Anda di halaman 1dari 246

GOOD TALENT MANAGEMENT PRACTICES

“THE WISDOM OF WARUNG ANGKRINGAN”


Oleh: Novianta Kuswandi, S.Psi

Copyright © 2013 by Novianta KuswAndi, S.Psi

Penerbit

Desain Sampul:

Diterbitkan melalui:

ii
Buku ini dipersembahkan
kepada :
Sholikah Nur Ika Agustina
Yang selalu menemani setiap langkah dan mendorong saya
untuk selalu maju

&
Ghaizan Ahmad Abqori
Gibran Bagawantha
Ghania Almahira
Yang senantiasa menjadi motivator, inspirator bahkan sesekali
sebagai provokator agar saya menjadi pribadi yang terus
membaik-kan diri dan memberikan manfaat bagi orang banyak

iii
DAFTAR ISI

Persembahan iii
Daftar Isi iv
Kata Pengentar vii
CHAPTER 1
PASSION, CHARACTER, COMPETENCY 1
Bongkar 15
Membalik Piramida Maslow 18
Passion atau Jabatan 23
On Track U’r Passion 26
Gara-Gara “Orang” Pindah Pekerjaan 33
Talent To Be Great Talent 37
Si Cantik dan Si Buruk Rupa 40
Sisi Lain 44
CHAPTER 2
SOURCING & TALENT IDENTIFICATIN 48
Individual Performance Appraisal Redefine 55
Define Your Target 62
Pygmalion Effect 67
Gamification 71
Behavior Event Interview 75
Focus Group Diccussion 79
Psycho Test 82
Talent Committee 85

iv
CHAPTER 3
TALENT DEVELOPMENT 88
Talent Development System 102
Facilitating Itu Obat Sehat 107
Coaching Itu Obat Sehat 111
SMART Coach 115
Monitoring & Feedback 118
Task Force Double Impact 124
Talent Tiga Gererasi 129
Melicinkan Storming 137
CHAPTER 4
SUCCESSION 140
Menggambarkan Kebenaran Dengan L2 158
Experience Meningkatkan Performance 163
Tidak Cukup Dengan Level Tiga 166
Mereka Diuji Di Depan Komite Talent 169
Mendesign Tool Observasi dan Kuesioner 174
Succession Planning 180
Dua Sisi Aula Para Bintang 183
Mendesign Succession Planning 187
CHAPTER 5
REMUNERATION 191
Upah Para Talent 207
Talent Benefit Masa Ke Masa 211
Transparansi Bonus Tahunan 214
Beware Ada Rewards Galak 217

v
Hedonic Treatmill 222
Membudayakan Intrinsic Rewards 226
Pilih Bonus Tahunan atau Harian 234
Daftar Pustaka 237
Tentang Penulis 238

vi
Kata Pengantar

“Pengalaman adalah guru yang paling baik” begitulah kata


pepatah. Dan memang pepatah ini kemudian diterjemahkan
menjadi pendekatan pembelajaran orang dewasa atau yang lebih
dikenal sebagai andragogy. Dimana dengan pendekatan
andragogy, pengalaman direfleksikan – dihipotesis – dan
diaktualisasi menjadi pengalaman baru yang lebih powerfull.

Mengaca dari pepatah dan metode pendekatan andragogy, maka


buku ini pun juga disusun dengan model yang sama. Buku yang
Anda pegang adalah good practice yang dilakukan oleh penulis
selama berproses sebagai praktisi di HR Specialist Talent
Management.

Mengelola orang terbaik perusahaan, atau yang sering kali


disebuut sebagai talent menjadi bahasan utama di buku ini.
Sehingga buku yang Anda pegang ini, terdiri dari lima chapter
dimana keseluruhan chapter disusun dengan mengacu pada
talent management framework.

Chapter pertama berisi tentang pengantar apa, siapa dan strategi


apa saja yang perlu diperhatikan oleh perusahaan untuk
membangun sistem management talent. High potential dan high
performance menjadi bahasan utama di chapter ini. Perusahaan
perlu menyusun strategi seperti apa agar mampu menghasilkan
karyawan terbaik yang memiliki high potential dan
performance?

Jika di chapter pertama, perusahaan bisa menetapkan syarat-


syarat yang harus dipenuhi karyawan sebagai seorang talent,
maka di chapter kedua akan berisi tentang tata cara
mengidentifikasi dan melakukan sourcing untuk menemukan
para talent. “Bargage in bargage out – jika yang masuk sampah

vii
maka yang keluar juga sampah”, pepatah tersebut menandakan
seberapa penting identifikasi dan sourcing.

Perjalanan terus dilanjutkan ke chapter tiga. Setelah talent


diidentifikasi dan disourching, tugas berikutnya dari perusahaan
adalah mengembangkan talent. Fungsi utama dari
pengembangan ini adalah closing competency gap di current
position, dan future position. Perlu diingat juga bahwa future
position tidak melulu berhubungan dengan promosi, namun juga
berhubungan dengan rotasi pekerjaan.

Tiap investasi tentunya perlu diukur keberhasilannya. Begitu


juga dengan investasi pengembangan talent, perusahaan perlu
melakukan evaluasi untuk melihat keberhasilan investasinya.
Keberhasilan investasi perusahaan terhadap pengembangan
talent dapat dilakukan dengan metode evaluasi Kirkpatrick.
Cara mengukur keberhasilan pengembangan talent ini akan
dibahas di chapter empat.

Dan di chapter llima, fokus utama pembahasannya adalah


tentang remuneration sebagai salah satu cara meretain talent.
Konsep utama yang dipakai di chapter ini adalah dengan 3P –
Pay for Person – Pay for Position – dan Pay for Performance.

viii
PASSION, CHARACTER, Dan
COMPETENCY

Take our 20 Best people away and I can tell you that Microsoft
would become an unimportant company

(Bill Gate)

1
1
Passion, Character, Competency
Take our 20 Best people away and I can tell you that Microsoft
would become an unimportant company (Bill Gate)

Jika kita melihat sebuah organisasi, bisa dipastikan selalu


memiliki resources diantara lima hal berikut, people atau orang,
machine atau teknologi, work method, dan material atau bahan
baku. Menariknya dari kelima resources tadi peran people
menjadi pembeda utama antara organisasi satu dengan
organisasi lain.

Karena selama organisasi memiliki dana yang cukup ketiga


resources lain bisa diadaptasi dan dibeli. Dengan dana yang
cukup, organisasi bisa membeli technology atau machine-
machine terbaru dan tercanggih. Dengan dana yang cukup,
organisasi bisa menghire consultant untuk membuatkan metode
kerja yang effective dan effisien. Dengan dana yang cukup,
organisasi bisa membeli material terbaik.

Bagaimana dengan people? Orang terbaik tidak selalu bisa


dibeli dengan berjuta-juta uang. Orang-orang terbaik memiliki
pertimbangan nya sendiri-sendiri untuk berpindah ke organisasi.
BJ. Habibie misalnya, Beliau pernah bekerja di Messerchitt-
Bolkow-Blohm, sebuah perusahaan penerbangan yang berpusat
di Hamburg, Jerman. Di sana BJ. Habibie mencapai puncak
karier sebagai seorang Vice President bidang teknologi dan
menjadi Penasehat Senior bidang teknologi untuk Dewan
Direktur MBB.

Sebelum memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat


cemerlang, terutama dalam desain dan konstruksi pesawat.

2
Habibie pun mendapat kedudukan terhormat, baik secara materi
maupun intelektualitas oleh orang Jerman. Bahkan Beliau
sempat mematenkan rumus teorinya yang dikenal dunia pesawat
terbang seperti “Habibie Factor”, “Habibie Theorem” dan
“Habibie Method”.

Bayangkan betapa sudah nyamannya kehidupan Beliau.


Andaikan mau diukur dengan uang, sudah tidak terbayang lagi
pendapatan Beliau. Namun, Habibie ternyata mau berpindah
organisasi, dari perusahaan Jerman kembali ke Indonesia pada
tahun 1973 atas permintaan presiden Soeharto. Dan BJ. Habibie
pun memegang posisi sebagai Menteri Negara Rist dan
Teknologi.

Perhatikan saja alasan Beliau saat berpindah. BJ. Habibie bukan


mencari uang saat berpindah ke Indonesia, namun karena value
atau nilai pribadi yang Beliau pegang, “pengabdian untuk
bangsanya”. Artinya alasan kepindahan people ke organisasi ang
bukan saja masalah organisasi bisa membayar lebih tinggi.

Perhatikan lagi kiri-kanan kita, atau tanyakan kepada diri Anda.


Seandainya Anda dibayar lebih tinggi, namun diminta pindah
keperusahaan lain yang lokasinya tidak sesuai dengan Anda,
apakah Anda mau? Beberapa orang akan menjawab “tentu saja
mau”, dan lebih banyak orang yang menjawab “mending saya
tetap di sini”.

Atau seandainya Anda adalah orang terbaik perusahaan yang


coba dibajak atau dihire oleh perusahaan lain. Anda ditawari
gaji yang lebih tinggi, namun diminta bekerja dengan orang
yang tidak memiliki chemistry dengan Anda, apakah Anda mau?
Beberapa orang akan menjawab “tentu saja mau”, dan lebih
banyak orang yang menjawab “mending saya tetap di sini”

3
Hal ini lah yang menjadikan people sebagai unsur pembeda
dalam organisasi. Walaupun organisasi memiliki dana yang
cukup besar untuk membajak atau menghire people dari
organisasi lain, belum tentu people tadi akan menjadi bagian
dari resources perusahaan.

Keunggulan people kedua dibandingkan dengan resources yang


lain berkenaan dengan competency atau keahlian yang dimiliki.
Jika sebuah organisasi memiliki machine atau teknologi yang
bagus untuk menghasilkan produk yang bagus namun people
yang menjalankan machine atau teknologi tersebut tidak bagus
yang terjadi adalah bencana. Bukannya menghasilkan produk
yang bagus, malah bisa jadi machine atau teknologi yang
dimiliki perusahaan menjadi rusak.

Begitu juga dengan resources yang lain, hasil produk yang


dihasilkan organisasi tergantung pada people yang mengerjakan
produk tersebut. Jika sebuah organisasi memiliki material atau
bahan baku bagus yang digunakan untuk menghasilkan product
terbaik, belum tentu hasil product nya akan baik, seandainya
people yang mengelola product tersebut tidak punya competency
atau keahlian untuk mengelola bahan baku. Sebaliknya, saat
people atau orang yang mengelola bahan baku memiliki
keahlian yang istimewa, bisa jadi bahkan material atau bahan
baku yang jelek pun berubah menjadi product yang istimewa.

Contoh sederhananya adalah mechanic. Saat Anda membawa


mobil Anda yang rusak ke bengkel, saat dikerjakan oleh
mechanic yang ahli maka mobil Anda akan segera benar, dan
bahkan saat dikendarai bisa lebih nyaman. Sebaliknya, saat
Anda membawa mobil Anda yang masih bagus untuk dibuat
lebih nyaman lagi ke mechanic yang tidak memiliki keahlian,
bukannya mobil Anda bertambah nyaman, yang ada adalah
mobil Anda yang awalnya tidak bermasalah menjadi memiliki
masalah.

4
Bahkan, saat resources lain begitu terbatas namun organisasi
memiliki people yang hebat, produk yang dihasilkan menjadi
begitu luar biasa. Jepang misalnya, siapa yang tidak mengenal
Jepang? Organisasi besar bernama negara Jepang hanya
memiliki resources yang terbatas, namun Jepang mampu
membuktikan diri sebagai negara yang patut diperhitungkan.

Dari sisi people nya, kualitas orang-orang Jepang dibuktikan


dengan masuknya Jepang kedalam peringkat ke delapan Indek
Pembangunan Manusia. Sehingga tak heran dengan keterbatasan
resources diluar people mampu dirubah dan menjadikan Jepang
sebagai negara maju. Bahkan, negara kecil mampu memiliki
produk domestic bruto terbesar nomer dua setelah Amerika
Serikat, dan masuk dalam urutan tiga besar dalam keseimbangan
kemampuan berbelanja.

Tak heran jika organisasi-organisasi atau perusahaan yang


memiliki people terbaik di organisasinya memiliki nilai pasar
yang lebih tinggi dari pada organisasi lain. Hal ini terbukti dari
hasil penelitian yang dilakukan Roos Johan, Garan Roos, Nicola
C. Dragonetti dan Leiv Edvinson (1997):

Nilai Harta Harta % Harta


Perusahaan
Pasar “nyata” Tersembunyi Tersembunyi
General
169 31 138 82%
Electric
Coca Cola 148 6 142 96%
Exxon 125 43 82 66%
Microsoft 119 7 112 94%
Intel 113 17 96 85%

5
Bisa jadi gelora semangat Bung Karno dengan pekikan “Berikan
saya sepuluh pemuda, dan saya akan mengguncang dunia”
adalah ekspresi dari kesadaran Beliau bahwa people adalah
faktor terpenting sebuah organisasi, dimana dalam hal ini
organisasi itu bernama negara.

Bill Gate nampaknya juga menyadari betapa pentingnya people


dalam sebuah organisasi, tak heran Bill Gate kemudian
membuat pernyataan seperti di atas, “Ambil 20 orang terbaik
kami dan saya akan menceritakan kepada Anda bahwa Microsof
menjadi perusahaan yang tidak penting”.

Manariknya secara specific, Bill Gate menyebut jumlah berupa


20 orang terbaik. Bill Gate tidak menyebut “ambil seperempat
karyawan saya”, atau “ambil seperdelapan karyawan saya”,
namun Bill Gate hanya menyebut 20 orang terbaik. Ada apa
dibalik angka 20 tersebut sebenarnya?

Sebenarnya bukan angka nya yang menjadi fokus perhatian,


namun pada kata dibelakang 20, atau kata “terbaik”. Memang
dari semua people yang berkarya dalam organisasi, jika
dipetakan Anda akan menemukan orang-orang yang bisa
diklaster sebagai karyawan “terbaik”, karyawan “biasa-biasa
saja” atau mungkin karyawan “bermasalah”. Orang-orang
terbaik inilah yang kemudian disebut sebagai “talent”.

Selajan dengan pemikiran Bill Gate, sebuah studi tentang


Indonesia Strategy and Performance Management yang
dilakukan oleh GML Performance Consulting pada tahun 2014
juga menunjukan ada lima prioritas utama dalam pengelolaan
SDM dan organisasi agar dapat meningkatkan kinerja
organisasi, yaitu :

1. Mengembangkan SDM secara berkesinambungan (74%


responden)

6
2. Merekrut orang yang tepat (63% responden)

3. Mengelola talent (61% responden)

4. Mengembangkan budaya organisasi (45% responden)

5. Membangun career path (44 responden)

Mengelola talent menjadi peringkat fokus ketiga dalam


meningkatkan kinerja organisasi. Kata talent tentunya bukan lah
sebuah bahasa asing bagi rekan-rekan yang berkecimpung di
dunia HR. Talent digunakan para HR sebagai bahasa
practicioner untuk menyebut karyawan terbaik yang memiliki
ciri mempunyai high competency, high performance dan high
potential (HiPo) untuk lebih berkembang.

Bagaimana dengan karyawan karyawan “biasa-biasa saja” atau


mungkin karyawan “bermasalah”, apa sebutan practicioner
untuk karyawan-karyawan tersebut? Anda bisa memperhatikan
table berikut untuk menghambarkan tipikal karyawan yang lain.

Enigma Growth Employee Talent


Potency

Dilemma Core Employee Star

Die Wood Effective Trsuted Proffesional

Performance

Anda bisa melihat table diatas, karyawan sering kali


dikelompokan menjadi sembilan kategori. Secara sederhana
pengelompokan karyawan menjadi sembilan kategori ini
didasari dari dua hal, yaitu performance atau hasil kerja, dan
potency untuk berkembang. Jika kita lihat di table, maka kita

7
bisa menemukan bahwa karyawan dengan performance dan
potency terendah dinamakan sebagai Die Wood, dan karyawan
dengan potency terbaik dan performance terbaik dinamakan
talent.

Jika dikategorikan menjadi kelompok yang lebih kecil lagi maka


akan muncul lima kelompok. Kelompok pertama adalah
kelompok Die Wood, atau kelompok yang tanpa harapan. Sudah
performance atau hasil kerjanya jelek, potency yang dimiliki
untuk berkembang juga tidak ada. Dalam setiap organisasi,
kelompok dengan tipikal seperti ini biasanya berjumlah 2,5%
dari total populasi.

Sebenarnya yang lebih mengkhawatirkan dari 2,5% orang ini,


selain tidak perform biasanya juga memiliki masalah dalam
bekerjasama dengan anggota team lain. Dan dibeberapa kasus
menjadi provokator di dalam team. Sehingga treatment yang
cocok untuk diberikan pada karyawan kategori ini adalah
dengan memutuskan hubungan kerja dengan yang bersangkutan.

Kelompok kedua diisi oleh karyawan kategori Dilemma dan


Effective. Di dalam organisasi, jumlah kedua kategori ini
mencapai 13,5% dari total people yang ada di organisasi.
Treatment yang paling cocok bagi kategori ini agar
performancenya bisa naik adalah dengan berkomunikasi dan
memindahkan mereka kedalam role yang sesuai dengan potency
nya. Contohnya bagi orang-orang kategori Effective, karena
performance mereka sedang dengan potency yang rendah, maka
organisasi yang focus pada performance bisa jadi menawarkan
posisi lain yang match dengan potency yang dimiliki. Analogi
sederhananya, jika karyawan Anda ibarat siswa SMP ya jangan
memberikan beban dengan PR anak SMA.

Kelompok ketiga diisi dengan kategori Enigma, Core


Employee, dan Trusted Proffesional. Komposisi mereka dalam

8
organisasi termasuk paling banyak dari keempat kelompok lain.
Bagaimana tidak, kelompok ketiga ini mengambil 68% dari total
people yang terlibat di organisasi. Merekalah orang-orang yang
sebenarnya punya potency yang bagus namun performance nya
jelak. Bisa jadi penyebabnya adalah mereka tidak berada
ditempat yang sesuai dengan potency nya. Penyebab lain bisa
jadi karena suasana kerja yang tidak nyaman bagi mereka.

Dikelompok ini juga ditemukan orang-orang yang performance


nya meet atau sesuai dengan target. Potency yang mereka miliki
pun cenderung sesuai dengan competency atau keahlian yang
dibutuhkan. Agar bisa mengupgrade orang-orang core
employee, organisasi bisa mendrive mereka dengan secara
intensive memberikan pelatihan dan pengembangan.

Trusted Proffesional juga ditemui di kelompok ini. Mereka


adalah orang-orang dengan performance yang over
performance. Mereka cenderung mencintai pekerjaan mereka,
dan cenderung tidak mau mengembangkan potency nya di
bidang lain. Diakhir masa kerjanya (pension) biasanya mereka
mampu mempertahankan performance nya, namun cenderung
berada di posisi yang sama.

Kelompok keempat dengan jumlah 13,5% dari total populasi


dihuni oleh kategori Growth Employee dan Star. Kelompok ini
punya potency untuk menghasilkan performance yang over
performance atau diatas yang diharapkan. Bahkan saat secara
intensive di berikan pelatihan dan pengembangan, sangat
memungkinkan bagi orang-orang dikelompok keempat untuk
menjadi future leader.

Kelompok kelima seperti kelompok pertama hanya memiliki


satu kategori karyawan, merekalah para talent, karyawan terbaik
yang punya peran besar untuk mempengaruhi hidup – mati
organisasi. Menariknya jumlah mereka cenderung tidak

9
sebanyak kelompok lain. Dari total people yang bekerja di
organisasi, kelompok kelima ini hanya berjumlah 2,5% saja.

Karena jumlahnya yang tidak banyak dan peran mereka yang


besar dalam organisasi, tak heran semua organisasi berlomba-
lomba untuk mempertahankan keberadaan dan atau mencetak
para talent. Atau bahkan, jika jumlah talent dalam organisasi
tidak sesuai harapan management, tidak segan-segan organisasi
saling membajak atau menghire talent dari organisasi lain.
Fenomena saling bajak-membajak talent inilah yang kemudian
sering kali disebut sebagai talent war. Di saat yang bersamaan
organisasi mencetak dan mempertahankan talent yang dimiliki,
dan disaat lain menyerang organisasi lain untuk mendapatkan
talent nya.

Dalam peperangan ini, tentunya strategi untuk mencetak –


mempertahankan dan strategi menghire – membajak talent
memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Di
chapter kedua, Sourching dan Identifikasi Talent. Sedangkan di
chapter pertama ini bahasannya akan mengarah pada apa yang
membuat seorang karyawan bisa menjadi talent?

Talent : High Performance & High Potential

Jumlah talent yang hanya sebesar 2,5% dari total populasi dan
pengaruhnya terhadap organisasi memang membuat para talent
begitu istimewa. Karena memang tidak semua orang bisa
dikatakan sebagai seorang talent. Mereka harus memiliki dua
syarat utama berupa, high performance dan high potential.

Kedua syarat tadi sebenarnya saling berhubungan satu sama


lain. Seorang talent menghasilkan high performance saat
mampu mewujudkan potency menjadi competency (technical
competency dan soft competency atau character). Untuk
mengubah potency menjadi competency dan competency

10
berubah menjadi performance maka seorang talent butuh drive
atau motivasi. Dimana energi motivasi ini bisa didapat saat
seorang talent mengerjakan pekerjaan yang sesuai passion. Jika
digambarkan dengan sebuah diagram, akan terlihat seperti
gambar berikut :

Dan jika diagram tersebut dijadikan sebuah contoh yang akan


muncul adalah ada orang yang punya potency untuk perform
menjadi musisi yang hebat. Agar mampu perform sebagai
musisi yang hebat, maka orang tersebut butuh dilatih agar punya
competency atau keahlian sebagai musisi. Sayangnya walaupun
orang tersebut berbakat musik, jika tidak punya motivasi belajar
musik, maka bisa dipastikan orang tersebut tidak akan belajar
musik. Sehingga orang tersebut butuh diberikan motivasi. Dan
motivasi terbaik berasal dari instrinsik motivasi berupa passion
atau minat.

Pertanyaannya sekarang sebenarnya adalah bagaimana cara nya


agar people atau employee di organisasi bisa menemukan
potensi, sehingga paling tidak employee di organisasi bisa
menjadi kelompok ke kempat, syukur-syukur masuk menjadi
kelompok kelima?

Jawabannya ada di cara mengelola talent. Dibuku ini Anda akan


menemukan good practice mengelola talent di organisasi.

11
Frame of thinking buku ini akan mengikuti framework talent
management model seperti gambar dibawah ini.

Di chapter ini satu inilah, saya akan bercerita good practice


tentang passion, character, dan competency sebagai pondasi
para talent yang memiliki high potential dan high performance.
Menggunakan gambaran besar framework talent management,
chapter berikutnya akan bercerita tentang sourcing and talent
identification yang kemudian dilanjutkan dengan chapter talent
development, chapter succession dan diakhiri chapter
remuneration.

Seperti janji saya di pengantar buku ini, bahwa di buku ini akan
banyak akan berisi sharing dan good practice yang pernah saya
lakukan sebagai Talent Management Analyst. Bentuk sharing
dan good practice yang akan saya bagi akan berbentuk catatan-
catatan dimana bahasan chapter pertama adalah tentang high
performance dan high potency. Index bahasan tersebut adalah
sebagai berikut:

12
13
14
BONGKAR

Calau cinta sudah dibuang


Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanyalah tontonan
Bagi mereka yang diperbudak jabatan

BONGKAR~Swami 1989

Kemarin, melakukan
aktivitas coaching
improvement untuk
meningkatkan
performance kerja
kepada dua orang sub
ordinat. Satu orang di
pagi hari dan satu orang
di sore hari. Mendevelop
orang adalah salah satu
kegiatan favorit saya.
Obrolan pun dimulai dengan membangun rapport dengan
berdiskusi tentang pekerjaan dan jabatan dimulai. Dua orang
berbeda dengan waktu yang berbeda dan tempat berbeda. Kilas-
kilas impian masa depan, diceritakan. Satu orang bercerita kilas
mimpinya di masa depan membangun jaringan entrepreneur.
Dan satu nya lagi bercerita tentang keinginan nya untuk belajar
banyak hal.

Pada dasarnya sebagai orang orang yang berkecimpung di dunia


people development, saya meyakini bahwa semua karyawan bisa
menjadi seorang talent. Keyakinan saya ini tidak terkecuali juga

15
untuk dua sub ordinat saya yang performance nya baru
memburuk. Banyak hal yang mungin terjadi hingga salah satu
syarat untuk menjadi talent, yaitu high performance belum bisa
dicapai oleh ke dua orang tersebut.

Karena sebenarnya seorang talent tidak serta merta muncul dari


bumi. Seorang talent lahir dari rahim passion pekerjaan yang
dikerjakan. Dibesarkan dengan makanan character dan dididik
menjadi competen oleh bapak coach dan ibu system
development.

Kalau memang begitu apa yang membuat kedua orang sub


ordinate saya ini tidak memiliki performance yang baik?

Bisa jadi penyebabnya dikarenakan kedua rekan kerja saya, saat


melamar kerja awal terjebak dengan dosa perut. Mereka terjebak
oleh paksaan masyarakat untuk disebut sebagai “orang”.
Memang ada stigma di masyarakat bahwa seseorang baru bisa
disebut "orang" setelah mempunyai pekerjaan. Dikejar waktu
oleh “sigma masyarakat”, walaupun passion nya bekerja dengan
mesin, namun karena adanya lowongan posisi admin, akhirnya
bekerjalah dia sebagai admin. Kebalikannya, walaupun passion
nya bekerja sebagai admin, namun karena adanya lowongan
posisi mechanic, akhirnya bekerjalah dia sebagai mechanic.
Hatinya dikalahkan realisasi perutnya yang lapar.

Sebelum mendapat pekerjaan, bisa jadi memang perutnya


menguasai hatinya, dan tugas seorang coach lah yang harus
membantu mengalahkan perutnya. Bukan kata masyarakat lagi
yang harus dipikirkan, tapi kata Erich Form "Being Human".
Seorang coach harus mampu memilihkan kursi yang pas untuk
duduk. Seorang coach juga harus mampu meng ergonomi kan
letak kursinya. Recruiter sering kali menyebutnya dengan right
man in the right place. Kesesuaian kursi diharapkan
menenangkan kegundahan perut, memenangkan passion.

16
Seperti lirik lagu Bongkar di atas. Karyawan dengan passion
pun, pada suatu ketika bisa membuang cinta nya pada pekerjaan.
Terjebak bisikan syetan masa kerja sudah lama, sudah saatnya
mendapat jabatan. Karenanya, passion harus diberi makan
dengan character. Diracik oleh koki "coach" dengan resep
"system development yang pas". Sayang nya kita sering lupa
memasukkan soft competency untuk memunculkan character
dalam resep “system development”, dan kita hanya berfokus
untuk memasukkan bumbu “technical competency”. Akibatnya
tanpa character yang kuat seorang talent akan digerogoti setan
jabatan.

Point Penting : Anggota Point Penting :


Penyebab seorang talent tidak menunjukan
high perform bisa jadi disebabkan karena
bekerja tanpa motivasi, atau tidak bekerja
sesuai dengan passion nya.

Tugas organisasi adalah membuat strategi


atau sistem agar setiap talent dapat
diposisikan sesuai dengan passion nya
masing-masing.

17
Membalik Piramida Maslow

Masih ingat, bahwa seseorang butuh motivasi untuk


mewujudkan potency menjadi competency. Motivasi juga
dibutuhkan untuk mengubah competency menjadi high
performance. Dan motivasi bisa jadi berasal dari luar diri atau
dari dalam diri.

Salah satu teori yang sangat populer diperkenalkan oleh


Maslow. Karena menggunakan model Piramida untuk
memperkenalkan konsep motivasi nya, sehingga sering kali
konsep motivasi dari Maslow dikenal dengan sebutan Piramida
Kebutuhan. Layak nya sebuah Piramida, Konsep Piramida
Maslow dibangun dengan jenjang paling besar dibawah,
dilanjutkan jenjang berikut nya yang semakin ke atas semakin
kecil.

Piramida Maslow sendiri juga memiliki jenjang layaknya


piramida asli. Jenjang piramida Maslow berjumlah lima buah.
Jenjang paling dasar adalah jenjang motivasi fisiologis
(physiological need), jenjang kedua adalah motivasi rasa aman
(safety & security), jenjang ketiga dicintai (love & belonging),

18
jenjang keempat dihargai (self esteem), dan jenjang kelima
berupa aktualisasi diri (self actualization). Bagi Maslow
besarnya jenjang menuntukkan jumlah populasi yang
termotivasi. Artinya jika jenjang paling bawah piramida
motivasi Maslow adalah fisiologis (orang dimotivasi karena
kebutuhan dasar manusia, makan, pakaian, tempat tinggal,
dimana sekarang diwakili dengan uang) maka menurut Maslow
sebagian besar orang bergerak karena termotivasi oleh uang.

Jika kita melihat piramida Maslow, logika yang muncul adalah


untuk mendapatkan rasa aman, perasaan dicintai, perasaan harga
diri, dan aktualisasi diri harus dimulai dari memenuhi kebutuhan
fisiologis. Saat kebutuhan fisiologis terpenuhi maka orang hanya
bisa dimotivasi untuk bergerak dengan kebutuhan rasa aman.
Setelah rasa aman terpenuhi maka orang hanya bisa dimotivasi
oleh kebutuhan dicintai, dan seterusnya sampai dengan jenjang
paling atas. Ujung-ujung nya dari keseluruhan motivasi yang
menggerakan manusia bertujuan untuk mencapai kebahagiaan.
Bukan lagi kesenangan semu (pleasure) namun kebahagian
sejati (happiness). Kesejatian kebahagiaan ini merupakan sifat
dasar manusia, yaitu sifat insaniah.

Saking familiarnya teori motivasi ini,


sering kali digunakan oleh para
leader untuk memotivasi anggota
team nya. Sayangnya, para leader
cenderung mengggunakan jenjang
piramida pertama, physiological
needs, dan safety & security.

Menariknya, para leader yang


mengggunakan jenjang motivasi
pertama kemudian merasa gagal
memberikan motivasi kepada talent
nya. Penyebabnya, Sang Talent

19
melakukan pekerjaan dengan didasari transaksional. “Jika
pekerjaan tersebut menguntungkan bagi saya secara
physiological needs, dan safety & security maka akan saya
ambil. Jika tidak kenapa perlu saya kerjakan”, demikian dialog
internal yang terjadi di dalam diri talent.

Tak heran jika para talent berubah memiliki sifat transaksional


dalam bekerja. Karena sebenarnya kedua jenjang piramida
paling dasar tersebut pada dasarnya adalah sifat alamiah
manusia yang disebut dengan sifat hayawiah. Sebaliknya, untuk
memunculkan motivasi tanpa memunculkan sifat transaksional,
talent perlu dimotivasi dengan sifat alami manusia berupa sifat
insaniah.

Sifat hayawiah adalah sifat kebinatangan, sifat ini dikontrol oleh


otak kecil (Cerebellum) yang terletak di belakang otak.
Sedangkan sifat insaniah diatur oleh otak paling dalam manusia,
yang dikenal dengan Thalamus, Daniel Goleman menyebutnya
sebagai God Spot.

Sifat-sifat hayawiah itu muncul dalam piramida Maslow jenjang


pertama dan kedua. Sedangkan sifat insaniah maujud dalam
jenjang dicintai (love & belonging), dihargai (self esteem), dan
aktualisasi diri (self actualization). Sifat hayawiah hanya
mengenal memenuhi kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa
aman. Bukankah, hewan tidak membutuhkan rasa dicintai, harga
diri ataupun aktualisasi diri. Dominasi sifat hayawiah yang
terfokus pada kebutuhan fisiologis dan rasa aman menjadikan
manusia tidak mampu meraih jenjang rasa dicintai, dihargai dan
aktualisasi diri.

Efek negative lain dari hanya memberikan motivasi ke sifat


hayawiah, adalah berupa hilangnya sifat insaniah pada talent.
Dengan kata lain jenjang rasa aman, dicintai, harga diri dan

20
aktualisasi diri, dinafikan hanya untuk memuaskan jenjang
physiological need dan safety & security.

Bukti nya, karena ingin mendapatkan uang yang banyak


(physiological need), manusia melakukan pekerjaan yang
menentang maut, asalkan mendapatkan uang. Karena alasan
fisiologis, manusia tergila-gila dengan uang sehingga tidak
memperdulikan keluarga yang mencintai nya. Berangkat kerja
sebelum anak dan istri bangun dan pulang kerja setelah anak dan
istri tidur, hilangkan motivasi love & belonging. Karena alasan
motivasi fisiologis juga, manusia meniadakan kehormatan (self
esteem), tidak butuh dihormati dan menghormati masyarakat,
yang penting kaya raya dan bisa memenuhi kebutuhan. Dan
karena alasan motivasi fisiologis, manusia menerima pekerjaan
apapun tanpa mendengarkan suara hati nya, tidak peduli senang
atau tidak mengerjakan sesuatu yang terpenting menghasilkan
uang.

Jika memang begitu akibat motivasi dari jenjang physiological


need dan safety & security, sudah selayaknya para leader tidak
mengubah focus jenjang motivasi. Bukan lagi physiological
need dan safety & security sebagai jenjang pertama dan kedua
sebagai yang utama, namun membalik membalik piramida
Maslow, sehingga jenjang paling utama adalah aktualisasi diri
(self actualization). Passion adalah kata lain dari aktualisasi diri

Logika nya sederhana, saat seseorang punya potency sebagai


atlet. Dengan dimotivasi secara eksternal agar orang tersebut
bisa beraktualisasi diri dan menjadikan olah raga sebagai
passion nya. Orang itu pun akhirnya termotivasi hingga
mengubah potency nya menjadi competency. Dan saking
passion nya dengan olah raga, orang tersebut pun
mengaktualisasin diri nya lagi dengan mengikuti perlombaan
dan mendapatkan juara. Saat sudah menjadi juara secara
otomatis physiological need dan safety & security dapat diraih.

21
Lihatlah bagaimana Habibie yang punya passion di dunia
engineering pesawat terbang. Passion yang dimiliki telah
membawa Habibie dihargai dan dicintai banyak orang orang-
orang karena karya-karya indah nya. Saat orang menghargai
Anda maka Anda akan dicintai orang lain. Saat Anda dicintai
maka orang-orang yang mencintai Anda tidak akan tega Anda
terluka. Dan secara otomatis kebutuhan fisiologis Anda akan
terpenuhi.

Sebaliknya, saat talent terfokus pada motivasi physiological


need dan safety & security bisa jadi memang secara kompetensi
akan memenuhi. Namun belum tentu Sang Talent dihargai, dan
dicintai oleh anggota team yang lain. Bahkan bisa jadi, karena
Sang Talent hanya dimotivasi oleh physiological need, anggota
team lain dikorbankan, benar performance Sang Talent akan
naik, namun performance team akan turun. Jadi masih berfikir
untuk terus memotivasi talent lewat jenjang physiological need
dan safety & security, atau menurut Anda lebih baik membalik
piramida nya?

Point Penting : Sering kali para leader


memotivasi talent dengan mengiming-
imingi talent dengan physiological need dan
safety & security. Padahal motivasi yang
terfokus kepada dua jenjang itu bisa
menyebabkan Sang Talent kehilangan
pengghargaan dan kecintaan dari anggota
team.

Cara terbaik untuk memotivasi talent untuk


mengubah potency nya menjadi competency
dan menjadi performance adalah dengan
motivasi aktualisasi diri atau nama lainnya
adalah passion.
22
PASSION ATAU JABATAN

Generasi yang lahir di periode tertentu sering kali memiliki ciri


khas yang berbeda. Kondisi sosial, ekonomi, budaya yang
tengah mewabah menjadi penyebab nya. Demi memudahkan
menscreaning periode kelahiran dan ciri khas nya, para ahli
membuat cluster periode kelahiran dengan istilah tertentu.

Generasi yang lahir di tahun 1946 – 1964 sering kali di namakan


generasi Baby Boomer. Maju ke tahun 1965 – 1980, generasi
yang lahir di tahun ini disebut generasi X. Kemudian generasi
yang lahir di tahun 1981 – 1984 dikenal dengan generasi Y.
Ada juga sebutan untuk generasi Z yang lahir pada tahun 1995 –
2009 dan generasi Alpha yang lahir di atas tahun 2009.

Ciri khas tiap generasi sebenarnya menjadi kekuatan bagi


masing-masing generasi. Sayangnya, ciri khas tersebut kadang
kala menjadi masalah saat tidak mampu mengikuti daan
beradaptasi dengan ciri khas generasi lain.

Mereka membawa ciri khas nya, tanpa memahami ciri khas


generasi lain. Sehingga yang terjadi adalah motivation error,
culture error, maupun senioritas error. Dengan kata yang lebih
sederhana terjadi ketidakharmonisan. Tak heran jika ada sebuah
nasehat “Janganlah didik anak mu dengan cara mu dididik.
Karena anak bukan anak itu bukan anakmu, anak itu adalah anak
zaman”.

Error motivation sebagai akibat belum bertransformasi dan


beradaptasi dengan generasi lain pernah saya temukan pada
sebuah peristiwa. Ada orang yang termasuk generasi generasi X
(1965-1980), sedang memotivasi subordinatnya. Seperti orang-
orang era 1965-1980 mencari menantu, tak peduli berapa kaya

23
nya, seberapa tampan atau cantiknya, kalau tidak PNS, bisa-bisa
hanya masuk nominasi nomer dua. Begitu juga cara orang ini
memotivasi subordinatnya, "Kalau Anda menunjukkan
performance yang bagus nanti Anda akan saya promosikan".

Bagi generasi X, title adalah reward. Sehingga orang-orang


yang lahir di era 1965-1980 lebih senang mempunyai menantu
ber title PNS, atau sarjana. Dengan stereotype yang sama, bos-
bos dari generasi X sering kali juga memotivasi bawahannya
dengan mengiming-imingi title (jabatan). Padahal tidak semua
orang bisa termotivasi dengan jabatan.

Memotivasi sub ordinat dengan jabatan tentunya juga bukan


pilihan yang bijak. Sebagai mana kita ketahui jabatan itu seperti
piramida, semakin ke atas semakin kecil. Apakah dengan begitu
banyak karyawan yang ada harus berebut posisi yang semakin
ke atas semakin sedikit? Memotivasi dengan jabatan juga
menjadi hal yang berbahaya. Karyawan dengan motivasi
menggebu untuk menduduki jabatan, bisa jadi melegalkan
segala cara untuk mencapai tujuan. Lebih parahnya lagi, jika
karyawan hanya termotivasi mendapatkan jabatan, bisa jadi
performance nya menurun saat sudah menempati jabatan yang
menjadi tujuannya.

Bagi generasi Y (lahir tahun 1980-1995), sebenarnya mereka


bisa dimotivasi dengan menempatkan karyawan pada pekerjaan
panggilan hatinya. Rekan kerja saya seorang Supervisor Plant
bisa menjadi contoh nyata. Jam kerja normalnya harusnya jam
07.00-17.30. Namun karena kecintaannya terhadap mesin, dia
bekerja dari jam 07.00 sampai jam 23.00 bahkan lebih. Bukan
satu-dua kali rekan saya ini bekerja melebihi jam normal, namun
hampir setiap hari. Dan dia tidak menuntut ditambah gajinya
atau dinaikkan pangkatnya.

24
Karyawan yang bekerja karena panggilan hatinya (passionnya)
akan menunjukkan sifat pengorbanan (sacrifice). Mereka lebih
memilih purpose dibandingkan posisi, lebih memilih nilai-nilai
(values) dibandingkan kekayaan (numbers). Ini sangat
berhubungan dengan keyakinan karyawan pada Tuhan yang
maha Esa. Coba saja perhatikan Abdi Dalem Kraton Kasunanan
Surakarta, meraka sudah bekerja puluhan tahun. Karir mereka
mentok menjadi Abdi Dalem, gaji mereka bahkan tidak cukup
membeli kebutuhan sehari-hari. Namun mereka masih bertahan
bekerja dan memiliki performance yang bagus. Value mereka
menjadi pedoman untuk bekerja.

Karyawan yang tersalurkan passion nya juga akan memiliki


engaged (keterikatan terhadap perusahaan). Selama perusahan
mampu memberikan challenge terhadap passion nya, karyawan
akan loyal terhadap perusahaan. Mereka memberikan komitmen
nya untuk mencapai tujuan perusahaan. Mereka bekerja lebih
keras, lebih kreatif dan lebih berkomitmen, dan mereka
merupakan prediktor yang penting terhadap produktivitas
perusahaan. Jadi dari pada memotivasi karyawan dengan
jabatan, lebih baik memotivasi karyawan dengan memposisikan
mereka ke pekerjaan yang sesuai dengan passion nya.

Point Penting: Dengan membuat sistem yang memungkinkan


seorang talent bekerja sesuai dengan passion nya juga akan
berdampak positif secara pada :

a. Sifat pengorbanan (sacrifice)


b. Lebih memilih purpose dibandingkan posisi
c. Lebih memilih nilai-nilai (values) dibandingkan
kekayaan (numbers)
d. Menunjukan engaged atau keterikatan dengan
perusahaan.

25
ON TRACK U’R PASSION
“Anda tidak akan bisa menghubungkan dot - dot dengan
menatap ke depan : Anda hanya dapat menghubungkan dot saat
melihat ke belakang. Jadi Anda perlu yakin bahwa entah
bagaimana dot tersebut akan saling berhubungan di kemudian
hari” (Steve Job)

Kalimat di atas adalah penggalan pidato yang disampaikan Stve


Job, CEO dan pendiri Apple dan Pixar, pada acara wisuda
Stanford pada tanggal 12 Juni 2005. Dan kalimat di atas adalah
salah satu dari beberapa penggalan pidato yang cukup
mengguncang.

Pengalaman seorang rekan bisa jadi menggambarkan penggalan


kalimat Steve Job tersebut. Saat kuliah, rekan kerja saya adalah
mahasiswa cemerlang, namun dia saat ini bekerja di area yang
bukan menjadi passion nya. Lulus kuliah sebenarnya dia masih
idealis mencari dan menciptakan pekerjaan yang sesuai dengan
passion nya. Namun, lapar perut memaksanya mengambil
langkah menerima pekerjaan yang dirasa bukan passion nya.
Akhirnya dia merasa tidak menghasilkan performance kerja
yang maksimal.

Memang kadang kala perusahaan memiliki dilema, ada


kebutuhan untuk menempatkan talent di posisi tertentu.
Walaupun perusahaan sadar jika ditempatkan diposisi tersebut,
talent kehilangan passion nya, akibatnya performannya bisa
langsung turun drastis.

