Anda di halaman 1dari 19

KOLEKSI SPESIMEN

(Megapodiidae: Macrocephalon maleo)

Wiwin Hadianti
B1J014029

LAPORAN PRAKTIKUM SISTEMATIKA HEWAN

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong merupakan tempat


penyimpanan koleksi spesimen jenis-jenis binatang di Indonesia, diperkirakan
berjumlah sekitar 2,25 juta spesimen, dengan jumlah terbesar baik spesimen ataupun
jenisnya adalah serangga, namun demikian koleksi yang dimiliki diperkirakan masih
kurang dari 10% jumlah keanekaragaman fauna yang ada di Indonesia. Museum
Zoologicum Bogoriense atau sering disebut Museum Zoologi Bogor (MZB)
merupakan museum khusus di bidang fauna atau binatang. MZB didirikan pada tahun
1894 dengan nama Landbouw Zoologisch Laboratorium (LZL). LZL pertama kali
dipimpin oleh Dr. JC Koningsberger, beliau merupakan ahli zoologi pertanian yang
bertugas untuk meneliti hama dan penyakit tanaman yang disebabkan oleh berbagai
jenis binatang, terutama hama dan penyakit jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi.
Untuk melaksanakan tugasnya, Dr. JC Koningsberger menempati bekas penyimpanan
kereta kuda yang diperluas dan lantainya diperkeras dengan semen sebagai ruang kerja
dan laboratoriumnya. Koningsberger mengawali pekerjaannya dengan mempelajari
hama dan penyakit pertanian dan mengoleksi hama tanaman pertanian. Koleksi yang
pertama dikumpulkan, dirawat, diteliti serta dipamerkan adalah serangga hama yang
menyerang tanaman pertanian (Sampurno, 1994).
MZB berada langsung di bawah Pusat Penelitian Biologi (P2B) LIPI pada
bulan Agustus 1997, dengan nama Bidang Zoologi. Bidang zoologi merupakan salah
satu unit di P2B yang membidangi disiplin ilmu zoologi atau binatang. Nama bidang
Zoologi merupakan perubahan nama oleh induk dimana lembaga ini bernaung, akan
tetapi segala fungsi dan peran museum masih dijalankan. MZB tetap eksis dalam
permuseuman walaupun mengalami perubahan nama dalam perkembangannya. MZB
telah dikenal luas di dunia internasional dalam bidang zoologi, di dalam negeri dikenal
dengan nama Museum Zoologi Bogor. Bidang Zoologi merupakan nama lain dari
MZB. Penggunaan kedua nama lembaga ini dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan
dan peruntukkannya (Sofyan, 2010).
Spesimen koleksi merupakan aset ilmiah yang penting sebagai bahan penelitian
keanekaragaman fauna baik taraf nasional ataupun taraf internasional. Balitbang
Zoologi memiliki koleksi spesimen baru mencapai 10% dari kekayaan fauna yang ada
di Indonesia, tetapi cukup mewakili kawasan nusantara. Tugas utama Balitbang
Zoologi adalah membina koleksi fauna Indonesia selengkap-lengkapnya yang dapat
digunakan sebagai koleksi referensi takson, baik sebarannya, stadium pertumbuhan
maupun ekosistemnya. Kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan adalah proses
pengawetan, perawatan, perekaman data, pengawasan dalam penggunaan spesimen
ilmiah. Pengelompokan spesimen yang ada di Museum Zoologi Bogor dibagi menjadi
7 kelompok utama yaitu Mammalia, Burung, Ikan, Herpet (Reptilia dan Amphibi),
Moluska, Crustacea dan Entomologi. Mammalia merupakan salah satu kelompok
hewan vertebrata dengan keaneragaman yang sangat banyak, terdiri dari banyak
familia, salah satunya adalah Sciuridae (Suhardjono, 1999). Menurut Sofyan (2010),
terdapat sekitar 2.700.000 spesimen hewan atau binatang sebagai koleksi ilmiah
zoologi yang terdiri atas 25.500 spesimen mamalia, 30.500 spesimen burung,
2.280.000 spesimen serangga, 11.000 spesimen amfibi, 8.000 spesimen reptil, 140.000
spesimen ikan, 180.000 spesimen moluska dan sekitar 25.000 spesimen invertebrata
lain.
Menurut Prijono et al. (1999), koleksi spesimen yang diamati di Museum
Zoologi Bogor LIPI adalah koleksi spesimen basah dan spesimen kering.
Penyimpanan dan perawatan dilakukan di ruang koleksi ber AC dengan suhu sekitar
