Anda di halaman 1dari 5

Hanivan Ma’ruf – 16730076

Shofiati Asyahidah - 16730087

Desain Komunikasi Manajemen Krisis : Kasus “Toilet” Starbucks

A. Identifikasi Krisis

Krisis yang terjadi adalah protes dan tudingan masyarakat amerika serikat kepada
Starbucks yang dianggap melakukan tindakan Rasisme dan Intoleransi. Protes serta tudingan itu
terjadi dikarenakan salah satu gerai Starbucks di Philadelphia melarang dua orang kulit hitam
yang ingin menumpang menggunakan toilet tanpa melakukan pembelian, lalu mengusir dua
orang kulit hitam tersebut dengan bantuan aparat. Jenis krisis seperti ini termasuk dalam tipologi
Immediate Crisis. Timbulnya krisis ini tidak diduga oleh pihak manajemen namun masih
memberikan kemungkinan manajemen untuk melakukan resolusi krisis.

B. Strategi Resolusi Krisis

Langkah yang diambil sebagai upaya menangani krisis ini adalah Strategi Adaptif :

1. Mengubah Kebijakan
Manajemen merubah kebijakan terkait pelayanan customer yang sebelumnya
dilarang menggunakan fasilitas gerai jika tidak melakukan pembelian, namun saat ini
siapapun yang datang ke gerai Starbucks akan dianggap sebagai pelanggan dan
diperkenankan menggunakan seluruh fasilitas gerai Starbucks meskipun tidak melakukan
pembelian atau pemesanan. Kebijakan ini berlaku di semua gerai Starbucks.

2. Meluruskan Citra
Pihak manajemen harus berupaya mengembalikan citra dan kepercayaan masyarakat. Hal
tersebut dilakukan menggunakan pendekatan :
a. Behavioural Approach
Pihak pimpinan manajemen terlibat langsung dalam upaya penanganan krisis.
Pimpinan manajemen memberikan arahan pembaharuan kebijakan dan modifikasi
operasional secara teknis. Beberapa langkah diantaranya dengan memberikan
pelatihan pelayanan dan manajemen kepada 175 ribu karyawan dan manajer
Starbucks yang meliputi 8000 gerai Starbucks di amerika serikat. Langkah yang
diambil melalui kegiatan ini diharapkan dapat memperbaharui prinsip kerja karyawan
dan manajer Starbucks serta menunjukkan kepada masyarakat bahwa Starbucks
memiliki komitmen yang serius untuk memperbaiki sistem dan pelayanan.

b. Communication Approach
Pihak manajemen harus melakukan pendekatan komunikasi untuk memberikan
pemenuhan kebutuhan informasi tentang Starbucks kepada masyarakat. Langkah
tersebut dilakukan dengan selalu aktif memberikan pernyataan dan klarifikasi kepada
media massa mengenai Starbucks dan krisis yang terjadi. Selain itu memanfaatkan
lini media sosial yang dimiliki untuk secara aktif memberikan pesan yang persuasif
kepada masyarakat termasuk pernyataan klarifikasi dan penyampaian maaf.
Informasi yang disampaikan harus jujur dan terbuka serta tetap menunjukkan
komitmen dan iktikad baik perusahaan.

C. Analisis Anatomi Krisis

1. Predromal Crisis Stage

Tahap ini adalah tahap awal timbulnya indikasi krisis. Menurut Steven Fink (1986), pada
tahap ini timbul tanda-tanda awal yang berpotensi mengakibatkan krisis pada
perusahaan/instansi. Namun indikasi tersebut cenderung tidak ditanggapi dengan serius oleh
manajemen sehingga membuat indikasi krisis yang muncul berpotensi meluas dan membesar.
Pada kasus ”Toilet” kedai kopi Starbucks di Amerika Serikat ini, kebijakan manajemen
untuk melarang peruntukkan toilet kedai bagi orang-orang yang tidak membeli dan memesan
sesuatu di Starbucks adalah faktor awal yang berpotensi memicu krisis, indikasi krisis
tersebut menguat ketika dua pria kulit hitam yang ingin ”menumpang” di toilet Starbucks
hari itu tidak diizinkan oleh pegawai dan manajer gerai Starbucks. Ditambah pengusiran oleh
aparat polisi dan seseorang yang merekam kronologi tersebut, lobang potensi krisis terbuka
semakin lebar. Seharusnya melihat kondisi demikian, pihak manajemen bisa mengambil
langkah yang lebih bijak untuk menghindari hal-hal yang berpeluang menimbulkan
konfrontasi.
Langkah yang mungkin bisa diambil dalam kasus ini sebagai tindakan Crisis Abortion
adalah mengizinkan pria kulit hitam tadi untuk memakai toilet kedai saat mereka duduk dan
tak ingin beranjak dari tempat duduk pelanggan. Namun, nampaknya pihak manjemen dan
pegawai gerai Starbucks terlalu stuck dengan SOP yang berlaku. Melibatkan aparat
kepolisian untuk memaksa kedua pria keluar dari kedai sudah termasuk tindakan koersif yang
tidak dicermati oleh manajemen gerai ketika itu bahwa juga sedang banyak pengunjung di
dalam gerai yang mungkin saja ikut bereaksi melihat kejadian tersebut.