Bagaimana cara nya agar posisi yang kososng tersebut dapat


diisi oleh talent yang tidak punya passion di area tersebut namun
motivasi nya masih tetap terjaga? Disinilah tugas seorang leader

26
untuk memberikan coaching atau bimbingan. Sebelum talent
dipindahkan ke posisi tersebut dan selama talent berada di posisi
tersebut, diskusi coaching antara leader dengan talent perlu
tetap dijaga.

Berikut bahan coaching yang bisa digunakan leader untuk


mengcoach talent nya.

Apakah benar Anda sendiri tidak bekerja sesuai dengan passion


kita? Padahal Tuhan berjanji, "Tidak ada ciptaannya yang sia-
sia", tidak perduli apa passion Anda dan apa yang Anda lakukan
sekarang. Setiap apa yang kita lakukan saat ini sebenarnya
mengantarkan dan membentuk passion kita di masa depan.
Anda hanya bisa melihat ketidaksia-siaan tersebut melalui
pandangan masa lalu, bukan pandangan saat ini ataupun
pandangan masa depan. Ini lah yang di maksud Steve Job dalam
penggalan pidatonya, atau disebut sebagai connecting the dot.

Syarat agar dot – dot tersebut saling terkoneksi hanya ada dua.
Syarat pertama "kerjakan apa pun hari ini dengan maksimal".
Kita dikenal orang dengan apa yang kita kerjakan hari ini.
Mungkin hari ini kita merasa tidak melakukan pekerjaan sesuai
dengan passion kita. Tapi ingat orang lain melihat kita. Suatu
ketika siapa tahu orang-orang yang bekerja sama dengan kita
menjadi orang yang berada dalam range passion kita.
Bayangkan saat sekarang kita dikenal sebagai orang yang buruk,
image ini akan menempel bahkan saat kita sudah beralih ke jalur
yang benar untuk mengejar passion kita. Tentunya sangat susah
mengubah image walaupun performance di pekerjaan yang
sesuai passion kita sudah semakin membaik.

Mengerjakan pekerjaan yang bukan passion kita dengan


maksimal juga penting untuk membangun karakter. Saat kita
mengerjakan pekerjaan yang tidak kita sukai dengan maksimal
berarti kita memperbagus karakter yang kita punyai. Bagaimana

27
tidak, pekerjaan yang kita tidak senangi saja menghasilkan hasil
yang maksimal apalagi pekerjaan yang kita senangi atau sesuai
dengan passion kita. Harus diingat juga bahwa untuk menjadi
seorang talent, selain harus memiliki passion terhadap yang
dikerjakan, juga harus memiliki karakter dan competency
terhadap pekerjaan yang dilakukan

Kolonel Sander adalah contoh yang baik bagi para pengejar


passion. Semenjak usia 6 tahun, Sander kecil sangat suka
menggoreng ayam. Namun, wajib militer memaksanya
meninggalkan kecintaan menggoreng ayam untuk menunaikan
kewajiban sebagai warga negara. Bukan nya seperti pemuda-
pemuda lain yang setelah menyelesaikan wajib militer beralih
profesi, Sander tetap berkarir di dunia militer dan menunjukkan
prestasi yang baik. Karir nya pun menanjak hingga menjadi
seorang kolonel. Setelah merasa
cukup berproses di dunia militer,
Sander yang berusia 40 tahun
kembali mengejar passion nya yang
sudah lama ditinggalkan,
menggoreng ayam. Dari dunia
militer, Sander mendapatkan
character disiplin dan tidak mudah
menyerah yang mengantarkannya
pada kesuksesan. Walaupun berkali-
kali resep Kentucky Freed Chicken
nya ditolak, Kolonel Sander tidak
putus asa. Lahir lah kemudian resep rahasia yang
mengantarkannya menjadi pemilik waralaba yang tersebar di
hampir semua negara.

Syarat kedua yaitu keep on track. Tak peduli apa yang Anda
lakukan saat ini, tetapkan goal yang ingin Anda capai. Seperti
jalur pesawat terbang yang sudah ter track di navigasi pilot,
seperti itulah seharusnya kita mengejar passion. Walaupun

28
pesawat sudah punya track navigasi, pesawat sangat jarang
selalu tepat berada di jalur navigasi. Ada kala nya pesawat
melenceng dari jalur navigasi, tugas menara kontrol lah yang
kemudian selalu mengingatkan untuk kembali ke jalur yang
benar. Karena memang susah berada di jalur yang benar. Kita
juga perlu menara kontrol untuk mengingatkan saat kita mulai
keluar dari jalur passion. Menara kontrol itu bernama tulisan
dan orang lain. Selalu tulis goal Anda, dan ceritakan ke orang
lain. Catatan mengingatkan kita untuk tidak lupa, dan orang lain
akan tahu passion kita dan kadang kala menggelitik kita saat
mulai keluar dari track passion.

Di akhir catatan ini, saya ingin bercerita tentang pengalaman


pribadi saya mengejar passion. Semenjak SMP, saya sudah
menetapkan jalur passion saya adalah WTS (Writer-Trainer-
Speaker). Merintis passion tadi, di SMP dan SMA saya
membuat Perkumpulan Pecinta Anak dan Mentoring untuk
Teenager. Kegiatan utama kami adalah menjadi pendongeng
untuk anak-anak dan menjadi mentor untuk para teenager. Di
Perguruan Tinggi, saya kemudian mendirikan Lembaga
Psikologi Terapan spesialis untuk out bound training. Masih
mengejar passion, lulus kuliah, saya melamar di sebuah
perusahaan dengan posisi sebagai Management Trainee.
Awalnya saya mengira, tugas Management Trainee adalah
mengurusi trainee (sebutan bagi para peserta pelatihan). Namun
ternyata saya salah, ternyata Management Trainee bertugas
untuk belajar bisnis proses perusahaan untuk disiapkan menjadi
future leader.

Lulus sebagai Management Trainee, saya di tempatkan di posisi


Recruitment Officer. Satu setengah tahun berikutnya saya di
rotasi untuk memegang posisi Personel Officer. Menggunakan
dua rumus tadi, saya tetap bekerja dengan maksimal dan on
track dengan passion. Saya selalu menceritakan passion saya di
dunia pelatihan pada rekan-rekan sekerja maupun ke atasan

29
saya. Hingga akhirnya, di tahun ketiga saya mutasi ke cabang
lain dengan posisi General Affair Officer. Di cabang ini, dengan
rumus pertama, bekerja dengan maksimal di area kita,
mengantarkan saya menjadi Best continuous improvement all
site di tahun 2011. Akhirnya di bulan Desember 2012, passion
saya terwujud. Di bulan itu saya di mutasikan lagi ke head office
sebagai Learning and Development Analyst. Bagaimana jadi nya
saat saya tidak perform di area sebelumnya? Bisa jadi passion
saya tidak didengar orang. Dan bagaimana jadinya jika saya
lupa dengan passion saya dan puas di area General Affair, yang
telah diakui orang dengan Best Continuous Improvement?

Steve Jobs juga mengalami hal yang sama. Dari kecil, Steve
Jobs tertarik dengan computer. Hingga akhirnya Steve Jobs
memutuskan kuliah di Reed Colleage Portland. Enam bulan
berikutnya Steve Jobs kehabisan dana untuk kuliah, hingga
memakasaknya untuk drop out dari kampus yang dicintainya.

Setelah droup out, Steve Jobs banting stir belajar kaligrafi.


Artinya Steve Job menyimpang dari passion nya sendiri.
Dengan syarat pertama saat keluar dari passion, yaitu
mengerjakan apa pun hari ini dengan maksimal, Steve Jobs
memaksimalkan diri untuk belajar kaligrafi. Dan dot itu pun
tersambung, karena dulu Steve Jobs belajar kaligrafi, sekarang
kita bisa menikmati berbagai pilihan jenis dan model huruf di

30
computer. Karena memang Steve Jobs lah orang pertama yang
memasukan model-model huruf ke dalam computer.

Walaupun sempat menyimpang dari passion nya, dari computer


ke kaligrafi, Steve Jobs tetap on tract dengan goal passion nya.
Bersama Steve Wosniak, Steve Jobs membangun kerajaan
Apple dari garasi rumahnya. Perusahaan yang dirintisnya
berlahan-lahan mulai membesar. Sayangnya saat Steve Jobs
berada di puncak karir nya bersama Apple, dia dipecat oleh
orang yang dihire nya sendiri.

Steve Jobs pun sempat putus asa, namun dengan menggunakan


syarat ke dua, on track your passion, Steve Jobs kembali lagi
mengejar passion nya. Dia membuat perusahaan baru dengan
nama Pixar.

Connecting the dot pun terjadi lagi. Apple yang mulai


kehilangan sinarnya mencari technology yang bisa
menyelamatkan Apple. Ternyata technology itu hanya dimiliki
oleh Pixar, perusahaan baru yang didirikan oleh Steve Jobs.
Dibelilah Pixar oleh Apple, dan kembalilah Steve Jobs
keperusahaan yang dibangunnya bersama Steve Wozniak.

Point Penting : Kadang kala seorang talent dibutuhkan pada


posisi yang sebenarnya bukan posisi yang sesuai dengan
passion nya. Agar tetap menjaga motivasi talent, perusahaan
bisa memberikan coaching atau bimbingan dengan bahasan.

Anda cukup melakukan dua cara agar bisa kembali ke


mimpi Anda:
Pertama, Maksimalkan Apa yang Anda kerjakan hari ini
Kedua, On Tract Your Passion

31
32
GARA-GARA ORANG PINDAH
KERJAAN

Passion sudah disuntikan agar potency bisa berubah menjadi


competency, dan dengan suntikan passion juga, competency
menjadi performance. Apa sebenarnya competency sebenarnya?
Competency adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan
produk yang memuaskan di tempat kerja. Sederhananya
ketrampilan dan karakter diri untuk menghasilkan produk.

Competency bukan hanya ketrampilan atau sering juga disebut


hard competency atau technical competency, namun juga soft
competency atau character. Kedua competency tersebut harus
dimiliki oleh seorang talent. Karena hard competency membuat
seorang talent tahu dan bisa melakukan. Sedangkan character
membuat seorang talent mau melakukan.
Jika salah satu competency masih memiliki gap atau bahkan
hilang akibatnya adalah low performance. Bukankah, orang tahu
dan bisa melakukan pekerjaan, namun tidak memiliki kemauan
untuk melakukan sudah pasti hasilnya tidak maksimal. Dan
bukankah, orang yang mau melakukan namun tidak memiliki

33
pengetahuan dan ketrampilan juga hasilnya tidak maksimal.
Sehingga memang kedua jenis competency tersebut harus jalan
secara bersamaan. Kedua competency tersebut bisa
dikembangkan dengan training and development. Bagaimana
cara mengembangkannya akan kita bahas di chapter tiga.
Masa-masa saat para talent sedang menjalani training and
development untuk closing gap competency kadang kala menjadi
masa yang berat. Beratnya masa training and development
tersebut ibarat Gatotkoco yang sedang digodok di kawah
Candradimuka. Hingga tak jarang, banyak talent yang
berguguran di tengah jalan. Alasannya bermacam-macam, salah
satu nya adalah tidak cocok dengan anggota team lain.
Jika Anda seorang leader yang didatangi oleh talent yang
memutuskan untuk mengundurkan diri karena tidak cocok
dengan anggota team lain, apa yang akan Anda katakan?

Ada nasehat bagus bagi para atasan yang dihadapkan dengan


kondisi tersebut. Anda bisa berkata pada talent tersebut, “Jangan
mengundurkan diri dengan alasan tidak cocok dengan
seseorang, karena disetiap perusahaan kamu akan menemukan
orang dengan tipikal yang sama”.

Masuk akal bukan? Kemampuan membangun kecocokan, dan


keberanian untuk beradaptasi mengatasi ketidakcocokan
sebenarnya adalah proses pendidikan untuk membangun self
character. Jika seorang talent mengundurkan diri gara-gara
tidak cocok dengan orang, dikemudian hari akan terjadi pola
yang sama. Saat talent tidak cocok dengan anggota team, yang
akan terjadi berikutnya adalah pengunduran diri. Tentu cerita
nya akan berbeda saat saya mencoba membangun character bisa
beradaptasi dengan orang-orang dengan tipikal tadi, atau
membangun character tidak mudah menyerah terhadap tekanan
yang ditimbulkan oleh seseorang.

34
Sepintar ataupun seberbakat apapun orang jika tidak punya
karakter tentunya akan gagal menjadi talent. Contoh nya saja,
jika ada seorang talent yang tidak memiliki character strike for
exelence (berjuang mencapai yang terbaik). Sang Talent begitu
brilian menemukan ide-ide baru, namun karena tidak memiliki
character strike for exelence yang terjadi Sang Talent tidak
pernah berjuang mewujudkan ide-ide nya. Hingga akhirnya
syarat kedua sebagai talent, yaitu high performance, tidak
pernah tercapai.

Bandingkan dengan seorang talent bernama


Thomas Alfa Edison. Pemilik 1.039 hak paten ini
pernah berucap, “dari keseluruhan hak paten
yang saya miliki, hanya satu saja yang orisional,
yaitu pembuatan lampu pijar, sedangkan
penemuan lain berasal dari ide-ide orang pintar
yang tidak mau bekerja keras
mewujudkannya”.

Meyakini pentingnya character, bahkan mendiknas pun mulai


tahun 2009 memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum
nasional. Kurikulum pendidikan karakter tersebut berfokus pada
sembilan pilar yang berasal dari nilai-nilai luhur, pertama cinta
Tuhan dan segenap ciptaannya, kedua kemandirian dan
tanggungjawab, ketiga kejujuran dan diplomatis, keempat
hormat dan santun, kelima suka menolong, keenam percaya diri
dan pekerja keras, ketujuh kepemimpinan dan keadilan,
kedelapan baik dan rendah hati, dan kesembilan toleransi dan
persatuan.

Bagi rekan-rekan yang sudah bekerja, ada banyak character


positif yang bisa dibangun untuk menjadi great talent. Bahkan
hampir setiap perusahaan mempunyai character yang membantu
karyawannya supaya mengikuti character perusahaan tersebut.
Kita sering menamakannya dengan company value. Dulu saya

35
pernah bekerja di perusahaan dengan company value yang
disingkat dengan BEST, Believe in the God, Eager to Learn,
Sincelery, dan Toward Together. Dengan company value
tersebut, karyawan dituntut memiliki empat karakter tersebut.
Uniknya setiap tahun, perusahaan kami tersebut membuat acara
selebration bagi para karyawan nya yang berprestasi dengan
kategori hasil kerja terbaik dan terinternalisasi company value.

Point Penting : Gap competency atau


hilangnnya competency yang dimiliki
seorang talent akan berdampak pada
performance nya.

Ada dua jenis competency yang perlu


dimiliki seorang talent, yaitu hard
competency dan soft competency (character)

Perusahaan bisa membangun dan


mengembangkan soft competency dengan
berdasarkan company value

36
TALENT TO BE GREAT TALENT

Ada sebuah pepatah kuno,


“diatas langit masih ada
langit”. Dan pepatah kuno
ini diterjemahkan lagi oleh
Jim Collin dengan sebuah
quote, “musuh dari good
adalah great”. Begitu juga
dengan seorang talent,
masih ada langit di atas
seorang talent, langit itu
bernama great talent.

Hal yang membedakan


dasar antara talent dan
great talent berada di hard dan soft competency nya. Seorang
talent dinyatakan siap untuk future position saat competency nya
meet dengan requirement atau yang dipersyaratkan. Dan great
talent mau mengambil satu langkah lagi untuk tidak hanya meet
dengan requirement namun competency nya expert dengan
requirement.

Dahulu saya pernah punya pengalaman dengan seorang talent


yang sedang masa training and development. Masa-masa ini
adalah kawah candradimuka untuk mendidik hard dan soft
competency atau character.

Kisah ini bermulai dari eksekusi dari follow training dengan


membuat project improvement. Sayangnya project tersebut tidak
dilakukan dengan smooth. Sebenarnya project yang dilakukan
mempunyai tujuan yang baik, namun pra kondisi terhadap
orang-orang yang akan terkena dampak tidak dilakukan dengan

37
baik. Akibatnya, HRD yang tidak tahu menahu sebab akibat
project tersebut menjadi terlibat untuk smoothing condition.
Entah ini kutukan perusahaan atau superioritas departemen
HRD.

Ketidakmatangan dalam implementasi project improvement


adalah penyebab situasi yang tidak menyenangkan tersebut. Pra
kondisi di unsur manusia lah yang tidak disiapkan dengan
matang. Memang unsur manusia tidak seperti unsur project
improvement lain yang berupa material, metode kerja maupun
peralatan yang gampang diprediksi. Unsur manusia memiliki
sifat yang susah diprediksi reaksi nya.

Talent yang sedang mengerjakan project improvement lupa


untuk pra kondisi memberikan sosialisasi perubahan ke
karyawan yang terkena dampak perubahan. Sang Talent
mungkin merasa takut atas reaksi orang-orang yang terdampat
dari project improvement yang dibuat. Patut disayangkan, talent
yang mempelopori improvement malah tidak berani mengambil
tanggungjawab. Jurus Tai Chi Master dikeluarkan, masalah
dilemparkan ke orang lain. Lebih disayangkan lagi, saat
launching awal improvement, talent yang sudah
mengidentifikasi akan terjadi masalah malah melarikan diri
dengan tidak masuk kerja.

Sebenarnya seorang talent sejati tidak merasa cukup dengan


gelar talent saja. Seorang talent sejati harusnya memiliki
passion di hatinya untuk menjadi great talent. Dan gelar itu
hanya boleh diberikan pada talent-talent yang berani mengambil
responsibility. Para great talent menetapkan tujuan dan bekerja
keras untuk mencapai tujuannya. Halang rintangan yang muncul
dihadapi. Dia menyadari bahwa masalah yang datang adalah
bonus untuk memperkuat character nya. Dia selalu bekerja
keras mengambil tanggungjawab atas apa yang sudah

38
diputuskan. Bukannya malah bermain jurus Tai Chi, melempar
masalah pada orang lain atas putusannya yang salah.

Seorang great talent juga harus stay focused on their goals.


Bukan karena, tekanan kemudian mengubah keputusan. Great
talent tidak memberikan ruang bagi munculnya keraguan.
Bukan berarti seorang great talent harus keras kepala. Andaipun
harus mengubah keputusan, bukan karena takut akan tekanan,
tapi karena keputusan baru yang dibuat memperkuat keputusan
yang sudah diambil

Perubahan keputusan untuk memperkuat keputusan adalah ciri


great talent berikutnya, dia memiliki high standards. Apa yang
dilakukan dan diperbuat selalu mengejar yang kesempurnaan.
Tak ayal, kalau seorang great talent selalu berfikir dan bertindak
melakukan improvement. Walaupun improvement yang
dilakukan harus membuat great talent dihadang banyak masalah
dan menjadi tidak popular.

Masalah yang datang, dan terkucilkan dari popularitas tidak


membuat seorang great talent mundur dari apa yang dilakukan.
Karena dia memiliki sifat great talent berikutnya, positive
thinking dan eager to learn. Dia memiliki self esteem yang
tinggi, selalu melihat masalah sebagai sebuah peluang dan
pelajaran yang berharga. Semua kejadian dijadikannya
pelajaran. Seakan-akan segala yang bersentuan dan berhubungan
dengan dirinya tidak ada yang sia-sia. Termasuk saat membaca
catatan kecil ini.

Point Penting : Tidak Cukup Hanya Menjadi Talent yang


mempunyai character sesuai company value, Perusahaan
perlu mendevelop menjadi Great Talent dengan memiliki
character : Stay focused on their goals, High standards,
Positive thinking dan Eager to learn

39
SI CANTIK DAN SI BURUK RUPA

Keberhasilan orang untuk mengubah potency menjadi


competency dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal
(passion) dan faktor external (support dari orang lain). Sayang
nya, kebanyakan orang lebih mengandalkan faktor external
untuk membantu dirinya mengubah potency menjadi
competency.

Padahal faktor external tersebut tidak akan berhasil dengan baik,


saat faktor internal nya lemah. Tulisan Kahlil Gibran yang
bercerita tentang “Si Cantik dan Si Buruk Rupa” akan mewakili
yang apa yang saya maksud. Cuplikan cerita tersebut adalah
sebagai berikut :

Di sebuah desa, hiduplah dua orang wanita. Satu nya cantik dan
selalu memakai pakaian bagus. Warga desa pun menamainya
dengan si Cantik. Wanita satunya buruk rupa dan suka memakai
pakaian yang jelek. Dia dipanggil warga dengan julukan si
Buruk. Pada suatu hari, si Cantik dan si Buruk pergi mandi
bersama di sebuah telaga. Tiba-tiba terbersit di pikiran Si Buruk,
setiap hari selalu diolok-olok buruk oleh warga. Dia berpikir,
mungkin pakaiannya yang tidak sebaik Si Cantik lah yang
membuatnya dijuluki Si Buruk oleh warga.

Bosan dijuluki Si Buruk, maka dia berniat mencuri pakaian Si


Cantik. Buruk rupa kemudian berpamitan kepada Si Cantik,
bahwa dia sudah selesai mandi dan cepat pergi karena ada
urusan. Si Buruk kemudian menjalankan rencananya mencuri
pakaian Si Cantik. Kemudian dia memakai baju Si Cantik
kembali ke desa.Namun, harapan tinggal harapan saja.
Pakaiannya yang cantik tidak membuat warga desa

40
memanggilnya Si Cantik.Warga tetap mengenalinya sebagai Si
Buruk.

Berbeda dengan Si Buruk, Si Cantik yang selesai mandi tidak


menemukan bajunya. Dia hanya menemukan baju Si Buruk.
Mau tidak mau berhubung malam sudah mulai menjelang, Si
Cantik pun ahirnya mengenakan baju Si Buruk dan kembali ke
desa. Anehnya warga desa masih mengenali nya sebagai Si
Cantik.

Cerita tersebut bisa diterjemahkan, pakaian adalah faktor


external dan siapa sebenarnya pemakai pakaian adalah faktor
internal. Faktor external tersebut bisa jadi berbentuk support
dari organisasi atau orang terbaik untuk menjadikan potency
seseorang menjadi competency yang luar biasa. Sayang nya,
selama faktor internal nya lemah, faktor external tersebut tidak
akan berdampak banyak. Sebaliknya saat faktor internal nya
kuat, walaupun support dari faktor external kecil, tetap saja
orang mampu mencapai competency yang diharapkan.

Buktinya, banyak tokoh-tokoh yang mengukir sejarah tidak


bersekolah di sekolah dengan fasilitas belajar yang lengkap.
Salah satu tokoh favorit saya adalah Dahlan Iskan. Dahlan yang
hidup pas-pasan dan bersekolah di desa kecil bisa menjadi
menteri yang fenomenal. Bersekolah di sekolah yang tidak
memiliki fasilitas sebagus sekolah-sekolah di kota, yang bahkan
melanjutkan ke jenjeng Perguruan Tinggi yang saat itu menjadi
Perguruan Tinggi kelas kedua, IAIN. Namun, semangat belajar
beliau lah yang membuatnya sampai di kementerian dan
menjadi bos media. Layaknya di cerita tadi, Si Buruk yang
mengenakan pakaian Si Cantik tetap saja terlihat buruk nya, dan
sebaliknya Si Cantik yang mengenakan baju Si Buruk tetap saja
terlihat cantik nya.

41
Atau mungkin Anda pernah mendengar kisah Mahabarata
tentang Bambang Ekalaya, sebuah kisah yang mengandung
hikmah layaknya kisah Si Cantik dan Si Buruk Rupa. Kisah
berawal, saat Bambang Ekalaya mencari guru untuk
mengajarinya memanah. Setelah petualangan dan
penggembaraannya, Bambang Ekalaya dipertemukan dengan
seorang guru yang sedang mengajari Pandawa dan Kurawa
dengan ilmu panahan. Sang guru tersebut bernama Guru Durna.

Setelah melihat kesaktian Guru Durna, Bambang Ekalaya


menghadap untuk minta dijadikan murid. Di dalam hati nya,
Guru Durna sebenarnya ingin mengangkat Bambang Ekalaya
menjadi muridnya, namun apa mau dikata, Guru Durna terikat
kontrak hanya boleh mengajarkan ilmu nya kepada Pandawa
dan Kurawa. Sehingga Bambang Ekalaya terpaksa ditolak
menjadi murid.

Waktu terus berlalu, namun Bambang Ekalaya tetap konsisten


dengan passion nya. Dia terus saja belajar memanah dari waktu
ke waktu. Hingga suatu ketika, Guru Durna dan Arjuna berburu
di hutan, mereka memanah seekor Babi. Guru Durna
melepaskan anak panah, di saat yang bersamaan dan dari arah
yang berbeda, Bambang Ekalaya juga melepaskan anak panah.
Kedua anak panah yang dilepaskan Guru Durna dan Bambang
Ekalaya mengenai sasaran. Guru dan murid imajinasi bertemu
dan siapa yang berhak untuk binatang buruan, panah siapa yang
membunuh binatang buruan?

Tertarik dengan sang Pemuda, Guru Durna bertanya dari mana


Bambang Ekalaya berguru memanah. Karena cara memanah
yang dilakukan oleh Bambang Ekalaya hanya bisa dilakukan
oleh Guru Durna dan murid nya. Sedangkan Bambang Ekalaya
bukanlah murid Guru Durna. Bambang Ekalaya pun menjawab
bahwa guru nya adalah Guru Durna.

42
Tak percaya dengan yang di dengarnya Guru Durna berkata,
“janganlah Engkau berbohong, engkau bukanlah murid ku”.
Bambang Ekalaya pun mengajak Guru Durna dan Arjuna ke
tempat nya belajar memanag. Di sana, mereka menemukan
sebuah patung yang sangat mirip dengan Guru Durna. Bambang
Ekalaya berkata “Ini lah guru ku, Guru Durna, tiap kali aku
hendak dan selesai berlatik, aku selalu memberi hormat guru ku
ini. Dan aku juga memperlakukan patung ini layaknya
pengabdian seorang murid terhadap gurunya”.

Point Penting : Potency akan menjadi competency saat


didukung oleh faktor internal (passion) dan support faktor
external.
Faktor internal memiliki peran yang lebih besar dari pada
support external
Tugas leader adalah memunculkan faktor internal tersebut
dari dalam diri talent.
Tugas perusahaan adalah menyediaakan support external

43
SISI LAIN

Apakah benar, sebutan talent adalah pemberian dari Tuhan?


Apakah memang hanya orang-orang pintar saja yang bisa
menguasai hard maupun soft competency? Jika benar berarti
Tuhan Maha Tidak Adil. syukur lah, Tuhan memberikan
keunikan kepada setiaop ciptaannya. Sehingga semua orang
punya kesempatan untuk mengembangkan competency nya dan
menjadi seorang talent.

Salah satu orang yang menjawab


pertanyaan dan membuktikan
pertanyaan tersebut dengan
perbuatan adalah Prof. Yohanes
Suryo. Beliau adalah salah satu
tokoh Indonesia yang selalu
membawa siswa-siswa Indonesia
meraih juara di olimpiade Sains
baik Matematika maupun Fisika
dengan tingkat seluruh dunia. Tak
terkecuali di tahun 2006, Prof. Yohanes Suryo juga berhasil
membawa Indonesia menjadi juara umum sedunia lomba Fisika
dengan mengalahkan 86 negara.

Suatu ketika, Prof. Yohanes Suryo ditantang untuk tidak hanya


mengurusi anak-anak pintar saja, namun anak-anak yang tidak
dianggap pintar atau di cap bodoh juga perlu diurusi. Menjawab
tantangan tersebut, Prof. Yohanes Surya berkata bahwa
“sebenarnya tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak
yang belum menemukan guru dan metode yang tepat”.

Ingin membuktikan jawabannya, Prof. Yohanes pergi ke Papua


menghadap Gubernur Papua. Beliau berkata ke Gubernur Papua,

44
“carikan saya siswa yang paling bodoh di Papua dan akan saya
didik menjadi juara Matematika”. Gubernur Papua tentu saja
sangat menyambut gembira tawaran yang diberikan Prof.
Yohanes, dengan mencari 14 siswa terbodoh yang akan dididik
Prof. Yohanes Surya.

Banyak di antara anak-anak Papua yang paling bodoh yang


dipilih Sang Gubernur berasal dari kampung terpencil yang
bahkan penduduk kampung tersebut masih menggunakan
koteka. Bahkan, saking semangatnya Gubernur Papua
menyambut niat baik kepada Prof. Yohanes, sang Gubernur
mencarikan murid terbodoh yang salah satunya adalah siswa
kelas dua Sekolah Dasar yang selama empat tahun tidak naik
kelas. Prof. Yohanes juga bercerita pertama kali mengajar
siswa-siswa yang dianggap bodoh, penjumlahan tiga ditambah
lima saja harus dijumlahkan dengan sempoa.

Melalui Yohanes Surya Institute, siswa-siswa yang dicap bodoh


tadi kemudian dididik. Setelah enam bulan mengikuti
pendidikan, anak-anak tadi sudah menguasai mata pelajaran dari
kelas 1 sd 6 SD. Setelah empat tahun menjalani pendidikan di
Yohanes Surya Intitute, di tahun 2011 mereka diberikan
kesempatan untuk mengikuti perlombaan Sains Matematika se
Asia. Hasilnya sungguh membanggakan, mereka berhasil
merebut emas, perak dan perunggu.

Saking berhasilnya program pendidikan Yohanes Surya Institute


untuk anak-anak Papua ini, mereka hampir selalu menyapu
penghargaan di lomba-lomba sains. Sampai-sampai Prof.
Yahanes Surya bercerita saat ada lomba Sains di Malang, beliau
mendengar ada anak Jakarta yang menceletuk, “yah ada anak
Papua lagi, pasti kalah deh”. Akhirnya, beliau memang berhasil
membuktikan perkataannya, “Tidak Ada Siswa yang Bodoh,
yang Ada Hanyalah Siswa yang Belum Menemukan Guru dan
Metode Belajar yang tepat”.

45
Memperkuat quote yang disampaikan Prof. Yohanes Suryo,
bukankah banyak tokoh-tokoh dunia yang sebenarnya punya
perjalanan hidup sebagai orang yang dicap sebagai siswa bodoh.
Salah satunya adalah Adam Khoo yang berasal dari Singapura.

Saat masih kelas empat SD, Adam Khoo pernah tidak naik kelas
dan dikeluarkan dari sekolah. Dia pun masuk ke SD terburuk di
Singapura. Ketika akan masuk SMP, Adam Khoo ditolah oleh
enam SMP terbaik di Singapura, sehingga membuat diri nya
bersekolah lagi di SMP terburuk di Singapura.

Apa yang terjadi berikutnya? Apakah Adam Khoo menjadi


people dengan kelompok dead wood (low potency & low
performance). Kehidupannya berubah 180 derajat, saat berusia
26 tahun, Adam Khoo sudah memiliki bisnis dengan total omset
sebesar $ 20 Juta per tahun. Adam Khoo juga mematok bayaran
$10.000/jam untuk tiap training yang mengundang dirinya. Dan
siswa terbodoh tadi juga menjadi consultant dengan dengan
klien para manager dan top manager perusahan di Singapura.

Point Penting : Perusahaan perlu memiliki


mind set bahwa setiap orang memiliki
potency untuk menjadi seorang talent.

Dengan memberikan support external


menyediakan metode belajar dan guru yang
tepat, potency tersebut akan semakin mudah
maujud menjadi competency

46
47
SOURCING DAN
IDENTIFIKASI TALENT

Garbage In – Garbage Out

“Jika yang masuk sampah, yang keluar juga sampah”


(Anonim)

48
2
Sourching dan Identifikasi Talent
Gargabe in – Garbage Out (Anonim)

Jika yang masuk sampah maka yang keluar juga sampah.


Dengan bahasa lain, jika salah memilih talent, maka bukan nya
performance perusahaan yang semakin baik, namun malah
semakin hancur. Alangkah sayang, jika perusahaan sudah
menginvestasikan banyak hal untuk mendevelop talent, namun
sayang nya investasi tersebut tidak tepat sasaran. Landasan ini
yang membuat sourcing dan identifikasi seorang talent menjadi
penting.

Tentunya mengidentifikasi sesuatu untuk dikategorikan masuk


kekelompok tertentu membutuhkan ciri-ciri atau persyaratan
tertentu. Di chapter satu, persyaratan atau ciri-ciri seorang
karyawan bisa masuk ke dalam sembilan kelompok yang
berbeda-beda sudah kita bahas. Apalagi, dengan bahasan
mengenai ciri atau persyaratan seorang talent sudah dibahas
dengan lebih dalam. Dimana secara umum seorang karyawam
dikatakan sebagai seorang talent jika memiliki dua hal, high
performance dan high potential. Agar bisa mengubah high
potential menjadi high performance maka karyawan harus
memiliki soft competency (character) dan hard competency atau
keahlian. Dan agar bisa merubah high potential menjadi
competency maka talent membutuhkan motivasi berupa passion.

Setelah kita mengetahui persyaratan untuk mengkategorikan


karyawan menjadi talent, maka fokus berikutnya adalah
membuat sistem untuk mensourching dan mengidentifikasi
talent. Ada dua kata kunci utama dari sourching dan identifikasi,
kata kunci pertama adalah sourcing dan kata kunci kedua

49
identifikasi. Kedua nya akan diperkenalkan terlebih dahulu,
kemudian akan kita bahas good practice nya di artikel
selanjutnya.

Sourching

Sourcing adalah tahap mencari dan mengumpulkan orang dan


data. Secara umum ada dua system sourcing (mencari) talent
dua yaitu internal recruitment dan exsternal rcuitment.

Internal recruitment berarti perusahaan mencari talent dari


internal perusahaan atau karyawan-karyawan yang sudah ada
diperusahaan. Ada beberapa kelebihan dari metode recruitment
internal, kelebihan pertama adalah orang nya sudah tersedia.
HRD tidak perlu lagi menggaet orang dari luar perusahaan yang
belum tentu juga orang yang ingin digaet tersedia di pasar.

Kelebihan kedua, orang-orang nya juga sudah familiar dengan


company value atau budaya kerja perusahaan. Masih ingat salah
satu competency yang perlu dimiliki talent adalah soft
competency, dimana soft competency tersebut bisa
dikembangkan dari company value. Dengan sudah familiar nya
talent yang berasal dari internal perusahaan menjadikan dengan
company value, paling tidak tahap pengembangan mereka tidak
dimulai dari basic.

Kelebihan ketiga, investasi yang dikeluarkan untuk mencari


dan mengidentifikasi lebih sedikit dibanding exsternal
recruitment. Perusahaan perlu mengeluarkan dana yang lumayan
cukup besar, saat recruitment atau sourching dilakukan ke luar
perusahaan. Selain biaya iklan, biaya traveling recruiter juga
memakan biaya yang tidak sedikit. Sebaliknya, jika recruitment
atau sourching dilakukan di dalam perusahaan sendiri, biaya
iklan dan traveling recruiter bisa ditekan seminimal mungkin.

50
Kelebihan keempat, Internal recruitment juga bisa menjadi
tool untuk memotivasi karyawan. Dengan adanya recruitment
internal maka karyawan akan berlomba-lomba untuk
menunjukkan performance terbaiknya supaya bisa
diidentifikasikan sebagai talent.

Seperti apapun yang ada di dunia, segala hal selain mempunyai


kelebihan juga mempunyai kelemahan begitu juga dengan
metode internal recruitment. Kelemahan metode ini terletak
pada orang yang berhasil dilacak dan ditentukan sebagai talent,
kelemahan pertama adalah investasi untuk mendevelop
competency nya. Kedua berhubung talent yang berhasil dilacak
adalah karyawan perusahaan dan sudah terpola dengan cara
kerja perusahaan bisa jadi ide kreaktif untuk mengembangkan
perusahaan kurang terekpos.

Selain metode internal recruitment, ada juga metode exsternal


recruitment. Metode ini berarti perusahaan mencari talent dari
merekrut talent dari perusahaan tetangga. Seperti halnya metode
internal recruitment, metode external recruitment juga memiliki
kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan pertama dari external recruitment adalah


perusahaan tidak perlu lagi melakukan development atas
competency talent. Kelebihan kedua para talent tersebut
mempunyai sudut pandang baru untuk mengimprove area
kerjanya. Kekurangannya, biasanya perusahaan harus
mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk untuk
menghijack talent-talent, kekurangan kedua adalah masalah
budaya organisasi, belum tentu talent yang dibajak memiliki
kesamaan budaya dengan perusahaan.

Selain metode internal dan exsternal recruitment, ada juga


recruitment dengan semi internal dan exsternal. Salah satu
bentuk recruitment model ini yang sangat familiar dengan kita

51
adalah recruitment untuk para future leader dari fresh graduate
yang sering kali diberi nama management trainee. Sifat
exsternal recruitment dari model ini adalah orang yang direcruit
merupakan orang diluar perusahaan. Setelah fresh graduate
direkrut, perusahaan akan memberikan program development
dalam waktu tertentu. Setelah masa trainee nya habis,
perusahaan kemudian melakukan recruitment internal dengan
sourching para fresh graduate tersebut.

Tentu saja metode recruitment semi internal-exsternal ni juga


memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode semi
internal-exsternal adalah perusahaan bisa mendapatkan talent
dengan price yang lebih murah. Perusahaan juga bisa lebih
mudah memdevelop talent fresh graduate ini sesuai dengan
value perusahaan. Sedangkan kelemah nya, dengan recruitment
semi internal-exsternal ini perusahaan harus menyisihkan exstra
time untuk mendevelop talent, dan perkara mendevelop talent
juga bukan barang yang murah.

Dari kelebihan dan kekurangan ketiga model tersebut, semuanya


kemudian dikembalikan ke perusahaan mana yang sesuai
dengan kondisi perusahaan. Saat perusahaan memiliki system
development yang baik untuk mendevelop talent maka lebih
prepare untuk merekomendasikan internal recruitment dan semi
internal-exsternal recruitment. Namun, jika system development
nya belum terlalu kuat maka lebih baik merekrut talent dari
exsternal perusahaan sambil memperbaiki system development
di perusahaan.

Identifikasi

Proses sourcing memang selesai saat perusahaan sudah


mengumpulkan orang dan data nya. Dan di saat proses tersebut
selesai, tahap berikutnya untuk mengidentifikasi orang dan data
yang dikumpulkan mana yang termasuk kategori talent dan

52
mana yang bukan. Patokan pengkategorian orang nya tentunya
didasari dari potency – competency – performance.

Cara mengidentifikasi potential – competency – performance


tentu saja memiliki tool nya masing-masing. Tool utama untuk
mengidentifikasi potency adalah tes psikologi. Sedangkan
competency bisa diukur melalui metode interview yang bernama
behavior event interview, atau dengan knowledge dan skill test,
dan dengan focus group discussion. Unsur ketiga, performance
bisa dilihat dari hasil penilaian karya atau performance
appraisal.

System mengidentifikasi ataupun tool untuk mengidentifkasi


secara lebih detail good practice nya akan dibahas pada artikel-
artikel berikutnya. Berikut adalah indek artikel-artikel tersebut :

53
54
PERFORMANCE APPRAISAL
REDEFINE

Setiap karyawan di dalam perusahaan sudah pasti memiliki


potensi untuk menjadi talent. Tentu saja potensi tersebut hanya
akan tinggal potensi saat karyawan tidak memberdayakan diri
sendiri (memotivasi diri) agar menjadikan potensi menjadi
competency, dan competency menjadi performance. Apalagi jika
ditambah tidak adanya support external dari perusahaan untuk
memfasilitasi karyawan mengubah potensi.

Salah satu support yang bisa diberikan oleh perusahaan adalah


dengan membuat sistem performance management atau
pengukuran performance karyawan. Tujuannya adalah
memotivasi karyawan untuk mencapai standar. Saat orang
bekerja tidak diberikan target performance, biasanya orang
cenderung lalai dalam bekerja. Sebaliknya, saat seseorang
diberikan target performance, maka orang akan berusaha untuk
bisa mencapai target tersebut. Sehingga potensi yang terpendam
dipaksa untuk keluar menjadi competency agar target
performance bisa tercapai.

Survey yang dilakukan American Management Association


membuktikan hal tersebut. Sebanyak 85% responden setuju
bahwa, kegagalan mencapai kinerja yang optimal disebabkan
oleh kegagalan menetapkan formulasi sasaran utama yang sesuai
dngan kinerja yang seharusnya diukur. Sehingga penetapan
ukuran kinerja yang tepat sangat penting agar pencapaian
kinerja dapat optimal.

Tentu saja saat membuat target performance ada hal-hal yang


perlu diperhatikan. Seharusnya target performance tersebut tidak
hanya menjadi target team, namun juga ada target individu. Jika

55
semua target hanya target team saja maka bisa jadi ada
karyawan dengan kategori dead wood yang pasif mengejar
target dan menggantungkan target pada anggota team lain.
Sebaliknya saat target performance hanya dibuat sebagai target
individual saja, bisa jadi karyawan menjadi pekerja individualis
tanpa mau bekerjasama dengan anggota team lain.

Proporsi antara target team dan target individu sangat tergantung


jabatan dan strategi perusahaan. Beberapa jenis pekerjaan dan
posisi tentunya membutuhkan target performance team yang
lebih besar. Dan dibeberapa posisi lain membutuhkan target
performance individu yang lebih banyak. Proporsinya bisa jadi
80 : 20, atau 70 : 30, atau sebaliknya.

Hal lain yang perlu diperhatikan saat menyusun target


performance adalah kesesuaian target performance dengan up
date job description, linked antara individual performance
appraisal satu dengan key performance indicator department.
Tiga hal tadi menjadi sesuatu yang mendasar untuk dilihat ulang
oleh HR. Kesalahan mendesign performance appraisal bisa
berakibat membuat rendahnya performance perusahaan dan
salah mengidentifikasi talent.

Balance Scorecard biasanya digunakan oleh perusahaan untuk


menjawab tantangan tersebut. Balance Scorecard dikembangkan
oleh Kaplan dan Norton. Selain memiliki kelebihan untuk
menyelaraskan target performance dengan dengan job des,
linked antara individual performance dengan department
performance, Balance Scorecard juga memiliki kelebihan pada
keseimbangan perspektif nya. Perusahaan tidak hanya berfokus
pada pencapaian jangka pendek dengan memikirkan uang atau
keuntungan yang didapat, namun perusahaan yang
menggunakan Balance Scorecard juga mempertimbangkan
perspektif pencapaian jangka pendek dan panjang dalam satu
waktu.

56
Keempat perspektif Balance Scorecard tersebut adalah financial
perspective, costumer perspective, internal process perspective,
dan learning development perspective. Pencapaian jangka
panjang dalam perspektif Balance Scorecard terlihat dari
perspektif customer, internal process perspective, dan learning
development perspective. Sedangkan pencapaian jangka panjang
ditunjukan dengan perspektif financial.

