WARSONO (22020119183164)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan sarana untuk menangani masalah kesehatan, pemulihan,
serta pemeliharaan kesehatan. Sebagai layanan masyarakat, rumah sakit mempunyai
kegiatan berupa unit pelayanan gawat darurat, rawat inap, ruang operasi, dan pelayanan
penunjang seperti radiologi, laboratorium, farmasi, dan lain – lain. Rumah sakit diharapkan
mampu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan baik untuk masyarakat dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Rumah sakit merupakan tempat yang
berisiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) serta Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan
pekerja rumah sakit mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja
industri lain untuk terjadinya penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja
(Kementerian Kesehatan, 2010).
Perawat merupakan petugas kesehatan dengan presentasi terbesar dan memegang
peranan penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. WHO (2013) mencatat, dari 39,47
juta petugas kesehatan di seluruh dunia, 66,7%-nya adalah perawat. Di Indonesia, perawat
juga merupakan bagian terbesar dari tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit yaitu
sekitar 47,08% dan paling banyak berinteraksi dengan pasien (Depkes RI, 2014). Ada
sekitar dua puluh tindakan keperawatan, delegasi, dan mandat yang dilakukan dan yang
mempunyai potensi bahaya biologis, mekanik, ergonomik, dan fisik terutama pada
pekerjaan mengangkat pasien, melakukan injeksi, menjahit luka, pemasangan infus,
mengambil sampel darah, sputum dan memasang kateter.
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari Rumah Sakit yang mandiri (instalasi
di bawah direktur pelayanan) dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus
dengan tujuan untuk terapi pasien - pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit -
penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis
dubia.
Pelayanan ICU, saat ini, tidak terbatas hanya untuk menangani pasien pasca-bedah saja
tetapi juga meliputi berbagai jenis pasien dewasa, anak, yang mengalami lebih dari satu
disfungsi/gagal organ. Kelompok pasien ini dapat berasal dari Unit Gawat Darurat, Kamar
Operasi, Ruang Perawatan, ataupun kiriman dari Rumah Sakit lain.2 Ilmu yang
diaplikasikan dalam pelayanan ICU, pada dekade terakhir ini telah berkembang sedemikian
rupa sehingga telah menjadi cabang ilmu kedokteran tersendiri yaitu “Intensive Care
Medicine”. Meskipun pada umumnya ICU hanya terdiri dari beberapa tempat tidur, tetapi
sumber daya tenaga (dokter dan perawat terlatih) yang dibutuhkan sangat spesifik dan
jumlahnya pada saat ini di Indonesia sangat terbatas.
Penelitian di negara berkembang seperti India, Sandeep, Shreemathi, Kalyan, Teddy,
Kapil, dan Prachi (2016) melaporkan dalam 1 tahun terakhir 5,4% perawat rumah sakit di
India mengalami luka akibat tertusuk jarum suntik, 7,4% mengalami varises, dan 56,9%
mengalami stress kerja. Situasi menegangkan yang sering dialami perawat adalah tindakan
kekerasan dan pelecehan dari pasien. Sementara itu data-data tentang kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja pada petugas kesehatan rumah sakit di Indonesia belum tercatat dan
dilaporkan dengan baik, hal ini mengindikasikan penerapan Kesehatan dan Keselamatan
Kerja di rumah sakit di Indonesia masih memerlukan upaya perbaikan.
Berdasarkan uraian di atas, penyusunan makalah ini ditujukan untuk
mengidentifikasi penyakit dan kecelakaan akibat kerja yang ada di rumah sakit, khususnya
di ruang Intensive Care Unit (ICU). Analisa terhadap potensi tersebut akan dikaitkan dengan
konsep dan teori, serta penelitian-penelian yang ada. Selanjutnya dari analisis tersebut akan
dirumuskan penyelesaian masalah, sehingga diharapkan upaya penerapan manajemen
resiko bisa dilakukan secara optimal.
B. Tujuan Khusus
1. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu mengenal penyakit dan kecelakaan akibat
kerja yang ada di rumah sakit
2. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu mengidentifikasi penyakit dan kecelakaan
akibat kerja yang ada di ruang icu
3. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu mengenal sistem pengendalian penyakit
dan kecelakaan akibat kerja yang sudah dilakukan di rumah sakit khususnya di ruang
icu
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat
kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian, penyakit akibat
kerja merupakan penyakit yang artifisual atau man made disease. Sejalan dengan
hal tersebut terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa Penyakit Akibat Kerja
(PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani maupun rohani yang ditimbulkan
ataupun diperparah karena aktivitas kerja atau kondisi yang berhubungan dengan
pekerjaan.( Hebbie Ilma Adzim, 2013).