2. Acute Crisis Stage

Tahap Acute adalah point of return dari sebuah krisis yang terjadi. Dalam tahap ini
dimana manajemen baru menyadari krisis telah terjadi akibat indikasi-indikasi awal yang
tidak ditangani dengan baik, atau salah dalam mengambil langkah dan tindakan untuk
meredam potensi krisis sebelumnya. Tahap akut ini telah menyebabkan berbagai dampak
yang merugikan perusahaan/instansi baik secara materil ataupun moril. Serta intensitas
serangan yang dapat menimbulkan kerugian datang dari berbagai pihak yang bila manajemen
tidak bijak dalam bertindak mengatasi hal ini, akan berakibat buruk bagi reputasi dan
keberlangsungan perusahaan. Hal yang terjadi pada Starbucks adalah kecaman 7 hari 7
malam oleh netizen di media sosial. Memang pada umumnya masyarakat amerika serikat
tidak pernah mentolerir tindakan berbau rasis yang ada di negaranya, meskipun kasus ini
bukan murni tindakan rasis. Kecaman juga datang dari para aktivis dan sekelompok
masyarakat yang berdemo di depan gerai Starbucks Philadelphia tersebut, menyuarakan dan
menuding Starbucks melakukan tindakan rasis kepada orang kulit hitam. Seruan boikot
Starbucks menggema di langit media sosial Amerika serta melalui unjuk rasa. Media massa
juga turut andil memberitakan hal serupa, akumulasi dari kecaman dan pemberitaan tersebut
cukup membuat reputasi Starbucks di negeri paman sam “anjlok” yang memaksa CEO kedai
kopi papan atas tersebut, Kevin Johnson menutup seluruh gerainya di Amerika Serikat untuk
sementara waktu.

3. Chronic Crisis Stage

Tahap Chronic sejatinya adalah tahap perusahaan bisa membangun harapannya kembali
setelah mengalami masa-masa sulit krisis. Masa ini adalah masa Recovery untuk
mengintrospeksi sebab krisis terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk “membersihkan
diri” dari krisis yang ada serta berpikir dan melakukan hal-hal yang bisa mengembalikan
kondisi perusahaan seperti semula. Tentunya hal itu yang dipikirkan oleh Kevin Johnson
apabila ingin orang Amerika tetap memesan kopi di kedainya. Langkah pertama yang ia
lakukan adalah membuat video “klarifikasi” dan permohonan maaf secara langsung atas
peristiwa yang telah terjadi. Melalui twitter ia menuliskan dan mengirim video permintaan
maafnya atas nama pribadi dan perusahaan.

Kevin berjanji untuk mengevaluasi kebijakan yang berlaku di gerai kopinya serta
menjamin hal serupa tidak akan pernah terjadi lagi di Starbucks manapun dengan pelayanan
yang lebih baik. Kevin belum menilai langkah tersebut cukup sampai disitu. Selanjutnya
yang ia lakukan adalah memberikan pelatihan “Anti rasis” kepada 175 ribu karyawan dari
8000 toko dan kantor di penjuru Amerika serikat. Pelatihan tersebut akan langsung
dibimbing dari beberapa ahli nasional dan lokal yang berkompeten. Beberapa di antaranya
yakni Pendiri dan Direktur Eksekutif Equal Justice Initiative Bryan Stevenson, serta Presiden
dan Direktur Penasihat NAACP Sherrilyn Ifill. Meski kesempatan ini terbatas, Johnson
berkomitmen akan terus mengedukasi agar kejadian serupa tidak akan terulang lagi.
4. Crisis Resolution Stage

Tahap ini adalah masa kesembuhan perusahaan. Yaitu adanya tanda-tanda penyelesaian
akhir yang menandakan bahwa krisis mulai mereda dan tidak ada lagi ancaman bagi
organisasi/perusahaan. Setelah karyawan Starbucks mendapatkan sertifikat pelatihan “anti
rasis” nya, Kevin Johnson berharap kasus-kasus yang sebenarnya tidak perlu demikian tidak
akan pernah terulang kembali suatu hari. Starbucks tetap menjadi Starbucks, pasca krisis
tersebut, para pecandu kopi yang memiliki rezeki lebih masih enggan berpaling untuk
nongkrong di Starbucks dengan segelas Green Tea Latte nya. Netizen pun sudah tidak
“seganas” saat krisis berlangsung. Kevin bersama manajemen Starbucks benar-benar
memegang komitmen untuk memberikan pelayanan yang lebih baik. Toilet Starbucks pun
sekarang menjadi lebih inklusif, siapapun boleh menggunakan toilet meski tanpa membeli.
Demikian hal nya dengan fasilitas toko yang lain termasuk teras dan tempat duduk
pelanggan. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Executive Chairman Starbucks, Howard
Schultz. Ia menyatakan seluruh pengunjung bebas mengakses dan mempergunakan fasilitas
toko di seluruh gerai Starbucks meski tanpa membeli atau memesan sesuatu, dan mereka
akan tetap dianggap sebagai pelanggan. Untuk membuktikan komitmen tersebut, mungkin
boleh dicoba untuk “menumpang” toilet sejenak di Starbucks tanpa harus melihat daftar
harga kopi yang ada disana.

Anda mungkin juga menyukai