Sederhananya, jika sebuah perusahaan hanya perfokus pada


financial saja tanpa memperhatikan customer, bisa jadi
perusahaan customer akan kecewa dan tidak kembali lagi. Atau
perusahaan hanya mencari untung dan memberikan pelayanan
yang bagus kepada customer, namun proses di perusahaannya
tidak effective dan efisien, juga tentunya akan berakibat tidak
baik, keuntungan yang didapat perusahaan akan berkurang.
Sehingga perspektif internal process juga perlu diperhatikan.
Dan begitu juga dengan perspektif learning and development,
karena untuk melayani customer dengan baik, dan untuk
membuat proses kerja efektif dan efisien tentunya butuh orang
yang selalu diupdate dan dikembangkan kompetensi nya.
Keseimbangan keempat perspektif tadi lah yang membuat
Balance Scorecard bernama Balance Scorecard.

Membuat Target Performance dengan Balance Scorecard

Saat kita ingin membuat performance


indicator di finance perspective ada dua
pilihan eleman yang bisa dipilih yaitu,
efficiency Cost, atau getting benefit
(menghasilkan profit). Contoh seorang
marketing. Karena seorang marketing
adalah penghasil uang bagi perusahaan
maka elemen di financial persfective
yang cocok untuk marketing adalah
menghasilkan profit. Sehingga contoh

57
performance indicator nya bisa jadi adalah: increase benefit 5%
dari tahun kemarin. Berbeda dengan marketing, seorang HR,
tentunya lebih tepat menggunakan financial perspektif berupa
efficiency cost, maka contoh performance indicator nya adalah
HR Cost sesuai budget yang telah direncanakan.

Perspective Balance Scorecard ke dua,


yaitu Costumer. Perpective. Balance
Scorecard ke dua ini, mempunyai beberapa
elemen, yaitu perolehan pelanggan,
profitabilitas pelanggan, dan kepuasan
pelanggan. Contoh performance indicator
bagi seorang HR adalah sebagai berikut.
Seorang HR tentu pelanggannya sudah
jelas, yaitu seluruh karyawan. Sehingga
pilihan elemen di costumer persfective
tentu saja bukan perolahan pelanggan
ataupun profitabilitas pelanggan, namun
kepuasan pelanggan. Ingat bahwa
performance indicator base on Balance Scorecard harus saling
terkait. Sehingga jika :

Financial perspective : HR Cost sesuai budget yang telah


direncanakan
Costumer perspective : Pekerjaan seorang HR apa yang bisa
mengeluarkan uang tetap sesuai
budget namun costumer (karyawan)
bisa puas?
Pekerjaan itu bisa jadi adalah tidak ada kekurangan bayar
kepada costumer (karyawan) atau pembayaran tepat waktu ke
costumer (karyawan).
Sehingga performance indicator seorang HR yang link
dengan financial perspective adalah “Tidak ada complaine
kekurangan atau kelebihan bayar dari karyawan” atau
“Pembayaran gaji tiap bulan tepat di tanggal 1”

58
Perspective ketiga dari balance scorecard yang berupa internal
proses punya elemen berupa mutu dan keandalan produk,
kecepatan memenuhi kebutuhan pelanggan, serta kecepatan
merespon complain pelanggan. Dari ketiga elemen tersebut
seorang HR bisa menggunakan semua elemen tersebut untuk
membuat indicator performance appraisal, contoh saja kita
menggunakan elemen mutu dan keandalan produk. Melanjutkan
contoh key performance indicator untuk seorang HR tadi, ingat
bahwa antar perpective harus saling terkait maka :

Financial : HR Cost sesuai budget yang telah


perspective direncanakan
Costumer : Tidak ada complaine kekurangan atau
perspective kelebihan bayar dari karyawan
Pembayaran gaji tiap bulan tepat di
tanggal 1
Internal : Supaya tidak ada complaine kekurangan
proccess gaji dan pembayaran bisa tepat waktu,
perspective proses apa yang harus dilakukan HR
untuk menjaga mutu pelayanan tidak ada
complaine dan pembayaran tepat waktu?
Jawabannya bisa jadi beraneka ragam. Mungkin salah satu
cara nya adalah mengikuti SOP penggajian yang ada
Sehingga performance indicator seorang HR yang link
dengan costumer perspective adalah “Proses penggajian
100% sesuai SOP”

Artinya jika SOP penggajian bisa berjalan 100%, maka tidak


akan ada error dalam penggajian, jika tidak ada error maka tidak
aka nada complaine dari karyawan dan penggajian bisa tepat
waktu. Jika tidak ada complaine kekurangan atau kelebihan
bayar dipenggajian maka HR Cost base on benefit

Selain ketiga perspective balance scorecard di atas, masih ada


satu perspective terakhir yaitu learning and development.

59
Elemen di perspective terakhir ini ada dua pilihan yaitu
development people dan development organization. Anggap saja
kita mau developt people nya. Ingat bahwa indicator
performance nya harus selalu berhubungan dengan indicator
performance tiga perspective di atasnya. Masih menggunakan
contoh seorang HR, maka :

Financial : HR Cost sesuai budget yang telah


perspective direncanakan
Costumer : Tidak ada complaine kekurangan bayar
perspective dari karyawan
Pembayaran gaji tiap bulan tepat di
tanggal 1
Internal : Proses penggajian 100% sesuai SOP
proccess
perspective
Learning and : Pengembangan orang seperti apa yang
development dibutuhkan supaya seorang HR mampu
perspective melakukan proses penggajian yang sesuai
dengan SOP penggajian?

Jawabannya bisa jadi beraneka ragam. Mungkin salah satu


cara nya adalah dengan memberikan training tentang SOP
penggajian yang ada
Sehingga performance indicator seorang HR yang link
dengan internal proccess perspective adalah “Semua team
payroll HR sudah mengikuti training SOP Penggajian
dan Lulus training”

Sehingga jika kita kumpulkan semua indicator performance


untuk seorang HR di atas maka akan di dapat table sebagai
berikut:

60
Dari contoh di atas jika kita gabungkan akan menjadi KPI yang
saling berhubungan. Jika semua team payroll tersosialisasi,
paham dan bisa menggunaan SOP, maka proses penggajian
akan 100% sesuai dengan SOP. Jika SOP payroll dilaksanakan
100% maka tidak ada kesalahan pembayaran gaji, jika tidak
ada kesalahan bayar gaji maka HR Cost akan base on budget.

Point Penting : Perusahaan perlu membuat


sistem untuk mengubah potency menjadi
competency, dan competency menjadi
performance.
Salah satu sistem yang bisa dibuat
perusahaan untuk memunculkan hal tersebut
adalah dengan membuat performance
management system dengan Balance
Scorecard
Perspective Balance Scorecard diantaranya
financial, customer, internal process, &
Learning & Development.

61
DEFINE YOUR TARGET

“Bagaimana menentukan target? Dari keempat perpective


apakah bobotnya sama-sama 25%, financial 25%, customer
25%, internal process 25% dan learning and development 25%?
Karena talent saya di area marketing, ujung tombak mencari
uang, boleh tidak bobot nilai terbesar saya targetkan di financial
dan customer?

Pertanyaan tersebut pastilah menjadi pertanyaan berikutnya


setelah perusahaan menetapkan indicator performance
appraisal. Contohnya dengan indicator performance “HR cost
sesuai dengan budget yang direncanakan”, berapa budget yang
akan ditargetkan?

Jika gambarkan dalam sebuah form, pertanyaan tersebut


ditanyakan untuk mengisi kolom indicator performance dan
weight.

Indicator Performance
N BSC SCORE *
Weight SCORE
o Perpective WEIGHT
90% 100% 110%

Kita akan membahasa satu persatu, mulai dari kolom indicator


performance terlebih dahulu kemudian dilanjutkan ke weight
atau bobot. Memang challenge berikutnya setelah perusahaan
membuat indicator performance adalah menentukan berapa
target nya. Jika perusahaan menargetkan mendapatkan laba,

62
berapa laba yang harus ditargetkan? Jika perusahaan
menargetkan mendapat customer baru, berapa banyak yang
ditargetkan? Tujuan pertanyaan ini tentunya agar target yang
dibuat bisa memotivasi orang untuk achieve target tersebut.

Tujuan lain nya adalah membuat target tersebut memang


realistis dicapai. Bayangkan saat target tersebut tidak realistis
dicapai, karyawan yang mendapat target tersebut sudah
terdemotivasi terlebih dahulu. Perusahaan yang over expectation
pun akan ditinggal para stakeholder pemegang saham, karena
kinerjanya yang tidak mencapai target. Padahal kesalahannya
bukan pada performance perusahaan yang buruk, namun pada
penentukan target yang over expectation.

Cara pertama untuk menentukan target yang diberikan kepada


talent adalah dengan benchmarks, baik external ataupun
internal benchmark. External benchmarch berarti perusahaan
melakukan benchmark kepada perusahaan lain sejenis.
Sedangkan internal benchmark berarti perusahaan melakukan
bechmarking di dengan perusahaan satu holding atau satu group.
Saat ini banyak asosiasi yang menaungi industri dengan core
business yang sama, seperti Asosiasi Semen Indonesia yang
menaungi semen, ada juga Organda yang menaungi industri
transportasi, dan seterusnya. Dengan terlibat di asosiasi seperti
ini akan memudahkan perusahaan untuk melakukan benchmark.

63
Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan dialogue antara
superior dan team nya. Tentu saja dialog yang dimaksud bukan
debat kusir namun saling membawa data dan secara objective
menganalisa berapa target yang bisa ditetapkan. Hasil berdiskusi
antara superior dan team nya melihat resources yang ada, load
kerja yang akan dilakukan, dan capability yang dimiliki akan
membuat tingkat objective nya semakin besar. James Surowieci
dalam bukunya The Wisdom of Crowds menulis tentang Francis
Galton, orang yang menerapkan metode statistic untuk
menunjukan bahwa kelompok yang terdiri dari orang-orang
dengan kecerdasan berbeda-beda sering kali menunjukan kinerja
yang lebih baik dari pada individu yang bekerja sendiri-sendiri.

Ketika 787 penduduk lokal yang mengunjungi sebuah


peternakan dan diminta memperkirakan berat sapi jantan yang
akan disembelih dan dikuliti ternyata hasilnya hampir 90%
benar. Francis Galton menghitung rata-rata prediksi penduduk
setempat, yaitu sekitar 542 kilogram dan ternyata berat sapi
jantan itu 543 kilogram.

Dengan melibatkan subordinat untuk menetapkan target juga


akan meningkatkan involvement dan tanggung jawab. “La wong
saya yang membuat target untuk diri saya sendiri, kok saya mau
melanggar”, begitu kira-kira dialog internal yang terjadi pada
diri karyawan. Bandingkan dengan karyawan yang tidak
dilibatkan dalam membuat target, tentu saja komitmen nya akan
berbeda.

Cara ketiga yang juga bisa dilakukan untuk menetapkan target


adalah dengan melihat opportunity. Tak jarang ada perusahaan
yang memiliki karyawan dengan posisi Market Intellegence
yang salah satu tugasnya adalah melihat dan menganalisa micro
ataupun macro economy untuk menentukan pertumbuhan atau
opportunity yang bisa diambil perusahaan. Ada juga perusahaan

64
yang menghire konsultan untuk membantu mereka menentukan
opportuny yang bisa diambil perusahaan.

Cara keempat yang bisa dilakukan adalah dengan melihat


historical performance. Perusahaan bisa mentract performance
yang sudah dicapai kemudian menjadikan tract performance
tersebut untuk menjadi dasar penetapan target. Seperti filosofi
semakin hari semakin baik, maka patokan target yang dibuat
pun juga harus semakin baik. Kalau historical performance
untuk melayani customer dahulu adalah satu jam, maka target
nya bisa dibikin lebih ketat menjadi 45 menit contohnya.

Oke terjawab sudah pertanyaan pertama, “dari mana target


diperoleh?” Bagaimana dengan pertanyaan kedua, “katanya kan
balance scorecard, apakah boleh seandainya saya memberikan
bobot penilaian yang lebih besar pada variable scorecard yang
lain?”

Tentu saja jawab nya boleh, dengan mengetahui arah strategi


perusahaan, Anda akan tahu corecard mana yang perlu diberi
bobot lebih besar. Analoginya, seorang mahasiswa jurusan
Bahasa Inggris yang mengambil empat mata kuliah, statistic,
bahasa Indonesia, gramer, dan penelitian. Keempat-empatnya
harus lulus semua, namun karena dia mahasiswa Bahasa Inggris
maka jurusan Bahasa Indonesia jumlah bobot SKS nya lebih
kecil dibandingkan SKS Gramer, dan seterusnya.

Begitu juga dengan arah strategi perusahaan, bisa jadi di tahun


ini arah strategi perusahaan adalah inovasi. Semua karyawan
diminta untuk mensukseskan strategi perusahaan tersebut. Maka
bisa saja bobot scorecard di variable internal process menjadi
lebih tinggi dibandingkan variable scorecard lain.

Atau bisa jadi strategi perusahaan di tahun ini adalah customer


centric. Untuk mendukung arah strategi perusahaan tersebut

65
maka scorecard variable customer menjadi memiliki bobot
yang lebih tinggi dibandingkan dengan variable scorecard lain.

Selain melihat arah strategi perusahaan, penentuan bobot juga


bisa mempertimbangkan core pekerjaan talent. Beberapa posisi
memang memiliki core untuk inovasi (internal process), seperti
Business Development, posisi lain core nya adalah financial,
seperti Sales ataupun Marketing. Ada juga pekerjaan yang core
nya adalah learning and development seperti posisi Leadership
and Development Trainer, atau Consultant. Dan di posisi lain
memiliki core di variable customer, seperti posisi Customer
Center. Dengan memperhatikan core pekerjaan, Anda juga bisa
menentukan variable scorecard mana yang perlu diberi bobot
lebih besar dari pada yang lain.

Point Penting : Penentuan target


performance bisa dilakukan dengan
menggunakan empat cara, yaitu :
1. Internal atau external Benchmark
2. Team dialogue
3. Size of opportunity
4. Historical performance
Sedangkan untuk menentukan bobot target
performance bisa dilakukan dengan melihat
strategi perusahaan dan atau core pekerjaan

66
PYGMALION EFFECT

Terkisahlah di seorang pemahat bernama Pygmalion, Sebagai


seorang ahli patung, keahlian Pygmalion diakui semua orang,
hingga pada akhirnya Pygmalion menciptakan masterpiece
berupa patung seorang wanita cantik yang diberi nama Galatea.
Saking cantiknya, Pygmalion pun jatuh cinta kepada patung
tesebut.Galatea dibawa kemana saja Pygmalion pergi, bahkan
Galatea juga diperlakukan layaknya seorang manusia.

Saat perayaan pemujaan Dewi Athena, Pygmalion berdoa agar


diberi jodoh seorang wanita cantik. Di dalam hatinya,
sebenarnya Pygmalion berdoa agar wanita cantik itu adalah
Galatea. Keesokan harinya, Pygmalion terbangun dari tidurnya
dan mendapati Galatea menjadi manusia. Pygmalion pun
menikahi patung yang telah menjadi wanita cantik tersebut, dan
akhirnya mereka hidup happily ever after.

Cerita tadi pada tahun 1957 menginspirasi Robert Merton untuk


membuat sebuah penelitian yang melibatkan seorang guru dan
siswa nya. Dibuatlah dua buah kelompok, kelompok experiment
dan kelompok kontrol. Siswa di kelompok experiment, dipilih
dari siswa yang memiliki IQ biasa-biasa saja, namun saat
mereka dijadikan kelompok experiment, mereka diberi tahu
bahwa mereka adalah kelompok elit yang dikelompokan dan
akan diajar oleh guru-guru ellit (yang sebenarnya juga guru yang
biasa-biasa saja). Mereka juga diberi kepercayaan dan harapan,
bahwa mereka sangat bisa mengalahkan kelompok lain yang
sebenarnya memiliki IQ yang lebih tinggi dari mereka.

Hasil penelitian Robert Merton menunjukkan hasil seperti cerita


Pygmalion, yaitu saat ekspektasi kita positif maka akan
berdampak positif. Siswa-siswa experiment yang awalnya hanya

67
siswa dengan IQ yang biasa-biasa saja atau average ternyata
mampu mengalahkan siswa dengan IQ diatas mereka. Dengan
kata lain saat seseorang diberi kepercayaan untuk menunjukan
performance terbaik, maka orang akan menunjukan
performance yang terbaik.

Hasil penelitian Robert Melton ini kemudian menjadi dasar para


leader dalam menentukan target performance talent nya.
Kadang kala para leader memberikan target yang seperti tidak
masuk akal bagi para talent. Tujuannya tentu saja adalah
menarik potensi Sang Talent.

Tuhan memang sudah menitipkan banyak potensi kepada


manusia. Salah satunya adalah potensi otak. Sel-sel otak
manusia tersebut dihubungkan satu sama lain oleh dendrit atau
cabang-cabang sel mirip akar dalam tumbuhan (perhatikan
gambar diatas). Informasi-informasi pengetahuan dan keahlihan
yang didapatkan seseorang akan disimpan pada myelin yang ada
di dendrit (warna kuning di dendrit). Semakin tebal myelin yang
dimiliki maka akan semakin ahli lah seseorang melakukan
pekerjaan tertentu. Dengan kata lain, semakin tebal myelin juga
berarti semakin banyak potensi yang berubah menjadi

68
pengetahuan dan keahlihan. Dan kita tahu kedua hal tersebut
(pengetahuan dan keahlian) adalah salah satu syarat untuk
menunjukan performance terbaik.

Dengan memberikan target yang melebihi keahlihan dan


pengetahuan yang dimiliki talent sebenarnya memiliki tujuan
untuk semakin mempertebal myelin tersebut. Karena memang
myelin hanya bisa dipertebal dengan latihan yang intensif. Dan
ibarat seorang atlet Binaraga yang berlatih, bukahkah mereka
berlatih dari angkat beban 20 Kg kemudian menantang diri
untuk menambah beban menjadi 30 Kg dan seterusnya. Analogi
yang sama digunakan untuk mempertebal myelin, dengan
memberikan target melebihi kemampuan dan keahlian talent
maka talent sebenarnya sedang ditarik keluar potensinya untuk
menjadi lebih ahli.

Point Penting : Pygmalion Effect


membuktikan bahwa kepercayaan seorang
leader dengan memberikan target yang
besar kepada talent akan menghasilkan high
performance
Menetapkan target yang besar juga akan
bermanfaat menarik keluar potensi talent

69
70
GAMIFICATION

Mengidentifikasi karyawan dan dilanjutkan dengan


mengelokpokan karyawan pada sembilan jenis karyawan bisa
dilakukan dengan melihat hasil performance appraisal atau
penilaian karya. Bagi perusahaan-perusahaan yang sudah
familiar dan melakukan proses performance appraisal secara
rutin, tentunya sudah merasakan manfaatnya. Bahkan
dibeberapa perusahaan, performance appraisal dilakukan tiap
enam bulan sekali.

Menariknya, hampir di semua perusahaan yang mengaplikasikan


performance appraisal menemukan bahwa hasil nilai karyawan
berada pada standar baik, baik sekali, dan istimewa. Sangat
jarang sekali ada karyawan yang nilainya cukup atau jelek.
Walaupun nilai performance appraisal nya bagus, namun di
satu sisi performance secara organisasi tidak memperlihatkan
hal yang sejalan. Ada apa ini sebenarnya?

Padahal performance appraisal sudah di cascading (diturunkan)


dengan baik melalui Balance Scorecard. Tapi kenapa masih saja
terjadi kasus pergerakan performance ada edi area bagus dan
sangat bagus. Apa yang menjadi penyebab sebenarnya?

Bisa jadi memang penyebabnya adalah proses cascading yang


tidak tepat. Atau bisa jadi cascading nya sudah tepat, namun
orang-orang yang menjalankan sistem performance management
nya lah yang menjadi penyebab tidak berjalannya sistem. Sebaik
apapun sistem tentunya tidak akan berguna jika tidak
diaplikasikan dengan baik. Analoginya, mobil super cepat tidak
akan menunjukan kecepatan terbaiknya, saat tidak dikendarai
oleh driver yang baik.

71
Dari sisi orang yang menjalankan sistem performance
management, penyebab fenomena ini bisa berasal dari atasan
yang tidak mempunyai data actual performance anak buahnya,
atasan ingin dilihat pemurah oleh anak buah, atau bisa juga dari
anak buah terlalu persuasif dalam proses coaching PK.

Berbagai teknik analisa data dimunculkan untuk mengurai


keruwetan penilaian ini. Salah satunya adalah, Teknik analisa
"Patokan Acuan Norma" atau lebih familiar dikenal dengan
kurva normal. Teknik analisa ini membantu untuk mengurai dan
memposisikan ulang karyawan dalam kurva yang lebih normal.

Masih ingat di chapter pertama saya sempat menyinggung dari


sembilan kategori karyawan sebenarnya dapat dikelompokan
lagi menjadi lima kelompok. Persentase orang di tiap kelompok
adalah jumlah dari tiap orang di kurva normal. Sederhana nya
dengan menggunakan kurva normal, maka semua karyawan
dipaksa untuk masuk ke dalam kelima kelompok tersebut.
Contohnya di kelompok pertama, harus ada 2,5% karyawan
yang dimasukan ke dalam kategori ini. Perusahaan bisa saja
melihat 2,5% orang dengan nilai paling kecil.

Sayangnya tidak ada apapun di dunia ini yang sempurna.


Termasuk pendekatan kurva normal. Jika ada seorang leader
yang memang bisa membuktikan bahwa performance anggota
nya bagus, tetap saja harus dipaksa untuk memasukan anggota
team nya ke dalam lima kelompok tersebut. Dengan kata lain,
walaupun anggota team nya bagus, namun leader tetap dipaksa
harus memasukan satu orang sub ordinatnya ke kategori pertama
sebesar 2,5%. Sebaliknya, bisa jadi semua anggota team nya
adalah karyawan jenis death wood, tetap saja mau tidak mau
harus memasukan 2,5% anggota team nya sebagai karyawan
talent. Berasa ada yang salah bukan?

72
Kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi jika performance
karyawan tersebut terdata dengan baik, sehingga karyawan
dapat dinilai secara actual dan tidak perlu menggunakan
Patokan Acuan Norma lagi. Gamification, bisa jadi menjadi
sebuah solusi. Konsep ini adalah sebuah sistem kerja yang di
dalamnya terdapat sistem skoring yang setiap berkala di up date
sehingga semua orang bisa melihat.

Salah satu good practice yang pernah saya alami adalah dengan
rekan-rekan operator produksi. Tiap minggu, mereka
diperlihatkan hasil performance "Pay Load (jumlah muatan)
maupun ritasi (jumlah bolak-balik muatan)" oleh section
Engineering. Sehingga operator bisa memonitor performance
mereka sendiri.

Selain meningkatkan keakuratan data, konsep ini bisa membuat


karyawan termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya.
Walaupun tetap juga perlu diingat bahwa konsep gamification
yang bagus adalah yang bisa menimbulkan kompetisi antar grup,
bukan kompetisi individual. Jika perusahaan gagal membangun
sistem gamification yang mendorong kompetisi antar gorup,
maka sebenarnya perusahaan sedang menggali kuburannya
sendiri dengan secara tidak sengaja membuat karyawan
berusaha melakukan kecurangan untuk mencapai skor yang
tinggi.

Sepenting-pentingnya proses keakuratan pemberian nilai atas


performance karyawan, dan analisa data yang dilakukan,
sebenarnya masih ada satu proses lagi dalam penilaian
performance appraisal yang tidak boleh dilupakan, yaitu proses
coaching. Tanpa coaching nilai performance appraisal hanya
sekedar nilai saja.

Proses coaching performance appraisal yang bagus tentunya


harus menjadikan karyawan diposisi learner (coachee) dan

73
coach disaat yang bersamaan. Dengan menjadi coach berarti
karyawan berperan untuk mengemukakan gagasan–gagasan nya
supaya nilai performance berikutnya semakin baik. Sedangkan
saat menjadi coachee berarti, karyawan berperan untuk
menerima feedback dari atasannya terkait gagasan-gagasan yang
disampaikan. Dengan menjadi choacee, karyawan mendapat
sudut pandang baru dari luar untuk mengembangkan dirinya.
Dan saat menjadi coach, karyawan bisa berkomitmen terhadap
hasil coaching. Karena dia adalah coach bagi dirinya sendiri

Pencapaian dari target performance ini kemudian bisa


dikelompoknya menjadi tiga. Kelompok pertama adalah
kelompok yang memiliki low performance. Kelompok kedua
adalah kelompok dengan middle performance. Dan kelompok
ketiga adalah kelompok dengan high performance. Sekarang
Anda sudah memiliki data pertama untuk mengidentifikasi mana
karyawan Anda yang bisa dikategorikan sebagai talent.

Point Penting : Target performance yang


tidak dicascad dengan bagus akan
mendatangkan masalah
Target performance yang tercascad dengan
bagus tanpa didukung orang yang bagus
untuk menjalankan juga akan berakibat
masalah
Mengupdate dan membuat factual penilaian
dengan visual management akan menjamin
validitas data target performance dan
semakin memotivasi kinerja karyawan

74
BEHAVIORAL EVENT INTERVIEW

Setelah kita melihat hasil performance appraisal dari seorang


karyawan, dan kita sudah melakukan moderasi maka kita akan
menemukan karyawan dengan high performance. Singkatnya
saat ada karyawan yang memiliki nilai performance appraisal
sangat baik, maka kita sudah menemukan karyawan yang
memiliki salah satu syarat untuk disebut talent, yaitu memiliki
high performance. Melanjutkan process untuk sourcing and
identification talent untuk menemukan karyawan yang memiliki
syarat kedua high potential yang memiliki high competency bisa
dilakukan dengan melakukan asessment.

Bentuk assessment, untuk mengukut high potency bisa


dilakukan dengan psikotes. Sedangkan untuk mengukur
competency bisa dengan Interview Base On Competency atau
lebih dikenal dengan Behavioral Event Interview (BEI). BEI
mulai dikenal sebagai salah satu tools HRD ketika konsep
competency base mendapat tempat didunia bisnis. BEI
dikembangkan dari konsep investigasi dan introgasi intelejen
dan militer serta kepolisian dalam mengorek dan menggali
informasi strategis sesuai kebutuhan. Konsep ini kemudian
dibawa kedalam dunia bisnis dan HRD dengan memasukkan
unsur-unsur psikologi dan humanistik disesuaikan dengan
kondisi yang ada.

Teknik BEI ini sangat direkomendasikan dalam dunia seleksi


karyawan, competency assessment, performance potential
assessment (performance prediction), coaching maupun gap
skills and behavior analysis. Teknik ini bahkan diklaim mampu
menggali 70% competency yang dibutuhkan, dengan tingkat
validasi tertinggi dibandingkan teknik-teknik dan tes-tes yang

75
lain. Cuma memang kelemahan metode interview adalah
cenderung memakan waktu lama untuk menggali competency.

Teknik dasar BEI adalah structural interview, artinya interview


dilakukan secara sistematis untuk menggali competency calon
karyawan. Pengguna teknik ini menyebut garis panduan tersebut
dengan singkatan STAR. S nya merupakan singkatan dari
Situation, T nya dari kata Task, A nya dari Action dan R nya dari
Result.

Bentuk pertanyaan terarah dengan STAR tadi berarti dalam


menggali competency karyawan, pertanyaan dalam interview
selalu diarahkan ke dalam situation, task, action dan result yang
pernah dialami oleh calon karyawan. Dasar pemikiran nya
adalah perilaku yang pernah dilakukan di masa lalu diprediksi
akan dilakukan di masa kini dan masa depan. Sebagai contoh
jika di masa lalu seorang karyawan pernah bertemu dengan
situasi yang mengharuskannya melakukan problem solving, dan
karyawan berhasil memecahkan masalah tersebut, maka di masa
depan karyawan tersebut diprediksi akan melakukan hal yang
sama untuk memecahkan masalah dengan. Dengan hasil ini
maka assessor akan mengidentifikasi bahwa karyawan tersebut
memiliki competency berupa problem solving.

Pertanyaan yang mengarah pada Situation contohnya adalah


pernahkah Anda terlibat dalam project tertentu? Atau kalau
untuk seleksi fresh graduate contoh pertanyaannya, selama
Anda kuliah apakah Anda terlibat dalam organisasi kampus? Inti
pertanyaan di Situasi adalah menggali keterlibatan calon
karyawan dalam situasi tertentu. Sedangkan pertanyaan di Task
intinya adalah menggali job description calon karyawan
terhadap situasi yang pernah dialami. Contoh pertanyaan di Task
adalah, coba ceritakan tugas Anda dalam project yang
melibatkan Anda?

76
Panduan pertanyaan ketiga dari Behavioral Event Interview
adalah Action. Inti dari pernyataan Action ini adalah actual yang
dilakukan atas job description yang diberikan. Tujuannya adalah
mengecek, kesesuaian antara job description dengan actual yang
dilakukan. Contoh pertanyaan nya adalah, apakah ada kesulitan
dalam menjalankan job description atau tugas yang diberikan?
Baagaimana cara Anda menangani kendala yang muncul saat
Anda melaksanakan job description Anda? Coba ceritakan
bagaimana cara Anda melaksanakan job description yang
diberikan?

Dan panduan terakhir dari behavioral event interview adalah


Result. Inti pertanyaannya adalah mengecek hasil akhir dari
action yang dilakukan atas job description yang diberikan.
Contoh pertanyaannya adalah, bagaimana hasil akhir dari
project yang Anda lakukan? Apakah solusi pemecahan masalah
yang Anda utarakan tadi berhasil?

Semakin Anda ingin mendalami competency kandidat talent bisa


dilakukan dengan semakin memperdalam pertanyaan-
pertanyaan wawancara. Bahasa gampangnya adalah STAR di
dalam STAR. Contoh, ada pertanyaan tentang situasi. Ada calon
karyawan yang terlibat dalam situasi menjadi seorang
supervisor. Situasi nya bisa diperdalam lagi menjadi, sebagai
seorang supervisor, situasi apa yang paling buruk yang pernah
dialami. Semakin Anda berhasil melakukan deep interview
maka akan semakin kelihatan competency asli calon karyawan.
Mau tidak mau untuk ahli melakukan deep interview, Anda
harus sering berlatih dan menginterview banyak orang.

Dari hasil assessment menggunakan Behavior Event Interview,


perusahaan bisa memetakan, mana karyawan nya yang memiliki
competency yang low, middle, dan high. Hasil pemetaan
competency ini akan berguna untuk mengidentifikasi posisi
seorang karyawan. Contoh nya, ada karyawan yang memiliki

77
low performance, namun high potency. Perusahaan bisa
mengidentifikasi kenapa hal tersebut bisa terjadi, apa karena
competency nya atau karena motivasi nya.

Point Penting : Cara mengidentifikasi


competency bisa dilakukan dengan
Behavior Event Interview
Struktur pertanyaan Behavior Event
Interview disingkat STAR – Situation –
Task – Action - Result

78
FOCUS GROUP ACTIVITY

Tool assessment untuk mengases competency memang beragam.


Ada Behavior Event Interview dengan basis verbal, ujian tulis
atau praktek, da nada juga bentuk assessment competency
dengan basis observasi, yaitu Focus Group Discusion (FGD),
dan Focus Group Activity (FGA). Seperti basic awal Focus
Group Discussion yang mengandalkan obeservasi, Focus Group
Activity juga mengandalkan observasi untuk mengassess talent.

Pengembangan FGA didasari dari


waktu yang dibutuhkan untuk
pelaksanaan FGD yang cenderung
agak lama. Di sisi lain, FGD yang
menggunakan cara “diskusi” sebagai
tool seleksi, kadang kala tidak bisa
memperlihatkan calon karyawan
dengan tipikal pekerja. Dan kadang
kala, observer yang tidak jeli salah
memilih, bukan competency namun
terjebak dengan karyawan yang
pandai bicara.

FGA kemudian muncul untuk menjawab tantangan yang


diberikan FGD. Basis FGA ini adalah game atau simulasi out
bound yang didesign sedemikian rupa menyesuaikan dengan
tipikal pekerjaan yang ingin diisi. Tentunya untuk menggunakan
FGA yang perlu disiapkan pertama kali adalah kompetensi
jabatan yang ingin diisi. Kemudian dari kompetensi yang ada
didesign lah game atau aktifitas yang bisa memunculkan
perilaku sesuai kompetensi yang ingin diobservasi.

79
Dengan memberikan simulasi yang dibatasi oleh waktu dan
ditarget dengan goal tertentu akan memungkinkan karyawan
menunjukan competency asli nya, baik hard competency
maupun soft competency. Dengan keterbatasan waktu akan
terlihat sekali orang-orang yang suka memaksakan pendapat,
orang-orang yang bertindak sebagai follower, orang-orang yang
bertindak sebagai leader, etc. Sebagaimana teorinya Freud,
tekanan memunculkan perilaku sebenarnya.

Langkah per Selain mendesign bentuk aktivitas yang akan


dilakukan, jangan lupa juga untuk mendesign form observasi
nya. Tentunya form nya harus disesuaikan dengan kompetensi
yang akan diukur. Form tadi akan digunakan sebagai ukuran dan
panduan mengobservasi selama proses game berlangsung.
Jangan lupa juga untuk melakukan pencataan secara timely saat
pelaksanaan game berlangsung. Lebih baik lagi jika selama
pelaksanaan game didokumentasikan dengan video. Sehingga
bisa kita bisa melakukan pengamatan ulang terhadap perilaku-
perilaku yang mungkin terlewatkan saat observasi.

FGA ini bisa dikombinasikan dengan FGD. Setelah aktifitas


atau game dilakukan, trainee bisa ditantang untuk
mendiskusikan proses ataupun hasil aktivitas yang dilakukan.
Proses diskusi juga akan memperkuat hasil observasi kita saat
FGA berlangsung.

Kita bisa menggunakan konsep exsperiential learning circle


untuk dijadikan bahan diskusi. Aplikasi konsep tersebut adalah
dengan membuat pertanyaan kepada karyawan yang terlibat
aktifitas. Pertanyaan pertama, apa pengalaman menarik yang
terjadi selama aktifitas? Pertanyaan kedua, bagaimana
perasaannya saat melakukan game tadi? Pembelajaran apa yang
didapat dari game tadi? Dan yang terakhir ditutup dengan
pertanyaan, apa yang akan Anda lakukan dari hasil

80
pembelajaran tadi? Biarkan diskusi berkembang dan observasi
lah perilaku-perilaku yang muncul.

Semakin cocok hasil observasi dengan competency yang


dibutuhkan menandakan karyawan tersebut memiliki high
competency. Sebaliknya semakin hasil observasi menunjukan
banyak yang tidak cocok dengan competency yang dibutuhkan.
Dari hasil assessment menggunakan FGA, perusahaan bisa
memetakan, mana karyawan nya yang memiliki competency
yang low, middle, dan high. Seperti halnya Behavior Event
Interview, hasil pemetaan competency ini akan berguna untuk
mengidentifikasi posisi seorang karyawan. Contoh nya, ada
karyawan yang memiliki low performance, namun high potency.
Perusahaan bisa mengidentifikasi kenapa hal tersebut bisa
terjadi, apa karena competency nya atau karena motivasi nya.

Point Penting : Selain Behavior Event


Interview, competency bisa diases dengan
menggunakan tes tertulis dan praktek, serta
Focus Group Discussion and Activity
Cara membangun assessment dengan basis
observasi (Focus Group Discussion and
Activity) dilakukan dengan :
a. Menentukan competency yang hendak
diukur
b. Mendesain activity dan diskusi yang
mampu memunculkan competency
yang hendak diukur
c. Mendesign form observasi

81
PSYCHO TEST

Dua syarat menjadi talent ditandai dengan high performance


dan high potential. Jika Balance Scorecard dan Gamification
adalah sebuah tool untuk mengidentifikasi performance, dan
Behavior Event Interview dan Focus Group Activity digunakan
sebagai tool untuk mengidentifikasi competency yang
dibutuhkan untuk mencapai high performance, maka
dibutuhkan tool lain untuk mengidentifikasi potency. Psychotest
adalah jawaban untuk mengidentifikasi potency.

Potency yang bisa digali dari psychotest diantaranya adalah


potency intelligency, potency personality, dan potency bakat.
Ketiga potency tersebut dibutuhkan untuk mengidentifikasi
sejauh mana karyawan berpotensi menapak jenjang karir.
Potency intelligency misalnya, posisi tertentu pastinya
membutuhkan potency intelligence tertentu juga. Potency
intelligence atau sering juga dikenal dengan Intelligence
Quotient (IQ), mengkategori intelligency seseorang menjadi 10
kelompok. Intelligency paling rendah dikategorikan sebagai
Idiot, kategori berikutnya adalah Imbicile, Moron, Borderline
(bodoh), Below Avarage (normal rendah), Normal atau Rata-
Rata, Above Average (diatas rata-rata), Superior (cerdas), Very
Superior (sangat cerdas), Genius.

Dengan pekerjaan dan posisi yang semakin komplek


tanggungjawabnya tentunya membutuhkan IQ yang semakin
tinggi. Sebaliknya semakin sedikit tanggungjawab dan
kompleksitas pekerjaan tentunya membutuhkan IQ kategori
normal. Dengan mengidentifikasi IQ yang dimiliki karyawan,
perusahaan bisa mulai mengidentifikasi dan memproyeksi
sejauh apa karyawan tersebut akan berkembang. Contohnya, ada
seorang karyawan dengan IQ Very Superior. Saat ini posisi nya

82
adalah supervisor. Dengan potency IQ Very Superior maka
proyeksi nya, karyawan tersebut mampu diberi tanggung jawab
sampai dengan level manager. Sehingga karyawan tersebut bisa
diidentifikasi sebagai high potency.

Selain potency IQ, perusahaan juga perlu mengidentifikasi


potency personality. Karena tiap pekerjaan membutuhkan orang
dengan personality tertentu. Contohnya saja, pekerjaan sebagai
marketing yang menuntut karyawan untuk selalu bertemu
dengan customer dan berinteraksi dengan mereka. Tentunya
pekerjaan semacam ini cocok dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki personality extrovert. Alat tes psikologi yang bisa
membantu perusahaan mengidentifikasi kepribadian seseorang
diantaranya adalah DISC, Papikostik, BAUM, HTP, dll.

Dengan menggabungkan hasil identifikasi potency IQ dan


personality akan kelihatan kategori karyawan berada pada low
potency, middle potency ataupun high potency. Contohnya,
karyawan dengan potency IQ Very Superior memiliki potency
personality extrovert, berarti karyawan tersebut memiliki high
potency. Future position untuk karywan high potency dengan IQ
Very Superior dan Extrovert Personality bisa jadi ditempatkan
sebagai Operation Manager (tentu saja juga perlu melihat
competency dan performance nya).

Potency ketiga yang bisa


digali dari psychotest adalah
potency bakat. Howard
Gardner seorang psikolog
yang memiliki ketertarikan
mengidentifikasi bakat,
menemukan bahwa ada
delapan jenis bakat yang
dibawa oleh manusia.
Kedelapan bakat tersebut

83
adalah matematika logika, bahasa, musical, visual spatial,
kinestetik, intrapersonal, interpersonal, dan natural. Setiap bakat
tentunya akan memiliki pengaruh dan kecocokan pada posisi
atau pekerjaan tertentu. Contohnya, seorang karyawan yang
memiliki bakat matematika logika, akan cocok untuk pekerjaan
mekanik. Karyawan dengan bakat interpersonal, akan cocok
untuk pekerjaan yang membutuhkan interaksi dengan banyak
orang.

Jika kemudian ketiga potency, IQ – Personality – Bakat, tersebut


digabungkan maka perusahaan bisa mengidentifikasi karyawan
yang berada di low, medium, atau high potency. Jika hasil
potency digabung dengan hasil identifikasi performance melalui
Behavior Event Interview dan Focus Group Activity,
perusahaan bisa menentukan karyawan-karyawannya masuk ke
dalam talent matrix.

Point Penting : Cara mengidentifikasi


potency bisa dilakukan dengan psychotest.
Potency yang perlu digali untuk
mengidentifikasi karyawan ke dalam talent
matrix diantaranya adalah potecy IQ,
personality dan bakat

84
TALENT COMMITTEE

Setelah mendapatkan profil karyawan lewat sourching dan


identifikasi, dan kemudian dikelompokkan ke dalam talent
matrix, perusahaan kadang kala membutuhkan sudut pandang
lain terhadap talent matrix yang disusun. Agar semakin yakin
dengan hasil sourching dan identifikasi, data pengelompokan
karyawan tersebut perlu dikalibrasi ulang oleh para atasan. Hal
ini sah dan bermanfaat, karena secara langsung, para leader
yang melihat performance harian anggota team nya. Dan para
leader lah yang melakukan identifikasi melalui metode
observasi harian selama bekerja dengan mereka.

Agar mudah untuk mengkoparasi hasil observasi para leader,


dibuatlah kemudian Talent Committee. Para leader yang dipilih
ke dalam committee ini adalah para leader pilihan yang terbukti
memiliki objectivitas, dan kemampuan
observasi yang baik.

Komite Talent diwakili oleh dua level


lebih tinggi dari talent yang akan
mengikuti program successi. Sebagai
contoh, sebuah perusahaan mempunyai
struktur organisasi sebagai seperti
gambar di samping. Jika ada talent
dengan level supervisor untuk program
successi superintendent maka dua level di
atas superintendent yang akan mewakili
function untuk menjadi anggota komite
adalah para General Manager. Begitu
juga dengan jika talent adalah level
foreman atau staff yang mengikuti
program successi supervisor. Maka

85
anggota komite yang mewakili function adalah dua level di atas
supervisor yaitu para manager.

Selain dibentuk untuk mengkalibrasi hasil pengelompokan yang


sudah dilakukan, Talent Committee juga memiliki fungsi lain.
Talent Committee akan mengawal pelaksanaan proses Talent
Management, mulai dari proses talent identification – talent
development – dan talent succession.

Anggota komite mempunyai tentunya mempunyai tugas di tiap


flow chart talent management. Pada tahap identifikasi talent,
Komite Talent diminta untuk membawa data sub ordinatnya
yang memiliki tiga ciri, high performance (data dari
performance appraisal yang diberikan leader), high competency
dan high potential (data dari hasil observasi yang dilakukan para
leader). Talent Committee kemudian memberikan penilaian
terhadap kandidat-kandidat talent yang dibawa oleh para
anggota komite dan menentukan mana saja talent-talent yang
siap seketika untuk successi, mana talent-talent yang masih
perlu diberikan development hingga siap untuk mengikuti
program successi.

