Anda di halaman 1dari 25

TASYBIH WA AL-ISTI’ARAH

Makalah :
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Qawaid Tafsir

Disusun Oleh:
Siti Mufarihah (E03217045)
Lia Anjia (E93217069)
Rima Fatimatuz Zahroh (E93217089)
Rully Fatekhah (E93217092)
Himmah Zahiroh (E93217105)

Dosen Pengampu :
Dr. H. Abdul Djalal, S.Ag. M.Ag
197009202009011003

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Dengan menyebut nama Allah yang maha


pengasih lagi maha penyang. Allhamdulillah atas rahmat serta ridho-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “TASYBIH WA AL-ISTI’ARAH”
tak lupa sholawat serta salam kami junjungkan kepada nabi besar Muhammad
SAW.

Tak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang,
berkat dukungan beliau kami dapat mempelajari mata kuliah Qawaid Tafsir. Dan
tak lupa kepada teman-teman yang ikut andil berpartisipasi membantu kami dalam
pembuatan makalah ini.

Semoga makalah yang kami buat ini dapat memberikan manfaat bagi kita
bersama. Baik dari penulis maupun pembacanya. Tidak banyak ilmu yang dapat
kami sampaikan karena memang keterbatasan kami akan ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu kami akan tetap belajar. Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu mohon bimbingan kritik dan saran dari pembaca agar menjadi pelajaran untuk
makalah kami kedepannya.

Surabaya, 24 September 2019

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap agama tentu saja mempunyai kitab rujukan yang mereka gunakan
sebagai pedoman hidup. Begitu pula umat muslim yang mempunyai al-Quran. Kita
sebagai orang awam tidak bisa menafsirkan al-Quran dengan seenaknya. Tentu saja
ada ilmu yang harus kita kuasai untuk memahami dan menafsirkan al-Quran. salah
satunya dengan memahami tentang kaidah-kaidah tafsir.

Tak jarang kita temui pada masa ini orang-orang yang menafsirkan al-Quran
hanya dengan bermodalkan terjemahan dari al-Quran tanpa mengetahui tentang
kaidah dasar. Oleh karenanya banyak sekali zaman sekarang ditemui banyak
penafsiran yang mulai melenceng karena tidak tahunya manusia tentang hal itu.

Dari makalah ini akan dijelaskan salah satu dari beberapa banyaknya kaidah
yang harus dipahami mufasir untuk menafsirkan al-Quran, yaitu KAIDAH
TASYBIH DAN ISTI’ARAH.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari tasybih dan isti’arah ?
2. Apa saja kaidah tasybih ?
3. Sebutkan contoh-contoh praktis qawaid at-tasybih di dalam Alquran !
4. Apa saja kaidah isti’arah ?
5. Sebutkan contoh-contoh praktis kaidah isti’arah di dalam Alquran !

C. Tujuan
1. Menyebutkan pengertian tasybih dan isti’arah.
2. Menyebutkan kaidah tasybih.
3. Memberikan contoh kaidah tasybih di dalam Alquran.
4. Menyebutkan kaidah isti’arah.
5. Memberikan contoh kaidah isti’arah di dalam Alquran.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tasybih

Tasybih menurut bahasa diartikan sebagai perumpamaan. Dalam ilmu sastra


arab tasybih diartikan sebagai penyerupaan dua hal atau lebih dalam satu sifat pada
dirinya. Misalnya seperti ketika ada kalimat “Zaidun laksana singa karena
keberaniannya.”1 Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwasannya jika
menetapkan suatu perumpamaan pada yang diserupakan dengan sesuatu yang
dipakai sebagai perumpamaan bertujuan untuk memberikan suatu kemudahan bagi
seseorang dengan menjelaskannya dari suatu yang samar menjadi lebih jelas.2

1. Unsur-Unsur Tasybih

Melalui pengantar tentang tasybih, berikut ini adalah rukun/unsur penting


dalam tasybih, keberadaan masing-masing unsur akan sangat penting untuk
mensinergikan sebuah ungkapan. Dengan kata lain, bahwa unsur ini akan
sangat penting dalam gaya bahasa tasybih. Dan rukun tersebut adalah sebagai
berikut:

a. Al-Musyabbah (sesuatu yang di bandingkan dengan sesuatu lainnya karena


ada persaman sifat antara keduanya).
b. Al-Musyabbah bi (sesuatu yang sifatnya di jadikan perbandingan).
c. ‘Adat al-Tasybih (perangkat untuk menggabungkan dua persamaan sifat
yang ada).
d. Wajh al-Syibh (kesamaan sifat yang di perbandingkan).

Dalam pembentukan ungkapan tasybih, ada 2 rukun yang wajib di


sebutkan dan tidak boleh di hilangkan dan tidak boleh di hilangkan yaitu

1
Quraish shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang, Lentera Hati, 2015), 146.
2
Imam Suyuthi, Ulumul Qur’an II, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), terj. Tim Editor Indiva, 296,
pdf.

4
5

musabbah dan musyabbah bih, jika salah satu dari kedua rukun tersebut tidak
di sebutkan maka ungkapan tersebut tidak dapat disebut tasybih.3

2. Tujuan Tasybih
a. Menjelaskan sifat dan keadaan al-Musyabbah , seperti QS. Al-Ankabut:
41;

ِ ‫َّللا أَو ِْل َْيا َء َك ََمَث َ ِِل اْل ََعْن ََكُبو‬


‫ِت اَّت َّ ََخَذَِت ََبْيًتا َو ِإ َّن‬ ِ َّ ‫ون‬ِ ‫َمَثَِل اْلََّذِينَ اَّتََّخََذوا ِمن د‬
َ‫ِت َْلو َكانوا َيَعلََمون‬ ِ ‫أَوهَنَ اْلُبْيو‬
ِ ‫ِت ْلَ َُبْيت اْل ََعْن ََكُبو‬
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan
sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba
kalau mereka mengetahui.”
b. Menjelaskan dan memantapkan keadaan al-Musyabbah , seperti QS. Al-
Baqarah: 74;

