Anda di halaman 1dari 18

IRITABILITAS OTOT DAN SARAF

LAPORAN PRAKTIKUM

Disusun untuk memenuhi tugas Fisiologi Hewan dan Manusia yang dibimbing
oleh :
Bapak Prof. Dr. Abdul Gofur, M.Si dan BapakWira Eka Putra, S.Si., M.Med.Sc

Oleh:
Kelompok 6 /Offering I 2018
Annisa Elchamida (180342618083)
Artika Muliani Tindaon (180342618047)
Oktaviani Jannati Kolbi (180342618038)
Suci Yana Lestari (180342618026)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
September 2019
A. Dasar Teori
Sistem syaraf merupakan suatu sistem yang tersusun atas jaringan sel-sel
khusus yaitu neuron yang mampu mengirimkan suatu impuls dengan
menghantarkannya dari satu sel ke sel lainnya sehingga mampu menghasikan suatu
tindakan atau respon (Kimbal, 1983). Kimbal (1983) juga menyebutkan, bahwa
sistem saraf menjadi dua bagian yang meliputi saraf pusat dan saraf perifer. Sistem
saraf pusat yang terdiri atas otak; sebagai pusat koordinasi dan sumsum tuang
belakang; sebagai pusat gerak refleks. Sedangkan sistem saraf tepi terletak di luar
otak dan medulla spinalis meliputi dua bagian yaitu otonom dan somatik. Sistem saraf
otonom mempersarafi otot polos namun bekerja secara involunter yang dikendalikan
secara tidak sadar. Sedangkan sistem saraf somatik bekerja secara volunter yang
dikendalikan secara sadar untuk mempersarafi otot rangka. Pada sistem saraf perifer
terdapat dua perangkat neuron dalam sistem otonom ialah neuron aferen yang
menerima impuls ke sistem saraf pusat, dan neuron lanjutannya ialah neuron eferen
yang menerima impuls dari otak dan meneruskan impuls ini melalui medulla
spinalis ke sel-sel organ efektor (Kee, dkk., 1996).

Iritabilitas menurut Fawcett, dkk., (2002) merupakan suatu kemampuan


bereaksi terhadap suatu rangsangan fisik atau kimiawi dari luar/eksternal tubuh.
Aliran energi rangsang untuk selanjutnya ditransduksikan oleh bagian khusus yaitu
reseptor untuk diubah menjadi suatu potensial listrik sehingga akhirnya mampu
membangkitkan rangsang saraf. Kemampuan khusus semacam iritabilitas terhadap
suatu stimulus tertentu dan konduktivitas, yang merupakan kemampuan untuk
mentransmisi suatu respons terhadap stimulasi, menurut Sloane (2004) diatur oleh
sistem saraf menjadi tiga cara utama, yaitu input sensorik, aktivitas integratif dan
output motorik. Mekanisme tersebut berasal dari sistem saraf menerima stimulus
melalui reseptor yang terletak di eksternal tubuh (somatik) dan internal tubuh
(viseral). Stimulus diubah menjadi impuls listrik yang menjalar di sepanjang saraf
hingga menuju otak dan medulla spinalis oleh reseptor, sehingga terbentuklah suatu
respon. Otak dan medulla spinalis menghasilkan impuls yang kemudian memperoleh
respon yang sesuai dengan otot maupun kelenjar yang disebut efektor.

Jaringan otot memiliki strukturnya dikhususkan untuk menghasilkan suatu


gerakan, baik secara keseluruhan tubuh maupun oleh bagian-bagian tubuh tertentu.
Sel-sel otot sangat berkembang dalam fungsi kontraktil. Kemampuan untuk
memendekan sel-selnya sesuai sumbu kontraksi, sehingga sel-sel otot sering disebut
sebagai serat-serat otot. Sel-sel otot atau serat-serat jaringan otot, umumnya tergabung
membentuk berkas, sehingga jaringan otot tidak terdiri atas serat-serat otot saja.
Karena dikhususkan melakukan kerja mekanik, serat-serat otot membutuhkan kapiler
darah yang dapat mensuplay makanan dan oksigen, serta mengangkut produk sisa
yang toksik keluar. Pembuluh darah tersebut terdapat di dalam jaringan ikat fibrosa,
yang berguna untuk mengikat serat-serat otot menjadi satu dan sebagai pembungkus
maupun pelindung sehingga tarikannya dapat berlangsung secara efektif (Tenzer,
2014). Tenzer (2014) juga memaparkan pembagian otot yang ditinjau bedasarkan
susunannya, otot tubuh terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu otot somatis dan otot
visera. Otot somatis atau juga rangka, umumnya melekat pada tulang rangka. Otot ini
membina perototan secara keseluruhan pada dinding tubuh. Otot somatis atau otot
lurik bersifat volunter, yaitu bekerja dibawah pengaruh saraf kranial dan saraf spinal.
Otot visera merupakan otot yang membina perorotan organ dalam, sebagai contoh
terdapat pada dinding berbagai saluran pernafasan, pencernaan, kelamin, kemih dan
pembuluh darah. Selain itu terdapat pula pada mata, mulut, tekak, kulit dan jantung.
Kebanyakan otot visera tersusun atas otot polos yan bersifat involunter yang disarafi
dari saraf otonom.