Tidak berhenti pada tahap identifikasi talent saja, Komite Talent


juga harus bertugas pada tahap development. Pada tahap ini
komite talent bertugas untuk memonitor program development
talent. Apakah program development yang sudah direncanakan
oleh coach nya berjalan dengan maksimal? Apakah ada kendala
dalam program development nya? Dan apakah talent sudah siap
untuk dievaluasi terkait program development nya?

Tugas terakhir Komite Talent tentunya adalah melakukan


successi. Komite Talent harus menguji competency talent di
posisi yang akan ditempatkan. Bentuk ujian competency yang
dilakukan bisa berupa membuat dan menyelesaikan sebuah

86
project challenge, atau bisa juga dengan evaluasi seperti ujian
saat sekolah.

Point Penting : Setelah hasil identifikasi dan


kategorisasi dilakukan, ada baiknya juga
dilakukan kalibrasi data dengan hasil
observasi yang dilakukan oleh para leader
Agar proses kalibrasi berjalan baik,
perusahaan perlu membuat Talent
Committee yang berisi para leader terpilih
Tugas anggota Talent Committee tidak
hanya mengkalibrasi, dan menetapkan
pengkategorian karyawan, namun juga
menyusun program development dan
successi

87
TALENT DEVELOPMENT

Pada dasarnya semua orang itu pintar, yang membuat


mereka bodoh sebanarnya karena belum bertemu dengan
guru dan metode belajar yang baik

(Yohanes Surya)

88
3
Talent Development
Pada dasarnya semua orang itu pintar, yang membuat
mereka bodoh sebanarnya karena belum bertemu dengan
guru dan metode belajar yang baik (Yohanes Suryo)

Tidak terasa perjalanan


kita sudah sampai pada
talent framework yang
keempat, yaitu training
and development. Jika
kita melihat dari talent
framework di, Learning
and Development berapa
di nomer 4 dan nomer 6,
apa perbedaannya. Jika
diperhatikan dua
framework sebelumnya adalah sourching & Recruiting, dan
Performance Management, dari hasil sourching and recruiting
perusahaan mendapatkan peta competency dan potency,
sedangkan dari performance management perusahaan bisa
mendapatkan peta performance. Fokus utama dari framework
learning and development nomer empat adalah mendevelop
current competency yang didapat dari hasil sourching and
recruiting yang tujuannya adalah untuk meningkatkan
performance di current position.

Sedangkan learning and development di nomer ke enam


mempunyai fokus yang berbeda dengan nomer empat. Jika
dilihat letak learning and development nomer enam terletak
setelah framework succession planning, artinya dari learning
and development yang dilakukan untuk mendukung succession

89
planning. Dari analisa hasil sourching and recruiting serta
performance management, perusahaan bisa memetakan potency
dan competency seseorang, dari hasil analisa ini perusahaan
menetapkan talent yang akan disuksesi untuk posisi berikutnya.
Tentunya untuk menduduki posisi baru tersebut talent butuh
mendapatkan learning and development.

Sederhananya learning and development pada framework ke


empat fokusnya untuk mendevelop competency di current
position. Sedangkan learning and development pada framework
ke enam berfokus untuk mendevelop potency dan competency di
next position.

Ada dua alasan utama kenapa people di organisasi pada


umumnya dan talent pada khususnya perlu mendapatkan
training and development.

Alasan pertama adalah alasan present position. Di posisi yang


sedang dijabat saat ini, people di organisasi pada umumnya dan
talent pada khususnya perlu menutup gap competency -
character dan mengikuti perkembangan jaman. Bisa jadi saat ini
ada seorang karyawan yang bertugas sebagai seorang mekanik
yang bertugas untuk memaintenance mesin-mesin di
perusahaan. Dan ternyata perusahaan memutuskan untuk
mengganti mesin tersebut dengan mesin yang lebih canggih.
Sehingga mau tidak mau, mekanik tersebut harus belajar dan
bertumbuh untuk menguasai cara memaintance mesin baru
tersebut.

Atau bisa jadi mesin yang dipakai perusahaan masih


menggunakan mesin yang lama. Namun customer ternyata
meminta perusahaan agar bisa menaikan produksi nya, padahal
perusahaan belum berencana membeli mesin yang bisa
memproduksi barang lebih banyak. Tugas mekanik adalah
membuat mesin tersebut bekerja lebih efisien, dan efektif. Sang

90
Mekanik pun diberi kesempatan untuk belajar dan bertumbuh
mengupgrade kemampuan agar mesin lama tersebut mampu
memenuhi ekspektasi pelanggan.

Begitu juga yang terjadi dengan para talent. training and


development sangat dibutuhkan bagi mereka untuk
mengupgrade kemampuan agar tidak tertinggal kemajuan
zaman. Bisa jadi kemampuan yang dimiliki saat ini paling
menonjol diantara rekan-rekannya yang lain. Namun ternyata
zaman berubah, dan Si Talent tidak bisa beradaptasi dengan
perubahan. Hingga akhirnya talent kehilangan performance nya,
dan perusahaan tidak bisa beradaptasi dengan perubahan zaman.

Tentunya kita masih ingat raksasa-raksasa Jepang yang sempat


memimpin dunia. Sebut saja ada Sony, Panasonic, ataupun
Toshiba, namun kini mereka telah mem PHK ribuan
karyawannya. Mereka digerogoti oleh perusahaan yang begitu
inovatif dalam membuat produk, Samsung, LG, Apple menjadi
musuh yang membunuh raksasa Jepang secara perlahan. Dan
sayangnya para raksasa Jepang ini lambat mengupgrade orang-
orang di dalam perusahaannya, dan akhirnya mereka ditinggal
oleh para kompetitornya.

Alasan kedua adalah future position. Peter F Drucker, seorang


ahli ekonomi pernah berkata “Cara terbaik untuk memprediksi
masa depan adalah dengan menciptakannya”. Landasan inilah
yang dipakai untuk memberikan training and development pada
talent. Seorang talent diharapkan akan menjadi future leader
atau pemimpin masa depan, dan agar harapan tersebut bisa
terlaksana maka seorang talent butuh disiapkan untuk menuju
kearah sana.

Seperti yang sudah kita bahas di chapter satu, seorang talent


yang memiliki high performance dan high potency tersebut akan
sangat sayang jika ditempatkan tidak dimaksimalkan. Caranya

91
adalah dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk
mengekplor potency nya ke posisi yang lebih tinggi atau posisi
lain dengan challenge yang lebih besar. Dengan kata lain, future
position tidak melulu berbicara tentang posisi yang naik ke atas,
namun juga berbicara posisi yang menyamping.

Salah satu pertimbangan yang digunakan untuk menentukan


suksesi talent ke atas ataupun ke samping adalah passion. Di
chapter pertama sudah saya bahas bisa jadi seorang talent lebih
passionate untuk menjadi specialist dari pada berada di
structure managerial. Bukankah Anda lebih memilih seorang
enginer specialist yang punya high perform dari pada Anda
paksakan enginer ini naik ke structure managerial namun
performance nya menurun?

Dan tentu saja untuk sampai ke posisi yang lebih tinggi, seorang
talent perlu disiapkan, karena tentu saja posisi tertentu
membutuhkan competency dan character yang berbeda dengan
competency dan character yang dibutuhkan sekarang. Sehingga
seorang talent butuh diberikan learning dan development secara
intensive agar bisa memenuhi competency dan character di
posisi yang baru.

Agar semakin memperjelas alasan pentingnya memberikan


training and development untuk karyawan di perusahaan, sering
kali digambarkan dengan joke pembicaraan antara Chief
Finance Officer (CFO) dengan Chief Executive Officer (CEO).

Suatu ketika Chief Finance Officer (CFO) dengan Chief


Executive Officer (CEO) sedang berdiskusi tentang training and
development yang dilakukan perusahaan. CFO berkata, “hai
CEO ini gimana, kamu kok menghabiskan begitu banyak uang
untuk ngasih training and development pada karyawan. Buang-
buang uang saja, setelah mereka pintar malah dibajak
perusahaan lain. Rugi lah kita”. CEO pun menjawab, “menurut

92
Anda mana yang mesti saya pilih, saya mendidik orang supaya
pintar walaupun kemudian dibajak perusahaan laun atau saya
membiarkan karyawan kita bodoh dan tetap tinggal di
perusahaan?”

3E : Education – Exposure - Experience

Setelah kita memahami betapa penting nya training and


development untuk karyawan pada umumnya dan talent pada
khususnya, tentunya kita bertanya-tanya apa tool atau
programyang bisa digunakan untuk memberikan training and
development?

Secara garis besar, program yang bisa digunakan sebagai tool


untuk training and development ada tiga, yaitu education,
exposure dan experience. Ketiga tool tadi sering kali disebut
sebagai 3E. Seperti apa training and development dengan
menggunakan konsep 3E tadi, sebelum masuk kesana tentunya
kita perlu tahu apa itu education, exposure dan experience.
Untuk memperjelas, perhatikan gambar dibawah ini :

93
a. Education

Kata lain education adalah formal learning, sehingga talent


yang diberikan training and development berupa education
sebenarnya sedang diberikan formal learning. Jika Anda
mendengar formal education, apa yang terbayang oleh
Anda? Bisa jadi bayangan Anda adalah sekolah, seminar,
workshop, membaca buku, training, dan lain-lain.

Bayangan Anda tidak salah, memang yang disebut dengan


formal learning adalah segala model training and
development seperti yang seminar, workshop, membaca
buku, training, ataupun on line learning. Sederhananya jika
sebuah perusahaan ingin memberikan training and
development kepada talent nya, maka perusahaan cukup
mengirim talent nya pada seminar, atau kelas workshop yang
sesuai dengan gap competency baik current maupun future
position.

Cara ini adalah cara yang paling mudah untuk mendevelop


talent. Namun, cara mudah ini tentunya memiliki
kekurangan. Coba kita posisikan diri kita saat mengikuti
kelas training atau workshop, berapa banyak yang Anda
ingat dan aplikasikan dari hasil training atau workshop tadi?
Ternyata menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh ahli
evaluasi training bernama Kirkpatrick, efektifitas education
terhadap development seseorang hanya 10% saja.

Sayangnya walau tingkat efektifitasnya hanya 10% saja,


namun secara umum biasanya perusahaan paling banyak
menggunakan metode pengembangan formal learning
dengan mengirim talent mengikuti training.

94
b. Exposure

Jika efektifitas education terhadap development seseorang


sebesar 10% saja tentunya proses development untuk
menyiapkan seorang talent untuk closing gap di current
posisition ataupun di future position akan lama bukan.
Padahal perang untuk memperebutkan talent semakin
gencar, sehingga bisa jadi organisasi akan kekurangan
talent-talent terbaik. Apa yang bisa kita lakukan untuk
mempercepat development talent kalau begitu?

Selain memberikan training and development berupa


education, perusahaan bisa memberikan model development
lain berupa exposure. Secara sederhana exposure bermakna
learning from other. Jika Anda pernah mendengar coaching,
mentoring, buddies, itulah model development berupa
exposure. Seperti apa contoh penerapan exposure akan saya
ceritakan lewat catatan saya selanjutnya berjudul Coaching
itu Obat Sehat, Smart Coaching, Saat Talent Tidak Bersinar,
Monitoring dan Feedback, dan Talent Tiga Generasi.

Seperti model training and development berupa education,


model exposure juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan utama model exposure adalah ada banyak orang
yang bisa dijadikan coach, mentor ataupun buddies.
Sehingga talent tidak akan kekurangan orang yang bisa
dijadikan coach, mentor ataupun buddies.

Kelebihan kedua adalah model ini cukup mudah


diaplikasikan. Jika Anda punya seorang talent yang ingin
belajar sesuatu, Anda cukup mengirim orang tersebut untuk
minta dibimbing orang yang ahli hal tersebut.

Sedangkan kelemahan dari model development exposure


berkenaan dengan effektifitas nya. Kirkpatrick pernah

95
meneliti, bahwa model exposure hanya memiliki efektifitas
sebesar 20% saja.

Hal ini terjadi, karena proses development nya selesai sesaat


para talent diskusi atau bimbingan dengan coach, mentor
ataupun buddies. Setelah para talent keluar dari ruangan
diskusi atau bimbingan, bisa jadi ilmu yang didapat dari para
coach, mentor ataupun buddies tidak diaplikasikan.
Sehingga yang berkembang adalah knowledge para talent,
bukan keahliannya. Atau dengan kata lain, para talent
berkembang menjadi tahu, namun belum tentu menjadi bisa.

c. Experience

Jika efektifitas education dan exposure dijumlahkan, maka


10% + 20% atau totalnya adalah 30%. Nilai 30% ini
tentunya masih sangat kecil, sehingga dampaknya
berpengaruh pada proses development untuk menutup gap
competency talent untuk current position ataupun future
position. Agar progress development semakin cepat,
perusahaan bisa melakukan model development yang ketiga,
yaitu experience.

Bahasa sederhananya dari experience adalah on the job


training atau mengaplikasikan hasil training di tempat kerja.
Cara yang sering kali dilakukan adalah dengan memberikan
talent sebuah project atau pekerjaan tertentu yang cukup
challenging. Contohnya, setelah Telent training tentang
pengetahuan tertentu, dia bisa diminta untuk
mengaplikasikan hasil training nya dengan membuat project
continuous improvement di bidang tertentu

Experience juga bisa dilakukan dengan memberi delegasi ke


telent. Contohnya Sang Telent diproyeksi untuk menduduki
posisi manager. Sang Talent bisa diberi experience dengan

96
mendelegasikan beberapa job des manager kepada talent
tersebut. Atau saat manager cuti, Sang Talent bisa
didelegasikan untuk menjadi pejabat sementara.

Model development dengan menggunakan pendekatan


exposure memang agak sedikit lebih sulit jika dibandingkan
dengan model pendekatan education ataupun exposure.
Namun, efektifitas dari model ini menurut hasil penelitian
Kirkpatrik lebih besar dari pada education ataupun exposure.
Karena efektifitas model pendekatan ini bisa mencapai 70%.

Catatan-catatan saya berikutnya akan memperjelas model


development dengan menggunakan pendekatan experience.
Catatan dengan judul “Talent Itu Menakutkan”, “Tolonglah
Talent”, “Task force Double Impactt”, “Advisor, Moderator
dan Executor”, dan “Melicinkan Storming” akan bercerita
tentang pendekatan experience.

Aplikasi ketiga pendekatan 3E tersebut di beberapa perusahaan


menggunakan model cara pembelajaran orang dewasa atau
sering disebut sebagai Andragogi, dan di beberapa perusahaan
yang lain menggunakan model pembelajaran pedagogi.
Perbedaan yang mendasar dari kedua model pembelajaran
tersebut secara sederhana terletak pada aplikasi E yang mana
yang lebih duluan. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar
dibawah ini

97
Sebuah perusahaan bisa jadi memulai program development dari
E yang pertama atau education, dilanjukan dengan exposure dan
experience. Model ini disebut sebagai model pedagogi. Salah
satu perusahan yang menggunakan model ini adalah PT. Bukit
makmur Mandiri Utama, sebuah perusahaan kontraktor
pertambangan batu bara terbesar nomer dua seluruh Indonesia.

Formal learning dilakukan bekerjasama dengan Pusdiksi Zeni


Angkatan Bersenjata AD untuk memberikan training
kepemimpinan selama satu bulan, kemudian dilanjutkan dengan
formal training technical competency dari department learning
and development. Tidak hanya berhenti di formal learning saja,
setelah para talent dinyatakan lulus dari formal training, mereka
melanjutkan program pengembangan dengan metode learning
on the job dengan job assignment selama 3 bulan sampai satu
tahun dan selama para talent melakukan job assignment dan
continuous improvement project, mereka juga dikembangkan
oleh para coach lewat metode pengembangan learning from
other.

Dibandingkan dengan PT. Bukit Makmur Mandiri Utama,


perusahaan semisal PT. Holcim Indonesia, Tbk, perusahaan
semen dengan share market terbesar no tiga se Indonesia
menggunakan format yang berbeda. PT. Holcim Indonesia, Tbk
memulai dua model pembelajaran. Model development yang
digunakan menggunakan model pedagogy untuk program
sertifikasi dan model kedua adalah dengan model andragogy.
Dimana model andragogy ini dimulai dari E yang ketiga atau
experience, kemudian exposure dan jika masih dibutuhkan
ditambah lagi dengan education. Model ini disebut sebagai
model andragogy.

Kedua model pembelajaran tersebut memiliki keunggulan dan


kelemahannya masing-masing. Keunggulan model pedagogy
terletak pada standarisasi knowledge. Contohnya jika talent

98
memiliki gap competency di area komunikasi, dengan model
education, semua talent bisa memiliki pemahaman dan
knowledge yang sama tentang model komunikasi yang
diinginkan perusahaan. Kelemahannya, dengan model
pedagogy, waktu yang dibutuhkan untuk mendevelop talent
menjadi lebih panjang. Kelemahan lain terletak pada investasi
yang dibutuhkan untuk mengedukasi talent. Bandingkan dengan
model andragogy dimana education baru diberikan jika memang
dirasa perlu.

Seperti pedagogy, andragogy juga memiliki kekurangan dan


kelebihan. Kelebihan dari model andragogy adalah efektifitas
development nya langsung bisa disasar 70%, sehingga tanpa
ditambah dengan exposure dan education pun efektifitasnya
sudah tinggi. Kelemahannya terletak pada dengan langsung
menjeburkan talent di project tertentu tanpa didampingi oleh
coach ataupun dibekali dengan education, ibarat orang yang
tidak bisa berenang dan langsung dijeburkan ke kolam renang
supaya bisa berenang. Bisa jadi memang orang nya langsung
bisa berenang, dan bisa jadi orang tersebut akan mati.

Kalaupun saat melakukan experience didampingi oleh seorang


coach untuk memastikan orang yang baru belajar berenang tadi
tidak mati tenggelam, tetap saja masih ada resikonya. Bisa jadi
antara coach satu dengan coach lain memiliki pendekatan yang
berbeda, atau tidak ada standarisasinya, bandingkan dengan
pendekatan pedagogy. Akibatnya, saat seorang talent
mendapatkan coach yang bagus, hasil development nya bisa jadi
akan bagus. Sebaliknya, jika talent mendapatkan coach yang
tidak bagus, hasil development nya juga akan jelek.

Karena kedua pendekatan, baik andragogy ataupun pedagogy


memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing,
tentunya tergantung perusahaan untuk menerapkan model
pendekatan development yang mana. Bisa jadi untuk

99
kompetensi tertentu karena dianggap penting oleh perusahaan,
pendekatan yang dilakukan adalah pedagogy. Dan untuk
kompetensi lain yang bisa menggunakan andragogy.

Seperti di chapter-chapter sebelumnya, di chapter ini juga akan


dibahas lebih mendetail dengan artikel-artikel selanjutnya.
Adapun indek dari pembahasan di chapter ini adalah :

100
101
TALENT DEVELOPMENT SYSTEM

Apa sistem yang cocok untuk mengembangkan para talent


perusahaan saya? Begitulah mungkin pertanyaan para leader di
perusahaan yang didirikan oleh penemu hebat dunia, Thomas
Alfa Edison. Perusahaan yang berumur lebih dari 100 tahun, dan
masih berdiri, bahkan masuk dalam 500 Fortune Company.
Perusahaan multinasional tersebut bernama General Electric
(GE).

Para leader GE pun kemudian menyusun sebuah sistem yang


memungkinkan para talent nya berkembang dan terus
berkembang. Sistem itu kemudian didokumentasikan Ram
Charan, Stepen Drotter, dan James Noel dalam buku yang
berjudul The Leadership Pipeline. Model pengembangan ini
tentunya bisa menjadi benchmark yang baik untuk membuat
sistem development untuk talent diperusahaan lain.

Gambar diatas menunjukan Pipeline Leadership yang


dikembangkan oleh GE. Bentuknya yang seperti pipa yang
saling berhubungan atau bersambungan menjadikan sistem

102
development GE akhirnya sebagai Pipeline Leadership. Dimulai
dari pipa Managing Self to managing other, dilanjutkan dengan
pipa Managing other to managing manager, Managing manager
to managing function manager, Function manager to business
manager, Business manager to group manager, dan diakhiri
Group manager to enterprise manager.

Dengan menggunakan pendekatan Leadership Pipeline, hal


penting yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah membuat
matrix competency dan program development sesuai dengan
matrix development, dari masing-masing pipa. Detail
competency ditiap jenjang dapat And abaca di buku The
Leadership Pipeline.

Jenjang Competency Development Program

Managing Self Communication Education : In Class


Training, Case Study
of Cummunication

Exposure : Coaching
to Leader That Expert
in Communication

Experience : On The
Job Training Leading a
Team

Perhatikan table di atas sebagai contoh. Fokus development


talent yang awalnya berasal dari level managing self dan
diproyeksi untuk kedepannya mengisi posisi untuk managing
other adalah effective communication to the team. Selain
komunikasi, mereka juga harus mampu membuat rencana

103
jangka pendek, sedang dan jangka panjang. Dan yang tidak
kalah pentingnya adalah managing conflict yang akan terjadi.

Tujuan utama dari development level ini adalah menjadikan para


talent tersebut tidak hanya seorang bos tapi seorang leader.
Sama-sama seorang pemimpin namun mempunyai perilaku
berbeda. Seorang bos memandang keberhasilan team karena
dirinya, dan kegagalan team karena salah team. Sedangkan
seorang leader berperilaku sebaliknya, "Tidak ada bawahan
yang jelek, yang ada adalah atasan yang buruk". Artinya, saat
team berhasil, leader melihat keberhasilan sebagai kontribusi
team. Dan saat team gagal, leader berkaca pada dirinya sendiri.

Competency tersebut diterjemahkan kedalam matrix


development yang berisi development program apa yang sesuai
dengan competency yang hendak ditembak. Sebagai contoh di
table atas, competency yang akan ditembak adalah
communication, di matrix development terlihat ada tiga model
development, mulai dari education, exposure dan experience.
Program development berupa experience dengan on the job
training untuk melead sebuah team.

On the job training dipilih untuk membiasakan talent terlibat


menjadi leader team. Tentu saja, saat belajar menjadi seorang
leader, trainee masih didampingi oleh seorang coach, sehingga
dibutuhkan juga program development dengan exposure melalui
coaching dengan orang yang expert berkomunikasi memimpin
team. Dengan melakukan coaching ini, coach akan langsung
bisa memberikan feedback atau masukan ketika talent membuat
kesalaan komunikasi ataupun melakukan komunikasi dengan
bagus.

Selain experience, dan exposure, program development lain


yang bisa dipakai adalah education. Caranya adalah dengan
memberikan inclass training dengan materi Communication.

104
Metode inclas training nya nya bisa case study dengan
mengumpullkan para talent tiap dua minggu sekali untuk
sharing, saling memotivasi dan berdiskusi kasus-kasus
komunikasi dan conflict yang disebabkan oleh komunikasi yang
dialami selama dua minggu terakhir.

Saat matrix competency ini sudah dimiliki perusahaan, akan


sangat memudahkan perusahaan untuk menentukan model
development yang akan dilakukan. Dengan melihat hasil
scorching dan identification, tentunya perusahaan akan
mendapatkan profil talent, untuk diposisikan dengan tepat. Bisa
posisi ke atas ataupun ke samping. Dengan memiliki matrix
competency, perusahaan langsung bisa melihat dan menentukan
program development yang cocok bagi talent nya.

Point Penting : Tugas pertama perusahaan


yang ingin mendevelop talent adalah
dengan menentukan competency dan
kemudian menyusun matrix competency
Isi matrix competency meliputi :
a. Posisi atau jabatan
b. Competency yang harus dimiliki
c. Development program yang sebaiknya
meliputi tiga hal, yaitu education,
exposure dan experience

105
106
FACILITATING ITU OBAT SEHAT

Tersebutlah, seorang penulis yang memiliki kehidupan suram


bernama Eddy Morra. Walaupun mendapat kontrak dari sebuah
penerbitan, Eddy tidak mampu menyelesaikan satu buku pun.
Kehidupannya seketika berubah, setelah Eddy bertemu dengan
adik ipar nya yang berprofesi sebagai pengedar obat terlarang.
Dari adik ipar nya, dia mendapat obat NZT- 48 yang mampu
mengekplore 80% kemampuan otak yang belum digunakan.

Tertekan dengan date line pengerjaan buku, Eddy akhirnya


meminum obat NZT-48. Semua fungsi tubuh nya mengalami
perbaikan. Berfikir dengan cepat, menemukan ide-ide hebat,
gerakannya lincah dan kuat, afeksi nya juga semakin baik.
Kehidupannya mulai membaik, dua buku dapat diselesaikan
dalam dua hari, peluang-peluang saham dianalisa dan
dimenangkan. Dalam dua bulan, Kehidupan Eddy berubah total
dari penulis miskin menjadi jutawan dengan omset mencapai 40
juta USD.

Sayangnya NZT-48 hanya mampu meningkatkan 80%


kemampuan otak dalam waktu satu hari saja. Tak ingin
kehilangan kemampuan supernya, Eddy memutuskan untuk
meminum NZT-48 setiap hari. Akibatnya, Eddy menjadi
kecanduan untuk mengkonsumsi NZT-48, bahkan jika Eddy
dalam satu hari tidak mengkonsumsi NZT-48, dia akan
menderita sakau. Tidak tahan dengan kecanduaanya, dan
diperparah dengan obat yang habis, Eddy pun mencoba bunuh
diri.

Seandainya saja NZT – 48 tersebut tidak memiliki efek


samping. Sehingga perusahaan bisa menyuruh semua
karyawannya untuk meminum obat tersebut untuk

107
meningkatkan performance mereka. Sayangnya selain berefek
samping, NZT – 48 hanyalah obat fiktif yang hanya ada di film
HBO pernah membuat film menarik berjudul "Limitless". Eddy
Morra pun hanya seorang aktor yang diperankan oleh Bradley
Cooper.

Sebenarnya, tanpa menggunakan obat NZT – 48 pun, karyawan


bisa meningkatkan performance mereka. Bahkan tool ini tidak
menghasilkan efek samping negatif, tool ini bernama Pedagogy.
Prinsip pembelajaran pedagogy ini adalah memfasilitasi orang
dewasa untuk mengeksplore lagi memori (pengalaman) yang
pernah dialami. Pedagogy menyebutnya sebagai experience
learning circle, atau sering juga kita mengistilahkan
“Pengalaman adalah Guru Terbaik”. Belajar dari pengalaman
kongkret (concrete experience), dilanjutkan dengan debrief
(reflective observation), ber experience lagi untuk menyusun
konsep baru (abstract conceptualization) dan diakhiri dengan
aplikasi.

Pedagogy ini bisa dipalikasikan dalam model development


education maupun exposure. Jika diterapkan dalam education,
peran ini dimainkan oleh fasilitator. Mereka akan memanfaatkan
pengalaman yang dimiliki oleh participant education.

Gambar diatas adalah bentuk proses yang akan dilakukan oleh


facilitator untuk memfasilitasi participant untuk belajar dari
pengalamannya. Pertanyaan pertama yang akan digunakan

108
fasilitator untuk mengekplore pengalaman participant adalah
dengan menanyakan fact atau pengalaman yang pernah dialami
participant. Pertanyaan ini adalah menggali ingatan participant
untuk menemukan insigt dari pengalaman yang pernah
dilakukan. Contoh pertanyaannya adalah, dulu waktu bapak
mengerjakan pekerjaan A, ada pengalaman menarik apa pak?

Pertanyaan berikutnya yang akan diexplore fasilitator adalah


menanyakan tentang feel (perasaan) yang dirasakan participant
saat mengalami experience. Tiap pengalaman tentunya memiliki
muatan emosi masing-masing. Pengalaman yang dimemori
dengan baik akan mengandung emosi yang kuat. Dengan
menanyakan perasaan, facilitator bertugas untuk semakin
menguatkan kandungan emosi tersebut. Sehingga saat
participant mendapatkan pembelajaran, insight nya semakin
bisa dimemori oleh participant.

Setelah membantu participant menemukan pengalaman dan


perasaan terkait dengan pengalaman tersebut, diskusi bisa
diarahkan dengan membantu participant melangkah pada tahap
ketiga, yaitu finding. Fungsi fasilitator di tahap ketiga adalah
memfasilitasi participant menarik pembelajaran yang ditemukan
(finding) dari experience yang dilakukan.

Di tahap keempat yaitu future, tugas utama fasilitator adalah


membantu participant membuat rencana untuk mengaplikasikan
hasil finding ke dalam pengalaman baru (fact). Sehingga jika
kita perhatikan gambar di atas, terjadi siklus yang terus menerus.

Point Penting : Cara mendevelop talent melalui edukasi,


salah satu nya bisa dilakukan dengan pedagogy oleh
facilitator. Cara facilitator mendevelop talent adalah dengan
menanyakan fact – feel – finding - future

109
110
COACHING ITU OBAT SEHAT

Jika ingin tubuh kita sehat, tentunya kita mengkonsumsi


makanan sehat dan bergizi. Tidak hanya satu jenis, kadang-
kadang malah variasinya bermacam-macam. Begitu juga dengan
obat sehat untuk membuat talent perusahaan semakin
berkembang. Aplikasi pendekatan pedagogy untuk
mengembangkan talent perusahaan, selain digunakan untuk
facilitating di model development education, juga bisa
digunakan dalam model development exposure.

Dipengantar awal sudah sempet disinggung bahwa salah satu


tool exposure adalah coaching (bimbingan). Saat seorang leader
melakukan coaching, dia akan disebut sebagai coach.
Sedangkan, orang yang dibimbing disebut sebagai coachee.
Prinsip coaching layaknya facilitating yang menjadikan
pengalaman sebagai guru terbaik. Pengalaman tersebut bisa dari
coach nya sendiri atau dari coachee nya sendiri.

Gambar di atas adalah panduan proses coaching untuk


mengembangkan competency talent. Kata coach sendiri

111
sebenarnya mengandung singkatan proses development. Huruf C
adalah singkatan dari create trust and rapport. Semakin leader
dipercayai oleh talent maka akan semakin mudah seorang leader
mendevelop Si Talent. Prof Gary Yukl (1990), seorang
professor di University at Albany, membuktikan hal tersebut.
Seorang leader yang dipercaya oleh anggota team nya memiliki
dua jenis influence, yaitu personal appeal tactics
(menginfluence karena persahabatan) dan legitimizing tactic
(menginfluence seseorang karena posisi yang dimiliki). Hal
yang harus diingat adalah trust and rapport tidak hanya
dibangun saat coach akan melakukan proses coaching, namun
jauh-jauh hari sebelum melakukan coaching.

Huruf kedua dari kata coach adalah O yang merupakan


singkatan dari observe and assess. Seorang leader, dalam
melakukan observasi dan assessment bisa berpatokan pada
competency. Secara umum model pengembangan kompetensi
ada dua, yaitu menutup competency di current position dan
menyiapkan competency di future position. Basis development
dengan menutup gab di current position berfokus pada psikologi
“negative”, karena berkutat pada sisi-negatif competency yang
belum dipenuhi. Sedangkan, pengembangan yang berbasis
menyiapkan future position dikenal sebagai psikologi positif.
Seperti basic psikologi positif yang tidak menyangkal psikologi
“negative”, namun berfungsi untuk meningkatkan keberfungsian
manusia dengan berupaya membangun kekuatan individual
(Carr, 2007). Begitu juga dengan dua jenis pengembangan
tersebut, pengembangan dengan pendekatan psikologi positif
tidak boleh menafikan pengembangan dengan pendekatan
psikologi “negative”.

Jika competency yang mau dikembangkan sudah ditemukan


maka proses coaching bisa dilakukan. Huruf ketiga dan keempat
dari kata coach digunakan di tahap ini. Huruf ketiga adalah A
yang merupakan singkatan dari ask powerful question. Dan

112
huruf keempat dari kata coach adalah C yang merupakan
singkatan dari challenge dan give feedback.

Kedua huruf tersebut digunakan secara seimbang. Ask powerful


question dengan kata lain adalah seeking (menggali)
pengalaman dari coachee. Sedangkan challenge dan give
feedback dengan kata lain adalah telling (memberi tahu)
pengalaman coach kepada coachee. Kadang kala seorang
coachee sudah memiliki pengalaman terhadap sesuatu, dan
untuk menjadikan pengalaman tersebut bermakna, coach
sebaiknya menggunakan seeking. Sebaliknya, kadang kala
seorang coachee belum memiliki pengalaman dan pengetahuan,
sehingga sebaiknya coach menggunakan pendekatan telling.

Pendekatan seeking bisa jadi lebih powerful digunakan dalam


coaching. Garry Yukl (1990) menemukan dari 8 taktik influence
yang ditemukannya, seeking yang kemudian dinamakan Yukl
sebagai inspiration tactic adalah salah satu tactic influence yang
powerfull digunakan. Dengan melakukan seeking juga
berdampak pada engagement talent dalam menjalankan
kesepakatan. Yukl juga menjelaskan pertanyaan yang powerful
memiliki tiga ciri, yaitu sederhana (dapat langsung dimengerti),
bertujuan dan berpengaruh tanpa mengontrol.

Di huruf ketiga keempat ini, akan terjadi transfer knowledge dan


kesepakatan action plan yang perlu difollow up dari hasil
coaching. Sehingga huruf kelima dari kata coach, memiliki
peran diproses selanjutnya. Huruf kelima tadi adalah H yang
merupakan singkatan dari hold accountability. Lakukan
monitoring atas hal yang disepakati dan jangan lupa
memberikan support yang juga sudah disepakati saat coaching.
Selama proses monitoring untuk menguatkan perilaku hasil
pembelajaran jangan lupa memberikan feedback kepada coachee
atas pencapaian apapun baik untuk pencapaian kesepakatan
yang sudah berhasil diselesaikan, ataupun kesepakatan yang

113
belum jalan. Sandwich feedback bisa digunakan sebagai salah
satu teknik memberikan feedback. Seperti namanya, sandwich
feedback terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah roti
yang berarti compliment atau pujian, lapisan kedua isi atau
critic, dan ditutup dengan lapisan ketiga berupa roti atau
compliment atau pujian

Point Penting : Selain diaplikasikan oleh


fasilitator, pendekatan pedagogy juga bisa
dilakukan dengan model exposure oleh
coach.
Tahapan melakukan coaching, tersirat dari
kata “coach” sendiri, yaitu :
C dari singkatan Create trust and rapport
O dari singkatan Observe & assess
A dari singkatan Ask powerful question
C dari singkatan Challenge & give feedback
H dari singkatan Hold accountability

114
SMART COACH

Saat melakukan proses coaching, seorang coach yang baik


mempunyai peran yang disingkat dengan SMART. Peran ini
tidak hanya dijalankan saat coach mengimplementasikan huruf
ketiga dan keempat (ask powerful question dan challenge and
give feedback) namun juga dilakukan di semua proses. Peran
SMART sendiri merupakan singkatan dari Sponsor, Motivator,
Appraiser, Role Model, & Teacher.

Saat berhubungan sehari-hari seorang coach mempunyai dua


peran penting yaitu sebagai appraiser, role model dan sebagai
sponsor. Sedangkan saat melakukan coaching, seorang coach
harus mampu berperan sebagai motivator dan teacher. Peran
pertama seorang coach dalam hubungan sehari-hari dimulai dan
diakhiri sebagai seoarang appraiser (penilai). Peran utama
coach sebagai appraiser dimulai dari mengidentifikasi atau
menilai kebutuhan dan proses pengembangan coachee yang
dalam hal ini adalah talent. Penilaian kebutuhan atau identifikasi
kebutuhan ini mutlak harus dilakukan karena ketidaksesuaian
menentukan kebutuhan pengembangan talent akan berdampak
pada ketidaksuksesan tahap successi. Tugas terakhir coach
dalam perannya sebagai appraiser adalah menilai kesiapan
talent saat tahap successi.

115
Peran kedua seorang coach adalah menjadi role model. Talent
akan belajar banyak dari mengamati cara coach nya berfikir,
bertindak dan mengambil keputusan. Itulah sebabnya seorang
coach dalam keseharian berinteraksi dengan talent harus mampu
menjadi sosok panutan. Bukannya malah menunjukkan cara
berfikir, bertindak dan mengambil keputusan yang tidak pantas
ditiru? Bisa jadi talent akan meniru lebih buruk dari yang
diajarkan coach nya. Bukankah sebuah pepatah tua mengajarkan
kepada kita “Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari”.
Berperan sebagai role model, seorang coach juga harus mampu
memahami karakteristik beda generasi. Tujuannya supaya coach
mampu memberikan contoh model yang pas sesuai dengan
generasi coachee. Catatan saya yang berjudul “Talent Tiga
Generasi” akan sedikit membahas tentang karakteristik talent
beda generasi.

Peran ketiga coach dalam interaksi sehari-hari dengan talent


adalah menjadi sponsor. Sebagai seorang sponsor, seorang
coach diminta untuk membantu menyediakan sumber daya yang
kebutuhan coachee yang dalam hal ini adalah talent dalam
proses development nya. Sumber daya yang dibutuhkan talent
bisa bermacam-macam, salah satu contohnya adalah informasi
untuk belajarnya, atau pun lingkungan yang stabil untuk belajar.
Dalam banyak kasus seorang talent tidak memiliki akses
terhadap informasi yang akan mendukung performance maupun
proses pengembangannya. Dan ditingkat tertentu, coach adalah
satu-satunya sumber informasi. Dengan menahan informasi,
talent akan merasa tidak nyaman dengan lingkungan tempatnya
bekerja. Kejadian berikutnya adalah Anda kehilangan talent.
Karena memang salah satu trend turn over terbesar adalah
lingkungan yang tidak nyaman.

Selain berperan dalam interaksi harian, coach juga akan


berperan dalam interaksi proses coaching. Sebagaimana saya
jelaskan di atas, dalam interasi proses coaching, seorang coach

116
mempunyai dua peran penting yaitu sebagai motivator dan
sebagai teacher. Perannya coach sebagai teacher sempat saya
singgung ditulisan “Coaching Itu Obat Sehat”. Di tulisan
tersebut saya jelaskan coach memainkan peran menggali
(seeking) pengalaman coachee dan bercerita (telling)
pengalaman coach. Saat coach melakukan telling atau bercerita
pengalamannya, peran coach sebagai teacher mulai muncul.
Hingga akhirnya coaching memasuki fase agree yang
menyepakati ide gabungan dari pengalaman talent dan
pengalaman coach.

Dan peran terakhir coach dalam melakukan coaching adalah


sebagai motivator. Potency yang bagus tidak akan menjadi
competency, saat talent tidak memiliki motivasi. Dan
competency yang baik juga tidak akan membuat talent memiliki
performance yang baik saat tidak memiliki motivasi. Disinilah
peran coach untuk membantu coachee nya dengan memberikan
external motivation. Saat berperan sebagai motivator, seorang
coach tidak harus melulu menggunakan topeng facing good saat
berhadapan dengan talent. Tapi seorang coach juga dituntut
memotivasi dengan menggunakan demon face kepada coachee
nya

Point Penting : Selama melakukan proses


coaching dari huruf C sampai dengan huruf
C lagi, seorang coach butuh memiliki role
atau competency yang disingkat SMART
(Sponsor, Motivator, Appraiser, Role
Model, Teacher)

117
MONITORING DAN FEEDBACK

Ada diskusi yang selalu menarik saat berdiskusi tentang


coaching. Banyak perusahaan yang sebenarnya sudah
mengaplikasikan coaching untuk mendevelop talent. Namun,
mereka merasa belum ada hasil signifikan terhadap coaching
yang dilakukan. Bahkan beberapa perusahaan, coaching
berimpact negative dengan menurunnya performance talent.

Apa yang salah dari pelaksanaan coaching sehingga bisa


berimpact negative? Selain bisa jadi proses coaching tidak
dilakukan secara benar, bisa juga coach tidak melakukan role
nya dengan baik. Coba kita focus dulu pada satu huruf di proses
coaching, yaitu di huruf C, challenge and give feedback.
Coaching sebagai sarana mendevelop potency menjadi
competency, dan competency menjadi performance. Atau
bahasa lainnya, coaching bertujuan menggubah perilaku, skill
maupun knowledge.

Coaching memang tidak seperti formal education (training)


yang hasil knowledge maupun skill nya langsung meningkat,
namun harus juga diingat, walaupun participant yang mengikuti
training langsung mengalami kenaikan skill dan knowledge yang
signifikan belum tentu knowledge dan skill baru itu digunakan di
tempat kerja. Artinya, walaupun ada peningkatan skill dan
knowledge belum tentu muncul perilaku baru dari hasil
peningkatan skill dan knowledge. Hal inilah yang seringkali
dikeluhkan oleh para perusahaan, sudah banyak karyawannya
yang mengikuti training namun competency maupun
performance nya tidak meningkat.

Training berbeda dengan coaching, walaupun coaching


mempunyai tujuan yang sama dengan training yaitu proses

118
pembelajaran untuk mendapatkan skill dan knowledge baru,
namun ada proses yang berbeda dari kedua nya, yaitu proses
monitoring dan memberikan umpan balik (feed back) atas hasil
monitoring.

Proses monitoring dan pemberian umpan balik ini sebenarnya


adalah apliasi dari teori perubahan perilaku. Perhatikan gambar
diatas, perusahaan tentunya mengharapkan improvement dari
proses development naik secara signifikan (kurva vertical), dan
dapat bertahan lama. Training memang membuat talent
terdevelop dengan cepat, namun perubahan perilaku nya tidak
bertahan lama (perhatikan diagram batang). Sekarang perhatikan
diagram garis, coaching memang membuat development talent
tidak secepat training, namun secara perubahan perilaku,
coaching mampu bertahan lebih lama.

Sekarang perhatikan di diagram garis ada dua buah garis, atas


dan bawah. Kemunduran perilaku setelah diberikan coaching
yang dikeluhkan oleh perusahaan tadi juga sebenarnya dapat
dijelaskan dari proses monitoring dan pemberian feedback ini.
Garis yang bawah pada diagram garis menunjukan ada
cekungan, yang sebenarnya menggambarkan keluhan

119
perusahaan. Cekungan tadi memang menandakan performance
talent menurun sebagai impact dari coaching.

Penyebabnya, perusahaan tidak menjaga accountabilitas dari


kesepakatan coaching dengan memberikan positive dan
development feedback. Saat coachee melanggar kesepakatan
coaching, coach hanya membiarkan saja, sehingga coachee
belajar ternyata coaching yang dilakukan bukanlah hal penting
dan dapat dilanggar. Satu pelanggaran didiamkan, dua
pelanggaran didiamkan, tiga pelanggaran didiamkan, hingga
akhirnya membuat perilaku pelanggaran tersebut menjadi hal
yang biasa, dan berubah menjadi perilaku yang menetap. Bukan
lagi perubahan baik yang didapatkan, namun malah perubahan
jelek yang dihasilkan. Tak heran jika grafiknya menjadi
menurun. Menariknya grafik tersebut bisa saja dinaikan lagi,
seperti terlihat digambar. Syaratnya hanya satu, yaitu menjaga
dan menguati accountabilitas kesepakatan coaching.

