Sediaan Injeksi
Sediaan Injeksi
EVALUASI FISIK
1. Penetapan Volume Injeksi dalam Wadah (FI V <1131>, hal 1570)
a) Tujuan : Menetapkan volume injeksi yang dimasukkan dalam wadah agar
volume injeksi yang digunakan tepat/sesuai dengan yang tertera pada
penandaan.
b) Prinsip : Penentuan volum dilakukan dengan cara mengambil sampel dengan
alat suntik hipodermik dan memasukkan ke dalam gelas ukur yang
sesuai.
c) Interpretasi : Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diuji
satu per satu.
b) Prosedur :
Wadah-wadah takaran tunggal yang masih panas, setelah selesai disterilkan
dimasukkan kedalam larutan biru metilena 0,1%. Jika ada wadah-wadah yang
bocor maka larutan biru metilena akan masuk kedalamnya karena perbedaan
tekanan diluar dan di dalam wadah tersebut. Cara ini tidak dapat dipakai untuk
larutan-larutan yang sudah berwarna.
Wadah-wadah takaran tunggal disterilkan terbalik, yaitu dengan ujungnya dibawah.
Ini juga digunakan pada pembuatan dalam skala kecil. Jika ada kebocoran maka
larutan ini dari dalam wadah akan keluar, dan wadah menjadi kosong.
Wadah-wadah yang tidak dapat disterilkan, kebocorannya harus diperiksa dengan
memasukkan wadah-wadah tersebut dalam eksikator, yang kemudian divakumkan.
Jika ada kebocoran larutan akan diserap keluar. Harus dijaga agar jangan sampai
larutan yang telah keluar, diisap kembali jika vakum dihilangkan.
f) Interpretasi : Sediaan memenuhi syarat jika larutan dalam wadah tidak menjadi biru
dan kertas saring atau kapas tidak basah. (Dipilih sesuai prosedur
yang ditulis)
5. Uji kejernihan dan warna (Goeswin Agoes, Larutan Parenteral hal 201-202)
a) Tujuan : Untuk memeriksa bahwa setiap larutan obat suntik harus jernih dan
bebas dari kotoran.
b) Prosedur : Wadah-wadah kemasan akhir diperiksa satu persatu dengan menyinari
wadah dari samping dengan latar belakang sehelai papan yang
separuhnya dicat bewarna hitam dan separuh lagi dicat berwarna
putih. Latar belakang hitam dipakai untuk menyelidiki kotoran yang
berwarna muda, sedangkan berlatar putih untuk kotoran-kotoran
berwarna gelap.
c) Interpretasi : Memenuhi syarat jika tidak ditemukan kotoran dalam larutan.
d) Interpretasi :
Persyaratan untuk keseragaman sediaan dipenuhi jika nilai penerimaan dari 10 unit
pertama dosis tunggal lebih kecil atau sama dengan L 1%. Jika nilai penerimaan lebih
besar dari L 1% lakukan pengujian 20 satuan berikutnya dan hitung nilai penerimaan.
Persyaratan terpenuhi jika nilai penerimaan akhir dari 30 satuan lebih kecil atau sama
dengan L 1% dan tidak satupun lebih kecil dari [1-L2*0,01]M atau tidak lebih dari
[1+L2*0,01]M seperti yang dinyatakan dalam perhitungan nilai penerimaan pada
masing-masing Keseragaman kandungan atau pada Keseragaman bobot. Kecuali
dinyatakan lain pada masing-masing monografi, L1 sama dengan 15,0 dan L2 sama
dengan 25,0.
Injeksi Suspensi dan Injeksi Emulsi
Evaluasi sediaan suspensi atau emulsi steril mengacu pada evaluasi sediaan suspensi atau
emulsi nonsteril, hanya diperlukan uji sterilitas.