B. Alat dan Bahan

Dalam melakukan praktikum ini alat dan bahan yang digunakan diantaranya ialah

Alat :

 Papan dan alat seksi

 Batang gelas

 Gelas arloji

 Gelas piala 50 cc

 Pipet

 Baterai

 lampu spiritus,
Bahan

 Kapas

 Kristal NaCl

 Larutan Ringer untuk katak.

 Larutan HCL

C. Cara kerja

 Pembuatan sediaan Otot-Saraf

Melakukan single pith pada katak

Menggunting kulit katak pada bagian abdomen yaitu 3 cm diatas paha ke arah
tranversal mengitari bagian abdomen sehingga terlepas dari betis katak

Membuka perut dan membuang organ visera sehingga tersisa saraf iskhium yang
tampak dibawah tulang belakang

Memisahkan saraf iskhium dari otot yang mengelilinginya, dengan terus


membasahi saraf dengan larutan Ringer

Melepaskan otot gastroknemius dari tulang dengan jalan memotong tendonnya,


kemudian memotong ruas tulang belakang diatas tempat keluarnya saraf
iskhiadikus

Setelah dibuang bagian yang tidak berguna, maka telah memeroleh sediaan otot-
saraf kemudian memindahkannya ke cawan petri yang telah berisi ringer untuk
diistirahatkan 2-3 menit
 Perlakuan terhadap otot dan saraf
a) Perlakuan sebelum saraf diputus dari medula spinalis
1. Rangsang mekanis

Mencubit secara perlahan saraf sebelah kanan menggunakan pinset sambbil


mengamati otot gastroknemius sebelah kanan maupun kiri, ulangi pada saraf
bagian kiri

Mencubit secara perlahan otot sebelah kanan menggunakan pinset sambbil


mengamati otot gastroknemius sebelah kanan maupun kiri, ulangi pada saraf
bagian kiri

2. Rangsangan termis

Menyentuh saraf kanan dengan batang gelas hangat, mengamati respon pada otot
gastroknemius kanan maupun kiri

Melakukan perlakuan yang sama pada otot gastroknemius kanan maupun kiri,
mencatat hasilnya,
3. Rangsangan kimia

Meneteskan 1-2 tetes HCL 1% pada saraf kanan dan mengamati otot
gastroknemius, mengulangi di bagian kiri

Melakukan perlakuan yang sama pada otot gastroknemius kanan maupun kiri,
mencatat hasilnya
4. Rangsangan osmotis

Membubuhkan sedikit kristal NaCl pada saraf kanan dan mengamati otot
gastroknemius, mengulanginya di bagian kiri
5. Rangsangan listrik
Melakukan perlakuan yang sama pada otot gastroknemius kanan maupun kiri,
mencatat
Menyentuhkan saraf sebelah kanan hasilnya
dengan kabel yang sduah dihubungkan di
baterai mengamati otot gastroknemius, mengulangi di bagian kiri

Melakukan perlakuan yang sama pada otot gastroknemius kanan maupun kiri,
mencatat hasilnya lalu mengistirahatkan selama 1-2 menir
b) Perlakuan sesudah saraf diputus dari medula spinalis

Memutuskan salah satu saraf dari medula spinalis

Mengerjakan perlakuan seperti saraf sebelum diputus dari medula spinalis (yaitu
perlakuan 1 s/d 5) pada sediaan yang telah diputus dari medula spinalis

D. Data Pengamatan

Sebelum Saraf Diputus Setelah Saraf Diputus


Perlakuan Otot Otot
Kiri Kanan Kiri Kanan
Saraf Kanan - +++ - -
Saraf Kiri +++ - - -
Mekanis
Otot Kanan - ++ - -
Otot Kiri ++ - - -
Saraf Kanan - - - -
Saraf Kiri - - - -
Termis
Otot Kanan - - - -
Otot Kiri - - - -
Saraf Kanan - - - -
Saraf Kiri - - - -
Kimia
Otot Kanan - + - -
Otot Kiri + - - -
Saraf Kanan - - - -
Saraf Kiri - - - -
Osmosis
Otot Kanan - + - -
Otot Kiri + - - -
Saraf Kanan - +++ - -
Saraf Kiri +++ - - -
Listrik
Otot Kanan - +++ - -
Otot Kiri +++ - - -
Keterangan :
a. Perlakuan pada saraf sebelah kiri
+ = respon lemah
b. Perlakuan pada saraf sebelah kanan
++ = respon cepat
c. Perlakuan pada otot sebelah kiri
+++ = respon lebih cepat
d. Perlakuan pada otot sebelah kanan
- = tidak ada respon

*Saraf yang diputus adalah saraf sebelah kanan.


