Laporan Koleksi Spesimen
Laporan Koleksi Spesimen
Wiwin Hadianti
B1J014029
A. Latar Belakang
B. Tujuan
Alat yang digunakan dalam praktikum koleksi spesimen adalah jaring, killing
bottle, plastik, alat tulis, kamera, alat bedah, laporan sementara, stereoform, tempat
spesimen, kuas halus, tissue dan kapas.
Bahan yang digunakan dalam praktikum yaitu boraks, alkohol 70%, formalin,
sabun cuci, pemutih, kloroform, tepung meizena,
B. Metode
Burung yang sudah terperangkap diambil dari arah masuknya perangkap dan
diambil dari bagian kaki terlebih dahulu.
2. Cara preservasi
Setelah memasuki laboratorium, burung diamati karakter utama burung seperti
warna karakter kaki, paruh, bulu, dan lingkar mata.
Berat badan burung ditimbang dan bagian tubuh lainnya diukur, seperti panjang
badan, panjang ekor, panjang total dan lainnya.
Ciri-ciri umum maupun khusus dari burung ini diidentifikasi dan hasilnya
dicatat, seperti warna tubuh dan bentuk paruh.
Burung dipastikan sudah mati atau belum, jika belum dimasukkan ke dalam
plastik berisi kloroform
Burung dibedah bagian perutnya dan jangan sampai merusak kulit dan bagian
tubuh lainnya.
Darah yang keluar saat bagian perut dibedah dibersihkan dengan tissue atau
tepung meizena agar darah tidak menyebar dan tidak ada serangga yang
mendekat.
Spesimen burung diberi boraks dan bagian dalam tubuh dibuang kemudian
diganti isi tubuh bagian dalam dengan kapas.
Sisa-sisa daging dibersihkan dan diberi boraks lagi kemudian dijahit dan dioven
3. Teknik labeling
Dicari data-data tentang burung, dibuat label berisi nama kolektor, nama spesies,
tanggal koleksi, kelompok familia, tempat asal hewan koleksi.
Label dipasangkan atau dikaitkan di bagian pangkal ekor awetan kering burung
5
Berat badan burung ditimbang dan bagian tubuh lainnya diukur, seperti panjang
badan, panjang ekor, panjang total dan lainnya.
A. Hasil
B. Pembahasan
Burung Maleo (Macrocephalon maleo) merupakan sejenis burung langka yang
berasal dari Famili Megapodiidae. Burung Maleo tergolong unik karena hewan ini
mempunyai sifat setia terhadap pasangannya. Burung Maleo hanya bisa ditemukan di
Pulau Sulawesi sehingga sering disebut dengan satwa endemik Sulawesi. Karakteristik
habitat tersebut terkait dengan reproduksi burung Maleo yang tidak mengerami
telurnya. Burung ini mempunyai populasi lebih banyak di Sulawesi Tenggara
dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Sulawesi. Status hewan ini masuk dalam
“hampir punah” oleh IUCN, sedangkan CITES memasukkan status burung ini dengan
kategori Appendix I. Burung Maleo menjadi langka karena habitatnya terus terdesak
akibat penebangan liar dan banyaknya perburuan telur dan burung oleh manusia dan
hewan predator seperti Elang, Kucing, Biawak, dan Babi Hutan (Alikodra, 1990).
Burung Maleo termasuk unggas dengan panjang ukuran tubuh sekitar 55 cm,
bagian tubuhnya besar dan bagia kepala mengecil dengan warna dominan hitam, dan
merah muda keputihan di bagian dadanya. Iris mata burung Maleo berwarnna merah
kecoklatan, paruhnya berwarna jingga dan kaki berwarna abu-abu serta memiliki kuku
dan berselaput. Selaput pada kaki digunakan untuk menggaruk tanah. Burung Maleo
memiliki betook kepala yang mengkilap dan berwarna hitam. Burung betinanya
memiliki ukuran yang lebih kecil sedikit disbanding dengan burung Maleo jantan.
Burung ini banyak menghabiskan hidupnya di darat, karena memakan serangga,
semut, dan biji-bijian (Alikodra, 1990). Menurut Nurdianti (2013), burung maleo
merupakan satwa yang memiliki telur sangat unik dimana telurnya 5 kali lebih besar
dari telur ayam, pada dasarnya telur yang besar sangatlah wajar akan tetapi menjadi
unik karena tubuh maleo yang lebih kecil dibandingkan dengan telurnya.
Cara koleksi spesimen menurut petugas di Museum Zoologi Bogor LIPI
tentang family Megapodiidae yaitu pertama sampel diambil dengan membuat
perangkap, alat perangkap dapat berupa jaring khusus/jaring kabut (ketinggian dari
jaring dapat disesuaikan dengan ukuran burung dan habitat dari burung tersebut).
Contohnya pada burung kecil yang terestrial, ketinggian dari alat perangkap biasanya
mencapai 20 meter. Proses pengambilan spesimen yang terperangkap harus dari arah
masuknya dan diambil dari bagian kaki terlebih dahulu, setelah itu dapat dicatat
keterangan lokasi pengambilan ketinggian, waktu pengambilan, kolektor, dan
habitatnya. Terdapat karakter utama yang harus diamati dalam mengidentifikasi
burung yaitu warna dari karakter kaki, paruh, bulu, dan lingkar mata. Setelah
mengamati karakter tersebut, burung ditimbang dan diukur panjang tubuhnya,
kemudian burung tersebut dimatikan dengan dimasukkan ke dalam plastik yang berisi
kloroform dan dibedah bagian perutnya (saat pembedahan jangan sampai merusak
kulit dan bagian lainnya). Darah yang keluar saat dilakukan pembedahan dapat
dibersihkan dengan menggunakan tissue atau bisa dengan menggunakan tepung
meizena agar tidak ada serangga yang mendekat dan darah tersebut tidak menyebar
luas. Spesimen kemudian diberi boraks dan bagian dalam tubuhnya diisi dengan kapas.
Sisa-sisa daging dapat dibersihkan dan diberi boraks lagi, kemudian dijahit dan dioven.
Spesimen burung diberi katalog dan kode untuk dimasukkan ke database. Spesimen
burung disimpan pada ruangan tertutup di dalam wadah atau rak dengan suhu 220C-
230C dengan kelembaban 80%. Spesimen burung tersebut sebulan sekali dicek dan
jika spesimen terlihat kotor dan terdapat jamur yang menempel sesegera mungkin
dibersihkan dengan kuas atau sikat halus dibagian bulu yang kotor atau berjamur.
Setiap hari dilakukan pengontrolan keadaan spesimen, agar terhindar dari serangan
hama, jamur, dan serangga kecil. Kelembaban udara dan suhu harus dipertahankan
agar spesimen tidak mudah terserang jamur.
Koleksi spesimen terbagi menjadi 3 yaitu koleksi basah, koleksi kering, dan
koleksi rangka. Langkah pertama cara pembuatan koleksi spesimen basah yaitu hewan
seperti ikan, reptil, crustacea, mamalia, dan amfibi dimatikan dengan dibius
menggunakan alkohol, setelah hewan mati kemudian dilakukan fiksasi dengan
menyuntikkan formalin 10% ke dalam tubuhnya (untuk crustacea dilakukan fiksasi
dengan alkohol 70%), untuk menghilangkan bau formalin spesimen dapat dicuci
dengan air, kemudian spesimen bisa dimasukkan ke botol spesimen yang berisi
alkohol. Penyimpanan koleksi spesimen basah harus diberi label, dan setelah 48 jam
alkohol dalam botol spesimen harus diganti (untuk crustacea penyimpanan hewan
harus diikat dengan kaca benda sebelum dimasukkan ke dalam botol spesimen, hal ini
berfungsi untuk mencegah rusaknya bagian tubuh udang serta memperjelas bagian
tubuh atau morfologinya).
Pembuatan koleksi kering dapat dibedakan menjadi insectarium dan
taksidermi. Koleksi spesimen kering merupakan koleksi hewan dengan cara
mengeringkan tubuh yang basah dari spesimen tersebut. Cara pembuatan koleksi
spesimen pada insectarium yaitu hewan yang memiliki tubuh tipis seperti kupu-kupu
bisa langsung dimatikan langsung dengan cara dimasukkan ke dalam amplop,
sedangkan untuk hewan seperti jangkrik dibius terlebih dahulu dengan kloroform
kemudian tubuhnya dibersihkan dan dicelup alkohol atau bisa dibersihkan dengan
menggunakan kuas. Spesimen yang sudah dibuat biasa langsung disimpan dengan cara
ditempel di dalam steroform dan diberi label. Penyimpanan bisa dalam suhu ruangan
dan perawatan cukup dibersihkan dengan menggunakan kuas pada bagian spesimen
yang kotor. Cara pembuatan koleksi spesimen pada taksidermi yaitu semua bagian
basah dibuang yang sebelumnya hewan harus dimatikan terlebih dahulu dengan
dimasukkan ke killing bottle yang berisi kloroform (untuk hewan seperti mencit
dimatikan dengan cervix dislocation), setelah hewan mati, bagian kloaka dibuka dan
tubuh hewan dibedah sedikit (jangan terlalu lebar) kemudian masukkan tepung
meizena agar tidak menempel kulitnya. Organ dalam hewan dikeluarkan dan diberi
boraks untuk menghilangkan lemak, tulang diganti dengan kawat atau dibilat dengan
kapas. Tubuh hewan dapat langsung dijahit dan bagian mata spesimen hewan diganti
dengan mata sinteis, untuk hewan yang memiliki paruh seperti burung, paruh tersebut
dapat dijahit atau diikat segitiga. Spesimen kemudian dimasukkan ke dalam freezer
selama 2x24 jam kemudian dimasukkan ke dalam suhu kamar selama 2x24 jam dan
dimasukkan ke dalam freezer lagi selama 2x24 jam lalu bisa langsung dibungkung
atau disimpan dalam tempat koleksi. Perawatan dapat dilakukan dengan dibersihkan
bagian yang kotor dan penyimpan spesimen taksidermi dapat disimpan di suhu
ruangan.