Catatan : lihat JSS suspensi dan emulsi
Injeksi Rekonstitusi
1. Waktu rekonstitusi
a) Tujuan : Menjamin sediaan mudah direkonstitusi dengan pengocokan
sedang.
b) Prinsip : Menentukan waktu rekonstitusi yang diperlukan sejak cairan
pembawa dimasukkan ke dalam vial sampai serbuk terlarut
sempurna.
c) Interpretasi : Waktu rekonstitusi yang baik kurang dari 30 detik.
3. Bahan Partikulat
Konstitusikan larutan dengan cara seperti yang tertera pada etiket sediaan kering steril:
larutan tidak mengandung partikel bahan asing yang dapat dilihat secara visual.
EVALUASI KIMIA
Prosedur evaluasi kimia harus mengacu terlebih dahulu pada data monografi sediaan
(dibuku FI IV atau buku resmi lainnya)
1. Identifikasi
● Metode utama : tulis nama metodenya (dijurnal: bagian analisis)
● Prinsip :mengacu pada bab V.5.1
● Prosedur :mengacu pada bab V.5.1
a) Penetapan kadar
● Metode utama : tulis nama metodenya (dijurnal: bagian analisis)
● Prinsip :mengacu pada bab V.5.1
● Prosedur :mengacu pada bab V.5.1
EVALUASI BIOLOGI
1. Uji sterilitas ( FI V <71>, hal 1341-1348)
a) Tujuan: Menetapkan apakah bahan Farmakope yang harus steril memenuhi
persyaratan berkenaan dengan uji sterilitas yang tertera pada masing-masing
monografi.
b) Persiapan:
Penyiapan media
Uji kesesuaian : uji sterilitas media, uji fertilitas media, penyimpanan
c) Prosedur:
Inokulasi langsung ke dalam media uji.
Teknik penyaringan membran.
d) Interpretasi:
Jika tidak terjadi pertumbuhan mikroba, maka bahan uji memenuhi syarat sterilitas.
Jika terbukti terjadi pertumbuhan mikroba, maka bahan uji tidak memenuhi syarat
sterilitas, kecuali dapat ditunjukkan bahwa uji tidak absah disebabkan oleh hal yang
tidak berhubungan dengan bahan uji. Uji dikatakan tidak absah jika satu atau lebih
kondisi dibawah ini dipenuhi:
Data pemantauan mikrobiologi terhadap fasilitas uji sterilitas menunjukkan
ketidaksesuaian.
Pengkajian prosedur uji yang digunakan selama pengujian menunjukkan
ketidaksesuaian.
Pertumbuhan mikroba ditemukan pada kontrol negatif
Setelah dilakukan identifikasi mikroba yang diisolasi dari hasil uji, pertumbuhan
mikroba (beberapa mikroba) dapat dianggap berasal dari kesalahan pada bahan
uji, atau teknik pengujian yang digunakan pada prosedur uji sterilitas.
Jika pengujian dinyatakan tidak absah, lakukan uji ulang dengan jumlah bahan yang
sama dengan uji awal. Jika tidak terbukti terjadi pertumbuhan mikroba pada uji ulang,
maka contoh memenuhi syarat uji sterilitas. Jika ditemukan pertumbuhan mikroba pada
uji ulang, makacontoh tidak memenuhi syarat uji sterilitas.
2. Uji endotoksin bakteri (FI V <201>, hal 1406-1411): jika dipersyaratkan di monografi
a) Tujuan : untuk memperkirakan kadar endotoksin bakteri yang mungkin ada didalam
atau pada bahan uji.
b) Prinsip : pengujian dilakukan menggunakan "Limulus Amebocyte Lysate" (LAL),
terdapat dua teknik uji, teknik pemebentukan jendal gel dan teknik fotometrik.
Teknik fotometrik mencakup metode turbidimetri, yang didasarkan pada
pembentukan kekeruhan setelah penguraian substrat endogen dan metode
kromogenik yang didasarkan pada pembentukan warna setelah terjadi penguraian
kompleks kromogen-peptida sintetik. Dilakukan salah satu dari teknik tersebut,
kecuali jika dinyatakan lain pada monografi.
c) Sebelumnya dilakukan persiapan :
Depirogenasi alat
Penyiapan baku pembanding dan baku kontrol endotoksin
Penentuan pengenceran maksimum yang absah (PMA)
d) Interpretasi : memenuhi syarat jika kadar endotoksin tidak lebih dari yang ditetapkan
pada masing-masing monografi.
