PENGANTAR KONSELING
Tentang :
“Karakter Seorang Konselor Efektif”
Disusun oleh:
Senja Amalia Kurniasari
Shintya Damayanti
Zahwa Isnainingtyas
Dosen pembimbing :
Diniy Hidayatur Rahman, S.Pd, M.Pd
Dengan memohon rahmat dan ridho Allah SWT serta mengucap syukur
kepada Nya atas segala limpahan karuniaNya kami diberi kekuatan untuk
menyusun makalah yang berjudul “Karakter Seorang Konselor Efektif”
Penyusunan makalah ini diampu oleh Diniy Hidayatur Rahman, S.Pd, M. Pd.
Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dan membantu proses penyusunan makalah ini sehingga bisa
selesai tepat pada waktunya.
Kami memiliki harapan yang sangat besar bahwa makalah ini bisa
memberikan manfaat kepada semua pihak, khususnya bagi para pembaca
untuk memperluas wawasan dan juga pengetahuan mengenai pentingnya
karakter seorang konselor yang efektif. Maka, makalah ini berupaya
memberikan sedikit pengetahuan serta wawasan mengenai bagaimana
seharusnya menjadi konselor yang efektif.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna karena berbagai keterbatasan yang kami miliki. Oleh karena itu,
berbagai bentuk kritikan dan juga saran yang membantu akan sangat kami
harapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Penulis
I
DAFTAR ISI
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
D. Manfaat
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konselor
C. Pengertian Karakter
3
Zubaedi mengemukakan bahwa karakter dapat didefinisikan sebagai
panduan dari pada segala tabiat manusia yang bersifat tetap, sehingga
menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan
yang lain.
Suyanto dan Masnur Muslich menyatakan bahwa karakter yaitu cara
berfikir dan berperilaku seseorang yang menjadi ciri khas dari tiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam keluarga, masyarakat
dan negara.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
karakter adalah ciri khas seseorang dalam berperilaku dalam membedakan
dirinya dengan orang lain.
1. Memiliki Komitmen
Konselor yang efektif bersifat memelihara dan berafiliasi dengan
konseli. Konselor harus bersifat profesional dengan menghindari rasa
simpati yang berlebih kepada konseli. Konselor juga harus mendorong
konseli untuk menaati kesepakatan yang sudah disepakati, seperti
datang tepat waktu, memberikan pemberitahuan ketika membatalkan
janji, dan membayar biaya sebagaimana yang dinegosiasikan.
Konselor harus mampu membangun komitmen bersama konseli untuk
bekerja sama.
2. Dapat Membangun Kepercayaan dengan Konseli
Pengembangan kepercayaan dalam hubungan konseling sangat
penting. Tanggung jawab utama konselor adalah menawarkan
hubungan interpersonal bagi konseli yang cenderung menghasilkan
kepercayaan dengan cara memberikan perhatian yang hangat kepada
konseli.
3. Memiliki Empati
Empati mengacu pada kemampuan konselor untuk benar-benar
memahami konseli dari perspektif konseli. Empati berbeda dengan
simpati. Empati seorang konselor adalah mencoba untuk membuat
perasaan obyektif dari pengalaman konseli, bukan kekhawatiran, belas
4
kasihan, atau kesedihan mendalam konseli. Kegagalan empati dapat
digunakan seorang konselor untuk membuka peluang dalam proses
konseling jika seorang konselor mampu memahami dan mengenali
ketidaknyamanan konseli (Wolf,1988).
4. Mampu Menjaga Kerahasiaan
Hal yang cukup penting dan unik dari hubungan konseling
(dibandingkan dengan hubungan pribadi atau tidak resmi) adalah
pemeliharaan kerahasiaan untuk memastikan keamanan dan privasi.
Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang konselor profesional dan
efektif harus mampu memenuhi standar etika dalam melakukan
hubungan konseling dengan melindungi hak individu yang
memudahkan konseli untuk melakukan curhat rahasia pribadi. Dengan
demikian, konseli menjadi lebih terbuka dan mampu membicarakan
hal-hal yang belum pernah diungkapkan.
5
2. Unconditional positive regard (acceptance)
Penerimaan tanpa syarat atau respek kepada konseli harus mampu
ditunjukkan oleh seorang koselor kepada konselinya. Seorang
konselor harus dapat menerima bahwa orang-orang yang dihadapinya
mempunyai nilai-nilai sendiri, kebutuhan -kebutuhan sendiri yang lain
daripada yang dimiliki olehnya.