َ َ ‫ارةِ أَو أ‬ َٰ
َ ‫شدُّ قَس َوة ۚ َو ِإ َّن ِمنَ اْل ِح َج‬
ِ‫ارة‬ َ ‫ي َكاْل ِح َج‬ َ ‫ست قلوَبَكم ِمن ََبَع ِد ذَ ِْل َك فَ ِه‬ َ َ‫ث َّم ق‬
‫شقَّق َفْيََخرج ِمْنه اْل ََماء ۚ َو ِإ َّن ِمْن َها ْلَ ََما‬ َّ َ‫ْلَ ََما يًَت َ َف َّجر ِمْنه اْلَن َهار ۚ َو ِإ َّن ِمْن َها ْلَ ََما ي‬
َ‫َّللا َِبغَافِ ٍِل َع ََّما َّتََع ََملون‬
َّ ‫َّللاِ ۗ َو َما‬
َّ ‫يَه ُِبط ِمن خَشْيَ ِة‬
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan
lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang
mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada
yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya
sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan
Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”
c. Memperindah al-Musyabbah , yang melukiskan keindahan dan kesucian
ٌ ‫ور ِع‬
(‫ْين‬ ٌ ‫ ) َوح‬seperti QS. Al-Waqiah: 23;
ِ ‫َكأَمَثَا ِل اْللُّؤْل ِؤ اْل ََمَكْن‬
‫ون‬
“Laksana mutiara yang tersimpan baik.”

3
Iin Suryaningsih dan Hendrawanto, Ilmu Balaghah: Tasybih dalam Manuskrup “Syarh Fi Bayan
al-Majaz wa al-Tasybih wa al-Kinayah”, Jurnal Al-Azhar Seri Humaniora. Vol.4 No.1, Maret
2017, 4.
6

d. Menonjolakan al-Musyabbah , seperti QS. Al-Baqarah: 17;

‫ور ِهم‬ َّ ‫َب‬


ِ ‫َّللا َِبْن‬ َ َ ‫َمَثَلهم َك ََمَثَ ِِل اْلََّذِي اسًتَوقَدَ نَارا فَلَ ََّما أ‬
َ ‫ضا َءِت َما َحو َْله ذَه‬
ِ ‫ِت َل يُب‬
َ‫صرون‬ ٍ ‫َوَّت َ َر َكهم فِي ظل ََما‬
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api,
maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya
(yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan,
tidak dapat melihat.”

Ayat ini merupakan orang-orang kafir yang menyeru/bermohon


kepada berhala-berhala yang mereka sembah seperti halnya penggembala
yang menyeru binatang-binatang gembalaanya. Binatang-binatang itu
sekadar pendengar mendengar panggilan dan melihat penggembalanya,
tetapi mereka pada hakikatnya yuli, tidak mendengar sehingga tidak dapat
memperkenankan permintaan mereka. Berhala-berhala itu juga bisu, tidak
dapat menyampaikan sesuatu kepada mereka, sehingga dengan demikian
orang-orang kafir itu tidak memiliki akal; kendali yang mengahalanginya
melakukan keburukan dan kesalahan.

Dengan menampilkan penyerupaan itu menjadi jelas dan konkretlah sifat


dan keadaan yang tadinya tidak/kurang konkret, dan tergambarlah secara
material hal-hal yang bersifat immaterial. Karena itu pula secara umum dan
biasanya al-Musyabbah bih lebih jelas dan konkret dari pada al-Musyabbah .
Keadaan orang-orang kafir itu tidak konkret. Tetapi dengan menyerupakannya
dengan binatang yang sehari-hari terlihat keadaannya, maka keadaan orang-
orang kafir yang diserupakan dengan binatang itu lebih konkret dan jelas.4

3. Macam-macam tasybih
Cara pengungkapan suatu ide dengan metode tasybih memiliki
beragam bentuk. Bentuk-bentuk pengungkapan itu menunjukkan jenis dari
tasybih. Pembagian jenis tasybih bisa dilihat dari berbagai sisi unsur tasybih,
seperti adat tasybih, wajh syibh, bentuk wajib dan urutannya.

4
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,… 129-130
7

a. Berdasarkan Adat Tasybih


1) Tasybih Mursal
Yaitu tasybih yang disebutkan adat tasybihnya.
Contoh:

‫كانه اْلْنهار اْلزاهر و اْلقَمر اْللُباهر اْلَذي ل يَخفى على كِل ناظر‬
Sungguh ia bagaikan siang hari yang cerah, dan bulan yang
bercahaya. Tiada samar bagi orang yang memandangnya.
Adat tasybih dalam kalimat tersebut adalah ‫كانه‬
2) Tasybih Muakkad
Yaitu tasybih yang dibuang adat tasybihnya
Contoh

‫اْلَعاْلم سراج أمًتهفي اْلهداية و َّتُبديد اْلظالم‬


Orang berilmu itu pelita bagi umatnya dalam memberi petunjuk
dan menyirnakan kegelapan(kebodohan).
Pada kalimat tersebut tidak mengandung adat tasybih, tapi
maksudnya dapat dipahami bahwa kalimat tersebut menyamakan
antara yang disebut dengan orang yang berilmu dengan pelita yang
menerangi kegelapan.
b. Berdasarkan Wajh Syibh
1) Mujmal
Yaitu tasybih yang dibuang wajh syibhnya
Contoh:

‫ب‬ َّ ‫ار َج َلتْ ھ ُُ َحدَائِ ُد ال‬


ِ ‫ض َّرا‬ ٌ َ‫یرةَ ِد ْین‬ َ ‫و َكأ َ َّن الش َّْم‬:
َ ‫س ال ُم ِن‬ َ ‫قال ابن المعتز‬
Ibnu Mu’taz berkata“Matahari yang bersinar itu seolah-olah
dinar {uang logam} yang ditempa oleh pembuatnya”
Ibnu Mu’taz mengumpamakan matahari yang terbit itu seperti
sinar dinar yang baru dicetak. Dalam syair ini musyabbah adalah
matahari dan uang dinar adalah musyabbah bih. Seolah-olah sebagai
adat tasybih dan wajh syabah tidak dinyatakan disini.
2) Mufaṣṣal
8

Yaitu tasybih yang disebutkan wajh syibhnya


Contoh:

َ ُ‫ِسرنَا فِى ْلَْي ٍِل ََب ٍْيم َكأ َ َّنه‬


َ ‫اْلبهُر‬
.‫ط َالما َواِرهاَبا‬
“Aku berjalan pada malam hari yang gelap dan menakutkan
seperti berjalan di tengah lautan”
Dalam syair di atas penyair menyamakan perjalanan di malam
hari yang gelap dengan suasana di tengah lautan yang gelap dan
menakutkan. Keduanya menakutkan dan di lautan lebih menakutkan
jika dibandingkan dengan gelap malam. Maka penyair menjadikan
lautan sebagai musyabbah bih, gelap malam sebagai musyabbah,
seperti sebagai adat tasybih dan gelap serta menakutkan sebagai
wajh syabah.5 Jika diperhatikan contoh ini, maka wajh syabahnya
disebutkan dengan jelas.
c. Berdasarkan Adat Tasybih dan Wajh Syibh
1) Tasybih Baligh
Yaitu tasybih yang Adat Tasybih dan Wajh Syibh-nya dihilangkan
Contoh:

ُّ َ ‫ت أ‬
‫یه َُا‬ َ ‫ أَينَ أَز َمَع‬:‫قال اْلَمًتْنُبي وقد اعًتزم سْيف اْلدوْلة سفر‬
‫ َوأَنًتَاْلغَ ََمام‬. ‫اْلرَبَا‬
ُّ ‫ذَالهُ َمام؟ نَحن نَُبت‬
Al-Mutanabbi berkata kepada Sayf al-Dawlat yang ingin
bermusafir: “Ke mana engkau akan pergi wahai orang yang
bercitacita, kami adalah tumbuh-tumbuhan pergunungan,
sedangkan engkau adalah awan yang mengandungi hujan”.
Dalam contoh di atas, al-Mutanabbi khawatir karena orang yang
dipujanya Sayf al-Dawlat bertekad untuk pergi mengembara.
Penyair menyamakan dirinya seperti tanaman dan membandingkan

5
Ali Al-Jaram, Mustafa Amin, Al-Balaghah Al-Wadihah, (Beirut Lubnan : Al-Maktabah Al-Ilmiah,
Tt), 24.
9

Sayf al-Dawlat umpama awan yang mengandung hujan. Tanaman


tidak dapat hidup tanpa awan yang mengandung hujan.6
Di dalam contoh ini, terdapat dua musyabbah, yaitu kami
(Mutanabbi) dan engkau (sayf al-Dawlat) dan dua musyabbah bih,
yaitu tanaman dipergunungan dan awan yang mengandungi hujan.
Dalam syair ini adat tasybih dan wajh syabah tidak dinyatakan. Oleh
itu ia disebut Tasybih Baligh.
d. Berdasarkan Bentuk Wajh Syabh
1) Tasybih Tamtsil
Yaitu tasybih yang wajh syabhnya berupa gambaran dari berbagai
sifat.7
Contoh:

‫صدَقَاَّتَِكم َبِاْل ََم ِِّن َواْلذَى َكاْلََّذِي يْن ِفق‬


َ ‫يَا أَيُّ َها اْلََّذِينَ آ َمْنوا ل َّتُب ِطلوا‬
‫ان‬
ٍ ‫صف َو‬ َ ‫اآلخ ِر َف ََمَثَله َك ََمَثَ ِِل‬ َّ ‫اس َول يؤ ِمن َِب‬
ِ ‫اَّللِ َواْل َْيو ِم‬ ِ َّ‫َماْلَه ِرئَا َء اْلْن‬
‫علَى شَيءٍ ِم ََّما‬ َ َ ‫اب فَأ‬
َ ‫صا ََبه َوا َِب ٌِل فًَت َ َر َكه‬
َ َ‫صلدا ل َيقدِرون‬ ٌ ‫علَْي ِه َّت َر‬
َ
. َ‫َّللا ل َيهدِي اْلقَو َم اْل ََكافِ ِرين‬ َ ‫َك‬
َّ ‫سُبوا َو‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan
dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah
dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

6
Mukhlas Asy-Syarkani, Cara Belajar Bahasa Arab Balaghah, ( Selangor: Al-Hidayah Publication,
2010), Cet Iii, 19.
7
Abdul Wahid Salleh, Ilmu Al-Bayan, ( Selangor: Pustaka Darul Bayan, 2007), 24.
10

Allah mengumpamakan orang yang pamer pemberiannya


sehingga menyakiti perasaan orang yang menerima seperti batu licin
yang di atasnya terdapat tanah yang disangka subur tetapi apabila
ditimpa hujan lebat tanah itu lenyap dan yang tinggal hanyalah batu
licin yang tidak bertanah.
Di dalam firman Allah ini, orang yang pamer pemberiannya
adalah musyabbah, batu yang licin adalah musyabbah bih, dan wajh
syabahnya terdiri dari beberapa gambaran hal dan kondisi seperti
batu licin yang di atasnya tanah yang disangka subur tetapi apabila
ditimpa hujan lebat tanah itu lenyap. Oleh karena wajh syabahnya
terdiri dari beberapa hal dan kondisi, maka tasybih ini dinamakan
Tasybih Tamthil.
2) Tasybih Gairu Tamtsil
Yaitu Tasybih yang wajh syabhnya tidak berupa gambaran yang
diambil dari hal yang berbilang
Contoh:

‫وما اْلَموِت سارق دق شَخصه يصول َبالكف و يسَعى َبال رجِل‬


Kematian itu tiada lain bagaikan pencuri yang tidak kelihatan
jenisnya, mencabut tanpa telapak tangan dan berjalan tanpa
kaki.
Tasybih diatas wajh syabhnya adalah “tidak kelihatan”, dan
kalimat tersebut bukan termasuk dari hal yang berbilang.
e. Tasybih Yang Keluar dari Kebiasaan
1) Tasybih Dhimny
Yaitu Tasybih yang kedua ujungnya tidak dirangkai dalam bentuk
tasybih yang sudah dikenal atau tanpa adat tasybih, hanya saja
keduanya berdampingan dalam susunan kalimat.
Contoh:

.‫ب‬
ِ ‫الر ِط ْی‬
َّ ‫ب‬ِ ‫ور فِى القَ ِضی‬ َ ُ‫س ع َِج ْیبًا أ َ ْن ی‬
ُ ُّ‫ورى الن‬ َ ‫ب الفَتَى َو َل ْی‬ ِ َ‫قَ ْد ی‬
ُ ‫ش ْی‬
11