3. Uji efektivitas pengawet antimikroba (FI V <61>, hlm. 1336-1339)
a) Tujuan : Untuk semua produk injeksi dosis ganda atau produk lain yang mengandung
pengawet, harus menunjukkan efektivitas antimikroba baik sebagai sifat
bawaan dalam produk maupun yang dibuat dengan penambahan
pengawet. Efektivitas antimikroba juga harus ditunjukkan untuk semua
produk dosis ganda sediaan topikal, oral dan sediaan lain seperti tetes
mata, telinga, hidung, irigasi dan cairan dialisis.
b) Prinsip : Inokulasi mikroba pada sediaan untuk mengetahui efektivitas pengawet
pada sediaan dengan cara menginkubasi tabung bakteri bioligik yang
berisi sampel dari inokula pada suhu 22,5 ± 2,5°C.
c) Prosedur : Pengujian dapat dilakukan dalam tiap lima wadah asli bila volume sediaan
tiap wadahnya mencukupi dan wadah sediaan dapat ditusuk secara
aseptik (dengan jarum dan alat suntik melalui tutup karet elastomerik),
atau dalam lima wadah bakteriologi bertutup steril, berukuran mencukupi
untuk volume sediaan yang dipindahkan. Inokulasi tiap wadah dengan
satu inokula baku yang telah disiapkan dan diaduk. Volume suspense
inokula yang digunakan antara 0,5% dan 1,0% dari volume sediaan.
Kadar mikroba uji yang ditambahkan pada sediaan seperti halnya kadar
akhir sediaan uji setelah diinokulasi antara 1 x 105 dan 1 x 106
koloni/ml. Inkubasi wadah yang sudah diinokulasi pada 22,5º ± 2,5º.
d) Interpretasi : Suatu pengawet dikatakan efektif jika :
4. Penetapan potensi antibiotika (untuk zat aktif antibiotik) (FI V <131>, hlm. 1392-
1399) khusus jika zat aktif adalah antibiotik
a) Tujuan : Untuk memastikan aktivitas antibiotik tidak berubah selama proses
pembuatan injeksi. Aktivitas antibiotik dapat dilihat dengan dua kriteria,
yaitu konsentrasi hambat minimum (KHM) dan diameter hambat. Harga
KHM berlainan untuk setiap mikroorganisme, tergantung pada kepekaan
masing-masing mikroba. Makin rendah harga KHM, makin kuat
potensinya. Pada umumnya antibiotik yang berpotensi tinggi mempunyai
KHM yang rendah dan diameter hambat yang besar.
b) Metode : Turbidimetri dan Lempeng-silinder
5. Uji pirogen <231> (FI V, hal. 1412-909): untuk sediaan dengan volume injeksi > 10 ml
a) Tujuan : Untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat diterima
oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi
b) Prinsip : Pengukuran kenaikan suhu kelinci setelah penyuntikan larutan uji
secara I.V. dan ditujukan untuk sediaan yang dapat diroleransi dengan
uji kelinci dengan dosis penyuntikan tidak lebih dari 10ml per kg
dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 menit
c) Interpretasi: Setiap penurunan suhu dianggap nol. Sediaan memenuhi syarat apabila
tak seekor kelinci pun menunjukan kenaikan suhu 0,5º atau lebih,
lanjutkan pengujian dengan mengunakan 5 ekor kelinci. Jika tidak
lebih dari 3 ekor dari 8 ekor kelinci masing-masing menunjukan
kenaikan suhu 0,5º atau lebih dan jumlah kenaikan suhu maksimum 8
ekor kelinci dan tidak > 3,3º sediaan dinyatakan memenuhi syarat
bebas pirogen.