Anda di halaman 1dari 8

JOURNAL READING

Psychiatric Comorbidity in Children with Autism Spectrum


Disorders: A Comparison with Children with ADHD

Disusun oleh :
KOMORBIDITAS PSIKIATRI PADA ANAK DENGAN AUTISM : SEBUAH
PERBANDINGAN DENGAN ANAK DENGAN ADHD

Abstrak

Sebuah studi dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi komorbid psikiatri pada
anak dengan dengan autism (n=40) dan untuk membandingkan tingkat komorbiditas pada
anak dengan ADHD (n=40). Partisipan pada penelitian ini meliputi anak-anak berusia 7-18
tahun. Klasifikasi DSM-IV digunakan untuk mendiagnosis penyakit autism/ADHD,
sedangkan komorbid psikiatri dinilai melalui wawancara yang telah terstruktur/tersusun
berdasarkan DSM-IV. Dua puluh tiga anak dengan autism (57,5%) setidaknya memiliki satu
komorbid, sedangkan 16 anak dengan ADHD (40%) dikelompokkan berdasarkan setidaknya
memiliki satu komorbid. Tidak ditemukan perbedaan tingkat komorbiditas penyakit ini atau
tingkat kormobiditas pada penyakit lain (ODD dan/atau CD). Anak dengan austism
mempunyai jumlah penyakit komorbid yang lebih banyak dibandingkan dengan anak dengan
ADHD. Lebih rinci, anak dengan austism mempunyai tingkat gangguan anxietas lebih tinggi.
Tidak ditemukan hubungan antara komorbiditas dengan umur atau antara komorbiditas
dengan tingkat kecerdasan seseorang. Ini sangat penting untuk para klinisi agar selalu lebih
berhati-hati dalam memeriksa komorbiditas dan dalam memberikan tatalaksana yang baik
pada pasien yang disertai penyakit komorbid. Peneliti harus teliti dalam menetapkan alat
skrining yang valid seperti menetapkan tatalaksana yang efektif untuk pasien dengan
komorbid.

Kata kunci: Autism, ADHD, Anak, Komorbiditas Psikiatri

PENDAHULUAN

Anak dengan autism biasanya ditandai oleh adanya gangguan/hambatan pada interaksi
sosial, komunikasi dan perilaku berulang (APA, DSM IV-TR 2000), dan dapat juga ditandai
dengan adanya penyakit komorbid seperti anxietas, depresi, ADHD dan gangguan perilaku
lainnya (Leyfer et al.2006). Namun, perbedaan yang penting adalah adanya gejala
komorbiditas versus gangguan komorbid. Gambaran klinis mengenai gejala komorbid lebih
bernilai untuk dilaporkan, tetapi nyatanya tambahan opsi tatalaksana yang lebih sering
ditawarkan. Pada beberapa penelitian, kebanyakan peneliti memeriksa mengenai gejala
komorbid psikiatri pada anak dengan autism (e.g Gadow et al 2005; Kim et al. 2000),
sedangkan penelitian yang meneliti mengenai gangguan psikiatri komorbid yang dianalisa
dengan alat ukur yang telah terstandarisasi (wawancara diagnostik terstandar) jarang
dilakukan. Peneliti telah mengindetifikasi 10 macam penelitian (Tabel 1). Pada penelitian ini,
tingkat gangguan komorbid bervariasi sekitar 63,3% (Amr et al.2012) sampai 96,4%
(Mukaddes et al.2010). Selain itu, ditemukan hasil penelitian yang berbeda mengenai
gangguan yang paling umum terjadi dan tingkat untuk setiap gangguan psikiatri sangat
bervariasi (Tabel 1).
Faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat komorbiditas suatu penyakit adalah jenis
kelamin, usia, dan kecerdasan intelektual (IQ). Pada penelitian Simonoff et al. (2008) dan
Gyevik et al. (2011) tidak ditemukan perbedaan yang signifikan mengenai jenis kelamin pada
tingkat gangguan psikiatri komorbid. Jika ditinjau dari segi usia, penelitian yang dilakukan
oleh Matilla et.al. (2010) menunjukkan bahwa komorbiditas psikiatri lebih sering ditemukan
pada anak dengan autism di usia sekolah dasar daripada anak usia sekolah menengah
pertama. Pada beberapa penelitian lainnya, ditemukan bahwa terdapat hubungan antara
komorbiditas dengan IQ: penelitian yang dilakukan oleh Simonoff et.al. (2008) dan Gjevik et
al. (2011) menunjukkan bahwa IQ tidak berhubungan dengan komorbiditas psikiatri,
sedangkan penelitian oleh Witwer dan Lecavalier (2010) anak dengan IQ dibawah 70
mempunyai gejala psikiatri yang lebih sedikit dibandingkan dengan anak dengan IQ diatas
70. Anak dengan autism dan IQ dibawah 70 ini biasanya ditandai dengan kemampuan
berbahasa yang cukup rendah, yang dimana hal tersebut mendukung mengenai hasil
penelitian diatas.