E. Analisis Data

Praktikum pengamatan sistem saraf pada matakuliah Fisiologi


Manusia/Hewan dilaksanakan pada hari Selasa, 17 September 2019 bertempat di
Labolatorium Biologi Universitas Negeri Malang. Hewan yang digunakan ialah katak
(Rana cancarivora). Setiap kelompok memperoleh seekor katak yang akan digunakan
sebagai hewan amatan. Pertama katak yang didapat oleh setiap kelompok akan
diberikan perlakuan. Sebelum dilakukan perlakuan, katak terlebih dahulu disingle
pitch dengan menggunakan jarum yang telah disiapkan, lalu katak dibedah dengan
menggunakan seperangkat alat bedah dan dipisahkan saraf iskhiadikus, dan otot
gastroknemiusnya dilepaskan dari tulang dengan cara memotong tendonnya dan
dipotong ruas tulang belakang di atas tempat keluarnya saraf iskhiadikus.
Perlakuan pertama ialah pada katak sebelum saraf diputus dengan rangsangan
mekanis dengan cara mencubit menggunakan pinset pada saraf kanannya didapatkan
hasil bahwa terdapat respon sangat cepat pada otot kanannya sedangkan tidak ada
respon pada otot sebelah kirinya. Lalu ketika saraf kirinya yang dicubit (diberi
perlakuan mekanis) terjadi respon yang sangat cepat pada otot kirinya, sedangkan
tidak ada respon pada otot kanannya. Selanjutnya adalah yang diberi perlakuan
mekanis adalah ototnya, ketika otot kanan yang dicubit terdapat respon yang cepat
pada otot kanannya dan tidak ada respon pada otot kirinya, sedangkan ketika otot
kirinya yang dicubit terdapat respon yang cepat pula pada otot kirinya dan tidak ada
respon pada otot kanannya.
Perlakuan kedua pada katak yang belum diputus sarafnya adalah diberi
perlakuan termis dengan cara menyentuhkan ujung spatula kaca yang panas pada
saraf dan ototnya. Pada saat ujung spatula kaca yang panas disentuhkan pada saraf
kanannya, tidak ada respon baik pada otot kanan maupun otot kirinya. Ketika ujung
spatula kaca yang panas disentuhkan pada saraf kirinya juga tidak terdapat respon
pada otot kanan maupun otot kirinya. Ketika ujung spatula kaca yang panas
disentuhkan pada otot kiri maupun otot kanannya juga tidak ada respon pada otot
kanan maupun pada otot kirinya.
Perlakuan ketiga pada katak yang belum diputus sarafnya adalah perlakuan
kimia dengan cara meneteskan satu tetes larutan HCl. Pada saat HCl diteteskan pada
bagian saraf kanan tidak terdapat respon pada otot kanan maupun otot kirinya. Pada
saat HCl diteteskan pada bagian saraf kiri tidak terdapat respon pada otot kanan
maupun otot kirinya. Pada saat HCl diteteskan pada bagian otot kanannya terdapat
respon yang lemah pada otot kanannya, sedangkan pada otot kirinya tidak terdapat
respon. Pada saat HCl diteteskan pada bagian otot kirinya terdapat respon yang lemah
pada otot kirinya, sedangkan pada otot kanannya tidak terdapat respon.
Perlakuan keempat pada katak yang belum diputus sarafnya adalah perlakuan
osmotis dengan cara menaburkan Kristal NaCl secukupnya pada saraf dan ototnya.
Pada saat NaCl ditaburkan pada bagian saraf kanan, tidak terdapat respon pada bagian
otot kanan maupun otot kirinya. Pada saat NaCl ditaburkan pada bagian saraf kiri,
juga tidak terdapat respon pada bagian otot kanan maupun otot kirinya. Ketika NaCl
ditaburkan pada bagian saraf kanannya, terdapat respon yang lemah pada otot
kanannya dan tidak ada respon pada otot kirinya. Ketika NaCl ditaburkan pada bagian
saraf kirinya, terdapat respon yang lemah pada otot kirinya dan tidak ada respon pada
otot kanannya.
Perlakuan kelima pada katak yang belum diputus sarafnya adalah perlakuan
listrik dengan cara menyentuhkan kawat pada kabel yang telah dihubungkan dengan
batu baterai. Ketika kawat pada kabel yang telah dihubungkan dengan batu baterai
disentuhkan pada saraf kanannya, tidak terdapat respon pada otot kirinya dan terdapat
respon yang sangat cepat pada otot kanannya. Ketika kawat pada kabel yang telah
dihubungkan dengan batu baterai disentuhkan pada saraf kirinya, tidak terdapat
