Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

Status Pasien
I. Identitas
Nama : Ny. S U
Usia : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : cempaka putih
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Jawa
Agama : Islam
Masuk RS : 21 April 2015

II. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Demam sejak 5 hari yang lalu SMRS

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh demam sejak 5 hari yang lalu. Demam terus menerus
sepanjang hari, namun demam dirasakan paling berat pada malam hari. Demam
turun setelah pasien minum obat penurun panas, namun beberapa jam kemudian
demam naik lagi. Demam tidak sampai menggigil. Pasien juga mengeluh mual
namun tidak sampai muntah. Pasien mual bila hendak makan. Pasien juga
mengeluh kepalanya pusing. Pusing dirasakan paling berat pada bagian belakang
kepala seperti tertindih benda berat. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada sendi
atau linu-linu. Pasien mengeluh nyeri pada bagian ulu hati. Nyeri terutama pada
saat ditekan. Pasien juga mengatakan nafsu makan berkurang sejak pasien
demam.
Pasien mengaku sejak 2 hari sebelum MRS pasien sempat berobat di
puskesmas setempat karena demam tinggi (39◦C). Pada demam hari ke empat,

1
pasien juga mengeluhkan gusi berdarah. Gusi berdarah timbul waktu sore hari
ketika pasien dari kamar mandi. Pada saat itu pasien merasakan tiba-tiba keluar
darah dari gusinya. Pasien mengaku tidak pernah mengalami gusi berdarah
sebelumnya..
Pada saat masuk rumah sakit pasien masih mengeluhkan demam, demam
dirasakan masih tinggi demam tidak menggigil, demam disertai dengan pusing
(+), badan terasa pegal pegal, nafsu makan menurun, batuk dan pilek di sangkal,
mimisan di sangkal, gusi berdarah (+) namun sudah mulai berkurang, pasien juga
mengeluh mual, namun tidak sampai muntah. Nyeri ulu hati (+), BAK dalam
batas normal, BAB hitam di sangkal, BAB cair di sangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat pernah terkena demam berdarah disangkal.

d. Riwayat pengobatan
Meminum paracetamol yang di berikan puskesma 3x1
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengeluh gejala yang sama seperti pasien.
Namun tetangga pasien mengalami demam berdarah dan sedang rawat inap di
rumah sakit.

f. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien sehari-hari beraktivitas di
rumah. Pasien merupakan istri dari seorang buruh pabrik dengan penghasilan
perbulan cukup. Pasien memiliki 1 orang anak. Rumah pasien berukuran 6x9
meter dengan 2 kamar tidur. Kondisi dinding terbuat dari tembok dan lantai
plesteran. Kamar mandi dibersihkan setiap sebulan sekali. Di belakang rumah
pasien terdapat selokan yang cenderung kotor dan berbau.
Kesan : Riwayat sosial lingkungan dan ekonomi cukup.

2
III. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
1. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran
- Kualitatif : Komposmentis
- Kuantitatif : GCS 4-5-6
3. Tanda vital
- Tekanan Darah: 100/60 mmHg
- Frekuensi nadi :88 kali/menit
- Frekuensi nafas: 20 kali/menit
- Suhu axilla : 38,4 O C
b. Pemeriksaan Khusus
1. Kepala
Bentuk : bulat, simetris, normocephal.
Rambut : pendek, warna hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/-, mata
cowong -/-, hematom peripalpebra -/-, reflek cahaya +/+.
Hidung : tidak ada sekret, tidak berbau, tidak ada perdarahan, nafas tidak
cuping hidung.
Telinga : tidak ada sekret, tidak bau, pendengaran dalam batas normal.
Mulut/bibir : tidak sianosis, tidak ada sariawan, perdarahan gusi (+).
Lidah : tidak kotor, tidak hiperemi
Tenggorok : Faring dbn, tidak terjadi pembesaran tonsil, tidak ditemukan
ulkus.
Kulit : kulit berwarna sawo matang , lembab, turgor baik, petekie (+)

2. Leher
Inspeksi : simetris, tidak tampak pembesaran KGB leher
Palpasi : tidak tampak pembesaran KGB leher serta tidak terjadi
pembesaran kelenjar tiroid.
Kaku kuduk : tidak ada
Dada
Jantung :