“ Kadang-kadang seorang pemuda beruban, dan hal itu


tidaklah mengherankan. Bungapun dapat keluar pada dahan
yang muda dan lembut”.
Ibnu Rumi mengatakan bahwa kadang-kadang seorang
pemuda beruban, hal itu tidaklah aneh, kadang-kadang dahan
pokok yang masih muda dan lembut juga bisa berbunga. Dalam
syair ini, beliau tidak mengungkapkan tasybih dengan jelas tetapi
semua itu disusun dalam susunan ayat tasybih secara tersembunyi.
Secara jelas tidak terlihat adanya musyabbah dan musyabbah
bih seperti tasybih biasa, tetapi masih bisa dapat dirasakan adanya
dua tarfai tasybih itu, yaitu pemuda yang beruban sebagi
musyabbah, dan bunga bisa keluar pada dahan yang kecil dan
lembut sebagai musyabbah bih. Wajh syabahnya adalah sama-
sama terjadi sesuatu hal yang tidak dianggap aneh. Oleh karena
musyabbah dan musyabbah bih tidak dapat diketahui dengan jelas,
tetapi masih bisa dirasakan dalam susunan kalimatnya, maka
tasybih ini dinamakan Tasybih Dzimni.8
2) Tasybih Maqlub
Yaitu tasybih yang posisi musyabbah-nya dijadikan musyabbah
bih. Hal ini dilakukan dengan anggapan wajh sybh pada
musyabbah lebih kuat.
Contoh:

‫ص َُباح َكأ َ َّن غ َّرَّته َوجه اْل ََخ ِلْيفَ ِة ِحْينَ يَمًتَدَح‬
َّ ‫َو ََبدَا اْل‬
Telah terbit fajar, cahayanya seakan-akan wajah khalifah
ketika menerma pujian.
Pada sya’ir ini terangnya fajar diibaratkan dengan wajah
khalifah, padahal seharusnya sebaliknya. Pada tasybih yang biasa,
wajah khalifah disamakan dengan fajar yang menyingsing.

8
Hanim Shafiera, “Penafsiran Ali Ash-Shabuni Terhadap Ayat-Ayat Tasybih Dalam Surat Al-
Baqarah ( Kajian Dari Ilmu Balaghah )”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim
Riau, 2014, hlm. 35.
12

Pembalikan posisi antara musyabbah dan musyabbah bih pada


tasybih maqlub dilakukan untuk memberi gambaran bahwa
kecerahan wajah khalifah sangat kuat.9
4. Kaidah Tasybih
a. Umumnya adat tasybih itu disebutkan pada kata musyabbah bihnya, tetapi
terkadang ada juga yang disebutkan pada musyabbahnya.dalam sebuah
kalimat ada kemungkinan menjelaskannya secara berlebihan sehingga
perumpamaan itu membuat musyabbahnya yang dijadikan sebagai asal.
Seperti contohnya di dalam Alquran :10

ِّ ِ ‫ذَ ِْل َك َِبأَنَّهم قَلوا ِإنَّ ََما اْل َُبْيع ِمَثِل‬


‫اْلرَبَا‬
“Adakalanya disebabkan mereka berkata, Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Kalimat awalnya berupa “sesungguhnya riba itu sama dengan jual
beli.” Hal ini diketahui dari musabah kalimat sebelumnya yang memang
membicarakan tentang riba, dan bukan tentang jual beli, tetapi dalam
kalimat ini di rubah. Mereka menyamakan riba dan jual beli secara majazi,
karena itulah mereka menganggap riba itu dapat disebut halal.11
Namun terkadang adapula yang adat tasybihnya tidak diletakkan di
musyabbah ataupun musyabbah bihnya. Hal ini dikarenakan para
pendengar atau pembaca sudah dapat memahami maksudnya, seperti
firman Allah

َ ‫َّللاِ َك ََما قَا َل ِعْي‬


َ‫سى اَبن َمريَ َم ِْلل َح َو ِار ِيِّْين‬ َّ ‫ار‬ َ ‫يَا أَيُّ َها اْلََّذِينَ آ َمْنوا كونوا أَن‬
َ ‫ص‬
‫طائِفَةٌ ِمن‬
َ ‫َّللاِ فَآ َمْنَت‬
َّ ‫صار‬ َ ‫َّللاِ قَا َل اْل َح َو ِاريُّونَ نَحن أَن‬ َّ ‫اري إِْلَى‬ ِ ‫ص‬َ ‫َمن أَن‬
‫عد ِّ ِو ِهم فَأَصُبَحوا‬ َ ‫طا ِئفَةٌ فَأَيَّدنَا اْلَّ َِذينَ آ َمْنوا‬
َ ‫علَ َٰى‬ َ ‫َبَ ِْني إِس َرائِْي َِل َو َكفَ َرِت‬
َ
َ‫ظا ِه ِرين‬

9
Khildah Shulhiyyah, Ragam Struktur Kalimat Tasybih Dalam Terjemahan Kitab Balaghotul
Hukama, Skripsi Dari Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab Dan Humaniora, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016, 32.
10
Imam Suyuthi, Ulumul Quran,… 302.
11
Ibid.
13

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong


(agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada
pengikut-pengikutnya yang setia, ‘Siapakah yang akan menjadi
penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’ Pengikut-
pengikut yang setia itu berkata, ‘Kamilah penolong-penolong agama
Allah.’” (QS. ash-Shaf: 14).
Maksud dari ayat tersebut ialah ‘maka jadilah kalian sebagai penolong
agama Allah yang ikhlas dalam kepatuhan seperti umat yang diserukan oleh
Nabi Isa.’
b. Perumpamaan suatu yang lebih rendah dengan sesuatu yang lebih tinggi
merupakan sebuah pujian, sedangkan perumpamaan sesuatu yang lebih
tinggi dengan sesuatu yang lebih rendah merupakan sebuah ejekan, seperti
missal perkataan ‘kerikil itu seperti mutiara’ dari kalimat tersebut bisa
disebutkan bahwa itu merupakan kalimat pujian. Tetapi jika ada perkataan
‘mutiara itu seperti kaca’ maka itu merupakan sebuah ejekan.12 Contoh
dalam firman Allah di dalam Alquran

ِ ‫أ َم ن َج َع َ ِل اْل َم ًت َّقِ ْي َن كَ اْل ف َّج‬


‫ار‬

“Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa


sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (QS. Shad: 28)