Sedangkan kecelakaan akibat kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor 03/Men/98 adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga
semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda. OHSAS
18001:2007 menyatakan bahwa kecelakaan kerja didefinisikan sebagai kejadian
yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan cidera atau
kesakitan (tergantung dari keparahannya), kejadian kematian, atau kejadian yang
dapat menyebabkan kematian. Kejadian yang dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan atau yang berpontensi menyebabkan merusak lingkungan. Selain itu,
kecelakaan kerja atau kecelakaan akibat kerja adalah suatu kejadian yang tidak
terencana dan tidak terkendali akibat dari suatu tindakan atau reaksi suatu objek,
bahan, orang, atau radiasi yang mengakibatkan cidera atau kemungkinan akibat
lainnya (Heinrich et al., 1980).
B. PENYEBAB
Tedapat beberapa penyebab Penyakit dan Kecelakaan Kerja yang umum terjadi di
Ruang ICU, berikut ini beberapa jenis yang digolongkan berdasarkan penyebab dari
penyakit yang ada di tempat kerja:
1. Penyebab Fisik
a Mekanik
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
1) Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk,
terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk salah
satu yang paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu
tertusuk jarum suntik / jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini
sebenarnya bukan hanya resiko bahaya fisik karena dimungkinkan
jarum bekas yang menusuk tersebut terkontaminasi dengan kuman
dari pasien. Mengingat bahaya akibat tertular penyakit tersebut
cukup besar, maka harus ada prosedur tindak lanjut paska tertusuk
jarum yang akan dibahas dibagian lain dalam pelatihan ini.
2) Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui
di rumah sakit banyak digunakan kereta dorong untuk mengangkut
pasien dan barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah
pasien jatuh dari brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta
dorong, dan lain-lain.
3) Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi
dimana saja meskiput kejadiannya tidak terlalu sering. Hal-hal yang
perlu diperhatikan terutama di ruang perawatan anak dan ruang
perawatan jiwa. Pastikan tidak ada pintu, jendela atau fasilitas lain
yang memiliki resiko untuk terjepit/tenggelam tersebut.
4) Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung, dan
lain-lain. Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di
koridor, ramp atau batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang
beresiko licin sudah ditandai dan jika perlu pasanglah handriil atau
pemasangan alat lantai anti licin serta rambu peringatan “awas
licin”.
5) Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak
dan jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi
bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika
pekerjaan dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya
pekerja tersebut menggunakan abuk keselamatan. Pada ruang
perawatan anak dan jiwa yang terletak di lantai atas pastikan jendela
yang ada sudah terpasang teralis pengaman dan anak-anak selalu
dalam pengawasan orang dewasa saat bermain.
b Resiko Bahaya Radiasi
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi, peserta
didik, pengunjung dan pasien hamil. Pekerja radiasi harus sudah
mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi dan cara
pengendaliannya. Selain APD yang baik, monitoring tingkat paparan radiasi
dan kepatuhan petugas dalam pengendalian bahaya radiasi merupakan hal
yang penting. Sebagai indikator tingkat paparan, semua pekerja radiasi
harus memakai personal dosimetri untuk mengukur tingkat paparan radiasi
yang sudah diterima sehingga dapat dipantau dan tingkat paparan tidak
boleh melebihi ambang batas yang diijinkan. Untuk pengunjung dan pasien
hamil hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau terapi radiasi terpasang
rambu peringatan “Awas bahaya radiasi, bila hamil harus melapor kepada
petugas”. Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
1) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel
yang mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung.
Contoh di rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan
kedokteran nuklir.
2) Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan
energi yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah
atau radiasi gelombang mikro.
c Resiko Bahaya Akibat Kebisingan
Resiko kebisingan diakibatkan alat kerja atau lingkungan kerja yang
melebihi ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin berada di ruang boiler,
generator listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-alat cukup besar
dimana tingkat kebisingannya tidak dipantau dan dikendalikan. Berdasar
peraturan menteri kesehatan RI no 1204 tahun 2004 tentang pengendalian
lingkungan fisik di rumah sakit, seluruh area pelayanan pasien harus
dipantau dan dikendalikan tingkat kebisingannya minimal 3 bulan sekali. Di
rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS dan hasil temuan
yang tidak memenuhi persyaratan di analisa dan dikendalikan bersama
IPSRS dan Unit K3 serta dilaporkan kepada Manajemen rumah sakit.
d Resiko Bahaya Akibat Pencahayaan
Resiko pada lingkungan kerja dengan pencahayaan yang kurang atau
berlebih. Tingkat pencahayaan di seluruh area rumah sakit juga telah
dipantau dan dilaporkan seperti resiko bahaya kebisingan tersebut. Hal yang
harus diperhatikan adalah jika terjadi kerusakan lampu, pastikan lampu
pengganti setara tingkat pencahayaannya dengan lampu sebelumnya,
sehingga tidak terjadi perubahan dalam tingkat pencahayaan pada area
tersebut.
e Resiko Bahaya Listrik
Resiko yang diakibatkan oleh bahaya konsleting listrik dan kesetrum arus
listrik. Pengendalian yang telah dilakukan adalah melakukan preventif
maintenance seluruh peralatan elektrik yang dilakukan oleh IPSRS.