3
Inspeksi : Iktus kordis tak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : redup pada ICS IV PSL dextra
Batas kiri : redup pada ICS V MCL sinistra
Auskultasi : Suara jantung I dan II normal, Gallop (-), murmur (-)

Paru:
Inspeksi : normochest, simetris, tidak ada retraksi
Palpasi : vocal fremitus teraba sama pada kedua lapang paru
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), whezing (-/-), ronchi (-/-)

3. Perut
Inspeksi : cembung, tidak terlihat massa.
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, terdapat nyeri tekan pada perut
epigastrikum, soepel, turgor kulit normal, undulasi (-).
Perkusi : timpani, pekak beralih (-), nyeri ketok pinggang (-)
Auskultasi : bising usus (+) 12x/menit

4. Anogenital
Dalam batas normal

5. Anggota Gerak

Superior : akral hangat +/+, edema -/-,petekie (+), RCT < 2 detik
Inferior : akral hangat +/+, edema -/-,petekie (+)

IV. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium (21 april 2015)

4
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hematologi
Hemoglobin 12,5 11,7 – 15,5

Leukosit 3,95 ribu/ul 3,60 – 11,00

Hematokrit 37 35 – 47 %

Trombosit 31.000 150000 – 450000


Uji Widal
S. typhi O Negatif Negatif

S. typhi H Negatif Negatif

S. paratyphi A Negatif Negatif

S. paratyphi B Negatif Negatif

IgM Positif Negatif

IgG Positif Negatif

Pemeriksaan laboratorium (22 April 2015)


Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hematologi

Hemoglobin 12,6 11,7 – 15,5

Lekosit 3,52 3,60 – 11

Hematokrit 39 35 – 47 %

Trombosit 38 150 – 450

5
V. Resume
Pasien mengeluh demam sepanjang hari tidak menggigil sejak 5 hari yang
lalu. Pasien mengeluh mual, tidak muntah, dan pusing. Pasien juga mengeluhkan
nyeri pada sendi atau linu-linu dan nyeri tekan pada bagian ulu hati. Dijumpai
juga gusi berdarah. Pasien tidak merasakan batuk. Pasien merasakan buang air
besar normal, tidak diare. Pasien juga kencing normal, berwarna kuning. Riwayat
pemakaian obat parasetamol 3x1 tablet. Riwayat demam berdarah disangkal.
Riwayat penyakit keluarga disangkal, namun tetangga pasien mengalami demam
berdarah dan sedang dirawat di rumah sakit.
Pada pemeriksaan umum ditemukan keadaan umum lemah, kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 88 kali/menit,
frekuensi nafas 20 kali/menit, dan suhu axilla 38,4 oC. Pada pemeriksaan fisik
tidak ditemukan adanya perbesaran dan nyeri tekan pada kelenjar limfe di leher,
petekie (+), nyeri tekan pada perut epigastrikum dan hasil uji Rempel Leed +.
Sedangkan lain-lainya dalam kondisi normal.

VI. Daftar masalah


Febris ec DHF

Cephalgia

Dispepsia sindrom

VII. Assesment
S :Pasien mengeluh demam sejak 5 hari lalu, demam meningkat pada
malam hari, tidak sampai menggigil, gusi berdarah (+), BAB
berdarah (-), petekie (+)
O : TD : 100/60 mmHg RR : 20 x/m
N : 88 x/m S : 38,4 0C
Epitaksis (-), gusi berdarah (+), BAB berdarah (-). Petekie (+),
rumpleed test (+)
Lab : trombosit 31 000 ribu, IgM dan IgG (+)
A : febris ec DHF

P : infus RL
Paracetamol 500 mg 3 x 1
Asam traneksamat 3 x 1

6
Menganjurkan banyak minum
Tirah baring total
Diet tinggi karbohidrat dan protein
Cek darah rutin setiap 12 jam

S :pasien mengeluh mual dan nyeri pada ulu hati, pusing (+)

O : TD :100/60 mmHg RR :20 x/m


N : 88x/m S :38,4 0C
Nyeri ntekan epigastrium (+)