3. Empati
Empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana
merasakan perasaan orang lain. Secara sederhana, empati dapat
didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayangkan diri sendiri
berada pada tempat dan pemahaman yang dimiliki orang lain,
mencakup perasaan, hasrat, ide-ide, dan tindakan-tindakannya.Dalam
dunia konseling, pada dasarnya seorang konselor bekerja atas dasar
dan melalui proses empati. Pada proses konseling, baik konselor
maupun konseli dibawa keluar dari dalam dirinya dan bergabung
dalam kesatuan psikis yang sama. Emosi dan keinginan keduanya
menjadi bagian dari kesatuan psikis yang baru ini. Sebagai
konsekuensinya, masalah-masalah konseli akan ditimpakan kepada
seorang ”manusia baru”, dan dalam hal ini konselor menanggung
setengahnya. Stabilitas psikologis dari kejelasan pikiran, keberanian
dan kekuatan keinginan yang dimilki konselor akan menyusup
kedalam diri konseli, dan memberikan bantuan yang besar dalam
perjuangan kepribadiannya. Untuk itu seorang konselor harus
mempunyai empati.
1. Keterampilan Interpersonal.
Konselor yang efektif mampu mendemonstrasikan perilaku
mendengar, berkomunikasi, empati, kehadiran, kesadaran komunikasi
non verbal, sensitivitas terhadap kualitas suara, responsivitas terhadap
ekspresi, emosi, menstruktur waktu dan penggunaan bahasa.
2. Keyakinan dan sikap Personal
Kapasitas untuk menerima yang lain, yakin adanya potensi untuk
berubah, kesadaran terhadap pilihan etika dan moral. Sensitifitas
terhadap nilai yang dipegang oleh konseli dan diri. Kompeten dalam
bidang keyakinan dan sikap pribadi bukan hanya mengandung
beberapa cara memandang dunia, tetapi juga kesadaran diri yang
akurat terhadap dunia. Konseli mungkin memiliki rangkaian dan sikap
yang agak berbeda, dan terkadang menolak legitimasi bahwa apa
yang mereka terima merupakan cara konselor memandang sesuatu.
Untuk dapat mengatasi situasi semacam ini, konselor dituntut untk
6
mampu melepaskan diri dari posisi filosofisnya sendiri sebagai cara
agar para konseli mengetahui bahwa ia dapat menerima perspektif
yang berbeda.
3. Kemampuan Konseptual
Kemampuan untuk memahami dan menilai masalah konseli,
mengantisipasi konsekuensi tindakan di masa depan, memahami
proses kilat dalam kerangka skema konseptual yang lebih luas,
mengingat informasi yang berkenaan dengan konseli, dan
keterampilan dalam memecahkan masalah.
4. Ketegaran Personal
Tidak adanya kebutuhan pribadi atau keyakinan irasional yang
sangat merusak hubungan konseling, percaya diri, kemampuan untuk
menoleransi perasaan yang kuat atau tidak nyaman dalam hubungan
dengan konseli, batasan pribadi yang aman, tidak mempunyai
prasangka sosial dan etnosentrisme.
5. Menguasai Teknik
Pengetahuan tentang kapan dan bagaimana melaksanakan
pelayanan konseling, kemampuan untuk menilai efektivitas pelayanan
konseling, memahami dasar pemikiran dasar-dasar konseling dan
memiliki simpanan pengetahuan yang cukup.
6. Kemampuan untuk Paham dan Bekerja dalam Sistem Sosial
Termasuk kesadaran akan keluarga dan hubungan kerja dengan
konseli, pengaruh konselor kepada konseli, dan sensitifitas terhadap
dunia sosial konseli yang mungkin bersumber dari perbedaan gender,
etnis, atau kelompok umur.
7. Terbuka untuk Belajar dan Bertanya
Kompetensi ini mendasari semua kompetensi yang disebutkan di
atas. Sebab, merupakan hal yang penting bagi seorang konselor untuk
terus berusaha belajar dari konseli,dan berusaha secara aktif mencari
pengetahuan dan pemahaman dalam situasi dimana proses atau
hubungan konseling membawa mereka melampaui pengetahuan yang
mereka kuasai sekarang ini.
Studi dalam hal ini sudah cukup banyak. Dalam literatur pada umumnya
disebutkan karakteristik yang membedakan konselor efektif dan kurang
efektif dalam 3 dimensi yakni :
1. Pengalaman
Rogers berpendapat bahwa konselor yang berpengalaman lebih
selaras, empati, “unconditional positive regard”, dan lebih dapat
7
berkomunikasi. Gambaran diatas menunjukkan bahwa makin banyak
dan baik pengalaman seorang konselor, maka akan semakin efektif
kegiatan konselingnya.
