Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk


menentukan aktivitas zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivitasnya zat
terlarut dalam pelarut lain diketahui, asalkan kedua pelarut tidak
tercampur sempurna satu sama lain. Faktor – faktor yang
memperngaruhi koefisien distribusi diantaranya :
1. Temperatur yang digunakan
2. Jenis pelarut
3. Jenis terlarut
4. Konsentrasi

Hukum distribusi banyak dipakai dalam proses ekstraksi, analisis dan


penentuan kesetimbangan (Onyeocha, et al., 2018).

Menurut hukum distribusi Nernst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak
saling bercampur dimasukkan solut yang dapat larut dalam kedua pelarut
tersebut, maka akan terjadi pembagian kelarutan. Kedua pelarut tersebut
umumnya pelarut organik dan air. Dalam praktek solut akan terdistribusi
dengan sendirinya ke dalam dua pelarut tersebut setelah dikocok dan
dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua
pelarut tersebut tetap dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap.
Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi.
Karena itu dilakukanlah percobaan distribusi solute(zat terlarut) antara
dua pelarut yang tak saling campur ini, agar dapat menentukan
konstanta kesetimbangan suatu pelarut yang tidak bercampur.
1.2 Tujuan Praktikum

a. Menentukan nilai koefisien distribusi asam asetat dalam air dan


isopropanol
b. Membandingakn nilai koefisien distribusi dengan isopropanol dan
diklorometan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Di antara aplikasi hukum distribusi Nernst, yang paling penting dan


menarik adalah ekstraksi substansi terlarut dalam satu pelarut (fase I)
untuk pelarut lain (fase II), kedua pelarut itu sebagian larut atau tidak
bercampur. Telah diketahui dengan baik bahwa efisiensi ekstraksi,
yaitu fraksi zat terlarut yang diekstraksi, akan meningkat jika volume
total yang sama dari pelarut ekstraksi digunakan dalam jumlah kecil
dalam tahap-tahap berturut-turut daripada dalam satu aplikasi (Guha &
Guha, 1992).

Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan


pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat
tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari suatu pelarut ke
pelarut yang lain. Seringkali campuran bahan padat dan cair (misalnya
bahan alami) tidak dapat atau sukar sekali dipisahkan dengan metode
pemisahan mekanis atau termis. Misalnya saja, karena komponennya
saling bercampur secara sangat erat, peka terhadap panas, beda sifat-
sifat fisiknya terlalu kecil, atau tersedia dalam konsentrasi yang terlalu
rendah (Rahayu, 2009).

Dalam ekstraksi cair-cair sederhana, partisi zat terlarut antara dua


fase yang tidak bercampur. Satu fase biasanya berair dan fase lainnya
adalah pelarut organik, seperti pentana yang digunakan dalam
mengekstraksi trihalomethanes dari air. Karena fase-fase tersebut tidak
dapat bercampur, mereka membentuk dua lapisan, dengan fase yang
lebih padat di bagian bawah. Zat terlarut awalnya ada di salah satu dari
dua fase; setelah ekstraksi, ia hadir dalam kedua fase. Efisiensi ekstraksi
yaitu, persentase zat terlarut yang bergerak dari satu fase ke fase lainnya
ditentukan oleh konstanta kesetimbangan untuk partisi zat terlarut
antara fase dan reaksi lainnya yang melibatkan zat terlarut (Anon.,
2019).

Koefisien distribusi dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara


konsentrasi solute dalam pelarut I dengan konsentrasi solute dalam
pelarut II.

𝑐𝐼
𝐾𝑑 =
𝑐𝐼𝐼

Perumusan tersebut berlaku selama berat molekul solut sama pada


kedua pelarut. Bila berat molekul tidak sama akibat terjadinya asosiasi
dan desosiasi solut di dalam salah satu pelarut. Sehingga untuk
mendapatkan koefisien distribusi konstan diperlukan modifikasi pada
kaidah sederhana tersebut. Misal suatu solut C mempunyai molekul
normaldalam pelarut I tetapi dalam pelarut II solut C berasosiasi
membentuk senyawa komplek Cn.