Gangguan psikiatri pada anak dapat dibagi menjadi dua kelompok: internalizing
disorder dan externalizing disorder (gangguan perilaku). Internalizing disorder ditandai
dengan gangguan perilaku dan emosi yang berdampak langsung dengan diri sendiri dan
meliputi gangguan mood (depresi) dan gangguan anxietas (phobia, obsesi-konvulsif).
Externalizing disorder ditandai dengan gangguan perilaku dan emosi yang berdampak
langsung dan tidak langsung dengan orang lain dan meliputi ADHD, ODD, dan CD. Karena
ADHD sering dilaporkan sebagai komorbid pada pasien anak dengan autism (Tabel 1),
sangat penting untuk menilai (1) perbedaan dan persamaan antara anak dengan autism dan
anak dengan ADHD, dan (2) membandingkan prevalensi gangguan psikiatri komorbid
diantara 2 kelompok tersebut. Akan tetapi, penelitian yang meneliti mengenai isu tersebut
sangat jarang. Terdapat satu penelitian yang membandingkan anak dengan ADHD saja, anak
dengan autism + ADHD dan anak dengan gangguan tic multipel yang kronik dan ditemukan
persamaan dan perbedaan gejala komorbiditas antara grup tersebut. (Gadow et al. 2009).
Persamaan pada seluruh kelompok ditemukan untuk gejala ODD & CD, sedangkan
perbedaan antara kelompok ditemukan untuk gejala anxietas. Anak dengan autism + ADHD
biasanya ditandai dengan adanya gejala anxietas yang berat. Green beserta temannya
membandingkan 20 remaja dengan sindrom Aspergers dengan 20 remaja dengan CD dan
telah ditemukan bahwa remaja dengan sindrom Aspergers mempunyai gejala yang lebih
menjerumus mengenai anxietas (Green et al. 2000).

Sebagai kesimpulan, pada beberapa penelitian telah dilakukan pemeriksaan gangguan


psikiatrik komorbid dengan menggunakan wawancara diagnostik yang telah terstruktur,
sedangkan penelitian yang membandingkan mengenai gangguan psikiatrik komorbid pada
anak pasien autism dan ADHD jarang dilakukan. Pemeriksaan komorbiditas pada pasien
sangat penting untuk dilakukan karena hal tersebut dapat mempengaruhi mengenai gejala
diagnosis primer (gejala anxietas dapat memperhebat gejala autism; Wood dan Gadow 2010)
dan dapat mempengaruhi rencana terapi dan luaran klinis (Matson dan Nebel Schwalm
2007). Selain itu, dengan mengetahui gangguan komorbid yang mana yang sering muncul,
dapat mendorong klinisi untuk melakukan program screening awal dan program pencegahan.
Oleh karena itu, penelitian terkini bertujuan untuk memeriksa gangguan komorbid pada anak
dengan autism dan membandingkan kelompok tersebut dengan kelompok anak dengan
ADHD. Sehingga, akan diteliti mengenai hubungan antara komorbiditas dan umur, dan antara
komorbiditas dan IQ (jenis kelamin tidak termasuk ke dalam variabel dikarenakan terdapat
isu).

