Anda di halaman 1dari 11

METODE ANALISIS TITRIMETRI (VOLUMETRI)

Volumetri atau titrimetri merupakan suatu metode analisis kuantitatif didasarkan pada
pengukuran volume titran yang bereaksi sempurna dengan analit.
Titran merupakan zat yang digunakan untuk mentitrasi. Analit adalah zat yang akan
ditentukan konsentrasi/kadarnya.

Gambar 1. Peralatan yang dipergunakan dalam volumetri (Chang, 2005)

Persyaratan Titrasi
Reaksi yang dapat digunakan dalam metode volumetri adalah reaksi-reaksi kimia yang
sesuai dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Reaksi harus berlangsung cepat
2. Tidak terdapat reaksi samping
3. Reaksi harus stoikiometri, yaitu diketahui dengan pasti reaktan dan produk serta
perbandingan mol / koefisien reaksinya
4. Terdapat zat yang dapat digunakan untuk mengetahui saat titrasi harus dihentikan
(titik akhir titrasi) yang disebut zat indikator

Standar primer
Larutan titran haruslah diketahui komposisi dan konsentrasinya. Idealnya kita harus
memulai dengan larutan standar primer. Larutan standar primer dibuat dengan melarutkan zat
dengan kemurnian yang tinggi (standar primer) yang diketahui dengan tepat beratnya dalam
suatu larutan yang diketahui dengan tepat volumnya. Apabila titran tidak cukup murni, maka
perlu distandardisasi dengan standar primer. Standar yang tidak termasuk standar primer
dikelompokkan sebagai standar sekunder, contohnya NaOH; karena NaOH tidak cukup murni
(mengandung air, natrium karbonat dan logam-logam tertentu) untuk digunakan sebagai
larutan standar secara langsung, maka perlu distandardisai dengan asam yang merupakan
standar primer misal: kalium hidrogen ftalat (KHP)
Persyaratan standar primer
1. Kemurnian tinggi
2. Stabil terhadap udara
3. Bukan kelompok hidrat
4. Tersedia dengan mudah
5. Cukup mudah larut
6. Berat molekul cukup besar

Larutan standar yang ideal untuk titrasi


1. Cukup stabil sehingga penentuan konsentrasi cukup dilakukan sekali
2. Bereaksi cepat dengan analit sehingga waktu titrasi dapat dipersingkat
3. Bereaksi sempurna dengan analit sehingga titik akhir yang memuaskan dapat dicapai
4. Melangsungkan reaksi selektif dengan analit

Keakuratan hasil metode titrasi amat bergantung pada keakuratan penentuan konsentrasi
larutan standar. Untuk menentukan konsentrasi suatu larutan standar dapat digunakan 2 cara
1. Dengan cara langsung, menimbang dengan tepat standar primer, melarutkannya dalam
pelarut hingga volume tertentu
2. Dengan standarisasi, yaitu titran yang akan ditentukan konsentrasinya digunakan untuk
mentitrasi standar primer/sekunder yang telah diketahui beratnya.

Jenis-jenis titrasi

1. Titrasi asam – basa

Titrasi asam - basa digunakan untuk menentukan kadar analit yang bersifat
asam/basa atau zat yang dapat diubah menjadi asam/basa. Air umumnya digunakan
sebagai pelarut karena mudah diperoleh, murah, tidak beracun dan mempunyai
koefisien suhu muai yang rendah.
Penentuan titik ekivalen secara umum dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu
dengan penambahan indikator (penambahan dilakukan sebelum titrasi) atau
monitoring perubahan pH dengan pH meter selama proses titrasi berlangsung yang
kemudian dilakukan plot perubahan pH terhadap volume titran. Titik tengah dari
kurva titrasi tersebut merupakan titik ekivalen. Indikator yang dipakai dalam titrasi
asam basa adalah indikator yang perubahan warnanya dipengaruhi oleh pH.
Penambahan indikator diusahakan sesedikit mungkin dan umumnya adalah dua
hingga tiga tetes.
Pada saat titik ekuivalen maka mol-ekuivalent asam akan sama dengan mol-
ekuivalent basa, maka hal ini dapat kita tulis sebagai berikut:

mol-ekuivalen asam = mol-ekuivalen basa


Mol ekivalen = perkalian antara Normalitas dengan volume = N x V
Normalitas = Molaritas x jumlah H+ pada asam atau OH- pada basa.
2. Titrasi Redoks

Reaksi titrasi redoks dapat secara umum digambarkan sebagai berikut:

Red1 + e ↔ oks1 (reduksi)

Oks2 ↔ red2 + e (oksidasi)

Red1 + oks2 ↔ oks1 + red2 (redoks)

Reaksi ini menggambarkan perpindahan elektron yang menjadi dasar titrasi redoks.
Pada titrasi ini ekivalen suatu zat oksidator atau reduktor setara dengan satu mol elektron.

