Tauhid (Bag. 1)
Muhammad Saifudin Hakim 16 Februari 2019 6 Comments
Masih terngiang-ngiang dalam ingatan kita ketika dulu zaman masih sekolah SD atau SMP,
kita diajarkan bahwa makna kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” adalah “Tidak ada Tuhan
selain Allah”. Inilah makna yang selama ini terpatri dalam hati sanubari kita tanpa sedikit
pun kita berfikir tentang kebenaran makna tersebut. Karena memang itulah yang diajarkan
oleh guru-guru kita pada saat masih sekolah dulu dan yang tertulis atau tercetak dalam buku-
buku pelajaran agama kita.
Kesalahpahaman ini tidak hanya dialami oleh masyarakat awam, bahkan orang-orang yang
dikenal sebagai “cendekiawan” muslim pun salah paham tentang makna kalimat tauhid ini.
Buktinya, di antara mereka ada yang mengartikan “laa ilaaha illallah” sebagai “Tidak ada
tuhan (“t” kecil) selain Tuhan (“t” besar)”.
Perlu diketahui, kalimat “laa ilaaha illallah” adalah rukun pertama dan rukun yang paling
penting sehingga seseorang dapat disebut sebagai seorang muslim. Karena seorang muslim
adalah hamba yang taat dan tunduk kepada Allah Ta’ala, dan hal itu tidaklah mungkin
terlaksana kecuali dia meyakini dalam hatinya tentang makna kalimat tersebut. Kalimat
tauhid merupakan pokok agama Islam dan sumber kekuatan Islam. Adapun aqidah dan
hukum-hukum Islam yang lain, semuanya dibangun di atas landasan kalimat tauhid.
Kekuatan bangunan Islam tidaklah mungkin kokoh kecuali bersumber dari kekuatan kalimat
tauhid. Apabila landasan tersebut hancur, maka hancurlah pula Islam seseorang dan tidak
akan tersisa sama sekali. [1]
Yang perlu digarisbawahi juga adalah bahwa kalimat “laa ilaaha illallah” yang diucapkan
oleh seseorang tidak akan bermanfaat kecuali dengan memenuhi seluruh syarat-syaratnya dan
mengamalkan konsekuensinya, baik secara lahir maupun batin. [2] Hal ini juga sebagaimana
ibadah shalat yang tidak akan sah kecuali dengan memenuhi syarat dan rukunnya, serta tidak
melakukan pembatal shalat.
Di antara syarat persaksian “laa ilaaha illallah” yang harus dipenuhi adalah seseorang
harus mengetahui makna kalimat tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
Dari dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut, para ulama rahimahullah
menyimpulkan bahwa salah satu syarat sah “laa ilaaha illallah” adalah seseorang
mengetahui makna “laa ilaaha illallah” dengan benar.
Ketika seseorang bertanya kepada Wahab bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah kalimat
‘laa ilaaha illallah’ itu adalah kunci surga?” maka beliau rahimahullah menjawab,
Lalu, apakah yang menjadi gerigi dari kunci tersebut? Gerigi dari kunci “laa ilaaha illallah”
tidak lain adalah syarat-syarat “laa ilaaha illallah.” [3] Dan di antara syarat “laa ilaaha
illallah” adalah seseorang memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Baca Juga: Solusi Masalah Negeri Adalah Mengaji Tauhid? Masak Sih?
Pertama, kata “Tuhan” yang identik dengan pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang
menghidupkan, yang mematikan, dan yang dapat memberikan manfaat atau mendatangkan
madharat. Ringkasnya, kata “Tuhan” di sini dimaknai dengan makna rububiyyah (sifat-sifat
ketuhanan).
Kedua, kata “Tuhan” yang berarti sesembahan. Yaitu sesuatu yang menjadi tujuan segala
jenis aktivitas ibadah. [4]
Karena terdapat dua makna untuk kata “Tuhan”, maka kalimat “Tidak ada Tuhan selain
Allah” juga memiliki dua pengertian, yaitu:
Pengertian pertama, yaitu: “Tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta
selain Allah.”
Pengertian kedua, yaitu: “Tidak ada sesembahan selain Allah.”
Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya kita akan meninjau apakah memaknai
kalimat “laa ilaaha illallah” dengan dua pengertian tersebut sudah benar serta berdasarkan
dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Baca Juga:
[Bersambung]
***