METHOD

Partisipan / Subjek Penelitian

Seluruh pasien anak yang dirawat jalan di instalasi kesehatan jiwa di Maastricht, Netherlands.
Dari 80 anak, berusia 7-18 tahun, dan para orangtua yang ikut berpartisipasi: 40 anak dengan
autism yang digolongkan berdasarkan DSM-IV-TR, dan 40 anak dengan ADHD yang
digolongka berdasarkan DSM-IV-TR. Tidak ada alat ukur yang terstandarisasi yang
digunakan untuk menegakkan diagnosis ini. Akan tetapi, para peneliti yakin akan realibilitas
klasifikasi autism dikarenakan sampel lain dari anak dengan autism, yang merupakan sesama
pasien rawat jalan di instalasi kesehatan jiwa, persetujuan antara diagnosis autism
berdasarkan klasifikasi DSM-IV-TR dan diagnosis autism berdasarkan wawancara diagnostik
khusus autism yang telah direvisi sangat bagus (97,8% ; van Steensel, Bogels dan de Bruin).
Selain itu, KID-SCID (Hien et al. 1994; diterjemahkan ke dalam bahasa belanda oleh
Dreessen et al.1998) dapat digunakan untuk mendiagnosa gangguan psikiatri komorbid yang
mana termasuk ke dalam kelompok ADHD. 36 anak dari 40 anak (90%) yang didiagnosa
menderita ADHD, penegakkan diagnosisnya menggunakan KID-SCID. Hal tersebut
menunjukkan bahwa 4 anak lainnya tidak memenuhi syarat diagnosis ADHD menurut KID-
SCID. Sehingga 4 anak lainnya dieklusikan dikarenakan setelah ditelusuri lebih dalam, 4
anak tersebut terdiagnosis ADHD berdasarkan kriteria dari DSM-IV (e.g the cognitive profile
on Wechsler Intelligence Scale for Children-Revised, WISC-R (Wechsler 1974; van Haasen
et al. 1986), the ratings on the Child Behavior Check List, CBCL (Achenbach 1991), dan
gangguan perhatian pada anak pada fungsi sehari-sehari).

Dari seluruh anak dengan autism, 28 (70%) diantaranya terdiagnosis PDD-NOS dan
12 anak lainnya terdiagnosis Sindrom Aspergers (30%). Dari seluruh sampel pasien ADHD,
23 anak terdiagnosis ADHD tipe kombinasi (57,5%), 9 orang lainnya terdiagnosis ADHD
tipe inattentive (22,5%) dan 5 orang lainnya terdiagnosis ADHD tipe hiperaktivitas (12,5%).
Dari 3 anak (7,5%) tersebut yang terdiagnosa ADHD berdasarkan DSM-IV-TR dtunda
pemeriksaannya. Akan tetapi, kami para peneliti setuju untuk tidak mengeklusikan ketiga
anak tersebut dikarenakan pasien tersebut jutga memenuhi syarat ADHD menurut KID-
SCID. Tidak ada pasien ADHD yang tersuspek terkena autism.

Samplel pasien autism berjumlah 36 laki-laki dan 4 perempuan dengan rata-rata usia
11.10 tahun (range=8-18 tahun; SD: 2.82). Sampel pasien ADHD berjumlah 37 laki-laki dan
3 perempuan denga rata-rata usia 11.13 tahun (range = 7-17 tahun; SD: 2.85). Tidak
ditemukan perbedaan dari segi jenis kelamin, X2 (1) = 0,157; p = .692, or age, F (1, 78) =
0.002; p = .969. Untuk dari segi tingkat pendidikan dan fungsi kognitif pada 2 kelompok
tersebut, lihat Tabel 2. Tidak ditemukan perbedaan untuk dari segi tingkat pendidikan, X2(1)
= 0.005; p = 1.00, secondary education level, Mann-Whitney U =43.50; p = .260, or level of
cognitive functioning, Mann–Whitney U = 487.50; p = .371.

INSTRUMEN

KID-SCID (Hien et al. 1994; Dutch translation by Dreessen et al. 1998) digunakan untuk
mendiagnosa (komorbid) gangguan psikiatrik. KID-SCID didasarkan pada SCID dewasa
yang banyak digunakan dengan pertanyaan yang disesuaikan untuk anak-anak (dengan
tambahan gangguan yang terjadi pada masak anak-anak). SCID dewasa telah menunjukkan
angka realibilitas dan validitas yang dapat diterima (e.g. Basco et al. 2000; Lobbestael et al.
2011; Spitzer et al. 1992; Williams et al. 1992). Beberapa penelitian mendukung validitas dan
realibilitas dari KID-SCID (Matzner 1994; Matzner et al. 1997; Smith et al. 2005;
Trimbremont et al. 2004). Nilai Kappa untuk uji realibilitas dari KID-SCID ditemukan
berkisar .63 - .84 untuk gangguan perilaku (kappa .84, .63, dan .84 untuk ADHD, ODD, dan
CD dan dari .44 – 1.0 untuk gangguan anxietas (kappa 1.0, .66, dan .44 untuk gangguan
anxitas, gangguan pasca trauma) (Matzner et al. 1997). Nilai Kappa untuk realibilitas antar
tingkatan yaitu 1.0 untuk gangguan perilaku, .63 untuk gangguan anxietas dan .76 untuk
diagnosa dari gangguan depresi mayor (Trimbremont et al. 2004).