18-25ºC, ruangan harus lebih dingin dari suhu ruang untuk mencegah tumbuhnya
jamur. Penyimpanan juga dapat menggunakan alat dehumidifier untuk menjaga
kelembaban dan juga untuk mencegah timbulnya jamur. Kelembaban dehumidifier
yaitu kurang dari 50%. Untuk perawatan spesimen yang menggunakan pengawetan
basah dapat mengganti alkohol atau formalin secara rutin. Pembuatan koleksi
spesimen dibedakan menjadi 2 macam, yaitu koleksi spesimen basah dan koleksi
spesimen kering. Berikut ini merupakan penjelasan tentang cara pembuatan koleksi
spesimen :
1. Koleksi spesimen basah
a. Pengambilan spesimen dengan menggunakan teknik tertentu sesuai dengan jenis
spesimen.
b. Mematikan spesimen yang telah diambil dengan cara memberi alkohol dengan
level rendah.
c. Spesimen yang akan dikoleksi dibersihkan.
d. Bagian karapaks diolesi alkohol dengan menggunakan kapas.
e. Spesimen dimasukkan ke dalam wadah yang berisi larutan pengawet formalin
dan disimpan selama ± 7 hari sebagai pengawetan awal.
f. Spesimen dibersihkan dengan air kemudian disimpan dalam wadah yang
memiliki penutup yang erat, yang berisi larutan alkohol 70% sebagai
pengawetan akhir dan diberi label yang berisi informasi penting dari spesimen.
g. Wadah spesimen ditutup rapat dan diletakkan di lemari koleksi spesimen.
h. Larutan harus diperiksa dan diganti jika larutan terlihat keruh dan menguap.
2. Koleksi spesimen kering
a. Metode Penggaraman
1) Hewan yang akan diawetkan dimatikan dengan kloroform atau eter.
2) Bagian dalam hewan dibedah. Kulit dan daging hewan dipisahkan kecuali tulang
tengkorak, tulang sayap, tulang kaki dan tulang ekor (dikuliti).
3) Hewan yang sudah dikuliti dicuci sampai bersih, kemudian direndam dalam
larutan racun selama 1-2 hari dan dijemur sampai kering.
4) Spesimen dilumuri dengan garam (dry salting), kemudian dicuci sampai bersih.
5) Spesimen dikering anginkan selama 5 hari, kemudian disimpan dalam lemari
koleksi spesimen.
b. Metode secara umum
1) Hewan dimatikan dengan cara (bergantung pada jenisnya) :
 Dimasukkan dalam botol pembunuh berisi kloroform atau eter.
 Ditekan bagian thorax.
 Disuntik dengan alkohol 70%.
 Dicelup ke dalam larutan aseton.
2) Spesies ditusuk jarum dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 45°C selama 1
minggu. .
3) Spesies diberi label dan disusun dalam suatu wadah dan disimpan dalam ruang
koleksi dengan suhu 21°C dan kelembaban 45-50%.
Fasilitas penyimpanan dan perawatan koleksi spesimen di LIPI diadakan
dengan bantuan dana GEF/Word Bank dalam rangka peningkatan kualitas dan
pengelolaan koleksi ilmiah spesimen bertaraf internasional. Fasilitas baru ini
meningkatkan perkembangan lebih lanjut dari Bidang Zoologi. Jumlah spesimen yang
dikoleksi untuk menunjang kegiatan penelitian biosistematika, ekologi dan fisiologi
meningkat pesat. Bidang Zoologi bertekad untuk menjadi lembaga pelopor yang
mampu memberikan informasi ilmiah tentang fauna Indonesia (Sofyan, 2010). Unit
penyimpanan pada kompaktus sering dibuka-tutup supaya ada pertukaran udara
(aerasi) pada masing-masing deret rak, kebersihan rak dan kompaktus dijaga,
diupayakan bebas dari debu dan jamur, kebersihan botol diupayakan bebas dari debu
dan jamur, alkohol di dalam botol harus jernih dengan kadar 70% sebanyak minimal
2/3 tinggi botol atau merendam seluruh spesimen koleksi, pemantauan kebersihan dan
keadaan alkohol dilakukan secara berkala (Disbray & Rack, 1970).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum koleksi spesimen adalah:


1. Mengetahui berbagai teknik pengambilan sampel dan pengawetan spesimen hewan.
2. Melakukan pengawetan terhadap hewan avertebrata dan vertebrata.
3. Membuat koleksi spesimen yang dapat bertahan lama.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


