, seperti takipne, takikardia dan hepatomegali.
Pasien gizi buruk umumnya harus diberi antibiotik, Pemilihan antibiotik
menurut anjuran WHO untuk terapi gizi buruk adalah sebagai berikut :
1. Bila pasien tidak menunjukkan gambaran klinik infeksi diberikan suspensi
kotrimoksazol paed 2 x 5 ml selama 5 hari.
2. Bila pasien menderita penyakit (apatetik, letargi) atau terjadi komplikasi
(hipoglikemia, hipotermia, infeksi) diberikan ampicillin 50 mg/kg BB/IM/IV/6
jam/ hari selama 5 hari dan dilanjutkan amoksisilin oral 15 mg/kg BB/ 8 jam
sampai 5 atau 7 hari (ampicillin dilanjutkan 50 mg/kg BB/ 6 jam dan gentamisin
7,5 mg/kg BB/IV/IM dosis tunggal hari ke 7.
3. Bila pasien tidak menunjukkan perbaikan klinik, diberikan kloramphenicol 25
mg/kg BB/IM/IV/6 jam selama 5 atau 7 hari.
4. Bila pasien terjadi infeksi spesifik, diberikan diberikan antibiotik yang sesuai.
Selain pemberian antibiotik pada pasien gizi buruk juga diberikan vitamin. Vitamin A
secara oral selama 2 hari dan diberikan dosis ketiga minggu kemudian.
0 – 5 bulan 50.000 IU
0 – 12 bulan 100.000 IU
> 1 tahun 200.000 IU
Selain daripada vitamin tersebut diatas diberikan setiap hari selama 2 minggu seperti :
- Suplemen multivitamin
- As.Folat 1 mg/ hari ( 5 mg pada hari pertama )
- Zink 2 mg / kg/hari
- Cu 0,3 mg/ kg / hari
- Fe untuk profilaksis 1-2 mg/kg/hari, tidak lebih dari 15 mg/ hari, bila terjadi anemia
defisiensi Fe diberikan 3 mg/ kg / hari dibagi dalam 2 dosis, hati-hatiterhadap efek
iritasi gastrointestinal.

B.Fase Rehabilitasi ( minggu ke 2 – 6 )


Hal yang penting dalam pemberian nutrisi pada fase ini adalah :
1. Jumlah kecil tapi sering, rendah osmolaritas dan rendah laktosa
2. Secara oral atau melalui NGT
3. Pemberian makan diberikan siang dan malam
4. 1 – 1,5 protein / kg/ hari
5. 130 mg/ kg / hari cairan ( 100 ml/ kg / hari bila terjadi udema
Respon yang kurang pada masa rehabilitasi dapat disebabkan karena pemasukan
makanan atau kalori yang kurang, adanya infeksi atau karena adanya gangguan
absorbsi (malabsorbsi). Dalam hal ini dibutuhkan pemeriksaan yang lengkap untuk
mengetahui penyebabnya, bukan hanya menambahkan jumlah obat ataupun nutrisi
yang biasanya tidak akan efektif.
PEMBAHASAN
Berdasarkan pemeriksaan patologi klinik pada tanggal 9 Mei 2005 diperoleh
data bahwa pasien mengalami hipernatremia dan hipoklorida. Oleh karena itu cairan
infus maupun nutrisi enteral yang diberikan harus rendah Na. Keadaan hipernatremia
dapat disebabkan pemasukan cairan yang kurang karena saat minum anak sering
mengalami regurgitasi. Dan pada pemeriksaan analisa gas darah tampak bahwa PO 2
dan saturasi O2 berada dibawah normal karena pasien mengalami sesak nafas yang
disebabkan oleh laringomalasia, maka keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian O 2
2-3 liter/menit.
Pasien diberi infus D5%-Nacl 0,225 10 tetes/menit makro, infus D5%-NaCl
0,225% mengandung 170 kalori/1, 34 mEq/1 Natrium dan 34 mEq/1 Klorida. Dengan
pemberian infus 10 tetes/menit makro, pasien mendapat masukan kalori sebanyak
122,4 kalori/hari, 24,48 mEq Na dan 24,48 mEq Cl. Pemberian infus bertujuan untuk
mengatasi keadaan hipoglikemia dan memberikan masukan kalori yang sangat
dibutuhkan pada pasien yang mengalami giji buruk karena kekurangan kalori serta
menggantikan kekurangan klorida. Pemberian infus D5%-Nacl 0,225 ini diselang-
seling dengan pemberian aminofusin paed yang mengandung berbagai jenis asam
amino, elektrolit dan vitamin. Pemberian aminofusin paed akan memberikan masukan
protein yang sangat dibutuhkan pada keadaan malnutrisi.
Tanggal 10 mei 2005 pasien diberikan parasetamol dengan dosis 3 kali sehari
30 mg secara peroral. Parasetamol diberikan untuk mengatasi keadaan demam yang
dialami pasien. Parasetamol merupakan antipiretik yang bekerja dengan menghambat
enzim siklo-oksigenase sehingga pembentukan asam arakidonat terganggu dan
biosintesa prostaglandin dihipotalamus akan terganggu. Efek samping jarang terjadi
tetapi pada penggunaan dosis besar jangka panjang dapat terjadi kerusakan hati.
Dengan dosis tersebut akan menghasilkan konsentrasi maksimum 9,26 mcg/ml dan
konsentrasi minimum sebesar 0,58 mcg/ml. Dari data tersebut, konsentrasi
parasetamol ternyata tidak mencapai range terapi obat yaitu 10-20 mcg/ml. Untuk
mencapai range terapi dosis perlu ditingkatkan menjadi 40 mcg/ml dengan interval 8
jam atau 3 kali sehari dan menghasilkan konsentrasi maksimum 12,35 mg/ml dan
konsentrasi minimum 0,77 mcg/ml. Namun hal ini dapat ditolerir karena berdasarkan
pengamatan terhadap pasien, dengan dosis tersebut demam yang dialami pasien dapat
turun.
Pada tanggal 10 mei 2005 pasien diberikan amoksan drop karena antibiotik
disini merupakan antibiotik bakterisida golongan beta laktam turunan penisilin yang
memiliki mekanisme kerja mengganggu pembentukan dinding sel bakteri (Ganiswara,
1995). Anti dimaksudkan sebagai profilaksis, untuk mencegah pasien mengalami
infeksi karena daya tahan tubuh yang lemah. Dari data hasil pemeriksaan jumlah
leukosit pada tanggal 10 mei 2005 kadar leukosit pasien normal, ini menyatakan
pasien tidak mengalami infeksi. Pasien diberikan antibiotik terus-menerus sampai
akhir masa pengobatan, pemberian antibiotik yang berkepanjangan sebenarnya tidak
diperlukan dan dapat menyebabkan terjadi resistensi. Berdasarkan anjuran WHO bila
pasien tidak mengalami komplikasi dengan suatu penyakit atau infeksi, sebagai
profilaksis diberikan kotrimoksazol paed 2 x 5 ml selama 5 hari.
Pada tanggal 13-16 mei 2005 pemberian amoksisillin dihentikan sementara
dan pasien diberikan injeksi ampicillin 200 mg/8 jam/IV. Pemberian antibiotik ini
memberikan konsentrasi maksimum 199,85 mcq/ml dan konsentrasi minimum 2,81
mcq/ml. Pemberian antibiotik tidak tepat, karena pasien tidak mengalami keadaan
tertentu yang memerlukan injeksi antibiotik dengan cepat. Pada pasien tidak
dilakukan pemeriksaan ulang jumlah leukosit sehingga tidak diketahui apakah terjadi
infeksi sehingga membutuhkan antibiotik dalam waktu yang lama, dan juga tidak
dilakukan kultur dan kepekaan kuman untuk menetukan sesitifitas terhadap antibiotik
ataupun mikroorganisme yang mungkin ada. Pada tanggal 18-19 mei 2005 pemberian
infus D5%-Nacl 0,225 diganti dengan infus ringer laktat, infus ini mengandung
elektrolit lain disamping Na dan Cl, yaitu K, Ca, Mg, dan Laktat namun cairan infus
hanya memberikan sedikit kalori yaitu 9 kalori/1, maka pemakaian infus dihentikan
dan kembali digunakan infus D5%-Nacl 0,225. pada pasien tidak dilakukan
pemeriksaan ulang elektrolit darah, sehingga tidak dapat ditentukan dengan tepat dari
pemberian cairan infus.
Pasien diberikan vitamin A 200.000 UI/hari selama 2 hari. Vitamin A memiliki
efek trofi pada jaringan epitel, memperbaiki fungsi retina dan sebagai anti oksedan.
Pasien diberikan asam folat 5mg pada hari pertama, kemudian 1mg/hari untuk 10 hari
kemudian. Pemberian asam folat dimaksudkan untuk mencegah anemia yang terjadi
pada pasien gizi buruk. Pemberian kedua vitaminini sesuai denagn anjuran WHO
unmtuk trapi malnutrisi. Pasien diberikan 2 macam multivitamin yaitu san-B-pleks
dan Zamel, dalam hal ini pemberian multivitamin ini berlebihan, sebaiknya cukup
diberikan satu macam multivitamin saja. Disamping itu dalam aminofusin paed sudah
terdapat beberapa vitamin yang terdapat dalam multivitamin yang diberikan, salah
satu kandungan darimultivitamin adalah vitamin A 5000 UI, hal ini dapat
menyebabkan pemberian vitamin Amenjadi berlebihan. Pemberian vitamin A yang
berlebihan berbahaya karena vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak
yang berakumulasi dalam tubuh yang dapat memberi efek berupa lesi pada kulit,
anoreksia, hepatosmegali dan malase pada pemakaian lama, dari segi secara ekonomi
merugikan pasien tersebut.
Penderita gizi buruk sangat membutuhkan perhatian khusus dalam terapi diet
dan nutrisi. Tanggal 11-15 mei 2005 pasien diberi diet F75 sebanyak 60 ml/2jam/NGT
yang memberikan 540 kkal/hari, F75 memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi
yang bertujuan untuk meningkatkan berat badan pasien. Tanggal 16-19 diberi F100
35ml/2jam/NGT yang memberikan 420 kkal/hari, kandungan F100 lebih banyak
mengandung protein dari F75 sehingga tepat digunakan pada fase rehabilitas pasien
gizi buruk. Tanggal 22-25 diberikan ST35 ml/3jam/NGT yang memberikan 300
kkal/hari dan selanjutnya diberikan bubur ayam saring dan ekstra protein 300
kkal/hari sampai akhir pengamatan. Dengan pengaturan diet mulanya pasien
mengalami penurunan berat badan sampai 2,8 kg, kemudian meningkat kembali
sampai 3,4 kg namun masih dibawah standart berat badan nornal dan meningkat 0,3
kg dari berat badan mula-mula masuk rumah sakit. Tujuan utama dari pengaturan gizi
adalah untuk memperbaiki dan mencegah anoreksia serta mencegah gagal jantung dan
menyediakan energi yang cukup untuk mencegah terjadi katabolisme. Tujuan
dilakukan dengan penyediaaan kalori sebanyak 80-100 kkal/kg/hari dalam 12 x waktu
makan/hari melalui NGT
Pada penilaian status gizi pasien,beberapa pemeriksaan laboratorium yang
perlu tidak dilakukan sehingga sulit untuk menentukan setelah perawatan selama 20
hari tidak ada tampak perbaikan gizi atau penambahan berat badan pada pasien.
Berdasarkan pengamatan, keadaan laringomalasia belum ditindak lanjuti yang
mana sampai akhir masa pengamatan belum dapat dilakukan pemeriksaan
laringomalasia. Sebaiknya pasien segera melakukan pemeriksaan laringoskopi untuk
mengetahui penyebab dan tingkat keparahan laringomalasia,sehingga dapat diberikan
terapi yang tepat.
REKOMENDASI
Pada tabel diagnosa terapi kami melihat terdapat 2 jenis antibiotika yaitu: Amoxan
drop dan Inj Ampisilin.Dalam hal ini perlu diadakan monitoring karena dalam
penggunaannya terdapat efek samping obat yang bisa merugikan dan pemakaian
jangka panjang dapat mengakibatkan resistensi.
Dari tinjauan literatur didapat
- AMOXICILLIN
Dik. V =0,35
t1/2 =1.5 Cmin =1mg/m C max =3mg/ml
V = V x BB
Vd = 0,35 L/kg x 3,2kg
=1,12 L
0,693
k =
t1 / 2
0,693
= 1,5 = 0,462 jam-1

Cl = k x Vd
= 1,12 L x 0,462 jam-1
=0,51744L/jam
Dari soal amoxicilin diberikan secara oral maka k= 0,8
ClxCss
D/t =
F
0,51744L / jamx2mg / L
= 0,8

= 1,2936 mg/jam
Interval pemberian
C max
t1/2 = 1,44 x t1/2 x ln
C min
3
= 1,44 x 1,5 jam-1 x ln
1
=1,44 x 1,5 jam-1 x 1,081
= 2,373 jam  4 x 1 hari
Dari soal amoxicillin 3 x 1hari = 8 jam x 1 hari
Dari Literatur 100 mg /ml
Dosis = 0,4 ml
D = 0,4 ml x 100 mg/ml
= 40mg
int erval
C = t1 / 2
8
= 1,5 = 5,38

1
Css max = F D

V 1  (1 / 2) c 
1
= 0,8 x 40 mg

1,12 1  (1 / 2) 5, 33 
32 mg .1
=
1,12(1  0,024)
32 mg 32mg
= = 1,092 = 29,99 mg/L
1,12(0,975)
= 29,29 g/ml
Css min = (1/2) c Css max
= 0,024 x 29,29 g/ml
= 0,702 g/ml
Rage terapi = 0,702g/ml – 29,29 mg/ml
= -28,5888 g
AMPISILIN
Dik. t1/2 = 1,3 ± 0,2 jam D = 200 mg/ 8jam
= 1,5 jam
V = 0,3 L/kg BB
BB = 3,2 kg
Range terapi = 7 – 10 mg/ml
X =1 ( IV )
7  10
Css = = 8,5 g/ml
2
V.d = V x BB
= 0,3 L/kg x 32 kg
= 0,196 L
0,693 0.693
k = 1  1,5 = 0,462 jam-1
t
2

cl = Vd x k
= 0,96L x 0,462 jam -1
= 0,44352 L/jam
cl x css
Dosis rate (D/t) =
F

0,44352 L x 8,5 g / ml
= jam
1
= 3,76992 mg/jam

c max
t max = 1,44 x t½ x ln c min
10 g / ml
= 1,44 x 1,5 jam x m 7 g / ml

10
= 1,44 x 1,5 jam x ln
7
= 0,77 jam  6 jam
Dari hasil yang diperoleh interval pemberian tiap 6 jam ini tidak rasional
karena akan terjadi emboli pada tempat penyuntikan oleh karena itu dipilih dosis yang
tepat.

Misalnya : t = 8 jam

D
Dosis regumen = xt
t

= 3,76992 mg/jam x 8 jam

= 30,15936 mg

8 jam
c = t/t½ = 1,5 jam = 5,33 jam

1
Css max =FxDx

 
Vd 1  1 
c

2 

1
= 1 x 200 mg x
0,96 1  1

 
2
5, 33



1
= 200 mg x 0,96 1  0,0240

1 1
= 200 mg x 0,96 L 0,975 L = 200 mg x 0,936 L

= 200 mg x 1,068 L-1

= 213,64 mg/L =213,64 g/ml

 12  c

v  1  1  
Css min =FxDx c

 2 
 2
1
5, 33

0,96 L 1   1  
= 1 x 200 mg x
5, 33
2
0,0248
= 200 mg x 0,96 L  0,975

200 x 0,0248 4,96 mg


= 0, 936 L
= 0,936 L = 5,298 mg/L = 5,299 g/mL

Range terapi = 5,299 g/mL – 213,64 g/mL


= - 208,341 g/mL
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi pada tahap awal, leukosit berada
dalam batas normal maka kemungkinan pasien tidak mengalami infeksi,
sehingga pemberian antibiotik yang terlalu lama tidak dianjurkan.
2. Pada akhir pengamatan, pasien belum mengalami perbaikan gizi atau
peningkatan berat badan yang berarti pengaturan diet langsung perlu
diperhatikan kembali dan dilakukan pemeriksaan adanya malabsosi pada
pasien.