Dalam menggunakan KID-SCID, responden ditanyakan apakah gejala yang telah


disebutkan di DSM-IV muncul. Gejala ini dikategorikan sebagai : (1) tidak ada, (2) mungkin
ada, atau (3) ada. Anak dan orang tua nya memberi jawaban dan para pewawancara
mengabungkan informasi-informasi tersebut menjadi sebuha nilai yang bagus. Selanjutnya,
jumlah gejala yang timbul dihitung. Jika jumlah gejala yang timbul terpenuhi (berdasarkan
kriteria gejala dari DSM-IV), pewawancara akan menanyakan mengenai kriteria DSM
lainnya (seperti kapan gejala itu muncul atau apakah gejala tersebut mempengaruhi aktivitas
sehari-hari’) Diagnosis KID-SCID diperoleh jika kriteria dari DSM-IV telah terpenuhi. Untuk
penelitian ini, informasi didapat dari orang tua dan anak dan dicocokan dengan kriteria dari
KID-SCID: gangguan perilaku (ADHD, ODD dan CD), gangguan mood (gangguan depresi
mayor dan gangguan distimik) dan gangguan anxietas (phobia, gangguan obsesif-konvulsif,
gangguan panik, agoraphobia, gangguan stress pasca trauma dan gangguan anxietas yang tak
tercirikan).

PROSEDUR

Klasifikasi DSM-IV untuk kriteria Autism atau ADHD dibentuk/disusun oleh tim yang terdiri
dari psikolog, terapis, pekerja sosial dan psikiater anak, dan berdasarkan manisfetasi klinis
yang ditemukan. Manisfetasi klinis yang ditemukan saat dilakukan wawancara dengan
orangtua dan anak, dari observasi interaksi antara anak-orangtua, dari observasi dari pihak
sekolah, penilaian diagnostik (e.g. WISC-R, Wechsler 1974; Van Haasen et al. 1986; CBCL,
Achenbach 1991) dan/atau dari konsul psikiatrik. Telah disetujui oleh pihak komite medik
dan partisipan menandatangani bukti persetujuan tersebut (informed consent). KID-SCID
merupakan bagian dari prosedur dari pasien rawat jalan di instalasi kesehatan jiwa dan
didaftarkan oleh psikolog yang mempunyai pengalaman berpuluh-puluh tahun terhadap
diagnosa dan pengobatan pada anak dengan gangguan jiwa. Pewawancara telah dilatih oleh
penerjemah KID-SCID yang dimana penerjemah tersebut telah dilatih untuk penggunaan
SCID dewasa.

ANALISIS

Jumlah gangguan psikiatri komorbid pada kedua kelompok telah dihitung. Tingkat
komorbiditas baik untuk internalizing disorders dan externalizing disorder pada anak dengan
autism dan ADHD telah dilakukan uji analisis Chi-Square. Jika uji tersebut mencapai
signifikansi, selanjutnya uji analisis Chi-Square tambahan dapat dilakukan untuk menilai
perbedaan internalizing disorders dan externalizing disorders pada kedua kelompok. Uji
untuk menilai hubungan antara komorbiditas dan umur dan antara komorbiditas dan IQ
digunakan uji Spearman’s rho. Untuk didapati hasil yang baik, nilai alpha telah diatur
menjadi .05 untuk semua uji analisis.

HASIL

Anak dengan autism diklasifikasikan mempunyai penyakit komorbid jika memenuhi kriteria
dari KID-SCID yang paling tidak mempunyai satu penyakit komorbid. Seperti CBCL manual
(Achenbach 1991), peneliti menilai bahwa partisipan mempunyai komorbid berupa
externalizing disorder jika memenuhi kriteria KID-SCID untuk ODD dan/atau CD. Partisipan
diklasifikasikan mempunyai internalizing disorder jika memenuhi kriteria KID-SCID yang
dimana terdapat satu gejala mood dan/atau gejala anxietas.

Pada tabel 3, frekuensi gangguan komorbid pada kedua kelompok disajikan. Pada sampel
pasien autism, dua puluh tiga anak (57,5%) tergolong mempunyai gangguan komorbid;
internalizing disorder (35,0%) yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan
externalizing disorder (22,5%). Enam belas anak pasien anak dengan ADHD (40,0%)
memenuhi kriteria penyakit komorbid; externalizing disorder (27,5%) lebih banyak
dibandingkan dengan internalizing disorder (12,5%).

Kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan mengenai tingkat komorbid penyakit, X2(1)
= 2.45; p = .117. Perbedaan kelompok ditemukan untuk internalizing disorder, X2(1) = 5.59;
p = .018, tetapi tidak untuk externalizing disorders, X2(1) = 0.27; p = .606. Anak dengan
autism lebih menunjukkan gejala dari internalizing disorder dibandingkan dengan anak
dengan ADHD. Untuk internalizing disorder, anak dengan autism ditemukan secara
signifikan lebih menunjukkan gejala dari gangguan anxietas, X2(1) = 4.02; p = .045, tetapi
tidak untuk gangguan mood , X2(1) = 1.41; p = .432, dibandingkan dengan anak dengan
ADHD.

Korelasi antara komorbiditas dan umur, dan antara komorbiditas dan IQ, ditampilkan pada
tabel 4. Korelasi bernilai kecil dan tidak signifikan (seluruh p’s >.10) yang mengindikasikan
bahwa tidak ada hubungan antara komorbidita dan umur, atau antara komorbid dengan IQ.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menilai komorbiditas pada anak dengan autism dan dibandingkan dengan anak
dengan ADHD. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang membandingkan kedua
kelompok dengan fokus frekuensi gangguan komorbid dengan menggunakan wawancara
diagnostik yang telah terstruktur. Anak dengan autism tidak berbeda dengan anak ADHD
dilihat dari segi tingkat komorbiditasnya. Akan tetapi, gangguan anxietas lebih sering muncul
pada anak dengan autism dibandingkan dengan anak dengan ADHD.

Hasil penelitian dari pasien anak dengan autism dan ADHD yang tidak berbeda dari segi
tingkat komorbiditas tidak terlalu mengejutkan, dikarenakan review komorbiditas pada anak
dengan ADHD (Gillberg et al. 2004) menunjukkan tingkat komorbiditas yang sama (60-
100%) dengan hasil penelitian yang berfokus pada anak dengan autism (63,3-96,4%, lihat
Tabel 1). Tetapi, hasil penelitian tersebut sangat menarik dikarenakan dua hal. Pertama,
penelitian mengenai tingkat komorbiditas pada anak dengan autism yang membandingkan
dengan anak dengan ADHD belum dilakukan sebelumnya. Untuk membandingkan tingkat
komorbiditas antar penelitian yang meliputi anak dengan autism versus anak dengan ADHD
sulit dilakukan dikarenakan luasnya variabilitas dalam desain penelitian, pengukuran untuk
menilai komorbiditas psikiatri dan sampel penelitian. Kedua, hasil penelitian terkini
menunjukkan bahwa anak dengan autism dan anak dengan ADHD sama-sama mungkin
untuk membangun timbulnya gangguan psikiatri komorbid, walaupun gangguan komorbid
yang spesifik mungkin dapat timbul pada satu kelompok dibandingkan dengan kelompok
yang lain.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa anak dengan autism lebih menunjukkan
gangguan anxietas dibandingkan dengan anak dengan ADHD. Hal ini mungkin bisa
disebabkan karena terjadi tumpang tidih antara gejala utama autism dan gejala dari gangguan
anxietas, terutama dalam kasus gangguan obsesif-konvulsif dan gangguan anxietas sosial
(lihat contoh Wood dan Gadow (2010) dan van Steensel et al. (2011) untuk diskusi mengenai
isu tersebut). Namun, hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Gadow et.al (2009) yang menunjukkan bahwa anak dengan autism lebih menunjukkan gejala
gangguan anxietas dibandingkan dengan anak dengan ADHD. Sebagai tambahan, gejala dari
gangguan anxietas ini tidak selalu menjadi gejala utama pada anak dengan autism, tetapi para
pasien merespon positif terhadap pengobatan dan protokol untuk farmakoterapi dan terapi
perilaku untuk gejala anxietas tambahan pada autism (e.g Posey dan McDougle 2000;
Santosh dan Baird 2001). Dengan demikian penting untuk menyadari gejala komorbiditas ini,
dikarenakan jika mereka tidak terobati, dapat mengakibatkan terjadinya gangguan yang
sangat parah untuk kegiatan sehari-hari seperti menyelesaikan tugas sekolah atau melakukan
aktivitas sosial. Sering diemukan bahwa anak dengan autism mempunyai level anxietas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang sedang dalam proses perkembangan (e.g Kim et
al. 2000), tetapi untuk anak dengan ADHD, jika dibandingkan dengan anak yang sedang
dalam proses perkembangan, penemuan tersebut malah lebih tercampur (e.g. Biederman et al.
1991; Gau et al. 2010; van den Heuvel et al. 2007).