A : sindrom dispepsia + cephalgia

P : paracetamol 3 x 1
Ranitidin inj 3 x 1

VIII. Prognosis
Dubia ad bonam

IX. Follow up
Tanggal 22 April 2015

Pemeriksaan Terapi

7
S: Lemas, nyeri epigastrikum, nafsu Infus RL 20 tpm
makan menurun, gusi berdarah(+), Inj ranitidin 3x1
demam mulai turun, Asam traneksamat 3 x 1
mual(+),muntah Inj Ondansentron 3x1 amp
O:
KU= lemah
Kes= CM
TD= 100/60 mmHg RR =
20x/menit
N = 88 x/menit tax= 37,4° C
A: Obs febris H6 e.c DHF

Tanggal 23 April 2015

Pemeriksaan Terapi

S: Lemas, Gusi berdarah(+), Nyeri Infus RL 20 tpm


epigastrikum, Pusing(-), mual(+), Inj ranitidin 3x1
muntah (+) Inj asam traneksama 3x1 amp
O: Inj Ondansentron 3x1 amp
KU= lemah
Kes= CM
TD= 110/80 mmHg RR =
20x/menit
N = 80 x/menit tax= 36,4° C
A: Obs febris H7 e.c DHF

Tanggal 24 April 2015

Pemeriksaan Terapi

8
S: Lemas, Gusi berdarah(-), nyeri Infus RL 20 tpm
epigastrikum(-), mual(-) Inj ranitidin 3x1
O: Inj asam traneksamat 3x1 amp
KU= lemah Inj Ondansentron 3x1 amp
Kes= CM
TD= 110/70 mmHg RR =
22x/menit
N = 84 x/menit tax= 36,2° C
A: Obs febris H8 e.c DHF

X. Pembahasan
Dengue Hemmoragic Fever
3.1.1. Virus Dengue

9
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue yang sekarang lebih dikenal sebagai genus
Flavivirus. Virus ini memiliki empat jenis serotipe yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4. Antibodi yang terbentuk dari infeksi salah satu jenis serotipe tidak
memberikan perlindungan yang memadai untuk serotipe lain. Serotipe DEN-3
merupakan serotipe yang dominan dan paling banyak menimbulkan manifestasi
klinis yang berat.1,2,5,8
Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Nyamuk aedes dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yakni dua hari sebelum
panas hingga 5 hari setelah demam timbul. Virus yang terdapat pada kelenjar liur
kemudian berkembang biak dalam waktu 8-10 haridan selanjutnya dapat
ditularkan kepada manusia lain melalui gigitan. Sekali virus masuk dan
berkembang biak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut dapat menularkan virus
(infektif) sepanjang hidupnya.2,8

3.1.2. Patogenesis
Patogenesis DBD masih kontroversial. Dua teori yang banyak dianut
adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan
hipotesis immune enhancement. Menurut hipotesis infeksi sekunder, akibat infeksi
sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu dan menyebabkan kenaikan titer tinggi IgG antidengue. Replikasi
virus denguemengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang
selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit (Ht), penurunan natrium (Na) dan terdapatnya cairan dalam rongga
serosa. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam dan bila tidak ditangani secara
adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia yang dapat berakibat fatal.1,2

10
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi
heterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran
leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok.1,2

3.1.3. Perjalanan Penyakit


Setelah masa inkubasi, penyakit ini diikuti oleh tiga fase, yaitu febris, kritis, dan
recovery (penyembuhan) (gambar-1).5