Memberikan feedback juga sebenarnya adalah seni yang harus


dipelajari oleh para coach. Feedback yang dikomunikasikan
dengan akan berakibat buruk baik pada hubungan antara coach –
coachee maupun pada hasil perilaku coachee. Karena nya, seni
memberi feedback ada tiga, yaitu specific, timely, dan balanced.
Seni pertama, specific dapat dilakukan dengan mengomentari
proses kemudian hasilnya. Sebagai contoh,
Proses : Selama satu minggu ini bapak sudah melakukan
komitmen kita untuk meningkatkan kehadiran bapak
Hasil : Sehingga pencapaian productivity bapak naik sesuai
target. Terimakasih ya

Syarat pemberian feedback specific juga harus dilakukan untuk


development feedback dengan cara mengomentari proses
dilanjutkan hasil dan diakhiri dengan memberikan masukan
alternative proses yang dapat digunakan berikutnya. Satu hal
yang harus diingat dalam memberikan development feedback

120
adalah berikan komentar positif terhadap proses dan hasil yang
sudah dicapai. Sebagai contoh,
Proses : Selama satu minggu ini, saya lihat bapak
sudah berusaha menjalankan komitment
untuk meningkatkan kehadiran bapak
Hasil : Walaupun komimen yang kita belum 100%
bapak laksanakan, namun sudah ada
peningkatan kehadiran bapak dari 95%
menjadi 96%
Alternatif Proses : Minggu depan, saya harap bapak lebih
berkomitment untuk meningkatkan kehadiran
bapak

Seni kedua, timely (tepat waktu). Feedback yang diberikan


secara timely akan semakin memperkuat perilaku positive dan
mencegah perilaku negative coachee. Feedback yang diberikan
secara timely juga dapat mencegah debat kusir. Contoh
sederhananya, saat seseorang diberikan development feedback
atas perilaku negative yang dilakukan sebulan yang lalu. Bisa
jadi coachee tidak merasa melakukan hal tersebut karena sudah
lupa. Beda ceritanya kalau feedback tersebut diberikan secara
timely.

Seni ketiga, balance (seimbang). Jika coachee melakukan


perilaku positive maka feedback yang diberikan pun harus
seimbang dengan memberikan feedback positif demikian juga
sebaliknya, saat coachee melakukan perilaku negative maka
feedback yang diberikanpun juga seimbang dengan memberikan
development feedback. Memberikan feedback yang seimbang
juga berarti feedback yang diberikan tidak boleh muluk-muluk
dan memberi janji. Positive feedback yang diberikan secara
muluk akan membuat coachee besar kepala, padahal gol akhir
dari proses monitoring coaching belum selesai, yang terjadi
berikutnya, coachee merasa puas diri dan tidak awas terhadap
proses monitoring coaching. Pemberian development feedback

121
yang terlalu berlebihan juga bisa menjatuhkan harga diri
coachee, yang pada akhirnya jika harga diri sudah dijatuhkan
maka motivasi untuk bangkit akan sangat susah dimunculkan.

Merubah perilaku memang perkara yang tidak mudah dilakukan,


namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Dengan
memonitoring kesepakatan yang telah dibuat saat coaching dan
memberian feedback yang specific, timely dan balanced
tentunya perubahan perilaku yang diinginkan bisa dicapai.
Proses monitoring dan pemberian feedback ini seperti
mengingatan anak kita supaya punya kebiasanan mandi dua kali
sehari. Proses nya membutuhkan waktu yang tidak hanya
seminggu dua minggu namun sampai berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Namun setelah perilaku itu menjadi perilaku
yang menetap, pekerjaan coach akan semakin lebih mudah.

Point Penting : Menjaga accountabilitas


coaching bisa dilakukan dengan
memberikan development dan positive
feedback.
Seni memberikan feedback ada tiga, yaitu :
a. Spesific
b. Timely
c. Balance

122
123
TASK FORCE DOUBLE IMPACTT

Aplikasi program development melalui experience bisa


dilakukan dengan memberikan project improvement kepada
talent. Selain sebagai program development, memberikan
project improvement kepada talent juga akan berdampak positif
untuk meretain talent. Karena dengan melibatkan mereka dalam
project improvement sama juga memberikan mereka
penghargaan atas potency dan competency mereka.

Salah satu cerita kesuksesan melibatkan para telent pada project


improvement dialami oleh talent XL. Project yang mereka
lakukan disebut project Blue Thunder atau disingkat dengan
BeThe. Hasnul Suhaimi, CEO XL, menghargai mereka dengan
men challenge mereka supaya menjadikan XL sebagai provider
telekomunikasi no dua setelah Telkomsel. Memang pada saat
itu, Mei 2007, XL masih menjadi provider no tiga setelah
Telkomsel dan Indosat. Layaknya Kopasus (Komando Operasi
Khusus) mereka membuat rencana improvement. Ide gila pun
diciptakan, mereka mengusulkan tarif Rp 1 /detik. Perubahan
tarif XL ini lah yang melatarbelakangi perang tarif sesama
provider telekomunikasi. Bahkan jika rekan-rekan masih ingat
sampai ada provider telekomunikasi yang menarkan tarif Rp
0,0000001/detik. Dari Ide gila team Blue Thunder lah wajah
tarif pertelekomunikasian di Indonesia berubah.

Talent yang pintar tidak akan betah menetap lama di tempat


yang membosankan dan tidak menantang. Berilah mereka
tantangan yang baru setiap saat. Mereka tidak peduli dengan
insentif jangka panjang seperti yang dulu sering menjadi senjata
perusahaan untuk me-retain top talent seperti COP (Car
Ownership Program), HOP (House ownership program), dan
sebagainya. Begitu juga yang terjadi dengan salah satu talent

124
saya di awal tahun 2012. Seorang talent yang di tahun 2011
menjadi talent dengan Best improvement all site di perusahaan.
Setelah project besarnya selesai di tahun 2011 dan tidak ada
challenge yang dirasakan lagi dalam bekerja, dia memutuskan
untuk resign dari perusahaan. Padahal sebagai orang yang baru
lulus dari sekolah dan masa kerja yang sebentar, dia sudah diberi
penghargaan oleh perusahaan berupa jabatan maupun bonus
oleh perusahaan.

Menchallenge talent bisa dilakukan dengan banyak cara. Bisa


dilakukan dengan task force pembuatan kebijakan perusahaan
seperti yang dilakukan team Blue Thunder, mengimprove
performance perusahaan, maupun task force memecahkan
problem perusahaan. Artinya, sebenarnya selalu ada hal yang
bisa digunakan oleh atasan untuk menchallenge talent.

Menchallenge talent juga akan meningkatkan character dan


competency talent. Seperti saran ilmuwan Carol Dweck, anak-
anak jenius ternyata tidak menjadi apa-apa di masa depannya
kalau selalu dipuji karena mengambil dan menyelesaikan mata
ajaran yang mudah. Challenge memposisikan talent diposisi
yang sulit, dan bukankah kesulitan memperkuat character.
Untuk keluar dari posisi yang sulit, talent juga membutuhkan
competency lebih dari yang dimiliki saat ini. Jadi tunggu apa
lagi, challenge talent dan dapatkan manfaat ganda, bagi
perusahaan dan bagi individu talent sendiri.

Agar program development dengan pendekatan project


improvement kepada talent terarah, perusahaan bisa memberikan
support berupa frame of thinking continuous improvement.
Salah satu nya adalah dengan menggunakan pendekatan PDCA
(Plan – Do – Check – Action). Pada tahap Plan, talent diminta
mengidentifikasi penyebab-penyebab yang menjadikan proses
tertentu tidak maksimal. Talent bisa menggunakan pendekatan
fish bone

125
Gambar diatas adalah diagram fish bone. Talent bisa mencari
penyebab masalah atau bottle neck dengan pertanyaan, “dari sisi
man apa yang menyebabkan proses kerja (project yang
dilakukan) tidak berjalan maksimal?” Jawaban pertanyaan
tersebut kemudian ditulis digaris horisontal tulang man. Jika
penyebabnya lebih dari satu, talent bisa menambahkan garis
gorisontal sendiri, sejumlah dengan penyebab yang ditemukan.

Saat sudah menemukan penyebabnya dari sisi man, kemudian


diperdalam lagi dengan pertanyaan “apa yang menyebabkan
penyebab dari sisi man muncul?’ Jawaban pertanyaan ini
kemudian dituliskan pada tulang vertical, diatas atau dibawah
garis horisontal. Begitu seterusnya sampai menemukan akar
masalahnya.

Pertanyaan yang sama juga ditanyakan untuk aspek machine,


method, material dan environment. Begitu juga dengan cara
penulisannya.

Setelah menemukan penyebabnya, talent kemudian menganalisa


semua bottle neck tersebut. Tujuannya adalah menentukan bottle
neck mana yang menjadi penyumbang paling besar dari
masalah. Cara yang bisa dilakukan untuk menentukan bottle

126
neck paling besar adalah dengan menggunakan Pareto. Prinsip
analisa pareto adalah 20:80. Perhatikan gambar dibawah ini :

Artinya dari 100% bottle neck yang terjadi, 20% bottle neck
sebenarnya menyumbang 80% bottle neck. Dan sebaliknya 80%
bottle nect sisanya hanya berpengaruh 20% saja terhadap bottle
nect. Dengan menggunakan prinsip ini, telent diminta untuk
menentukan 20% bottle nect terbesar.

Masih di tahap plan, setelah menemukan 20% bottle neck


dominan langkah berikutnya adalah membuat action plan untuk
solving bottle neck tersebut. Pastikan action plan yang dibuat
setidaknya memiliki unsur what – how – who – when. Setelah
action plan dibuat, berarti tahap plan sudah selesai.

Langkah kedua dari PDCA adalah do, artinya


mengimplementasikan action plan yang sudah dibuat. Saat do
the action plan, akan terjadi dinamika team yang akan dialami
talent. Di artikel berikutnya, ada beberapa cerita good practice
tentang dinamika yang akan terjadi selama do the action plan.

127
Seperti semua proses yang terjadi, untuk melihat effectivitas dari
action plan dan implementasinya, tentunya perlu dilakukan
check atau evaluasi. Tujuannya untuk melihat apakah action
plan yang dibuat memang sudah tepat sasaran dan apakah
implementasi yang dilakukan sudah sesuai. Evaluasi dilakukan
sepanjang proses dan bisa dilakukan mingguan, ataupun
bulanan.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan, tahap keempat dari PDCA


berupa action bisa dilakukan. Action yang dimaksud adalah
melakukan action terhadap hasil evaluasi yang dilakukan.
Dengan selalu action hasil evaluasi akan membuat project
improvement menghasilkan hasil yang baik.

Point Penting : Program development


dengan experience bisa dilakukan dengan
pendekatan penugasan atau project
assignment talent untuk membuat program
improvement
Perusahaan bisa mensupport project
assignment talent dengan menyiapkan tool
berupa PDCA (Plan – Do – Check – Action)

128
TALENT TIGA GENERASI

PDCA – Plan Do Check Action adalah salah satu tool yang bisa
digunakan perusahaan untuk mengaplikasikan people
development dengan experience. Jika di artikel sebelumnya, cara
membuat plan dibahas lebih dalam daripada proses lain, di
artikel-artikel berikutnya akan lebih banyak membahas good
practice yang terjadi saat talent “do” atau
mengimplementasikan plan yang dibuat.

Saat mengimplementasikan PDCA dalam proses experience,


seorang talent seringkali dipengaruhi oleh periode kelahiran.
Coba saja perhatikan tingkah laku tiga talent beda generasi yang
memimpin Jakarta. Perbedaan cara kerja memunculkan
komentar Sutiyoso tentang "blusukannya" Jokowi dan
"vulgarnya" kemarahan Ahok. Sutiyoso yang lahir 6 Desember
1944 bisa dikategorikan sebagai generasi Veterans (1922-1945).
Sedangkan Jokowi (21 Juni 1961) termasuk generasi akhir Baby
Boomer (1945-1965), belum lagi Ahok (29 Juni 1966) yang
sudah memasuki era Generasi X (1965-1980).

Berbeda generasi, berbeda cara mengimplementasikan project


assigment. Para veteran bekerja dengan core value "respect for
authority discipline" sedangkan Baby Boomer bekerja dengan
"optimism, involvement". Jelas sudah kenapa Sutiyoso lebih
memilih ketegasan (respect for authority discipline) dalam
memimpin dan Jokowi memilih terlibat langsung (involvement)
dengan rakyatnya.

Dua generasi yang berbeda saja sudah merepotkan apalagi jika


sebuah team dibangun oleh tiga atau empat generasi. Rata-rata,
perusahaan di Indonesia sekarang diisi tiga generasi talent yang
berbeda, Gen X (1966-1980), Gen Y (1981-1995), dan Gen Z

129
(1996-Now). Kondisinya sekarang, Gen X memimpin Gen Y
dan Z. Jika tidak segera didamaikan bakal terjadi Real Madrid
Jilid 2 (Tahun 2003-2006, Real Madrid bertaburan talent,
Zinedine Zidane, Ronaldo, Luis figo, R.Carlos, Raul Gonzales
dan David Beckham,dll namun tidak memenangkan piala
apapun). Talent generasi X yang lebih senang terlibat dan
melibatkan diri, terasa tidak serasi dengan talent generasi Y dan
Z lebih memilih "freedom is the Best reward". "Bapak diam
saja, tunggu laporan dari kami, beres sudah urusan" begitu
generasi Y dan Z selalu berdebat dengan generasi X yang ingin
dilibatkan dalam setiap urusan.

Konflik yang akan muncul saat implementasi project


improvement tidak hanya terjadi antara talent yang berbeda
generasi, namun juga terjadi antara talent dengan karyawan-
karyawan lain. Selain dari karakteristik periode kelahiran,
karakterisktik great talent (stay focused on their goal, punya
high standard, positif thingking dan eager to learn) juga kadang
kala menjadi pedang bermata dua saat talent salah
mengeluarkan karakteristiknya pada situasi yang salah.

Seorang karyawan dari sebuah perusahaan yang memiliki kantor


cabang di Kalimantan Selatan dikategorikan sebagai talent oleh
perusahaan. Sebagai karyawan dengan jenjang managing self
dan didevelop untuk managing other, dia mengikuti program
development jenis experience dengan diberikan sebuah team
untuk dipimpin. Sebagai mana salah satu ciri seorang talent, dia
selalu menuntut standar yang tinggi dalam bekerja. Namun, bagi
anggota team nya yang tidak bisa mengejar high standard yang
dimiliki membuat rekan sekerjanya menjuluki Si Talent dengan
julukan Songong Officer. Berbeda dengan pandangan
bawahannya anggota team nya, high standard yang dimiliki
oleh Si Talent dipandang sebagai sesuatu yang positif bagi
perusahaan.

130
Ada juga seorang talent yang menduduki posisi managerial lini
tengah memiliki character berani mengambil inisiatif dan stay
focus on goal. Dia juga mendapat tugas mengikuti program
development jenis experience dengan memimpin sebuah team.
Karena terlalu focus pada goal menjadikannya keras kepala.
Anggota team nya pun berpandangan negative karena setiap
kebijakan yang dibuat tidak boleh diganggu gugat, sehingga
membuat anggota team nya bekerja mati-matian menjalakan
kebijakan yang dibuat. Walaupun dipandang negative oleh
anggota teamnya, namun character stay focus on goal yang
dimiliki Sang Talent dipuji oleh perusahaan. Karena apapun
project yang diberikan perusahaan kepada Sang Talent selalu
bisa diselesaikan dengan cepat.

Seorang talent memang kadang kala menakutkan. Di satu sisi


mereka menjadi anak emas perusahaan, dan di sisi lain kadang
kala seorang talent merusak kerjasama team. Salah satu
character khas mereka yang mengambil tanggungjawab kadang
kala membuatnya berinisiatif menyelesaikan masalah saat ada
ketidakberesan di section lain. Akibatnya, section lain pun
merasa dicampuri tugas dan tanggungjawabnya.

Character lain yang kadang kala menjadi masa pisau yang


berbalik menyerang talent adalah character menuntut standar
yang tinggi. Saat telent bekerja dalam team yang tidak bisa
dinaikkan standarnya, lagi-lagi seorang talent akan merusak
ritme kerjasama team. Orang yang bekerja lamban akan dipaksa
untuk mengikuti ritme kerja yang paling cepat (biasanya pemilik
ritme ini ya talent itu sendiri). Tapi yang terjadi ritme nya akan
selalu timpang. Akibatnya sinergi yang ingin dihasilkan dari
kerjasama team tidak terjadi. Masalah pun bermunculan di
dalam team. Bukannya super team yang akan tercipta, tapi
seorang talent akan berubah menjadi Superman dengan
character mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah yang terjadi.

131
Pertanyaannya, bagaimana cara nya agar para talent khususnya
dan karyawan yang bekerja dengan talent saling memahami
karakteristik tiap generasi?

Tentunya perusahaan perlu mengantisipasi dan memberikan


solusi. Sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang pembentukan
team, fase yang terjadi antar talent ataupun talent dengan
anggota team lain wajar terjadi. Dalam prosesnya sebuah team
akan melalui fase forming – storming – norming baru kemudian
team tersebut performing.

Fase forming layaknya fase bulan madu sepasang kekasih. Tidak


ada kekawatiran, dunia berasa milik berdua. Memasuki fase
storming, anggota team mulai menunjukan karakter asli, dan
satu sama lain belum bisa saling memahami. Akibatnya mulai
muncul perselisihan-perselisihan dan ketidakpuasan. Saat semua
perselisihan mulai bisa diatasi, perbedaan karakter mulai
dipahami, team melangkah satu proses lagi ke tahap norming. Di
tahap ini, semua anggota team mulai membuat norma kelompok
untuk menyelesaikan permasalahan dan menerima perbedaan.
Dan akhirnya team melangkah pada fase performing, dimana
anggota team mulai bersinergi bekerjasama untuk menghasilkan
performance terbaik.

132
Tentunya jika fase storming ini tidak selesai dengan baik,
performance yang dihasilkan pun tidak sesuai dengan harapan.
Ada sebuah pengalaman nyata yang dialami seorang talent saat
mengikuti program development experience dengan rotasi
mutasi ke cabang lain. Namun yang unik, di cabang baru, Sang
Talent tidak menunjukkan performance yang diharapkan.
Talent lain yang dihire dari perusahaan lain dengan harapan agar
mampu menularkan high performance juga tidak menunjukan
yang diharapkan.

Hal ini dikarenakan fase stormingnya belum selesai, atau bahasa


sederhananya ketiadaan environment readiness untuk
mendukung seorang talent. Dengan melakukan rotasi dan mutasi
kerja ketempat lain, talent akan membawa sudut pandang baru
bagi team tersebut. Apalagi ditambah dengan character great
talent yang memiliki high standard dan focus on goal akan
membuat tangan mereka gatal untuk membuat perubahan. Dan
jika berbicara tentang perubahan, banyak orang menginginkan
perubahan, namun tidak banyak orang yang ingin berubah.
Sehingga konflik terjadi, dan high performance yang diharapkan
perusahaan akhirnya tidak muncul.

Ketidak siapan lingkungan termasuk team untuk mensupport


talent juga pernah dirasakan Ronaldinho. Pemain dunia yang
pada tahun 2005 sempat memperkuat Barca dan AC Milan, pada
tahun 2011 memutuskan berhijrah ke klub Flamenggo.
Menariknya, selama satu tahun berjuang di Flamenggo,
Ronaldinho kehilangan sinarnya. Merasa dikecewakan
Flamenggo, pada tahun 2012, Ronaldinho kembali berhijrah
ke Atletico Mineiro. Berbeda di Flamenggo, penampilan
Ronaldinho di klub baru mulai menunjukkan kembali sinarnya.
Bahkan Eduardo Maluf direktur Atletico Mineiro
memperpanjang kontrak Ronaldinho.

133
Tak heran, Phil Jackson pelatih basket LA. Lakers pernah
berkata, “merekrut pemain-pemain terbaik adalah satu hal, dan
menjadikan para pemain terbaik bekerja sebagai team adalah hal
lain”. Masih ingat artikel di chapter pertama, bahwa motivasi
utama untuk menjadikan potency menjadi competency dan
competency menjadi performance adalah passion. Dan tugas
perusahaan adalah memberikan motivasi external berupa
support. Seorang talent tidak akan menjadi talent jika
lingkungan sekitarnya tidak mendukung.

Agar fase storming tersebut bisa dilalui dengan smooth oleh


seluruh anggota team, maka perusahaan perlu memberikan full
support dalam program pengembangan tersebut.

Boston Consulting Group


memberikan formula agar
sebuah team bisa perform.
Setidaknya sebuah team
memiliki lima hal berikut,
yaitu Visioner Leaders,
Working Climate, Clear
Structure, Open
Communication, dan
Performance Fokus.
Perusahaan bisa
mensupport environment
readiness dengan
menyiapkan visioner leader, clear structure, dan performance
fokus. Sedangkan talent sendiri juga memiliki tanggungjawab
melancarkan fase stroming dengan menciptakan working
climate dan open communication.

Dengan konflik yang semakin memuncak di fase storming,


peran visioner leaders akan sangat banyak membantu. Selain
memiliki visi kedepan, visioner leader ditandai dengan role

134
model yang dipercaya orang. Dengan ciri yang dimiliki,
terutama menjadi orang yang dipercaya, seorang visioner leader
memiliki keunggulan untuk menginfluence orang lain, kata-kata
nya dipercaya untuk mengubah sudut pandang antar talent
ataupun anggota team terhadap talent. Merekalah para change
agent yang jumlahnya tidak banyak, namun sangat diperlukan
perusahaan. Dengan ciri dan kelebihan yang dimiliki, visioner
leader akan sangat cocok menjadi mediator atau pendamai di
fase storming.

Clear structure juga menjadi support yang tidak kalah


pentingnya untuk menyiapkan environment readiness. Dengan
memiliki structure team yang jelas, kejelasan tugas
tanggungjawab, ataupun wewenang bisa terlihat jelas. Kejelasan
ini akan mengurangi konflik, karena setiap orang diharapkan
fokus pada tanggungjawab dan wewenangnya masing-masing.
Contohnya saja, seorang talent yang sedang melakukan job
assignment namun tidak tahu tugas janggungjawab dan
wewenangnya, bisa jadi melakukan pekerjaan diluar
wewenangnya.

Jika program development experience


yang dilakukan perusahaan dalam
bentuk project improvement,
perusahaan bisa menggunakan konsep
Belbin untuk menentukan team yang
akan terlibat. Perusahaan menentukan
orang dan posisi yang akan terllibat
dalam project, dengan semangat “the
right man in the right place”. Anggota
team akan diberikan test untuk melihat
karakterisk nya masing-masing,
dimana Belbin menjelaskan bahwa
team yang perform memiliki clear
structure dengan delapan jenis role

135
yang berbeda, yaitu plant, resouces investigator, co –ordinator,
shaper, monitor evaluator, team worker, implementer,
completer finisher dan specialist.

Support ketiga yang perlu diberikan perusahaan adalah


menyediakan sistem agar talent bisa fokus pada performance
atau goal. Laksana orang naik taxsi, orang yang punya uang Rp
100.000 namun tidak memiliki tujuan akan berkata pada supir
taxsi “saya punya uang Rp 100.000, bawa saya”. Supir taxsi nya
bingung dan bertanya “kemana tujuan bapak?” Orang tersebut
menjawab “terserah bapak”. Akhirnya supir taxsi tersebut
membawa taxsi nya berputar-putar dan saat argonya
menunjukan angka Rp 100.000,- orang tersebut diturunkan.
Bukannya sampai ketujuan, orang tersebut tersesat entah
kemana. Begitu juga saat team tidak memiliki tujuan, team akan
tersesat dari tujuan team tersebut dibuat.

Goal sebuah team harus dibikin SMART, - specific –


measurable – achievable – reasonable – time line. Cara
membuat goal bisa dilakukan seperti chapter ke dua, terutama
pada artikel Performance Appraisal Redefine.

Point Penting : Saat mengimplemantasikan


PDCA sebagai program development
experience talent akan melewati fase
storming yang penuh konflik
Perusahaan perlu memberikan support
kepada talent dalam hal menyediakan :
a. Visioner leader yang menjadi
mediator
b. Clear structure
c. Performance system

136
MELICINKAN STORMING

Selain menjadi tanggungjawab perusahaan untuk memberikan


support agar fase storming dilewati dengan smooth, talent juga
perlu memberdayakan dirinya untuk bisa melewati fase storming
dilewati dengan smooth. Ada dua hal yang bisa dilakukan talent,
yaitu open communication dan working climate.

Storming memang fase tergawat dari pembentukan team, karena


semua anggota team memperlihatkan "saya" yang asli. Di
tambah lagi dengan adanya permainan mencari pembenaran,
bisa jadi team akan mati sebelum bisa menunjukkan sinergi
sebagai team. Itulah mengapa semua agama tidak
memperbolehkan pengikutnya bergosip. Biarkan orang yang
merasa punya masalah saling bertemu dan memberikan
berkomunikasi secara terbuka. Bentuk keterbukaan tersebut ada
dua, yaitu terbuka menyampaikan sudut pandangnya dan
terbuka menerima sudut pandang orang lain.

Coba perhatikan film Sang Pencerah, sebuah film yang


menceritakan perjuangan KH Ahmad Dahlan melakukan
pelurusan terhadap pelaksanaan Islam yang dibengkokkan.
Salah satu adegan di fase storming yang tidak berjalan mulus
adalah saat KH Ahmad Dahlan mengajukan izin kepada Hoofd
Penghulu Masjid Kauman untuk membuat organisasi
Muhammadiyah. Namun, Hoofd Penghulu tidak mau
memberikan izin pada KH Ahmad Dahlan karena dianggap
mengangkat diri sebagai resident. Bukan nya saling membuka
komunikasi duduk dan saling berbicara, Hoofd Penghulu malah
mencari pembenaran dan menggalang kelompok yang sesuai
dengan pemikirannya.

KH Ahmad Dahlan pun dikucilkan bahkan dianggap kafir oleh


kelompok Hoofd Penghulu. Sayang nya KH Ahmad Dahlan

137
juga tidak bertanya kepada Hoofd Penghulu kenapa pengajuaan
izin nya ditolak. Sultan Hamangkubuwono pun akhirnya
menyuruh bawahannya untuk memediasi antara Hoofd Penghulu
dan KH Ahmad Dahlan. Mereka berdua diminta untuk bertemu,
menyamakan persepsi dengan berkomunikasi secara terbuka.
Ternyata setelah berdiskusi ketemulah penyebab perbedaan
persepsi mereka. Akhirnya Hoofd Penghulu paham dengan
maksud dan perilaku KH Ahmad Dahlan. Hubungan mereka pun
kembali harmonis, hingga akhirnya sampai sekarang wilayah
Kauman Yogjakarta terkenal sebagai pusat Muhammadiyah.

Ada juga sebuah adegan tentang fase storming yang dialami KH


Ahmad Dahlan dengan muridnya yang bernama Muhammad
Sudja. Diceritakan semua murid KH Ahmad Dahlan dilarang
mengaji oleh orang tua mereka, karena KH Ahmad Dahlan
bergabung dengan Boedi Oetomo. Para orang tua santri
menganggap Boedi Oetomo sebagai organisasi yang sering
menghina Islam sebagai agama mistis. Saat itu lah kemudian
Muhammad Sudja menyamakan persepsi dan berkomunikasi
secara terbuka kepada KH Ahmad Dahlan. “Kenapa KH Ahmad
Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo?” KH Ahmad Dahlan
pun menjawab, “kalau dia sedang mencari ilmu bagaimana
mengelola organisasi dan mengajar supaya beliau mampu
mendidik umat”. Setelah paham dengan maksud tujuan KH
Ahmad Dahlan, akhirnya para santri nya bahkan berjanji untuk
selalu membela KH Ahmad Dahlan.

Selain berkomunikasi secara terbuka, ada satu unsur lagi yang


perlu dilakukan oleh talent yaitu working climate. Kedua hal
tersebut sebenarnya tidak bisa saling dipisahkan dan menjadi
satu kesatuan. Sederhananya adalah saat melakukan open
communication juga perlu dijaga working climate nya, saat
melakukan komunikasi talent perlu menjaga hubungan baik.
Ada satu quote manarik yang bisa mewakili gabungan kedua

138
unsur tersebut “yang terpenting bukan apa yang Anda katakana,
namun bagaimana Anda mengatakannya”.

Sayangnya beberapa talent hanya melakukan satu unsur saja,


open communication atau working climate saja. Saat talent
hanya berfokus pada open communication bisa jadi cara
mengatakannya kasar dan keras sehingga bukannya
menyelesaikan fase storming, namun malah memperparah fase
storming. Sebaliknya, karena ada talent yang berfokus pada
working climate membuat dirinya tidak mau melakukan open
communication. “Daripada saya merusak suasana team,
mending saya memendam ketidaksukaan saya”, begitu mungkin
suara hati talent. Benar suasana team nya terjaga, namun karena
ada beban dalam hati nya saat bekerja bersama team,
performance yang dimunculkannya pun tidak akan maksimal.
Peran visioner leader yang menjadi coach di team lah untuk
memberikan pemahaman kepada talent untuk melakukan kedua
hal tersebut.

Selain memberikan pemahaman, coach juga bisa memberikan


knowledge dan skill kepada talent untuk melakukan open
communication yang menjadi working climate. Caranya adalah
dengan memastikan talent menggunakan REACH saat
berkomunikasi. REACH adalah singkatan dari Respect,
Empathy, Audible, Clarity, dan Humble.

Point Penting : Fase storming dalam experience program


juga menjadi tanggungjawab talent untuk mengatasi
Dengan dibantu visioner leader yang menjadi coach, talent
bisa melakukan dua hal agar fase storming selesai dengan
smooth, yaitu :
a. Open communication
b. Working climate

139
SUCCESSION

Motivasi terbesar bisa didapat dari kenaikan gaji. Kesialan


terbesar berasal dari promosi tanpa naik gaji. Kejutan terbesar
berasal dari kenaikan gaji tiba-tiba walau bekerja biasa-biasa
saja. Penrunan semangat terbesar adalah terlambat menerima
gaji. Kesedihan terbesar karena bos kabur sambil membawa
lari gaji karyawannya

140
4
Succession
Pada dasarnya semua orang itu pintar, yang membuat
mereka bodoh sebanarnya karena belum bertemu dengan
guru dan metode belajar yang baik (Yohanes Suryo)

Di chapter-chapter sebelumnya sudah dibahas tentang ciri-ciri


talent yang mempunyai dua ciri yaitu high performance dan
high potential yang kemudian di chapter berikutnya dilanjutkan
dengan cara mengidentifikasi talent. Frame work berikutnya
adalah mendevelop Learning and Development. Objective di
frame work keempat ini adalah mengembangkan talent di
current position.

Investasi mendevelop sendiri tentunya tidak lah murah.


Contohnya program development dengan menggunakan metode
education, biaya training semacam sertifikasi bisa mencapai Rp
50.000.000,- per orang/training, belum biaya akomodasi yang
biasanya lebih besar dari pada biaya trainingnya sendiri. Belum
lagi waktu yang hilang karena digunakan untuk training,
sehingga produktivitas menurun. Semua investasi tersebut
tentunya harus dikembalikan.

Di framework kelima, yaitu succession planning, kesuksesan


investasi development competency di current position diukur. Di
frame work kelima ini juga, organisasi akan merencanakan
future position untuk talent yang menunjukan hasil bagus dari
investasi development di current position.

Setelah future position ditetapkan maka framework keenam


berupa learning and development dilakukan. Bedanya learning
and development di frame work keempat dan keenam adalah

141
difokus competency yang dikembangkan. Di framework
keempat competency yang dikembangkan adalah competency di
current position, sedangkan di framework keenam competency
yang dikembangkan adalah competency untuk future position.

Kembali ke frame work kelima berupa succession planning yang


memiliki dua objective berupa mengevaluasi proses learning
development dan merencanakan future position untuk talent,
talent diarahkan pada next position. Di frame work succession
planning inilah semua biaya investasi tersebut akan diukur.
Apakah memang investasi yang dikeluarkan untuk proses
learnimg and development berhasil mendevelop talent baik di
competency current position ataupun future position? Kalau
memang talent mampu menutup gap competency di current
ataupun future position maka investasi yang dikeluarkan
tidaklah sia-sia, sebaliknya saat talent gagal menutup gap
competency nya maka investasi yang dikeluarkan menjadi sia-
sia.

Dengan mengetahui hasil evalusi yang dilakukan, organisasi


juga bisa melihat seberapa besar return of investment yang
sudah dilakukan. Seringkali tantangan untuk menunjukan return
of investment inilah yang menjadi tantangan rekan-rekan di
people development. Sehingga sering kali management sering
mempertanyaan, apa manfaat learning and development bagi
performance organisasi. Dengan memberikan data evaluasi
learning and development lah pertanyaan dari management
tersebut bisa dijawab.

Manfaat lain dari melakukan evaluasi pasca learning and


development adalah organisasi juga bisa mendapatkan manfaat
informasi efktifitas program learning and development yang
dilakukan. Informasi ini akan menunjukan program learning
and development yang dilakukan. Karena bisa jadi kegagalan
talent menutup gap competency dikarenakan dari design

142
program nya yang tidak sesuai. Atau bisa jadi design program
nya sudah sesuai namun orang yang bertugas mendelivery
learning and development program, baik trainer, facilitator,
coach ataupun mentornya tidak mendelivery dengan baik.

Dengan informasi efektifitas program learning and development


yang dilakukan tentunya akan sangat membantu organisasi
untuk memperbaiki design programnya.

Kirkpatrick Evaluation

Dengan cara apa organisasi bisa mengevaluasi program learning


and development yang dilakukan? Salah satu pendekatan yang
familiar digunakan oleh organisasi untuk mengevaluasi program
learning and development berasal dari konsep yang
dikembangkan oleh Donald L. Kirkpatrick.

Keunggulan pendekatan evaluasi learning and development


yang dikembangkan oleh Kirkpatrick terletak pada empat
jenjang evaluasi yang tidak hanya bisa digunakan untuk
mengukur program dengan pendekatan education in class
training, namun juga bisa diterapkan untuk mengukur program
exposure dan experience. Sehingga evaluasi yang dilakukan
tidak hanya pada competency dimensi knowledge namun juga
dimensi skill dan dimensi abilities.

Dengan hasil evaluasi yang menghasilkan informasi competency


secara lengkap akan membantu organisasi untuk menentukan
kesiapan talent menempati future position. Karena data hasil
evaluasi tersebut juga bisa berguna sebagai assessment
competency.

Seperti apa konsep pendekatan evaluasi leraning and


development dari Kirkpatrict? Ada empat level evaluasi yang
dikenalkan oleh Kirkpatrik. Keempat level tersebut didasarkan
pada kemudahan penggunaan dan value atau informasi yang

143
dihasilkan dari evaluasinya. Secara berjenjang dari tingkat
kemudahan dan informasi yang dihasilkan adalah reaction,
learning, application dan business impact.

Level satu dari evaluasi Kirkpatrict adalah reaction. Evaluasi di


level ini digunakan untuk mengevaluasi proses learning and
development. Evaluasi di level ini meliputi reaksi peserta setelah
mengikuti learning and development. Logika yang digunakan,
orang akan belajar lebih efektif saat dalam kondisi emosi yang
positif. Evaluasi level satu ini bisa digunakan untuk semua
pendekatan learning and development baik education, exposure
ataupun experience.

Satu hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan evaluasi


level satu adalah timely atau sesaat setelah program learning and
development selesai. Evaluasi level satu tidak bisa dilakukan
setelah ada selang waktu. Hal ini karena evaluasi level satu
mengukur reaksi emosi seseorang. Jika evaluasi dilakukan
setelah beberapa selang waktu maka dikawatirkan peserta sudah
lupa dengan emosi yang dialami saat proses learning and
development. Atau bisa jadi setelah beberapa saat, karena ada

144
stimulus lain seperti beban pekerjaan, menjadikan evaluasi yang
dilakukan menjadi tidak objective lagi.

Secara umum reaksi positif participant learning and


development berasal dari orang yang mendelivery dan fasilitas
belajar. Bukankah jika Anda belajar dari guru (trainer,
facilitator, coach ataupun mentor) yang menyenangkan maka
Anda pun juga akan senang belajar? Dan bukankah saat Anda
belajar di suasana dan fasilitas belajar yang menyenangkan
maka emosi Anda pun juga berubah menjadi senang?

Indicator yang bisa digunakan dalam mengevaluasi reaksi emosi


peserta pasca learning and development dari sisi fasilitas belajar
bisa berupa kesiapan ruangan belajar, fasilitas di dalam ruangan
belajar, ataupun kenyamanan ruangan ruang belajar. Sedangkan
indicator yang bisa digunakan dalam mengevaluasi reaksi
peserta dari sisi orang yang mendelivery learning and
development diantaranya kesesuaian objective training dengan
harapan peserta, cara trainer mendelivery training, kejelasan
trainer dalam mendelivery training dan indikator- indikator lain
yang bisa membuat peserta learning and development bisa
merasakaan belajar dengan menyenangkan.

Dengan melihat kemudahan penggunaan evaluasi level satu, tool


ini sangat sering dan umum digunakan organisasi untuk
mengukur learning and development. Bahkan Learning
Resource Network dalam risetnya menemukan, 77% organisasi
menerapkan evaluasi level satu dalam program learning and
development mereka.

Evaluasi level dua yang diperkenalkan Kirkpatrict adalah


learning atau knowledge. Logika berfikirnya dengan emosi
positif maka orang belajar efektif, ukuran efektifitas tersebut
ditandai dengan transfer knowledge dari guru ke participant
learning and development. Cara yang bisa digunakan untuk

145
melihat efektifitas transfer knowledge ini adalah dengan
knowledge test, yaitu dengan pre dan post test.

Evaluasi level dua ini bisa dilakukan untuk learning and


development berupa education in class dan exposure. Sebelum
talent mengikuti program education in class training diberikan
pre test dan setelah mengikuti program education in class
training, mereka diberikan post test. Begitu juga dengan
program exposure, sebelum mereka mengikuti program
exposure, coaching contohnya, bisa jadi coach nya memberikan
pre test dan setelah coaching selesai, talent pun diberikan post
test.

Dari sisi kemudaan penggunaan, evaluasi level dua cenderung


lebih komplek dari pada evaluasi level satu, namun informasi
yang diperoleh dari evaluasi level dua ini lebih tinggi nilainya.
Dengan melakukan evaluasi level dua, organisasi mulai bisa
melihat competency talent. Karena evaluasi level dua, organisasi
mengukur dimensi competency berupa knowledge.

Bahkan untuk beberapa program learning and development bisa


mengukur dimensi competency skill. Program learning and
development untuk mengembangkan technical skill seperti
Preventif Maintenance contohnya. Evaluasi level dua bisa
dilakukan dengan memberikan pre practical test
mememperbaiki mesin tertentu, post practical test nya juga
diminta memperbaiki mesin tertentu. Kemampuan untuk
memperbaiki mesin tersebut membuktikan dimensi competency
skill talent.

Walaupun informasi yang didapat bermanfaat untuk mengukur


dimensi competency seseorang, sayangnya masih jarang
organisasi yang menerapkan evaluasi level dua. Bahkan dari
riset yang dilakukan Learning Resource Network, hanya ada
36% organisasi yang menerapkan evaluasi level dua.

146
Evaluasi learning and development berikutnya yang
diperkenalkan oleh Kirkpatrict adalah evaluasi level 3.
Kirkpatrict memberikan nama evaluasi level tiga ini dengan
application atau behavior change. Logika berfikir dari evaluasi
level tiga ini adalah tentunya knowledge dan skill yang dipelajari
tidak berarti saat tidak diterapkan. Sejalan dengan sebuah
pepatah bahwa “ilmu tanpa amal bagaikan pohon yang tidak
berbuah”.

Bukankah banyak orang yang memiliki competency namun tidak


menerapkan competency yang dimiliki. Ada orang yang
memiliki knowledge dan skill untuk memberikan customer
excellent namun tidak menerapkan knowledge dan skill nya
dalam pekerjaan. Ada lagi orang yang punya skill dan
knowledge handle customer complain, namun tidak menerapkan
skill dan knowledge nya. Alasannya bisa jadi bermacam-macam,
bisa jadi karena tidak ada dorongan dari atasan untuk
menerapkan knowledge dan skill tersebut. Ada lagi yang
beralasan tidak mendapatkan manfaat dengan menerapkan
knowledge dan skill yang dimiliki, dan alasan-alasan lain.
Padahal ukuran sebuah pengetahuan dan keahlian dikatakan
sebagai competency jika memiliki syarat ketiga, yaitu dimensi
attitudes sikap menunjukan perilaku mengaplikasikan
pengetahuan dan keahlian tersebut.

Di evaluasi level tiga ini lah akan dilihat dimensi ketiga dari
competency, yaitu attitude. Kemampuan melihat atau mengasess
ketiga dimensi competency (knowledge, skill dan attitudes) ini
lah yang menjadi salah satu keunggulan pendekatan evaluasi
learning and development Kirkpatrict. Hasil evaluasi dari level
dua dan tiga ini tentunya akan sangat bermanfaat sebagai ukuran
awal kesiapan talent menempati posisi berikutnya.

Karena evaluasi level tiga melihat aplikasi knowledge dan skill


di dalam tempat kerja maka evaluasi ini tidak bida dilakukan

147
untuk pendekatan learning and development berupa education
dan exposure. Artinya evaluasi level tiga hanya bisa dilakukan
untuk pendekatan learning and development menggunakan
experience.

Secara kompleksitas cara pengukuran, evaluasi level tiga ini


memang lebik komplek dari evaluasi level satu dan dua. Di
evaluasi level tiga, organisasi butuh menyiapkan tool yang lebih
komplek untuk mengevaluasi behavior change yang terjadi
untuk mengaplikasin knowledge dan skill yang dimiliki.

Karena kompleksitas pengukuran evaluasi level tiga inilah maka


tidak banyak organisasi yang menerapkan. Walaupun informasi
yang didapat dari evaluasi level tiga ini memiliki keunggulan
dari dua level evaluasi sebelumnya. Riset yang dilakukan
Learning Resource Network menunjukan hanya ada 15%
organisasi yang menerapkan evaluasi level tiga.

Bahkan, organisasi cenderung lebih memilih membayar lebih


mahal untuk mengetahui hasil learning and development dengan
melakukan assessment competency. Padahal dengan melakukan
evaluasi level tiga, organisasi bisa mendapat hasil lebih cepat
dan lebih murah.

Evaluasi learning and development berikutnya yang


diperkenalkan Kirkpatrick adalah evaluasi level empat atau
lebih dikenal sebagai evaluasi business impact. Logika berfikir
dari evaluasi level empat ini adalah orang senang saat belajar
akan berefek pada efektifitas menyerap knowledge dan skill
yang ditransfer, yang kemudian diterapkan di tempat kerja,
pertanyaan selanjutnya seberapa efektif penerapan knowledge
dan skill tadi? Dan apakah penerapan knowledge dan skill tadi
memiliki impact terhadap business? Evaluasi level empat
bertugas menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab.

148
Semakin besar impact terhadap business maka semakin effective
penerapan competency.

Besarnya business impact yang dihasilkan dari penerapan


competency juga akan memperlihatkan kesesuaian learning and
development program yang dibuat dengan competency yang
dibutuhkan untuk posisi tertentu. Karena bisa jadi, talent sudah
menerapkan competency yang didapat dari hasil learning and
development secara efektif, namun impact business yang
dihasilkan masih kecil. Penyebabnya ternyata karena
competency yang dihasilkan dari proses learning and
development tidak sesuai dengan yang dibutuhkan diposisi
tersebut.

Disinilah keunggulan lain dari pendekatan evaluasi Kirkpatrict.


Selain bisa digunakan sebagai tolak ukur closing gap
competency, karena bisa mengukur tiga dimensi competency,
pendekatan evaluasi Kirkpatrict juga bisa digunakan untuk
mengevaluasi kesesuaian learning and development program
dengan competency yang dibutuhkan untuk posisi tertentu.

Karena evaluasi level empat digunakan untuk melihat business


impact maka evaluasi level empat ini hanya bisa digunakan
untuk mengukur learning and development dengan pendekatan
experience. Contohnya adalah dengan memberikan talent job
assignment untuk mengaplikasikan knowledge dan skill yang
sudah didapat.

Tentu saja evaluasi level empat ini memiliki kompleksitas yang


lebih tinggi dari tiga level sebelumnya. Challenge di evaluasi
level empat ini tidak hanya melihat apakah knowledge dan skill
diterapkan, namun seberapa effective penerapannya. Sehingga
informasi yang didapat dari evaluasi level empat ini memiliki
value yang lebih tinggi dari tiga level evaluasi sebelumnya.
Walaupun begitu, karena kompleksitas evaluasinya, sedikit

149
organisasi yang menerapkan evaluasi level empat untuk
mengevaluasi program learning and development yang dibuat.
Riset yang dilakukan Learning Resource Network menunjukan
hanya ada 8% organisasi yang menerapkan evaluasi level empat.

Succession Planning

Setelah hasil evaluasi didapat tentunya organisasi bisa


menentukan seberapa besar competency yang dimiliki. Hasil
evaluasi level tiga dan empat yang bagus dari talent yang
mengikuti program learning and development untuk closing gap
di future position menandakan bahwa talent telah siap untuk
ditempatkan di-future position. Sedangkan, hasil evaluasi level
tiga dan empat yang bagus bagi talent yang mengikuti learning
and development program untuk closing gap competency di
current position berarti menunjukan sudah saat nya talent
mengikuti succession planning untuk future position.

Proses ini semakin menjadi framework yang kritikal diantara


framework yang lain. Karena salah menentukan succession
planning berarti salah menempatkan orang pada posisi yang
sesuai. Bisa jadi, employee dengan kategori talent di current
position, karena salah ditempatkan akan menjadi employee yang
masuk dalam kategori Enigma (high potencial namun low
performance).

Salah satu study kasus kejadian seperti ini berasal dari Citi
Group. Di tahun 2008, Citibank harus kehilangan uang sebesar
Rp 160 trilyun. Harga sahamnya hancur berantakan, dari sebesar
$ 57 turun ke angka $ 20, sehingga membuat para pemegang
sahamnya kehilangan market value sebesar Rp 1,400 trilyun.
Penyebabnya adalah kegagalan membuat succession planning
untuk menggantikan posisi CEO. Sandy Weill sang CEO Citi
Group pada tahun 2003 memutuskan pensiun dan memilih salah
satu suksesor yang akan menggantikan dirinya. Menariknya,

150
Sandy Weill tidak menggunakan pendekatan succession
planning dalam memilih penggantinya, namun menggunakan
pendekatan “cronyisme - perkoncoan”. Dari sejumlah kandidat
yang muncul, Weill memilih Charles Prince, bukan karena yang
terbaik, namun lebih karena ia yang paling loyal dengannya.

Pilihan Weill membuat banyak orang terkejut, karena Charles


Prince yang saat sebelumnya menduduki posisi Kepala Bagian
Legal dan tidak memiliki strong background dalam bidang
perbankan. Karena tidak ada succession planning yang kuat
tentu saja Charles Prince tidak dibekali dengan kemampuan
perbankan yang mumpuni. Akhirnya bencanapun terjadi, pada
tahun 2007 Citibank dihantam badai kredit macet perumahan
yang membikinnya terluka parah.

Cerita berbeda terjadi saat organisasi membuat succession


planning yang bagus. Perencanaan succession planning yang
matang membuat talent dengan high performance di current
position juga mampu menunjukan high performance pada future
position.

Salah satu talent yang berhasil


dididik dan menduduki posisi sesuai
dengan potensinya adalah Roberto
Goizueta. Sebagai suksesor CEO
Coca-Cola, Goizueta mengambil alih
tampuk pimpinan CEO pada tahun
1981. Nilai Coca-Cola pasa saat itu
sebesar $ 4 juta. Kesesuaian posisi
yang ditempati Goizueta
membuatnya menghasilkan high
performance, sehingga saat Goizueta
meninggal dunia pada tahun 1997, nilai Coca-Cola naik menjadi
$ 150 juta. Kenaikannya mencapai 3.500% hanya dalam waktu
16 tahun saja.

151
Menariknya walaupun semua organisasi sadar tentang
pentingnya succession planning, namun menurut sebuah studi
global yang dilakukan oleh WorkplaceTrends.com dan Saba,
hanya 23% perusahaan yang sudah merencanakan succession
planning sebagai prioritas utama. Marshall Goldsmith menulis
dalam bukunya Succession : Are You Ready?, bahwa hal yang
sulit dari membuat succession planning adalah begitu mudahnya
bagi CEO untuk terus menunda hal tersebut hingga hari terakhir
mereka bekerja.

Organisasi setidaknya perlu mempertimbangkan tiga hal dalam


membuat succession planning, yaitu passion, potency dan
competency. Ketiga hal tersebut sebelumnya sudah dibahas di
chapter pertama.

Untuk mengetahui passion talent, organisasi bisa melakukan


coaching kepada talent dengan menanyakan beberapa
pertanyaan. Beberapa pertanyaan yang bisa ditanyakan adalah :
a. Apa yang membuat Anda bahagia?
b. Apa yang paling Anda suka lakukan dan paling baik Anda
melakukannya?
c. Apa hobi dan aktivitas yang paling menarik bagi Anda?
d. Apa pelajaran dengan nilai terbaik yang Anda dapat di
sekolah?
Pertanyaan tersebut akan menentukan rewarding career yang
paling berharga dan memacu diri untuk berprestasi.

Sedangkan untuk memetakan potency, organisasi bisa


menggunakan hasil shourching and identification yang sudah
dibahas di chapter ke dua. Sebagai review, potency manusia bisa
berupa intelegency, bakat dan personality. Potency ini akan
menjadi tolah ukur future position.

Dari sisi personality contohnya. William Moulton (1928)


seorang ahli psikologi memetakan personality manusia ke dalam

152
empat kelompok. Kelompok pertama adalah orang-orang yang
memiliki orientasi pada tugas dan cenderung extrovert.
Kelompok ini dinamakan Moulton dengan kepribadian
Dominance. Kelompok kedua adalah kelompok yang memiliki

orientasi people dan cenderung extrovert. Orang-orang ini oleh


Moulton dinamakan kepribadian Influence. Kepribadian ketiga
yang oleh Moulton dinamakan Steadiness memiliki ciri punya
orientasi pada people dan memiliki kecenderungan introvert.
Dan kepribadian terakhir adalah kepribadian Complience
dengan orientasi tugas dan cenderung introvert.

Tiap kepribadian memiliki kecocokan untuk menempati posisi


tertentu. Jika posisi sebagai leader dipetakan ke dalam empat
kuadran berdasarkan pekerjaan yang dilakukan. Kuadran
tersebut akan terlihat seperti kuadran berikut. Perhatikan gambar
di samping, kuadran pertama disebut Proffessional Leader,
kuadran kedua adalah Business Leader, kuadran ketiga adalah
Operational Leader, dan kuadran keempat adalah Operational
Expert.

153
Orang dengan kepribadian Dominane yang memiliki orientasi
pada tugas dan cenderung extrovert tentunya cocok untuk posisi
Operational Expert. Dengan kecenderungan extrovert yang
mendapatkan energi dari berhubungan dengan orang lain sangat
suka bersosialisasi tentunya lebih suka dan ahli saat diminta
untuk mengandle pekerjaan yang berhubungan dengan
operational. Dan dengan orientasinya kepada tugas maka akan
lebih peduli proses dari pada people. Contoh untuk posisi
operational expert adalah Enginer

Berbeda dengan orang berkepribadian Dominance, orang


berkepribadian Influence lebih cocok menempati posisi
Operational Leader. Kesesuaian posisi ini dikarenakan ciri orang
Influence yang extrovert sehingga cocok menghandle pekerjaan
operational, dan berorientasi people sehingga cocok menghandle
people. Adapun posisi contoh posisi operational leader adalah
Production Manager, Marketing Manager, dll.

Orang-orang dengan kepribadian Steadiness juga punya


kecocokan sendiri dengan posisi Business Leader. Ciri utama
kepribadian Steadiness yang berorientasi pada people sangat
cocok dengan tugas utama Business Leader yang harus deal
dengan people. Ciri kedua Steadiness berupa introvert yang
cenderung mendapatkan energi ketika sendiri akan lebih cocok
untuk mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan
strategy. Contoh posisi yang berhubungan dengan posisi
business leader adalah Business Unit Head.

Kepribadian terakhir Compliance juga memiliki kecocokan


untuk mengisi posisi tertentu, yaitu Professional Leader. Ciri
Compliance yang berorientasi pada hasil sangat sesuai dengan
ciri pekerjaan Professional Leader untuk handle pekerjaan yang
dealing with system. Sedangkan ciri introvertnya akan
membantu dalam menganalisa data, sehingga cocok untuk

154
dealing with strategic. Contoh posisi yang berhubungan dengan
professional leader diantaranya Project Manager

Harus diingat bahwa proses successi sendiri tidak melulu


masalah promosi namun juga bisa berhubungan dengan mutasi
dan rotasi. Sebagai contoh perusahaan dengan system holding
company ada seorang talent yang awalnya berposisi sebagai
Vice President, kemudian orang tersebut di mutasi ke anak
perusahaan yang lain dengan posisi sebagai Direkur. Hal ini
mungkin saja terjadi seandainya perusahaan tempat mutasinya
adalah perusahaan yang lebih besar, sehingga talent tersebut
mendapat challenge baru.

Selain merencanakan jalur karir sebagai leader, organisasi juga


bisa merencanakan jalur karir sebagai Technical Expertise.
Karena bisa jadi ada orang-orang yang hasil pemetaan potency
lebih cocok untuk menjadi specialist daripada menduduki posisi
managerial.

Gambar diatas bisa menjadi benchmark bagaimana organisasi


membuat succession planning dengan tiga jalur. Jalur pertama
adalah keatas menduduki posisi managerial lebih tinggi. Mulai
dari Front Liner kemudian ke Team Leader, berlanjut ke
Superintendent dan seterusnya ke atas. Contohnya posisi

155
Customer Center, kemudian diatasnya adalah Customer Center
Officer atau Customer Center Team Leader, di atasnya lagi
Superintendent Customer Care, dan seterusnya ke atas.

Succession plan yang kedua adalah tanda panah ke samping


kanan. Succession plan ini adalah untuk jenjang karir specialist.
Contohnya berawal dari Engineer kemudian specialist Electrical
Engineer dan seterusnya. Contoh lainnya, generalist sebagai HR
Generalist, kemudian menjadi specialist di area People
Development, atau Recruitment, atau Organization
Development, dan seterusnya.

Succession plan ketiga yang juga perlu disiapkan oleh


perusahaan adalah tanda panah vertical menyamping. Ini adalah
jenjang karir untuk mengakomodasi orang-orang dengan
passion menjadi managerial specialist. Perbedaan jelas antara
specialist dan managerial specialist ini ada di sub ordinate yang
dipimpin. Managerial specialist ini adalah orang-orang yang
memimpin para specialist. Biasanya jenjang karir seperti ini ada
di level corporate. Contohnya adalah Manager Senior Engineer.

Pembahasan lebih jauh tentang learning and development


evaluation dan succession planning seperti chapter-chapter
sebelumnya akan dibahas di artikel-artikel selanjutnya. Adapun
indek dari pembahasan di chapter ini adalah :

156
157
MENGGAMBARKAN KEBENARAN DENGAN L2

Salah satu kesenangan yang didapat dari proses learning and


development adalah melakukan evaluasi keberhasilan proses
tersebut. Menariknya saat organisasi menggunakan provider
training untuk mendelivery education in class training, bisa
dipastikan hampir semua participant mendapatkan learning gain
peningkatan knowledge.

Dan itu juga yang pernah dialami oleh organisasi ditempat saya
bekerja. Setiap kali kami mengirim talent untuk mendapatkan
education in class training, agar menjaga kualitas education
kami selalu meminta hasil pre dan post test. Menariknya tidak
ada talent yang mengikuti education training mendapatkan nilai
yang jelek (dibawah point 7).

Tentu saja secara sekilas, investasi yang dikeluarkan organisasi


tidak sia-sia. Namun, setelah diminta untuk membuat summary
learning report hasilnya tidak selalu sesuai dengan harapan.
Objective learning yang ingin didapat talent dari education
training tidak sesuai dengan harapan.

Pertanyaannya, kenapa talent nilai post test nya mendapatkan


hasil yang baik? Kenapa learning gain nya begitu tinggi? Tentu
saja secara gampang kita bisa menjawab, pertanyaan yang
dibuat oleh external provider education training tersebut tidak
menggambarkan training objective.

Memang ada unsur politis saat training provider membuat


knowledge test. Tentunya training provider ingin terlihat
berhasil dalam mendelivery knowledge training. Disinilah
organisasi perlu jeli untuk menjaga kualitas learning and
development.

158
Organisasi bisa membuat form summary learning report untuk
mengetahui seberapa jauh achievement dari objective training
yang diikuti talent. Secara umum objective training yang diikuti
talent dapat dibagi menjadi tiga, yaitu building awareness,
transfer knowledge, dan transfer skill.

Contoh objective training yang berhubungan dengan building


awareness adalah memahami pentingnya memberikan customer
excellence. Contoh lainnya memahami pentingnya bekerjasama
dengan orang lain. Sedangkan contoh transfer knowledge adalah
mengetahui cara memberikan customer excellence, mengetahui
cara membangun kerjasama dengan team. Dan objective
training transfer skill diantaranya bisa memberikan customer
excellence, atau bisa membangun kerjasama team.

Berdasarkan konsep yang dikembangkan oleh Benjamin S


Bloom dengan Taxsonomy Bloom, level pertanyaan baik
building awareness (afeksi), transfer knowledge (kognitif)
maupun transfer skill (psikomotor) memiliki lima level.
Semakin tinggi level nya maka semakin sulit pertanyaannya dan
semakin objective trainingnya tercapai. Kelima level tersebut
adalah

Secara sederhana level satu Taxsonomy Bloom berbicara


tentang memori, untuk awaneress adalah menerima nilai-nilai,
untuk transfer knowledge adalah mengingat informasi
pengetahuan, dan untuk objective transfer skill adalah
mememori skill yang dibuktikan dengan kemampuan meniru.

159
Sedangkan level dua pemahaman memori, tidak hanya
menyerap informasi namun juga bisa memaknai informasi yang
diterima.

Level tiga memiliki tingkat yang lebih tinggi lagi, talent mulai
dites kemampuannya untuk menganalisa emosi, informasi
pengatahuan dan skill. Level keempat, talent mulai dichallenge
dengan pertanyaan untuk mengembangkan nilai-nilai afeksi,
knowledge ataupun skill yang didapat. Dan level terakhir, yaitu
level lima berupa pembuktian perencanaan pengaplikasian nilai-
nilai, knowledge ataupun skill yang sudah dipelajari.

Pertanyaan yang bisa digunakan untuk menggambarkan building


awareness di level satu contohnya, dari yang Anda pelajari
nilai-nilai apa yang Anda setujui? Pertanyaan lain yang lebih
berbobot atau level lima adalah nilai-nilai apa yang akan Anda
implementasikan ditempat kerja?

Sedangkan pertanyaan yang bisa digunakan untuk


menggambarkan transfer knowledge diantaranya, untuk level
satu apa definisi dari? Sedangkan pertanyaan knowledge untuk
level dua adalah, Jelaskan know how yang Anda pelajari dari
education training yang Anda dapat? Pertanyaan level yang
lebih tinggi lagi, atau level tiga adalah dari know how yang
Anda miliki sebelumnya, lakukan analisa apa know how yang
memiliki epistomologi yang sama?

Aplikasi Taxonomy Bloom tadi juga bisa diterapkan dalam


pertanyaan-pertanyaan yang menggali transfer skill. Hal yang
menarik dari evaluasi transfer skill adalah tidak bisa dilakukan
dengan tes tulis. Evaluasi keberhasilan achievement objective
training berupa transfer skill hanya bisa dilakukan dengan
observasi atau bahasa lainnya adalah dengan tes praktek. Contoh
evaluasi yang digunakan untuk observasi level satu adalah
praktikan langkah-langkah dalam memperbaiki mesin! Contoh

160
pernyataan lain yang bisa menggambarkan evaluasi transfer skill
yang lebih tinggi atau di level empat adalah, dari beberapa best
practice yang Anda miliki dan skill baru yang Anda pelajari,
praktekan best practice terbaik yang bisa Anda hasilkan.

Berikut adalah contoh form summary report yang bisa


digunakan untuk mengevaluasi knowledge yang didapat dari
education ataupun exposure

161
Dari beberapa contoh pertanyaan di atas, organisasi bisa
membuat strategi untuk evaluasi knowledge yang akan
dilakukan, pada level Taxonomy Bloom berapa organisasi
mengevaluasi knowledge talent nya. Sebagai best practice,
sebuah cement manufacturing company memiliki strategy 70%
summary learning report nya berada di level dua Taxonomy
Bloom dan 30% summary report nya berada di level satu
Taxonomy Bloom.

Point Penting : Mengevaluasi achievement objective


training melalui education bisa menggunakan summary
learning report
Quality assurance dari summary learning report dapat
dijaga dengan mengaplikasikan Taxonomy Bloom

162
EXPERIENCE UNTUK MENINGKATKAN
PERFORMANCE

Dari beberapa pengalaman di area talent management, salah satu


pengalaman yang cukup berbekas adalah diskusi dengan rekan-
rekan People Development Safety Health & Environment (SHE)
terkait program learning and development untuk para talent
mereka. Goal dari development para talent ini tentu saja untuk
meningkatkan performance mereka. Salah satu performance
yang menjadi key performance mereka adalah Zero Harm
dengan ukuran tidak ada insiden yang terjadi di area kerja nya.

Dengan semangat Zero Harm, “Berangkat dan Pulang dengan


Selamat" para talent membuat project improvement agar Zero
Harm benar-benar terjadi. Salah satu treatment yang dilakukan
adalah mendelivery training untuk front liner melalui paket
program training mandatory dan kepada superior melalui paket
program training 7 keys. Walaupun target jumlah peserta sudah
terlampaui, namun incident yang terjadi tetap saja melebihi
prediksi. Performance Zero Harm pun tidak tercapai.

Tidak hanya melihat jumlah peserta yang hadir, para talent dari
SHE juga memastikan kualitas delivery training yang mereka
lakukan dengan mengevaluasi level satu (mengevaluasi emosi
peserta setelah diberikan training) dan evaluasi level dua
(mengevaluasi knowledge ataupun skill peserta setelah diberikan
training). Dan hasil evaluasi level dua menunjukan bahwa
peserta training memiliki peningkatan skill dan knowledge.
Namun, kenapa incident masih tetap terjadi, hingga performance
Zero Harm tidak tercapai?

Melihat performance para talent SHE, People Development


SHE pun membuat learning and development program untuk

163
mereka. Certified Trainer pun menjadi program learning and
development untuk para talent. Point penting dari program
tersebut sebenarnya bukan pada cara mendeliveri training,
namun pada cara mengevaluasi training. Objective ini didesign
karena dari hasil evaluasi level satu dan dua menunjukan bahwa
mereka sudah menjadi trainer yang mumpuni.

Pasca Certified Trainer, mereka mendapat exposure dan


experience untuk melakukan improvement kualitas learning and
development yang mereka lakukan. Tidak hanya mengejar
kuantitas jumlah peserta, namun juga kualitas learning and
development nya. Jika para talent SHE sebelumnya hanya
mengevaluasi banyaknya training yang telah ter delivery ke
karyawan dan mengukur evaluasi learning and development
pada level satu dan level dua, exposure dan experience yang
dilakukan para talent SHE adalah melakukan treatment untuk
mengukur evaluasi level tiga (perubahan perilaku) pada peserta
learning and development 7 keys.

Para talent memulai exposure dan experience mereka dengan


mendesign ulang metode learning and development. Di tahap ini
saja sudah menjadi tantangan bagi mereka. Perubahan design
signifikan yang mereka lakukan adalah menambahkan design
experience pasca training untuk mendidik dan membiasakan
peserta training. Penugasan untuk mengulang pelatihan yang
diberikan diharapkan mampu memasukkan behavior baru.

Mereka juga membuat ukuran kesuksesan experience yang


dilakukan peserta learning and development. Ukurannya dibagi
menjadi dua, yaitu saat durasi experience dan sustanibility pasca
experience. Ukuran ini dibuat dengan reason selama peserta
learning and development melakukan experience dan masih ada
intervensi untuk mengumpulkan penugasan bisa jadi habit yang
ingin dibentuk belum lah terjadi, karena fase durasi experience
hanyalah fase pembiasaan. Pasca experience lah, perubahan

164
behavior benar-benar bisa dilihat. Tanpa intervensi masihkah
para peserta learning and development menerapkan hasil
belajarnya? Jika masih menerapkan maka proses learning and
development nya berhasil, sebaliknya jika tidak diterapkan lagi
maka proses learning and development nya tidak terjadi.

Analogika gampangnya, seperti orang mengendarai motor. Tahu


dan bisa menggunakan helm berarti lulus evaluasi level dua.
Masih diingatkan untuk menggunakan helm berarti proses untuk
menginternalisasi habit baru menggunakan helm. Sadar dengan
sendiri nya menggunakan helm saat berkendara motor berarti
lulus evaluasi level tiga. Memang mendesign dan mengevaluasi
pelatihan level tiga ini penuh tantangan.

Dari hasil exposure dan experience yang dilakukan para talent,


performance Zero Harm mereka pun mengalami kenaikan. Jika
sebelumnya performance Zero Harm mereka rendah karena isu
Loss Time Injury (kehilangan hari kerja karena kecelakaan),
setelah mereka melakukan exposure dan experience Loss Time
Injury nya mengalami penurunan yang dratis.

Point Penting : Tahu dan bisa saja tidak cukup untuk


menghasilkan performance
Performance hanya bisa dihasilkan dengan mengaplikasikan
knowledge dan skill
Evaluasi level tiga diawali dengan intervensi experience
untuk membiasakan peserta learning and development
memiliki kebiasaan baru seperti yang diharapkan

165
TIDAK CUKUP DENGAN LEVEL TIGA

Selain mendevelop talent yang berasal dari internal, beberapa


organisasi juga memiliki strategy untuk mendevelop talent yang
berasal dari external perusahaan. Salah satu nya adalah
perusahaan tempat saya bekerja terdahulu. External talent yang
dihire adalah para fresh graduate lulusan SMK sederajat.
Program ini bernama Mechanic Trainee dan Basic Operator.
Mechanic Trainee adalah program talent yang dibuat untuk
mengakomodir talent-talent fresh graduate yang memiliki
passion dan potency dibidang mechanical. Sedangkan Basic
Operator dibuat untuk para talent fresh graduate yang memiliki
passion dan potency mengoperasikan alat-alat berat semisal
Excavator, Heavy Duty Truck, Grader, dan lain sebagainya.

Selama enam bulan para talent yang tergabung dalam program


Mechanic Trainee dan Basic Operator ini mendapatkan in class
education selama enam bulan, dilanjutkan dengan intensive
exposure dengan coaching dan experience on the job selama tiga
bulan. Setelah mereka lulus dari program development mereka
kemudian mendapat suksesi menjadi karyawan probation
selama tiga bulan.

Masalah mulai timbul setelah mereka menjalani masa probation.


Keluhan dari user terhadap performance para talent yang
mendapat suksesi probation bermunculan, “kenapa para talent
yang dipilih dengan seleksi yang ketat tidak menunjukan
performance yang bagus?” Bukankah para talent fresh graduate
ini memiliki syarat sebagai talent yang memiliki high potency
dan high performance. Dan bukankah mereka sudah
mendapatkan learning and development yang tidak hanya
education namun juga experience. Dimana penyebab masalah
nya?

166
Setelah dianalisa ternyata bottle next nya berada di framework
succession terutama saat mengevaluasi kesiapan talent
menempati posisi berikutnya. Pada prinsipnya prinsip evaluasi
fase successi adalah mengevaluasi competency yang akan diisi
oleh talent. Sebelum nya, Mechanic Trainee dan Basic Operator
ini dievaluasi dari evaluasi level dua dengan ujian akhir dan
evaluasi level tiga dengan observasi selama experience on the
job training.

“Dengan melakukan dua evaluasi tadi tentunya sudah benar


dong untuk menentukan competency future position nya talent?”

Tentu saja sudah benar, namun belum lengkap. Keluhan user


terhadap para talent tersebut adalah masalah performance
mereka. Dengan mengevaluasi sampai level tiga akan
membuktikan sampai sejauh mana competency mereka, namun
seperti sudah dibahas sebelumnya, bahwa cara mengukur
efektifitas competency adalah dengan evaluasi level empat. Dan
jika berbicara tentang performance maka akan berbicara tentang
seberapa efektif competency diterapkan untuk menghasilkan
performance.

Team Pelatih (people in charge untuk mendevelop para talent


fresh graduate kami namakan sebagai Pelatih), kemudian
membuat model penilaian baru. Penilaian level empat menjadi
syarat kesiapan competency para talent fresh graduate untuk
menempati posisi berikutnya. Tentu nya, jam terbang sebagai
mechanic dan operator menentukan performance seseorang.
Menyadari hal tersebut para Pelatih bersama user membuat Key
Performance Indicator yang akan menjadi dasar para talent
fresh graduate lulus probation.

Selain melihat evaluasi level empat, team Pelatih tetap akan


melakukan penilaian pada level tiga dan dua. Pertimbangan
yang digunakan adalah walaupun menghasilkan performance

167
yang bagus namun tidak menerapkan skill dan behavior yang
telah diajarkan tidak ada gunanya. Karena pelanggaran terhadap
skill dan behavior yang diajarkan akan membuat performance
yang akan dihasilkan menjadi tidak konsisten.

Contohnya, behavior yang diajarkan kepada operator adalah


mematuhi rambu batas kecepatan. Sayangnya ada operator yang
melanggar behavior yang diajarkan untuk menghasilkan
performance produksi yang bagus dengan melanggar batas
kecepatan. Disinilah evaluasi level dua dan tiga untuk
mengevaluasi know how - skill dan aplikassinya perlu dilakukan.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Kirkpatrict,
evaluasi level dua akan gagal jika hasil evaluasi level satu jelek,
evaluasi level tiga akan gagal jika dua evaluasi sebelumnya
jelek, dan evaluasi level empat akan gagal jika tiga evaluasi
sebelumnya hasilnya jelek.

Point Penting : Competency untuk future position bisa


dilihat dengan menggunakan level tiga dan empat evaluasi
Kirkpatrict
Penggunaan evaluasi level empat tidak bisa lepas dari
penggunaan tiga evaluasi sebelumnya (level satu, dua, dan
tiga)

168
MEREKA DIUJI DI DEPAN KOMITE TALENT

Secara tidak langsung, dicatatan-catatan sebelumnya sudah


dibahas tentang tool untuk mengevaluasi empat level
Kirkpatrict. Dicatatan Menggambarkan Kebenaran Dengan L2
dibahas tool untuk mengevaluasi level dua adalah dengan ujian
tulis seperti pilihan ganda pre – post test, ataupun dengan essay.
Dan ditulisan Tidak Cukup Dengan Level Tiga sempat juga
disinggung untuk evaluasi level tiga bisa dilakukan dengan
observasi, dan evaluasi level empat dilakukan dengan melihat
data performance. Ada tool lain yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi kesiapan talent menempati future position. Tool
tersebut adalah presentasi.

Dan memang selalu manarik melihat para talent


mempresentasikan kesiapan mereka untuk menempati future
position. Agar presentasi yang dilakukan para talent punya
standarisari, organisasi bisa membuat dan menentukan penilaian
dengan menggunakan project improvement dan project
assignment secara bersamaan. Organisasi bisa menerapkan
pendekatan continuous improvement sebagai landasan talent
melakuan project improvement. Salah satu pendekatan
continuous improvement yang cukup familiar dan banyak
digunakan oleh industri adalah Plan – Do – Check – Action
(PDCA).

Keberhasilan dalam melakukan continuous improvement


menandakan seorang talent memiliki knowledge, skill, dan
mengaplikasikan knowledge dan skill nya dengan efektif.

Dengan menganut salah satu pendekatan continuous


improvement tadi, organisasi kemudian bisa membuat
strandarisasi item-item apa saja yang perlu dipresentasikan oleh

169
talent. Layaknya ujian tesis, presentasi yang disiapkan oleh para
talent juga harus diuji. Dihadapan Komite Talent lah mereka
akan mempresentasikan hasil project improvement dan job
assignment yang mereka lakukan.

Tool presentasi tentu saja tidak bisa berdiri sendiri dalam


mengevaluasi kesiapan talent menempati future position. Karena
presentasi seperti tool-tool evaluasi lain memiliki kelebihan dan
kekurangan. Tak heran presentasi sebagai tool untuk
mengevaluasi talent masih menjadi perdebatan, karena masih
dianggap mengerdilkan potensi dan performance talent.

Kesiapan talent untuk menempati future position akan


ditunjukan dengan dua indicator, yaitu competen dan
extraordinary performance. Dengan mempresentasikan project
improvement yang dilakukan talent, kedua indicator tersebut
bisa terlihat. Unsur penilaian performance bisa dilihat dari
pencapaian improvement yang talent lakukan. Sedangkan, unsur
knowledge competency nya bisa diketahui dari tanya jawab
penguasaan keilmuan saat evaluasi. Jika tidak bisa menjawab
berarti belum competence dari unsur knowledge. Sedangkan
unsur skill Competency nya dapat dilihat dari proses talent
melakukan rencana perbaikan.

Walaupun begitu, seperti tool evaluasi yang lain, presentasi juga


memiliki kelemahan. Sehingga dengan menggabungkan
beberapa tool untuk mengevaluasi talent akan menutup
kelemahan dan semakin memperkuat kelebihan.

Adapun kelemahan presentasi project improvement yang


pertama adalah evaluasi soft competency tidak bisa dilakukan
seara mendalam. Durasi waktu yang pendek adalah penyebab
utama presentasi tidak bisa digunakan untuk melihat soft
competency talent secara mendalam. Pernah suatu ketika
menjadi bagian dari Komite Talent dan mendengarkan

170
presentasi seorang talent dengan back ground orang lapangan
dari section produksi. Saat Sang Talent bedada di lapangan,
talent ini dikenal sebagai orang yang memiliki ketegasan
ditambah dengan suaranya yang keras menggelegar, sejalan
dengan postur tubuhnya yang tinggi besar. Performance nya
bagus, team work nya diakui oleh peer nya, dan dia juga
disegani anak buahnya. Namun saat presentasi, ketegasannya
menjadi hilang, suaranya mengecil laksana tikus celurut kejepit
pintu. Padahal saat dilapangan, berhadapan dengan orang-orang
“keras” mereka tidak takut.

Cerita presentasi lain terjadi dengan talent dari front liner


dengan back ground office. Para talent ini cenderung mampu
mempresentasikan competency yang dimiliki, karena mereka
cenderung lebih sering presentasi secara formal dibandingkan
para talent dengan back ground lapangan. Karena kemampuan
nya mempresentasikan data, kadang-kadang Komite Talent juga
cenderung harus extra keras menguji validitas dan reliabilitas
data yang disajikan.

Keseharian mereka yang terbiasa terlibat dengan data,


memungkinkah mereka membuat celah, sehingga data yang
tersaji bisa jadi benar di sudut tertentu tapi salah di sudut yang
lain. Contohnya data productivity, dengan target 50 per hari dan
pencapaian rata-rata awal 30 maka setelah diperbaiki pencapaian
rata-ratanya menjadi 55. Secara olah data di sudut ini,
pencapaian improvement yang dilakukan berhasil. Namun, di
sudut olah data lain, data pencapaian improvement nya salah.
contohnya saja dilakukan pengolahan data secara standar
deviasi. Bisa jadi dengan rata-rata lebih bagus, namun standar
deviasi (keajegan) hasil hari-per hari tidak stabil. Hari ini
productivity nya sangat bagus dan hari berikutnya productivity
nya sangat jelek. Artinya hasil improvement yang dilakukan
hanya kebetulan saja atau improvement nya belum menemukan
bentuk standar.

171
Menutup kelemahan tool evaluasi dengan presentasi, organisasi
bisa menggabungkan dengan data observasi selama project
improvement. Karena observasi memiliki kelebihan untuk
melihat competency secara mendalam. Kelebihan ini didasari
pada panjangnya durasi waktu dalam proses observasi.
Keunggulan ini tentunya tidak dimiliki tool presentasi yang bisa
jadi hanya memiliki durasi waktu tidak lebih dari satu hari.
Sedangkan observasi, bisa dilakukan sepanjang talent
melakukan education, exposure dan experience. Tidak hanya
melihat hasil akhirnya saja, namun melihat proses talent
mendapatkan hasil.

Keungguluan lainnya, perilaku sehari-hari yang diamati dalam


jangka panjang tidak memungkinkan observe (orang yang
diobservasi) memanipulasi perilaku. Observer akan sangat
mudah mengenali, mana perilaku asli dan mana perilaku yang
dimanipulasi. Karena akan sangat sulit bagi talent untuk
memanipulasi perilaku nya dalam waktu yang panjang. Bahkan,
project improvement yang dilakukan pasti akan memunculkan
perilaku resistence dari beberapa orang, tekanan seperti ini akan
semakin memunculkan perilaku asli talent. Belum lagi tekanan
waktu, dan tekanan untuk achieve performance nya, tentu saja
akan semakin membuat talent menunjukan perilaku asli.

Di saat yang bersamaan, keunggulan observasi dari panjangnya


durasi waktu ternyata juga menjadi kelemahan. Karena, durasi
waktu yang panjang tentu saja membutuhkan observer yang
incharge dalam waktu yang lama. Padahal, bisa jadi observer
yang ditunjuk memiliki job des lain yang lebih.

Menyempurnakan penilaian dan menutupi kelemahan tool-tool


yang ada, organisasi bisa memadukan satu tool lagi dalam
mengevaluasi talent, yaitu dengan kuesioner. Jika kendala
observer adalah people in charge yang akan menjadi observer
selama education, exposure dan experience, maka tanggung

172
jawab tersebut bisa dibagi dengan kuesioner 3600. Dengan
menyebaran kuesioner 3600, peer, superior dan dan sub ordinate
yang selama ini mengobservasi perilaku talent bisa memberikan
penilaian.

Hasil trianggulasi dari ketiga tool tadi presentasi, observasi dan


kuesioner akan tentunya akan semakin menggambarkan
competency talent. Sehingga kelayakan talent menempati future
position dapat ditentukan dengan manganalisa hasil ketiga tool
tadi.

Point Penting : Evaluasi level tiga dan empat bisa dilakukan


dengan presentasi project improvement
Dari presentasi, komite talent bisa mengevaluasi knowledge
dan skill talent dari jawaban-jawaban yang diberikan. Dan
melihat efektifitas penerapan competency dari hasil project
improvement yang dilakukan
Seperti semua tool evaluasi lain, presentasi juga memiliki
keunggulan dan kelemahan
Agar kelemahan presentasi tertutupi, organisasi perlu
menggabungkan tool evaluasi lain, seperti observasi dan
kuesioner

173
MENDESIGN TOOL OBSERVASI DAN KUESIONER

Observasi adalah salah satu tool yang powerfull untuk


mengevaluasi talent menempati future position. Sayangnya
tidak semua orang bisa membuat tool observasi yang powerfull.
Sehingga hasilnya seperti sebuah pepatah “garbage in –
garbage out”, tool nya salah, hasil datanya pun juga salah.

Penerapan tool observasi dalam mengevaluasi learning and


development dapat dibagi menjadi dua, yaitu tool observasi
untuk evaluasi level tiga dan tool observasi untuk level empat.
Bahkan jika learning and development nya adalah skill, tool
observasi juga bisa digunakan di level dua, walaupun memang
tool observasi yang dikembangkan untuk mengevaluasi skill
juga bisa langsung dipakai untuk evaluasi level tiga.

Perbedaan yang signifikan dari tool observasi level tiga dan


level empat adalah pada indicator perilaku yang diobserve.
Observasi level tiga hanya mengukur aplikasi “know how” yang
dipelajari dari education ataupun dari exposure. Sedangkan
evaluasi level empat lebih komplek, dan cenderung
mengobservasi competency.

Lebih jelasnya, tiap kompetensi tentunya memiliki behavior


indicator. Contohnya kompetensi drive for result, seorang
karyawan dikatakan memiliki kompetensi drive for result saat
karyawan tersebut memiliki perilaku :
1. Mencapai kinerja dengan melakukan upaya lebih ketika
diperlukan
2. Memiliki sikap ‘saya pasti bisa’
3. Berkomitmen untuk menyelesaikan tugas-tugas dan
menepati komitmen yang telah dibuat

174
4. Memperjelas suatu permintaan untuk memastikan semua
tugas dilakukan dengan benar tanpa menimbulkan insiden
pada siapapun

Dari hasil identification ditemukan seorang talent yang masih


perlu didevelop competency drive for result nya. Management
kemudian membuat learning and development program untuk
mendevelop competency tersebut. Behavior indicator tersebut
kemudian disusun menjadi training matrix seperti dibawah ini :

Perbedaan tool observasi evaluasi level tiga dan level empat


sudah mulai kelihatan. Tool observasi level tiga adalah
mengukur aplikasi “know how” yang didapat dari education atau
exposure. Dari contoh diatas misalnya, organisasi akan
menyusun tool observasi untuk education Fundamental
Communication. Garis besarnya education Fundamental
Communication ini adalah agar behavior indicator (memperjelas
suatu permintaan untuk memastikan semua tugas dilakukan
dengan benar tanpa menimbulkan insiden pada siapapun)
dimiliki, maka orang perlu berkomunikasi dengan benar. Agar
komunikasi nya benar maka orang butuh belajar know how
berupa interaction process (open – clarify – develop – agree –
close) dan key principles (estem – empathy – involvement –

175
share – support). Sehingga tool evaluasi level tiga hanya akan
berisi item-item know how dari fundamental communication,
yaitu interaction process dan key principles.

Jika tool tersebut diwujudkan dalam sebuah form, bisa jadi form
nya akan seperti ini:

Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa objective dari evaluasi


level tiga adalah melihat aplikasi know how saat kembali
ketempat kerja. Bandingkan dengan form Observasi

176
Fundamental Communication diatas. Dengan melakukan
observasi sesuai dengan form tersebut, maka objective dari
evaluasi level tiga tercapai.

Form observasi Fundamental Communication tersebut diatas


juga bisa dikembangkan menjadi kuesioner 3600. Caranya
adalah dengan memberi konten definisi pada know how.
Contohnya adalah untuk know how Open, konten nya dirubah
menjadi Ybs memulai komunikasi dengan menjelaskan tujuan
komunikasi yang dilakukan. Selanjutnya setelah memberikan
konten, langkah kedua adalah menambah kolom nilai. Bisa
menggunakan skala Llinkert dengan range antara 1-5. sehingga
jumlah kolom nilai nya menjadi lima dengan keterangan kolom
satu : Sangat Jarang, kolom dua : Jarang, kolom tiga : Kadang-
Kadang, kolom empat : Sering Kali, dan kolom lima : Selalu.

Berbeda dengan tool observasi level tiga, item yang diobservasi


pada level empat lebih komplek. Jika di level tiga hanya
mengobservasi know how yang didapat dari education atau
exposure, tool evaluasi level empat mengevaluasi behavior
indicator dari competency yang akan diukur.

Sehingga bentuk tool observasi dengan contoh competency


Drive for Result diatas adalah seperti berikut :

177
Sama seperti tool observasi level tiga, tool observasi level empat
juga bisa dikembangkan menjadi kuesioner 3600. Caranya
seperti mengembangkan observasi tool observasi level tiga
menjadi kuesioner.

Point Penting : Tool observer untuk mengevaluasi level tiga


dan level empat berbeda
Tool observasi level tiga mengevaluasi know how yang
didapat dari education atau exposure. Sedangkan tool
observasi level empat mengevaluasi behavior indicator
competency
Tool observasi bisa dikembangkan menjadi kuesioner
dengan menambahkan konten dan menentukan range
penilaian

178
179
SUCCESSION PLANNING

General Electric, perusahaan yang didirikan Thomas Alpha


Edison ini sudah berusia lebih dari 100 tahun. General Electric
begitu melegenda dengan menjadi satu-satunya perusahaan yang
sejak tahun 1986 sampai sekarang masih dicatat dalam Dow
Jones Industrial Index. General Electric juga menjadi referensi
yang bagus dalam succession planning.

Salah satu CEO legendaris yang pernah dimiliki General


Electric adalah Jack Welch. Salah satu quote nya yang
melegenda adalah “Only paranoid can survive”. Jack Welch
juga menjadi role modele yang baik dalam melakukan
succession planning menyiapkan menggantinya saat mulai
memasuki masa pensiun.

Tujuh tahun sebelum pensiun dari General Electric, Jack Welch


pada tahun 1994 telah memulai proses perencanaan suksesi.
Jack membuat daftar kualitas, keterampilan dan karakteristik
atau competency yang harus dimiliki Chairman untuk
menggantikannya. Setidaknya Jack Welch mensyaratkan 15
elemen karakteristik yang mesti dimiliki penggantinya.