respon pada otot kanannya dan terdapat respon yang sangat cepat pada otot kirinya.
Ketika kawat pada kabel yang telah dihubungkan dengan batu baterai disentuhkan
pada otot kanannya, tidak terdapat respon pada otot kirinya dan terdapat respon yang
sangat cepat pada otot kanannya. Ketika kawat pada kabel yang telah dihubungkan
dengan batu baterai disentuhkan pada otot kirinya, tidak terdapat respon pada otot
kanannya dan terdapat respon yang sangat cepat pada otot kirinya.
Perlakuan keenam adalah pada katak yang telah diputus saraf bagian kanannya
dengan perlakuan mekanis dengan cara mencubit menggunakan pinset pada saraf
kanannya didapatkan hasil bahwa tidak terdapat respon pada otot kanan maupun otot
kirinya. Ketika saraf kirinya yang dicubit, juga tidak terdapat respon pada otot kanan
maupun otot kirinya. Ketika otot kirinya yang dicubit, juga tidak terdapat respon pada
otot kanan maupun otot kirinya. Ketika otot kanannya yang dicubit, juga tidak
terdapat respon pada otot kanan maupun otot kirinya.
Perlakuan ketujuh adalah pada katak yang telah diputus saraf bagian kanannya
dengan perlakuan termis dengan cara menyentuhkan ujung spatula kaca yang panas
pada saraf dan ototnya. Pada saat ujung spatula kaca yang panas pada saraf kanannya,
tidak terdapat respon pada otot kanan maupun pada otot kirinya. Pada saat ujung
spatula kaca yang panas pada saraf kirinya, tidak terdapat respon pada otot kanan
maupun pada otot kirinya. Pada saat ujung spatula kaca yang panas pada otot
kanannya, tidak terdapat respon pada otot kanan maupun pada otot kirinya. Pada saat
ujung spatula kaca yang panas pada otot kirinya, tidak terdapat respon pada otot
kanan maupun pada otot kirinya.
Perlakuan kedelapan adalah pada katak yang telah diputus saraf bagian
kanannya dengan perlakuan kimia dengan cara meneteskan satu tetes larutan HCl.
Pada saat HCl diteteskan pada bagian saraf kanan, tidak terdapat respon pada otot
bagian kiri maupun otot bagian kanannya. Pada saat HCl diteteskan pada bagian saraf
kiri, tidak terdapat respon pada otot bagian kiri maupun otot bagian kanannya. Ketika
HCl diteteskan pada bagian otot kanannya, tidak terdapat respon pada otot bagian kiri
maupun otot bagian kanannya. Selanjutnya, ketika HCl diteteskan pada bagian otot
kirinya, juga tidak terdapat respon pada otot bagian kiri maupun otot bagian
kanannya.
Perlakuan kesembilan adalah pada katak yang telah diputus saraf bagian
kanannya dengan perlakuan osmotis dengan cara menaburkan Kristal NaCl
secukupnya pada saraf dan ototnya. Pada saat NaCl ditaburkan pada bagian saraf
kanan, tidak terdapat respon pada otot bagian kiri maupun otot bagian kanannya.
Ketika NaCl ditaburkan pada bagian saraf kiri, juga tidak terdapat respon pada otot
bagian kiri maupun otot bagian kanannya. Pada saat NaCl ditaburkan pada bagian otot
kanan, tidak terdapat respon pada otot bagian kiri maupun otot bagian kanannya.
Ketika NaCl ditaburkan pada bagian otot kiri, juga tidak terdapat respon pada otot
bagian kiri maupun otot bagian kanannya.
Perlakuan kesepuluh adalah pada katak yang telah diputus saraf bagian
kanannya dengan perlakuan listrik dengan cara menyentuhkan kawat pada kabel yang
telah dihubungkan dengan batu baterai. Ketika kawat pada kabel yang telah
dihubungkan dengan batu baterai disentuhkan pada saraf kanannya, tidak terdapat
respon pada otot bagian kiri maupun otot bagian kanannya. Pada saat kawat pada
kabel yang telah dihubungkan dengan batu baterai disentuhkan pada saraf kirinya,
juga tidak terdapat respon pada otot bagian kiri maupun otot bagian kanannya. Ketika
kawat pada kabel yang telah dihubungkan dengan batu baterai disentuhkan pada otot
kanannya, tidak terdapat respon pada otot bagian kiri maupun otot bagian kanannya.
Pada saat kawat pada kabel yang telah dihubungkan dengan batu baterai disentuhkan
pada otot kirinya, juga tidak terdapat respon pada otot bagian kiri maupun otot bagian
kanannya.