Kalibrasi peralatan medis dan penggantian peralatan yang telah out off date.
Untuk mencegah bahaya kebakaran akibat peralatan listrik yang dibawa
peserta didik dan keluarga pasien dilakukan sosialisasi kepada seluruh
peserta didik pada saat orientasi dan untuk keluarga pasien informasi
diberikan pada saat pasien masuk rumah sakit khususnya pasien rawat inap.
f Resiko Bahaya Akibat Iklim Kerja
Resiko yang berhubungan dengan suhu ruangan dan tingkat kelembaban.
Jika suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan dapat
mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja. Pemantauan secara
berkala telah dilakukan oleh ISLRS dan jika ditemukan kondisi tidak
memenuhi peresyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit
K3RS dan ISLRS yang dipimpin oleh Direktur Umum dan Operasional.
g Resiko Bahaya Akibat Getaran
Resiko ini tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin masih ada
terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan motor listrik
dan pada bagian housekeeping/rumah tangga yang menggunakan mesin
pemotong rumput (bagian taman).
2. Biologi
a Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di
rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau Infeksi
Rumah Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi
Lingkungan RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung
kepada pasien.
b Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini
dikendalikan oleh ISLRS dan harus didukung dengan housekeeping yang
baik dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.
3. Kimia
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan
seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pengadaan B3,
penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan
pembuangan limbahnya. Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai
dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib menyertakan
Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS),
petugas yang mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3,
serta mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3. Penyimpanan B3 harus
terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas palet atau didalam lemari
B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia MSDS, safety shower, APD
sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk menangani tumpahan B3 serta tersedia
prosedur penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3. Pelabelan dan pengemasan
ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang kompeten untuk memjamin
kualitas B3 dan keakuratan serta standar pelabelan. Dilarang melakukan
pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit.
Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke lingkungan
serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus memiliki pelatihan
teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan sesuai prosedur yang
berlaku. Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor
yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3 padat
harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS B3), untuk
selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.
1) Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang
meliputi: Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk
dekontaminasi lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti;
mengepel lantai, desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan
ruangan, dan lain-lain.
2) Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan
mencuci permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan
lain-lain.
3) Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan
peralatan lainnya.
4) Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5) Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk
pengobatan pasien.
6) Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen,
nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
Terjadinya kecelakaan di Rumah Sakit bisa datang dari unsafe act factor ataupun unsafe
condition factor. Unsafe act misalnya datang dari sikap dan tingkah laku pekerja yang kurang
baik, kurang pengetahuan dan ketrampilan, cacat tubuh yang tidak terlihat, keletihan kelesuan,
dan sebagainya. Sementara untuk unsafe condition karena mesin yang atau alat yang
digunakan, lingkungan kerja, proses kerja, sifat pekerjaan, cara kerja, dsb. Beberapa regulasi
yang mengatur mengenai pelaksanaan K3 di Rumah Sakit diataranya UU nomor 1 tahun 1970
tentang keselamata kerja, Permenkes nomor 432/Menkes/SK/IV/2007 tentang pedoman
Manajemen K3 Rumah Sakit, Permenkes nomor 432/Menkes/SK/VIII/2010 tentang Standar
K3 Rumah Sakit. Dimana secara keseluruhan memiliki tujuan spesifik mengenai K3 Rumah
Sakit yaitu untuk terciptanya cara kerja yang sehat, lingkungan kerja yang aman, nyaman dan
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan Rumah Sakit.
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi
dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan perlengkapan khusus yang ditujukan untuk
observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-
penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia.
Ruang ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta peralatan khusus untuk
menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan ketrampilan staf medik, perawat dan staf
lain yang berpengalaman dalam pengelolaan keadaan-keaadaan tersebut.
Beberapa Penyakit dan Kecelakaan Akibat Kerja yang mungkin terjadi di Ruang ICU, antara
lain:
Beberapa alat dengan resiko bahaya di ruang ICU: Defibrilator (resiko bahaya fisik:
listrik); bed pasien, trolly emergency (resiko bahaya fisik: mekanik)
BAB IV PEMBAHASAN
Penyakit akibat kerja di rumah sakit ruang Intensif Care Unit (ICU) umumnya berkaitan
dengan faktor biologi (kuman patogen yang umumnya berasal dari pasien, penularan penyakit
melalui airborne, droplet dan kontak), faktor kimia (antiseptik pada kulit, disinfektan), faktor
ergonomi (angkat dan angkut, posisi duduk/membungkuk lama, body mass pasien, yaitu
ukuran fisik perawat-pasien yang timpang ketika perawat melakukan personal hygiene,
perawatan luka, melakukan tindakan RJP/pemasangan ETT dengan posisi kurang tepat, dsb),
faktor fisika (terkena benda tajam, lancip, panas, bahaya listrik spt penggunaan DC Shock tidak
sesuai SPO).
