Anda di halaman 1dari 5

 Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau

global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan
kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vascular. (Kelompok Studi
Serebrovaskuler & Neurogeriatri Perdossi,1999)

 Stroke perdarahan intraserebral atau perdarahan intraserebral primer adalah suatu sindroma yang
ditandai adanya perdarahan spontan ke dalam substansi otak (Gilroy, 2000).

 Perdarahan intraserebral dua kali lebih banyak dibanding perdarahan subarakhnoid (PSA) dan
lebih berpotensi menyebabkan kematian atau disabilitas dibanding infark serebri atau PSA
(Broderick dkk, 1999)

 Perdarahan intraserebral dapat terjadi pada rentang umur yang lebar, dapat terjadi pada dekade
tujuh puluh, delapan puluh dan sembilan puluh. Walaupun persentase tertinggi kasus stroke pada
usia dibawah 40 tahun adalah kasus perdarahan, PIS sering juga terjadi pada usia yang lebih
lanjut.

 Usia lanjut dan hipertensi merupakan faktor resiko paling penting dalam PIS. Perdarahan
intraserebral terjadi sedikit lebih sering pada pria dibanding wanita dan lebih sering pada usia
muda dan setengah-baya pada ras kulit hitam dibanding kulit putih di usia yang sama (Broderick,
1999).

 Kebanyakan kasus PIS terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik. Keadaan ini menyebabkan
perubahan arteriosklerotik pembuluh darah kecil, terutama pada cabang-cabang arteri serebri
media, yang mensuplai ke dalam basal ganglia dan kapsula interna. Pembuluh-pembuluh darah
ini menjadi lemah, sehingga terjadi robekan dan reduplikasi pada lamina interna, hialinisasi
lapisan media dan akhirnya terbentuk aneurisma kecil yang dikenal dengan aneurisma Charcot-
Bouchard. Hal yang sama dapat terjadi pembuluh darah yang mensuplai pons dan serebelum.
Rupturnya satu dari pembuluh darah yang lemah menyebabkan perdarahan ke dalam substansi
otak (Gilroy,2000; Ropper, 2005).

 Pada pasien dengan tekanan darah normal dan pasien usia tua, PIS dapat disebabkan adanya
cerebral amyloid angiopathy (CAA). Keadaan ini disebabkan adanya akumulasi protein β-amyloid
didalam dinding arteri leptomeningen dan kortikal yang berukuran kecil dan sedang.
Penumpukan protein β-amyloid ini menggantikan kolagen dan elemen-elemen kontraktil,
menyebabkan arteri menjadi rapuh dan lemah, yang memudahkan terjadinya resiko ruptur
spontan. Berkurangnya elemen-elemen kontraktil disertai vasokonstriksi dapat menimbulkan
perdarahan masif, dan dapat meluas ke dalam ventrikel atau ruang subdural. Selanjutnya,
berkurangnya kontraktilitas menimbulkan kecenderungan perdarahan di kemudian hari. Hal ini
memiliki hubungan yang signifikan antara apolipoprotein E4 dengan perdarahan serebral yang
berhubungan dengan amyloid angiopathy (Gilroy, 2000; Ropper, 2005; O'Donnel, 2000).
 Suatu malformasi angiomatous (arteriovenous malformation/AVM) pada otak dapat ruptur dan
menimbulkan perdarahan intraserebral tipe lobular. Gangguan aliran venous karena stenosis atau
oklusi dari aliran vena akan meningkatkan terjadinya perdarahan dari suatu AVM (Caplan,2000;
Gilroy,2000; Ropper, 2005).

 Terapi antikoagulan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya perdarahan intraserebral,


terutama pada pasien-pasien dengan trombosis vena, emboli paru, penyakit serebrovaskular
dengan transient ischemic attack (TIA) atau katub jantung prostetik. Nilai internationa! normalized
ratio (INR) 2,0 - 3,0 merupakan batas adekuat antikoagulasi pada semua kasus kecuali untuk
pencegahan emboli pada katub jantung prostetik, dimana nilai yang direkomendasikan berkisar
2,5 - 3,5. Antikoagulan lain seperti heparin, trombolitik dan aspirin meningkatkan resiko PIS.
Penggunaan trornbolitik setelah infark miokard sering diikuti terjadinya PIS pada beberapa ribu
pasien tiap tahunnya (Caplan,2000; Gilroy,2000;Ropper,2005).

 Mayoritas pasien mengalami nyeri kepala akut dan penurunan kesadaran yang berkembang cepat
sampai keadaan koma.

 Pasien yang selamat secara bertahap mengalami pemulihan kesadaran dlam beberapa hari.
Pasien dengan perdarahan pada lobus temporal atau lobus frontal dapat mengalami seizure
tiba-tiba yang dapat diikuti kelumpuhan kontralateral (Caplan,2000; Gilroy,2000; Ropper,2005)

 Computed Tomography (CT- scan) merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS dalam
beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat diulang dalam 24 jam untuk menilai
stabilitas.

 Bedah emergensi dengan mengeluarkan massa darah diindikasikan pada pasien sadar yang
mengalami peningkatan volume perdarahan.