2. Tipe-tipe hubungan dan konseling
Fiedler, Seeman, Parloff, dan Rogers menyatakan bahwa
efektivitas konseling berhubungan erat dengan tipe hubungan yang
dibangun oleh konselor dalam suatu konseling. Konselor yang ahli
akan mampu untuk : (a) berkomunikasi dengan baik dan memahami
konseli, (b) menjaga jarak dan emosi dengan konseli, (c) memahami
statusnya sebagai konselor.
3. Faktor-faktor non intelektual
Konselor yang efektif ditandai oleh adanya :
Konsep diri, motivasi, nilai-nilai, empati dan presepsi konselor
Penampilan menurut standar tes kepribadian dan tes minat
1. Perilaku Verbal :
Efektif Tidak efektif
Menggunakan kata-kata yang dapat
Memberi nasihat
dipahami klien
Terus menerus menggali
Memberikan refleksi dan penjelasan
dan bertanya terutama
terhadap pernyataan klien
bertanya “mengapa”
8
Bersifat menentramkan
Penafsiran yang baik/sesuai
klien
Membuat kesimpulan-kesimpulan Menyalahkan klien
Merespon pesan utama klien Menilai klien
Memberi dorongan minimal Membujuk klien
Memanggil klien dengan nama panggilan
Menceramahi
atau “Anda”
Memberi informasi sesuai keadaan Mendesak klien
Terlalu banyak berbicara
Menjawab pertanyaan tentang diri konselor
mengenai diri sendiri
Menggunakan humor secara tepat tentang Menggunakan kata-kata
pernyataan klien yang tidak dimengerti
Penafsiran yang
Penafsiran yang sesuai dengan situasi
berlebihan
Sikap merendahkan klien
Sering menuntut/meminta
klien
Menyimpang dari topik
Sok intelektual
Analisis yang berlebihan
Selalu mengarahkan klien
9
Menggoyang-goyangkan
Ucapan tidak terlalu cepat/lambat
jari
Duduk agak condong ke arah klien Menguap
Sentuhan (touch) disesuaikan dengan usia Gerak-gerak isyarat yang
klien dan budaya lokal mengacaukan
Menutup mata atau
Air muka ramah dan senyum
mengantuk
Nada suara tidak
menyenangkan
Membuang pandangan
10
tentang orang lain atau konseli (konselor akan lebih mampu
mengenal diri orang lain secara tepat pula).
b. Konselor yang terampil dalam memahami dirinya, maka dia
akan terampil juga memahami orang lain.
c. Konselor yang memahami dirinya, maka dia akan mampu
mengajar cara memahami diri itu kepada orang lain.
d. Pemahaman tentang diri memungkinkan konselor untuk
dapat merasa dan berkomunikasi secara jujur dengan
konseli pada saat proses konseling berlangsung.
e. Konselor menyadari dengan baik tentang perasaan-
perasaannya. Perasaan-perasaan itu seperti : rasa marah,
takut, bersalah, dan cinta. Ketidaksadaran konselor akan
perasaannya dapat berakibat buruk terhadap proses
konseling.
f. Konselor menyadari tentang apa yang membuat dirinya
cemas dalam konseling, dan apa yang menyebabkan dirinya
melakukan pertahanan diri dalam rangka mereduksi
kecemasan tersebut.
g. Konselor memahami atau mengakui kelebihan (kekuatan)
atau kelemahan (kekurangan) dirinya.
Dalam Kesehatan Pskilogis yang Baik
Konselor dituntut untuk memiliki kesehatan psikologis yang
lebih baik dari konselinya. Hal ini penting karena mendasari
pemahamannya terhadap perilaku dan keterampilan. Ketika
konselor memahami bahwa kesehatan psikologis yang
dikembangkan melalui konseling, maka dia membangun proses
konseling tersebut secara lebih positif. Apabila konselor tidak
mendasarkan konseling tersebut kepada pengembangan kesehatan
psikologis, maka dia akan mengalami kebingungan dalam
menetapkan arah konseling yang ditempuhnya. Konselor
merupakan model dalam berperilaku, apakah dia menyadarinya
atau tidak. Setiap pertemuan konseling merupakan suatu periode
pengawasan yang begitu intensif terhadap tingkah laku yang
adaptif. Ketika konselor kurang memiliki kesehatan psikologis,
maka perannya sebagai model berperilaku bagi klien menjadi tidak
efektif, bahkan dapat menimbulkan kecemasan bagi konseli.