Terdapat 2 cara pembuatan koleksi spesimen rangka yaitu dengan cara dikubur
dan direbus. Pembuatan koleksi spesimen dengan cara dikubur yaitu pertama spesimen
yang akan diawetkan dimatikan dengan dimasukan ke kasa atau plastik yang kemudian
spesimen tersebut dikubur selama 6-24 bulan, lamanya spesimen dikubur tergantung
dengan ukuran hewan, semakin besar ukuran hewan maka semakin lama penguburan.
Pembuatan koleksi spesimen dengan cara direbus yaitu hewan yang sudah dimatikan
kemudian dikuliti atau dibedah dengan dissection kit hingga hanya tendon yang tersisa.
Spesimen kemudian direbus dengan air selama setengah sampai 2 jam, kemudian
diambil tendonnya sampai tertinggal tulangnya saja. Langkah selanjutnya yaitu
perbersihan lemak dengan dicuci menggunakan sabun cuci kemudian direndam
dengan air yang ditambah dengan sabun cuci. Spesimen kemudian direndam dengan
larutan air yang ditambah pemutih dengan perbandingan pemutih dan air yaitu 1:10,
perendaman dilakukan selama 30 menit. Rangka atau tulang spesimen kemudian bisa
langsung disusun dan diberi label. Penyimpanan koleksi spesimen disesuaikan dengan
ukuran rangka hewan yang diawetkan yang di dalamnya diberi silica gel untuk
pengawetan spesimen. Perawatannya spesimen rangka ini cukup dibersihkan dengan
menggunakan kuas pada bagian rangka yang kotor.
BAB V. KESIMPULAN
DAFTAR REFERENSI
Afifah, N., Sudarmin & Widianti, T. 2014. Efektivitas Penggunaan Herbarium Dan
Insektarium Pada Tema Klasifikasi Makhluk Hidup Sebagai Suplemen Media
Pembelajaran IPA Terpadu Kelas VII Mts. Unnes Science Education Journal,
3(2), pp. 494-501.
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor: PAU-IPB.
Borror, D.J., Triplehorn C.A., & Johnson, N.F. 2001. Zoologi (LIPI). Bogor: Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Demirci, B., Gultiken M.E., Karayigit, M.O. dan Atalar, K. 2012. Is Frozen Taxidermy
an Alternative Method for Demonstration of Dermatopaties. Eurasian Journal
of Veterinary Sciences, 28(3), pp.172-176.
Disbray, B.D. dan Rack, J.H. 1970. Histologycal Laboratory Methods. Edinbergh:
Livingstone.
Elzinga, R. J. 2000. Fundamentals of Entomology. Minessota: Practice Hall.
Jasin, M. 1989. Sistematika Hewan Vertebrata dan Invertebrata. Surabaya: Sinar
Wijaya.
Nurdianti, A., Sri, N.M., dan Sustri. 2013. Potensi Pengembangan Wisata Alam Di
Habitat Maleo (Macrocephalon maleo) Taman Nasional Lore Lindu Bidang
Pengelolaan Wilayah (Bpw) I Saluki Kec. Gumbasa Kab. Sigi. Warta Rimba,
1(1), pp. 1-8.
Pratiwi, R. 2006. Bagaimana Mengkoleksi Dan Merawat Biota Laut. Oseana. 91(2), pp. 1-9.
Prijono S.N, Koestoto, dan Suhardjono, Y.R. 1999. Kebijakan koleksi. Dalam
Suhardjono YR (ed). Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi.
Balitbang Zoologi: Puslitbang Biologi-LIPI.
Sampurno, K. 1994. Satu abad Museum Zoologi Bogor 1894-1994. Bogor: LIPI.
Sinaga, M.H. 2008. Suatu wacana meningkatkan kualitas pameran Museum Zoologi
Bogor menjadi pusat informasi keanekaragaman fauna nusantara. Fauna
Indonesia, 8(1), pp.1-5.
Yayuk, S., Hartini, U. & Sartiami, E. 2010. Koleksi, Preservasi, Identifikasi, Kurasi
dan Manajemen Data. Bandung: Angkasa Duta.