F. Pembahasan

Pada dasarnya makhluk hidup memiliki ciri khusus yang membedakan


dengan benda mati lainnya yaitu dapat melakukan suatu pergerakkan. Gerakan yang
dihasilkan merupakan hasil dari kombinasi antara otot dan tulang yang saling
berkordinasi dan dipengaruhi juga oleh adanya sistem saraf. Setiap sistem saraf yang
ada pada setiap makluk hidup, dibentuk oleh sel saraf yang mempunyai sifat
iritabilitas maupun konduktivitas. Menurut Gofur dkk (2019), iritabilitas memiliki arti
bahwa sel dapat menanggapi atau juga merespon setiap rangsangan yang sampai pada
tubuhnya, yang biasanya rangsangan diberikan melalui sel saraf atau bahkan melalui
sel otot secara langsung. Sedangkan, konduktivitas memiliki arti sebagai kemampuan
dari setiap sel saraf untuk dapat merambatkan rangsangan atau impuls yang diterima
oleh tubuh (Sloane,2004).

Praktikum kali ini ialah tentang iritabilitas otot dan saraf, yang bertujuan untuk
mengetahui sifat iritabilitas otot dan saraf dengan menggunakan hewan amatan yaitu
katak (Rana sp.). Pengamatan dilakukan terhadap otot gastroknemieus dan juga saraf
iskhiadukus dengan melakukan dua perlakuan. yaitu sebelum saraf diputus dari
medula spinalis dan sesudah saraf diputus dari medula spinalis. Setiap perlakuan akan
diamati berdasarkan rangsangan mekanis, rangsangan termis, rangsangan kimia,
rangsangan osmotik, dan rangsangan listrik. Setiap kali selesai diuji dengan satu
rangsangan, hewan amatan atau sediaan harus diistirahatkan terlebih dahulu dengan
menteskan larutan ringer. Pembahasan sebagai berikut:

a. Rangsangan mekanis

Berdasarkan hasil pengamatan rangsangan mekanis sebelum saraf diputus,


yaitu pertama dengan mencubitkan secara perlahan saraf iskhiadukus sebelah
kanan dengan pinset dan mengamati respon yang diberikan oleh otot
gastroknemieus pada kedua sisi. Respon yang ditunjukkan oleh otot
gastroknemieus bagian kanan ialah sangat cepat dan pada bagian otot kiri tidak
memberikan respon apapaun. Sedangkan pada saraf iskhiadukus kiri dicubit, otot
sebelah kanan tidak menunjukkan respon dan otot sebelah kiri memberikan respon
berupa berdenyut yang cukup kuat. Berbeda halnya saat mencubitkan secara
perlahan otot gastroknemieus bagian kanan. Diperoleh hasil bahwa pada otot
sebelah kanan memberikan respon berupa kontraksi yang cukup cepat. Sedangkan
pada otot sebelah kiri tidak memberikan respon apapun. Hal ini berbanding terbalik
dengan hasil pengamatan pada otot gastroknemieus bagian kiri. Bagian otot
sebelah kanannya, tidak memberikan respon apapun, sedangkan pada otot kiri
memberikan respon yang cukup cepat. Seharusnya pada saat saraf iskhiadikus
maupun otot gastroknemieus diberi perlakuan dalam posisi belum mengalami
pemutusan pada bagian medula spinalis,otot memberikan respon atau rangsanagan.
Hasil pengamatan ini kurang sesuai dengan teori Haryanto (2010) yang
mengatakan bahwa setiap sel otot akan memberikan adanya suatu respon apabila,
sel otot mendapatkan rangsangan atau impuls yang melewati sel saraf dan juga
otot. Respon yang akan diberikan oleh sel otot umumnya berupa kontraksi pada
otot, sedangkan respon yang ada pada sel saraf tidak dapat (sukar) diamati
dikarenakan adanya suatu proses pembentukan potensial aksi yang kemudian
dirambatkan berupa impuls.