Saran
1. Dari data leukosit tidak ditemukan adanya infeksi pada pasien sehingga
penggunaan antibiotik dapat dihentikan karena pemberian antibiotik secara
berkepanjangan dapat mengakibatkan resistensi.
Dalam kasus ini kami menyarankan agar pemberian semua antibiotik
dihentikan,pasien perlu perhatihan dalam pengaturan gizi sehingga asupan gizi
dapat maximal dan pasien dapat sembuh.
2. Penggunaan vitamin Zamel dan San-B-plek kurang rasional karena terlalu
berlebih sebaiknya gunakan salah satunya saja,San-B- plek saja atau zamel
saja.efeksampingnya kerusakan hati.
3. Pemberian antibiotik yang lama dapat mengakibatkan resistensi.Oleh karena
itu pemakaian dapat dihentikan bila telah diperiksa kadar leukositnya.Dari
data didapat kadar leukosit normal (=7,3) olehkarena itu pemakain antibiotik
dapat dfihentikan.Ini dapat dimusyawarahkan dengan dokter yang
bertanggung jawab.
4. Karena pasien mengalami laringomalasi yang sudah dialami cukup lama, ini
mungkin karena pertumbuhan laringolamalasi yang tidak normal maka kami
merekomendasikan agar pasien dioperasi
5. Dalam memonitor keadaan nutrisi dari pasien maka perlu diadakan
pemeriksaan :
1. albumin
2. pemeriksaan elektrolit darah
3. pemeriksaan lukosit lanjutan selama terapi
4. pemeriksaan fisik pasien secara berkala
5. melakukan kultur dan kepekaan kuman untuk menentukan sensitivitas
terhadap antibiotik dan jenis dari bakteri tersebut.
MASTO I DITI S
(Otitis Media Supuratif Kronik)
DEWI ABSARI ( 053202062 )
NINA IRMAYANTI HRP ( 053202080 )
TINCE ROSALINA P ( 053202090 )

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : TU
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 17 Tahun
Berat Badan : 53 Kg
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Tirto Sari No. 83 Medan

II. RINGKASAN PADA WAKTU PASIEN MASUK


Pasien masuk ke Rawat Inap Ruang VI Kelas III RSU Dr. Pringadi Medan
pada tanggal 19 September 2005 dari Polikilinik RSU Dr. Pringadi Medan dengan
keluhan telinga kanan terasa nyeri dan selalu mengeluarkan cairan encer yang tidak
berbau. Hal tersebut menyebabkan fungsi pendengaran pasien terganggu.
Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 20
september 2005.

No. Organ Hasil Pemeriksaan Normal


1. Fungsi Hati
 Bilirubin Total 0,70 0,00 – 1,20 mg/dl
 Bilirubin Direct 0,13 0,05 – 0,30 mg/dl

 SGOT 17 0 - 40 U/L

 SGPT 12 0 – 40 U/L
76 64 – 306 U/L
 Alkali Phospate
2. Fungsi Ginjal
 Ureum 14 10 – 50 mg/dl
 Creatinin 0,70 0,6 – 1,20 mg/dl

 Uric Acid 3,9 3,5 – 7,0 mg/dl

Hasil laboratorium menunjukkan tidak ada kelainan pada fungsi hati dan ginjal.
III.RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGGUNAAN OBAT TERDAHULU

Pasien merasakan nyeri pada telinga kanan sejak 3 (tiga) bulan terakhir.
Telinga mengeluarkan cairan yang hilang timbul dan terkadang menimbulkan demam.
Akibat hal tersebut aktivitas pasien sebagai pelajar terganggu karena fungsi
pendengarannya. Setahun yang lalu pasien mengalami hal yang sama dan
menggunakan obat tetes telinga, gejala tersebut hilang. Namun sejak 3 (tiga) bulan
terakhir gejala tersebut kambuh lagi.

IV. DIAGNOSIS
Berdasarkan keluhan pasien dan pemeriksaan fisik pada telinga kanan, maka
pasien didiagnosa menderita mastoiditis atau Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK).

V. TERAPI
Setelah dilakukan pemeriksaan maka dilakukan tindakan operasi yaitu
Simple Mastoidectomy yang bertujuan membersihkan telinga yang terinfeksi dari
jaringan patologik sehingga telinga tidak lagi berair. Selain itu pasien juga diterapi
dengan obat-obatan seperti dalam tabel berikut :

No Pengamatan Tanggal Keterangan


19/9 20/9 21/9 22/9 23/9 24/9 25/9 26/9 27/9 28/9
1. Keadaan Umum
Sensorium CM CM CM CM CM CM CM CM CM CM CM = Compos Mentis
0
Suhu Tubuh 37 37 37,2 37 37 37 37 37 37 37 C
HR 92 96 86 97 99 88 89 92 96 93 Kali / menit
RR 20 22 24 24 20 22 24 20 26 24 Kali/ menit

2. Diagnosa Mastoiditis (OMSK)


3. Penatalaksanaan
TIRAH Baring
IVFD Ringer laktat 20 tetes/menit
Ampisilin ampul 1 g/6 jam
Gentamisin ampul 80 mg/8 jam
Ditranex ampul 500 mg/8 jam
Deksametason ampul 0,5 mg/6 jam
Forgesic ampul 100 mg/6 jam
Ciprofloksasin tablet 2 x 500 mg
Metronidazol tablet 2 x 500 mg
CTM tablet 3 x 4 mg
Asam mefenamat tablet 3 x 500 mg

VI. TINJAUAN UMUM TENTANG PENYAKIT PASIEN


Defenisi :
Mastoiditis merupakan salah satu jenis penyakit infeksi kronik pada telinga
tengah (Otitis Media Supuratif Kronis / OMSK). OMSK adalah infeksi dengan
perforasi membran timpani dan secret yang keluar dari telinga tengah terus menerus
atau hilang timbul. Secret mungkin encer, kental, bening atau berupa nanah (Cody,
1993).
Faktor penyebab OMSK ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang
tidak sempurna, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (kurang gizi)
atau Higiene buruk. Gejala primer OMSK adalah keluarnya secret dari telinga yang
dapat berupa cairan bening, kental, nyeri pada telinga tengah, pembengkakan daun
telinga dan menurunnya fungsi pendengaran.

Pembahasan :
Pada tanggal 19 september 2005 pasien memeriksakan penyakitnya ke
Poliklinik RS Dr. Pringadi Medan bagian THT dengan keluhan telinga kanan nyeri
dan berair selama tiga bula terkhir. Pasien didiagnosa menderita penyakit Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) sehingga dianjurkan untuk dilakukan tindakan operasi
mastoidektomi. Pada hari itu juga pasien dirujuk ke rawat inap dan dilakukan operasi.
Pasien dipuasakan dan diberi infuse Ringer laktat yang merupakan larutan yang
mengandung ion – ion yang dibutuhkan tubuh dan digunakan sebagai pengganti
cairan tubuh.
Pada tanggal 19-25 September 2005 pasien diberikan ampisilin ampul secara
intra vena dengan dosis 1 g/6 jam, dengan pemberian dosis tersebut secara teori
farmakokinetik konsentrasi maksimum ampisilin pada pasien sebesar 87,49 mcg/ml
dan konsentrasi minimumnya 5,46 mcg/ml. Konsentrasi efektif ampisilin adalah 3
mcg/ml plasma sehingga pemberian ampisilin ampul dengan dosis 1 g/6 jam perlu
ditinjau kembali. Pada terapi OMSK penggunaan antibiotik sangat diperlukan karena
penyakit infeksi. Namun penggunaan antibiotik sebaiknya dipilih secara selektif
berdasarkan hasil uji kultur terhadap secret cairan telinga sehingga diketahui jenis
bakteri penginfeksi. Uji sensitivitas bakteri terhadap antibiotik juga perlu dilakukan.
Ampisilin merupakan antiboitika golongan penisilin yang bersifat bakterisid terhadap
bakteri gram positif dan beberapa gram negatif. Obat ini banyak digunakan untuk
mengatasi infeksi pernafasan, telinga, saluran cerna dan saluran kemih. Mekanisme
kerja antibiotik ini berdasarkan penghambatannya pada pembentukan dinding sel
bakteri. Pada hari yang sama juga diberikan forgesic ampul secara intra vena dengan
dosis 100 mg/6 jam.Forgesic ampul mengandung tramadol yang merupakan analgetik
opiat tetapi tidak bersifat adiktif. Senyawa ini banyak digunakan untuk mengatasi rasa
nyeri yang luar biasa. Mekanisme kerjanya secara sentral menduduki reseptor nyeri
disusunan saraf pusat (Rahrjdja & Tjay,2002).
Pada tanggal 19-25 september 2005 juga diberikan Ditranex ampul secara
intra vena dengan dosis 500 mg/8 jam. Ditranex ampul mengandung asam
traneksamat yang merupakan antifibrinolitik untuk mencegah degradasi fibrin.
Mekanisme kerjanya berdasarkan kemampuan menghambat konversi plasminogen
menjadi plasmin, plasmin merupakan enzim yang dapat melarutkan fibrin sehingga
mencegah terjadinya pendarahan. Ditranex ampul diberikan betujuan untuk mencegah
terjadinya pendarahan yang berlebihan pada saat operasi dan mempercepat proses
penyembuhan luka bekas operasi.
Pada tanggal 20 september dilakukan operasi Simple Mastoidectomi, yaitu
operasi mastoidektomi sederhana pada liang telinga yang bertujuan membersihkan
telinga bagian tengah dari jaringan patologik sebagai sumber infeksi agar infeksi tidak
menyebar kebagian yang lain.
Pada tanggal 20-25 September 2005 pasien diberikan kombinasi antibiotik
ampisilin dan gentamisin. Gentamisin diberikan secara intra vena dengan dosis 80mg/
8 jam. Gentasimin merupakan turunan aminoglikosida yang bersifat bakterisid
terhadap bakteri gram negativ dan beberapa bakteri gram positip. Mekanisme
kerjanya berdasarkan kemampuan penetrasinya ke dinding sel bakteri dan mengikat
dirinya pada ribosom didalam sel sehingga mengganggu proses biosintesa protein
bakteri. Pemberian injeksi gentamisin 80 mg/8 jam secara teori farmakokinetik
menghasilkan konsentrasi maksimum 7,32 mcg/ml dan konsentrasi minimum 0,46
mcg/ml. Range terapi gentamisin adalah 1-10 mcg/ml plasma maka pemberian
gentasimin 80 mg/6 ml jam perlu ditinjau kembali. Kombinasi antibiotik golongan
penisilin dan aminoglikosida oleh beberapa pendapat dinyatakan besifat sinergis, hal
ini dikarenakan ampisilin bekerja menghambat pembentukan dinding sel bakteri
sehingga mempermudah penetrasi gentamisin kedalam sel bakteri dan menghambat
biosintesa protein bakteri. Namun pendapat lain menyatakan kombinasi ampisilin dan
gentasimin akan menghasilkan suatu kompleks yang menginaktivasi gentamisin
sehingga menurunkan kadar gentamisin dalam darah. Oleh karena itu masih perlu
diklarifikasi melalui serangkaian penelitian dengan melakukan uji kultur dan uji
sensitivitas (William, 1987).
Pada tanggal 20-23 dan 26-27 September 2005 diberikan injeksi
deksametason 0,5 mg/6 jam. Dektametason merupakan analgetika steroid yang
memiliki daya anti radang kuat. Mekanisme kerjanya berdasarkan daya hambat pada
enzim fosfolipase sehingga merintangi sintesa prostaglandin dan leukotrien.
Pemberian deksametason ditujukan untuk menghentikan peradangan yang diakibatkan
oleh infeksi bekteri pada telinga pasien (Raharjdja & Tjay, 2002).
Pada tanggal 26-28 September 2005 diberikan tablet ciprofloksasin dengan
dosis 2x500 mg/hari. Ciprofloksasin merupakan senyawa kuinolon yang bersifat
bakterisid berdasarkan kemampuan inhibisinya terhadap enzim pembentukan DNA
bakteri. Ciprofloksasin aktif membunuh bakteri seperti Pseudomonas, Streptococcus,
Sthaphylococcus dan beberapa gram bakteri negativ. Seyogyanya dilakukan uji
kepekaan kuman sehingga diketahui dengan jelas antibiotik yang paling tepat untuk
terapi pasien, disamping meniadakan efek toksik serta meminimalkan efek samping
obat juga akan menekan biaya pengobatan pasien (Rahardjdja & Tjay, 2002).
Pada tanggal 26-28 September 2005 pasien mengeluh adanya gangguan
saluran cerna berupa rasa mual dan buang air besar yang encer sehngga pasien
diberikan metronidazol 2x500mg/hari. Metrinidazol merupakan senyawa nitrimedazol
yang memiliki sifat antiprotozoa. Obat ini juga berkhasiat kuat terhadap antiamoeba.
Pasien juga diberikan CTM tablet dengan dosis 3x4 mg/hari sebagai antihistamin,
karena gangguan saluran cerna dimungkinkan oleh adanya reaksi alergi terhadap
penggunaan obat sebelumnya. Pada tanggal 26-27 September 2005 pasien diberikan
asam mefenamat dengan dosis 3x500 mg/hari. Asam mefenamat merupakan turunan
antranilat yang berkhasiat sebagai analgetik, antipiretik serta antiradang.
Mekanismenya berdasarkan penghambatannya pada enzim siklooksigenase dalam
pembentukan prostaglandin. Pemberian asam mefenamat ditujukan untuk meredakan
rasa sakit dan mempercepat penyembuhan peradangan pasca operasi (Raharjdja &
Tjay, 2002).

Obat-obat yang perlu dipantau :


1. Gentamicin
2. Ampisilin

1. Gentamicin
Dik : t½ = 2 jam
V = 0,2 L / kg BB
BB = 53 Kg
Range terapi = 2 – 8 mcg / ml
Css = 5 mcg / ml
Dosis = 80 mcg/ml
T = 8 jam
F = 1 infus atau i.v

Jawab :
1. Vd = V x BB
= 0,2 L/Kg x 53 Kg
=10,6 L
0,693 0,693
2. K = t1 / 2  2 jam  0,3465 jam -1
3. Cl = Vd x K
= 10,6 L x 0,3465 jam -1
= 3,6729 L/jam
ClxCss
4. Dosing rate =
F
3,6729 L / jamx5mcg / ml
=
1
3,6729L / jamx5mg / l
=
1
= 18,3645 mg/jam
C max
5. T = 1,44 x t½ x ln
C min
10
= 1,44 x 2 jam x ln
1
= 6,63 jam ~ 6 jam
D
6. Dosing Regimen = xT
T
= 18,3645 mg/jam x 6 jam
= 110,187 mg
T 8 jam
7. e = = 2 jam  4  daridata
t1 / 2

1
8. Css max = F x D x

Vd 1  1 / 2
e

1
= 1 x 80 mg x

10,6 L 1  1 / 2 
4

80mg
= 9,9375 L

= 8,05 mg/L = 8,05 mcg/ml


9. Css min = Css max (½)e
= 8,05 mcg/ml (1/2) 4
= 0,5 mcg/ml

Jadi : Range terapi dari data = 0,5 – 8,05 mcg/ml dibulatkan menjadi 1 – 8 mcg/ml
Kesimpulan : Range terapi tidak tercapai dengan pemberian dosisi 80 mcg/8 jam.
Oleh sebab itu disarankan pemberian obat secara infuse interval
pemberiannya diperkecil.
Missal : diambil T = 6 jam
Maka :
T 6 jam
1. e = t1 / 2  2 jam  3

1
2. Css max = F x D x

Vd 1  1 / 2 
e

1
= 1 x 80 mg x

10,6 L 1  1 / 2 
3

= 8,6 mcg/ml
3. Css min = Css max (1/2) e
= 8,6 mcg/ml (1/2)3
= 1,075 mcg/ml
Jadi range terapi dengan dosis 80 mcg/6 jam adalah : 1,075 – 8,6 mcg/ml,
dibulatkan menjadi 1 – 9 mcg/ml.
Kesimpulan : Range terapi tidak tercapai.