Apabila itu terjadi, maka konselor bukan berperan sebagai
penolong dalam memecahkan masalah, tetapi justru sebagai
pemicu masalah konseli. Kesehatan psikologis konselor yang baik
sangat berguna bagi hubungan konseling. Karena apabila konselor
kurang sehat psikisnya, maka dia akan teracuni atau terkontaminasi
11
oleh kebutuhan-kebutuhan sendiri, persepsi yang subjektif, nilai-
nilai yang keliru, dan kebingungan.
Bersikap Jujur
Yang dimaksud jujur disini adalah bahwa konselor itu bersikap
transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuine). Sikap jujur ini
penting dalam konseling, karena alasan-alasan berikut. Sikap
keterbukaan memungkinkan konselor dan konseli untuk menjalin
hubungan psikologis yang lebih dekat satu sama lainnya di dalam
proses konseling. Konselor yang menutup atau menyembunyikan
bagian-bagian dirinya terhadap konseli dapat menghalangi
terjadinya relasi yang lebih dekat. Kedekatan hubungan psikologis
sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan
hubungan yang langsung dan terbuka antara konselor dengan
konseli. Apabila terjadi ketertutupan dalam konseling dapat
menyebabkan merintangi perkembangan konseli. Konselor yang
jujur memiliki karakteristik sebagai berikut.
a. Bersikap kongruen, artinya sifat-sifat dirinya yang
dipersepsi oleh dirinya sendiri (real self) sama sebangun
dengan yang dipersepsi oleh orang lain (public self).
b. Memiliki pemahaman yang jelas tentang makna kejujuran.
Bersikap Hangat
Yang dimaksud bersikap hangat itu adalah ramah, penuh
perhatian, dan memberikan kasih sayang. Konseli yang datang
meminta bantuan konselor, pada umumnya adalah orang yang
kurang mengalami kehangatan dalam hidupnya, sehingga dia
kehilangan kemampuan untuk bersikap ramah, memberikan
perhatian, dan kasih sayang. Melalui konseling, konseli ingin
mendapatkan rasa hangat tersebut dan melakukan “sharing” dengan
konselor. Apabila hal itu diperoleh, maka konseli dapat mengalami
perasaan yang nyaman.
Aktif Responsif
Keterlibatan konselor dalam proses konseling bersifat dinamis,
tidak pasif. Melalui respon yang aktif, konselor dapat
mengomunikasikan perhatian dirinya terhadap kebutuhan konseli.
Disini, konselor mengajukan pertanyaan yang tepat, memberikan
umpan balik yang bermanfaat, memberikan informasi yang
berguna, mengemukakan gagasan-gagasan baru, berdiskusi
dengan konseli tentang cara mengambil keputusan yang tepat, dan
membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses konseling.
Tingkatkan Kepekaan
Kualitas ini berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya
dinamika psikologis yang tersembunyi atau sifat-sifat mudah
12
tersinggung, baik pada diri konseli maupun dirinya sendiri. Konseli
yang datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak
menyadari masalah yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan ada
yang tidak menyadari bahwa dirinya bermasalah. Pada diri mereka
hanya nampak gejala-gejalanya (pseudo masalah), sementara yang
sebenarnya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. Konselor
yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganalisis apa
masalah sebenarnya yang dihadapi konseli. Konselor yang sensitif
memiliki kualitas perilaku berikut.
a. Sensitif terhadap reaksi dirinya sendiri.
b. Mengetahui kapan, dimana, dan berapa lama mengungkap
masalah klien (probing).
c. Mengajukan pertanyaan tentang persepsi konseli tentang
masalah yang dihadapinya.
d. Sensitif terhadap sifat-sifat mudah tersinggung dirinya.
Menjadi Pribadi yang Dapat dipercaya
Artinya seorang konselor bukan sebagai suatu ancaman bagi
konseli dalam konseling, namun sebagai pihak yang memberikan
rasa aman dapat dipercaya dapat diwujudkan dalam hal sebagai
berikut :
a. Menepati janji dalam setiap perjanjian konseling.
b. Dapat menjamin kerahasiaan konseli.
c. Bertanggung jawab terhadap semua ucapannya dalam
konseling.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
McLeod, John. 2006. Pengantar Konseling : Teori dan Studi Kasus. Jakarta :
Kencana.
15