A. Bahaya Biologi
Bahaya Biologi adalah penyakit atau gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh
mikroorganisme hidup seperti bakteri, virus, riketsia, parasit dan jamur. Sedangkan infeksi
nosokomial adalah suatu keadaan infeksi yang diperoleh dari dalam lingkungan rumah sakit,
dapat merupakan suatu infeksi endogen yang berasal dari penderita sendiri atau suatu
infeksi eksogen yang berasal dari luar penderita.
Upaya pencegahan infeksi di rumah sakit ruang Intensif terdiri dari penerapan 2
tingkat kewaspadaan, yaitu kewaspadaan universal dan kewaspadaan khusus.
1. Kewaspadaan Universal :
Prinsip utama prosedur kewaspadaan universal pelayanan kesehatan adalah menjaga
higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip
tersebut dijabarkan menjadi 5 (lima) kegiatan pokok yaitu :
a. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang
b. Pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan guna
mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain,
c. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
d. Pengelolaan jarum suntik dan alat tajam untuk mencegah perlukaan
e. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan
b. Influenza :
Adalah penyakit infeksi saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus
influenza, yang penularannya dapat melalui batuk, bersin, dan tangan yang tidak
dicuci setelah kontak dengan cairan hidung/mulut.
Gejala-gejala influenza dapat berupa : Demam, kedinginan, mata
kemerahan, otot/tulang sakit, batuk, hidung berair yang mungkin menetap selama 1-2
minggu setelah gejala lain hilang.
1) Ketentuan Umum Pencegahan :
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).
b) Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan berkala, seminar
ilmiah, leaflet/brosur, poster dan lain-lain.
c) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan pemeriksaan
kesehatan berkala .
d) Melakukan pengaturan/pemisahan penderita untuk menghindari
terjadinya penularan.
e) Melaksanakan kewaspadaan universal (Universal Precaution =UP).
f) Instruksikan pada pasien untuk tutup mulut saat batuk/bersin.
2) Tindakan yang harus dilakukan :
a) Mengupayakan ventilasi dan pencahayaan yang baik dalam ruang perawatan,
ruang konseling. Tempatkan pasien pada ruang tersendiri dan atau bersama
pasien lain dengan ruang kerja lainnya.
b) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja pada air yang mengalir atau alcuta.
c) Menggunakan alat pelindung kerja seperti masker N 95 bila berada/bekerja
dengan jarak kurang dari 1 m dari pasien, dan sarung tangan.
d) Mel akuka n t i ndaka n desi nfeksi , dekontaminasi dan sterilisasi,
terhadap berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja, lantai dan lain-lain
terutama bila terkena bahan infeksi.
e) Mel a ks an ak a n pen a n gan a n dan pengolahan limbah dengan cara yang
benar, khususnya limbah infeksi.
f) Melaksanakan pemeriksaan kesehatan secara berkala termasuk pemeriksaan
radiologi.
g) Memberikan pengobatan yang adekuat pada pasien.
c. Hepatitis
Adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV), yang
manifestasinya dapat sebagai Hepatitis B akut maupun dalam bentuk sebagai pengidap
(karier) kronik HBsAg. Cara penularannya dapat melalui darah atau cairan tubuh
lainnya dari penderita HBV maupun pengidap HBsAg. Gejala penyakitnya dapat
berupa demam, lemah, mual/muntah, rasa tak enak di epigastrium dan
kem ungki na n di sert a i i kt eri k .
1) Ketentuan Umum Pencegahan :
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).
b) Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan berkala, seminar
ilmiah, sel ebaran , post er dan l ai n -l ai n .
c) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan pemeriksaan
kesehatan berkala .
d) Melakukan pengaturan/pemisahan pasien untuk menghindari terjadinya
penularan.
e) Tutuplah luka bila ada.
d. Resistensi
Adalah suatu keadaan dimana mikroba sudah tidak peka lagi terhadap
antimikroba pada pemberian yang rasional. Resistensi di instalasi farmasi dan
intensif care dapat terjadi karena kita menghirup atau terpajan antimikroba atau
sitostatika dalam pembuatan dan peracikan obat. Ciri-ciri resistensi adalah bila kita
terinfeksi dengan mikroba tertentu kemudian diberi antimikroba yang sesuai namun
tidak memberikan respon yang positif.
1) Ketentuan Umum Pencegahan :
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).
b) Melakukan pekerjaan dengan sarana dan prasarana yang memenuhi syarat.
c) Memberikan pengetahuan tentang resistensi serta bahaya resistensi terhadap
tubuh.
d) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan sesudah bekerja
secara berkala.