Untuk menghindari fluktuasi maka Gentamicin diberi dalam bentuk infuse


agar tidak terjadi infeksi.
LD = Css x Vd
= 5 mcg/ml x 10,6 L
= 5 mg/L x 10,6 L
= 53 mg
MD = Css x Cl
= 5 mcg/ml x 3,6729 L/jam
= 5 mg/ml x 3,6729 L/jam
= 18 mg/jam
Jadi : Dosis yang oertama kali diberikan dalam bentuk sediaan infuse (LD) = 53
mg

2. Ampisilin
Dik : t½ = 1,5 jam
V = 0,3 L / kg BB
BB = 53 Kg
Range terapi = 7 – 10 mcg / ml
10  7
Css =  8,5 mcg / ml
2
Dosis pemberian = 1 gr/6jam

Jawab :
1. Vd = V x BB
= 0,3 L/Kg x 53 Kg
=15,9 L
0,693 0,693 1
2. K = t1 / 2  1,5 jam  0,462 jam

3. Cl = Vd x K
= 15,9 L x 0,462 jam -1
= 7,3458 L/jam
ClxCss
4. Dosing rate =
F
7,3458L / jamx8,5mcg / ml
=
1
7,3458L / jamx8,5mg / l
=
1
= 62,4393 mg/jam
C max
5. T = 1,44 x t½ x ln
C min
10
= 1,44 x 1,5 jam x ln
7
= 0,77 jam ~ 2 jam ~ 6 jam
D
6. Dosing Regimen = xT
T
= 62,4393 mg/jam x 6 jam
= 374,64 mg
T 6 jam
7. e = = 1,5 jam  4
t1 / 2
1
8. Css max = F x D x

Vd 1  1 / 2
e

1
= 1 x 1gr x

15,9 L 1  1 / 2 
4

1
= 15,9 Lx 0,9375

0.067 x10 6 mcg


= 0,067 gr/L =  0,067 x10 3 mcg / ml  67 mcg / ml
1000ml

9. Css min = Css max (½)e


= 67 mcg/ml (1/2) 4
= 4,18 mcg/ml
Saran : - Interval pemberian obat diperpanjang menjadi 12 jam untuk mencegah
akumulasi obat dan keefektifan pengobatan
- Dosis dikurangi menjadi setengahnya yaitu : 500 mg

TUBERKULOSIS PARU

I. Identitas Paru
Nama No. MR : A.O/42-64-39
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat/Tinggi badan : 48 kg/165 cm
Agama : Kristen
Suku/Kebangsaan : Batak/Indonesia
Alamat : LK VIII Sei Mati
Pembayaran : Kartu sehat

II. Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk

Pasien masuk ke ruang XVIII RSU Dr. Pirngadi Medan pada tanggal 14
September 2005 dari Unit Gawat Darurat dengan keluhan batuk darah, sesak dan
badan lemah.
Pemeriksaan fisik dihasilkan bahwa :
Kesadaran : Compos Mentis
Suhu Tubuh : 37,10C
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 64 kali/menit
Respiratory rate : 20 kali/menit
Selain pemeriksaan fisik juga dilakukan pemeriksaan Laboratorium Patologi
Klinik Sub. Bag. Kimia Klinik, kadar gula darah dan pemeriksaan radiologis. Tetapi
tidak dilakukan uji kultur dan uji sensitivitas bakteri sehingga dapat diperoleh
antibiotik yang tepat untuk pengobatan penyakit pasien.

III. Riwayat Penyakit dan Penggunaan Obat terdahulu

8 hari yang lalu pasien mengalami batuk darah disertai sesak. Darah yang
keluar pertama berwarna hitam kemudian berwarna merah segar. Volume darah ±
setengah gelas. Pasien mengalami penurunan barat badan dan pasien belum pernah
dirawat sebelumnya.

IV. Diagnosis
Pasien didiagnosis menderita tuberculosis (TB) paru.
V. Terapi
Setelah dilakukan pemeriksaan maka pasien diberikan obat-obatan sebagai
berikut:
1. Injeksi Cefotaxim
Indikasi : infeksi yang disebabakan kuman gram negatif antara lain pada gonore.
Dosis : single dose 1 g secara i.m.
2. Injeksi Ulsikur
Kandungan : simetidina-HCl 200 mg/2 ml injeksi.
Indikasi : tukak usus 12 jari, tukak lambung tidak parah, penyakit refluks
gastroesofageal, hipersekresi patologik sehubungan dengan sindrom Zollinger
Ellison.
Pada pengobatan selanjutnya ulsikur diganti menjadi radin (kandungan ranitidi)
karena radin tidak memperlihatkan sifat hambatan metabolisme oksidatif sehingga
tidak mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan sedangkan ulsikur akan
menghambat enzim oksidatif hati sehingga perombakan obat-obatan lain dapat
diperlambat.

3. Injeksi Ditranex dan Injeksi Vitamin K


Kedua injeksi ini bekerja menghentikan proses pendarahan hanya saja
mekanisme kerjanya yang berbeda. Ditranex bekerja menghentikan perdarahan
dengan mekanisme sebagai anti fibrinolitik sedangkan vitamin K merupakan obat
homeostatika untuk mengoptimalkan penggunaan obat, mungkin dalam hal ini
Ditranex tidak perlu diberikan.

4. Kodein dan Gliseril guaiakolat


Kodein berfungsi sebagai penekan refleks langsung pada pusat batuk karena
pasien mengalami batuk. Tetapi karena batuk pasien berdahak setelah penggunaan
kodein selama 2 hari maka kodein diganti menjadi gliseril guaiakolat yang bekerja
sebagai makolitik dengan meningkatkan sekresi saluran pernafasan yang akan
menurunkan viskositas lendir sehingga mudah dikeluarkan.
5. INH, Pyrazinamida, Rifampisin dan Etambutol
Keempat obat ini merupakan obat-obat anti tuberculosis yang sering digunakan
bersamaan. Untuk mengobati tuberkulosis paru aktif dan sesuai dengan yang
dianjurkan oleh WHO.

6. Tramadol Tablet

Obat ini bersifat analgesik yakni mengurangi rasa sakit. Jadi tamadol tablet ini
diberikan kapan diperlukan saja (jika nyeri kambuh).

7. Curcuma tablet

Ini diberikan untuk menambah nafsu makan karena pada penderita tuberkulosis
sering terjadi gejala malaise yakni berupa anoreksia sehingga badan makin kurus.

VI. Tinjauan Pustaka

Tuberkulosis merupakan penyakit menular kronik yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Pada umumnya menyerang paru, tatapi dapat juga
mengenai semua organ atau jaringan dalam tubuh (Soeparman, 1990). Penyebabnya
adalah suatu basil gam positif tahan asam dengan pertumbuhan sangat lambat. Gejala
TBC antara lain batuk kronis, demam, berkeringat waktu malam, keluhan pernafasan,
perasaan letih, malaise, hilang nafsu makan, turunnya berat badan dan rasa nyeri di
bagian dada. Dahak penderita berupa lendir (mucoid) purulent atau mengandung
darah (Rahardja & Tjay, 2002).

Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk memastikan pasien


menderita tuberkulosis paru atau tidak. Adapun pemeriksaan laboratorium tersebut
antara lain :

1. Pemeriksaan darah
2. Pemeriksaan sputum
3. Test tuberculin
4. Pemeriksaan radiologik
Tuberkulosis paru cukup mudah dikenal dari keluhan-keluhan klinis, gejala-
gejala kelainan fisik, kelinan radiologis sampai dengan kelainan bakteriologis. Tapi
dalam prakteknya sangat sulit untuk menegakkan diagnosisnya. Menurut American
Thoracic Spciety diagnosis kepastian seseorang menderita tuberkulosis paru adalah
dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan
paru secara biakan (Soeparman, 1990).

VII. Pembahasan

Keempat obat anti tuberculosis memiliki range terapi lebar sehingga tadak
perlu dimonitoring (therapy drug monitoring) karena dosis yang diperkirakan sudah
termasuk dalam range terapi. Dosis rifampisisn yang diberikan sekali sehari 450 mg
per oral, INH diberikan 1 x 300 mg sehari per oral, pyrazinamid 1 x 1000 mg sehari
per oral dan dosis etambutol yang diberikan 1 x 750 mg sehari per oral.

STUDI KASUS
MENINGITIS SEROSA

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : ER
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 15 Bulan
Berat badan : 5,7 kg
Alamat : Tanjung Leidong, Labuhan Batu

2. RINGKASAN PADA WAKTU PASIEN MASUK


Pasien masuk ke Rindu B1 RSUP H. Adam Malik Medan tanggal 14 Mei 2005
dengan keluhan kesadaran menurun, kejang seluruh tubuh. Setelah kejang pasien
tidak sadar dan kepala membesar, pasien dirujuk dari Puskesmas Tanjung Leidong –
Labuhan Batu.

3. RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGGUNAAN OBAT TERDAHULU


Kesadaran pasien menurun sejak 2 minggu lalu. Pasien mengalami kejang
lebih dari 3X sehari dan lamanya lebih dari 15 hari, setelah kejang pasien tidak sadar.
Pasien batuk-batuk sejak usia kurang lebih 2 bulan. Kepalanya membesar sejak
sebulan terakhir. Buang air besar dan kecilnya normal, obat-obatan yang pernah
digunakan sebelumnya seperti: Injeksi Viccilin, Kemisetin, Neuralgin dan Diazepam
selama dirawat di Puskesmas.

4. DIAGNOSA
Berdasarkan keluhan pasien, orang tua pasien yang menderita TBC dan hasil
pemeriksaan Lumbar Puncture (LP) yaitu pengambilan cairan serebrospinal ternyata
kandungan Leukositnya jauh diatas normal yaitu 105/mm³ dan hasil CT SCAN serta
didukung oleh simpton pada saat pasien masuk ruangan maka pasien didiagnosa
menderita Meningitis Serosa.

5. TERAPI
Setelah dilakukan pemeriksaan maka pasien diberikan terapi obat-obatan
seperti tercantum pada tabel 3.

6. TINJAUAN UMUM TENTANG PENYAKIT PASIEN


Defenisi
Meningitis tuberkulosa adalah radang selaput otak akibat komplikasi
tuberkolosis primer. Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh mikobacterium
tuberkulosa jenis hominis. Jarang oleh jenis bovinum atau aves.

Patofisiologi
Meningitis Tuberkulosa selalu terjadi skunder dari proses tuberkulosis primer
diluar otak. Fokus primer biasanya diparu-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah
bening, Tulang Sinus Nasales, Traktus, Gastrointestinalis dan Ginjal. Dengan
demikian Meningitis Tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi penyebaran Tuberkulosis
paru-paru.
Terjadinya Meningitis bukan karena terjadinya peradangan langsung pada
selaput otak tetapi melalui pembentukan Tuberkel. Tuberkel kecil berwarna putih
pada permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang belakang, dan tulang. Tuberkel
tadi melunak, pecah dan masuk kedalam ruang subaraknoid dan Ventrikulus sehingga
terjadi peradangan akibat reaksi radang ini maka terbentuk eksudat kental. Eksudat
ini tidak terbatas didalam ruang subaraknoid saja tetapi terutama berkumpul didasar
tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh darah dan
menyerang jaringan otak dibawahnya, sehingga proses sebenarnya adalah meningo–
ensefalitis.

Patofisiologi Meningitis bakterial merupakan proses yang kompleks.


Komponen-komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan dalam menimbulkan
respon peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan perubahan
fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran
darah otak yang dapat mengakibatkan timbulnya meningitis. Proses ini dimulai
setelah ada bakteriemia yang diikuti dengan masuknya bakteri kedalam susunan saraf
pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat-tempat yang
lemah yaitu di mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media
pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi.
Setelah bakteri berada dalam cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut akan
memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan
humoral dan aktifitas fagositas dalam cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut akan
memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan
humoral dan aktifitas fagositosis dalam cairan serebrospinal, kemudian tersebar secara
pasif mengikuti aliran cairan selebrospinal melalui system Ventrikel ke saluran ruang
subaraknoid.

Manifestasi Klinis
Tanda manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga sering juga
didapatkan pada anak-anak baik yang terkena meningitis maupun tidak. Tanda dan
gambaran klinis sangat bervariasi tergantung kepada umur pasien, lama sakit dirumah
sebelum didiagnosis dan respon tubuh terhadap infeksi.
Meningitis pada bayi baru lahir dan premature sangat sulit didiagnosis,
gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir
hanya terjadi pada ½ dari jumlah kasus.
Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran klasik meningitis.
Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang
berulang. Tanda fisik yang tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan menonjol.
Oleh karena insiden meningitis pada umur ini sangat tinggi, maka adanya infeksi
susunan saraf pusat perlu dicurigai pada anak dengan demam terus menerus yang
tidak dapat diterangkan penyebabnya.

7. PEMBAHASAN
Pasien masuk ke RSUP H.Adam Malik pada tanggal 14 Mei 2005 dalam
keadaan penurunan kesadaran. Mulai pasien masuk kerumah sakit tanggal 14 Mei,
pasien diberi oksigen sebanyak 1-2 L/menit untuk menjamin tersedianya oksigen
didalam tubuh pasien dan membantu pernafasan yang belum stabil akibat pasien yang
tidak sadar. IVFD ringer laktat 6 tetes/menit mikro untuk mempertahankan
keseimbangan cairan tubuh. Pada umumnya pasien Meningitis berada dalam keadaan
kesadaran yang menurun maka pasien juga diberi IVFD Dextrosa 5% + Nacl 0,225%
dengan kecepatan 10 tetes/menit mikro untuk mensuplay energi dan electrolit yang
tidak dapat diperoleh pasien secara oral. Pasien juga mengalami kejang akibat
demam dimana suhu tubuh pasien 38,2°C sehingga diberi injeksi Diazepam 3 mg
secara I-V. Untuk menghilangkan demam pasien diberi parasetamol serbuk melalui
NGT dengan dosis 3 X 75 mg selama pasien masih demam. Pemberian
fenobarbitaldalam terapi ini untuk mengatasi kejang tidak rasional, karena untuk
mengatasi kejang ini sudah diberikan diazepam lagipula untuk mengatasi kejang
penggunaan diazepam masih lebih baik bila dibandingkan dengan penggunaan
fenobarbital.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Lumbar Puncture (LP) nilai LDH dan glukosa
pada tanggal 20 Mei menunjukkan nilai LDH masih dalam batas normal dan nilai
glukosa jauh dibawah normal yaitu 12 mg/dl. Pada tanggal 30 Mei nilai LDH 361 u/1
(sudah diatas normal) dan glukosa 59 mg/dl (masih dibawah normal). Hal ini
menunjukkan pasien menderita meningitis bacterial karena diduga bakteri
menggunakan banyak glukosa untuk metabolisme sehingga kadar glukosa turun.
Sedangkan hasil pemeriksaan kultur dan kepekaan kuman ternyata bakteri penyebab
radang pada selaput otak adalah streptococcus haemolyticus, dari bakteri ini
berdasarkan kultur sensitivitynya paling sensitif terhadap ciprofloxacin dan
cloramphenikol. Tetapi dalam hal ini obat yang dipilih untuk terapi meningitisnya
adalah chloramphenikol, karena obat ini merupakan obat yang spesifik untuk
pengobatan meningitis bacterial yang disebabkan oleh streptococcus haemolyticus.
Pemakaian ampisilin dalam terapi ini tidak rasional, karena sudah diberikan kemisetin
( kloramfenikol) yang bisa dipakai sebagai terapi tunggal untuk meningitis.
Disamping itu pemberian bersama-sama ampisilin dengan kemisetin secara
farmakokinetika menunjukkan interaksi yang merugikan, yaitu kemisetin dapat
menginaktivasi ampisilin sehingga menurunkan potensi ampisilin.
Pemberian kemisetin dengan dosis 125 mg/6 jam secara IV menghasilkan
konsentrasi maksimum dalam darah sebesar 21,44 mg/L dan konsentrasi minimum
sebesar 1,5 mg/L.
Pemberian deksametason 0,5 mg/8 jam secara IV ini rasional karena
deksametason merupakan obat anti inflamasi dan juga dapat mengurangi peningkatan
intrakranial. Pemberian dosisnya sudah tepat.
Dalam hal ini pemberian obat-obat anti TBC yaitu: rifampisin, INH,
etambutol, pirazinamid dan vitamin B6 tidak rasional, karena berdasarkan hasil
pemeriksaan kultur dan kepekaan kuman ternyata bakteri penyebab radangnya adalah
streptococcus haemolyticus bukan Mycobacterium tuberkulosis yang menyebabkan
TBC. Jadi dalam hal ini meningitisnya adalah meningitis bakterial bukan meningitis
tuberkulosa. Maka pemberian obat-obat anti TBC tidak perlu diberikan.
Pemberian furosemid dalam terapi ini digunakan untuk pengobatan udem
akibat gangguan hati yang disebabkan efek samping pemakaian rifampisin yang
bersifat hepatotoksik, jadi dalam hal ini obat ini rasional diberikan. Pemberian Kcl
dalam terapi ini digunakan untuk mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit yang terjadi karena pemakaian furosemid. Pemberian asetazolamid juga
untuk mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pemberian asam folat dan vitamin A dalam terapi ini rasional karena
pemberiannya untuk mencukupi gizi pasien. Pemberian prednison dalam terapi ini
tidak rasional karena sebagai anti radang sudah digunakan deksametason yang sama-
sama golongan kortikosteroid.
Berdasarkan Tabel 1 pemeriksaan dan hasil Laboratorium patologik klinik
pada tanggal 31 Mei nilai SGOT dan SGPT berada jauh diatas normal, hal ini
menandakan fungsi hati pasien terganggu yang disebabkan pasien banyak
menggunakan obat (polifarmasi) diantaranya penggunaan obat-obat TBC yang tidak
rasional dalam terafi Meningitis Bacterial.
Mengingat jumlah item obat yang diberikan kepada pasien sangat banyak dan
ditinjau dari usia pasien yang masih balita, dimana fungsi organ belum sempurna
maka pemilihan obat dan dosis dalam terapi sangat perlu diperhatikan.

8. KESIMPULAN DAN SARAN


8.1. Kesimpulan
1. Terapi yang diberikan kepada pasien banyak yang tidak sesuai terutama
obat-obat anti TBC karena berdasarkan hasil Laboratorium pemeriksaan
LP (Lumbar Puncture) tidak terdapat Mycobacterium Tuberculosis.
2. Injeksi ampicillin juga tidak dapat digunakan dalam terapi ini karena
mikroorganisme yang terdapat dari hasil pemeriksaan kulture dan
kepekaan kuman tidak sensitive terhadap Ampicillin.
3. Penggunaan fenobarbital , prednison, Asetazolamid dan obat-obat anti
TBC tidak rasional dalam terapi ini.