Gambar-1. Perjalanan Penyakit DBD.5

Fase Febris

11
Pasien akan mengeluh demam yang mendadak tinggi. Kadang-kadang
suhu tubuh sangat tinggi hingga 40oC dan tidak membaik dengan obat penurun
panas. Fase ini biasanya akan bertahan selama 2-7 hari dan diikuti dengan muka
kemerahan, eritema, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan nyeri kepala.
Beberapa pasien mungkin juga mengeluhkan nyeri tenggorokan atau mata merah
(injeksi konjungtiva). Sulit untuk membedakan dengue dengan penyakit lainnya
secara klinis pada fase awal demam. Hasil uji torniquet positif pada fase ini
meningkatkan kemungkinan adanya infeksi dengue. Demam juga tidak dapat
dijadikan parameter untuk membedakan antara kasus dengue yang gawat dan
tidak gawat. Oleh karena itu, memperhatikan tanda-tanda peringatan (warning
signs) dan parameter lain sangat penting untuk mengenali progresi ke arah fase
kritis.2,5,10Warning signs meliputi:5
 Klinis: nyeri abdomen, muntah persisten, akumulasi cairan, perdarahan
mukosa, pembesaran hati >2 cm
 Laboratorium: peningkatan Ht dengan penurunan trombosit.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa (hidung dan gusi) dapat terjadi. Petekie dapat muncul pada hari-hari
pertama demam, namun dapat juga dijumpai pada hari ke-3 hingga hari ke-5
demam. Perdarahan vagina masif pada wanita usia subur dan perdarahan
gastrointestinal (hematemesis, melena) juga dapat terjadi walau lebih
jarang.2,5,10Bentuk perdarahan yang paling ringan, uji torniquet positif,
menandakan adanya peningkatan fragilitas kapiler. Pada awal perjalanan penyakit
70,2% kasus DBD mempunyai hasil positif.2
Hati sering ditemukan membesar dan nyeri dalam beberapa hari demam.
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit,
bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba hingga 2-4 cm di bawah arcus costae.
Pada sebagian kecil dapat ditemukan ikterus. Penemuan laboratorium yang paling
awal ditemui adalah penurunan progresif leukosit, yang dapat meningkatkan
kecurigaan ke arah dengue.2,5

Fase Kritis

12
Akhir fase demam merupakan fase kritis pada DBD. Pada saat demam mulai
cenderung turun dan pasien tampak seakan-akan sembuh, maka hal ini harus
diwaspadai sebagai awal kejadian syok. Saat demam mulai turun hingga dibawah
37,5-38oC yang biasanya terjadi pada hari ke 3-7, peningkatan permeabilitas
kapiler akan terjadi dan keadaan ini berbanding lurus dengan peningkatan
hematokrit. Periode kebocoran plasma yang signifikan secara klinis biasanya
terjadi selama 24-48 jam.2,5
Leukopenia progresif disertai penurunan jumlah platelet yang cepat
merupakan tanda kebocoran plasma. Derajat kebocoran plasma dapat bervariasi.
Temuan efusi pleura dan asites secara klinis bergantung pada derajat kebocoran
plasma dan volume terapi cairan. Derajat peningkatan hematokrit sebanding
dengan tingkat keparahan kebocoran plasma.2,5
Keadaan syok akan timbul saat volume plasma mencapai angka kritis
akibat kebocoran plasma. Syok hampir selalu diikuti warning signs. Terdapat
tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung jari
dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi gelisah, nadi cepat, lemah,
kecil sampai tak teraba.Saat terjadi syok berkepanjangan, organ yang mengalami
hipoperfusi akan mengalami gangguan fungsi (impairment), asidosis metabolik,
dan koagulasi intravaskula diseminata (KID). Hal ini menyebabkan perdarahan
hebat sehingga nilai hematokrit akan sangat menurun pada keadaan syok hebat.
1,2,5

Pasien yang mengalami perbaikan klinis setelah demam turun dapat


dikatakan menderita dengue yang tidak gawat. Beberapa pasien dapat berkembang
menjadi fase kritis kebocoran plasma tanpa penurunan demam sehingga pada
pasien perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya
kebocoran plasma.5

Fase Penyembuhan (Recovery)


Jika pasien dapat bertahan selama 24-48 jam saat fase kritis, reabsorpsi
gradual cairan ekstravaskular akan terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum
pasien membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal berkurang, status

13
hemodinamik meningkat, dan diuresis normal. Beberapa pasien akan mengalami
ruam kulit putih yang dikelilingi area kemerahan disekitarnya dan pruritus
generalisata. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi juga sering ditemukan
pada fase ini. Hematokrit akan stabil atau lebih rendah karena efek dilusi yang
disebabkan reabsorpsi cairan. Jumlah leukosit biasanya akan meningkat segera
setelah demam turun, namun trombosit akan meningkat kemudian. Pemberian
cairan pada fase ini perlu diperhatikan karena bila berlebihan akan menimbulkan
edema paru atau gagal jantung kongestif.5