2) Tindakan yang harus dilakukan :
a) Cuci tangan sebelum bekerja.
b) Gunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker, baju lab, tutup kepala
sebelum bekerja.
c) Bekerja pada tempat yang memenuhi syarat.
d) Laporkan hasil pemeriksaan berkala.
e) Jika terjadi kelainan maka perlu dilakukan tindak lanjut pekerjaan.
f) Berikan pengobatan sesuai dengan standar medis.
B. Bahaya Kimia
Adanya zat-zat kimia di rumah sakit dapat menimbulkan bahaya bagi pasien,
maupun bagi para pekerjanya, baik bagi para dokter, perawat, teknisi dan semua yang
berkaitan dengan pengelolaan rumah sakit terutama ruang ICU.
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi:
1. Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi lingkungan
dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi peralatan dan
permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2. Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci
permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3. Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan peralatan
lainnya.
4. Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5. Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan pasien.
6. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan penunjang
pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit oxide, nitrous
oxide, dan lain-lain.
Gas Oksigen
a. Sifat-sifat oksigen : Stabil pada suhu dan tekanan normal, berbentuk gas dan cair,
bersifat oksidator, membantu pembakaran, tidak berwarna, sedikit berbau dan
tidak berasa. Berat molekul = 31.9988 gr/mol, titik didih pada 1 Atm = -
182,920C, dapat larut di alkohol.
c. Bahaya : Ledakan.
1) Bahaya : Bisa menimbulkan ledakan, pecahnya tabung silinder.
2) Pencegahan : jauhkan dari api atau sumber panas lainnya, terutama pada tabung
bertekanan tinggi (150 atm) dapat meledak/pecah jika terkena panas tinggi,
pasang safety.
d. Pemaparan : Inhalasi.
1) Gejala akut: Menyebabkan iritasi, pusing jika terhirup oksigen murni dalam
jumlah besar.
2) Pencegahan : Hindari hirup O2 dalam jumlah besar, Pindahkan, jika ada tabung
bocor.
3) Pertolongan pertama : Bawa penderita ke tempat yang segar dan istirahatkan.
e. Pemaparan : Kulit.
1) Gejala akut : Kulit melepuh atau luka beku karena pengaruh dingin jika terkena
O2 cair.
2) Pencegahan : Pakai sarung tangan, sepatu pelindung, hindari kontak kulit
dnegan O2 cair.
3) Pertolongan pertama : Siram dengan air hangat (30-400C) pada bagian kulit
yang terbakar atau luka.
f. Pemaparan : Mata
1) Gejala akut: Penglihatan kabur dan iritasi mata.
2) Pencegahan : Pakai pelindung mata saat menangani O2 cair.
3) Pertolongan pertama : Bilas mata dengan air bersih ± 15 menit.
g. Penyimpanan :
1) Harus dijauhkan dari minyak, oli, gemuk, dan bahan lain yang mudah terbakar
2) Harus dijauhkan dari suhu/panas yang tinggi karena bisa meledak jika terkena
panas yang tinggi
3) Harus dijauhkan dari zat-zat yang dapat menyebabkan terjadinya karatan atau
kerusakan.
C. Bahaya Ergonomi
Risiko bahaya ergonomik, yang merupakan hasil dari ketidak sesuaian antara
kapasitas atau kemampuan pekerja dengan cara kerja dan lingkungan kerjanya.
permasalahan ergonomik di instalasi perawatan intensif berkaitan dengan postur,
kekuatan dan frekuensi (posture, force, and frequency).
Permasalahan ergonomik di instalasi perawatan intensif bisa diidentifikasi berdasarkan:
1. Rutinitas dan pendistribusian, seperti Angkat dan angkut, posisi
duduk/membungkuk lama saat melakukan pemasangan infus atau tindakan
keperawatan, ketidak sesuaian antara peralatan dan postur tubuh perawat (saat
memberikan makanan via NGT posisi tangan terus diangkat), selisih body mass
pasien dengan ukuran fisik perawat (ketika perawat melakukan personal
hygiene, perawatan luka,memindahkan pasien dari brankar ke tempat tidur),
saat melakukan RJP/pemasangan ETT dengan posisi kurang tepat.
2. Permasalahan ergonomik lainnya adalah yang berhubungan dengan lingkungan
kerja seperti display unit, yaitu penataan ruang kerja termasuk pencahayaan dan
warna nya yang apabila tidak ergonomik akan menimbulkan masalah dan
kecelakaan kerja. Spt tinggi tangga lantai dengan langit-langit yang terlalu
rendah.
3. Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah masalah manajemen waktu
dan hubungan antar manusia dilingkungan pekerjaannya.
Pengendalian ergonomik
Pengendalian ergonomik dipakai untuk menyesuaikan tempat kerja dengan
pekerja. Pengendalian ergonomik berusaha mengatur agar tubuh pekerja berada di
posisi yang baik dan mengurangi risiko kerja. Pengendalian ini harus dapat
mengakomodasi segala macam pekerja. Pengendalian ergonomik dikelompokkan
dalam tiga kategori utama, yang disusun sesuai dengan metoda yang lebih baik dalam
mencegah dan mengendalikan risiko ergonomik.