8.2. Saran
1. Sebaiknya uji pemeriksaan kultur dan LP dilaksanakan sesegera mungkin
agar jenis Bacterinya segera diketahui.
2. Sebaiknya Ampicillin tidak digunakan dalam terapi tetapi yang digunakan
adalah Kemycetin (chloramfenicol) sesuai dengan hasil uji kultur dan
kepekaan kuman.
PERHITUNGAN

KLORAMFENIKOL

Ceff = 10 – 20 μg/ml
Css = 15 μg/ml
Vd = 1,1 – 2,5 L/kg
= 1,1 L/kg X 5,27 kg = 6,27 L
t½ = 1,6 – 5,0 jam
= 1,6 jam
k = 0,693 = 0,693 = 0,43 jam¹‫־‬
t½ 1,6 jam
F = 1
Cl = 1,1 – 2,5 ml/min/Kg
= 1,1 ml/min/Kg X 5,7 Kg = 6,27 ml/min

LD = Vd X Css
= 6,27 L X 15 mg/L
= 94,05 mg

MD = Cl X Css
= 6,27 ml/min X 15 μg/ml
= 94,05 μg/min X 60 min
= 5643 μg/jam = 5,643 mg/jam = 5,6 mg/jam

D = Cl X Css
τ F
= 6,27 ml/min X 15 μg/ml
1
= 94,05 μ/min X 60 min = 5643 μ/jam = 5,643 mg/jam = 5,6 mg/jam

T maks = 1,44 X t½ X Ln Cmax


Cmin
= 1,44 X 1,6 jam X Ln 20
10
= 1,59 jam => 6 jam
Dosing rate : D. Tmaks
τ
= 5,6 mg/jam X 6 jam
= 33,6 mg

Σ = τ = 6 jam = 3,75
t½ 1,6 jam

Css max = F.D 1


Σ
Vd  1 – (½) 

= 1 X 125 mg 1
3,75
6,27 L  1 – (½) 

= 1 X 125 mg 1
5,83 L

= 21,44 mg/L
Σ
Css min = Css max . (½)
= 21,44 mg/L X 0,07
= 1,5 mg/L

Berdasarkan nilai Css max dan Css min, dengan dosis yang diberikan yaitu 125 mg/6
jam tidak berada dalam range terapi. Jadi, direkomendasikan obat diberikan secara
infus dengan kecepatan konstan agar kadar obat dalam plasma tetap berada pada
range terapi.

AMPISILIN
Ceff = 7 – 10 μg.ml
Css = 8 μg/ml = 8 mg/L
Vd = 0,3 L/kg
= 0,3 L/kg X 5,7 Kg = 1,71 L
t½ = 1,3 ± 0,2 jam
= 1,3 jam
k = 0,693 = 0,693 = 0,53 jam¹‫־‬
t½ 1,3 jam
F =1
Cl = k X Vd
= 0,53 jam¹‫ ־‬X 1,71 L = 0,906 = 0,91 L/jam

LD = Vd X Css
= 1,71 L X 8 mg/L
= 13,68 mg

MD = Cl X Css
= 0,91 L/jam X 8 mg/L = 7,28 mg/jam

D = Cl X Css
τ F
= 0,91 L/jam X 8 mg/L = 7,28 mg/jam
1

Tmaks = 1,44 t½ Ln Cmax


Cmin

= 1,44 X 1,3 jam X Ln 10


7

= 0,67 jam ~ 6 jam

Dosis pemberian = D X T maks


τ
= 7,28 mg/jam X 6 jam = 43,68 mg

Σ = τ = 6 = 4,6
t½ 1,3

Css max = F.D 1


ε
Vd  1 – (½) 

= 1 X 250 mg 1
4,6
1,71 L  1-(½) 

= 1 X 250 mg 1
1,64 L

= 152,44 mg/L
ε
Css min = Css max X (½)
4,6

= 152,44 mg/L X (½)


= 6,25 mg/L

Tabel 1. Pemeriksaan dan Hasil Laboratorium Patologi Klinik

Pemeriksaan Tanggal Unit Normal


14/5 17/5 31/5

Elektrolit darah
Natrium 138 127 mEq/L 139-146
Kalium 3,64 3,34 mEq/L 4,1–5,3
Klorida 94 86 mEq/L 95–110

Analisa Gas Darah


pH 7,461 7,35–7,45
P.CO2 54,7 mmHg 38-42
P.O2 84,7 mmHg 85-100
Bikarbonat 38,1 22-26
Total CO2 39,8 19-25
Base Excess 14,3 -2 - +2
Saturasi O2 96,7 95-100
Metabolisme
104 160 mg/dl  200
Karbohidrat
Ad random

Hematologi
Hemoglobin 10 g% 10-15
Lekosit 5,92 10³/mm³ 5-10
Hematokrit 34,4 % 30-40
Trombosit 684 10³/mm³ 150-450

Faal Hati
Bilirubin total 1,52 mg/dl 1-2
Bilirubin direct 0,69 mg/dl < 0,4
Alkalin fosfatase 203 U/I 100-330
SGOT 446,21 U/I 2-55
SGPT 257 U/I L : < 41
P : < 31

Faal Ginjal
Kreatinin 0,19 mg/dl 0,3-1,1
Uric acid 7,3 mg/dl L : 1,5-7,5
P : 1,8-7,2

SGOT = Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase


SGPT = Serum Glutamic Piruvic Transaminase

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Lumbar Puncture (LP)


No Tanggal Pemeriksaan cairan serebrospinal Hasil Normal
1 20/5 Warna Putih jernih Jernih, tak berwarna
Mikroskopik leukosit Jumlah sel 15/mm³ 5/mm³
Difftel PMN=1%
MN=99%
LDH 118 U/I 80-240 U/I
Glukosa 12 mg/dl 70-80 mg/dl

2 30/5 Warna Kuning Jernih, tak berwarna


Mikroskopik leukosit Jumlah sel 105/mm³ 5/mm³
Difftel PMN=5%
MN=95%
LDH 361 U/I 80-240 U/I
Glukosa 59 mg/dl 70-80 mg/dl

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan CT Scan


Tanggal Jenis Pemeriksaan Hasil
18/5 Communicating hydrocephalus dengan
CT Scan perifocal edema e.c meningitis

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Kultur dan Kepekaan Kuman (Jasad Renik)


Tanggal Jenis bahan Jenis Pemeriksaan Hasil
26/5 Cairan Kultur/Sensitivity Sensitif:
Serebrospinal Ciprofloxacin
Chloramphenikol
Ceftriakson
Eritromisin
Kanamisin
Sulfametoksazol
Tetrasiklin
Kurang sensitif:
Amoksisilin
Asam nalidiksat
Pengecatan gram Coccus gram positif
Kultur
Streptococcus
haemolyticus
30/5 Cairan BTA BTA : Negatif
Serebrospinal Jamur : Negatif
Keterangan : BTA = Bakteri Tahan Asam
CT Scan = Computed Tomography Scan
LDH = Lactic Dehydrogenase

Tabel Pemberian Obat dapat dilihat pada lampiran I, Halaman 3.


STUDI KASUS
CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE) – HIPERTENSI
PESTA S. P SIBARANI (053202033)
ESMIKA SAGALA (053202087)
LESTARI INDAH (053202091)

1. Pengenalan / Identitas Pasien


Nama pasien : R. S
Umur : 61 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal masuk : 31 Januari 2002 sebagai pasien Askes

2. Riwayat Penyakit dan Penggunaan Obat Terdahulu


Sesak nafas dialami pasien sejak ± 20 tahun yang lalu dan semakin berat sejak
± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak berhubungan dengan aktivitas
dan cuaca. Riwayat pasien terbangun pada malam hari karena sesak nafas dan
bila sesak pasien mengambil posisi duduk waktu tidur. Batuk (+), dahak (+)
berwarna putih, mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), riwayat merokok (-),
minum kopi 1x/hari. Obat yang pernah digunakan adalah Captopril dan
Dulcolax.

3. Hasil Diagnosisi dan Terapi


Pemeriksaan awal yang dilakukan terhadap pasien :
- Jantung : sesak nafas (+), edema (+), palpitasi (+)
- Paru : Ronchi basah-basah
Selanjutnya pasien mendapat pemeriksaan EKG dan fotothorax. Dari data
diperoleh bahwa pemeriksaan hematologi normal dan pemeriksaan urin juga
normal, setelah dilakukan pemeriksaan fisik, maka diperoleh diagnosa : pasien
mengalami CHFNYHA III ec HHD + PJK
Data Farmakokinetik

Obat Avaibility Ekskresi Ikatan Clearance Vol. Waktu paruh Konsentrasi K


-1 -1
(%) (oral) urin Plasma (ml.min .kg ) Distribusi (jam) efektif
(%) (%) (%) (lt/kg)

Captopril 65 38±11 30±6 12,0±1,4 0,81±0,18 2,2±0,5 50 ng/mla


Furosemid 61±17 66±7 98,8±0, 2,0±0,4 0,11±0,02 92±7
2
Aspirin 68±3 1,4±1,2 49 9,3±1,1 0,15±0,03 0,25±0,03 150- >
300µg/ml
Nitrogliserin Oral:<1 <1 - 230±90 3,3±1,2 2,3±0,6 1,2-11ng/ml
Sublingual:
38±26
Topical: 72±20
Furosemid 2 ampul/6 jam = 2 x 40 mg
t½ = 2 jam
Vd = 0,11 lt/kg
Cl = 98,8 ml.min-1.kg-1
Range terapi = 1-10 mcg/ml
Pemberian 80 mg/6 jam

0,693 0,693
K=   0,3465 jam 1
t1 / 2 2
Cl = k.V
= 0,3465 jam-1.6,6 liter = 2,2869ltr/jam = 2286,9 ml/jam

V = Vd.BB = 0,11 ltr/kg = 6,6 ltr

C max  C min 1  10
Konsentrasi rata-rata yang digunakan =   5,5mg / ml
2 2

Diberikan secara i.v = LD = V.Ceff rata-rata


= 6,6 ltr.5,5 mcg/ml
= 6600ml.5,5 mcg/ml
= 36300 mcg = 36,3 mg

Maintenance doses (dosis pertahanan) = Cl x Css


= 2,2869 ltr/jam.5,5mcg/ml
= 2286,9 ml/jam.5,5 mcg/ml
= 12577,95 mcg/jam
= 12,57 mg/jam

D 12,57 mg / jam
  12,57 mg / jam
 1
C max
σ max = 1,44 t½. ln
C min
10mcg / ml
= 1,44.2 jam. ln 1mcg / ml

= 1,44.2 jam.2,3026
= 6,631 jam
Interval pemberian yang dipilih adalah 6 jam
12,57 mg/ml.6 = 75,42 mg/jam

(1 / 2) 
Css min = F .D.
V (1  1 / 2) 

= Cssmax (½) 
= 13,059 mg (½) 6 / 2
= 1,632 mg/L
= 1,632 µg/ml
1
Cssmax = F .D V (1  1 / 2)

1
= 1.75,45mg
6,6(1  1 / 2) 6 / 2

= 13,059 mg/L = 13,059 µg/ml


Jadi Cssmin bisa dipakai, Cssmax lebih besar tapi tidak tercapai konsentrasi
toksik kita = 25µg/ml
Berarti dosis pemakaian 2 x 40 mg /6 jam dapat didenda.
Sedangkan untuk interval 1 ampul 12 jam :

1
Cssmax = F .D V (1  1 / 2)
1
= 1.40
6,6(1  1 / 2) 12 / 2

= 6,15 mcg/ml

Cssmin = Cssmax (½) 


= 6,16 mchg/ml. (½) 12 / 2
= 0,096 mcg ~ 1 mcg/ml
Masih berada pada range terapi, berarti masih dapat digunakan.

4. Pembahasan
1. Infus Dekstrosa 5%, diberikan karena kondisi pasien yang lemah
sehingga untuk energi diberikan infus glukosa.
2. Captopril, dosis 2x12,5 mg, digunakan sebagai vasodilator untuk
mengurangi tekanan darah dengan menghambat Angiotensin I menjadi
Angiotensin II, sehingga akan mengurangi beban jantung.
3. NR (Nitromark Retard), dosis 2x1 tablet, mengandung nitrogliserin
yang berfungsi sebagai vasodilator, dikombinasikan dengan Captopril
untuk menghasilkan efek sinergis.
4. Furosemid, diberikan secara injeksi dengan dosis turun secara bertahap
(1 ampul = 40 mg), digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
menaikkan ekskresi Na+ dan Cl- dari tubuh.
5. Lasix 2x40 mg tablet, digunakan sebagai pengganti furosemid untuk
mengurangi udem. Penggantian Furosemid injeksi menjadi Lasix tablet
dilakukan karena penggunaan pemberian Lasix dengan dosis tersebut
telah cukup sebagai diuretik.
6. KSR (Kalium Sustained Release), dosis 2x1 tablet, diberikan untuk
menggantikan kalium yang hilang akibat pemberian Furosemid yang
boros kalium. Pada hari I-IV tidak diberikan karena Captopril mampu
menghalangi pelepasan/menahan kalium yang dilepaskan oleh
Furosemid. Setelah hari ke IV, diberikan KSR karena diperkirakan
kalium yang dikeluarkan terlalu banyak.
7. Aspilet, yang berisi aspirin 80 mg, digunakan untuk memperlancar
aliran darah yang sulit akibat adanya platelet atau agregat di pembuluh
darah atau untuk mencegah terjadinya pengendapan trombosit di
pembuluh darah.
8. Dulcolax yang kemudian diganti dengan Laxadine dengan dosis 3xCl
karena pasien mengalami keluhan konstipasi, diganti untuk
menghindari efek samping Dulcolax yang dapat menyebabkan kejang
perut.

5. Kesimpulan
- Obat-obat yang digunakan untuk terapi pasien adalah rasional
(Terapi yang diberikan sesuai dengan diagnosis pasien).
- Pada akhir pengamatan kondisi pasien sudah membaik.

6. Saran
- Sebaiknya dilakukan uji elektrolit sebelum memberikan KSR,
karena jika elektrolit normal Captopril sudah cukup menahan
pengeluaran Kalium.
- Sebaiknya Dulcolax tidak perlu diberikan pada pasien karena
Dulcolax jika digunakan bersama-sama dengan diuretik dapat
meningkatkan resiko ketidakseimbangan elektrolit. Jika
pasien diberikan furosemid sebaiknya Dulcolax diganti
denagn pencahar lain misalnya Laxadine.
- Captopril diberikan sebelum makan karena bioavaibilitas
Captopril akan berkurang jika diberikan bersamaan dengan
makanan dan sebaiknya diberikan 1 jam sebelum makan.
- Sebaiknya berat badan pasien dicatat guna perhitungan
farmakokinetik.
Studi Kasus
Sinusitis dan Dispepsia

1. Identitas pasien
Nama : NH
Jenis kelamin : perempuan
Umur : 51
Berat badan : tidak dicantumkan (berat badan dibutuhkan dalam
penentuan dosis)
2. Ringkasan pada waktu pasien masuk
Pasien masuk ke rawat inap (ruang XI Kelas II) RSU Dr. pirngadi Medan
pada tanggal 19 September 2005 dari unit rawat jalan dengan keluhan
sakit kepala, nyeri dibagian wajah dan disertai myeri dibagian perut.
Hasil pemeriksaan fisik pasien :
 sensorium : compos mentis
 suhu tubuh : 37 oC
 nadi : 88 kali/menit
 respiratory rate : 24 kali/menit
 dari hasil pemeriksaan laboratorium patologi klinik, keadaan
hati, darah, ginjal, dan gula pasien normal

3. Riwayat penyakit pasien dan penggunaan obat terdahulu


Keluhan telah dialami pasien berbulan-bulan berupa sakit kepala,
demam, bengkak, dan rasa nyeri di wajah, kemudian beberapa minggu
sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh mual, muntah, dan nyeri di
bagian perut. Suhu tubuh tidak terlalu tinggi, namun demam tersebut
sering berulang. Dua minggu yang lalu pasien mengalami demam tinggi
dengan gejala pilek tetap ada bahkan ingus agak kental dan berwarna
hijau. Pasien sebelumnya pernah menggunakan obat seperti ampisillin,
antasida, CTM, dan vitamin selama berobat di puskesmas.

4. Diagnosis
Berdasarkan keluhan pasien, pasien menderita sinusitis disertai dengan
gangguan pencernaan (dispepsia).

Untuk mendukung diagnosis yang menyatakan penyakit pasien,


seharusnya dilakukan
 Tes radiologi
 Pengambilan apusan sekret hidung
 Perhitungan jumlah sel darah putih dan laju sedimentasi darah
(Pracy et al., 1971)
Diagnosis di atas juga kurang lengkap karena tidak mencantumkan jenis
sinusitis yang diderita pasien.