𝑛𝐶 𝐶𝑛
Dalam air Dalam organik

Maka harga konstanta kesetimbangannya adalah :


𝐶 𝑛 𝑎𝑖𝑟 𝑐
𝐾= , C = C mol , Cn = mol
𝐶𝑛 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 𝑛

Maka,
𝐶 𝑛 𝑎𝑖𝑟
𝐾= 𝐶𝑛 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘
𝑛

logaritma natural dari persamaan diatas :


𝑛 ln 𝐶 𝑎𝑖𝑟 − ln 𝐶 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘
ln 𝐾 =
𝑛
ln 𝐾 = 𝑛 ln 𝐶 𝑎𝑖𝑟 − ln 𝐶 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 + ln 𝑛
𝑛
ln 𝐶 𝑜𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑘 = 𝑛 ln 𝐶 𝑎𝑖𝑟 + ln
𝑘
(Oktaviano, 2019)
III. METODE PERCOBAAN

3.1 Alat
a. Buret 50 mL IWAKI CTE 33
b. Erlenmeyer 100 mL IWAKI CTE 33
c. Gelas kimia 50,100,250 mL IWAKI CTE 33
d. Pipet volumetrik 25 mL IWAKI CTE 33
e. Pipet ukur 10 mL IWAKI CTE 33
f. Labu takar 50 Ml IWAKI CTE 33
g. Corong pisah
h. Batang pengaduk
i. Spatula
j. Kaca arloji
k. Corong kaca
l. Statif dan klem
m. Batang pengaduk
3.2 Bahan

a. Asam asetat 2M
b. Asam oksalat
c. Isopropanol
d. NaOH 0,25 M
e. Indikator pp
f. aquades
3.3 Prosedur Kerja
- Pembakuan NaOH

Asam Oksalat 0,1575 gram

- Dilarutkan dengan aqua DM


- Ditambah indikator pp

Larutan Asam Oksalat

NaOH XM

- Dititrasikan pada asam oksalat


- Dilakukan duplo

NaOH 0.25 M

- Pembuatan larutan asam asetat

Asam asetat 2 M

- Dimasukkan dalam labu takar 50


mL
- Ditambahkan air hingga 50mL
Notes : volume asam asetat
ditentukan dengan rumus
pengenceran MV=MV

Larutan Asam asetat


1;0,8;0,6;0,4;0,2 M
- penentuan [CH3COOH]air dan [CH3COOH]propanol

Larutan Asam asetat


1;0,8;0,6;0,4;0,2 M

- Diambil 10 mL - Diambil 25 mL
- Dimasukkan - Dimasukkan dalam corong pisah
dalam - +25 mL isopropanol
erlenmeyer - Dikocok ±10 menit
- Dititrasi dengan - Diambil 10 mL di titrasi dengan
NaOH ,duplo NaOH, duplo

[CH3COOH]air dan
[CH3COOH]propanol
IV. HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Percobaan

Tabel 4.1.1 data titrasi pembakuan NaOH


massa oksalat V NaOH [NaOH] ̅
𝑴
(g) (mL) (M)
0,1577 9,6 0,261
0,2611
0,1580 9,6 0,2612

Tabel 4.1.2 data titrasi untuk [CH3COOH] awal


[CH3COOH] V NaOH (mL) ̅ NaOH (mL)
𝑽
(M) I II
1 38,4 38,6 38,5
0,8 30,9 31,1 31
0,6 23,9 23,7 23,8
0,4 15,3 15,5 15,4
0,2 7,8 7,7 7,75

Tabel 4.1.3 data titrasi untuk [CH3COOH] air

[CH3COOH] V NaOH (mL) ̅ NaOH


𝑽
(M) I II (mL)
1 20,2 20,4 20,3
0,8 15,8 15,6 15,7
0,6 11,9 12 11,95
0,4 8,1 8 8,05
0,2 4,1 4,1 4,1
4.2 Pembahasan