 Magnetic resonance imaging (MRI) dapat menunjukkan perdarahan intraserebral dalam


beberapa jam pertama setelah perdarahan. Perubahan gambaran MRI tergantung stadium
disolusi hemoglobinoksihemoglobin-deoksihemogtobin-methemoglobin-ferritin dan
hemosiderin (Gilroy,2000)

 Ada banyak model instrumen untuk memprediksi outcome pada PIS yang telah di publikasi dan
telah diterima luas penggunaanya dalam klinis. Prediktor yang sering digunakan termasuk
volume perdarahan, nilai SKG, hidrosefalus, letak lesi perdarahan, usia atau adanya perdarahan
intraventrikular (Rost dkk,2008)

 Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairments,
disabilitas dan handicaps. Ofeh WHO membuat batasan sebagai berikut (Caplan,2000) :
 Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis dan anatomis yang
disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk
memperbaiki kelainan ini.

 Disabilitas adalah hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya
dilakukan orang yang sehat seperti : tidak bisa berjalan, menelan, melihat akibat pengaruh
stroke.

 Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seorang penderita stroke berperan sebagai
manusia normal akibat impairment atau disability tersebut.

 Glasgow Outcome Scale (GOS) adalah skala yang digunakan untuk mengukur outcome yang
pada awal penggunaannya ditujukan pada pasien trauma kapitis. Skala ini diciptakan oleh Jennet
dkk pada tahun 1975 dan dipakai untuk mengalokasikan orang-orang yang menderita cedera
otak akut pada cedera otak traumatik maupun non-traumatik ke dalam kategori outcome. Skala
ini menggambarkan disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan, yang difokuskan pada
bagaimana trauma mempengaruhi fungsi kehidupan (LeonCarrion,2006)

 Skala yang asli terdiri dari 5 tingkatan sebagai berikut (Leon-Carrion, 2006 ; Capruso dan Levin,
1996) :

 0. Death

 1. Vegetative State Tanda dari vegetative state adalah ketiadaan fungsi kognItif yang
ditunjukkan oleh hilangnya komunikasi total, yang menandakan bahwa korteks serebral tidak
berfungsi lagi. Tidak seperti pada pasien koma, pasien pada keadaan vegetative state memiliki
respon buka mata, gerakan bola mata, dan siklus tidur-bangun. Meskipun pasien dengan
vegetative state dapat menunjukkan berbagai aksi motorik yang reflektif, kebiasaan ini tidak
dapat menunjukkan kesadaran.

 2. Severe disability Pasien sadar, namun membutuhkan pertolongan. Meskipun tingkat


ketergantungan bervariasi, yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien yang bergantung
kepada seorang pengasuh untuk seluruh aktifitas sepanyang hari. Pasien yang tidak dapat
ditinggal sendiri dan tidak dapat merawat diri mereka sendiri selama interval 24 jam termasuk
dalam kategori ini.

 3. Moderate disability Pasien dalam kategori ini dapat ditinggal sendiri, namun memiliki tingkat
kecacatan fisik dan kognitif yang membatasi mereka dibandingkan tingkat kehidupan sebelum
trauma. Banyak pasien pada kategori ini dapat kembali bekerja, meskipun dalam pekerjaan
mereka diberikan kelonggaran khusus dan asisten untuk mereka, dan tidak dapat memikul
pekerjaan sebesar tanggungjawab mereka sebelum sakit.
 4. Good recovery. Pada kategori ini pasien dapat mandiri dan dapat kembali bekerja pada
pekerjaan atau aktifitas mereka sebelum sakit tanpa adanya keterbatasan mayor. Pasien dapat
menderita defisit neurologi atau kognitif ringan yang menetap, namun tidak mengganggu
keseluruhan fungsi. Pasien dalam kategori ini kompeten dalam bersosialisasi dan mampu
membawa diri dengan baik tanpa perubahan kepribadian yang berarti.

 Tingkatan ini dapat dikelompokkan menjadi outcome buruk (GOS 0-2) dan outcome baik (GOS 3-
4) (Leon-Carrion,2006).

 2.1 Terapi pembedahan pada perdarahan intraserebral

 Metode evakuasi hematom dibagi menjadi dua yaitu kraniotomi/kraniektomi dan prosedur
invasif minimal.

 2.1.1 Kraniotomi. International Surgical Trial for Intra Cerebral Haemorrhage (STICH) adalah
studi multisenter terkait pembedahan pada perdarahan intraserebral adalah. Pada studi ini 1033
pasien dari 83 senter di 27 negara terutama eropa, asia, dan afrika, dirandomisasi menjadi 2
kelompok terapi. Pada satu kelompok, pasien diberikan terapi konservatif, sedangkan kelompok
yang lain dilakukan pembedahan pada waktu 24 jam paska onset sebagai tambahan dari terapi
konservatif. Tidak ditemukan adanya keuntungan yang signifikan dari pembedahan pada angka
mortalitas (63,7% pada kelompok terapi bedah dibandingkan 62,6% pada kelompok terapi
konservatif), skala Rankin dan indeks Barthel (outcome baik pada 23,8% kelompok pembedahan
vs 26,1% pada kelompok konservatif). Pada studi STICH, kraniotomi dan evakuasi hematom pada
perdarahan intraserebral dikaitkan dengan luaran yang baik bila hematom terletak sejauh 1 cm
dari permukaan otak. (Javed, 2008).