Tidak hanya menetapkan syarat, Jack Welch juga punya


komitmen yang tinggi dalam melakukan succession planning.
Bahkan sejak tahun 1991, tiga tahun sebelum Jack Welch
menetapkan karakteristik penggantinya, Jack Welch pernah
menyatakan : “From now on, choosing my successor is the most
important decision I’ll make. It occupies a considerable amount
of thought almost every day – sejak saat ini, memilih pengganti
saya adalah keputusan paling penting yang akan saya buat. Ini
menjadi fokus saya setiap hari”.” Disini terlihat keseriusan

180
Welch dalam membangun suksesi bagi perusahaan yang sudah
ditingkatkan value nya menjadi 410 milyar USD.

Dari semua karyawannya, Jack memilih tiga orang successor


teratas yang memenuhi kelima belas karakter tersebut. Mereka
adalah Jeffrey Immelt (Immelt) CEO GE Medical System, W.
James McNerney (McNerney) CEO dari GE Aircraft Engines,
dan Robert L.Nardelli (Nardelli, Presiden dan CEO GE Power
Systems.

Satu tahun sebelum pensiun, tepatnya di bulan November 2000,


Jack Welch mengumumkan penggantinya. Dalam
pernyataannya, Jack Welch menyebutkan “the most difficult and
agonizing decision, ever had to make. All the three exceeded
every expectation we set for them – ini adalah keputusan yang
paling sulit dan menyakitkan. Ketiga orang successor telah
melebihi harapan yang ditetapkan kepada mereka”. General
Electric Inc kemudina mengumumkan bahwa Jeffrey Immelt
(Immelt) yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden dan CEO
dari GE Medical Systems, dipilih menjadi penerus Jack Welch
sebagai Chairman dan CEO perusahaan. Jack Welch
mengkarakterisasikan Immelt sebagai “A natural leader, and
ideally suited to lead GE for many year – pemimpin alami yang
ideal dan cocok untuk memimpin GE selama beberapa tahun
kedepan“.

Satu tahun kemudian, di bulan September 2001, Jack Welch


pensiun setelah sukses 41 tahun bertugas di GE. Walaupun
Immelt memiliki karakter yang berbeda dengan dengan Welch
berbeda, tapi Immelt berhasil meneruskan dan membangun
kepemimpinan GE dalam berbagai bidang bisnis. Tercatat, GE
menjadi pemain yang diperhitungkan dalam bisnis infrastruktur,
industri, layanan kesehatan, finansial dan industri hiburan.

181
Cerita kesuksesan succession planning juga dialami oleh Apple.
Baru-baru ini, perusahaan technology yang memproduksi
smartphone, Mcbook, Ipad dan produk-produk lain ini menjadi
perusahaan terkaya di dunia. Menariknya, Apple baru menjadi
perusahaan terkaya di dunia setelah Steve Jobs meninggal dunia
dan digantikan oleh Tim Cook sebagai CEO Apple sampai saat
ini.
Pada umumnya, perusahaan yang kehilangan pemimipin
tertinggi apalagi pendirinya akan menyebabkan organisasi
terpuruk, namun kenapa itu tidak terjadi di Apple. Penyebabnya
adalah Tim Cook memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh
Apple yaitu kecepatan eksekusi strategi dan kehandalan operasi.

182
DUA SISI AULA PARA BINTANG

Pep Guardiola, salah satu


legenda di Barcelona. Bukan
legenda sebagai pemain sepak
bola, tapi legenda sebagai
pelatih. Selama menjalani karir
sebagai pemain sepak bola,
Pep tidak terlalu bersinar
namanya. Walaupun, saat
bermain sepak bola, Pep
pernah menjadi bagian dari
team yang memenangkan
Olimpiade Barcelona pada
tahun 1992.

Keberuntungannya berbalik arah saat menjalankan fungsi


sebagai pelatih, siapa penikmat Sepak Bola yang tidak mengenal
Pep? Kejeniusannya sebagai pelatih di Barcelona dari tahun
2008 – 2012 mampu membawa teamnya memenangi tiga Liga
BBVA, dua Copa Del Rey, tiga Piala Super Spanyol, dua Liga
Champions, dua Piala Super Eropa, dan dua Piala Dunia
Antarklub. Totalnya selama di Barcelona, Pep
mempersembahkan empat belas piala.

Karir Pep semakin cemerlang saat memutuskan pindah klub dari


Barcelona ke Bayern Muncen pada 16 Januari 2013. Sampai
dengan 2015, Pep mengantarkan Muncen menjuarai dua kali
Bundesliga, satu kali DFB-Pokal, UEFA Super Cup, dan FIFA
Word Club. Selama tiga tahun di Muncen, Pep berhasil
mempersembahkan lima piala.

Walaupun cuma lima piala, ukan berarti performance Pep


sebagai pelatih menurun dibandingkan sewaktu di Barcelona.
Performance Pep sebenarnya meningkat jika dibandingkan liga
yang dijalani. Pep Guardiona bertanding di 247 liga selama di
Barcelona dengan 179 kemenangan, 47 seri dan 21 kalah.

183
Bandingkan dengan saat melatih Munchen, Pep hanya
bertanding sebanyak 113 liga dengan 84 menang, 14 seri dan 15
kali kalah. Artinya saat berada di Barcelona, persentasi
kemenangan Pep mencapai 72,47%, sedangkan saat berada di
Muncen, persentase kemenangan Pep menjadi 74,34%.

Cerita legenda sepakbola yang lain adalah Maradona. Saat


bermain sebagai pemain sepak bola, Maradona dikenal sebagai
pemain brilian. Sejak usia 11 tahun, Maradona sudah menjadi
pemain di Los Cebollitas (bawang kecil) yang merupakan tim
juniornya Argentinos Juniors. Tahun 2000, Maradona juga
terpilih sebagai pemain Abad ini oleh FIFA.

Namun, prestasinya yang brilian berhenti saat dia menjadi


pelatih. Dari empat klub yang pernah dilatihnya, prestasi paling
menonjol yang ditunjukan Maradona adalah saat melatih tim
nasional Argentina pada tahun 2010 dengan membawa
Argentina sampai babak perempat final. Performance nya
sebagai pelatih semakin menurun saat di tahun 2011 – 2012
melatih di Al Wasi FC tanpa mempersembahkan satu pun gelar.

Kedua kisah legenda sepak bola tadi menceritakan kisah yang


saling berkebalikan. Satu nya berjaya sebagai pelatih dan
satunya berjaya sebagai pemain. Kisah ini menandakan bahwa
tiap orang memiliki potensi kelebihannya masing-masing. Dan
menempatkan orang sesuai dengan potensi kelebihan mampu
menghasilkan performance terbaik.

Sayangnya tidak semua perusahaan menyediakan jalur karir


yang mengakomodasi potensi kelebihan seseorang. Organisasi
hanya menyediakan satu jalur karir, yaitu jalur karir managerial.
Padahal ada talent yang secara potency tidak memungkinkan
untuk menduduki posisi tersebut. Bahkan jika dipaksakan,
hasilnya seperti performance Maradona saat menjadi pelatih.

Pernah menemukan kejadian tersebut di sebuah perusahaan


mining contractor. Talent dari department produksi, seorang

184
driver truct heavy duty. Selama bekerja sebagai driver, Sang
Talent memiliki performance yang bagus. Semua KPI nya dapat
dicapai dengan hasil yang sangat bagus. Agar Sang Talent tidak
dibajak organsisasi lain, akhirnya succession plan untuk Sang
Talent dibuat. Karena jalur succession hanya keatas
(managerial), mau tidak mau succession yang dilakukan adalah
menjadi Foreman.

Sayangnya setelah talent tersebut menempati future position


sebagai Foreman (Team Leader), performance nya langsung
jatuh. Team yang dipimpinnya tidak bisa mencapai performance
yang diharapkan. Pada akhirnya perusahaan kehilangan driver
yang baik dan mendapatkan Foreman yang buruk.

Alkhamdulillah, selama berkarir di talent management selalu


berada dalam organisasi yang memiliki succession planning
baik melalui jalur profesional maupun jalur managerial. Jalur
profesional lebih dikenal dengan jalur specialis. Contohnya,
Mechanic promosi ke Mechanic Specialist Auto Shut Down,
dari Mine Plan promosi ke Mine Plan Specialist, dari
Recruitment promosi menjadi Recruitment Specialist, dst.
Sedangkan jalur managerial diisi oleh orang-orang yang berlari
menjadi excekutif perusahaan. Contohnya dari Mechanic
promosi ke Foreman Mechanic, dari Recruitment promosi ke
Supervisor Recruitment, etc.

Perusahaan membuka dua kesempatan jenjang karir bukan tanpa


alasan. Alasan pertama, jika perusahaan hanya membuka satu
jenjang karir managerial saja, talent-talent di perusahaan tidak
bisa terakomodir semua. Jenjang karir managerial seperti
piramida, semakin ke atas semakin sedikit posisi tersedia.
Padahal, jumlah talent lebih banyak dari pada jumlah posisi.
Bisa jadi, jika hanya jalur managerial saja yang dibuka, talent
mengajukan resign (mengundurkan diri), karena merasa tidak
terakomodir competency and performance nya.

185
Alasan kedua, perusahaan mengakomodir dua character dan
competency dengan mendesign dua jenjang karir. Ada tipikal
orang yang secara technical tidak terlalu bagus, namun secara
managerial sangat mumpuni. Dan kebalikannya, ada orang yang
secara managerial payah, namun secara technical sangat
briliant. Dan ketepatan para talent mengambil jalur promosi
yang dipilih tentunya berefek pada jenjang karir berikutnya.
Kesalahan mengambil jalur karir, bisa jadi menghentikan karir
berikutnya.

Termasuk yang terjadi pada salah seorang rekan kerja.


Kurangnya coaching dari atasan, membuat nya mengambil jalur
karir managerial. Tidak ada yang meragukan technical
competency nya. Kerja rajin, disiplin, tepat waktu dan ahli
mengatasi trouble shooting membuat dia bersinar dan
dimasukkan aula para talent.

Berbagai program development untuk memperkuat competency


talent dijalani, baik development untuk technical competency,
business competency (ketrampilan untuk memahami aspek
bisnis secara keseluruhan) dan people competency (ketrampilan
mengelola bawahan, kolega dan atasan) diikuti. Dengan
kemampuan dan passion nya, dia mampu menguasasi technical
competency dengan cepat.

Namun, passionnya belum mampu membawa dia untuk


menguasai business process perusahaan (business competency),
karirnya di jenjang managerial berhenti di level managerial level
tengah. Dia hanya menjadi managerial semi spesialis dan bukan
generalis. Ditambah lagi character nya yang membuat susah
menguasai people competency, sehingga dia semakin terhuyung
huyung untuk naik keatas. Jadi jenjang karir mana yang cocok
untuk Anda?

186
MENDESIGN SUCCESSION PLANNING

Setelah organisasi mendesign struktur organisasi yang


mengakomodir jenjang karir spesialis dan managerial langkah
berikutnya yang perlu dilakukan organisasi adalah mendesign
succession planning. Organisasi butuh mengidentifikasi sejauh
mana program talent management dilaksanakan. Apakah hanya
di level Board of Director (BOD) atau sampai Senior Manager,
atau sampai Manager, atau bahkan sampai level Team Leader.

Tentunya banyak pertimbangan yang digunakan organisasi


dalam menentukan sejauh mana talent management
dilaksanakan. Bisa jadi mempertimbangkan budget untuk
development. Bisa jadi juga mempertimbangkan resources yang
handle talent, semakin luas jangkauannya tentunya akan
semakin komplek dan semakin banyak resources yang
dibutuhkan.

Rata-rata organisasi menjangkau talent sampai dengan level


manager atau specialist setingkat manager. Pertimbangannya
adalah para manager memegang key position dalam business
process organisasi. Sehingga jika posisi tersebut diisi oleh orang
yang tidak tepat, pengaruhnya akan besar terhadap performance
perusahaan. Alasan lainnya, jika posisi tersebut vacant dalam
waktu yang cukup lama, juga akan berpengaruh significant pada
performance perusahaan.

Setelah cakupan talent management ditetapkan, tentunya posisi-


posisi yang perlu succession akan muncul. Langkah berikutnya
adalah menetapkan siapa yang dalam jangka waktu dekat
ataupun dalam jangka waktu panjang bisa menggantikan
(successor) orang yang saat ini berada di posisi tersebut. Orang-
orang yang diidentifikasi atau ditetapkan menjadi successor

187
sudah dibahas dichapter Identification and Resourcess.
Dichapter tersebut dibahas bahwa karyawan yang diidentifikasi
menjadi talent yang kemudian menjadi successor adalah
karyawan yang memiliki high performance dan high potencial.

Pertimbangan successor jangka pendek atau jangka panjang


adalah berubahnya potency menjadi competency. Semakin
efektif competency yang dikuasai sebagaimana ditunjukan
dengan hasil eveluasi level empat berarti talent bisa ditetapkan
sebagai successor jangka pendek. Sebaliknya, semakin kurang
effective competency seperti ditunjukan hasil evaluasi level
empat berarti ditetapkan sebagai successor jangka panjang.

Organisasi juga bisa berjaga-jaga dalam menetapkan jumlah


successor. Posisi-posisi yang memiliki dampak besar jika tidak
ada yang mengisi posisi tersebut sebaiknya tidak hanya diisi
oleh satu successor. Ada baiknya successor nya berjumlah dua
atau tiga orang. Pertimbangannya bisa jadi successor untuk
posisi tersebut resign. Jika successor nya ada dua orang, maka
setidaknya posisi tersebut masih bisa diamankan.

Selain dampak kehilangan orang di key position (jika tidak diisi


orang maka akan berdampak besar pada performance
organisasi), organisasi juga perlu mempertimbangkan besarnya
resiko kehilangan orang yang menempati posisi tersebut. Bisa
jadi posisi tersebut bukan key position, namun orang yang
berada diposisi tersebut memiliki keahlian yang jarang dimiliki
dan dibutuhkan oleh organisasi-organisasi lain. Sehingga orang
tesebut rawan untuk dibajak perusahaan lain.

Resiko kehilangan karyawan lain bisa berasal dari usia.


Karyawan dengan usia mendekati pensiun memiliki resiko
kehilangan yang besar. Begitu juga dengan karyawan dengan
usia muda (under 30 tahun) juga cenderung memiliki resiko
besar untuk resign. Karena fokus karyawan under 30 tahun

188
adalah mencari pengalaman sebanyak-banyaknya, dan dengan
pindah perusahaan, fokus mereka bisa tercapai.

Mengelola pertimbangan-pertimbangan tadi, organisasi perlu


membuat system succession. Jika diterjemahkan dalam bentuk
table maka table nya akan berbentuk seperti berikut :

PR selanjutnya dari organisasi setelah memiliki table seperti ini


adalah melakukan framework talent management setelah
framework succession, yaitu Learning and Development.
Tujuannya agar talent yang mempraktekan competency secara
effective bisa lebih effective lagi dan yang kurang effective bisa
semakin effective. Kenapa dan bagaimana melakukan, sudah
dijelaskan di chapter sebelumnya.

189
190
REMUNERATION

Jika Anda memilih orang yang tepat dan memberikannya


kesempatan untuk mengembangkan sayapnya dan
memberikan compentation yang sesuai, Anda bahkan tidak
perlu me-manage-nya (Jack Welch)

191
5
Remuneration
Jika Anda memilih orang yang tepat dan memberikannya
kesempatan untuk mengembangkan sayapnya dan
memberikan compentation yang sesuai, Anda bahkan tidak
perlu me-manage-nya (Jack Welch)

Bukankah sayang, seandainya perusahaan sudah mengeluarkan


investasi yang begitu besar untuk mencari – mengidentifikasi –
dan mengembangkan talent, namun talent tersebut malah
akhirnya keluar dari perusahaan? Karenya, tugas perusahaan
selanjutnya adalah me-retaion atau menjaga talent tersebut tidak
lari ke perusahaan lain ataupun menjaga agar performance para
talent tidak turun.

Kelly Service sebuah multinasional konsultan di bulan


September 2013 melakukan survey tentang Employee
Engagement and Retention. Survey tersebut dilakukan di 31
negara cross America, Eropa dan Asia Pasific dengan
mengambil sample populasi sebanyak 120.000 orang. Hasil
survey tersebut menunjukkan dari 31 negara yang di-survey,
Indonesia memiliki tingkat turnover (keluar masuk karyawan)
sebesar 31%, dan menempati posisi ketiga sebagai negara
dengan tingkat turnover terendah.

Walaupun Kelly tidak menunjukan berapa persen talent yang


melakukan turn over di perusahaan, namun hasil survey ini
menggambarkan apa yang membuat employee memilih tetap
stay diperusahaannya. Dari hasil survey yang dilakukan
ditemukan, faktor yang mempengaruhi orang untuk memilih
pekerjaan, 38% karena alasan work live balance, 29% karena
personal growth, dan 26 % karena compentation and benefit.

192
Penyebab-penyebab employee tetap stay di perusahaan
sepertinya digambarkan dengan lebih menarik oleh Jack Welch.
CEO legendaris General Electric ini memang pernah berkata,
“Jika Anda memilih orang yang tepat dan memberikannya
kesempatan untuk mengembangkan sayapnya dan memberikan
compentation yang sesuai, Anda bahkan tidak perlu me-
manage-nya”. Secara tidak langsung Jack Welch
menunjukankan, untuk memaintance employee di perusahaan
yang perlu dilakukan pertama kali adalah right man, artinya
memberikan kesempatan orang bekerja sesuai passion dan
keahliannya. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan
kesempatan dikembangkan dan mengembangkan diri. Dan
berikutnya adalah dengan memberikan compentation yang
sesuai.

Bahasan tentang right man sudah dibahas di chapter “Souching


dan Identifikasi Talent”, sedangkan bahasan tentang kesempatan
dikembangkan dan mengembangkan diri telah dibahas di
chapter “Talent Development”. Dan bahasan tentang
compentation akan dibahas di chapter ini.

Selain bermanfaat untuk me-retain karyawan pada umumnya


dan talent pada khususnya, compentation and benefit juga
memiliki tujuan untuk menarik talent dari luar perusahaan atau
recruitment external. Hal ini dibuktikan dengan hasil Employee
Retention and Enggagement Survey yang dilakukan Kelly
Service pada tahun 2013, remuneration menjadi pertimbangan
kelima (10%) orang mereferensikan peluang kerja pada
temannya, setelah company culture (26%), personal opportunity
to growth (21%), interesting or work challenge (17%), dan work
life balance (14%).

Manfaat lain dengan memberikan total remuneration adalah


mempertahankan performance karyawan, memotivasi agar lebih
produktif, dan memberi apresiasi pada karyawan dengan

193
performance yang bagus. Bayangkan seandainya Anda adalah
seorang karyawan yang memiliki performance yang bagus,
namun tidak diapreasiasi oleh perusahaan. Bagaimana perasaan
Anda? Dan apa yang akan Anda lakukan? Sebagian orang akan
menjawab, “ngapain saya memperlihatkan performance bagus,
tapi penghargaan yang saya terima sama dengan yang
performance-nya jeleksaya”. Sebagian lagi akan menjawab
“mending saya keluar dari perusahaan dan mencari pekerjaan
lain”.

Sayangnya sebuah studi tentang Indonesia Strategy and


Performance Management yang dilakukan oleh GML
Performance Consulting pada tahun 2014 menunjukan bahwa
38% responden menyatakan organisasi belum memiliki sistem
remunerasi yang jelas kepada karyawan yang berkinerja tinggi
dibandingkan dengan karyawan berkinerja rendah.

Jika kita berbicara tentang compentation, sudah pasti bayangan


awal kita adalah gaji dan fasilitasa atau benefit. Gaji dan benefit
sering kali disebut paket remunerasi. Secara umum paket
remunerasi bisa dibagi menjadi seperti berikut:

Remuneration

194
Extrinsic Reward

Jenis remuneration pertama dikategorikan sebagai extrinsic


rewards, bentuknya ada non financial dan financial. Extrinsic
rewards adalah penghargaan perusahaan yang langsung bisa
dilihat, dirasakan dan disentuh bentuknya. Gaji dan bonus
adalah satu bentuk extrinsic rewards berupa financial.
Sedangkan extrinsic rewards berupa non financial contohnya
adalah fasilitas kesehatan, fasilitas komunikasi, fasilitas
perumahan dan fasilitas-fasilitas yang lain.

Di Indonesia sendiri, praktek remunerasi secara extrinsic diatur


dengan UU no. 13 tahun 2003. Sehingga, praktek extrinsic
remuneration yang dijalankan oleh perusahaan minimal harus
mengacu pada aturan perundang-undangan tersebut. Sedangkan
praktek remunerasi secara intrinsic remuneration tidak diatur
secara khusus di perundang-undangan Indonesia.

Seringkali issue yang muncul dari penerapan extrinsic rewards


adalah rasa keadilan. Mengatasi hal tersebut perusahaan sering
kali menggunakan pendekatan 3P, pay for position, pay for
performance, dan pay for person dalam memberikan extrinsic
reward, baik berupa financial maupun non financial.

195
a. Pay for position

Dengan menggunakan konsep pay for position artinya


seorang karyawan dibayar berdasarkan posisi atau jabatan.
Dengan ada nya pay for position berarti akan ada perbedaan
remuneration di tiap level jabatan. Perbedaan remunerasi
yang didapat di tiap level jabatan mulai dari level jabatan
paling bawah ke atas atau dari front liner yang bekerja di
garis depan, team leader yang memimpin para front liner,
supervisor, ataupun manager tentunya terlihat perbedaan nya
secara jelas. Challenge menerapkan pay for position adalah
menentukan compentation dan benefit yang diterima untuk
level yang sama, contohnya sama-sama supervisor, satunya
supervisor produksi dan satu nya supervisor marketing,
mana yang perlu dibayar lebih bahal oleh perusahaan? Atau
sama-sama seorang manager, satu nya manager HRD dan
satu nya manager keuangan, mana yang harus dibayar lebih
tinggi?

Job grading adalah jawaban atas pertanyaan tadi.


Perusahaan perlu memberikan penilaian bobot pekerjaan
pada semua posisi. Semakin tinggi nilai bobot posisi maka
semakin besar juga compensation dan benefit yang diterima.
Ada tiga parameter yang digunakan untuk melihat bobot
posisi, pertama Know How atau competency yang
dibutuhkan untuk mengerjakan pekerjaan. Semakin komplek
competency yang dibutuhkan semakin tinggi nilai know how
yang diberikan. Perusahaan bisa menggunakan skala 1-5
untuk menentukan kompleksitas competency yang
dibutuhkan. Nilai satu menggambarkan pekerjaan yang bisa
dilakukan oleh semua orang dan tidak dibutuhkan
kompleksitas competency, contoh nya seperti office boy.
Semakin ke atas nilai nya menggambarkan pekerjaan
tersebut hanya bisa dilakukan sedikit orang saja sehingga
membutuhkan kompleksitas competency yang tinggi.

196
Parameter kedua untuk menetapkan job grading adalah
Problem Solving. Semakin tinggi tantangan pemikiran yang
dibutuhkan untuk mengevaluasi, menciptakan, menjelaskan
dan mengambil soluasi suatu masalah akan semakin tinggi
bobot nilai pekerjaan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah
tantangan untuk mengevaluasi, menciptakan, menjelaskan
dan mengambil soluasi suatu masalah maka akan semakin
rendah juga bobot nilai pekerjaan tersebut. Contohnya
adalah membandingkan antara supervisor keuangan dengan
supervisor maintenance. Tentunya seorang supervisor
maintenance yang memiliki kompleksitas tantangan lebih
besar dalam pekerjaannya memiliki bobot nilai pekerjaan
yang lebih tinggi dari supervisor keuangan.

Accountability menjadi parameter ketiga dalam menetapkan


job grading pekerjaan. Accountability adalah hasil dan
konsekuensi dari suatu tindakan atau keputusan yang telah
dibuat. Mudah nya perusahaan perlu mengukur seberapa
besar kebebasan posisi tersebut untuk bertindak, apa dampak
jabatan terhadap hasil kerja, dan dampak pekerjaan terhadap
hasil kerja. Semakin besar accountability nya akan semakin
besar juga nilai bobot pekerjaan. Contohnya adalah
membandingkan bobot pekerjaan team leader general affair
dengan team leader accounting. Perusahaan bisa melihat
membandingkan asset yang dikelola oleh kedua team leader
tadi, semakin besar asset yang dikelola semakin besar pula
bobot nya. Perusahaan juga perlu melihat jika kedua team
leader tadi melakukan kesalahan, mana yang berdampak
lebih besar bagi perusahaan. Semakin besar dampaknya
semakin besar pula nilai bobot pekerjaan.

Setelah mendapatkan hasil job grading perusahaan juga


perlu melihat remunerasi yang diberikan oleh perusahaan
sejenis. Fungsinya adalah antisipasi jangan sampai talent
yang melakukan pekerjaan yang sama menerima remunerasi

197
yang tidak kompetitip dibandingkan dengan perusahaan
sejenis. Fungsi kedua adalah untuk menarik talent dari
perusahaan lain. Semakin kompetitif remunerasi yang dibuat
akan memungkinkan meretain talent perusahaan dan
menarik talent dari perusahaan lain.

Perusahaan konsultasi seperti Kelly Service, Hay, ataupun


Mercer memiliki data salary survey yang bisa digunakan
oleh perusahaan untuk membandingkan compentation yang
diberikan. Data salary survey tersebut berisi, patokan gaji
paling rendah dan paling tinggi yang diberikan perusahaan
untuk grading tertentu. Dengan melihat data tersebut
perusahan bisa menentukan posisi yang diambil untuk
menentukan persentil compentation yang akan diberikan
kepada karyawan. Apakah berada di titik paling rendah dari
hasil salary survey atau titik persentil 0%? Atau
menempatkan diri di posisi tengah-tengah dari data salary
survey atau persentil 50%? Atau malah memposisikan diri
sebagai perusahaan dengan pemberian compentation paling
tinggi dengan menempatkan diri di posisi teratas atau
persentil 100%

b. Pay for performance

Pay kedua adalah pay for performance, artinya seorang


karyawan akan dibayar berdasarkan performance yang
dihasilkan. Semakin besar performance yang dihasilkan,
semakin besar pula remuneration yang diterima. Penerapan
pay for performance membutuhkan sistem penilaian kinerja
atau performance appraisal yang objective. Bahasan tentang
performance appraisal dapat Anda baca lagi di artikel
sebelumnya “Performance Appraisal Redifine”.

Bambang Bhakti, mantan Direktur Utama ASDP Indonesia


Ferry dan Jakarta International Container Terminal (JICT)

198
punya cara menarik untuk menegaskan pentingnya
performance appraisal yang objective untuk menerapkan
pay for performance. Bambang Bhakti mengatakan
“perusahaan yang belum membagi bonus sama rata-sama
rasa tanpa melihat kontribusi performance tiap karyawannya,
secara tidak sengaja menerapkan sistem komunis”. Dampak
dari sistem sama rata-sama rasa adalah kemiskinan seperti
yang bisa disaksikan di Korea Utara dan Kuba. Ketika
sistem yang sama diterapkan dalam perusahaan, penurunan
kinerja akan terjadii karena tidak ada dorongan untuk
mencapai kinerja yang lebih tinggi.

Tujuan utama dari pay for performance adalah memberikan


motivasi bagi karyawan. Bagi yang performance nya bagus
diberikan penghargaan dengan paket remunerasi yang baik.
Sebaliknya bagi karyawan yang performance nya jelek
dihukum dengan paket remunerasi yang jelek juga.
Bayangkan saja seandainya ada karyawan yang memiliki
performance berbeda namun dibayar sama, akibatnya bisa
jadi karyawan yang performance nya bagus akan
terdemotivasi dan menurunkan performance nya. Disinilah
peran pay for performance muncul.

Jika pay for position cenderung pada kompenen


remuneration compentation atau gaji dan cenderung fix,
maka pay for performance bisa digunakan untuk mendesign
benefit yang cenderung flexible mengikuti pencapaian
performance. Praktek pay for performance ini bisa
diaplikasikan dalam kenaikan gaji, intensif dan bonus
performance.

Dalam penerapan kenaikan gaji, agar keadilan tercipta


hingga karyawan pada umumnya dan talent pada khususnya
dapat diretain maka perusahaan perlu membuat standar
kenaikan gaji berdasarkan performance. Perusahaan bisa

199
menerapkan lima kriteria performance yang masing-masing
kriteria memiliki standar kenaikan gaji. Contohnya
karyawan dengan performance A (achievement key
performance indicator >100%) mendapatkan kenaikan gaji
sebesar inflasi + 1%. Performance B (achievement key
performance indicator 90% - 100%) mendapat kenaikan gaji
sebesar inflasi + 0,5%. Performance C (achievement key
performance indicator 70% - 80%) mendapat kenaikan gaji
sebesar inflasi. Performance D (achievement key
performance indicator 60% - 70%) mendapat kenaikan gaji
sebesar inflasi – 0,5%. Dan Performance E (achievement key
performance indicator < 60%) mendapat kenaikan gaji
sebesar inflasi – 1%. Penetapan besaran pemberian kenaikan
gaji ini tentunya dipengaruhi oleh kondisi dan strategi
perusahaan.

Begitu juga dengan pemberian intensif dan benefit juga


perlu memperhatikan performance karyawan. Intensif
sendiri adalah penghargaan yang bersifat jangka pendek
(mingguan, bulanan atau bahkan harian) atas pencapaian
target dari suatu aktivitas yang spesifik dalam perusahaan.
Contohnya, seorang sopir alat berat di pertambangan
mendapatkan intensif berdasarkan ritasi (jumlah bolak-balik
mengangkut hasil tambang).

Intensif memiliki dampak yang positif dan riil dalam


memotivasi karyawan, namun karena bersifat jangka pendek
membuat karyawan kadang kala bertindak short term.
Contohnya saja seorang sales yang mendapat intensif dari
jumlah barang yang dijual. Kadang kala karena mengejar
intensif, sales melakukan penjualan dengan membabi buta
dan melupakan kualitas pelanggan yang didapat. Sehingga
bisa jadi customer menjadi “kapok” untuk membeli kembali.

200
Berbeda dengan intensif, bonus merupakan penghargaan
yang bersifat jangka menengah dan panjang seperti per enam
bulanan, pertahun, atau bahkan dalam 2-3 tahun dalam
bentuk opsi saham. Perbedaan kedua adalah kompleksifitas
sebagai ukuran pemberian bonus. Key performance indicator
dalam penilaian karya semesteran ataupun tahunan sering
kali digunakan perusahaan dalam memberikan bonus.

Dalam kasus sales di atas, bonus diberikan tidak hanya


mengacu pada jumlah penjualan, namun ada komponen lain.
Perusahaan yang menggunakan balance scorecard akan
memasukan perspektif finance, customer, internal process,
dan learning and grow. Dari perspektif finance, perusahaan
bisa memasukan Key performance indicator berupa
ketepatan pembayaran dari customer. Dari perspektif
customer, perusahaan bisa memasukan Key performance
indicator berupa kepuasan pelanggan. Dari perspektif
internal process, perusahaan bisa memasukan Key
performance indicator berupa kecepatan dalam memberikan
pelayanan. Dari perspektif learning & grow, perusahaan bisa
memasukan Key performance indicator berupa lulus
sertifikasi customer excellence.

c. Pay for person

Dan pay terakhir adalah pay for person. Jenis remunerasi


dengan berfokus pay for person menitikberatkan pada
membayar orang karena karakteristik unik seseorang.
Artinya, meski memegang jabatan dan posisi yang sama –
katakanlah sama-sama sebagai asisten manajer – namun dua
orang ini memiliki gaji yang berbeda. Level kompetensi
yang dimiliki lah yang menjadi pembeda gaji ke dua orang
tersebut. Seorang karyawan yang dinilai lebih kompeten
idealnya memiliki level gaji yang lebih tinggi dibanding
mereka yang kompetensi nya lebih rendah.

201
Sama seperti pay for position ataupun pay for performance,
tujuan utama nya adalah memberikan motivasi kepada
karyawan. Bayangkan saja seandainya ada dua orang
karyawan yang sama-sama menempati posisi yang sama.
Karyawan pertama sangat ahli dan memiliki skill maupun
knowledge yang lebih bagus dari pada karyawan ke dua,
namun kedua karyawan tersebut dibayar sama. Akibatnya
karyawan pertama tadi walaupun tahu dan bisa bisa jadi
terdemotivasi dan tidak melakukan yang dia bisa dan tahu.

Pada prakteknya, penerapan pay for person ini sulit


dilakukan, karena pola semacam diatas mensyaratkan
perusahaan untuk memiliki profil kompetensi yang jelas
untuk setiap posisi. Dan yang tak kalah penting, perusahaan
juga memiliki mekanisme yang sistematis dan obyektif
untuk melakukan penilaian kompetensi secara reguler. Dua
hal ini cukup kompleks untuk diterapkan, terutama dalam
hal harus melakukan penilaian kompetensi karyawan secara
lengkap dan reguler. Sehingga tidak banyak perusahaan
yang bisa menerapkan konsep pay for person (competency-
based pay) secara optimal.

Best practice yang sering kali dilakukan oleh perusahaan


untuk mensiasati kedua kendala tersebut adalah dengan
mengkompensasi pay for person atau competency based pay
dengan masa kerja. Semakin lama masa kerjanya maka akan
semakin orang dibayar mahal. Hal ini dikarenakan
perusahaan sering kali megasumsikan, semakin lama
seseorang bekerja maka semakin ahli atau semakin
kompeten orang tersebut di dalam pekerjaannya. Tentu saja
asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar, karena bisa jadi
karyawan yang baru bekerja satu tahun memiliki skill dan
knowledge sebanding dengan orang yang memiliki
pengalaman sepuluh tahun bahkan lebih.

202
Best practice lain yang juga sering dilakukan oleh
perusahaan adalah dengan mengkompensasi pay for person
atau competency based pay dengan jenjang pendidikan.
Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dimiliki karyawan
dibayar lebih mahal oleh perusahaan. Asumsi yang muncul
adalah semakin tinggi jenjang pendidikannya, maka akan
semakin tinggi pula skill dan knowledge yang dimiliki.
Tentu saja asumsi ini tidak sepenuhnya benar, karena ada
orang-orang yang bisa jadi hanya lulus dari SMA, namun
memiliki skill dan knowledge melebihi lulusan S1 ataupun
S2.

Instrinsic Reward

Berbeda dengan extrinsic reward yang langsung bisa di sentuh,


dan dilihat bentuknya, intrsinsic reward memiliki ciri
sebaliknya. Rewards ini tidak bisa dilihat secara langsung dan
bahkan tidak bisa disentuh secara langsung. Contoh intrinsic
rewards ini berupa perasaan dihargai, status, maupun perasaan
aman atas ketepatan pembayaran gaji dan benefit yang
diberikan. Menempatkan karyawan pada tempat yang sesuai
dengan potency dan kemampuannya juga merupakan bentuk
instrinsic rewards. Begitu juga dengan memberikan kesempatan
karyawan untuk berkembang dan dikembangkan, juga
merupakan bentuk lain dari intrinsic rewards.

Masih ingat hasil survey yang dilakukan oleh Kelly menunjukan


faktor yang mempengaruhi orang untuk memilih pekerjaan, 38%
karena alasan work live balance, 29% karena personal growth,
dan 26 % karena compentation and benefit. Extrinsic reward
pada dasarnya berbicara mewakili 26% orang untuk tetap stay di
perusahaan, sedangkan 67% sisanya (38% work life balance dan
29% personal growth) berbicara tentang intrinsic reward. Hal
ini menunjukan bahwa extrinsic reward adalah hal yang penting,
namun intrinsic reward juga hal yang tidak kalah penting.

203
Abraham Maslow dengan teori nya yang bernama Piramida
Kebutuhan Maslow sering sekali dijadikan rujukan untuk
mendefinisikan extrinsic maupun intrinsic reward yang bisa
diberikan perusahaan. Piramida Kebutuhan tersebut terdiri dari
lima jenjang kebutuhan mulai dari kebutuhan dasar atau
physiological needs, rasa aman atau safety and security, rasa

mencintai dan dicintai atau love and belonging, harga diri atau
self esteem, dan aktualisasi diri. Perhatikan bahwa jenjang
pertama atau jenjang paling dasar berupa kebutuhan dasar atau
physiological needs pada dasarnya berbicara tentang extrinsic
reward. Sedangkan jenjang kedua sampai ke lima berbicara
tentang intrinsic reward.

Perusahaan bisa mendesign paket remunerasi berupa intrinsic


reward dengan menggunakan jenjang kedua sampai dengan
jenjang ke lima. Di jenjang ke dua misalnya, safety and security,
walaupun nampaknya sederhana, pemberian gaji yang dilakukan
secara tepat waktu sebenarnya adalah bentuk dari aplikasi safety
and security. Walaupun gaji sebagai komponen extrinsic reward
yang diberikan perusahaan besar, namun jika diberikan secara
tidak tepat waktu atau bahkan menunggak sampai berbulan-
bulan tentunya akan membuat perasaan tidak aman dan nyaman
bagi karyawan. Ujung-ujungnya remuneration yang bertujuan
untuk memotivasi karyawan malah mendemotivasi karyawan.

204
Intrinsic reward tentu saja juga bisa didesign untuk jenjang
berikutnya, love and belonging, self esteem dan self
actualization. Contohnya saja menempatkan orang pada passion
nya, seperti yang sering dibahas sebelum-sebelumnya
sebenarnya juga berbicara tentang intrinsic reward, tapatnya
pada jenjang self actualization. Seperti di chapter-chapter
sebelumnya, di chapter bahasan tentang remuneration juga akan
dibahas lebih mendetail dengan artikel-artikel selanjutnya.
Adapun indek dari pembahasan di chapter ini adalah :

205
206
UPAH PARA TALENT

Sebagaimana sebelumnya sudah dibahas bahwa extrinsic


rewards bisa dilakukan dengan model 3P, pay for position, pay
for performance, dan pay for person. Dengan mempraktekan
pay for position sudah tentu perusahaan akan memiliki standar
gaji untuk posisi atau jabatan tertentu. Agar tidak kalah dengan
pesaing, dalam era “Talent War” penentuan standar upah bisa
dilakukan dengan berpartisipasi dalam salary survey dan melihat
trend hasil salary survey yang telah dilakukan pada perusahaan
sejenis. Perusahaan kemudian bisa menentukan mau
memposisikan diri seperti hasil salary survey, di atas nilai salary
survey atau dibawah nilai salary survey.

Walaupun sudah
menerapkan pay for
position, masih saja ada
issue yang sering kali
muncul. “Saya memang
satu jabatan dengan teman
saya, sama-sama customer
service. Tapi saya lebih
senior, sudah pasti dong
saya memiliki best
practice lebih banyak”.
Bagitulah dialog yang
mungkin terjadi antara
superior dan sub ordinate
nya yang merasa tidak puas dengan penerapan pay for position.

Menjawab tantangan tersebut, sering kali perusahaan


menggabungkan pay for position dan pay for person untuk
meretain talent nya. Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa

207
pay for person diberikan karena karakteristik unik seseorang
(competency). Jika pay for position diberikan berdasarkan hasil
job grading, maka pay for person diberikan berdasarkan hasil
assessment competency.

Sayangnya investasi yang dikeluarkan untuk melakukan


assessment competency tersebut tidak lah sedikit. Sehingga
untuk menyederhanakan, perusahaan menggunakan patokan
masa kerja atau senioritas untuk menentukan competency. Ide
dasarnya adalah semakin lama orang mengerjakan sesuatu
tentunya semakin ahli juga orang melakukan hal tersebut.

Aplikasinya kombinasi pay for position dan pay for person


tersebut modelnya bisa dilihat dari pangkat Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Jika diperhatikan, golongan pangkat PNS adalah 1,
2 dan seterusnya. Di tiap golongan kemudian muncul A, B, C
dan seterusnya, sehingga pangkat golongannya menjadi 1A, 1B,
1C, dan seterusnya. Angka tersebut sebenarnya menunjukan pay
for position, dan huruf dibelakang angka menunjukan pay for
person.

Bukan rahasia umum jika PNS mengalami kenaikan pangkat


secara otomatis tiap empat tahun sekali. Jika di tahun 2010,
pangkatnya adalah 3A, maka secara otomatis di tahun 2014
pangkatnya akan naik menjadi 3B. Hal ini menunjukan bahwa
semakin senior seseorang akan semakin tinggi juga pangkatnya.

Selain senioritas, tingkat pendidikan juga menjadi pertimbangan


pangkat di PNS. Semakin tinggi sekolahnya semakin tinggi
pangkatnya. PNS tamatan SMA akan memulai karirnya dari
pangkat golongan 2, sedangkan S1 dari pangkat golongan 3. Hal
ini sebenarnya juga aplikasi dari pay for person. Pemerintah
menganggap semakin tinggi pendidikannya, semakin tinggi juga
competency nya.

208
Kedua penyederhanaan pay for peson tadi tentu saja tidak 100%
benar, jika dilihat dari senioritas bisa jadi orang yang baru di
hire memiliki competency yang lebih dari pada orang senior
yang mengerjakan pekerjaan tersebut. Atau bisa jadi lulusan
SMA memmiliki competency yang lebih hebat dari sarjana S1.

Terjadi lagi dialog antara karyawan dan superiornya, “Benar


saya memang cuma lulusan SMA, saya juga masih junior, tapi
performance saya lebih bagus lo dibanding sama senior. Mosok
gaji saya lebih kecil dari pada senior”.

Issue ini kemudian memunculkan pemikiran untuk tidak hanya


mengkombinasi pay for position dan pay for person, namun juga
pay for performance. Best practice nya seperti yang dilakukan
PT. Holcim Indonesia, Tbk. Setiap posisi memiliki gradingnya
masing-masing. Dan di setiap grading memiliki 6 step (step 1
sampai dengan 6). Contohnya adalah grade 6 step 2, grade 7 step
6, dan seterusnya. Perusahaan lain yang menggunakan model ini
adalah kontraktor pertambangan batu bara PT. Bukit Makmur
Mandiri Utama (BUMA). Contohnya grading untuk operator
nya yang paling bawah adalah APP (Apprentice), OPJ (Operator
Junior) dan OPS (Operator Senior).

Penilaian kinerja sebagai tool sebagai patokan rewards base on


performance menjadi syarat wajib untuk kenaikan step tersebut.
Contohnya, perusahaan bisa membuat ketentuan, orang dengan
performance A mendapat point 6. Orang dengan performance B
mendapat point 5. Orang dengan performance C mendapat point
4. Orang dengan performance D mendapat point 3. Dan orang
dengan performance E mendapat point 2. Agar bisa naik step,
karyawan harus mengumpulkan minimal 12 point. Sehingga
talent yang memiliki performance A selama dua tahun bisa naik
step dalam dua tahun. Sebaliknya, karyawan dead wood dengan
performance E akan naik step pada tahun ke enam.