3.2. Manajemen Kasus DBD


Manajemen kasus DBD meliputi beberapa tahap yakni:5
1. Penilaian:
 Riwayat penyakit sekarang, riwayat pengobatan lalu, dan riwayat
keluarga
 Pemeriksaan fisik, termasuk fisik umum dan mental
 Investigasi, termasuk laboratorium rutin dan spesifik-dengue
2. Diagnosis, penilaian fase penyakit, dan keparahan
3. Manajemen: menetapkan tatalaksana berdasarkan manifestasi klinis dan
hal-hal terkait lainnya:
 Rawat jalan (kelompok A)
 Rawat inap (kelompok B)
 Membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi (kelompok C)

3.2.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis harus meliputi:5 (1) Onset demam/penyakit, (2) Jumlah intake
oral, (3) Warning signs, (4) Diare, (5) Perubahan status
mental/kejang/ketidaksadaran, (6) Urin output (frekuensi, volume, dan waktu
terakhir kencing), (7) Riwayat keluarga atau tetangga yang mengalami DBD,
riwayat bepergian ke daerah endemis, kondisi penyerta (bayi, kehamilan, obesitas,
diabetes mellitus, hipertensi), bepergian ke hutan dan berenang di air terjun
(mengarahkan leptospirosis, tipus, malaria), riwayat penggunaan narkoba dan seks
bebas (HIV serokonversi akut).
Sedangkan pemeriksaan fisik harus meliputi:5 (1) Status mental, (2) Status
hidrasi, (3) Status hemodinamik, (4) Takipnoe/pernapasan asidosis/efusi pleura,

14
(5) Nyeri abdomen/ hepatomegali/asites, (6) Ruam dan manifestasi perdarahan,
(7) Uji torniquet.

3.2.2. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin (Hb), kadar
hematokrit (Ht), jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke-3).1
Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan dominasi sel
neutrofil. Pada akhir demam, jumlah leukosit, dan sel neutrofil bersama-sama
menurun sehingga jumlah sel limfosit secara relatif meningkat.1,2,10
Penurunan jumlah trombosit menjadi <100.000/µl. Pada umumnya
trombosit terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu
turun. Jumlah trombosit <100.000/µl biasanya ditemukan antara hari sakit 3-7.
Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit
dalam batas normal atau menurun.1,2
Peningkatan kadar hematokrit (>20%) yang menggambarkan
hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan
terjadinya perembesan plasma sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit
secara berkala. Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh penggantian cairan dan
perdarahan.1,2
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.1,2,5

3.2.3. Pemeriksaan Radiologi


Pada foto toraks (DBD derajat III/IV dan sebagian besar derajat II)
didapatkan efusi pleura, terutama di hemitoraks sebelah kanan. Pemeriksaan foto
toraks sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.1

3.2.4. Pemeriksaan Antigen dan Antibodi Virus

15
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue.1,11
Pada infeksi primer, antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari kelima seelah
onset penyakit, yakni setelah jumlah virus dalam darah berkurang. Kadar IgM
meningkat dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam 2 minggu dan menurun
hingga tak terdeteksi lagi setelah 2-3 bulan. Antibodi IgG muncul beberapa hari
setelah IgM dan pada infeksi primer, produksi IgG lebih rendah dibandingkan
IgM, namun dapat bertahan beberapa tahun dalam sirkulasi, bahkan seumur
hidup.11 Sedangkan pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat lebih banyak
dibandingkan IgM dan muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM. IgG
merupakan antibodi predominan pada infeksi sekunder.11
Salah satu metode pemeriksaan terbaru adalah pemeriksaan antigen
spesifik virus dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Dengan
metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari
pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer dengue atau sampai hari ke
5 pada infeksi sekunder dengue. Pemeriksaan ini juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena itu, WHO
menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk
pelayanan primer.