Maksud dari ayat ini adalah pada rendahnya keadaannya. Jadi tidaklah
mungkin Allah menjadikan orang yang bertaqwa sama dengan orang yang
berbuat maksiat. Kemudian ayat ini dibantah dengan firman Allah

ٌ ‫اْلز َجا َجة َكأَنَّ َها َكو َك‬


‫ب‬ ِ ‫َمَثَِل ن‬
ُّ ‫ور ِه َك َِمش ََكاةٍ فِْي َها ِمصُبَا ٌح اْل َِمصُبَاح فِي ز َجا َج ٍة‬
ِ ‫ار َك ٍة زَ يًتونَ ٍة َل شَرقِْيَّ ٍة َو َل غَر َِبْيَّ ٍة َي ََكاد زَ يًت َها ي‬
‫ضيء‬ َ ‫ي يوقَد ِمن‬
َ َ‫ش َج َرةٍ مُب‬ ٌّ ‫د ِ ِّر‬
‫َار‬ َ ‫َوْلَو ْلَم َّتََم‬
ٌ ‫س سه ن‬

12
Imam Suyuthi, Ulumul Quran,… 303.
14

“Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak


tembus,yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca
(dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan
tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-
hampir menerangi, walaupun tidak disentuh” (QS. an-Nur: 35).

Pada ayat ini cahaya Allah yang tinggi di umpamakan dengan sesuatu yang
lebih rendah. Maksud dari ayat ini bertujuan untuk mendekatakan kepada
pemikiran para pembaca. Karena pada hakikatnya tidak ada sesuatu yang
lebih tinggi dari cahaya Allah sehingga dapat dijadikan sebagai musyabbah
bih.13

B. Isti’arah

Isti’atah arti asalnya pinjaman, kata pinjaman (Isti’arah) dalam pengertian ilmu
bayan adalah sebuah kata yang ditempatkan bukan pada tempat semestinya.
Isti’arah ialah majaz yang berkaitan dengan musyabah. Pada dasarnya, isti’arah
merupakan tasybih yang diambil salah satu ujungnya, wajhu syibhinya, serta alat-
alat tasybihnya.14 Jadi, isti’arah adalah menambahkan sesuatu dengan
menggunakan (peminjamkan) kata lain.15

Dalam hal ini terjadi perdebatan diantara kalangan ulama, ada yang
mendukung keberadaan majaz isti’arah dalam Alquran dan ada pula yang
meniadakan keberadaannya. Para ulama yang mendukung akan adanya majaz
isti’arah yang terkandung dalam Alquan berkeyakinan bahwa Alquran diturunkan
berbahasa Arab, dan ini bukan berati Alquran hanya untuk etnis Arab saja.
Sedangkan di lain sisi, bahasa Arab memiliki kekhasan tersendiri, ia kaya akan
kosakata dan ketika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia akan sangat mungkin

13
Imam Suyuthi, Ulumul Quran,… 304.
14
Muhammad Yasin, Husnu Syiyaghah, (Rembang: Maktabah Barokah, 2011), 19.
15
Mubaidillah, “Memahami Isti’arah dalam Al-Quran” Jurnal Nur El-Islam, No. 2, Vol. 4, 2017.
133.
15

terjadi derivasi (perubahan kata) yang amat beragam sesuai fungsinya. Tokoh yang
mendukung akan adanya isti’arah dalam Alquran ialah Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar.

Adapun ulama yang tidak meniadakan keberadaan majaz Isti’arah dalam


Alquran ialah sebagian besar kalangan Zahiriyyah, Ibn Al-Qash dari kalangan
mazhab Syafi’iyyah, Ibn Huwaiz dari mazhab Maliki dan lainnya. Mereka
beranggapan bahwa majaz ialah sebuah kedustaan, sedangkan dalam Alquran
mustahil mengandung kedustaan (kebohongan). Alasan lain adalah bahwa seorang
pembicara (al-mutakallim) tidak menggunakan makna majaz, kecuali jika terpaksa,
sedangkan keadaan terpaksa seperti ini tidak mungkin terjadi pada Allah.16

a. Unsur-unsur

Sebuah susunan kalimat dapat dikategorikan mengandung majaz isti’arah


apabila terdapat unsur-unsur isti’arah didalamnya, berikut adalah unsur-unsur
isti’arah:17

1) Lafadz
Musta’ar: ialah lafaz yang dipindahkan atau dipinjam (musyabbah)
Musta’ar minhu: musyabbah bih
2) Makna
Musta’ar lahu: ialah makna

Contoh:

ِ ُّ‫ِت إِْلَى اْلْن‬


‫ور َبِِإ ِذ ِن‬ ُّ َ‫اس ِمن‬
ِ ‫اْلظل ََما‬ َ َّ‫اب أَنزَ ْلْنَاه إِْلَْي َك ِْلًتَخ ِر َج اْلْن‬
ٌ َ ‫اْلر ۚ ِكًت‬
‫يز اْل َح َِمْيد‬
ِ ‫اط اْلَعَ ِز‬ ِ ‫ص َر‬ ِ ‫َر َِبِّ ِهم إِْلَ َٰى‬
“Alif Lām Rā (Ini adalah) Kitab yang Kami Turunkan kepadamu
(Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan
kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju
jalan Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji.” (Q.S Ibrahim : 1)18

16
Ibid., 136.
17
Ibid., 136.
18
https://tafsirweb.com/4047-surat-ibrahim-ayat-1.html
16

1) Lafadz
Musta’ar: ‫ ال ُّظلُمات‬dan ‫النُّور‬
Musta’ar Minhu: ‫ الضالل‬dan ‫الهدى‬
2) Makna
Musta’ar Lahu: Dalam ayat ini, sesungguhnya kata “al-dzulumat” dan “al-
nur” maknanya menyerupai kata “al-dholal” dam “al-hadiy”. Asalnya
kesesatan disamakan dengan suasana yang gelap gulita, dan hidayah itu
disamakan dengan keadaan yang penuh dengan cahaya. Ayat
menunjukkan bahwa jalan kekafiran dan bid’ah itu banyak dan jalan
kebaikan itu hanya satu, maka allah mengatakan ‫لِتُ ْخ َ ِرج َ النَّاس ِمن ال ُّظلُمات‬
‫ ِإلى ِ النُّور‬maka allah mengibaratkan dari kebodohan dan kekufuran itu
dengan kata-kata “dzulumat” gelap gulita dan itu dalam sighat jama’ dan
menggambarkan dari keimanan dan hidayah itu dengan “al-Nur” dan itu
menggunakan lafadz mufrad, dengan demikian jalan kebodohan itu
banyak dan jalan menuju ilmu dan iman itu hanya satu.19
b. Macam-Macam Isti’arah