Pada praktikum ini tentang distribusi solut antara dua pelarut


tak bercampur menggunakan prinsip dasar ektraksi cair-cair dan
menerapkan hukum distribusi serta persamaan Nernst. Dalam
praktikum ini menggunakan asam asetat sebagai fasa air dan
isopropanol sebagai fasa organik.
Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya
dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak
dapat tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari suatu
pelarut ke pelarut yang lain (Rahayu, 2009).
Setelah stardisasi NaOH, dilakukan titrasi terhadap lima
konsentrasi asam asetat berbeda, yaitu 0,2;0,4;0,6;0,8;1 M sebanyak
10 mL. Titrasi awal ini dilakukan untuk menentukan konsentrasi
awal dari asam asetat sebagai fasa air. Dari titrasi ini terlihat bahwa
semakin besar konsentrasi asam asetat, maka semakin banyak juga
volume NaOH yang dibutuhkan.
Selanjutnya, sebanyak 25 mL dari 50 mL asam asetat yang
telah dibuat sebelumnya di ektraksikan dengan isopropanol
sebanyak 25 mL. Dilakukan ektraksi selama 10 menit, lalu hasil
ekstraksi pada fasa air yang terletak di bagian bawah corong pisah
di ambil 10 mL untuk dititrasikan dengan NaOH. Hasil titrasi ini
sebagai konsenrasi asam asetat yang terdapat di pelarut air.
Dengan data konsentrasi awal asam asetat dan konsentrasi
asam asetat yang terdistribusi ke pelarut organik dapat dihitung
melalui selisihnya. Dari data konsentrasi asam asetat di air dan
pelarut organik maka, dapat di plotkan grafik dari nilai ln
konsnetrasi keduanya. Dari grafik ini didapat persamaan regresi
linier dan dapat ditentukan nilai Knya seperti pada lampiran.
Nilai K pada percobaan ini adalah 1,06228 dengan
menggunakan pelarut organik isopropanol. Pada percobaan
sebelumnya nilai K didapat sebesar 11,6 dengan menggunakan
diklorometan sebagai pelarut organik. Nilai K yang berasal dari
perbandingan antara konsentrasi pada fasa organik dan fasa air.
Dengan besarnya nilai K ini mengindikasikan bahwa distribusi zat
terlarut ke fasa organik lebih disukai daripada di fasa air (Anon.,
2019).
Jika dilihat dari nilai K diantara isopropanol dan
diklorometan. Terlihat jelas bahwa nilai K diklorometan jauh lebih
besar daripada isopropanol. Hal ini disebabkan oleh kepolaran
pelarut tersebut. Jika dilihat dari fisiknya, isopropanol yang
merupakan alkohol kepolarannya mirip dengan air yang mana pada
saat ekstraksi dilakukan fasa air dan fasa isopropanol kurang terlihat
perbedaannya, dibandingkan dengan diklorometan. Dilihat dari nilai
titik didih terlihat bahwa diklorometan memiliki titik didih lebih
rendah dari isopropanol yaitu 40°C dengan 97°C. Karena semakin
rendah nilai titik didih maka pelarut tersebut makin mudah
menguap dan makin non polar. Oleh karena hal ini, diklorometan
yang sangat jauh perbedaan kepolarannya daripada air sehingga fasa
keduanya terpisah dengan jelas. Jenis pelarut ini mempengaruhi
nilai K. Sesuai dengan hukum distribusi dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya adalah sebagai berikut:
 Temperatur yang digunakan
 Jenis pelarut
 Jenis terlarut
 Konsentrasi (Onyeocha, et al., 2018)

Karena yang berbeda diantaranya hanya jenis pelarut terkait tingkat


kepolarannya, maka nilai K diantara isopropanol dan diklorometan
berbeda jauh.
V. KESIMPULAN

Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa :

a. Nilai K dari hasil ekstraksi asam asetat dengan pelarut organik


berupa isopropanol didapat sebesar 1,06228. Berdasarkan hukum
distribusi dan persamaan Nernst, semakin tinggi nilai K maka
distribusi zat terlarut ke arah pelarut organik lebih disukai.
b. Nilai K ini bergantung juga dengan tingkat kepolaran pelarut
organik. Pada saat menggunakan diklorometan nilai K jauh lebih
besar karena diklorometan lebih non polar daripada isopropanol jika
dibandingkan dengan fasa air, dan kepolaran isopropanol mirip
dengan air sehingga nilai Knya lebih kecil.
VI. DAFTAR PUSTAKA

Anon., 2019. 7.7: Liquid–Liquid Extractions. [Online]


Available at:
https://chem.libretexts.org/Bookshelves/Analytical_Chemistry/Book%
3A_Analytical_Chemistry_2.0_(Harvey)/07%3A_Collecting_and_Pre
paring_Samples/7.7%3A_Liquid%E2%80%93Liquid_Extractions

Guha, P. & Guha, R., 1992. Principle of extraction of solute by


solvent.. Journal of Chemical education, 69(1), p. 73.

Oktaviano, H. S., 2019. Modul Praktikum Kimia Energetika Kinetika.


Jakarta: Universitas Pertamina.

Onyeocha, V., Akpan, O., Onuchukwu, I. & Chidiebere, M., 2018.


The Dimerization Effects of Some Solutes on the Partition Coefficient
kD in Binary Immiscible Solvents. International Letters of Chemistry,
Physics and Astronomy, Volume 80, pp. 40-52.

Rahayu, S., 2009. Ekstraksi. [Online]


Available at: http://www.chem-is-try.org/materi-
kimia/kimia_industri/teknologi_proses/ekstraksi/
[Accessed 22 September 2019]
LAMPIRAN
- Pembakuan NaOH

Dari reaksi

2 NaOH + H2C2O4 → Na2C2O4 + 2 H2O


Maka terdapat perbandingan bahwa mol NaOH = 2 x mol H2C2O4
n NaOH = n H2C2O4
𝑚
MxV = 2 x 𝑀𝑚

Sesuai data pada tabel 4.1.1 M NaOH dapat dihitung sebagai berikut :

(1) n NaOH = n H2C2O4


𝑚
MxV = 2 x 𝑀𝑚
0,1577 𝑔
M x 9,6 mL = 2 x 126 𝑔/𝑚𝑜𝑙

M1 = 0,261 M
(2) n NaOH = n H2C2O4
𝑚
MxV = 2 x 𝑀𝑚
0,1580 𝑔
M x 9,6 mL = 2 x 126 𝑔/𝑚𝑜𝑙