5. Terapi dan Pembahasan


a. Selama berobat di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan dari
tanggal 19-27 September 2005, pasien diberikan antibiotik injeksi
ampisilin ampul secara intravena dengan dosis 1g/6 jam.
Rasionalisasi pemberian obat :
BB pasien diasumsikan = 60 kg
Vd ampisillin = 0,3 L/kgBB
Range Terapi = 0,2 – 15 mcg/ml.
T1/2 = 1 ½ - 2 jam (Barker M., 1973)
 Vd = 0,3 L/kgBB x 60 kg
= 18 L
0,693 0,693 1
 k = t1 / 2  1,5 jam  0,462 jam
 Cl = Vd x k
= 18 L x 0,462 jam-1
= 8,316 L/jam
 Dosing rate
D Cl x C ss

 F
8,316 L / jam x 3mcg / ml
=
1
= 8,316. 103 mL/jam x 3 mcg/ml
= 24948 mcg/jam
= 24,948 mg/jam

 Interval pemberian
C max
  1,44 x t1 / 2 x ln
C min
15 mcg / mL
= 1,44 x 1,5 jam x ln 0,2mcg / mL
= 9,325 jam
Maka dipilih interval pemberian 12 jam.
 Regimen dosis
D
x  24,948 mg / jam x 12 jam

= 299, 376 mg.
 Dari soal diketahui :
  6 jam
Dosis pemberian = 1 g
 6 jam
e  4
t1 / 2 1,5 jam
1
C ss max  F . D.
Vd (1  (1 / 2) e )
1
= 1.1 g .
18 L (1  (1 / 2) 4 )
= 60 mcg/mL
C ss min  C ss max .(1 / 2) e
= 60 mcg/mL . (1/2)4
= 3 mcg/mL
Range terapi = 3 – 60 mcg/mL
Berdasarkan teori,   12 jam
 12 jam
e  8
t1 / 2 1,5 jam
1
C ss max  F .D.
Vd (1  (1 / 2) e )
1
= 1.299,376 mg .
18 L(1  (1 / 2) 8 )
= 16,697 mcg/mL

Css min = Css max . (1/2)e


= 16,697 mcg/mL . (1/2)8
= 0,065 mcg/mL

Range terapi = 0,065 – 16,697 mcg/mL


 Rekomendasi :
Pemberian ampisillin ampul dengan dosis 1 g/6 jam perlu
ditinjau kembali. Interval pemberian obat sebaiknya
diperpanjang menjadi 12 jam untuk mencegah akumulasi obat
dalam darah dan agar tercapai keefektifan pengobatan. Dosis
dikurangi menjadi 500 mg dan diberikan tiap 12 jam.
 12
e  8
t1 / 2 1,5
1
C ss max  1.500 mg.
18 L(1  (1 / 2) 8
500 mg
= 17,9296 L  27,8868 mcg / mL

Css min = Css max. (1/2)8


= 27,8868 mcg/mL. (1/2)8
= 0,1089 mcg/mL
Range terapi = 0,1089 – 27,8868 mcg/mL

 Setelah pemberian ampisilin, seharusnya dilakukan kultur


apusan sekret hidung secara intensif tiap 6 jam selama 48
jam pemberian pertama untuk mengetahui apakah bakteri
penyebab sinusitis tersebut sensitif atau sudah resisten
terhadap ampisillin.

b. Pada hari ketujuh tanggal 25 September 2005, pasien diberikan


gentamisin secara intravena dengan dosis 80 mg/12 jam
Rasionalisasi pemberian obat :
Gentamisin range terapi 1-10 mcg/mL
 Vd = 0,25 L/kgBB x 60 kg
= 15 L
0,693 1
 k = 3 jam  0,231 jam
 Cl = Vd . k
= 15 L. 0,231 jam-1
= 3,465 L/jam
 Dosing rate
D Cl .C ss

 F
3,465 L / jam .5 mcg / mL
=
1
= 17,325 mg/jam

 Interval pemberian
C max
  1,44. t1 / 2 . ln
C min
10
= 1,44.3. ln
1
= 9,94 jam
Maka interval pemberian dipilih 12 jam
 Regimen dosis
D
x  17,325 mg / jamx12 jam

= 207,9 mg
 Dari soal diketahui :
  12 jam
 12
e  4
t1 / 2 3

1
C ss max  F .D.
Vd (1  (1 / 2) e

1
= 1.80 mg .
15 L (1  (1 / 2) 4 )

= 5,689 mcg/mL
Css min = Css max . (1/2)e
= 5,689 mcg/mL.(1/2)4

= 0,351 mcg/mL
Range terapi = 0,351 – 5,689 mcg/mL
 Berdasarkan teori :
  12 jam
 12
e  4
t1 / 2 3

1
C ss max  1.207,9 mg.
15 L(1  (1 / 2) 4 )

= 14,784 mcg/mL
Css min = 14,784 mcg/mL.(1/2)4
= 0,924 mcg/mL
Range terapi = 0,924-14,784 mcg/mL
 Rekomendasi:
Pemberian gentamisin dengan dosis 80 mg/12 jam secara i.v perlu
ditinjau kembali, karena konsentrasi obat dalam darah berada di
bawah range terapi. Sebaiknya dosis ditingkatkan agar
pengobatan mencapai range terapi. Dosis ditingkatkan menjadi
250 mg dan diberikan tiap 12 jam.
 12
e  4
t1 / 2 3

1
C ss max  1.250 mg.
15 L(1  (1 / 2) 4 )

= 17,78 mcg/mL
Css min = 17,78 mcg/mL . (1/2)4
= 1,11 mcg/mL
Range terapi = 1,11-17,78 mcg/mL.

 Pemberian gentamisin selama 2 hari ( 4 kali injeksi) berarti 80


mgx 4= 320 mg. Nilai ini berada di bawah range terapi,
sehingga tidak memberikan efek yang optimal bagi pengobatan
pasien bahkan memberatkan pasien dari segi biaya pengobatan.
Di samping itu,kombinasi ampisillin dan gentamisin akan
menghasilkan suatu kompleks yang menginaktivasi gentamisin,
sehingga menurunkan kadar gentamisin dalam darah. Jadi
sebaiknya pemberian gentamisin tidak diberikan bersamaan
dengan ampisillin dan bila harus diberikan dosisnya harus
ditingkatkan menjadi 250 mg tiap 12 jam.

Literatur:
Barker,M. Brian. (1973). Antimicrobial Agent in Medicine. London : Blackwell
Scientific Publications.
PP. 19-20, 42-44,218,228.
Pracy,R.et al.(1971).A Short Textbook Ear,Nose, and Throat. English: The English
University Press. PP. 71-72.

STUDI KASUS:
CONGESTIVE HEART FAILURE
(GAGAL JANTUNG KONGESTIF)

1. IDENTITAS PASIEN
Nama/No. MR : SY / 26 22 02
Jenis kelamin/umur : Perempuan/38 tahun
Berat/tinggi badan : 62 kg / 160 cm

2. RINGKASAN PADA WAKTU PASIEN MASUK

Pasien masuk ke rawat inap terpadu Interna RSUP H. Adam Malik Medan pada 26
Agustus 2004 dari Instalasi Gawat Darurat.
Kondisi pasien : terjadi pembengkakan seluruh tubuh dan perut membesar
Hasil pemeriksaan fisik :
 Sensorium : Compos mentis (sadar penuh)
 Suhu tubuh : 38,1o C
 Tekanan darah : 90/70 mmHg
 Nadi : 68 kali/menit
 Respiratory rate : 26 kali/menit
Hasil pemeriksaan laboratorium :
Tabel 1. Hasil pemeriksaan foto
No. Tanggal Pemeriksaan Kesan
1. 27/8/2004 Radiologi (Thorax AP) Kardiomegali dan besar etelektase
lobus inferior kanan.
2. 27/8/2004 Elektrokardiografi (EKG) Disritmia sinus
3. 7/9/2004 Ultrasonografi (USG) Liver kongestif

Tabel 2. Hasil pemeriksaan Lab. Patologi Klinik Sub. Bag. Kimia Klinik
PEMERIKSAAN TANGGAL NORMAL
26/8 28/8 31/8 31/8
Haemotologi
Hemoglobin 10,5 P : 12-16 g%
L : 13-18 g%
Lekosit 8,7 5-11.103/mm3
Hematokrit 31 37-47%
Trombosit 700 150-450%
Elektrolit darah
Natrium 128 133 135-
155mEq/L
Kalium 2,9 2,68 3,6-5,5 mEq/L
Klorida 97 100 96-106 mEq/L
Faal Hati
Bilirubin total 0,8 0,3 0-1 mh/dl
Bilirubin direk 0,3 0,2 0-0,3 mg/dl
SGOT 29 33 0-38 UI/l
SGPT 42 36 0-40 UI/l
ALP 83 131 70-300 UI/l
Total albumin 6,6 6,7-8,7
SPE : - albumin 2,14 3,2-5,2
- alfa 1 globulin 0,69 0,1-0,3
- alfa 2 globulin 1,35 0,6-1,0
- beta globulin 1,07
-Gamma globulin 1,35 0,8-1,0
Faal Ginjal
Urea 60 40 10-50 mg/dl
Kreatin 1,7 0,7 0,7-1,4 mg/dl

3. RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGGUNAAN OBAT TERDAHULU


Pembengkakan seluruh tubuh dan perut membesar sudah terjadi sejak 1 bulan
yang lalu.
Pasien pernah dirawat di RSU Pirngadi 11 tahun yang lalu karena bengkak di
kaki.
Pasien juga pernah dirawat di RS swasta 1 minggu yang lalu.
Pasien telah menderita sesak nafas sejak 11 tahun yang lalu dan semakin parah
sejak 1 bulan lalu sehubungan dengan aktivitasnya dan kondisi cuaca, ia juga
sering batuk di malam hari.
Pengobatan yang pernah diberikan adalah digoxin dan furosemida.
4. DIAGNOSA

- Pertama : CHF fungsional kelas II – III yang disebabkan penyakit jantung


koroner.
- Kedua : Setelah dilakukan ekokardiograf pada 10 September 2004 maka
diputuskan sebagai CHF fungsional karena mitral stenosis.
5. TINJAUAN UMUM TENTANG PENYAKIT PASIEN

CHF atau gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan dimana jantung tidak
dapat memompa darah untuk kebutuhan tubuh. Hal ini bisa disebabkan oleh:
- Gangguan kemampuan kontraksi otot jantung
- Meningkatnya beban kerja jantung sehingga darah terbendung di daerah vena
paru dan kaki.
- Pengembalian ke jantung menyebabkan sesak nafas dan terjadi udema di kaki.
- Gangguan fungsi ventrikel (kiri/kanan/keduanya) terutama gangguan pada
sistole atau diastole.
Performa jantung dipengaruhi oleh 4 hal :
- Preload (tekanan atrium)
Terutama berpengaruh pada performa vaskular, dimana bila terjadi gagal
jantung maka volume darah akan meningkat dan tonus vena, sehingga preload
juga akan meningkat.
- After load (tahanan yang dihadapi jantung saat memompa darah)
Yang diawali oleh hambatan aortik dan tahanan vaskular sistemik. Pada kasus
CHF terjadi peningkatan tahanan vaskular sistemik.
- Kontraktilitas
Bila terjadi penurunan maka kecepatan pemendekan dan pembentukan tekanan
intraventrikel juga akan menurun sehingga performa jantung melemah dan
dapat terjadi gagal jantung.
- Denyut jantung (penentu curah jantung)
Pada gagal jantung fungsi intrinsik jantung menurun dan volume sekuncup
berkurang, disamping juga terjadi peningkatan denyut jantung melalui
peningkatan aktivitas simpatis dari adrenoreseptor β yang sebenarnya
bertujuan untuk memelihara curah jantung.
Penanganan kondisi gagal jantung adalah :
1. Istirahat untuk meringankan beban jantung
2. Pembatasan garam
3. Terapi dengan diuretik
Obat-obatan yang digunakan antara lain :
1) Diuretik
2) Glikosida jantung (seperti; digoxin) : Bekerja dengan meningkatkan kontraksi
jantung dan meningkatkan fungsi pompa Na+/K+/ATPase
3) Penghambat ACE : Menurunkan resistensi vaskular, vena , dan tekanan darah,
serta meningkatkancurah jantung.
4) Vasodilator koroner : Menurunkan afterload/tahanan vaskular dengan
vasodilatasi arteri, sedangkan ion nitrat dapat mengurangi preload.

6. TERAPI

7. PEMBAHASAN
 Hari pertama pasien masuk ke Rumah Sakit Adam Malik pasien dianjurkan
melakukan aktifitas tirah baring dan diberikan oksigen 1-2 L/menit untuk
mengurangi kerja jantung.
 Pasien diberikan diet jantung III (1756 kalori) dan garam (maksimal 1
gram/hari).
 Pasien diberikan infuse dekstrosa 5 % 10 tetes/menit. Sebaiknya pemberian
infuse ini tidak perlu karena pasien tidak lemah dan ada nafsu makan. Selain
itu juga akan meningkatkan jumlah cairan tubuh. Sementara pasien dalam
keadaan udema sehingga akan memperparah udema pasien.
 Diuretik yang diberikan adalah furosemid dengan dosis awal 1 ampul/12 jam
selama 3 hari, lalu ditingkatkan menjadi 2 ampul/8 jam secara intra vena.
 Furosemid menimbulkan efek samping gangguan keseimbangan elektrolit
seperti hipokalemia. Ini dapat diatasi dengan pemberian suplemen kalium
yaitu Kalium Sustained Release (KSR) 1x600 mg/hari. Dosis KSR adalah 1-2
x 600 mg/hari, tetapi untuk dosis pemakaian yang tepat pada pasien harus
dilakukan pemantauan kadar dalam darah pasien.
 Berdasarkan teori dan konsep perhitungan farmakokinrtika kadar furosemid
dalam darah pasien :
- dosis 2 ampul/ 8 jam diperoleh : Cmax = 6,05 mcg/ml
Cmin = 0,15 mcg.ml
Ini dibawah range terapi yaitu 1 – 10 mcg/ml
Untuk itu pemberian furosemid perlu ditingkatkan menjadi 2 ampul/4 jam
Cmax 6,95 mcg/ml dan Cmin 1,11 mcg/ml. Hal ini dilakukan supaya
konsentrasi obat didalam darah tetap berada dalam range terapi sehingga
menghasilkan efek yang diinginkan. Masa kerja furosemid 2-4 jam, sehingga
disaat masa kerjanya berakhir seyogyanya obat diinjeksikan lagi untuk
mempertahankan efeknya.
 Berdasarkan pemeriksaan hematology terlihat bahwa jumlah hemoglobin dan
hematoksit dibawah normal, ini menunjukkan bahwa pasien mengalami
anemia, Jadi, sebaiknya pasien diberikan preparat besi seperti Sulfus Ferrosus
harus berlanjut selama anemia belum hilang dan maksimum digunakan selama
6 bulan.
 Jumlah trombosit diatas normal (tinggi), maka pasien diberi Aspilet (Aspirin)
1x80 mg. Pemberian Aspilet harus dihentikan jika jumlah trombosit pasien
sudah normal. Beberapa waktu setelah pemberian Aspilet (7-10 hari) kadar
trombosit dalam darah sebaiknya ditentukan.
 Dari har pertama masuk sampai tanggal 09-09-2004, pasien diberikan
Isisorbid dinitrat (ISDN) karena pasien mengeluh dengan rasa nyeri didada..
Berdasarkan mekanisme kerjanya pemberian ini sudah tepat.
 Pada tanggal 31-08-2002 pasien diberikan Laxadin sirup untuk mempermudah
buang air besar sehingga tidak menambah kerja jantung. Pada hari yang sama
pasienjuga diberi Digoksin. Pemakaian Laxadin bersama Digoxin akan
menurunkan absorbsi digoxin. Selain itu Laxadin dapat juga menyebabkan
kehilangan cairan dan elektrolit. Jika terjadi hipokalemia akan meningkatkan
toksisitas digoksin. Sementara itu pasien tidak mengeluh susah buang air
besar, oleh karena itu disarankan kepada dokter agar pemakaian Laxadin tidak
perlu.
 Pasien diberikan terapi Digoksin dengan dosis 2 x 0,125 mg/hari. Efek utama
digoksin adalah inotropik positif yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi
miokardium. Bila diberikan efek terapi penuh digoksin dalam waktu singkat
maka harus diberikan dosis muatan (loading dose) agar langsung dicapai kadar
terapi. Besarnya dosis muatan tersebut untuk pemberian oral adalah 0,75 – 1,5
mg. Selanjutnya, pengobatan diberikan dengan dosis pemeliharaan yang lebih
kecil (0,25 – 0,5 mg). Pada kasus ini dosis muatan tidak dibrikan sehingga
konsentrasi steady state akan lama tercapai (5-7 hari). Oleh karena itu
disarankan kepada dokter kalau hal ini perlu dilakukan. Penyerapan digoksin
dihambat oleh adanya makanan dalam saluran cerna. Oleh karena itu pasien
dianjurkan minum obat pada waktu perut kosong.
 Digoksin merupakan obat yang perlu dimonitor karena nilai range terapi yang
yaitu 0,5-3 ng/ml. Untuk itu perlu diketahui kadar digoksin dalam darah
pasien. Berdasarkan hasil perhitungan farmakokinetika didapatkan bahwa
kadar obat didalam darah pasien didalam range terapi, yaitu Cmax 1.3 mg/ml
dan Cmin 1 ng/ml.
 Tanggal 17-09-2004 pasien dibarikan Spironolakton sebagai kombinasi
diuretic Furosemid. Spironolakton adalah diuretk hemat kalium. Sehingga
disisni pemberian KSR dihentikan. Akan tetapi pemberian Spironolakton
dapat menurunkan kliren ginjal dari oksigen, sehingga dapat meningkatkan
konsentrasi digoksin dalam plasma dan meningkatkan resiko keracunan
digoksin. Seharusnya pemberian Spironolakton tidak perlu. Akan tetapi
pemantauan kadar kalium dalam darah perlu dilakukan, jika dibawah normal
maka pemberian KSR sebagai suplemen kalium sangat perlu diberikan.
 Penambahn kombinasi diuretic HCT pada tanggal 11-09-2004 sebaiknya tidak
diperlukan karena bisa menimbulkan hipokalemia dan hiperurisemia yang juga
disebabkan oleh furosemid yang mana jika terjadi hipokalemia akan
meningkatkan toksisitas digoksin.
 Apabila terapi dengan menggunakan obat-obatan tidak menunjukkan kemajun
yang berarti maka sebaiknya dilakukan tindakan operasi diantaranya
balonisasi atau kaleterisasi..
8. KESIMPULAN
1. Pemberian dosis Furosemid belm tepat dan dibawah range terapi sehingga
harus ditingkatkan menjadi 2 ampul/4 jam, disertai pemberian KSR untuk
suplemen kalium.
2. Kombinasi Furosemid, Spironolakton, HCT tidak rasional, karena ;
o Spironolakton meningkatkan kadar digoksin dalam darah dan dapat
menyebabkan hipokalemia dan meningkatkan toksisitas digoksin.
o HCT dapat meningkatkan efek samping dari Furosemid
3. Laxadin meningkatkan pengeluaran cairan dan elektrolit sehingga
menyebabkan hipokalemia dan meningkatkan toksisita digoksin.
4. Untuk mendapatkan efek optimal digoksin dalam waktu singkat diperlukan
dosis muatan 0,75 – 1,5 mg dengan cara oral.
5. Perlu diberikan obat untuk mengatasi anemia pada pasien.