Macam-macam isti’arah dapat ditinjau dari beberapa aspek:

1) Pembagian Isti’arah ditinjau dari kelengkapan unsur-unsurnya


a) Isti’arah Tasrihiyyah
Isti’arah tasrihiyyah adalah isti’arah yang membuang musta’ar
lah nya dan menyebutkan musta’ar minhu nya. Isti’arah tasrihiyyah
juga dapat disebut dengan majaz metafora.20 Isti’arah tasrihiyyah
juga dapat disebut dengan majaz metafora. Contoh:

‫ور َوٱْلََّذِينَ َكفَر ٓو ۟ا‬ ِ ُّ‫ت ِإْلَى ٱْلْن‬ ُّ ‫وا يَخ ِرجهم ِ ِّمنَ ٱْل‬
ِ ‫ظل َٰ ََم‬ ۟ ‫ى ٱْلََّذِينَ َءا َمْن‬ َّ
ُّ ‫ٱَّلل َو ِْل‬
ٓ ۗ َٰ ُّ َّ َٰ ‫أَو ِْل َْيآؤهم‬
‫ت أ ۟و َْٰلَ ِِئ َك أَص َٰ َحب‬ِ ‫ور ِإْلَى ٱْلظل ََم‬ ِ ُّ‫ٱْلطغوِت يَخ ِرجونَهم ِ ِّمنَ ٱْلْن‬
َ‫ار هم فِْي َها َٰ َخ ِلدون‬ ِ َّ‫ٱْلْن‬

19
Ibid., 138.
20
Husein Aziz, Ilmu Balaghah (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal. 25
17

“Allah pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan


mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-
orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang
mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka
adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS.
Al-Baqarah: 257)
Peminjaman lafadz “adh-dhulumaat” yang bermakna kegelapan
mengandung maksud makna kekafiran atau kesesatan. Sedangkan
lafadz “an-nuur” yang bermakna cahaya mengandung maksud iman
atau hidayah.
b) Isti’arah Makniyyah
Isti’arah makniyyah adalah isti’arah yang menyebutkan musta’ar
lah nya dan membuang musta’ar minhu nya. Isti’arah makniyyah juga
dapat disebut dengan majaz personifikasi.21 Contoh:

َ َّ‫صُبحِ ِإذَا َّتَْنَف‬


‫س‬ ُّ ‫َوٱْل‬
“dan demi subuh apabila fajar telah menyingsing” (QS. At-
Takwir: 18)

Peminjaman lafadz “tanaffas” yang menjadikan shubuh seperti


makhluk hidup layaknya manusia.

2) Pembagian Isti’arah ditinjau dari segi lafadznya


a) Isti’arah Ashliyyah
Isti’arah ashliyyah adalah isti’arah yang lafadz musta’arnya
berupa isim jenis.22 Contoh:

‫اس‬ َّ َ‫علَْي ِهم ٱْلَذِِّْلَّة أَينَ َما ث ِقف ٓو ۟ا ِإ َّل َِب َحُب ٍِل ِ ِّمن‬
ِ َّ‫ٱَّللِ َو َحُب ٍِل ِ ِّمنَ ٱْلْن‬ َ ‫ض ِر ََبت‬
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali
jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali
(perjanjian) dengan manusia...” (QS. Ali Imran: 112)

21
Husein Aziz, Ilmu..., hal. 40.
22
Ridwan, Jurnal “El-Harkah” Vol. 9, No. 3 (Malang: UIN Malang, 2007), hal. 236.
18

b) Isti’arah Taba’iyah
Isti’arah taba’iyah adalah isti’arah yang lafadz musta’arnya
bukan berupa isim jenis.23 Contoh:

‫عد ًّوا َو َحزَ ن ۗا‬


َ ‫عونَ ِْل َْيَكونَ ْلَهم‬ َ َ‫فَٱْلًتَق‬
َ ‫ط ٓهۥ َءال فِر‬
“Maka dia dipungut oleh keluarga Fir‘aun agar (kelak) dia
menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka...” (QS. Al-
Qashash: 8)

3) Pembagian Isti’arah ditinjau dari segi pengertian yang menghimpun kedua


ujungnya
a) Isti’arah Murosyahah
Isti’arah murosyahah adalah isti’arah yang disertai lafadz yang
mengandung pengertian yang mengarah kepada musta’ar minhunya.24
Contoh:

۟ ‫ض َٰلَلَةَ َِبٱْلهدَ َٰى فَ ََما َر َِب َحت َِّت ِّ َٰ َج َرَّتهم َو َما َكان‬ ٓ
َ‫وا مهًت َ ِدين‬ َّ ‫أ ۟و َْٰلَ ِِئ َك ٱْلََّذِينَ ٱشًت َ َرو ۟ا ٱْل‬
“Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka
perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka tidak
mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah : 16)

Lafadz “isytarou” yang bermakna pembelian dipinjam untuk


menunjukkan makna penggantian yang kemudian disambungkan
dengan sesuatu yang bersesuaian dengannya yaitu laba dan
perniagaan.
b) Isti’arah Mujarrodah
Isti’arah mujarrodah adalah isti’arah yang disertai lafadz yang
mengandung pengertian yang mengarah kepada musta’ar lahnya.25
Contoh:

23
Ibid.
24
Ridwan, Jurnal..., hal. 237.
25
Ibid.
19

۟ ‫ف َِب ََما َكان‬


َ‫وا َيصْنََعون‬ ِ ‫اس ٱْلجوعِ َوٱْلَخَو‬ َّ ‫فَأ َ َٰذَقَ َها‬
َ ‫ٱَّلل ِْل َُب‬
“...karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana
kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka
perbuat” (QS. An-Nahl: 112)