Setelah itu, dilakukan pengamatan pada sediaan yang telah diputuskan saraf
iskhiadukus bagian kanan dari medula spinalisnya. Bagian kanan saraf iskhiadikus
dicubit secara perlahan dan tidak terlihatnya respon apapun dari kedua otot kanan
dan kiri. Rangsangan berikutnya di pindahkan pada posisi yang mengarah pada
saraf iskhiadikus kiri yang masih menyambung dengan medula spinalis. Namun,
bagian kiri saraf iskhiadikus juga tidak memberikan sebuah rangsangan. Pada saat
pengamatan otot gastroknemius bagian kanan maupun bagian kiri, tetapi respon
yang ditunjukkan tetap sama, yaitu tidak adanya respon atau rangsangan. Hasil
pengamatan ini kurang sesuai dengan teori Soewolo (1999) yang menyebutkan
bahwa saraf iskhiadikus merupakan bagian daripada saraf perifer yang dapat
berfungsi apabila masih tersambung dengan medula spinalis. Seharusnya pada
saraf iskhiadikus bagian kiri yang masih berhubungan langsung dengan medula
spinalis atau belum di putuskan dari medula spinalis memberikan adanya sebuah
respon atau pergerakkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang salah satu
diantaranya ialah terlalu lamanya sediaan dibiarkan atau tidak dengan segera di
beri perlakuan. Oleh sebab itu, energi yang ada pada saraf iskhiadikus katak
(sediaan) lama-kelamaan akan habis sehingga saat diberi perlakuan, tidak
memberikan adanya respon atau rangsangan bahkan gerakan sekalipun tidak.

b. Rangsangan Termis

Pengamatan selanjutnya ialah dengan melakukan rangsangan termis sebelum


saraf diputus dari medula spinalis yang diberi perlakuan dengan cara
menghangatkan ujung batang gelas yang dipanaskan melalui pemanas bunsen.
Ujung batang gelas yang telah dihangatkan, disentuhkan pada saraf iskhiadikus
pada sebelah kanan dan didapati hasil kedua otot gastroknemius baik kanan
maupun kiri tidak menunjukkan adanya respon apapun. Hal yang berupa juga
terjadi pada saat saraf iskhiadikus bagian kiri yang disentuhkan dengan ujung
batang gelas yan sebelumnya juga telah dipanaskan, tetapi juga memberikan hasil
yang sama yaitu tidak adanya respon dari setiap otot. Pengamatan ini dapat
dikatakan kurang tepat. Karena Menurut Nurcahyani dkk (2005) yaitu apabila saraf
masih belum terpisah dengan medula spinalis, maka seharusnya pada setiap
perlakuan yang dilakukan dapat menunjukkan suatu respon terhadap rangsangan.
Namun, kemungkinan terjadi kesalahan terhadap kesediaan yang kurang cepat
dalam proses single pitch katak, proses istirahat, proses rangsangan mekanis dan
sebagainya.

Pada perlakuan berikutnya ialah memanaskan ujung batang gelas hingga


hangat dengan pemanas bunsen ysng selanjutnya disentuhkan pada otot
gastronekmus kanan , hasilnya adalah baik bagian otot sebelah kanan maupun
bagian otot kiri tidak menunjukkan adanya respon. Setelah saraf katak dipotong
dan ujung batang gelas disentuhkan kembali pada gastronekmus kanan, didapati
juga tidak adanya yang merespon. Tentnya hal ini dapat terjadi juga pada saat otot
gastronekmus bagian kiri sebelum dan sesudah saraf kiri dipotong dan disentuhkan
pada batang gelas hangat hingga tidak terjadi respon apapun itu (Sloane,2004)

c. Rangsangan Kimia

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, yaitu pertama sebelum saraf


diputuskan dari medula spinalis. Rangsangan kimia dilakukan dengan cara
memberikan perlakuan yaitu meneteskan 1-2 tetes HCL 1% pada saraf iskhiadikus
bagian kanan dan juga pada bagian kiri dan diperoleh hasil yaitu otot kanan dan
otot kirinya tidak memberikan respon apapun. Hal ini tidak sesuai dengan teori
yang disampaikan oleh Susilowati dkk (2000) yaitu menyebutkan bahwa sel otot
akan menunjukkan adanya suatu rangsangan ataupun respon apabila mendapatkan
rangsangan yang melewati saraf atau bahkan dapat secara langsung menuju pada
otot. Respon tersebut kemudian akan yang ditunjukkan oleh sel otot baik bagian
kanan maupun bagian kiri yang umumnya berupa kontraksi otot. Sedangkan,
respon yang pada sel saraf sangat sukar untuk dapat diamati secara langsung
dengan mata, dikarenakan adanya suatu proses pembentukan potensial aksi yang
selanjutnya akan dirambatkan dalam bentuk impuls. Setiap respon sel saraf yang
hanya dapat diamati pada efektornya.