1. Pengendalian teknik adalah metoda yang lebih diutamakan karena lebih permanen
dan efektif dalam menghilangkan risiko ergonomi.
Pengendalian teknik yang bisa dilakukan adalah memodifikasi, mendesain kembali
tata ruang atau mengganti tempat kerja, bahan/objek/desain tempat penyimpan dan
pengoperasian peralatan di ruang ICU
2. Pengendalian administratif yang berhubungan dengan bagaimana pekerjaan disusun,
seperti : jadwal kerja, penggiliran kerja dan waktu istirahat, program pelatihan dan
serta program perawatan dan perbaikan.
3. Pengendalian cara kerja yang berfokus pada cara pekerjaan dilakukan, yakni:
menggunakan mekanik tubuh yang baik dan menjaga tubuh untuk berada pada posisi
netral.
D. Bahaya Fisika
Faktor fisika merupakan salah satu beban tambahan bagi pekerja di rumah sakit
yang apabila tidak dilakukan upaya-upaya penanggulangannya dapat menyebabkan
penyakit akibat kerja. Faktor fisika di ICU terdiri dari mekanik, bising, listrik, dan
radiasi.
1. Mekanik
a. Potensial bahaya : Tertusuk jarum suntik, Terjepit benda bergerak (trolly
emergency, bed pasien, trolly tindakan), Terpeleset karena lantai licin.
b. Pengendalian resiko bahaya :
1) Perlunya diadakan pelatihan APD untuk mencegah NSI (Needle Stick Injury)
dan menghindari adanya double shift dan overtime yang tidak diperlukan
untuk menghindari kelelahan kerja pada perawat (Hasil penelitian RSUD
Pasar Rebo, Jakarta timur nopemver 2017 tentang Analisis Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Needle Stick Injury Di Ruang Instalasi Gawat
Darurat Dan Ruang Intensive Care, sumber : Jurnal Keperawatan Respati
penggunaan safety box limbah tajam dan tidak menutup kembali melainkan
langsung dibuang ke safety box.
2) Pemasangan keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring,
pemasangan rambu “awas licin”.
2. Bising
a. Potensial bahaya: Suara monitor atau alarm ventilator`
b. Pengendalian resiko bahaya : Suara monitor disetting sesuai dengan standar.
Segera mencari penyebab dan selesaikan masalah mengapa alarm berbunyi
3. Listrik
a. Potensial bahaya :
1) Hampir semua alat-alat di ICU terhubung dengan sumber listrik
2) Resiko tersetrum listrik dari stop kontak yang terbuka atau kabel yang terurai
ke lantai atau saat operasional DC Shock melakukan kardioversi/Defibrilasi tidak
sesuai dengan SPO, sehingga petugas/perawat ikut terkena strum aliran listrik.
b. Keluhan : Terasa panas dan kedutan
c. Walk through survey : Adanya aliran listrik yang tidak terpelihara
d. Efek Kesehatan : Luka bakar ditempat tersengat aliran listrik, Kaku pada otot
ditempat yang tersengat listrik, Tahanan tubuh membesar
e. Pengendalian, Enginering
1) Pemasangan grounding (pertanahan) sesuai ketentuan.
2) Pengukuran jaringan/instalasi listrik
3) NAB bocor arus 50 miliamper, 60 Hz (sakit)
4) Pemasangan pengamanan/alat pengamanan sesuai ketentuan
5) Pemasangan tanda-tanda bahaya dan indikator
4. Radiasi
Intensive care unit (ICU) adalah pelayanan rumah sakit yang diperuntukkan dan di
tentukan oleh kebutuhan pasien yang sangat kritis. Tujuan dari pelayanan ICU adalah
memberikan pelayanan medic yang berkelanjutan. SK BAPETEN No
1/P/K.A.BAPETEN/IV/1999 untuk keselamatan kerja operasional radiologi
diagnostik. Jarak titik aman Hand swich (titik sumber sejauh 3 meter dengan ketentuan
nilai batas dosis (NBD) untuk pekerja sebesar 10 μSv/jam, NBD untuk masyarakat
umum 0,5 μSv/jam.
Penggunaan radiasi sinar X untuk keperluan medis fotografi, sering pula
dilakukan di ruangan ICU yang pada ruangan tersebut terdapat pasien lain, petugas
ICU, dan petugas radiologi sendiri serta ruangan tersebut tanpa dilengkapi dengan
proteksi radiasi. Dengan demikian diperlukan upaya yang terus menerus untuk
melakukan kegiatan keselamatan dan kesehatan kerja dalam medan radiasi pengion
melalui tindakan proteksi radiasi. Paparan dosis yang didapat akan dibandingkan
dengan nilai batas dosis (NBD) yang di perbolehkan SK BAPETEN No.1 P/K.A.