Oksidator baku primer yang bisa digunakan adalah K2Cr2O7, KIO3dan Ce4+. Larutan
KMnO4 juga dapat dipakai sebagai larutan baku, tetapi bukan baku primer karena dalam
larutan asam dan dengan pengaruh cahaya matahari dapat mengurai sebagai berikut :
4MnO4- + 4H+ → 4MnO2 (s) + 3O2 + 2H2O

Karena itu larutan KMnO4 harus dibakukan terlebih dahulu setiap kali dan disimpan dalam
tempat yang gelap.

Zat-zat yang dapat berperan sebagai reduktor baku primer adalah As2O3 dan Na2C2O4.
sedangkan Na2S2O3 dapat dipakai sebagai baku sekunder karena cenderung mengurai seperti
berikut:

S2O32- + H+ → HSO3- + S

Selama titrasi terjadi perubahan konsentrasi analit yang dapat diukur melalui potensial
elektroda yang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Nernst. Kurva titrasi
diperoleh dengan mengalurkan E terhadap volume titran. Pada titik ekivalen terdapat
perubahan potensial yang besar karena sebelum titik ekivalen potensial larutan ditentukan
oleh sistim red1 – oks1 dan sesudah titik ekivalen oleh sistim red2 – oks2.

Indikator redoks umumnya adalah suatu oksidator atau reduktor yang mengalami
perubahan warna jika tereduksi atau teroksidasi. Berbeda dengan indikator spesifik,
perubahan warna pada indikator redoks sebagian besar tidak bergantung pada keadaan kimia
analit tetapi bergantung pada potensial elektroda sistem selama titrasi berlangsung.

3. Titrasi Pembentukkan Kompleks ( Kompleksometri )


Banyak ion logam dapat ditentukan dengan titrasi menggunakan suatu pereaksi (sebagai
titran) yang dapat membentuk kompleks dengan logam tersebut.
Salah satu senyawa komplek yang biasa digunakan sebagai penitrasi dan larutan standar
adalah ethylene diamine tetra acetic acid (EDTA).
EDTA merupakan asam lemah dengan empat proton
Sebagai penitrasi/pengomplek logam, biasanya yang digunakan yaitu garam Na2EDTA
(Na2H2Y), karena EDTA dalam bentuk H4Y dan NaH3Y tidak larut dalam air.
EDTA dapat mengomplekkan hampir semua ion logam dengan perbandingan mol 1 : 1
berapapun bilangan oksidasi logam tersebut.
Kestabilan senyawa komplek dengan EDTA, berbeda antara satu logam dengan logam yang
lain. Reaksi pembentukan komplek logam (M) dengan EDTA (Y) adalah :
M + Y → MY
Konstanta pembentukan/kestabilan senyawa komplek dinyatakan sebagai berikut ini :

Besarnya harga konstante pembentukan komplek menyatakan tingkat kestabilan suatu


senyawa komplek. Makin besar harga konstante pembentukan senyawa komplek, maka
senyawa komplek tersebut makin stabil dan sebaliknya makin kecil harga konstante
kestabilan senyawa komplek, maka senyawa komplek tersebut makin tidak (kurang) stabil.

Karena selama titrasi terjadi reaksi pelepasan ion H + maka larutan yang akan dititrasi perlu
ditambah larutan bufer..
Reaksi antara ion Mg2+ dengan EDTA tanpa adanya penambahan indikator adalah :
Mg2+ + H2Y2- ? MgY2- + 2H+
Jika sebelum titrasi ditambahkan indikator maka indikator akan membentuk kompleks
dengan Mg2+ (berwarna merah) kemudian Mg2+ pada komplek akan bereaksi dengan EDTA
yang ditambahkan. Jika semua Mg2+ sudah bereaksi dengan EDTA maka warna merah akan
hilang selanjutnya kelebihan sedikit EDTA akan menyebabkan terjadinya titik akhir titrasi
yaitu terbentuknya warna biru.

4. Titrasi Pengendapan

Titrasi pengendapan merupakan titrasi yang melibatkan pembentukan endapan dari


garam yang tidak mudah larut antara titrant dan analit. Hal dasar yang diperlukan dari titrasi
jenis ini adalah pencapaian keseimbangan pembentukan yang cepat setiap kali titran
ditambahkan pada analit, tidak adanya interferensi yang menggangu titrasi, dan titik akhir
titrasi yang mudah diamati.
Salah satu jenis titrasi pengendapan yang sudah lama dikenal adalah melibatkan reaksi
pengendapan antara ion halida (Cl-, I-, Br-) dengan ion perak Ag+. Titrasi ini biasanya disebut
sebagai Argentometri yaitu titrasi penentuan analit yang berupa ion halida (pada umumnya)
dengan menggunakan larutan standart perak nitrat AgNO 3. Titrasi argentometri tidak hanya
dapat digunakan untuk menentukan ion halida akan tetapi juga dapat dipakai untuk
menentukan merkaptan (thioalkohol), asam lemak, dan beberapa anion divalent seperti ion
fosfat PO43- dan ion arsenat AsO43-.
Dasar titrasi argentometri adalah pembentukan endapan yang tidak mudah larut antara
titran dengan analit. Sebagai contoh yang banyak dipakai adalah titrasi penentuan NaCl
dimana ion Ag+ dari titrant akan bereaksi dengan ion Cl- dari analit membentuk garam yang
tidak mudah larut AgCl.
Ketajaman titik ekuivalen tergantung dari kelarutan endapan yang terbentuk dari reaksi
antara analit dan titrant. Endapan dengan kelarutan yang kecil akan menghasilkan kurva
titrasi argentometri yang memiliki kecuraman yang tinggi sehingga titik ekuivalen mudah
ditentukan, akan tetapi endapan dengan kelarutan rendah akan menghasilkan kurva titrasi
yang landai sehingga titik ekuivalen agak sulit ditentukan. Hal ini analog dengan kurva titrasi
antara asam kuat dengan basa kuat dan anatara asam lemah dengan basa kuat.

Titrasi balik (back-titration)

Terkadang suatu reaksi berlangsung lambat dan tidak dapat diperoleh titik akhir yang
tegas. Untuk itu metoda titrasi balik dapat digunakan untuk mengatasinya. Caranya dengan
menambahkan titran secara berlebih, setelah reaksi dengan analit berjalan sempurna,
kelebihan titran ditentukan dengan menitrasi dengan larutan standar lainnya.
Denganmengetahui mmol titran dan menghitung mmol yang tak bereaksi, akan diperoleh
mmol titran yang bereaksi dengan analit.
T (mmol titran yang bereaksi) = mmol titran berlebih - mmol titrasi balik
mg analit = T x faktor (mmol analit/mmol titran yang bereaksi) x BM analit

Contoh
suatu sampel 0,500 g yang mengandung Na2CO3 dianalisa dengan menambahkan 50 mL
0,100 M HCl berlebih, dididihkan untuk menghilangkan CO2, kemudian dititrasi balik
dengan 0,100 M NaOH. Jika 5,6 mL NaOH diperlukan untuk titrasi balik, berapa persen
Na2CO3 dalam sampel
CO 2- + 2H+ → H CO
3 2 3

tiap Na2CO3 bereaksi dengan 2H+


mmol titrasi balik = (0,1 mmol/mL) x (5,6 mL) = 0,56 mmol HCl
T = mmol titran berlebih - mmol titrasi balik
= {(0,100 mmol/mL) x 50 mL} - 0,56 mmol
= 5 - 0,56 mmol = 4,44 mmol
mg Na2CO3 =(4,44 mmol HCl) x (1 mmol Na2CO3 /2 mmol HCl) x (106 mg/mmol
Na2CO3)=235,32 mg

Titer
Untuk titrasi yang bersifat rutin, lebih disukai untuk menghitung titer dari titran. Titer
adalah berat analit yang ekuivalen dengan 1 mL titran, biasanya dinyatakan dalam mgram.
Satuannya= mg analit / mL titran
CO 2-+ 2H+ → H
3  CO
2 3

tiap Na2CO3 bereaksi dengan 2H+

Contoh: dalam penentuan Na2CO3. Berat sampel 0,50 gram. Untuk mencapai titik akhir
diperlukan 22,12 mL 0,120 M HCl diasumsikan semua karbonat adalah Na2CO3.
Mg Na2CO3 = (1,0 mL HCl) x (0,120 mmol / mL HCl) x (1mmol Na2CO3 / 2mmol HCl)
x (106mg/mmol Na2CO3)= 6,36 mg
titer adalah 6,36 mg Na2CO3 / mL HCl sehingga % dalam sampel adalah:

22,12 ml HCl x (6,36 mg Na 2 CO 3 / ml HCl)


x 100 =28,13
500 mg sampel

PERHITUNGAN VOLUMETRI
Molaritas

mol A mmol A
M =¿ =
Liter Larutan ml larutan

Hitung molaritas suatu larutan H2SO4 yang mempunyai densitas 1,30 g/mL dan
mengandung 32,6% bobot SO3. BM SO3=80,06
jawab: 1 liter larutan mengandung
1,30 g/mL x 1000mL/L x 0,326 = 424 g SO3

g
( 424 g)/(80,06 )
mol
M= =5,3 mol /l
1 liter

Karena 1 mol SO3 menghasilkan 1 mol H2SO4 dalam air maka ada 5,3 mol/L H2SO4 dalam
larutan itu

Normalitas
ek A mek A
N= =
Liter Larutan mL larutan

Berat Ekuivalen
untuk reaksi:
1. Asam-basa: berat (dalam gram) suatu zat yang diperlukan untuk bereaksi dengan 1 mol
(1,008 gram) H+
2. Redoks: berat (dalam gram) suatu zat yang diperlukan untuk memberikan atau bereaksi
dengan 1 mol elektron.

Contoh
Perhitungan berat ekuivalen

Berat ekuivalen SO3 dalam larutan air (aqueous solution)


SO + H O → H SO → 2H+ + SO 2-
3 2 2 4 4
+
1 mol SO3 memberikan 2 mol H
BE= BM/2 = 80,06/2 = 40,03 g/ek

Hitung berapa gram Na2CO3 murni diperlukan untuk membuat 250 mL larutan 0,150 N.
natrium karbonat itu dititrasi dengan HCl menurut persamaan
CO 2- + 2H+ → H CO
3 2 3

tiap Na2CO3 bereaksi dengan 2H+ , oleh itu berat ekuivalennya setengah BMnya, 106/2 = 53
g/ek
jadi, banyaknya Na2CO3 yang diperlukan:
ek = g/BE
g = (0,15 ek/L) x (0,25 L) x (53 g/ek) = 1,99 g
SOAL

1. Jelaskan pembuatan 5,0 L larutan 0,1 M Na CO (105,99 g/mol) dari padatan


2 3

standar primer

jawab:
mol Na CO = volume larutan (L) x CNa CO (mol/L)
2 3 2 3

0,1mol Na 2 CO3
mol Na 2 CO 3=5 L x =0,5 mol Na2 CO 3
L

105,99 g Na2 CO3


g Na2 CO3 =0,5 mol Na2 CO 3 × = 53,0 gr
Na 2 CO 3
1 mol Na2 CO 3

2. Hitung konsentrasi molar analitik dan kesetimbangan dari spesi solut dalam suatu
larutan aq yang mengandung 285 mg asam trikloro asetat Cl 3CCOOH (163,4 g/mol) dalam 10 mL (asam
mengalami 73% ionisasi dalam air)
jawab: Cl CCOOH merupakan asam lemah, dinotasikan dg HA
3

1 g HA 1 mol HA
mol HA=285 mg H A x x = 1,744 x 10-3 mol HA
1000 mg HA 163,4 g HA
−3
1,744 ×10 mol HA 1000 mL
Konsentrasi molar analitik= × =0,174 mol HA / L
10 mL 1L
dalam larutan ini 73% HA terdisosiasi menjadi H dan A + -

HA
↔ H +A + -

molaritas spesi HA mjd 27%


[HA] = C x 0,27 = 0,174 x 0,27 = 0,047 mol/L
HA

[A ] sebanding dengan 73% dari C


-
HA
−¿
A−¿ mol HA
73 mol × 0,174 = 0,127 A ¿
100 mol HA L /L
A− =¿

[H+] = [A-]

3. Hitung molaritas K+ dalam larutan aq yang mengandung 63,3 ppm K Fe(CN) 3 6

(329,2 g/mol)

jawab: larutan ini mengandung 63,3 g solut per 10 g larutan. Anggap kerapatan larutan
6

sama dengan kerapatan air murni yaitu 1 g/mL atau 1000g/L

K +¿
3 mol = 5,77 × 10−4
1mol K 3 Fe(CN )6
[K+] = 63,3 g K 3 Fe (CN )6 6
10 g larutan 1 mol K 3 Fe (CN )6 mol K+/ L
6
× × ×¿
10 g larutan Llarutan 329,2 g K 3 Fe (CN )6

4. 50 mL larutan HCl memerlukan 29,71 mL larutan Ba(OH)2 0,01963 M untuk


mencapai titik akhir dengan indikator bromokresol hijau. Hitung molaritas HCl.

Jawab: 2 mmol HCl 1 mmol Ba(OH) 2

mmol Ba(OH )2
mmol Ba(OH )2 =29,71mL Ba(OH )2 ×0,01963
ml Ba(OH )2

2 mmol HCL
mmol HCL=( 29,71 x 0,01963) ×
mmol Ba(OH)2 1 mmol Ba(OH )2

(29,71 x 0,01963 x 2)mmol HCl


C HCl = =0,023328 mmol/mL HCl=0,023328 M
50 mL HCl

5. Titrasi 0,2121 g Na2C2O4 ( 134,00 g/mol) murni memerlukan 43,31 mL KMnO4.


Hitung molaritas larutan KMnO4.
Reaksi yang berlangsung: 2MnO4- + 5C2O42- + 16H+
→ 2Mn2+ + 10CO2 + 8H2O

jawab: dari reaksi di atas 2 mmol KMnO4


∝ 5 mmol Na2C2O4

1 mmol Na2 C 2 O 4 2 mmol KMnO 4


mmol KMnO 4=0,2121 g Na 2C 2O 4 × ×
134 mg Na2 C 2 O 4 1 mmol Na 2 C 2 O 4
0,2121 2
× mmol KMnO 4
134 5 = 0,01462 M
C KMnO 4 =
43,31 mL KMnO 4

6. Suatu sampel bijih besi seberat 0,8040 g dilarutkan dalam asam. Besi kemudian
direduksi menjadi Fe2+ dan dititrasi dengan 0,02242 M KMnO4 ternyata diperlukan 47,22
mL sampai tercapainya titik akhir.
Hitung:
a) %Fe (55,847 g/mol) ;
b) %Fe3O4 (231,54 g/mol) di dalam sampel.
Reaksi analit dengan reagen adalah: MnO4- + 5Fe2+ 8H+ Mn2+ + 5Fe3+ + 4H2O

jawab: 1 mmol MnO4-


∝ 5 mmol Fe2+

0,02242 mmol KMnO 4


2+¿=47,22 KMnO 4 × ×
1 mL KMnO 4
berat Fe ¿

1 mmol Fe2 +¿=295,618 mg=0,295618 gr


Fe2 +¿
5 5,847 mg
¿
Fe2+¿
5 mmol ׿
1 mmol KMnO 4
¿

Fe 2+¿ 0,295618
berat ×100 = × 100 =36,77
berat sampel 0,8040
2+ ¿=¿
Fe¿

1 mmol MnO4-
∝ 5 mmol Fe2+

1 mmol Fe3O4
∝ 3 mmol Fe2+

5 mmol Fe3O4
∝ 3 mmol MnO4-

0,02242 mmol KMnO 4 5 mmol Fe3 O4 231,54 mg Fe3 O4


berat Fe 3 O4 =47,22 mL KMnO 4 × × ×
1m l KMnO 4 3 mmol KMnO 4 1mmol Fe3 O4

= 408,54 mg = 0,40854 gr

berat Fe3 O 4 0,40854


Fe3 O 4 = × 100 = ×100 =50,8
berat sampel 0,8040

7. Suatu sampel bahan organik yang mengandung merkuri seberat 3,776 g


diuraikan dengan HNO3. Setelah pengenceran, Hg dititrasi dengan 21,30 mL larutan
2+
NH SCN 0,1144 M. Hitung %Hg (200,59 g/mol) di dalam sampel.
4

Jawab: titrasi ini melibatkan pembentukan kompleks stabil Hg(SCN) 2

Hg + 2SCN
2+ -
→ Hg(SCN) 2 (aq) pada titik ekuivalen 1 mmol Hg2+
∝ 2 mmol NH SCN
4

1 mmol Hg 2+¿
Hg 2+¿
200,59 mg
¿
Hg 2 +¿
1mmol ׿
2mmol NH 4 SCN
0,1144 mmol NH 4 SCN
2+¿=47,22 ml NH 4 SCN × ×¿
1 ml NH 4 SCN
berat Hg ¿
¿ 541,79 mg=5,4179 g r

2+¿
Hg 5,4179
berat ×100 =
berat sampel 3,776 ×100 =¿
2+¿=¿
¿
Hg

Anda mungkin juga menyukai