209
Dengan menggabungkan ke 3P ini terlihat prinsip keadilan.
Orang baru dengan pendidikan lulusan SMA memiliki
kesempatan akan mampu melewati seniornya yang lulusan
sarjana. Walaupun saat memulai bekerja, orang baru tersebut
masih berada di posisi di bawah. Namun, dengan performance
yang ditunjukan sangat memungkinkan melewati posisi para
seniornya.

Dengan kesempatan dan sistem yang adil seperti ini tentunya


akan membuat para employee lebih enggange dan meretain
mereka.

Point Penting : Idealnya konsep 3P (pay for


position, person dan performance)
diaplikasikan sebagai satu kesatuan
Praktek yang bisa dilakukan adalah
membuat grading (pay for position) yang
memiliki sub grade (pay for person). Dan
kenaikan sub grade ditentukan oleh hasil
performance (pay for performance)

210
TALENT BENEFIT MASA KE MASA

Mendevelopt talent tentunya juga harus dibarengi dengan


meretain talent. Jika dilihat dari piramida motivasi yang dibuat
oleh tokoh psikologi bernama Abraham Maslow, manusia
memiliki jenjang kebutuhan mulai dari kebutuhan dasar atau
physiological needs, rasa aman atau safety and security, rasa
mencintai dan dicintai atau love and belonging, harga diri atau
self esteem, dan aktualisasi diri. Maslow menjelaskan agar orang
bisa mengaktualisasikan diri atau menjadikan potency menjadi
competency dan competency menjadi high performance, orang
harus memenuhi keempat jenjang dibawahnya.

Pengakuan perusahaan kepada seorang talent yang memiliki


high potency, high competency dan high performance adalah
bentuk meretain talent melalui jenjang self esteem atau
penghormatan pada talent. Apalagi saat pengakuan perusahaan
tersebut semakin bertambah dengan successi yang dilakukan
perusahaan. Self esteem yang dimiliki talent pun akan semakin
tinggi.

Walaupun self esteem talent sudah tinggi, tentu saja belum


cukup digunakan untuk meretain talent. Pondasi utamanya
berupa kebutuhan fisiologis harus kuat dibangun, disusul
kemudian pondasi rasa aman. Kedua pondasi tersebut dapat
dibangun dengan extrinsic reward berupa compensation and
benefit.

Program remunerasi yang mau dibuatpun sebisa mungkin


disesuaikan dengan faktor usia talent. Di artikel "Talent 3
Generasi", sempat dibahas periode kelahiran talent
mempengaruhi karakteristik personalnya. Ada talent yang lahir
antara tahun 1945-1965 dan dikategorikan sebagai generasi

211
Baby Boomer, talent yang lahir di tahun 1965-1980 di sebut
generasi X, dan talent yang lahir antara tahun 1980 - 1995
dikategorikan sebagai generasi Y. Usia Baby Boomer di dekade
ini (2007-2015) berarti di kirasan usia 45 th ke atas. Mereka
adalah angkatan tua yang semakin menurun produktivitasnya.
Sehingga mereka akan lebih memikirkan masa depan di hari tua
mereka. benefit yang cocok untuk mereka tentunya adalah
benefit yang mengarah ke hari tua nya, contohnya adalah
Asuransi jiwa seperti tanggungan di hari tua hingga mereka
meninggal.

Berbeda dengan Baby Boomer, Generasi X yang dekade (2007-


2015) ini berusia 35 an tentunya membutuhkan jenis benefit
(fasilitas) yang berbeda. Generasi ini biasanya sudah
mempunyai keluarga dan sedang membangun infrastruktur
rumah tangga. Sehingga cara terbaik untuk mempertahankan
mereka adalah memberikan fasilitas loan atau pinjaman. Contoh
tunjangan yang bisa diberikan diantaranya COP (Car Ownership
Program) ataupun HOP (House Ownership Program). Cara
kerjanya talent akan diberikan COP ataupun HOP dengan ikatan
dinas sekian tahun. Jika dalam waktu ikatan dinas talent resign,
mereka harus mengembalikan semua biaya program COP
ataupun HOP yang diberikan perusahaan.

Dari ketiga generasi, nampaknya generasi Y paling susah untuk


dibuatkan program remunerasi. Generasi Y yang dekade (2007-
2015) ini berusia dibawah 35 tahun cenderung menghabiskan
waktunya untuk Lifestyle. Mereka tergolong generasi High Tech
dan Konsumtif. Benefit yang bisa diberikan pada para generasi
Y ini tentunya adalah benefit yang menunjang lifestyle mereka.
Contoh fasilitas yang bisa diberikan kepada generasi Y adalah
fasilitas menjadi member executive club.

212
Point Penting : Extrinsic reward perlu dibuat flexible
menyesuiakan karakteristik periode kelahiran talent
Talent yang lahir diperiode berberda memiliki fokus
kebutuhan hidup yang berbeda

213
TRANSPARANSI BONUS TAHUNAN

Salah satu bentuk pay for performance adalah dengan


memberikan bonus ataupun intensif. Sebagian besar perusahaan
memberikan bonus dalam jangka waktu satu tahun sekali,
diakhir tahun atau awal tahun. Pertimbangan utamanya
berhubungan dengan pencapaian key performance indicator,
utamanya adalah financial perspective (EBITDA atau
keuntungan bersih perusahaan). Kalau perusahaan untung maka
bonus akan keluar, kalau perusahaan rugi, bonus pun akan
hilang. Tak heran mendekati waktu yang ditentukan untuk
mengumumkan pembagian bonus membuat orang berdebar-
debar.

Salah satu tantangan perusahaan saat pengumuman EBITDA ini


adalah “kecurigaan”. Sering kali karyawan yang diwakili oleh
Serikat Pekerja menanyakan transparansi, “apakah memang
betul laporan yang dibuat perusahaan? Jangan-jangan laporan
keuangannya dibuat-buat”. Demikian kecurigaan yang muncul
di antara karyawan. Apalagi saat bonus yang akan didapat
karyawan kecil, semakin besar juga kecurigaannya. Niatnya mau
memberikan bonus untuk meningkatkan performance, hasilnya
malah demotivasi karena saling curiga.

Jika kecurigaan tersebut ditujukan pada perusahaan terbuka


(tbk), jawabnya akan sangat mudah. Karena mereka diaudit oleh
audit independen, maka untuk menjawab kecurigaan karyawan
tinggal ditunjukan hasil audit independen. Bagaimana dengan
perusahaan yang belum terbuka, jawabannya cuma satu
“transparansi”.

Salah satu best practice yang dilakukan adalah membuat sebuah


event Business Briefing tiap empat bulanan (quarter). Di event

214
tersebut, management mengundang semua karyawan untuk
mempresentasikan perkembangan perusahaan tiap quarter.
Agenda utama di event tersebut adalah mempresentasikan Key
performance indicator perusahaan yang didalamnya meliputi
financial perspective, customer perspective, internal process
perspective dan learning and grow perspective.

Selain bermanfaat untuk menjelaskan transparansi


perkembangan financial, event ini juga bermanfaat untuk
mendorong motivasi karyawan. Dengan mempresentasikan
perkembangan perusahaan, seluruh karyawan bisa melihat
performance perusahaan tiap quarter. Saat performance
perusahaan sedang turun, management bisa mempresentasikan
impact dengan turunnya performance, seperti bonus tahunan
yang bisa jadi akan menurun, ataupun kenaikan gaji yang bisa
jadi akan lebih rendah dari pada tahun kemarin. Dengan
mengetahui impact turunnya performance perusahaan,
diharapkan karyawan terdorong motivasinya untuk
meningkatkan performance nya.

Hal ini dikarenakan, sebenarnya saat mempresentasikan


perkembangan performance, management sedang memberikan
feedback kepada karyawan. Feedback ini akan menjadi lebih
powerfull lagi saat presentasi yang dilakukan management
memperhatikan tiga prinsip feedback, seperti yang sudah
dibahas sebellumnya. Ketiga prinsip tersebut adalah spesific,
timely dan balance.

Spesific berarti setelah mengetahui perkembangan performance


perusahaan, management memberikan action plan yang specific
untuk ditindaklanjuti karyawan. Timely berarti tepat waktu, atau
tidak menunda-nunda untuk segera memberikan feedback.
Mempresentasikan perkembangan perusahaan tiap quarter
tentunya lebih baik dibandingkan mempresentasikan
performance perusahaan di akhir tahun. Bayangkan saja,

215
seandainya dipresentasikan di akhir tahun dan performance
perusahaan sedang tidak bagus, bukankah sudah terlambat untuk
diperbaiki. Prinsip ketiga yang juga perlu dilakukan adalah
balance. Artinya management juga perlu transparan, tidak hanya
mempresentasikan yang jelek saja kepada karyawan namun juga
hal yang baik yang sudah karyawan lakukan juga perlu
disampaikan.

Point Penting : Ketidakadaan bonus karena


tidak tercapaianya performance perusahaan
kadang kala membuat orang terdemotivasi.
Business briefing yang dilakukan secara
bertahap untuk memberikan update dan
feedback terhadap performance perusahaan,
akan memperkecil resiko demotivasi
tersebut

216
BEWARE, ADA REWARDS GALAK

Extrinsic reward seperti bonus memang memiliki kelebihan


memberikan dampak yang cepat untuk memotivasi karyawan.
Sebagai pribadi yang menerima bonus tadi tentunya kita sangat
senang menerimanya. Walaupun begitu, jika kita memposisikan
diri sebagai leader ataupun managemen, kita harus hati-hati
dalam memberikan bonus yang sifatnya tangible.

Kewaspadaan pertama, cepat datang-cepat pergi. Dengan


memberikan extrinsic rewards memang akan membost motivasi
seseorang untuk bekerja. Apalagi jika extrinsic rewards tersebut
datangnya tidak diduga-duga, berasa mendapat durian runtuh.
Bahagianya luar biasa, namun tentu saja rasa durian runtuh tadi
tidak bertahan lama. Bisa jadi dalam hitungan hari sudah tidak
terasa lagi.

Perhatikan saja, perbedaan motivasi karyawan kita saat


menerima gaji bulanan. Harapannya dengan gaji bisa
mempertahankan motivasi dari awal sampai akhir bulan. Namun
jika diamati, pasti terlihat perbedaan motivasi diawal pertengan
dan di akhir bulan. Atau coba saja lihat reaksi saat mendapat
bonus tahunan, seperti namanya “tahunan”, harapannya bonus
tahunan bisa bertahan selama satu tahun. Sayangnya walaupun
bonus yang didapatkan besar, namun saat bonus nya habis,
hilamg juga motivasinya.

Kewaspadaan kedua, Ada uang abang disayang - tiada uang


abang ditendang. Saat ada extrinsic rewards, karyawan akan
enggange dengan perusahaan ataupun dengan leader nya.
Namun, saat extrinsic rewards tersebut dihilangkan, hilang pula
motivasinya untuk mencapai performance yang diharapkan.

217
Pernah ada kejadian di sebuah perusahaan, mengenai perubahan
kebijakan pemberian insentif hari libur nasional. Awalnya
insentif libur nasional secara otomatis diberikan pada semua
karyawan yang dinyatakan kerja pada tanggal tersebut. Jika libur
nasional jatuh pada 17 Agustus misalnya, kebijakan perusahaan
menyatakan secara otomatis, orang yang bekerja di tanggal 16
Agustus shif dua (16.00 – 23.00) secara otomatis mendapat
intensif dan over time (lemburan) hari libur nasional.

Namun, kebijakan pemberian insentif kemudian dirubah.


Perusahaan menganggab tanggal 16 Agustus shift dua belum
dianggap sebagai hari libur nasional 17 Agustus.
Pertimbangannya shift dua (16.00 – 23.00) tanggal 16 Agustus
masih belum masuk tanggal 17 Agustus. Menariknya walaupun
belum menganggab sebagai libur nasional, shift dua tanggal 16
Agustus diliburkan oleh perusahaan. Bagi karyawan yang masuk
kerja dihitung sebagai kerja di hari libur, sehingga tetap
mendapatkan over time (lemburan), namun tidak mendapatkan
insentif.

Akibatnya dari perubahan kebijakan dari mendapatkan over time


dan intensif menjadi hanya mendapatkan over time saja ternyata
berdampak bagi karyawan. Merasa perusahaan mengambil hak
nya, karyawan pun akhirnya lebih memilih untuk tidak bekerja
di shif dua tersebut.

Kewaspadaan ketiga, semakin lama tidak berasa. Selain


beresiko menghilangnya motivasi kerja jika extrinsic rewards
dihentikan, memberikan extrinsic rewards dalam jumlah yang
cenderung sama juga beresiko menurunkan atau menghilangkan
motivasi karyawan. Mau tidak mau untuk mengangkat motivasi
karyawan harus diberikan bonus yang lebih besar.

Seorang teman pernah bercerita tentang pengalamannya bekerja


di sebuah perusahaan yang memiliki semangat untuk selalu

218
melakukan improvement. Tiap tahun perusahaan tersebut
membuat event Root Caouse Problem Solving (RCPS), sebuah
event yang melombakan hasil improvement tiap team. Hampir
tiap tahun panitia menerima lima puluhan judul untuk dinilai.
Keikutsertaan team dalam event RCPS ini memang salah
satunya berasal dari support management dengan memberikan
hadiah utama sebesar Rp 15.000.000,-, hadiah kedua Rp
12.000.000,- dan hadiah ketiga sebesar Rp 10.000.000,-

Dan di tiap tahun biasanya nilai hadiah selalu naik jumlahnya.


Di tahun ini, karena perusahaan ingin tetap mempertahankan
budaya improvement sedangkan pasar sedang lesu, tidak
menaikan jumlah hadiahnya. Akibatnya peserta kehilangan
semangatnya untuk berkontribusi terhadap event RCPS. Jumlah
peserta RCPS bahkan menurun drastic dari lima puluhan
menjadi dua puluhan saja.

Kewaspadaan ketiga, transaksional. Pemberian extrinsic


rewards juga bisa menyebabkan karyawan memiliki perilaku
transaksional dengan hilangnya inisiatif. Istilah orang Jawa
adalah perhitungan. Contohnya saja orang yang dibayar
berdasarkan prinsip pay for position. Dahulu saat perusahaan
belum menetapkan penggajian berdasarkan posisi, bisa jadi
orang tidak mempermasalahkan ruang lingkup pekerjaan.

Namun saat pay for position ditetapkan, saat karyawan


didelegasi pekerjaan dari atasannya bisa jadi yang muncul
adalah kalimat “ini kan pekerjaan atasan, saya tidak dibayar
untuk melakukan ini, jika saya lakukan saya dibayar tidak?”
Atau bisa jadi yang akan muncul adalah kalimat “Saya dibayar
berdasarkan yang ada di job description, ngapain saya
berinisiatif nyari-nyari kerjaan yang diluar job description saya.

Masih ingat cerita tentang berkurangnya peserta RCPS karena


hadiah yang diberikan perusahaan tidak bertambah? Bayangkan

219
dengan tidak bertambahnya hadiah sudah mengurangi jumlah
peserta apalagi jika hadiah tadi dihilangkan. Bisa jadi hilang
juga peserta RCPS. Karena RCPS bukanlah tugas yang
diperhitungkan dari job description yang dinilai berdasarkan pay
for position. RCPS adalah initiative yang dilakukan oleh
karyawan sendiri.

Melihat risk mitigation (identifikasi bahaya) dari pemberian


extrinsic reward tentunya perusahaan perlu mencari solusi yang
tepat untuk mengantisipasi hal-hal tersebut. Salah satu solusinya
adalah menggabungkan extrinsic rewards dengan intrinsic
rewards.

Point Penting : Saat mengimplementasikan


extrinsic rewards, perusahaan perlu
mempertimbangkan dan mencari solusi atas
beberapa ciri khas extrinsic rewards,
diantaranya :
1. Cepat datang-cepat pergi
2. Ada uang abang disayang - tiada uang
abang ditendang
3. Semakin lama tidak berasa
4. Transaksional

220
221
Hedonic Treadmill

Masih ingat empat kewaspadaan dengan extrinsic rewards,


cepat datang cepat pergi, ada uang abang disayang-tiada uang
abang ditendang, semakin lama tidak berasa dan transaksional.
Ada satu kewaspadaan lagi yang perlu dimasukan ke risk
mitigation perusahaan saat menyusun paket remuneration
extrinsic rewards. Kewaspadaan kelima adalah Money can’t
buy happiness.

Niatan baik perusahaan untuk memotivasi karyawan dengan


memberikan paket remuneration extrinsic rewards kadang kala
malah tidak berdampak. Walaupun, paket remuneration yang
diberikan melebihi sudah melebihi pasar. Bukannya bahagia saat
menerima paket remuneration yang besar tersebut, perasaan
yang muncul bagi karyawan adalah biasa saja, sehingga tidak
menggerakan untuk menunjukan performance yang lebih.

Daniel Kahneman, seorang ahli financial psychology dan juga


seorang peraih nobel ekonomi pada tahun 2002 melakukan uji
empiric melacak korelasi uang dan kebahagiaan sejatinya.
Dalam risetnya itu Daniel kahnamen menemukan fakta
mengejutkan tentang titik batas income yang akan menentukan
apakah uang masih berdampak pada kebahagiaan atau tidak.
Temuannya ini dikenal dengan istilah income threshold.

Sebelum income menembus titik threshold itu, maka uang


punya peran signifikan dalam menentukan kebahagiaan. Namun
begitu income sudah menembus batas threshold itu, maka uang
tidak lagi punya makna dalam menentukan kebahagiaan. Kajian
lebih lanjut yang melibatkan ribuan responden di USA
menunjukan bahwa batas threshold di Amerika berada pada
batas income sebesar USD 6000 per bulan. Dengan kurs Rp

222
12.000, maka batas threshold tersebut sebesar Rp 72.000.000,-.
Dengan mempertimbangkan biaya hidup di Indonesia, mungkin
angka USD 6000 tersebut ekivalen dengan angka Rp 15-20 juta
per bualn.

Penelitian ini menunjukan bahwa sebelum income menembus


angka USD 6000 per bulan, uang sebagai symbol extrinsic
rewards memiliki peran besar dalam menentukan level
kebahagiaan seseorang. Namun, begitu income responden
melampaui USD 6000, maka peran uang dalam membentuk
kebahagiaan makin pudar dan pelan-pelan lenyap. Artinya,
orang dengan income USD 6500 misalnya akan memiliki level
kebahagiaan yang tidak berbeda dengan orang dengan income
USD 60.000 per bulan atau bahkan USD 6 juta per bulan.

Jika ditarik dalam kontek pemberian paket extrinsic rewards,


studi ini menegaskan bahwa semakin tinggi income yang
diberikan perusahaan ternyata semakin membuat peran extrinsic
rewards untuk memotivasi karyawan semakin berkurang. Kajian
lebih lanjut dalam ilmu financial psychology menamakan
fenomena ini sebagai “hedonic treadmill”.

Sederhananya, fenomena hedonic treadmill ini dapat dilihat


jelas dalam perjalanan kehidupan karyawan kita, atau bahkan
perjalanan kita sendiri. Perhatikan saja, saat pertama kali bekerja
bisa jadi gaji pertama kita adalah 5 juta dan sekarang gaji kita
menjacap 30 juta per bulan, Menariknya mau Rp 5 Juta ataupun
Rp 30 juta sebulan, kedua nya sama-sama habis tak bersisa juga.
Hal ini disebabkan, ekspektasi dan gaya hidup ikut naik sejalan
dengan kenaikan penghasilan.

Seperti berjalan di atas treadmill, niat nya dengan memberikan


penghasilan yang lebih bagus untuk karyawan agar motivasinya
semakin bertambah, namun yang terjadi karyawan seperti
berjalan diatas treadmill. Motivasi mereka hanya jalan di tempat

223
saja. Itulah kenapa fonomena ini disebut hedonic treadmill,
kebahagiaan tidak maju-maju, motivasi untuk menunjukan
performance nya tidak bertambah karena gaya hidup sejalan
dengan kenaikan penghasilan.

Disinilah peran management diuji, bagaimana membuat paket


remuneration yang menghindarkan karyawannya terjebak
dengan hedonic treadmill. Salah satu caranya seperti yang
sempet disinggung dicatatan sebelumnya adalah dengan
menyeimbangkan penggunaan intrinsic rewards. Dengan
memberikan training and development contohnya. Banyak
perusahaan memberikan gaji tinggi kepada karyawannya, namun
sedikit sekali perusahaan yang mendampingi karyawannya
tentang cara menggunakan uang. Alasannya klasik, karena
training and development tentang cara menggunakan uang bagi
karyawan bukan termasuk matrik kompetensi yang harus
dikuasai. “Kenapa saya harus mengeluarkan uang untuk
berinvestasi yang saya tidak merasakan keuntungannya”,
mungkin demikian dalam pikiran management.

Tak heran jika setelah pensiun, banyak karyawan perusahaan


tersebut gagal menjadikan karyawannya pensiun menikmati hari
tuanya. Karena karyawan yang pensiun tadi harus kembali lagi
bekerja. Ataupun saat menerima uang, karena tidak dikelola
dengan baik hingga akhirnya di tanggal 10 sudah habis.
Semakin celaka perusahaan, karena di tanggal 11 motivasi
karyawan sudah hilang.

Sebenarnya perusahaan bisa menggunakna source internal untuk


menghemat investasi training and development kepada
karyawan untuk mengelola uang. Contohnya perusahaan bisa
meminta bantuan karyawannya yang berhasil mengelola uang
untuk berbagi. Inilah yang pernah dilakukan penulis untuk
mendevelop karyawan disebuah perusahaan manufacturing. Jika
dilihat dan dibandingkan, sebenarnya paket remuneration

224
extrinsic rewards yang diterima karyawan tersebut paling besar
sekota tempat pabrik manufacturing tersebut berdiri. Bahkan,
gab gaji yang mereka terima dengan yang diterima karyawan
perusahaan lain sangat jauh berbeda, gaji seorang manager di
perusahaan tetangga nilainya sama dengan gaji seorang team
leader di manufacturing tersebut. Namun, hampir setiap hari
management mendengar ketidakpuasan karyawan bahwa gaji
yang mereka terima masih kurang.

Direncanakanlah sebuah program development bernama


Financial Resolution, yang berisi bagaimana cara mengelola
keuangan. Agar menghemat investasi perusahaan untuk
penyelenggaraan training and development tersebut,
facilitatornya diambil dari karyawan yang dianggab berhasil
mengelola uang. Tempat pelaksanaannya pun menggunakan
ruangan yang ada di pabrik.

Hasilnya menggembirakan baik karyawan maupun management


nya. Salah satu materi yang sangat berimpact bagi karyawan
adalah mengelola uang, jika dahulu para karyawan tidak tahu
cara menghabiskan uang dengan baik. Setelah training mereka
punya lima pos untuk menghabiskan uang, operasional keluarga
dan gaya hidup (40%) - investasi (20%) – pendidikan (20%) –
kesehatan (10%) – Rekreasi (10%). Sehingga fokus karyawan
bukan lagi pada uang yang mereka terima namun pada
bagaimana menggunakan uang yang mereka peroleh.

Point Penting : Fenomena Hedonic Treadmill membuktikan


kadang kala extrinsic rewards (gaji yang besar) bukan solusi
untuk meretain dan meningkatkan performance
Meminimalisasi fenomena hedonic treadmill bisa dilakukan
dengan memberikan intrinsic rewards berupa training and
development yang salah satu materinya adalah cara
mengelola keuangan

225
MEMBUDAYAKAN INTRINSIC
REWARDS

Masih ingat dengan hasil survey Employee Retention and


Enggagement yang dilakukan Kelly Service pada tahun 2013
yang menemukan bahwa orang mereferensikan peluang kerja
pada temannya dipengaruhi oleh faktor company culture (26%),
personal opportunity to growth (21%), interesting or work
challenge (17%), dan work life balance (14%), remuneration
(10%). Faktor pertama sampai dengan keempat adalah bentuk
intrinsic rewards dan faktor kelima adalah bentuk extrinsic
rewards.

Karena melihat begitu pentingnya pengaruh intrinsic rewards


dalam menarik talent untuk bergabung, tak jarang kemudian
perusahaan membuat design system intrinsic rewards.
Semangatnya adalah membuat intrinsic rewards yang diberikan
ke karyawan bisa terlihat dan terjaga kualitasnya.

Dari sisi personal opportunity to growth misalnya, banyak


perusahaan yang mengaplikasikan hasil survey ini dengan
membuat training center dan jenjang karir yang jelas. Contoh
perusahaan yang membuat training center diantaranya PT.
Holcim Indonesia, Tbk sebuah perusahaan semen dengan
training center bernama Holcim Academy. Ada juga perusahaan
telekomunikasi, PT. Telkom Indonesia, Tbk yang membuat
training center bernama Telkom University. Pertamina juga
membuat training center dengan nama Pertamina University.
Selain perusahaan-perusahan tadi masih banyak lagi perusahaan
lain yang membuat training center sejenis.

Selain mengaplikasikan intrinsic rewards dalam bentuk people


development, beberapa perusahaan juga mencoba mensistemkan

226
intrinsic rewards verbal appreciation. Memang salah satu
bentuk intrinsic rewards yang bisa diberikan kepada karyawan
adalah dengan memberikan apresisi atas pencapaian aau prestasi
yang dicapai karyawan. Perusahaan juga sering menggunakan
istilah positive feedback untuk menggambarkan apresiasi atas
keberhasilan yang dicapai karyawan. Contoh bentuknya adalah
dengan mengucapkan “terimakasih, kontribusi Anda dalam
menyelesaikan project improvement sangat besar, sehingga kita
bisa menghemat hingga Rp 1 Milyar”.

Sistem positive feedback yang dibuat perusahaan contohnya


adalah dengan menargetkan setiap superior untuk memberikan
minimal positif feedback per bulannya. Ada perusahaan yang
menargetkan 3 buah perbulan ada yang menargetkan 5 buah
perbulan, dan seterusnya.

Selain dua hal intrinsic rewards diatas, sistem-sistem intrinsic


rewards lain juga banyak dibuat oleh perusahaan. Contoh nya
adalah dari company culture, perusahaan membuat program
internalisasi dan development company culture. Ada juga
perusahaan yang mengaplikasikan work life balance dengan
membuat kebijakan tidak boleh lembur, boleh bekerja dari
rumah, memberikan waktu libur lebih banyak kepada karyawan,
memberikan libur saat ada keluarga yang meninggal, dan lain
sebagainya.

Semangat perusahaan untuk memberikan instrinsic rewards


tersebut sebenarnya baik adanya. Namun, kadang kala selalu
saja ada orang yang “memanfaatkan” intrinsic rewards tersebut.
Dan dikala lain, niat baik memberikan intrinsic rewards ini
menjadi tidak berasa lagi bahwa itu adalah intrinsic rewards.

Pendirian training center contohnya, pada awal berdirinya


training center bisa jadi orang-orang yang diberi kesempatan
untuk dididik di training center tersebut merasa mendapat

227
apresiasi atas kinerjanya. Namun setelah training center tersebut
berjalan lama, 7 tahun contohnya. Karyawan yang mendapat
apresiasi training di training center tidak terasa lagi sebagai
sebuah apresiasi, bagi orang tersebut apresiasi adalah saat
mendapat training external di luar training center.

Penargetan pemberian positive feedback juga bisa


menghilangkan efek intrinsic reward. tidak terasa lagi sebagai
rewards. Karena superior dipaksa untuk memenuhi target (tiga
positive feedback perbulan, lima positive feedback perbulan atau
target yang lain) bisa jadi yang terjadi superior hanya fokus pada
kuantitas jumlahnya bukan lagi pada kualitasnya. Karena yang
diterima karyawan bukan berdasarkan kualitas namun kuantitas,
yang dirasakan karyawan menjadi tidak special.

Apakah hal ini berarti tidak boleh membuat intrinsic rewards


sebagai system? Sangat boleh dong, selain ada kekurangan,
menjadikan intrinsic rewards juga ada kelebihannya. Seperti
kebalikan koin mata uang, kelebihan intrinsic rewards yang
tersistem adalah terjaminnya karyawan mendapatkan hal
tersebut.

Untuk tetap menjaga nilai “aha” dari intrinsic rewards selain


yang disistemkan perlu juga dibuat budaya memberikan intrinsic
rewards. Menjadi budaya berarti tidak perlu dibuat policy
khusus tentang intrinsic rewards. Seperti budaya gotong royong
misalnya, tidak ada panduan tata cara bergotong royong, namun
orang-orang melakukan. Kalau ada yang tidak melakukan,
mereka akan mendapat sangsi social.

Contohnya saja ada commence sense bahwa orang-orang barat


lebih mudah memberikan apresiasi pada pencapaian seseorang,
walaupun dengan mengatakan “good job”. Sebaliknya orang-
orang Asia, tidak terbiasa memberikan apresiasi. Padahal
apresiasi “good job” tersebut adalah bentuk intrinsic rewards,

228
dan mudah atau tidak terbiasa adalah budaya. Bukankah akan
menjadi hal yang menarik, saat perusahaan di Asia yang tidak
terbiasa memberikan apresiasi “good job” menjadi memiliki
budaya memberikan apresiasi tersebut. Sebaliknya di negara-
negara barat, saat apresiasi tersebut tidak dilakukan berasa ada
yang kurang.

Bagaimana caranya untuk membudayakan intrinsic rewards


tersebut? Salah satu pendekatan yang sering dipakai berasal dari
pendekatan psikologis. Agas budaya terjadi setidaknya ada
empat unsur yang perlu dibuat, yaitu believe, ritual, symbole,
power & control.

Pendekatan tersebut didasari dari dinamika psikologis manusia


yang terdiri dari value (dikenal juga sebagai mind set atau
believe system), motif, attitude, dan behavior. Dinamika
psikologis ini secara sederhana dapat digambarkan dengan
sebuah contoh sederhana. Setiap orang memiliki hal yang
dipercaya atau lingkaran value, contohnya ada orang yang
begitu percaya mencuri itu berdosa, tidak baik dan merugikan
orang lain. Suatu ketika anak nya sakit dan tidak memiliki uang.
Peristiwa ini mendari dorongan atau lingkaran motif baginya.

229
Pikirannya kemudian menimbang-nimbang (lingkaran attitude),
“apa yang akan saya lakukan untuk mengobati anak saya?
Apakah saya mencuri atau saya berhutang atau kerja
serabutan?” Sebuah penelitian menunjukan probalitas peristiwa
tersebut 85% orang tersebut akhirnya tidak mencuri (lingkaran
behavior), dan 15% akhirnya bertindak (lingkaran behavior)
mencuri.

Penanaman budaya memberikan intrinsic rewards pada


dasarnya menyasar lingkaran value, sehingga diharapkan
walaupun ada dorongan (lingkaran motif) yang tidak sesuai
dengan value, lingkaran attitude nya akan berfikir untuk
mengarahkan ke value yang dimiliki dan berperilaku sesuai
dengan value yang dimiliki. Sederhananya jika orang sudah
tertanam bahwa memberikan intrinsic rewards adalah hal
penting, bahkan saat ada dorongan agar tidak memberikan
intrinsic rewards yang terjadi tetap saja orang memberikan
intrinsic rewatds. Menanamkan budaya tadi dapat dilakukan
dari lingkaran paling luar atau behavior dan atau lingkaran
paling dalam atau lingkaran value.

Salah satu cara untuk menanamkan budaya dari lingkaran dalam


(lingkaran value) adalah dengan menanamkan believe dan
menggunakan symbole. Sedangkan menanamkan budaya dari
lingkaran luar atau lingkaran behavior adalah dengan ritual,
power & control.

Believe adalah membuat orang percaya bahwa yang dilakukan


penting dan bermanfaat bagi dirinya. Secara umum orang
bergerak saat memahami manfaat yang dilakukan. Sehingga di
tahap awal membangun culture intrinsic rewards, perusahaan
perlu menanamkan alasan kenapa memberikan intrinsic rewards
itu penting. Caranya bisa berbagai macam, contohnya dengan
melakukan kampanye melalui spanduk, selebaran, menunjuk

230
change agent, melakukan training, one on one coaching, dan
cara-cara lain.

Keberhasilan penanaman believe ini akan ditandai dengan


sebuah kalimat “Saya percaya memberi intrinsic rewards akan
sangat bermanfaat, namun bagaimana caranya?” Disinilah peran
unsur kedua pembentukan budaya - ritual akan terlihat. Ritual
adalah menetapkan aktifitas keseharian yang perlu dilakukan.
Ada pepatah Jawa “witing tresno jalaran soko kulino – orang
jatuh cinta karena terbiasa”, artinya dengan terbiasa melakukan
ritual tertentu maka yang pada awalnya tidak suka menjadi
suka, dan bahkan jika tidak dilakukan akan terasa ada yang
kurang.

Agar employee terbiasa memberikan intrinsic rewards,


perusahaan perlu menetapkan ritual atau kebiasaan-kebiasaan
yang mengarah pada terciptanya culture intrinsic rewards.
Contohnya ritual yang bisa dibuat seperti sebelum atau sesudah
meeting ada intrinsic rewards talk. Teknisnya, minta salah satu
peserta untuk menceritakan satu hal baik yang dilakukan oleh
sub ordinate atau peer nya dan apa yang dilakukan untuk
mengapresiasi hal baik tersebut.

Ritual lain yang bisa dibuat yaitu dengan membuat appreciation


awards days. Teknisnya setiap department memilih satu orang
yang dianggap paling ringan terlibat membangun culture
intrinsic rewards. Kemudian perwakilan dari tiap department
tersebut dikompetisikan untuk memilih satu orang paling
berkontribusi dalam membangun intrinsic rewards.

Pada awalnya, orang yang tidak terbiasa memberikan intrinsic


rewards kemudian tiba-tiba diminta untuk memberikan intrinsic
rewards pastinya akan ada kecanggungan. Dan bisa jadi para
karyawan tersebut tidak melakukan ritual yang ditetapkan.
Untuk memastikan ritual ini berjalan, power & control berperan

231
penting. Pada tahap awal membangun culture, memang butuh
seorang polisi yang bertugas memastikan ritual-ritual berjalan
dengan baik. Jika digambarkan dalam sebuah fase
perkembangan, fase awal ini disebut fase dependent, fase
berikutnya adalah independent dan fase terakhir adalah
interdependent. Ciri-ciri perkembangan internalisasi culture
intrinsic rewards tersebut akan terlihat seperti gambar berikut.

Tentunya polisi yang mengawal policy tentang membangun


culture intrinsic rewards tersebut tidak bisa hadir setiap waktu.
Padahal karyawan perlu didampingi agar terbiasa dan
terinternalisasi, disinilah peran symbole menjadi penting.
Misalnya saja ada orang yang menggunakan peci sebagai
symbole agama Islam, ada pengaruh tidak langsung saat kita
menggenakan peci terasa ada yang ngawasi sehingga lebih
berhati-hati.

Begitu juga dengan symbole yang dipakai sebagai representasi


ritual, believe ataupun policy. Secara tidak sadar, alam bawah

232
sadar bekerja mempengaruhi orang yang melihat symbole
tersebut untuk mengikuti symbole tersebut. Jika perusahaan
Anda memiliki kedekatan dengan budaya local, Anda bisa
menggunakan tokoh-tokoh budaya local sebagai symbole.
Contohnya saja tokoh Petruk yang mendapat julukan Petruk
Kantong Bolong. Julukan tersebut didapatkan Petruk dari sifat
nya yang suka berderma.

Perusahaan kemudian bisa memasang animasi Petruk tersebut di


tempat-tempat yang mudah dilihat karyawan. Tentu saja agar
pesannya tersampaikan, perusahaan bisa membuat ritual dengan
blas cerita si Petruk yang suka berderma dan karyawan diminta
untuk meniru tokoh si Petruk dengan berderma intrinsic
rewards.

Point Penting : Sangat penting membangun


budaya intrinsic rewards
Pembangunan budaya tersebut bisa
dilakukan dengan menggunakan empat
variable internalisasi culture, yaitu :
1. Believe
2. Ritual
3. Power & Control
4. Symbole

233
PILIH BONUS HARIAN ATAU
TAHUNAN

Bonus tahunan, perhatikan saat karyawan Anda menerima bonus


tersebut? Ada karyawan yang mood nya langsung turun saat
melihat bonus yang didapatkan lebih kecil dari tahun kemarin
atau bahkan sama dengan tahun kemarin. Ada juga karyawan
yang tersenyum bahagia karena mendapatkan bonus yang lebih
besar dari tahun kemarin. Seperti drama kehidupan ada yang
kecewa ada yang bahagia.

Karyawan yang kecewa bisa jadi akan turun motivasi nya,


sedangkan karyawan yang bahagia belum tentu juga bertahan
kinerjanya. Memberi bonus memang sebuah seni. Apalagi jika
bonus dibagikan setahun sekali. Moment pemberian bonus nya
bisa jadi hanya menjadi angin lalu belaka. Bonus seharusnya
diberikan seperti moment pemain sepak bola yang baru saja
mengegolkan ke gawang lawan. Mereka langsung merayakan
momen nya seketika itu, walaupun hasilnya belum tentu menjadi
juara. Ini lah yang sering kali tidak kita lakukan, kita hanya
merayakan hasil bukan proses. Padahal effort terbesar dari
apapun ada dibagian proses.

Merayakan kemenangan proses tidak melulu harus mewah.


Lihat lah bagaimana para pemain bola merayakan gol yang
dicipta. Mereka menari dan bertingkah konyol bersama. Jadi
tidak ada salahnya juga bagi kita untuk merayakan kemenangan
proses dengan menari dan bertingkah konyol bersama. Ada lima
bahasa yang bisa kita gunakan untuk merayakan proses, saya
sering menyebutnya dengan bahasa cinta. Bahasa cinta pertama
adalah bahasa sentuhan. Acungkan dua jempol Anda saat
karyawan Anda melakukan sesuatu yang lebih. Atau tepuk bahu
karyawan Anda dengan ketulusan cinta, bisa juga Anda

234
menjabat tangan
karyawan Anda sambil
memAndang lurus
matanya. Jangan lupa
lengkapi dengan
bahasa cinta kedua,
bahasa cinta verbal.
Sambil melakukan
sentuhan ucapkan
"terimakasih, Anda
telah berbuat lebih bagi team sehingga kinerja team bisa
mencapai target". Dan lihat apa yang akan terjadi? Jika rekan-
rekan masih ingat catatan berjudul “Monitoring dan Feedback”,
bahasa cinta verbal sebenarnya adalah positive feedback.

Anda juga bisa merayakan kemenangan proses dengan


meluangkan waktu berinteraksi dengan team Anda. Berikan
waktu lebih Anda untuk mendampingi dan menjadi jimat
karyawan Anda. Itu lah bahasa cinta ke tiga, waktu yang
bermanfaat. Sangat merugi jika seorang leader tidak bisa
meluangkan waktu untuk bekerja bersama team. Bukan lah
leader yang baik jika hanya bisa melihat team nya, tanpa terlibat
dengan mereka. Berduka dan bergembira bersama.

Bisa juga Anda memberikan sedikit hadiah. Bukan dari saku


perusahaan tapi dari saku pribadi Anda. Ini lah bahasa cinta ke
empat, hadiah. Tidak harus hebat. Tapi berikan di moment yang
tepat. Saat selesai presentasi project baru ke manager. Traktir
team Anda, sebagai perayaan kemenangan. Tambahkan ramuan
bahasa cinta yang lain dalam perayaan moment yang akan
membuat Anda dan team semakin mesra.

Akhirnya bahasa cinta ke lima adalah melayani. Tidak pernah


akan menjadi leader yang hebat sebelum bisa menjadi bawahan
yang hebat. Melayani bawahan berarti segala tindakan yang

235
meringankan beban bawahan. Sangat gampang memberikan
penghargaan di saat kemenangan, tapi sangat susah memberikan
penghargaan atas usaha anak buah yang gagal. Apakah
kekecewaan kegagalan mereka harus ditambah dengan murka
Anda? Bukankah akan lebih menguatkan team Anda, saat Anda
melayani kebangkitan team Anda dari kegagalan?

Point Penting : Memberikan penghargaan


tidak melulu soal hasil, pencapaian dalam
proses juga bisa diberikan penghargaan.
Ada lima bahasa utama dalam memberikan
penghargaan, yaitu :
1. Word affirmation
2. Physical Touch
3. Quality Time
4. Receiving Gift
5. Act of Service

236
DAFTAR PUSTAKA

Collins, Jim, 2001, Good to Great, Why Some Companies Make


The Leap and Other Don’t, Harper Collins Publisher Inc: New
York
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja
Grafindo
Goldsmith, Marshall. 2009. Succession ; Are You Ready?
Harverd Business Scholl : Massachusetts
Kirkpatrick, L. Donald. 1998. Evaluating Training Programs
Second Edition. San Francisco : Berrett-Koehler Publishers, Inc
Lubis, Suwardi. 2015. Step by Step In Developing BSC-Based
Individual Performance Management. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama
Roos, Johan., Goran Roos, Nocola C. Dragonetti, and Leif
Edvinsson. 1997. Intellectual Capital Navigating The New
Business Landscape, London; MacMillan Press Ltd.

237
TENTANG PENULIS

People development adalah passion yang


dimiliki penulis semenjak SMP. Passion tadi
mengantarkan pilihannya untuk berkuliah di
jurusan Psikologi Universitas Negeri
Semarang dan berkarir di área spesialisasi HR
People Development.
Sangat familiar dan kuat di bisnis proses
people development (ADDE-R) yang meliputi
TNA, Design Module, Delivery, Evaluation
dan Reinforment.
Competency di bidang people development dibuktikan dengan
berbagai sertifikasi, mulai dari sertifikasi nacional sampai dengan
internacional. Dua sertifikasi nacional yang dimiliki adalah “Certified
HR Management” dari Freemind, dan “Training For Trainer” dari
Psikologi UI. Sedangkan international certification diperoleh dari
lisensi pemerintah Australia berupa “Certified Training and
Assessment IV” dan “Certified Facilitating Skill” dan “Certified
Coaching for Performance” dari Dimention Development
International Amerika cabang Indonesia.
Saat ini, penulis sangat aktif berbagi pengetahuan melalui pelatihan-
pelatihan Leadrship and Management dengan setidaknya mendelivery
3 kali in class training dalam 5 hari kerja dengan durasi 8 jam/day.
Kegiatan lain yang dilakukan penulis adalah mengelola PT. Griya
Psikologi dengan core business organization performance
improvement, people development, psikologi assessment dan
psikoterapi.
Penulis juga aktif berbagi pengetahuan lewat blog nya
noviantakuswandi.blogspot.com

Anda dapat menghubungi penulis melalui email di


novianta.k@gmail.com atau FB N Kuswandi

238

Anda mungkin juga menyukai