Koleksi spesimen merupakan aset ilmiah yang penting sebagai bahan
penelitian keanekeragaman fauna baik taraf nasional ataupun taraf internasional.
Kegiatan pengelolaan yang dapat dilakukan adalah proses pengawetan, perawatan,
perekaman data, pengawasan dalam penggunaan spesimen ilmiah (Suhardjono, 1999).
Pembuatan awetan spesimen diperlukan untuk tujuan pengamatan spesimen secara
praktis tanpa harus mencari bahan segar yang baru, terutama untuk spesimen-spesimen
yang sulit di temukan di alam. Spesimen adalah contoh binatang atau tumbuhan atau
mikroba utuh (misal serangga dan ikan), bagian dari tubuh binatang atau tumbuhan
(misal tengkorak mamalia, tulang burung, daun yang diserang hama dan bunga) atau
organ (hati dan pucuk akar serabut) atau darah (untuk material DNA) yang
dikumpulkan dan disimpan untuk jangka waktu tertentu (Suhardjono, 1999). Menurut
Tjakrawidjaya (1999), koleksi spesimen yaitu pengawetan yang digunakan dalam
mempertahankan organ spesimen. Teknik koleksi dibedakan menjadi dua yaitu koleksi
basah dan koleksi kering. Koleksi kering dilakukan untuk hewan seperti kelas
Mamalia, Amphibi dan Aves, sedangkan koleksi basah digunakan untuk kelas Reptil
dan Pisces. Persiapan koleksi spesimen yaitu mematikan objek, fiksasi, dan
pengawetan. Objek yang akan dijadikan spesimen harus dimatikan terlebih dahulu,
hal ini dilakukan bertujuan untuk memudahkan dalam melakukan pengawetan,
kemudian dilakukan fiksasi yang bertujuan mempertahankan ukuran dan bentuk sel
tubuh, dilanjutkan pengawetan spesimen agar spesimen tersebut tidak rusak sehingga
dapat dijadikan koleksi rujukan dalam identifikasi hewan. Cara koleksi tergantung
pada taksa suatu spesies.
Manfaat dan dayaguna koleksi spesimen menurut Suhardjono (1999),
diantaranya yaitu :
1. Membantu dalam identifikasi atau mengenali jenisnya.
2. Mendiagnosa atau mendeskripsikan karakter pemiliknya.
3. Membantu mempelajari hubungan kekerabatan.
4. Mempelajari pola sebaran geografi.
5. Mempelajari pola musim keberadaanya.
6. Mengetahui habitat.
7. Mengetahui tumbuhan atau hewan inang.
8. Mengetahui biologi : perilaku, daur hidup.
Spesimen dari bermacam-macam hewan sering dibutuhkan untuk keperluan
penelitian maupaun alat peraga dalam dunia pendidikan. Ahli pengetahuan alam, tidak
dapat mengambil manfaat pada spesimen yang tidak diawetkan, dalam kegiatan
koleksi hewan perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya jangan sampai
menggangu keberadaan satwa langka atau merusak sisa-sisa peninggalan dalam gua
yang sudah ditingalkan manusia purba. Hewan yang dikoleksi adalah hewan-hewan
yang dibutuhkan untuk pengawetan dengan tujuan pengujian di kemudian hari. Semua
spesimen koleksi harus diberi label yang berisi keterangan tantang nama spesies, lokasi
penemuan tanggal koleksi dan data lain yang diperlukan. Label harus ditulis ketika
spesimen diawetkan agar tidak terjadi kesalahan informasi mengenai spesies awetan
(Jasin, 1989).
Preservasi adalah kegiatan yang terencana dan terkelola untuk memastikan
berbagai sampel yang diawetkan bisa digunakan untuk jangka waktu yang lama.
Tujuan preservasi meliputi tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Preservasi
jangka pendek digunakan untuk keperluan rutin penelitian yang disesuaikan dengan
kegiatan program atau proyek tertentu. Preservasi jangka panjang dilakukan dalam
kaitannya dengan koleksi dan konservasi plasma nutfah dari spesies makhluk hidup,
sehingga apabila suatu saat diperlukan dapat diperoleh kembali atau dalam keadaan
tersedia (Winker, 2000). Kelebihan teknik preservasi yaitu untuk mempertahankan
spesimen supaya terhindar dari jamur dan kerusakan, teknik preservasi mudah
dilakukan khususnya pada spesimen basah, sedangkan kekurangannya yaitu terdapat
kesulitan dalam melakukan teknik preservasi misalnya alat dan bahan kurang lengkap,
(Elzinga, 2000).
Spesimen dari bermacam-macam hewan sering dibutuhkan untuk keperluan
penelitian maupun alat peraga dalam dunia pendidikan. Ahli pengetahuan alam, tidak
dapat mengambil manfaat pada spesimen yang tidak diawetkan, dalam kegiatan
koleksi hewan perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya jangan sampai
menggangu keberadaan satwa langka atau merusak sisa-sisa peninggalan dalam gua
yang sudah ditingalkan manusia purba. Hewan yang dikoleksi adalah hewan-hewan
yang dibutuhkan untuk pengawetan dengan tujuan pengujian di kemudian hari. Semua
spesimen koleksi harus diberi label yang berisi keterangan tantang nama spesies, lokasi
penemuan tanggal koleksi dan data lain yang diperlukan. Label harus ditulis ketika
spesimen diawetkan agar tidak terjadi kesalahan informasi mengenai spesies awetan