Pengamatan selanjutnya ialah pada otot gastroknemius yangjuga ditetesi 1-2


tetes HCL 1% pada kedua sisi, yaitu sisi kanan dan sisi kiri. Hasil yang didapat
ialah saat otot gastroknemius sebelah kanan ialah terjadinya respon pada saat otot
bagian kanan ditetesi oleh HCL. Namun pada otot sebelah kiri tidak menunjukkan
adanya respon apapun. Hal ini berbeda dengan pengamatan pada bagian otot
gastroknemius sebelah kiri yang menunjukkan hasil yaitu otot sebelah kiri
memunculkan respon sedangkan otot bagian kanan tidak terjadi ataupun muncul
respon apapun. Menurut Subianto (1994) mengatakan bahwa impuls saraf ialah
gerakan potensial listrik yang berlangsung secara cepat sehingga sering juga
disebut potensial aksi. Apabila impuls masuk dalam suatu membran, maka dapat
disimpulkan bahwa beda potensial dari setiap membran tersebut akan mengalami
perubahan. Sedangkan jika impuls yang diterima melampaui ambang batas dari
normal maka, impuls saraf tersebut dapat diteruskan. Sehingga akan memberikan
respon atau rangsangan yang berupa kontraksi otot pada katak. Alasan lain
penyebab tidak terjadinya respon pada otot gastroknemius kanan dan kiri katak
juga bisa disebabkan karena konsentrasi dari HCL yang cukup rendah, sehingga
respon yang diberikan pada sediaan sangat kecil sekali dan mengakibatkan tidak
terlihat dengan jelas.

Kemudian ialah pengamatan rangsangan kimia yang saraf sebelah kanannya


telah diputuskan dari medula spinalis. Dari pengamtan yang telah dikerjakan yaitu
dengan meneteskan sebanyak 1-2 tetes pada masing-masing otot gastroknemius
dan juga saraf iskhiadikus, didapati bahwa setiap otot baik bagian kiri maupun
yang kanan tidak memberikan adanya suatu respon. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh terlalu lamanya waktu sediaan dieksekusi pada rangsangan
sebelumnya.

d. Rangsangan Osmotik

Pengamtan yang telah dilakukan, rangsangan osmotik ialah dengan


menggunakan NaCl yang ditaburkan pada bagian otot gastroknemius dan juga
saraf iskhiadikus. Pengamatan saraf yang belum diputuskan dari medula spinalis
dimulai dari saraf iskhiadikus denganbagian masing-masing. Perlakuan yang
diberikan ialah membubuhkan garam atau NCl pada kedua bagian otot, dan setelah
dibubukan , ternyata kedua bagian otot, baik otot kanan dan otot kiri tidak
mengalami respon apapun. Selain itu, berdasarkan hasil yang ada, diketahui yang
memberikan respon hanya otot gastroknemius. Pernyataan ini merupakan teori dari
Susilowati dkk (2000) yang mengatakan bahwa sel otot akan menunjukkan adanya
suatu rangsangan apabila menerima atau diberikan rangsangan lewat saraf atau
langsung juga pada ototnya pun tidak ada. Respon yang ditunjukkan oleh sel
ototumumnya berupa kontraksi otot, sedangkan respon yang pada sel saraf tidak
dapat diamati sebab berupa proses pembentukan potensial aksi yang kemudian
dirambatkan. Tetapi, hasil pengamatan ini kurang sesuai dengan teori yang
mengatakan bahwa, saraf iskhiadikus ialah bagian dari saraf perifer yang memiliki
sistem kinerjanya yang cukup dibutukan dengan adanya medula spinalis.
Seharusnya, setiap saraf iskhiadikus baik pada bagian kanan maupun pada bagian
kiri yang sarafnya masih terhubung dengan medula spinalis akan menunjukkan
adanya respon ketika diberi rangsangan yaitu berupa gerakan otot gastroknemius.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah, kadar stimulus yang
kurang atau bisa disebabkan karena kurang tepat waktu pada saat pemberian
perlakuan pada bagian tertentu. Besarnya rangsangan yang diberikan pada saraf
iskhiadikus pada perlakuan pertama akan mempengaruhi kontraksi otot
gastroknemius.

e. Rangsangan Listrik

Pengamatan terakhir ialah dengan menggunakan perlakuan rangsangan listrik


yang memiliki mekanisme yaitu cukup dengan menyentuhkan kabel yang
dihubungkan dengan baterai pada bagian saraf iskhiadikus baik kanan maupun kiri
dan disalurkan juga otot gastroknemius baik kanan serta kiri. Pada saraf
iskhiadikus bagian kanan (yang belum diputuskan dari medula spinalis) disalurkan
dengan menggunakan batre dan didapati bahwa bagian otot kanan mendapatkan
sebuat respon yang cepat. Sedangkan pada otot bagian kiri tidak menunjukkan
adanya respon. Juga dilakukan pada saraf iskhiadikus bagian kiri. Berdasarkan
hasil analisis yang ada, didapati bahwa pada otot kiri memberikan respon yang
cepat sedangkan otot kanan tidak punya. Sehingga, memberikan respon hanya pada
otot gastroknemius aja sedangkan pada saraf iskhiadiskus tidak terlihat adanya
respon. Hal tersebut sesuai dengan teori Susilowati dkk (2000) yang mengatakan
bahwa apabila respon pada sel otot tersebut diberikan ialah rangsang baik yang
diberikan melalui sarf atau yang secara langsung pada otot. Respon yang
ditunjukkan oleh sel otot berupa kontraksi otot sedangkan respon yang ditunjukkan
oleh sel saraf tidak dapat diamati karena respon yang dihasilkan biasanya hanya
berupa potensial aksi yang kemudian dirambatkan dalam bentuk impuls.

Pengamatan rangsangan listrik juga diujikan pada katak yang telah diputus
sarafnya dari medula spinalis. Daripercobaan baik melalui otot dan saraf yang
disalurkan dengan listrik yang berasal dari batre, didapati hasil analisinya ialah
semua hasil amatan tidak mengalami respon apapun. Respon yang diterima tidak
ada. Hasil pengamatan ini dapat dikategorikan kurang sesuai dengan teori yang
mengatakan bahwa, saraf iskhiadikus ialah bagian dari saraf perifer yang memiliki
sistem kerja yang cukup dibutukan dengan adanya medula spinalis. Seharusnya,
setiap saraf iskhiadikus baik pada bagian kanan maupun pada bagian kiri yang
sarafnya masih terhubung dengan medula spinalis akan menunjukkan adanya
respon ketika diberi rangsangan yaitu berupa gerakan otot gastroknemius. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah, kadar stimulus yang kurang
atau bisa disebabkan karena kurang tepat waktu pada saat pemberian perlakuan
pada bagian tertentu. Besarnya rangsangan yang diberikan pada saraf iskhiadikus
pada perlakuan pertama akan mempengaruhi kontraksi otot gastroknemius
(Susilowati dkk,2000).

G. Kesimpulan
Iritabilitas merupakan suatu kemampuan bereaksi terhadap suatu rangsangan
fisik atau kimiawi dari luar tubuh. Aliran energi rangsang untuk selanjutnya
ditransduksikan oleh bagian khusus yaitu reseptor untuk diubah menjadi suatu
potensial listrik sehingga akhirnya mampu membangkitkan rangsang saraf.
Kemampuan khusus semacam iritabilitas terhadap suatu stimulus tertentu dan
konduktivitas, yang merupakan kemampuan untuk mentransmisi suatu respons
terhadap stimulasi. Sistem saraf menerima stimulus melalui reseptor yang terletak di
eksternal tubuh (somatik) dan internal tubuh (viseral). Stimulus diubah menjadi
impuls listrik yang menjalar di sepanjang saraf hingga menuju otak dan medulla
spinalis oleh reseptor, sehingga terbentuklah suatu respon. Otak dan medulla spinalis
menghasilkan impuls yang kemudian memperoleh respon yang sesuai dengan otot
maupun kelenjar yang disebut efektor. Jaringan otot memiliki strukturnya
dikhususkan untuk menghasilkan suatu gerakan, baik secara keseluruhan tubuh
maupun oleh bagian-bagian tubuh tertentu.
Daftar Rujukan

Bloom William, Don W. Fawcett. 2002. Buku ajar histologi. Edisi 12. Terjemahan Jan
Tambayong. Jakarta: EGC

Gofur,A., Lestari,S.R., Susanto,H., Wulandari,N., Putra,W.E., Atho’ilah,M.F. 2019.


Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan dan Manusia. Malang : Unversitas Negeri
Malang

Haryanto,S. 2010. Jaringan Hewan. Jakarta : Erlangga

Kee J.L., Hayes E.R.,1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC.
h.358

Kimball, John W., Biologi, Jilid 1, terj. Siti Soetarmi dan Nawangsari Sugiri, Bandung:
Erlangga, 1983, Cet. 5. Lembaga Kajian Pendidikan Keislaman

Nurcahyani,N . 2005. Struktur dan Perkembangan Hewan. Universitas Lampung. Bandar


Lampung

Sloane,E. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula.Jakarta : EGC Penerbit Buku
Kedokteran

Soewolo. 1994. Pengantar Fisiologi Hewan. Malang : Proyek pengembangan guru sekolah
menengah

Subiyanto.1994. Fisiologi Hewan. Malang : Unversitas Negeri Malang


Susilowati, Soewolo, Istantic, A. 2000. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan . Malang:
Unversitas Negeri Malang

Tenzer A .et.al.2014.Struktur Perkembangan Hewan (SPH 1) (Bagian 2). Malang: OPF IKIP
Malang

Anda mungkin juga menyukai