9. SARAN
1. Pasien hanya diberikan 1 diuretrik (Furosemid), dosisnya dinaikkan menjadi 2
ampul/4 jam dan pemakaian kalium tidak dihentikan.
2. Lakukan selalu pemantauan kadar kalium akibat pemberian diuretic, untuk
mencegah terjadinya hipokalemia.
3. Laxadin sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan digoksin dalam obat-
obat diuretic.
4. Sebaiknya diberikan dosis muatan digoksin untuk mendapatkan efek optimal
digoksin dalam waktu singkat.
5. Sebaiknya diberikan Sulfas ferrosus untuk mengobati pasien anemia.

LAMPIRAN

Furosemid
Komposisi :
- 20 mg/ 2 ml ampul
- 250 mg / 25 ml infus
- 40 mg / tab

Penggunaan :
3 hari pertama 1 ampul tiap 12 jam
Selanjutnya 2 ampul tiap 8 jam
t½ = 1.5 jam
Vd = 0,11 L/kg
t = 1 (secara i.v)
Range terapi = 1-10 mcg/ml

Perhitungan :

0,693 0,693
K =   0,462 jam 1
t1 / 2 1,5 jam

Vd = 0,11 L/kg x 62 kg = 6,82 L

Cl = K x Vd = 0,462 jam-1 x 6,82 L = 3,15 L/Jam

D ClxCss 3,15 L / jamx5,5mcg / ml


   17,325mg / jam
 F 1

σmax =1,44 x t ½ x ln 5,5 =1,44 x 1,5 jam x 1,704 = 3,68 jam

D
Dmaintenance =σ x = 3,68 jam x 17,325 mg/jam = 63,8 mg

Digunakan dosis 2 ampul tiap 8 jam, maka :

 8
Ε =   5,33
t1 / 2 1,5

1
Css max = FxDx
V (1  (1 / 2) )
1
= 1 x 40mg x
6,82(1  (1 / 2)5,33 )
40
=  6,015mg / L  6,015mcg / ml
6,65
FxDx(1 / 2)
Css min =
V (1  (1 / 2)

= Css max x (1/2)ε


= 6,015 x (1/2)5,33

= 0,15 mg/ L = 0,15 mcg/ml


(Css min dibawah range terapi)

Jika digunakan dosis 2 ampul tiap 4 jam, maka :

4
Ε =  2,67
1,5

1
Css max = FxDx
V (1  (1 / 2) )
1
= 1 x 40mg x
6,82(1  (1 / 2) 2 , 67 )

40
=  6,95mg / L  6,95mcg / ml
5,75

FxDx(1 / 2)
Css min =
V (1  (1 / 2)

= Css max x (1/2)ε


= 6,95 x (0,157)

= 1,09 mg/L = 1,09 mcg/ml

Digoxin

Diketahui : komposisi = 0,125 mcg/ml


Penggunaan = 2 x 0,125 mcg/ml
Dosis muatan = 0,75-1,5 mg
Dosis pemeliharaan = 0,25-0,5 mg
Range terapi = 0,5-2 ng/ml
t1/2 = 50 jam
Vd = 7,14 L/kg
F = 0,7

Perhitungan :

0,693 0,693
K =   0,0138 jam 1
t1 / 2 50 jam
Vd = 7,14 L/kg x 62 kg = 442,68 L

Cl = K x Vd = 0,0138 jam-1 x 442,68 L = 6,108 L/Jam

D ClxCss 6,108 L / jamx1,25mcg / ml


   10.9ng / jam
 F 0,7

σmax =1,44 x t ½ x ln1,25 =1,44 x 50 jam x 0.223 = 16,06 jam

D
Dmaintenance =σ x = 16,06 jam x 10,9 ng/jam = 175,12 ng

Digunakan tiap 12 jam :

 12
Ε =   0,24
t1 / 2 50

1
Css max = FxDx
V (1  (1 / 2) )
1
= 0,7 x 0,125 mcg x
442,68 L(1  (1 / 2) 0, 24 )

0,0875mcg
=  0,00129mcg / L  1,29ng / ml
67,84L

FxDx(1 / 2)
Css min =
V (1  (1 / 2)

= Css max x (1/2)ε


= 1,29 x (1/2)0,24

= 1,29 x 0,84 ng/ ml= 1,08 ng /ml

Sesuai range terapi


STUDI KASUS
Congestive Heart Failure

I. Identitas Pasien
Nama / No. MR : LB / 27. 77. 64
Agama / Suku : Kristen Protestan / Karo
Jenis kelamin / Umur : Perempuan / 6 th 5 bln
Hari / tanggal masuk : Kamis / 29 April 2005
Status Pasien : ASKES
Berat badan : 9 kg
Alamat : Desa Tani Jaya P. Brandan
II. Ringkasan pada waktu pasien masuk
Pasien masuk ke rawat inap terpadu bagian anak (Rindu B1) kamar III4,
tanggal 29 April 2005 melalui Poliklinik anak.
a. Keluhan umum
Keluhan utama pasien adalah cepat merasa lelah, sesak serta denyut jantung
capat. Keadaan ini semakin memburuk diikuti demam.
b. Status Praecens
Suhu tubuh : 38oC
Takipnea : (+)
Dispnea : (+)
HR : 150 kali/menit
RR : 36 kali/ menit
Abdomen : Soepel

III. Pemeriksaan Laboratorium


Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik Sub. bagian Klinik
Pemeriksaan Unit Hasil Normal
Faal Hati
Bilirubin total mg/dl 0.99 <1
Bilirubin direct mg/dl 0.25 < 0.3
Alkalin Fosfatase U/L 153 < 650
SGOT U/L 58 < 31
Alkalin Fosfatase U/L 153 < 650
SGOT U/L 58 < 31
SGPT U/L 211 < 32
Total Protein g/dl 6.22 6.0 – 8.0
Faal Ginjal
Ureum mg/dl 43 10-50
Creatinin mg/dl 0.21 0.7-1.4
Uric acid mg/dl 5.1 2.4-6.0

SGOT : serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase


SGPT : Serum Glutamic Piruvic Transaminase
Tabel 2. Serum Protein Electrophoresis
FRACTIONS % REF CONCENTRATION REF
CONCENTRATION
Albumin 51.2 60.0-71 3.33 4.30-5.10
Alpha 1 5.2 1.4-2.9 0.34 0.10-0.20
globulin
Alpha 2 15.8 7.0-11.0 1.03 0.50-0.80
globulin
Beta globulin 12.5 8.0-13.0 0.81 0.60-0.90
Gamma globulin 15.3 9.0-16.0 0.99 0.60-1.10

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik Sub. Divisi


Hematologi
TANGGAL PEMERIKSAAN HASIL NORMAL
Neufil 74 43-71
6 Mei 2005
Limfosit 13 11-48
Monosit 5 1-15
Eosinodi 2 0.0 - 10
Basofil 0 0.0-0.3
Keterangan : Anemia normokrom normositer
Different by : Leukositosit
Neufil 78 43-79
18 Mci 2005
Limfosit 15 11-48
Monosil 3 1-15
Eosinofil 2 0.0-10
Basofil 0 0.0-0.3
Leucocytosis + Neutophilia hypersegmentation
LED: 36 mm/jam

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik Sub. Divisi Imunologi


Pemeriksaan Unit Hasil Normal
ASTO IU/dl 300 200
PEMBAHASAN

Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, maka :


Pada pemeriksaan faal hati SGOT dan SGPT berada diatas normal yaitu 58 U/L
dan 211 U/L (SGOT normal <3 ; SGPT <32)
Pemeriksaan nilai ASTO (indikator infeksi Streptokokus) berada diatas normal
yaitu 300 (normal = 200). Hal ini menyebabkan pasien menderita demam rematik.
Dari pemeriksaan Chest X-Ray, EKG dan EKO pasien menderita gagal jantung
kongestif.

Tinjauan Penyakit
Penyebab utama gagal jantung :
- Penyakit koronari arteri
- Kardiomiopati
- Hipertensi
- Penyakit jantung urogenital
- Penyalahgunaan alkohol dan obat
- Penyakit katup jantung

Pembahasan Penggunaan Obat/Terapi


Pada hari pertama masuk rumah sakit, pasien diberi ditirah baringkan dan diberi
oksigen 1-2 L/menit. Selain itu pasien juga diberi infus dekstrosa 5% dan NaCl
0,15% 30 tetes mikro yang dimaksudkan untuk menambah energi bagi pasien.
Pemberian NaCl dari awal sampai akhir pengobatan tidak rasional karena NaCl
dapat menyebabkan udem yang dapat memperburuk pasien gagal jantung.
Sementara pasien masuk rumah sakit sudah dalam keadaan udem.
Digoksin dengan dosis 2 x 0,045 mg/hari per oral selama 29 April-19 Mei
(pemberian digoksin berfungsi untuk meningkatkan kontraksi jantung). Setelah 20-
22 Mei dosis ditingkatkan menjadi 2 x 0,05 mg/hari. Berdasarkan perhitungan
secara teoritis bahwa Cmaks dengan dosis 0,045 mg/ml untuk anak 6 tahun adalah
2,966 mg/ml dan Cmin 2,049 mg/ml (diatas dosis toksik : >2 ng/ml). Seharusnya
dilakukan penyesuaian dosis dari pasien karena fungsi hatinya mengalami
gangguan (dilihat dari SGOT dan SGPT yang melebihi normal). Berdasarkan
perhitungan, dosis yang diberikan adalah 57,96 x 10-3 mg/3 hari (perhitungan
terlampir).
Setelah diberikan diuretik furosemid dengan dosis 10 mg/12jam per oral dari tgl.
29 April - 8 Mei sedangkan tgl 9 – 11 Mei diberi dosis 2 x 10 mg/hari secara i.v.
Dan dari hasil perhitungan diperoleh Cmaks furosemid dengan dosis 10mg/12 jam
adalah 10,14 mg/ml dan Cmin 0,0396 mg/ml (Range terapi furosemid 1-10
mcg/ml). Konsentrasi furosemid berada diluar range terapi. Dari penyesuaian
dosis, diperoleh dosis pemberian secara oral 2,74428 mg/6 jam atau 5,48856/12
jam. Secara i.v dosis pemberiannya adalah 2,74428 mg/6 jam (perhitungan
terlampir).

Pemberian digoksin dengan dosis berlebih memberikan efek terhadap jantung


antara lain gangguan ritme yaitu ekstra systole dan fibrilasi bilik berbahaya yang
mengakibatkan shock fatal, dan gejala ini lebih cepat timbul jika pasien kekurangan
kalium karena otot jantung menjadi lebih peka bagi digoksin. Sementara pasien diberi
diuretic yang boros kalium. Penggunaan digoksin harus berhati-hati pada pasien yang
sedang diobati dengan diuretik dan kortikosteroid.
Pemberian diuretik yang boros kalium sebaiknya tidak digunakan pada terapi pasien
ini, walaupun penggantian kalium dapat diberikan dengan KCl. Sementara pasien juga
diberi diuretik spironolakton yang dapat menghambat absorpsi Na dan sekresi K. Jadi
sebaiknya penggunaan diuretik pada pasien langsung secara kombinasi sehingga
pemberian KCl tidak diperlukan.

Pada tgl 29 April – 22 Mei pasien diberi kaptopril 2 x 4 mg/hari kemudian 9 –


22 Mei dosis ditingkatkan menjadi 2 x 5 mg/hari. Berdasarkan perhitungan teoritis
Cmks 363,63 ng/ml dan Cmin 8,3 ng/ml (normal 50 ng/ml). Konsentrasi berada
jauh diatas normal.
Pemberian injeksi prokain penisilin G dengan dosis 300.000 u/12 jam secara
10 hari sebagai eradikasi terhadap kuman streptokokus. Kemudian pada tgl 9 – 11
Mei diberikan kombinasi dengan Ampicillin dan Gentamisin. Gentamisin
dengan dosis 25 mg memiliki Cmaks 11,53 mg/L dan Cmin 0,72 mg/L (Ceff = 1 –
10 mg/L), maka pemberian gentamisin ini masih dapat ditolerir. Kombinasi
ampisilin dan gentamisin secara farmakokinetik menunjukkan interaksi yang
merugikan, meskipun dengan rute pemberian yang berbeda. Ampisilin dapat
menginaktivasi gentamisin sehingga menurunkan potensi gentamisin. Pada tgl 12
– 22 Mei ampisilin diganti dengan sefotaksim. Gentamisin berkhasiat terhadap
Pseudomonas, Proteus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin dan
sering dikombinasi dengan sefalosporin generasi III, dalam hal ini diberikan
sefotaksim, namun kombinasi ini tidak aktif terhadap streptokokus. Maka
sebelum pemberian antibiotika dilakukan uji kultur terlebih dahulu agar
diperoleh antibiotika yang peka terhadap bakteri yang menginfeksi, sehingga
penggunaan obat yang berlebihan dapat dihindari.
Pemberian prednison dengan 3 x 3 tablet/hari dan pengurangan dosis
bertahap. Penggunaan prednison untuk meningkatkan nafsu makan sangat tidak
rasional karena dapat menyebabkan udem yang akhirnya menimbulkan efek
hipertensi yang dapat memperparah gagal jantung. Untuk menambah nafsu makan
pasien dapat diberikan suplemen vitamin. Dan pada pasien ini sudah diberikan
sirup Apialis yang berisi multivitamin. Penggunaan prednison harus berhati-hati
pada orang yang mengalami gangguan hati. Sebaiknya untuk menghilangkan rasa
nyeri disarankan untuk mengganti prednison menjadi Indometasin atau Piroxicam
yang pemberiannya setelah makan.

Kesimpulan :
Sebaiknya pemberian obat pada pasien ini dengan panyakit gagal jantung koroner
yang mengalami gangguan fungsi hati harus benar-benar diperhatikan lagi sehingga
konsentrasi obat dalam darah benar-benar sesuai dengan range terapi.

Rasionalitas pemberian obat

1. Digoksin

Dik :
F = 0,7
t½ = 39 jam
Vd = 6,28 L/kg
Ceff = 0,8-2 ng/ml

0,693
k=

0,693
= = 0,0178 jam-1
39
Vd = 6,28 L/kg x 9 kg = 56,52 L
Cl = k x Vd
= 0,0178 jam-1 x 56,52 L = 1,006 L/jam

D = Cl x Ceff
τ
= 1,006 L/jam x 0,8 ng/ml
= 0,805 x 10-3 mg/jam
τmaks = 1,44 x t½ x ln Cmaks
Cmin
= 1,44 x 39 jam x ln 2
0,8
= 51,46 jam 72 jam (3 hari)

Dosis = D/τ x τmaks


= 0,805 x 10-3 mg/jam x 72 jam
= 57,96 x 10-3 mg/3 hari
= 0,019 mg/hari

Cmax = F.D 1
V (1- (½)Є)

Є =τ = 72/39 = 1,85

Cmax = 0,7 . 0,05796 mg 1


56,52 L (1 – (½)1,85)
= 9,339 x 10-4 mg/L
= 9,339 x 10-1 mcg/L
= 9,339 x 10-1ng/ml
Cmin = Cmax x (½)1,85
= 9,339 x 10-1 x (1/2)1,85
= 2,59 x 10-1 ng/ml

2. Furosemida

Dik :
F = 0,61
t½ = 1,5 jam
Vd = 0,11 L/kg
Ceff = 1 – 10 mcg/ml

0,693
k=

0,693
= = 0,462 jam-1
1,5
Vd = 0,11 L/kg x 9 kg = 0,99 L
Cl = k x Vd
= 0,462 jam-1 x 0,99 L = 0,45738 L/jam

D = Cl x Ceff
τ
= 0,45738 L/jam x 1 mcg/ml
= 457,38 mcg/jam
= 0,45738 mg/jam

τmaks = 1,44 x t½ x ln Cmaks


Cmin
= 1,44 x 1,5 jam x ln 10
1
= 4,97 jam 6 jam

Dosis = D/τ x τmaks


= 0,45738 mg/jam x 6 jam
= 2,74428 mg

Cmax = F.D 1
V (1- (½)Є)

Є =τ = 6/1,5 = 4

Cmaks = 0,61 x 2,74428 mg 1


0,99 L (1 – (½)4)
= 1,8 mcg/ml
Cmin = Cmax x (½)4
= 1,8 mcg/ml x (½)4
= 0,1125 mcg/ml
Dengan interval pemberian 12 jam, maka :
Dosis = D/τ x τmaks
= 0,45738 mg/jam x 12 jam
= 5, 48856 mg
Є =τ = 12/1,5 = 8

Cmaks = 0,61 x 5,48856 mg 1


0,99 L (1 – (½)8)
= 3,395 mcg/ml
Cmin = Cmax x (½)8
= 3,395 mcg/ml x (½)8
= 0,01326 mcg/ml
Secara IV, maka :
Dosis = D/τ x τmaks
= 0,45738 mg/jam x 12 jam
= 5, 48856 mg
Є =τ = 12/1,5 = 8

Cmaks = 1 x 5,48856 mg 1
0,99 L (1 – (½)8)
= 5,566 mcg/ml
Cmin = Cmax x (½)8
= 5,566 mcg/ml x (½)8
= 0,022 mcg/ml
Sebaiknya pemberian furosemid secara iv tidak perlu diberikan lagi, karena
penggunaan diuretik telah dilakukan dengan memberikan kombinasi furosemid dan
spironolakton per oral.
2. Gentamisin

Dik :
F =1
t½ = 2 jam
Vd = 0,257 L/kg
Ceff = 5 – 10 mcg/ml

0,693
k=

0,693
= = 0,3465 jam-1
2
Vd = 0,257 L/kg x 9 kg = 2,313 L
Cl = k x Vd
= 0,3465 jam-1 x 2,313 L = 0,8014 L/jam
D = Cl x Ceff
τ
= 0,8014 L/jam x 5 mcg/ml
= 4,007 mg/jam
τmaks = 1,44 x t½ x ln Cmaks
Cmin
= 1,44 x 1,5 jam x ln 10
5
= 1,996 jam 6 jam

Dosis = D/τ x τmaks


= 4,007mg/jam x 6 jam
= 24,042 mg

Cmax = F.D 1
V (1- (½)Є)

Є =τ = 6/2 = 3

Cmaks = 1 x 24,042 mg 1
2,313 L (1 – (½)3)
= 11,879 mcg/ml
Cmin = Cmax x (½)3
= 11,879 mcg/ml x (½)3
= 1,485 mcg/ml
Jika interval pemberian 12 jam dengan dosis 25 mg, maka :
Є =τ = 12/2 = 6

Cmaks = 1 x 25 mg 1
2,313 L (1 – (½)6)
= 10,98 mcg/ml
Cmin = Cmax x (½)6
= 10,98 mcg/ml x (½)6
= 0,172 mcg/ml
Tabel Pemberian Obat dapat dilihat pada lampiran I, Halaman 4-9.

“KASUS HIV/AIDS”
Oleh :
ABIBAH LUBIS S.Si (053202060)
JULI MARLINA,R. S.Si (053202068)
NURMA S.Si (053202056)

I. Penggunaan Obat Rasional

Menurut WHO 1985, penggunaan obat dikatakan rasional bila:


1. Pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhannya.
2. Untuk periode waktu yang adekuat.
3. Dengan harga yang paling murah untuknya dan masyarakat.

Secara praktis penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:


1. Sesuai dengan indikasi penyakit.
2. Tepat pemilihan obat.
3. Tepat dosis.
4. Tepat cara pemberian.
5. Tepat interval waktu tertentu.
6. Tepat lama pemberian.
7. Waspada terhadap efek samping.
8. Tepat penilaian kondisi pasien.
9. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin.
10. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
11. Tepat informasi.
12. Tepat tindak lanjut (follow up).
13. Tepat penyerahan obat (dispensing).
14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan.

II. Identitas Pasien

Nama/no.MR : PNR/23 39 50
Jenis kelamin/umur : Laki-laki/35 tahun
Agama/suku : Islam/Jawa
Alamat : Mandala, Medan
Jenis pelayanan : Umum
Hari/tgl masuk RS : Selasa/22 April 2003
Berat badan : 30 kg

Pasien masuk ke ruang rawat inap (Rindu A 2) RSUP Adam Malik, Medan
dengan keluhan penurunan berat badan yang drastis dan kondisi badannya lemas.
Pemeriksaan yang dilakukan:
 Tekanan darah : 80/50 mm/Hg.
 Heart rate : 96 x /menit.
 Respiratory rate : 31 x / menit.
 Suhu tubuh : 37,8 oC.
III. Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik

Pemeriksaan dilaksanakan pada tanggal 24 April 2003

Unit Hasil Normal


Jenis Pemeriksaan
Hemoglobin g% 7,4 L: 13-18
P: 12-16

LED mm/jam 15 L<15


P<20

Lekosit 103/mm3 17,7 5-11

Hematokrit % 22,9 37-47

Trombosit 103/mm3 351 150-450

Hitung jenis leukosit


- Eosinofil  0 1-3
- Basofil  0 0-1
- Netrofil staf  8 2-6
- Netrofil segmen  90 50-70
- Lymfosit 2 20-40

- Monosit 0 2-8
%

Morfologi darah tepi:

Eritrosit : Anisositosis, target cell


Leukosit : Toxic granule
Trombosit : Cukup

Kesan : Limfopeni + Anemia

Berdasarkan data hasil pemeriksaan laboratorium patologi klinik dapat


diketahui bahwa LED dan Trombosit adalah normal sedangkan Hemoglobin,
Leukosit, Hematokrit, Eosinofil, Basofil, Netrofil segmen, Limfosit dan Monosit
adalah tidak normal.
IV. Riwayat Penyakit Dan Penggunaan Obat Terdahulu

Penurunan berat badan yang drastis dialami oleh pasien  dalam 3 bulan ini
tubuh pasien makin lama makin kurus dan lemah. Nafsu makan, muntah, batuk dan
menggigil tidak ada. Mual, demam dan mulut terasa pahit ada. Pasien sebelumnya ada
riwayat homoseksual  10 tahun.

V. Diagnosa

Pasien didiagnosa menderita HIV/AIDS. Hal ini dapat diketahui dari data hasil
pemeriksaan laboratorium yang meliputi tes HIV/AIDS dengan menggunakan metode
ELISA, tes yang memperlihatkan adanya penurunan imunitas tubuh berupa
pemeriksaan kadar hemoglobin, bentuk sel darah, jumlah limfosit dan tes terhadap
adanya infeksi oportunistik.

Berdasarkan data hasil tes HIV/AIDS dengan menggunakan metode ELISA,


pasien dinyatakan positif mengidap HIV.
Berdasarkan data hasil tes yang memperlihatkan adanya penurunan imunitas
tubuh diketahui bahwa kadar hemoglobin pasien 7,4 gr%, limfosit 2%, eritrosit
mengalami perubahan bentuk (anisositas) dan leukosit mengandung butiran-butiran
seperti pasir (toxic granule).
Berdasarkan tes adanya infeksi oportunistik yang dilakukan secara
pengamatan fisik dapat diketahui bahwa pasien menderita kandidiasis oral.

VI. Terapi

Terapi yang direkomendasikan untuk penanganan infeksi HIV/AIDS adalah


dengan memberikan obat-obat antiretroviral (ART) dan obat-obat untuk mencegah/
mengobati penyakit infeksi oportunistik yang biasa dalami oleh pasien AIDS.
Dalam terapi ini, pasien hanya diberikan obat-obatan untuk mencegah
penyakit infeksi oportunistik yang dialaminya dikarenakan pasien tersebut tidak
mempunyai uang untuk membeli obat-obat antiretroviral (ART).

VII. Tinjauan Umum

AIDS (Aqcuired Immune Deficiency Syndrome) dapat didefinisikan sebagai


suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi imun
yang berat dan merupakan manisfestasi stadium akhir infeksi HIV. Penyebabnya
adalah virus VIV (Human Immunodeficiency Virus). Seseorang yang terinfeksi HIV
dengan mudah dapat terserang berbagai penyakit lain karena rendahnya daya imunitas
tubuh, dan dapat mengakibatkan kematian.
Penularan HIV terjadi terutama melalui darah, sperma, cairan vaginal, akibat
penggunaan jarum suntik terinfeksi (pecandu narkotik) dan transfusi darah, kontak
seksual tanpa perlindungan (kondom) dengan seorang pembawa HIV serta virus dapat
ditularkan pada bayi oleh ibu yang mengidap HIV baik selama hamil atau persalinan
dan melalui air susu.
Gejala klinik:
1. Demam yang lama (lebih dari satu bulan).
2. Batuk.
3. Penurunan berat badan.
4. Sariawan dan nyeri menelan.
5. Diare kronik.
6. Sesak nafas.

VIII. Pembahasan

Pada awal masuk rumah sakit (tanggal 22 april 2003), pasien terlihat sangat
kurus dan lemas. Oleh karena itu, pasien diberikan IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan elektrolit tubuhnya. Pada hari yang sama,
pasien juga diberi terapi ranitidine injeksi 50 mg/12 jam, betadin kumur 4x1 C dan
mycostatin 4x20 gtt.
Pemberian ranitidine bertujuan untuk mengatasi rasa mual yang dialami oleh
pasien yang kemungkinan disebabkan oleh sekresi asam lambung yang berlebihan.
Pemberian betadin kumur dan mycostatin bertujuan untuk mengurangi atau
mengobati kandidiasis yang dialami oleh pasien.
Pada hari selanjutnya (23 april 2003), pasien diberikan kotrimoksazol 2x960
mg, INH 1x400 mg dan piridoksin (vitamin B6) 1x10 mg serta becombion sirup.
Pemberian kotrimoksazol dimaksudkan untuk mencegah penyakit radang
paru-paru (pneumocystis carinii pneumonia) dan pengobatan terhadap diare yang
dialaminya.
Pemberian INH dan piridoksin dimaksudkan untuk mencegah (profilaksis)
penyakit tuberkulosa. Pemberian piridoksin dimaksudkan untuk menurunkan
toksisitas dari INH.
Pemberian becombion sirup dimaksudkan untuk menambah nafsu makan
pasien.
Pada tanggal 24 april 2003, pasien diberikan parasetamol dengan tujuan untuk
menurunkan suhu tubuhnya.
Pada tanggal 20 april 2003, pasien diberikan sporacid 2x100 mg dengan tujuan
untuk mengobati kandidiasis oral yang dialaminya sejak masuk rumah sakit.
Ketiadaan dana untuk membeli obat-obat anti retroviral yang harganya cukup
mahal seperti azidotimidin, lamivudin, nevirapin atau nelvinavit mengakibatkan
pasien AIDS tersebut tidak mendapatkan terapi pengobatan yang maksimal.

Data Farmakokinetik

1. Ranitidin
t1/2 : 2,1 jam
V : 1,3 L/kg
F :1
Range terapi :100 ng/ml
Dosis : 50 mg
Interval : 12 jam

Perhitungan:
1
Cmax = FD

Vd 1  1 / 2 
e
 e = /t1/2 = 12 jam/2,1 jam = 5,7
Vd = 1,3 L/kg = 1,3 x 30 = 39 L
1
= 1 x 50 mg

39 L 1  1 / 2 
5,7

= 1,308 mg/L.

1 / 2  e
Vd 1  1 / 2  
Cmin = FD e

1 / 2  5 , 7
39 L1  1 / 2  
= 1 x 50 mg 5,7

= 0,0248 mg/L.

2. Parasetamol
t1/2 : 2 jam
V : 0,3 L/kg
F : 0,88
Range terapi : 10 – 20 g/ml
Dosis : 500 mg
Interval : 8 jam

Perhitungan:

1
Cmax = FD

Vd 1  1 / 2 
e
 e = /t1/2 = 8 jam/2 jam = 4
Vd = 0,3 L/kg = 0,3 x 30 = 9 L
1
= 0,88 x 500 mg

9 L 1  1 / 2 
4

= 52,148 mg/L.
1 / 2  e
Vd 1  1 / 2 
Cmin = FD e

1 / 2  4
9 L1  1 / 2 
= 0,88 x 500 mg 4

= 3,259 mg/L.

Dari perhitungan , pemberian ranitidine 50 mg/12 jam menghasilkan konsentrasi


maksimum dalam darah 1,3 mcg/ml (1300 ng/ml) dan konsentrasi minimun dalam
darah 0,025 mcg/ml (25 ng/ml). Berdasarkan hasil tersebut, konsentrasi
maksimum ranitidine jauh diatas konsentrasi efektif (100 ng/ml). Tingginya kadar
maksimum obat dalam darah dikhawatirkan dapat memperburuk rasa mual yang
dialami oleh pasien. Oleh karena itu, untuk memperkecil efek samping obat ini
maka disarankan untuk menurunkan dosis menjadi 25 mg/12 jam.
Konsentrasi efektif parasetamol 10-20 mcg/ml. Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh konsentrasi maksimum 52,148 mcg/ml dan konsentrasi minimum dalam
darah 3,259 mcg/ml. Dari hasil tersebut, konsentrasi maksimum yang diperoleh
berada diatas range terapi. Setelah pemberian parasetamol selama 9 hari, demam yang
dialami oleh pasien belum juga berkurang. Hal ini disebabkan adanya infeksi virus
HIV secara terus menerus, akibatnya daya tahan tubuh pasien semakin menurun.
GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) YANG DISEBABKAN OLEH
PENYAKIT GINJAL OBSTRUKSI DAN INFEKSI (PGOI)
MEILAN S.Y. HARAHAP S.Si (053202072)
SURIKA SARAGIH S.Si (053202059)
YENNY ANDAYANI HARAHAP S.Si (053202058)

I.IDENTITAS PASIEN
Nama : AG
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 48 tahun
Tinggi/Berat Badan : 168 cm / 55 kg
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Alamat : P.Simalingkar Medan
No. RM : 234561
Status Pasien : Umum
Tanggal Masuk RS : 14 Mei 2003

II.KEADAAN PASIEN SEWAKTU MASUK RSUP HADAM MALIK MEDAN


Pasien (AG) masuk pada tanggal 14 Mei 2003 di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
dengan keluhan tidak bisa buang air kecil dan demam. Hasil pemeriksaan fisik :
Tekanan darah (TD) : 130 / 90 mmHg
Heart Rate (HR) : 102 kali / menit
Respiration Rate (RR) : 36 kali / menit
Temperatur : 38 o C

III.PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tabel I.
No. Parameter Nilai / Hasil Nilai Normal
1 Faal Ginjal
Ureum (mg / dl) 355 10 – 50
Creatinin (mg / dl) 25,5 0,7 – 1,4
Glukosa (mg / dl) 96 75 – 115
2. Hematologi
Hemoglobin (9%) 6,4 13 – 18
Leukosit ( 103 / mm3) 41,9 5 – 11
Hematokrit (%) 18 37 – 47
Trombosit (103 / mm3) 2,9 150 – 450
3. Urinalisa
Warna putih keruh jernih – kuning
Glukosa (-) (-)
Protein (+++) (-)
Eritrosit (LPB) 3–5 <3
Leukosit (LPB) 40 – 50 <5
Sel Epitel (LPK) 2-3 <2

IV.RIWAYAT PENYAKIT DAN PENGGUNAAN OBAT TERDAHULU


Pasien tidak bisa buang air kecil sejak 2 hari, ±2 tahun lalu pasien mengeluarkan
batu ginjal dan adanya penyakit hipertensi. Pasien mual dan muntah sejak 2 minggu
sebelum masuk Rumah Sakit, demam dan sesak napas. Pasien tidak mengingat obat-
obat apa saja yang sudah pernah digunakan.