Lafadz “Libaas” yang bermakna pakaian dipinjamkan untuk makna


kelaparan, kemudian disambungkan dengan yang sesuai pada
musta’ar lah, yaitu membuat mereka merasakan.
c) Isti’arah Muthlaqah
Isti’arah muthlaqah isti’arah yang tidak disertai pengertian yang
mengarah pada salah satu dari kedua ujungnya.26
4) Pembagian Isti’arah ditinjau dari musta’ar minhu dan musta’ar lah nya
a) Isti’arah Inadiyah
Isti’arah inadiyah adalah isti’arah yang kedua unsurnya
(musta’ar minhu dan musta’ar lah) tidak dapat berkumpul pada satu
hal atau bertolak belakang.27 Contoh:

َ‫ق َويَقًتلونَ ٱْلََّذِين‬


ٍ ِّ ‫يِۦنَ َِبغَْي ِر َح‬ ِّ ِ‫ٱَّللِ َويَقًتلونَ ٱْلْنَُّب‬
َّ ‫ت‬ ِ َ‫إِ َّن ٱْلََّذِينَ يََكفرونَ َبَِٔـا َٰي‬
‫ب أ َ ِْل ٍْيم‬
ٍ ‫شِرهم َِبَعََذَا‬ ِّ َ‫اس فَُب‬ ِ َّ‫يَأمرونَ َبِٱْل ِقس ِط ِمنَ ٱْلْن‬
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah
dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar) dan
membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil,
sampaikanlah kepada mereka kabar gembira yaitu azab yang
pedih.” (QS.Ali ‘Imran: 21)

Maksudnya adalah “ancamlah mereka itu”. Kata “fabasysyir”


atau “al-bisyaarah” yang berarti pemberitahuan terhadap adanya
berita yang menyenangkan dipinjam untuk menunjukkan makna

26
Ibid.
27
Al-Ahdhori Abdurrahman, Terjemah Jauharul Maknun (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009), hal.
104.
20

ancaman yang mana diikuti dengan lafadz “’adzaabun aliim”. Hal


ini berarti ayat tersebut mengandung isti’arah inadiyah yang
mengisyaratkan penghinaan atau celaan kepada orang-orang yang
kelak akan mendapat adzab yang pedih.
b) Isti’arah Wifaqiyah
Isti’arah wifaqiyah adalah isti’arah yang kedua unsurnya
(musta’ar minhu dan musta’ar lah) dapat berkumpul pada satu hal.28
Contoh:

ِ َّ‫أ َ َو َمن َكانَ َمْيًتا فَأَحْيَْي َْٰنَه َو َج ََعلْنَا ْلَهۥ نورا َيَمشِى َِبِۦه ِفى ٱْلْن‬
‫اس َك ََمن‬
۟ ‫َارج ِ ِّمْن َه ۚا َك ََٰذَ ِْل َك ز ِيِّنَ ِْلل َٰ ََك ِف ِرينَ َما َكان‬
‫وا‬ َ ‫ت ْلَْي‬ ُّ ‫َّمَثَلهۥ فِى‬
ِ ‫ٱْلظل َٰ ََم‬
ٍ ِ ‫س َِبَخ‬
َ‫يََع ََملون‬
“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan
Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di
tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada
dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?
Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir
terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 122)
Maksudnya adalah orang yang sesat kemudian Kami beri hidayah
kepadanya. Lafadz “Fa ahyainaahu” yang bermakna “Kami
hidupkan dia” dipinjam dengan maksud yang dikehendaki adalah
“kami hidupkan hatinya dengan iman, memberikan taufiq dan
hidayah”. Pemberian kehidupan dan pemberian hidayah itu dapat
berkumpul pada satu hal.
c. Kaidah isti’arah
Salah satu corak penafsiran yang berkembang di dunia tafsir adalah
penafsiran lughowi yaitu suatu penafsiran yang lebih mengedepankan aspek
kebahasaan termasuk dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang

28
Ibid.
21

mengandung uslub isti’arah.29 Para ulama berbeda pendapat mengenai ada


dan tidaknya isti’arah dalam Al-Qur’an. 30
Sebagian dari mereka ada yang
mendukung kebradaan isti’arah dalam Al-Qur’an dan sebagian yang lain
meniadakan keberadaan isti’arah dalam Al-Qur’an.
Di antara contoh ayat Al-Qur’an yang memakai uslub isti’arah adalah
surat Ibrahim ayat 1:
‫ور َبِِإِذ ِن َر َِبِّ ِهم إِْلَ َٰى‬
ِ ُّ‫ت إِْلَى ٱْلْن‬
ِ ‫ٱْلظل َٰ ََم‬ ٌ َ ‫ا ْٓل ۚر ِك ًَٰت‬
َ َّ‫ب أَنزَ ْل َْٰنَه إِْلَْي َك ِْلًتَخ ِر َج ٱْلْن‬
ُّ َ‫اس ِمن‬
‫يز ٱْل َح َِمْي ِد‬ِ ‫ص َٰ َر ِط ٱْلَعَ ِز‬ ِ
“Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu
(Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan
kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan, (yaitu) menuju
jalan Tuhan Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji.”
Dalam ayat tersebut, lafadz “adh-dhulumaat” yang berarti kegelapan
dipinjam dari kata “al-kufr” yang berarti kekufuran. Asalnya kekufuran
diserupakan dengan suasana gelap gulita karena sama-sama tidak ada
cahaya atau petunjuk. Kemudian kata “al-kufr” dibuang dan maksudnya
dipinjamkan kepada kata “adh-dhulumaat”. Lafadz “an-nuur” yang berarti
cahaya dipinjam dari kata “al-imaan” yang berarti keimanan. Asalnya
keimanan diserupakan dengan cahaya karena sama-sama menerangi
kehidupan. Kemudian kata “al-imaan” dibuang dan maksudnya
dipinjamkan kepada kata “an-nuur”.

Contoh ayat yang mengandung uslub isti’arah juga dapat dilihat dalam surat
Al-Insan ayat 15-16

‫ير ۟ا ِمن‬
َ ‫ قَ َو ِار‬- ‫ير ۠ا‬ ٍ ‫ض ٍة َوأَك َوا‬
َ ‫ب َكانَت َق َو ِار‬ َّ ‫علَْي ِهم َِبَٔـا ِن َْي ٍة ِ ِّمن ِف‬ َ ‫َوي‬
َ ‫طاف‬
‫ض ٍة قَدَّروهَا َّتَقدِيرا‬ َّ ‫ِف‬
“Dan kepada mereka diedarkan bejana-bejana dari perak dan piala-
piala yang bening laksana kristal. Kristal yang jernih terbuat dari
perak, mereka tentukan ukurannya yang sesuai (dengan kehendak
mereka).”