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gadow et.al (2009) bahwa anak dengan autism
dan ADHD tidak menunjukkan perbedaan dalam hal komorbid externalizing disorder
(ODD/CD). Secara umum, komorbiditas antara ADHD dan ODD/CD lebih tinggi
dibandingkan dengan antara ADHD dan internalizing disorder (e.g Gillberg et al. 2004). Pada
uji analisis post hoc, ditemukan bahwa anak dengan autism dan diagnosis komorbid pada
ADHD (n=9) lebih signifikan memiliki gejala ODD/CD dibandingkan dengan anak dengan
autism tanpa disertai komorbid ADHD (n=31).

Sebaliknya, peneliti tidak menemukan gangguan mood dengan level yang tinggi pada pasien
anak dengan autism. Perlu dicatat dari penelitian yang dilakukan oleh Gadow et.al (2009)
gejala dari gangguan tersebut telah dinilai, yang mungkin dapat mendukung mengenai hasil
penelitian ini. Penting untuk ditambahkan bahwa sampel penelitian ini hanya terdiri dari anak
dengan usia sekolah saja. Jika melihat hasil penelitian oleh Ghaziuddin et al. (2002), tingkat
depresi pada autism akan meningkat seiring dengan meningkatnya umur. Dari fase remaja,
lalu menjadi dewasa muda, depresi merupakan gangguan komorbid yang paling sering timbul
pada pasien dengan autism (Ghaziuddin et al. 2002). Oleh karena itu kemungkinan hasil
penelitian kami tidak dapat mewakili untuk berbagai tahap kehidupan pada pasien autism.
Mungkin saja, perbedaan antara ADHD dan autism menjadi lebih menonjol di kemudian hari
(Roeyers et al. 1998).

Untuk pasien dengan autism secara signifikan, ditemukan bahwa sebanyak 57,5% telah
sembuh dari gangguan komorbid. Angka ini agak rendah jika dibandingkan dengan hasil
penelitian lain (63,3-96,4%, lihat Tabel 1). Angka tersebut rendah dikarenakan peneliti hanya
menginklusikan internalizing dan externalizing disorder saja, dan mengekslusikan gejala
seperti enuresis, encopresism gangguan tic yang kronik, sindrom Tourette’s dan skizofrenia,
yang pada penelitian sebelumnya dimasukkan ke dalam variabel yang diinklusikan.
Selanjutnya angka tersebut rendah juga dikarenakan berhubungan dengan pasien anak yang
peneliti jadikan sebagai sampel. Pasien anak yang menjadi sampel ini adalah pasien rawat
jalan di instalasi kesehatan jiwa, bukan pasien autism saja. Ditujukan dengan anak dengan
heterogenitas gejala psikiatrik yang luas, dan bahkan lebih parah dan kompleks. Angka
tersebut juga rendah dikarenakan alat ukur yang digunakan berbeda dengan alat ukur yang
digunakan pada penelitian-penelitian terdahulu (e.g.the Diagnostic Interview Schedule for
Children [DISC-IV; Ferdinand and Van der Ende 1998; Shaffer et al. 1996] in the study of
De Bruin et al. 2007). KID-SCID, yang mirip dengan DSM-IV, meliputi kriteria dari gejala
ADHD, gangguan anxietas yang berbeda, gangguan anxietas menyeluruh tidak dijelaskan
mengenai adanya autism. Kriteria tersebut mungkin mempunyai tingkat komorbiditas yang
rendah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Walaupun demikian, presentase
komorbiditas pada anak dengan autism di penelitian terkini (57,5%) masih lebih tinggi
dibandingkan dengan presentase (9,5-14,5%) pada anak yang sedang dalam proses
perkembangan (e.g. Meltzer 2007; Ravens-Sieberer et al. 2008; Scholte et al. 2008).

Keterbatasan penelitian ini harus dijelaskan. Pertama, jumlah sampel yang banyak lebih kuat
untuk mendukung mengenai hubungan antara umur dan IQ. Sebagai contoh, jumalh sampel
pada penelitian terkini jumlahnya sangat kecil untuk menilai pengaruh umur atau IQ pada
masing-masing gangguan (gangguan anxietas)

Anda mungkin juga menyukai