3.2.5. Diagnosis
Diagnosis DBD dapat ditegakkan secara klinis dan laboratoris.
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD secara klinis dapat ditegakkan
bila semua hal di bawah ini terpenuhi:1,9

16
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendung positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis, dan
melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
dan hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:1,9
• Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
• Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan
perdarahan lain.
• Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
• Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.
Sedangkan menurut WHO 2009, berdasarkan riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik dan/atau darah lengkap dan hematokrit, diagnosis DBD
ditegakkan dengan melihat fase penyakit (febris, kritis, atau penyembuhan),
menentukan adanya warning signs, hidrasi, dan status hemodinamik pasien, serta
apakah pasien memerlukan rawat.5
Kriteria sugestif untuk mengetahui kasus tersangka DBD adalah pasien
tinggal atau baru bepergian dari daerah endemis dengue, adanya riwayat demam
lebih dari tiga hari, jumlah leukosit rendah atau menurun, dan/atau
trombositopenia ± uji torniquet positif.

3.2.6. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DBD. Prinsip terapi utama adalah
terapi suportif. Pemeliharaan cairan sirkulasi merupakan hal terpenting dalam

17
penanganan kasus DBD. Asupan cairan, terutama melalui oral, harus
dipertahankan. Jika tidak bisa, maka diperlukan suplemen cairan melalui jalur
intravena.1,4 Menurut WHO 2009, berdasarkan manifestasi klinis dan kondisi
lainnya, pasien dapat dibagi tiga kategori: rawat jalan (kelompok A),
membutuhkan penanganan di rumah sakit/rawat inap (kelompok B), dan
membutuhkan penanganan emergensi atau urgensi (kelompok C).5
Kelompok-A5
Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang dapat dimotivasi
untuk minum secara adekuat, masih dapat berkemih setidaknya sekali tiap enam
jam, dan tidak mempunyai warning signs, khususnya saat demam mereda.
Pasien rawat jalan harus diobservasi setiap hari untuk mencegah progresi
hingga melewati periode kritis. Pasien dengan Ht stabil dapat dipulangkan setelah
dirawat dan diberikan edukasi untuk segera kembali ke rumah sakit apabila
warning signs muncul. Apabila warning signs muncul maka tindakan selanjutnya
adalah:
 Memotivasi minum oral rehydration solution (ORS), jus buah, dan cairan
lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti cairan yang
hilang akibat demam.
 Memberikan parasetamol bila pasien merasa tidak nyaman akibat demam.
Interval pemberian parasetamol sebaiknya tidak kurang dari enam jam.
 Petugas kesehatan harus setiap hari memantau temperatur, asupan dan
keluaran cairan, urin output (volume dan frekuensi), warning signs, tanda
perembesan plasma atau perdarahan, hematokrit, jumlah leukosit, dan
trombosit (kelompok-B).
Kelompok-B5
Pasien harus dirawat inap untuk observasi ketat, khususnya pada fase
kritis. Kriteria rawat pasien DBD adalah:5
1. Adanya warning signs
2. Terdapat tanda dan gejala hipotensi: dehidrasi, tidak dapat minum,
hipotensi postural, berkeringat sedikit, pingsan, ekstremitas dingin.
3. Perdarahan

18
4. Gangguan organ: ginjal, hepar (hati membesar dan nyeri walaupun tidak
syok), neurologis, kardiak (nyeri dada, gangguan napas, sianosis).
5. Adanya peningkatan Ht, efusi pleura, atau asites
6. Kondisi penyerta: hamil, DM, hipertensi, ulus peptikum, anemia
hemolitik, overweight/ obese, bayi, dan usia tua
7. Kondisi sosial: tinggal sendiri, jauh dari pelayanan kesehatan tanpa
transpor memadai.
Apabila pasien memiliki warning signs maka hal yang harus dilakukan adalah:
 Periksa Ht sebelum pemberian cairan. Berikan larutan isotonik seperti
normosalin 0,9%, RL. Mulai dari 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu
kurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kurangi lagi menjadi
2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai respon klinis.
 Nilai kembali status klinis, ulangi Ht. Bila Ht sama atau meningkat sedikit,
lanjutkan dengan jumlah sama (2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Bila tanda
vital memburuk dan Ht meningkat drastis, tingkatkan pemberian cairan 5–
10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali status klinis, ulang Ht, dan
periksa kecepatan cairan infus berkala.
 Berikan volume intravena minimum untuk menjaga perfusi dan urin
output 0,5 ml/kg/jam selama 24-48 jam. Kurangi jumlah cairan infus
berkala saat kebocoran plasma berkurang, yakni saat akhir fase kritis. Hal
ini bisa diketahui dari urin output dan/atau asupan minum cukup dan Ht
menurun.
 Pasien dengan warning signs harus diobservasi hingga fase kritis lewat.
Parameter yang harus dimonitor adalah tanda vital dan perfusi perifer (tiap
1-4 jam hingga lewat fase kritis), urin output (tiap 4-6 jam), Ht (sebelum
dan setelah pemberian cairan, selanjutnya tiap 6-12 jam), glukosa darah,
dan fungsi organ sesuai indikasi.
Pada pasien tanpa warning signs, hal berikut harus dilakukan:
 Motivasi minum. Jika tidak bisa, mulai infus intravena dengan NS 0,9%
atau RL dengan atau tanpa dekstrosa dengan dosis pemeliharaan. Untuk
pasien obese atau overweight digunakan dosis sesuai berat ideal. Berikan
volume minimum untuk memelihara perfusi dan urine output selama 24-
48 jam.