29
Mubaidillah, Jurnal Nur El-Islam, Vol. 4, no. 2 (Jambi: STAI Yasni Muara Bungo, 2017), hal. 137.
30
Imam Suyuti, Ulumul Qur’an II (Surabaya: Indiva Pustaka, 2009), hal. 315
22

Dalam ayat tersebut, yang dimaksud adalah wadah-wadah itu bukan berasal
dari kaca, namun juga bukan berasal dari perak. Akan tetapi yang
dikehendaki adalah bersihnya seperti kaca dan putihnya seperti perak.31

31
Ibid.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasybih merupakan ungkapan menyerupakan suatu hal dengan hal lain yang
memiliki persamaan. Dilihat dari perkataan “‫ ”الشبه‬yang memiliki arti sama atau
serupa. Para pakar bahasa seperti Ibnu Manzur dan Syauqi Daif sepakat
mengatakan bahwa tasybih adalah membandingkan atau menyamakan suatu benda
dengan benda atau sifat yang memiliki kesamaan secara makna. Sedangkan para
ulama sepakat bahwa tasybih digunakan untuk menyampaikan sesuatu, baik
bersifat untuk memuji, menyanjung atau mengejek dan sebagainya. keinginan
seperti itu diungkapkan dalam ungkapan khusus yang sekiranya mampu dipahami
oleh pendengar dan pembaca.
Agar dapat dikatakan sebagai kalimat yang mengandung tasybih, ada beberapa
rukun yang harus terkandung didalamnya. Rukun-rukun Tasybih itu ialah
Musyabbah (sesuatu yang dibandingkan dengan sesuatu yang lain yang mempunyai
ciri persamaan), Musyabbah bih (sesuatu yang menjadi bahan penyerupaan
musyabbah), Alat Tasybih (alat yang digunakan untuk membandingkan dua
perkara), Wajh Syabah (ciri setara yang bermaksud ciri-ciri yang sama pada
musyabbah dan musyabbah bih).
Secara garis besar, manfaat yang tasybih ialah memperjelas makna agar lebih
efektif dan menguatkan suatu makna dengan menggunakan alat-alat tasybih.
Dengan tujuan menjelaskan sifat dan keadaan al-musyabbah, menjelaskan dan
memantapkan keadaan al-musyabbah, mempeindah al-musyabbah, menonjolkan
keburukan al-musyabbah.
Sedangkan untuk isti’arah ialah menambahkan sesuatu dengan menggunakan
(Meminjamkan) kata lain. Isti’arah juga dapat berarti sebagai perluasan makna.
Dalam hal ini terjadi perdebatan diantara kalangan ulama, ada yang setuju dengan
adanya isti’arah seperti Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar dan ada pula yang tidak setuju
seperti sebagian besar pengikut madzhab Zahiriyyah.

23
24

Isti’arah mulanya ialah tasybih yang diambil / dibuang ujungnya dan wajhu
syibhinya serta alat tasybihnya. Sehingga unsur-unsur tasybih yang tersisa dari segi
lafaz hanya Musyabbah (Musta’ar) dan musyabbah bih (Musta’ar minhu).
Sedangkan dari segi makna ada musta’ar lahu. Sedangkan untuk tujuan isti’arah
sendiri sama dengan tujuan tasybih, hanya saja isti’arah sifatnya lebih menekan dan
lebih kuat sebab dalam tatanan kalimatnya tidak menggunakan alat-alat tasybih dan
langsung disebutkan perumpamaannya.
B. Saran

Alquran adalah kitab suci yang diturunkan sebagai pedoman umat manusia
dalam menjalani kehidupan. Meskipun demikian, dalam praktiknya tak dapat
dipungkiri bahwa tak semua ayat Alquran bermakna haqiqi, selain itu juga dalam
Alquran ayat mutasyabih lebih banyak dibandingkan dengan ayat muhkam. Maka
guna memahami pesan moral yang ingin disampaikan Alquran, hendaknya kita
mempelajari tasybih dan isti’arah serta berbagai ilmu Alquran lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Al-Ahdhori. Terjemah Jauharul Maknun. Surabaya: Mutiara Ilmu


2009.

Al-Jaram, Ali, dan Mustafa Amin. Al-Balaghah Al-Wadihah, Beirut Lubnan : Al-
Maktabah Al-Ilmiah, Tt.

Asy-Syarkani, Mukhlas. Cara Belajar Bahasa Arab Balaghah. Selangor: Al-


Hidayah Publication. 2010. Cet III.

Aziz, Husein. Ilmu Balaghah. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press. 2014.

https://tafsirweb.com/4047-surat-ibrahim-ayat-1.html

Mubaidillah. “Memahami Isti’arah dalam Al-Quran” Jurnal Nur El-Islam. No. 2.


Vol. 4. 2017.

Ridwan. Jurnal “El-Harkah” Vol. 9, No. 3. Malang: UIN Malang. 2007.

Salleh, Abdul Wahid. Ilmu Al-Bayan. Selangor: Pustaka Darul Bayan. 2007.

Shafiera, Hanim. “Penafsiran Ali Ash-Shabuni Terhadap Ayat-Ayat Tasybih Dalam


Surat Al-Baqarah ( Kajian Dari Ilmu Balaghah )”. Skripsi. Fakultas
Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau. 2014.

Shihab, Quraishi. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. 2015.

Shulhiyyah, Khildah. Ragam Struktur Kalimat Tasybih Dalam Terjemahan Kitab


Balaghotul Hukama. Skripsi Dari Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab Dan
Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. 2016.

Suryaningsih, Iin, dan Hendrawanto. Ilmu Balaghah: Tasybih dalam Manuskrup


“Syarh Fi Bayan al-Majaz wa al-Tasybih wa al-Kinayah”. Jurnal Al-Azhar
Seri Humaniora. Vol.4 No.1. Maret 2017.

Yasin, Muhammad. Husnu Syiyaghah. Rembang: Maktabah Barokah. 2011.

25

Anda mungkin juga menyukai