BAPETEN IV Tahun 1999 untuk keselamatan pekerja sebesar 10 Sv/jam, NBD untuk
masyarakat umum 0,5 Sv/jam.
Radiasi dibagi menjadi :
Radiasi pengion
Radiasi pengion mempunyai kemampuan untuk melepas elektron dari orbitnya pada
suatu atom membentuk suatu ion. Termasuk disini : Sinar X, Sinar Gamma, Sinar
Kosmis, Sifat radioaktifitas yang berasal dari mineral
a. Efek Kesehatan
Efek radiasi terhadap kesehatan dapat akut atau kronik
1) Radiasi yang akut dapat menimbulkan : Sindrom sistem syaraf pusat,
Gangguan gastrointestinal, Gangguan sistem hemopeoetik
2) Radiasi yang kronik menimbulkan : Leukomogenesis, Karsiogenesis,
Kerusakan genetik
Efek kesehatan ini tergantung dosis dan waktu pemajanan mulai dari gejala akut
ringan sampai kematian.
b. Pengendalian
1) Enginering : Peralatan ditaruh pada ruang isolasi (beton-Fb), Operator harus dilindungi
dari paparan
2) Administrasi : Penggantian operator X-ray bila film badge telah mencapai NAB.
3) Alat Pelindung Diri : Apron
Cara mencegah stres kerja menurut Makmuri (1999) dilakukan dengan cara manajemen stres yang dapat
dilakukan dengan cara melakukan pendekatan – pendekatan individual dan organisasi.
1. Pendekatan – pendekatan Individual
a. Manajemen waktu
Prinsip – prinsip yang dianggap terkenal dalam manajemen waktu adalah :
1) Membuat daftar harian tentang kegiatan – kegiatan yang harus diselesaikan
2) Memprioritaskan kegiatan – kegiatan atas dasar kepentingan dan urgensinya
3) Membuat jadwal kegiatan – kegiatan menurut prioritas yang telah ditetapkan.
b. Latihan fisik
Latihan fisik yang non – kompetitip seperti aerobik, latihan jalan dan jogging, berenang dan bersepeda,
direkomendasikan oleh para dokter sebagai cara untuk mengatasi berbagai tingkatan stres, karena bentuk –
bentuk latihan ini dapat meningkatkan kapasitas jantung dan dapat melepaskan diri dari ketegangan.
c. Latihan relaksasi
Melalui tenik – teknik zikir, meditasi, hinotis dan yoga. Tujuannya adalah untuk mencapai status relaksasi yang
dalam, dimana seseorang merasa rileks secara fisik, agak menjauhkan diri dari pengaruh lingkungan dan
menjauhkan diri dari sensasi tubuh. Lima belas atau dua puluh menit sehari melakukan relaksasi yang
dalam, dapat melepaskan ketegangan dan memberikan orang yang bersangkutan perasaan penuh kedamaian
yang indah.
d. Bantuan sosial
Memiliki banyak kawan, keluarga atau teman – teman sekerja untuk teman bicara, sebagai pendengar tentang
problem yang sedang dialami, dapat memberikan jalan keluar ketika tingkat stres menjadi eksesif. Oleh karena
itu memperluas jaringan sosial dapat berperan dalam pengurangan ketegangan. Bantuan sosial dapat
memoderatkan akibat dari hubungan stres - kerja, sehingga stress ditempat kerja yang beratpun tidak dapat
meruntuhkan seseorang.
e. Konseling karyawan
Konseling adalah diskusi sebuah problem yang biasanya memiliki unsur emosional dengan seorang karyawan,
supaya dapat membantu karyawan tersebut mengatasi emosinya lebih baik (Cairo, 1983). Konseling itu mencari
cara-cara untuk memperbaiki kesehatan jiwa karyawan. Memiliki kesehatan yang lebih baik berarti bahwa orang
itu merasa bahagia tentang dirinya, merasa baik-baik saja dengan orang lain dan dapat memenuhi tuntutan
hidupnya.
BAB IV PENUTUP
ii. KESIMPULAN
Menurut Kepmenkes NOMOR 432/MENKES/SK/IV/2007 tentang Pedoman
Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit, upaya K3
menyangkut tenaga kerja, cara atau metode kerja, alat kerja, proses kerja dan
lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan
pemulihan. Kinerja setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultan
dari tiga komponen K3 yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja.