19
 Pasien harus dimonitor: temperatur, asupan dan keluaran cairan, urin
output (volume dan frekuensi), warning signs, hematokrit, leukosit, dan
trombosit. Pemeriksaan laboratorium lain dapat dilakukan sesuai indikasi.

Kelompok-C5
Pasien membutuhkan tatalaksana emergensi dan urgensi apabila
mengalami DBD berat untuk memudahkan akses intensif dan transfusi darah.
Resusitasi cairan dengan kristaloid isotonik secepatnya sangat penting untuk
menjaga volume ekstravaskular saat periode kebocoran plasma atau larutan koloid
pada keadaan syok hipotensi. Pantau nilai Ht sebelum dan sesudah resusitasi.
Tujuan akhir resusitasi cairan adalah meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer
(takikardia berkurang, tekanan darah dan nadi meningkat, ekstremitas tidak pucat
dan hangat, dan CRT <2 detik) dan meningkatkan perfusi organ (level kesadaran
membaik, urin output >0,5 ml/kg/jam, asidosis metabolik menurun).

2.2.7. Indikasi Pulang Pasien DBD


Pasien dapat pulang apabila memenuhi semua kriteria berikut:5
 Klinis:
o Bebas demam selama minimal 48 jam
o Terdapat perbaikan ststus klinis (keadaan umum baik, nafsu makan
makan membaik, status hemodinamik stabil, urine output normal, tidak
ada gangguan pernapasan)
 Laboratoris:
o Peningkatan jumlah trombosit
o Hematokrit stabil tanpa cairan intravena

Terapi pada Pasien Syok Terkompensasi

20
Gambar-2. Algoritma Pasien Syok Terkompensasi
Terapi pada Syok Hipotensi

21
Gambar-3. Algoritma Pasien Syok Hipotensi

XI. DAFTAR PUSTAKA

22
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue.
Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.
Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2009.p.2773-9.
2. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tata Laksana Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2004.
3. Situation update of dengue in the SEA Region, 2007 diunduh dari
www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_dengue-SEAR-2008.pdf
4. Chen K, Pohan HT, Sinto R. Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue. Medicines 2009:22;1.
5. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. World
Health Organization, 2009. Diunduh dari
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf
6. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. 2nd
edition. Geneva : World Health Organization. 1997. Diunduh dari
http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/Denguepublication/en/pr
int.html
7. Guidelines for Treatment of Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic Fever in
Small Hospitals. 1999. diunduh dari
http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_Guideline-dengue.pdf
8. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses. In: Braunwald,
et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill
Companies, 2008.
9. Anonim. Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam: Sastroasmoro S, et.al.
(editor). Panduan Pelayanan Medis. Jakarta: RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, 2007.p.156-7.
10. Fact Sheet on Dengue and Dengue haemorrhagic fever. World Health
Organization Sudan, 2005. Diunduh dari
www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
11. World Health Organization. Dengue Fever. Diunduh dari
www.emro.who.int/sudan/pdf/cd_trainingmaterials_dengue.pdf
12. Estuningtyas A, Arif A. Obat Lokal. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2007. P.522.

23
24

Anda mungkin juga menyukai