V.DIAGNOSA
Pasien (AG) didiagnosa menderita Gagal Ginjal Kronik (GGK) yang
disebabkan oleh penyakit Ginjal Obstrujsi dan Infeksi (PGOI).

VI.TERAPI
Pasien mendapat terapi diet protein, pengobatan infeksi dengan antibiotik
spektrum luas berdasarkan educated guess, pemberian diuretik kaut untuk pengobatan
retensi urin dan hipertensi. Pengobatan demam dengan Parasetamol, asam folat untuk
pengobatan anemia, Metoklopromida dan Diazepam untuk pengobatan mual, muntah
serta kejang yang dialami pasien selama perawatan di Rumah Sakit.

VII.TINJAUAN UMUM
Batasan
GGK merupakan perkembangan gagal ginjal yang lambat, biasa berlangsung
dalam beberapa tahun. Tanpa pangobatan, racun yang tidak di filter dalam darah dan
akan merusak organ tubuh lainnya.
Gejala klinik
Hipertensi, penurunan volume urine dan perubahan komposisi kimianya, sesak
nafas, mual dan muntah, kulit pucat, kering dan bersisik, kejang, peningkatan kadar
gula darahm anemia, klasifikasi.

VIII.PEMBAHASAN
Dari hasil pemeriksaan pasien didiagnosa menderita Gagal Ginjal Kronik
(GGK) yang disebabkan oleh penyakit ginjal obstruksi dan infeksi (PGOI). Tindakan
pertama adalah pemberian IVFD Dekstrosa 5% 10 tetes/menit dengan maksud untuk
mengembalikan kondisi tubuh pasien yang lemah.
Pemberian injeksi Furosemid 10 mg 2 kali sehari tidak memberikan efek
sedangkan pemberian 3 kali sehari selama 2 hari memberikan efek. Kemudian
pemberian Furosemid diturunkan menjadi 10 mg 2 kali sehari untuk mencegah
timbulnya efek toksik. Sebaiknya pemberian furosemid diikuti dengan pemantauan
kadar elektrolit untuk mencegah timbulnya efek samping simtom kejang.
Pemberian furosemid berguna untuk menurunkan tekanan darah dari 160/100
mm/Hg hingga 120/80 mm/Hg pada hari terakhir. Pemberian IVFD NaCl 0,9% 10
tetes/menit dimaksudkan untuk menggantikan kehilangan Natrium yang ikut bersama
urine.
Hasil pemeriksaan laboratorium tgl 14 Mei menunjukkan kadar ureum diatas
normal yaitu 355 mg/dl sehingga pasien harus diet protein sebesar 0,6 – 0,7 g/kg
BB/hari. Kadar Leukosit urine diatas normal (40 – 50 LPB), pasien diduga menderita
infeksi saluran kemih.
Penggunaan Seftriakson kurang tepat karena antibiotika golongan Sefalosporin
merupakan zat yang bersifat nefrotoksik, sehingga dapat memperburuk fungsi ginjal
pasien, sebaiknya diberikan antibiotika yang lebih aman.
Adapun antibiotika pada gangguan ginjal yang dapat digunakan adalah
a. derivat eritromisin b. rifamfisin
c. novabiosin d. dosisiklin
Pada pasien ini yaitu diberikan dosisiklin sebagai pengganti dari seftriakson.
Pemberian injeksi Metoklopromid 10 mg 2 kali sehari untuk mengatasi mual
dan muntah yang disebabkan oleh GGK dan obat-obatan yang digunakan. Pemberian
Parasetamol 3 x 500 mg untuk mengobati demam yang terjadi akibat infeksi.
Pemberian Diazepam 5 mg untuk mengatasi kejang yang dialami pasien,
dilanjutka dengan pemberian asam folat 3 x 10 mg untuk mengobati anemia yang
sering terjadi akibat komplikasi dari GGK.

IX.KESIMPULAN
Pasien didiagnosa menderita Gagal Ginjal Kronik (GGK) yang disebabkan oleh
penyakit Ginjal obstruksi dan infeksi (PGOI).
Pemberian Furosemid tidak diikuti dengan pemantauan kadar elektrolit pasien.
Pemberian anti biotika tidak didasari hasil uji kepekaan kuman tetapi hanya
berdasarkan educated guess,
Pemberian seftriakson pada pasien GGK kurang tepat karena bersifat nefrotoksik
Pemberian asam folat tidak didasarkan pada pengkajian terlebih dahulu terhadap
penyebab timbulnya anemia.

X.SARAN
 Sebaiknya setelah pemberian antibiotika berdasarkan educated guess
dilanjutkan dengan pemberian antibiotika yang didasarkan pada pengujian
kepekaan bakteri.
 Sebaiknya untuk pasien gagal ginjal tidak diberikan seftriakson yang bersifat
nefrotoksik tetapi diberikan antibiotika yang lebih aman seperti dosisiklin yang
efek toksiknya minimal.
 Pemeriksaan kadar elektrolit sebaiknya dilakukan untuk mencegah efek
samping yang tidak diinginkan dari kegunaan Furosemid yaitu berupa
hiponatremia dan hipokalemia.
 Untuk pengobatan anemia sebaiknya dilakukan pengujian terlebih dahulu untuk
mengetahui secara pasti penyebab anemia.
 Perlu lebih ditingkatkan kerjasama antara Apoteker dengan tenaga kesehatan
lainnya di Rumah Sakit agar dapat dihasilkan terapi yang lebih rasional.
 Sebaiknya diambil sampel darah pasien dan ditentukan kadarnya.

PERHITUNGAN
Dik : Berat Badan pasien 55 kg
Umur pasien 46 thn
Obat yang didokumentasikan adalah doksisiklin karena dosisiklin aman digunakan
untuk pasien yang GGK (Good Man`s & Gild Man). Parameter kinetik dari dosisiklin
yaitu :
Untuk Dewasa :
Vd = 0,32 – 0,75 l / kg
T1/2 = 6 – 16 jam
F = 1 diberikan secara IV
Konsentrasi maksimum dalam darah 3 µg / ml
Konsentrasi yang diketahui dari literatur hanya konsentrasi maksimum,
Maka konsentrasi minimum dianggap 1 µg / ml
Vd = V x BB
= 0,32 l/kg x 55 kg
= 17,6 L
K = 0,693 = 0,693 = 0,12 /jam
T1/2 6
Cl = K x V
= 0,12 / jam x 29,7 L
= 2,11 L / jam = 2110 ml/ jam = 35,16 ml / menit.

Bila rute pemberian IV


Dosing rate = D = Cl x C eff
 F
= 35,16 ml / mnt x 1 µg / ml
1
= 35,16 µg / mnt
= 2109,6 µg / jam
= 2,1096 mg / jam.
Interval maximum
T max = 1,44 x t 1/2 x ln C max
C min
= 1,44 x 6 jam x ln 3 µg / ml
1 µg / ml
= 9,50 = 16 jam
Interval yang digunakan adalah 16 jam .
Dosis pemberian
D = D x Tmax

= 2,1096 mg / jam x 16 jam
= 33,75 mg

Css max= F x D 1
V (1- (1/2)  )  = 16 = 1,7
9,50
= 33,75 mg = 33750 µg
17,6 L 17600
= 33750 µg = 2,74 µg / ml
12320 ml
Css min= (1/2)  x Css max
= (1/2) 1,7 x 2,74 µg / ml
= 0,3 x 2,74 µg / ml
= 0,849 µg  0,85 µg / ml
STUDI KASUS
TUBERKULOSIS PARU

I. Indentitas Pasien
Nama : SR
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 35 Tahun
Agama : Islam
Suku : Melayu
Alamat : Jl.Utama Gang. Kuba, Medan
No. Rek. Medik : 42 75 47
Status pasien : Kartu sehat

II. Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk


Pasien masuk ke Rawat Inap Penyakit Paru (Ruang XVIII) Rumah Sakit umum
Dr.Pirngadi Medan pada tanggal 22 September 2005 dari Instalasi Gawat Darurat
dengan keluhan batuk darah, sesak nafas dan berkeringat pada malam hari.

Hasil pemeriksaan fisik pasien :


Sensorium : Compos Mentis (sadar penuh)
Tensi : 110/80 mm Hg
Suhu Tubuh : 37,8o Caffein

Tabel Pemeriksaan dan hasil instalasi patologi klinik


Pemeriksaan Hematologi
23 September 2005
Pemeriksaan Unit Hasil Normal
Hemoglobin g/dl 12,8 12.0-16,0
Leukosit 103/mm3 14,1 4,0-11,0
Hematokrit % 39,1 36,0-48,0
Trombosit 103/mm3 431 150-400

Riwayat Penyakit
Pasien mengalami batuk darah sejak ± 4 hari yang lalu sebanyak ± setengah gelas
aqua. Pasien juga mengalami sesak nafas dan berkeringat pada malam hari. Riwayat
merokok ± 3 tahun. Pasien pernah mengalami hal yang sama pada ± 2 bulan yang lalu.

Diagnosis
Berdasarkan keluhan pasien, maka pasien didiagnosis menderita tuberkulosis paru.

Terapi
Setelah dilakukan pemeriksaan maka pasien diberikan terapi obat-obatan seperti
tercantum pada tabel.

PEMBAHASAN

Pasien masuk ke rumah sakit Pirngadi pada tanggal 22 September 2005 dengan
gejala batuk darah dan sesak nafas serta berkeringat dimalam hari.Dokter
mendiagnosis pasien menderita tuberkulosis paru. Berdasarkan gejala-gejala
tersebut,sebaiknya diagnosis ini didukung oleh pemeriksaan laboratorium,yaitu :
1.Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA (Bakteri
Tahan Asam), diagnosa tuberkulosis sudah dapat di pastikan.
2.Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis dan
uji ini merupakan pemeriksaan paling murah dan penting untuk mendeteksi
tuberkulosis.
Disamping pemeriksaan laboratorium diatas, sebaiknya dilakukan juga
pemeriksaan fungsi organ tubuh dari pasien tersebut (fungsi hati dan fungsi ginjal)
untuk ketepatan dosis dan pemberian obat.
Dalam kasus ini pasien diberikan :
- Infus KAEN 3B : 20 tetes/menit selama 8 hari
- Injeksi cetotaxim : 1 g/12 jam selama 8 hari
- Injeksi ditranex : 1 amp/8 jam selama 6 hari
- Injeksi vitamin K : 1 amp/hari selama 6 hari
- Rifampisin : 1 x 450 mg selama 12 hari
- INH : 1 x 300 mg mg selama 12 hari
- Pirazinamid : 1 x 1000 mg selama 12 hari
- Ethambutol : 1 x 750 mg selama 12 hari
- Curcumae : 2 x 1 selama 12 hari
- Codein : 3 x 20 mg selama 6 hari,pemberian dimulai dari
hari ke 7
- Dulcolax :1 x 1 selama 2 hari,pemberian dimulai dari hari ke 9

1. Infus IVFD KAEN 3B


Infus KAEN 3B mengandung natrium 50 meq, kalium 20 meq, Cl 50 mg, laktat
20 meg,glukosa 27 gram.Infus KAEN ini diberikan untuk memeliharakeseimbangan
air dan elektrolit dan untuk mengatasi kekurangan unutrisi pada tubuh pasien.
2. Injeksi Cetotaxim
Injeksi cefotaxim diberikan untuk infeksi berat bakteri yang sensitif pada infeksi
saluran nafas bawah,saluran kemih,jaringan lunak.Aktifitasnya terhadap kuman gram
negatif lebih kuat dibandingkan terhadap kuman gram positif.

3. Injeksi Ditranex
Injeksi ditranex mengandung asam traneksamat 100 mg/ml.Injeksi ini diberikan
sebagai antiplasminikum untuk pendarahan abnormal seperti sputum berdarah pada
tuberkulosis paru,penyakit homoragi,pendarahan pada genetika.
Pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal, dosis yang dianjurkan adalah :
Serum Oral injeksi Frekuensi
Kreatinin
120-250 μmol/l 15 mg/KgBB 10 mg/KgBB 2x1
250-500 μmol/l 15 mg/KgBB 10 mg/KgBB 2x1
>500 μmol/l 15 mg/KgBB 10 mg/KgBB 2 hari sekali
Atau 7,5 mg/KgBB 5 mg/KgBB 1x1

4. Injeksi Vit K
Injeksi vit K diberikan untuk koagulasi darah sehingga muntah darah yang dialami
pasien dapat dihentikan.

5. Rifampisin
Rifampisin diberikan untuk tuberkulosis paru yang berkhasiat sebagai bakterisid
luas terhadap fase pertumbuhan bakteri tuberkulosa dan mikobakterium
leprae.Mekanisme kerjanyaobat ini mematikan kuman berdasarkan perintangan
spesifik dari suatu enzim bakteri RNA polimerase sehingga sintesa RNA terganggu
selama fase pembelahan.
Dosis = 1 x 450-600 mg pagi hari sebelum makan
Dosis = 10-20 mg/kg BB/hari

6. INH
INH adalah derivat dari asam nikotinat yang berkhasiat untuk tuberkulosis yang
paling kuat terhadap mycobakterium tuberkulosis (dalam fase istirahat) dan bersifat
bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat.
Dosis = oral = 1 x 4-5 mg/kg BB/hari atau 1 x 300-400 mg
7. Pirazinamid
Pirazinamid bekerja bakterisid pada suasana asam pada ph 5-6 oleh bakteriostatik
tergantung ph dan kadar obat dalam darah.Spektrum kerjanya sangat sempit dan
hanya meliputi mycobakterium tubeukulosis.
Dosis = 1 x 30 mg/kg BB/2-4 bulan,maksimum 2 gr/hari.

8. Ethambutol
Ethambutol berkhasiat sepesifik terhadap mycobakterium tuberkulosa dan
mycobakterium atipis,mekanisme kerjanya berdasarkan penghambtn sintesa RNA
pada kuman yang sedang membelah juga menghindari terbentuknya mikolik acid
pada dinding sel.
Dosis = 20-25 mg/kg BB/hari

INH efek sampingnya bersifat hepatoxic,untuk menanggulanginya diberikan


vitamin B6 10-20 mg/hari dan vitamin B1 100 mg/hari.
Pemberian curcuma pada pasien untuk menambah nafsu makan,perut kembung,sukar
buang air besar dan air kecil.
Codein diberikan untuk mengatasi batuk, diberikan pada hari ke 7 karena sebelumnya
dilakukan pengobatan terhadap pendarahan yang terjadi, jika diberi codein pada hari
pertama dikhawatirkankan terjadi penggumpalan darah didalam paru-paru.
Dulcolax adalah obat pencahar untuk menanggulangi sembelit sebagai efek samping
obat dari codein.
Pemberian cefotaksim ini menimbulkan pertanyaan yang besar, karena menurut
literatur cefotaksim ini lebih kuat efeknya terhadap bakteri gram negatif sedangkan
Mycobacterium tuberkulosis adalah bakteri gram positif. Meskipun sebenarnya
cefotaksim adalah broad spektrum yaitu bersifat bakterisid terhadap bakteri gram
positif dan bakteri gram negatif tetapi penggunaannya kurang tepat bila diberikan
kepada penderita tuberkolosis. Kami menduga bahwa cefotaksim diberikan karena
pasien muntah darah yang parah sehingga diprediksikan terjadi infeksi yang serius,
dan gejala batuk menandakan adanya hubungan dengan paru-paru terlebih lagi pasien
sudah 3 tahun merokok sehingga kemungkinan cefotaksim ini diberikan untuk
mencegah terjadinya infeksi yang lebih parah didalam paru-parunya.
Selain hal diatas, tujuan pemberian cefotaxim adalah kemungkian terdapat bakeri
lain selain Mycobacterium tuberkulosis didalam tubuh pasien, dugaan ini akan lebih
tepat jika dilakukan pemeriksaan laboratorium dan uji kultur agar pemberian obat
tepat indikasi, tepat dosis dan tepat cara pemberiannya.

KESIMPULAN DAN SARAN


 Pemberian cefotaksim pada kasus tuberkolusis sebaiknya ditinjau kembali karena
pemberiannya kurang tepat.
 Pemberian INH, Pirazinamid, Ethambutol, Rifampisin untuk pengobatan
tuberkulosis adalah rasional.
 Sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium dan uji kultur sehingga obat yang
akan diberikan tepat penggunaannya.

Anda mungkin juga menyukai