Penerapan program K3 di Rumah Sakit masih perlu banyak perbaikan. Salah
satunya adalah melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian akan bahaya
dari kecelakaan kerja dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, pencegahan sebagai
upaya meminimalisir kecelakaan akibat kerja di rumah sakit mulai dari identifikasi
hazard, investigasi setelah kejadian kecelakaan, evaluasi, controlling hingga
memfollow up program penanggulangan perlu dilakukan secara sistematis dan lebih
ditingkatkan, agar tupoksi K3RS sendiri dapat tercapai.
iii. SARAN
4) Merekomendasikan kepada pihak menajemen rumah sakit untuk membuat instrument
safe/unsafe action khusus perawat
5) Mengadakan refresing SOP baru tiap 3 bulan, training/pelatihan bagi karyawan baru
maupun karyawan lama sehingga dapat meningkatkan kesadaran masing-masing
individu untuk melatih budaya kerja secara aman (safe act culture). Rumah Sakit perlu
secara rutin mengevaluasi penyelenggaraan K3 RS untuk menilai apakah kinerjanya
sudah maksimal ataukah masih memerlukan perbaikan sistem K3RS yang selanjutnya.
Selain itu, rumah sakit harus selalu mengidentifikasi sumber bahaya, penilaian dan
pengendalian faktor risiko yang selalu ada di rumah sakit.
6) Membuat kebijakan terkait advokasi status kesejahteraan perawat dengan memberikan
jaminan kesehatan yang baik melalui pemeriksaan kesehatan pra pekerja, berkala (baik
yang sudah terpapar/beresiko ataupun tidak) dan pemeriksaan khusus (termasuk
pemeriksaan sebelum pensiun) untuk mengetahui adanya Penyakit Akibat Kerja (PAK)
serta penatalaksanaannya dan pemberian vaksinasi sebagai tindakan pencegahannya.
7) Semua pihak yang terkait dengan RS secara tanggung jawab melaksanakan standar
operasional prosedur (SOP) K3 RS sesuai dengan peraturan, perundangan dan
ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. Bagi perawat agar tetap berupaya
meminimalkan factor-faktor pemungkin dan membekali dirinya dengan meningkatkan
pengetahuan melalui seminar, media internet atau buku guna mendapatkan informasi
terbaru tentang K3 sehingga dalam menerapkan asuhan keperawatan selalu
memperhatikan budaya kerja K3 secara aman dengan penekanan pada universal pre
caution.
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Bina Kesehatan Kerja. (2010). Pedoman Tata Laksana Penyakit Akibat Kerja
bagi Petugas Kesehatan. Departemen Kesehatan
2. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan Depkes RI. Pedoman Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Instalasi Farmasi
Rumah Sakit (K3 - Ifrs). Jakarta; 2006.
3. Soeripto M. Higiene Industri. Balai penerbit FK UI. Jakarta; 2008
4. Suma’mur. Higiane perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta; 2009
5. Workplace Violence Prevention-Health Care and Social Service Workers, U.S.
DEPARTMENT OF LABOR, OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH
ADMINISTRATION, http://1.usa.gov/12rwWAN (viewed on May 20, 2013).
6. Cooper, CL; Hart, PM; Anderson, DS; Ones, HK; Sinangil dan Viswesvran, C 2001.
Occupational stress: toward a more integrated framework. New York: Oxford. Handbook
of industrial work and organization psychology
7. Neal, A. & Griffin, M. A. (2000). Safety climate and safety behaviour. Australian Journal
of Management, 27 (special issues), 67‐73.
8. Sinaga, Rohama Alfina. 2018. Judul Skripsi: Analisis Paparan Dosis Radiasi Jarak Aman
Petugas Dan Pasien Lain di Ruang ICU. Universitas Sumatera Utara. 21-22.
9. Ifadah, Erlin, Fajar Susanti. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta; Analisis Faktor
Yang Berhubungan Dengan Kejadian Needle Stick Injury Di Ruang Instalasi Gawat
Darurat Dan Ruang Intensive Care Rsud Pasar Rebo. Jakarta; 2018.
10. Suprihatin, Titin. Jurnal Keperawatan: Managemen Stres Kerja Pada Perawat ICU.
RSUD Dr. Soetomo Surabaya; 2015.
11. Dita Andini Dwi Pratiwi, Dody Setyawan. Jurnal Keperawatan Universitas Diponegoro:
Gambaran Tingkat Kelelahan Kerja Perawat Di Ruang Perawatan Intenif. RSUD
K.R.M.T. Wongsonegoro Dan RS Tugurejo. Semarang; 2017.
12. Sarastuti, Dewi. Publikasi Ilmiah; Analisis Kecelakaan Kerja Di Rumah Sakit Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Universitas Muhamadiyah Surakarta Program Studi Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Surakarta;2016.
13. Rochman, Dadang, Hanny S. Mediani, Aan Nuraeni. Jurnal keperawatan Program
Magister: Analisa Faktor Memengaruhi Low Back Pain Perawat ICU RS Wilayah Provinsi
Banten. Universitas Padjadjaran; 2017.
14. Burhami, Mahfud. Skripsi: Survey Kecelakaan Kerja Pada Perawat Di RSU Salewangang
Kabupaten Maros. UIN Alauddin Makassar; 2010