(Jasin, 1989).
Kegiatan analisis sampel merupakan pekerjaan yang membutuhkan waktu lama,
sehingga sampel perlu diawetkan. Pengawetan objek dilakukan agar menjadi awet,
jaringanya tidak rusak dan terhindar dari serangan bakteri maupun jamur. Ikan,
Moluska, Reptil dan Mamalia air dapat dilakukan dengan pengawetan basah.
Pengawetan kering dilakukan dengan mengeringkan obyek biologi hingga kadar air
yang sangat rendah, sehingga organisme perusak atau penghancur tidak bekerja.
Pengawetan kering dilakukan pada hewan yang memiliki kerangka luar keras dan tidak
mudah rusak akibat proses pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan
oven atau dijemur di bawah terik matahari hingga kadar airnya sangat rendah
(Suhardjana, 1999). Spesimen awetan yang dibuat harus dibersihkan dari rambut dan
kulit dengan cara dikerok hal ini digunakan untuk isolasi dari bakteri patogen dan
jamur (Dermici et al., 2012).
Terdapat dua macam tipe koleksi spesimen, yaitu koleksi basah dan koleksi
kering. Koleksi basah adalah koleksi yang disimpan dalam larutan pengawet ethanol
70%, sedangkan koleksi kering berupa tulang dan kulit yang diawetkan dengan bahan
kimia formalin atau boraks. Menurut Yayuk et al. (2010 ), pengawetan hewan dapat
dilakukan dengan cara-cara seperti berikut:
1. Pengawetan tulang (rangka)
Pembuatan preparat tulang dilakukan dengan terlebih dahulu membedah dan
menguliti spesimen hingga bersih dari kulitnya. Kemudian dilakukan perebusan
selama 30 menit hingga 2 jam agar memudahkan pemisahan otot dari rangka, lalu
didinginkan secara alami. Selanjutnya dibersihkan otot atau daging yang masih
menempel pada rangka dengan hati-hati sampai bersih, lalu dibersihkan dan direndam
dalam pemutih agar tulangnya putih bersih. Terakhir, ditata rapi, diberi label, dan
diidentifikasi.
2. Pengawetan insekta (insektarium)
Pembuatan preparat awetan insekta dilakukan dengan terlebih dahulu
mematikan serangga dengan cara serangga dimasukkan ke dalam botol atau toples
yang didalamnya telah diletakkan busa berkloroform, sebelumnya diletakkan
pembatas dari kertas yang agak tebal yang telah dibolong-bolongi agar serangga
tersebut mati tanpa terkena basahan kloroform. Setelah mati, bagian luar tubuh
serangga diolesi alkohol 70% lalu ditusuk dengan office pin atau jarum pentul,
ditancapkan pada sterofoam. Menurut Afifah et al. (2014), insektarium adalah awetan
serangga dengan bahan pengawet alkohol 96% dan formalin 5% yang dikemas dalam
bentuk koleksi media pembelajaran. Herbarium dan insektarium sebelum digunakan
penelitian terlebih dahulu telah divalidasi oleh pakar media, sehingga diketahui layak
atau tidak digunakan dalam penelitian.
3. Pengawetan kering (taksidermi)
Taksidermi adalah salah satu teknik pengawetan untuk mumifikasi selama
berabad-abad (Dermici et al., 2012). Pembuatan preparat taksidermi dilakukan dengan
terlebih dahulu membius spesimen dengan kloroform atau eter. Spesimen yang biasa
dibuat taksidermi adalah Mamalia dan Aves. Setelah hewan mati, dibuat torehan dari
perut depan alat kelamin sampai dada, kemudian lukanya dibubuhi tepung jagung.
Setelahnya, hewan dikuliti menggunakan scalpel, dihilangkan lemak-lemaknya, dam
setelah bersih lalu boraks ditaburi dan gulungan kapas dibuat sebesar atau sepanjang
tubuh hewan lalu dimasukkan sebagai pengganti dagingnya. Kemudian dibentuk
seperti perawakannya saat masih hidup. Terakhir, bekas torehannya dijahit, mulutnya
dijahit segitiga.
4. Pengawetan basah
Spesimen yang biasa dibuat awetan basah biasanya bangsa Crustacea atau
hewan avertebrata lainnya. Pembuatannya terbilang cukup sederhana prosesnya.
Hewan dimatikan dengan kloroform atau eter, dibersihkan, lalu dimasukkan ke dalam
toples transparan berisi alkohol 70% yang sesuai ukuran atau lebih besar ukurannya
dari hewan tersebut. Biasanya dilengkapi dengan kaca transparan untuk alas hewan
agar tetap kedudukannya, kemudian diberi keterangan menggunakan kertas kedap air.
Alur pelabelan dapat dimulai dari data lapangan yang berisikan semua data
identitas spesimen dari lapangan yang dicatat dalam buku lapangan dan merupakan
catatan kerja (nama jenis, tanggal pengambilan, kolektor, lokasi, suhu, arus,
kedalaman, kecerahan, posisi, salinitas, pH, parameter kualitas air lainnya, teknik
koleksi, nama lokal dan lainnya). Catatan tersebut sangat membantu dalam melengkapi
label. Teknik pelabelan tidak semua data dituliskan dalam label, hanya berisikan
informasi tertentu saja misalnya: nama jenis, nama suku, nomor katalog, koordinat,
nama lokasi, nama kolektor, nama identifikator, tanggal identifikasi, tanggal
pengambilan dan alat yang digunakan (Pratiwi 2006).

BAB III. MATERI METODE


A. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum koleksi spesimen adalah jaring, killing
bottle, plastik, alat tulis, kamera, alat bedah, laporan sementara, stereoform, tempat
spesimen, kuas halus, tissue dan kapas.
Bahan yang digunakan dalam praktikum yaitu boraks, alkohol 70%, formalin,
sabun cuci, pemutih, kloroform, tepung meizena,

B. Metode

Metode yang dilakukan dalam praktikum antara lain:


1. Cara pengambilan sampel
Burung ditangkap dengan menggunakan perangakap berupa jaring khusus atau
jaring kabut.

Burung yang sudah terperangkap diambil dari arah masuknya perangkap dan
diambil dari bagian kaki terlebih dahulu.

Dicatat keterangan lokasi pengambilan sampel burung dan waktu pengambilan


sampel, kolektor serta habitat.

2. Cara preservasi
Setelah memasuki laboratorium, burung diamati karakter utama burung seperti
warna karakter kaki, paruh, bulu, dan lingkar mata.

Berat badan burung ditimbang dan bagian tubuh lainnya diukur, seperti panjang
badan, panjang ekor, panjang total dan lainnya.

Ciri-ciri umum maupun khusus dari burung ini diidentifikasi dan hasilnya
dicatat, seperti warna tubuh dan bentuk paruh.

Burung dipastikan sudah mati atau belum, jika belum dimasukkan ke dalam
plastik berisi kloroform

Burung dibedah bagian perutnya dan jangan sampai merusak kulit dan bagian
tubuh lainnya.

Darah yang keluar saat bagian perut dibedah dibersihkan dengan tissue atau
tepung meizena agar darah tidak menyebar dan tidak ada serangga yang
mendekat.
Spesimen burung diberi boraks dan bagian dalam tubuh dibuang kemudian
diganti isi tubuh bagian dalam dengan kapas.

Sisa-sisa daging dibersihkan dan diberi boraks lagi kemudian dijahit dan dioven

3. Teknik labeling
Dicari data-data tentang burung, dibuat label berisi nama kolektor, nama spesies,
tanggal koleksi, kelompok familia, tempat asal hewan koleksi.

Label dipasangkan atau dikaitkan di bagian pangkal ekor awetan kering burung
5

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berat badan burung ditimbang dan bagian tubuh lainnya diukur, seperti panjang
badan, panjang ekor, panjang total dan lainnya.
A. Hasil

Gambar 4.1. Burung Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo)

Gambar 4.2. Bagian Kepala Burung Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo)

B. Pembahasan
Burung Maleo (Macrocephalon maleo) merupakan sejenis burung langka yang
berasal dari Famili Megapodiidae. Burung Maleo tergolong unik karena hewan ini
mempunyai sifat setia terhadap pasangannya. Burung Maleo hanya bisa ditemukan di
Pulau Sulawesi sehingga sering disebut dengan satwa endemik Sulawesi. Karakteristik
habitat tersebut terkait dengan reproduksi burung Maleo yang tidak mengerami
telurnya. Burung ini mempunyai populasi lebih banyak di Sulawesi Tenggara
dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Sulawesi. Status hewan ini masuk dalam
“hampir punah” oleh IUCN, sedangkan CITES memasukkan status burung ini dengan
kategori Appendix I. Burung Maleo menjadi langka karena habitatnya terus terdesak
akibat penebangan liar dan banyaknya perburuan telur dan burung oleh manusia dan
hewan predator seperti Elang, Kucing, Biawak, dan Babi Hutan (Alikodra, 1990).
Burung Maleo termasuk unggas dengan panjang ukuran tubuh sekitar 55 cm,
bagian tubuhnya besar dan bagia kepala mengecil dengan warna dominan hitam, dan
merah muda keputihan di bagian dadanya. Iris mata burung Maleo berwarnna merah
kecoklatan, paruhnya berwarna jingga dan kaki berwarna abu-abu serta memiliki kuku
dan berselaput. Selaput pada kaki digunakan untuk menggaruk tanah. Burung Maleo
memiliki betook kepala yang mengkilap dan berwarna hitam. Burung betinanya
memiliki ukuran yang lebih kecil sedikit disbanding dengan burung Maleo jantan.
Burung ini banyak menghabiskan hidupnya di darat, karena memakan serangga,
semut, dan biji-bijian (Alikodra, 1990). Menurut Nurdianti (2013), burung maleo
merupakan satwa yang memiliki telur sangat unik dimana telurnya 5 kali lebih besar
dari telur ayam, pada dasarnya telur yang besar sangatlah wajar akan tetapi menjadi
unik karena tubuh maleo yang lebih kecil dibandingkan dengan telurnya.
Cara koleksi spesimen menurut petugas di Museum Zoologi Bogor LIPI
tentang family Megapodiidae yaitu pertama sampel diambil dengan membuat
perangkap, alat perangkap dapat berupa jaring khusus/jaring kabut (ketinggian dari
jaring dapat disesuaikan dengan ukuran burung dan habitat dari burung tersebut).
Contohnya pada burung kecil yang terestrial, ketinggian dari alat perangkap biasanya
mencapai 20 meter. Proses pengambilan spesimen yang terperangkap harus dari arah
masuknya dan diambil dari bagian kaki terlebih dahulu, setelah itu dapat dicatat
keterangan lokasi pengambilan ketinggian, waktu pengambilan, kolektor, dan
habitatnya. Terdapat karakter utama yang harus diamati dalam mengidentifikasi
burung yaitu warna dari karakter kaki, paruh, bulu, dan lingkar mata. Setelah
mengamati karakter tersebut, burung ditimbang dan diukur panjang tubuhnya,
kemudian burung tersebut dimatikan dengan dimasukkan ke dalam plastik yang berisi
kloroform dan dibedah bagian perutnya (saat pembedahan jangan sampai merusak
kulit dan bagian lainnya). Darah yang keluar saat dilakukan pembedahan dapat
dibersihkan dengan menggunakan tissue atau bisa dengan menggunakan tepung
meizena agar tidak ada serangga yang mendekat dan darah tersebut tidak menyebar
luas. Spesimen kemudian diberi boraks dan bagian dalam tubuhnya diisi dengan kapas.
Sisa-sisa daging dapat dibersihkan dan diberi boraks lagi, kemudian dijahit dan dioven.
Spesimen burung diberi katalog dan kode untuk dimasukkan ke database. Spesimen
burung disimpan pada ruangan tertutup di dalam wadah atau rak dengan suhu 220C-
230C dengan kelembaban 80%. Spesimen burung tersebut sebulan sekali dicek dan
jika spesimen terlihat kotor dan terdapat jamur yang menempel sesegera mungkin
dibersihkan dengan kuas atau sikat halus dibagian bulu yang kotor atau berjamur.
Setiap hari dilakukan pengontrolan keadaan spesimen, agar terhindar dari serangan
hama, jamur, dan serangga kecil. Kelembaban udara dan suhu harus dipertahankan
agar spesimen tidak mudah terserang jamur.
Koleksi spesimen terbagi menjadi 3 yaitu koleksi basah, koleksi kering, dan
koleksi rangka. Langkah pertama cara pembuatan koleksi spesimen basah yaitu hewan
seperti ikan, reptil, crustacea, mamalia, dan amfibi dimatikan dengan dibius
menggunakan alkohol, setelah hewan mati kemudian dilakukan fiksasi dengan
menyuntikkan formalin 10% ke dalam tubuhnya (untuk crustacea dilakukan fiksasi
dengan alkohol 70%), untuk menghilangkan bau formalin spesimen dapat dicuci
dengan air, kemudian spesimen bisa dimasukkan ke botol spesimen yang berisi
alkohol. Penyimpanan koleksi spesimen basah harus diberi label, dan setelah 48 jam
alkohol dalam botol spesimen harus diganti (untuk crustacea penyimpanan hewan
harus diikat dengan kaca benda sebelum dimasukkan ke dalam botol spesimen, hal ini
berfungsi untuk mencegah rusaknya bagian tubuh udang serta memperjelas bagian
tubuh atau morfologinya).
Pembuatan koleksi kering dapat dibedakan menjadi insectarium dan
taksidermi. Koleksi spesimen kering merupakan koleksi hewan dengan cara
mengeringkan tubuh yang basah dari spesimen tersebut. Cara pembuatan koleksi
spesimen pada insectarium yaitu hewan yang memiliki tubuh tipis seperti kupu-kupu
bisa langsung dimatikan langsung dengan cara dimasukkan ke dalam amplop,
sedangkan untuk hewan seperti jangkrik dibius terlebih dahulu dengan kloroform
kemudian tubuhnya dibersihkan dan dicelup alkohol atau bisa dibersihkan dengan
menggunakan kuas. Spesimen yang sudah dibuat biasa langsung disimpan dengan cara
ditempel di dalam steroform dan diberi label. Penyimpanan bisa dalam suhu ruangan
dan perawatan cukup dibersihkan dengan menggunakan kuas pada bagian spesimen
yang kotor. Cara pembuatan koleksi spesimen pada taksidermi yaitu semua bagian
basah dibuang yang sebelumnya hewan harus dimatikan terlebih dahulu dengan
dimasukkan ke killing bottle yang berisi kloroform (untuk hewan seperti mencit
dimatikan dengan cervix dislocation), setelah hewan mati, bagian kloaka dibuka dan
tubuh hewan dibedah sedikit (jangan terlalu lebar) kemudian masukkan tepung
meizena agar tidak menempel kulitnya. Organ dalam hewan dikeluarkan dan diberi
boraks untuk menghilangkan lemak, tulang diganti dengan kawat atau dibilat dengan
kapas. Tubuh hewan dapat langsung dijahit dan bagian mata spesimen hewan diganti
dengan mata sinteis, untuk hewan yang memiliki paruh seperti burung, paruh tersebut
dapat dijahit atau diikat segitiga. Spesimen kemudian dimasukkan ke dalam freezer
selama 2x24 jam kemudian dimasukkan ke dalam suhu kamar selama 2x24 jam dan
dimasukkan ke dalam freezer lagi selama 2x24 jam lalu bisa langsung dibungkung
atau disimpan dalam tempat koleksi. Perawatan dapat dilakukan dengan dibersihkan
bagian yang kotor dan penyimpan spesimen taksidermi dapat disimpan di suhu
ruangan.
Terdapat 2 cara pembuatan koleksi spesimen rangka yaitu dengan cara dikubur
dan direbus. Pembuatan koleksi spesimen dengan cara dikubur yaitu pertama spesimen
yang akan diawetkan dimatikan dengan dimasukan ke kasa atau plastik yang kemudian
spesimen tersebut dikubur selama 6-24 bulan, lamanya spesimen dikubur tergantung
dengan ukuran hewan, semakin besar ukuran hewan maka semakin lama penguburan.
Pembuatan koleksi spesimen dengan cara direbus yaitu hewan yang sudah dimatikan
kemudian dikuliti atau dibedah dengan dissection kit hingga hanya tendon yang tersisa.
Spesimen kemudian direbus dengan air selama setengah sampai 2 jam, kemudian
diambil tendonnya sampai tertinggal tulangnya saja. Langkah selanjutnya yaitu
perbersihan lemak dengan dicuci menggunakan sabun cuci kemudian direndam
dengan air yang ditambah dengan sabun cuci. Spesimen kemudian direndam dengan
larutan air yang ditambah pemutih dengan perbandingan pemutih dan air yaitu 1:10,
perendaman dilakukan selama 30 menit. Rangka atau tulang spesimen kemudian bisa
langsung disusun dan diberi label. Penyimpanan koleksi spesimen disesuaikan dengan
ukuran rangka hewan yang diawetkan yang di dalamnya diberi silica gel untuk
pengawetan spesimen. Perawatannya spesimen rangka ini cukup dibersihkan dengan
menggunakan kuas pada bagian rangka yang kotor.

BAB V. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:


1. Pengambilan sampel untuk hewan seperti burung adalah dengan menggunakan
perangakap berupa jaring khusus atau jaring kabut. Pengawetan spesimen hewan
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu awetan basah dan awetan kering.
2. Pengawetan hewan vertebrata dan avertebrata dapat dilakukan dengan
pengawetan tulang, pengawetan basah, taksidermi, atau insektarium.
3. Pembuatan koleksi spesimen dibuat agar dapat bertahan lama menggunakan
formalin, boraks (untuk taksidermi), alkohol (untuk awetan basah) dan silica gel
(untuk insektarium).

DAFTAR REFERENSI
Afifah, N., Sudarmin & Widianti, T. 2014. Efektivitas Penggunaan Herbarium Dan
Insektarium Pada Tema Klasifikasi Makhluk Hidup Sebagai Suplemen Media
Pembelajaran IPA Terpadu Kelas VII Mts. Unnes Science Education Journal,
3(2), pp. 494-501.
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor: PAU-IPB.

Borror, D.J., Triplehorn C.A., & Johnson, N.F. 2001. Zoologi (LIPI). Bogor: Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Demirci, B., Gultiken M.E., Karayigit, M.O. dan Atalar, K. 2012. Is Frozen Taxidermy
an Alternative Method for Demonstration of Dermatopaties. Eurasian Journal
of Veterinary Sciences, 28(3), pp.172-176.
Disbray, B.D. dan Rack, J.H. 1970. Histologycal Laboratory Methods. Edinbergh:
Livingstone.
Elzinga, R. J. 2000. Fundamentals of Entomology. Minessota: Practice Hall.
Jasin, M. 1989. Sistematika Hewan Vertebrata dan Invertebrata. Surabaya: Sinar
Wijaya.

Nurdianti, A., Sri, N.M., dan Sustri. 2013. Potensi Pengembangan Wisata Alam Di
Habitat Maleo (Macrocephalon maleo) Taman Nasional Lore Lindu Bidang
Pengelolaan Wilayah (Bpw) I Saluki Kec. Gumbasa Kab. Sigi. Warta Rimba,
1(1), pp. 1-8.

Pratiwi, R. 2006. Bagaimana Mengkoleksi Dan Merawat Biota Laut. Oseana. 91(2), pp. 1-9.

Prijono S.N, Koestoto, dan Suhardjono, Y.R. 1999. Kebijakan koleksi. Dalam
Suhardjono YR (ed). Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi.
Balitbang Zoologi: Puslitbang Biologi-LIPI.

Sampurno, K. 1994. Satu abad Museum Zoologi Bogor 1894-1994. Bogor: LIPI.

Sinaga, M.H. 2008. Suatu wacana meningkatkan kualitas pameran Museum Zoologi
Bogor menjadi pusat informasi keanekaragaman fauna nusantara. Fauna
Indonesia, 8(1), pp.1-5.

Sofyan, M.R. 2010. Pemaknaan Koleksi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Suhardjono dan Yayuk, R. 2006. Status Taksonomi Fauna Di IndonesiaDengan


Tinjauan Khusus Pada Collembola. Zoo Indonesia, 15(2), pp.67 – 86.

Suhardjono, Y.R. 1999. Buku Pegangan Pengelolaan Koleksi Spesimen Zoologi.


Bogor: LIPI Press.
Tjakrawidjaya, F. 1999. Arsenic In Taxidermy Collections. Bogor: Puslitbang Biologi.

Winker, K. 2000. Obtaining, Preserving, and Preparing Bird Spcimens. Journal of


Field Ornithology, 71(2), pp. 250-297.

Yayuk, S., Hartini, U. & Sartiami, E. 2010. Koleksi, Preservasi, Identifikasi, Kurasi
dan Manajemen Data. Bandung: Angkasa Duta.

Anda mungkin juga menyukai