M2 = 0,2612 M

∴ Maka rata-rata [NaOH] adalah

𝑀1+𝑀2 0,261 𝑀+0,2612 𝑀


𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = = = 0,2611 𝑀
2 2

- Perhitungan [CH3COOH]awal

Dengan reaksi CH3COOH + NaOH → CH3COONa + H2O


Dan dengan data pada tabel 4.1.2 maka [CH3COOH]awal dapat ditentukan
dengan :
̅𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑉̅𝑁𝑎𝑂𝐻
𝑀CH3COOH 𝑉CH3COOH = 𝑀

Konsentrasi CH3COOH 1 M
0,2611 𝑀 𝑥 38, 5 𝑚𝐿
𝑀CH3COOH = = 1,0052 𝑀
10 𝑚𝐿
Dengan formula yang sama maka [CH3COOH]awal dapat dihitung untuk
[CH3COOH] 0,8;0,6;0,4;0,2 M.
Tabel 4.2.1 tabel perhitungan [CH3COOH]awal
[CH3COOH] V NaOH (mL) ̅ NaOH
𝑽 [CH3COOH]awal
(M) I II (mL) (M)
1 38,4 38,6 38,5 1,0052
0,8 30,9 31,1 31 0,8094
0,6 23,9 23,7 23,8 0,6214
0,4 15,3 15,5 15,4 0,4021
0,2 7,8 7,7 7,75 0,2024

- Perhitungan [CH3COOH]air

Dengan reaksi CH3COOH + NaOH → CH3COONa + H2O


Dan dengan data pada tabel 4.1.3 maka [CH3COOH]air dapat ditentukan
dengan :
̅𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑉̅𝑁𝑎𝑂𝐻
𝑀CH3COOH 𝑉CH3COOH = 𝑀

CH3COOH 1 M
0,2611 𝑀 𝑥 20,3 𝑚𝐿
𝑀CH3COOH = = 0,53 𝑀
10 𝑚𝐿

Dengan formula yang sama maka [CH3COOH]air dapat dihitung untuk


[CH3COOH] 0,8;0,6;0,4;0,2 M.

Tabel 4.2.2 tabel perhitungan [CH3COOH]air

[CH3COOH] V NaOH (mL) NaOH [CH3COOH]air


(M) I II (mL) (M)
1 20,2 20,4 20,3 0,5300
0,8 15,8 15,6 15,7 0,4099
0,6 11,9 12 11,95 0,3120
0,4 8,1 8 8,05 0,2102
0,2 4,1 4,1 4,1 0,1071
- Perhitungan [CH3COOH]propanol

[CH3COOH]propanol diperoleh dari hasil selisih [CH3COOH]awal dengan


[CH3COOH]air. Maka hasilnya adalah sebagai berikut :

Tabel 4.2.3 perhitungan [CH3COOH]propanol


[CH3COOH]
[CH3COOH]awal [CH3COOH]air
2-propanol
(M) (M)
(M)
1,0052 0,5300 0,4752
0,8094 0,4099 0,3995
0,6214 0,3120 0,3094
0,4021 0,2102 0,1919
0,2024 0,1071 0,0953

- Pembuatan grafik penentuan nilai K

Untuk dapat menentukan nilai K maka di plotkan grafik antara ln


[CH3COOH]airl vs ln [CH3COOH]propanol

Tabel 4.2.2 nilai ln [CH3COOH]airl dan ln [CH3COOH]propanol


ln
ln [CH3COOH]
[CH3COOH]air
2-propanol (M)
(M)
-0,6348 -0,7440
-0,8918 -0,9175
-1,1647 -1,1731
-1,5598 -1,6508
-2,2344 -2,3507
Grafik ln [CH3COOH]air vs
ln [CH3COOH]propanol
0,0000
-2,5000 -2,0000 -1,5000 -1,0000 -0,5000 0,0000
-0,7440 -0,5000
-0,9175
ln [CH3COOH] 2-propanol

y = 1,0313x - 0,0296 -1,1731 -1,0000


R² = 0,995
-1,6508
-1,5000

-2,3507 -2,0000

-2,5000
ln [CH3COOH]air

- Perhitungan nilai K

Dari persamaan regresi linier 𝑦 = 1,0313 𝑥 − 0,0296 dapat ditentukan nilai


K sebagai berikut :
Persamaan regresi linier diatas sama polanya dengan
𝑛
ln [CH3COOH]propanol = n ln [CH3COOH]air + ln 𝑘
𝑛 1,0313
k = 𝑒𝑎 = = 1,06228
𝑒 −0,0296

Anda mungkin juga menyukai