 2.1.2 Pembedahan invasif minimal.

Pembedahan ini dapat dilakukan dengan 2 prosedur yaitu secara blind dan endoskopi.
2.1.2.1 Prosedur Blind.
Secara umum prosedur blind ini dilakukan dengan aspirasi burr hole, dengan atau tanpa
bantuan sterotaksis dan fibrinolisis. Stereotaksis menambah presisi dari prosedur ini sementara
fibrinolisis membuat klot lebih mudah saat dikeluarkan. Fibrinolisis dapat secara kimiawi yaitu
dengan urokinase atau t-PA, atau secara mekanik dengan archimedes screw, aspirator
ultrasound, atau pemotong oscillating. Prosedur ini terutama menguntungkan bila lesi terletak
di dalam.
2.1.2.2 Neuroendoskopi. Prosedur ini dikatakan lebih baik dari pada sterotaksis dan kraniotomi
untuk evakuasi klot perdarahan intraserebral di area basal ganglia pada pasien yang tidak koma.
Evakuasi klot secara neuroendoskopi pada perdarahan intraventrikular dibandingkan dengan
drainase ventrikular eksternal (EVD) saja, ditemukan memberikan luaran yang lebih baik, namun
tidak ada perbedaan dalam mortalitasnya. Teknik pembedahan menjadi kurang invasif karena
menggunakan endoskopi. Prosedur ini hanya perlu sedikit saja bukaan di tulang untuk insisi
kortikal, biasanya dengan diameter kurang dari 1 cm. Rekomendasi American Stroke Association
guidelines menyarankan operasi dilakukan dalam waktu 12 jam dengan metode invasif minimal.
Kraniotomi diperlukan pada lesi yang akut dan lebih solid, sedangkan burr hole dilakukan pada
lesi kronis dan liquid. Sebagai tambahan, pembedahan dapat pula memiliki peran diagnostik,
misalnya pada biopsi yang dikerjakan pada perdarahan intraserebral akibat vaskulitis.

Pada Guideline Stroke 2007 oleh Perdossi dikatakan guideline pengelolaan perdarahan
intraserebral dengan pembedahan masih kontroversial.

Pasien bukan kandidiat operasi bila: (1) pasien dengan perdarahan kecil (< 10cm3 ) atau defisit
neurologis minimal (kelas II-IV, tingkat evidensi B), (2) pasien dengan GCS  4 , kecuali pada
perdarahan serebelar yang disertai kompresi batang otak, untuk menyelamatkan nyawa.

Sedangkan kandidat dioperasi adalah: (1) pasien dengan perdarahan serebelar > 3 cm dengan
perburukan klinis atau kompresi batang otak dan hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel, (2)
perdarahan intraserebral dengan lesi struktural seperti aneurisma, arteriovena malformasi, atau
angioma kavernosa dibedah jika mempunyai harapan luaran yang baik dan lesi strukturnya
terjangkau (kelas III-IV, tingkat evidensi C), (3) pasien usia muda dengan perdarahan lobar
sedang-besar yang memburuk (kelas II-IV, tingkat evidensi B), (4) pembedahan untuk
mengevakuasi hematom pada pasien usia muda dengan perdarahan lobar yang luas ( 50 cm3)
masih menguntungkan (kelas II-IV, tingkat evidensi B). Indikasi pembedahan pada perdarahan
intraserebral supra tentorial kurang nyata. (Broderick dkk, 1999).

Mayoritas pasien stroke tidak membutuhkan pembedahan namun pada beberapa kasus dimana
kondisi pasien menurun dengan cepat dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial,
herniasi atau ancaman herniasi, operasi sebaiknya segera dilakukan. Prosedur pembedahan
memegang peranan kedua terpenting pada manajemen stroke, sehingga disarankan agar pada
rumah sakit pusat rujukan neurologist dan ahli bedah saraf dapat bekerja sama menangani
pasien dengan stroke. Rujukan yang tepat dapat membawa perubahan yang nyata pada pasien
stroke.

Tidak semua pasien yang menderita stroke hemoragik perlu menjalani tindakan operasi bedah.
Tergantung pada ukuran, lokasi, dan kedalaman hematoma (pengumpulan darah di luar
pembuluh darah) dan apakah stroke diikuti dengan pembengkakan jaringan otak dan kondisi
pasien secara keseluruhan, dll. Operasi bedah bisa membuang hematoma untuk menurunkan
tekanan intrakranial (tekanan di dalam tengkorak) pada pasien yang mengalami stroke
hemoragik. Tindakan operasi juga bisa memotong aneurisma (pembengkakan pembuluh darah
di otak seperti balon) untuk mencegah perdarahan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai