Anda di halaman 1dari 11

ESCALATION COMMITMENT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Dalam pengambilan keputusan investasi yang strategis dan taktis, para


manajer perusahaan sering melakukan escalation commitment (eskalasi
komitmen) terhadap proyek-proyek investasi yang berisiko tinggi dan tidak
memberikan feedback yang tinggi. Tindakan tersebut tidak hanya sangat mahal
biayanya, tapi juga berpotensi menimbulkan problema agensi adverse selection
antara para manajer (agent) dengan prinsipal dimana para manajer memiliki
sejumlah insentif untuk menghindari atau memanipulasi sejumlah informasi privat
tentang kinerja dari pilihan investasi awal mereka (Kanodia et al., 1989). Adverse
selection merupakan suatu tindakan yang irasional karena para agent secara
sengaja hanya mengkomunikasikan informasi-informasi privat yang positif
tentang pilihan keputusan investasi awal mereka kepada prinsipal, sementara
informasi-informasi negatif disembunyikan (Caldwell dan O’Reilly, 1982;
Harrison dan Harrell 1997; Ghosh, 1997).
Hasil dari sejumlah riset empiris menunjukkan bahwa para manajer cenderung
melanjutkan komitmen awalnya dan mengeskalasi dana invetasi yang lebih besar
untuk suatu proyek yang memberikan feedback negatif atau belum memberikan
feedback seperti diharapkan. Mereka tidak mempertimbangkan biaya- biaya yang
dikeluarkan untuk proyek tersebut sebagai sunk costs dalam keputusan
investasinya (Staw 1976, 1981; Kanodia et al. 1989; Brockner 1992; Ghosh
1997). Juga ditemukan bahwa para individu manajer yang tidak mencapai budget
goals proyek investasi cenderung melakukan eskalasi komitmen yang lebih besar
dibandingkan para individu manajer yang mencapai budget goals (Heath, 1995;
Ruchala, 1999).

Mengapa terjadi perilaku manajer yang cenderung irasional (risk seeker)


tersebut dan faktor-faktor apa saja yang menjadi pemicunya telah menjadi isu riset
keperilakuan yang menarik pada saat ini. Fokus tulisan ini adalah menelaah
(review) faktor-faktor penyebab terjadinya escalation commitment para manajer
terhadap suatu proyek yang berisiko tinggi. Tulisan ini diakhiri dengan
memberikan sejumlah solusi untuk menghindari perilaku eskalasi komitmen yang
irasional dari para manajer.

Esensi dan Penyebab Escalation Commitment


Untuk memahami esensi dari eskalasi komitmen keputusan yang irasional
dari para manajer (irrational escalation of commitment), berikut disajikan dua
ilustrasi:
Seorang direktur utama bank X memberikan kredit Rp 100 juta kepada seorang
pengusaha kecil A untuk memulai usaha bisnis tahu-tempe. Pinjaman dan
bunganya harus dikembalikan dalam waktu satu tahun. Namun setelah empat
bulan kemudian, pengusaha A datang lagi ke direktur utama bank X untuk
meminta tambahan pinjaman Rp 50 juta untuk melanjutnya usahanya. Menurut
pengusaha tersebut, jika bank X tidak memberikan tambahan pinjaman, maka
usaha tahu-tempe yang telah dirintisnya terancam akan bangkrut dan
pengembalian pinjaman Rp 100 juta terancam macet. Mendengar argumentasi
tersebut, direktur bank X memutuskan untuk menyetujui permintaan tersebut.
Bapak Andi telah menghabiskan waktu 3 tahun dan dana sebesar Rp 120 juta
untuk kuliah di suatu program doktor universitas negeri. Pada akhir tahun ketiga,
ia baru menyadari bahwa prospek kerja dari program studi yang diambilnya
sangat tidak cerah. Namun karena telah menghabiskan waktu 3 tahun dan dana
yang cukup besar, maka ia memutuskan untuk tetap melanjutkan studinya dengan
konsekuensi waktu dan dana untuk menyelesaikan doktornya adalah sekitar 5
tahun dan Rp 200 juta.
Meskipun situasi pengambilan keputusannya berbeda, namun dua ilustrasi
di atas sama-sama mencerminkan escalation commitment perilaku keputusan
yang tidak rasional. Pada ilustrasi pertama, keputusan direktur utama bank X
untuk memenuhi permintaan pengusaha A dapat mengakibatkan bank tersebut
menderita kerugian minimal Rp 150 juta jika usaha bisnis tahu-tempe kemudian
gagal. Padahal, jika permintaan pengusaha A tidak disetujui (tetap bertahan pada
komitmen awalnya), maka bank X kemungkinan hanya akan menderita kerugian
Rp 100 juta.
Pada ilustrasi kedua, keputusan Bapak Andi tetap melanjutkan studinya dapat
mengakibatkan ia “kehilangan” waktu 5 tahun dan dana sebesar Rp 200 juta untuk
hal yang tidak prospektif. Padahal jika ia memutuskan untuk tidak melanjutkan
studinya, ia hanya “kehilangan” waktu 3 tahun dan dana sebesar Rp 120 juta.
Dari dua ilustrasi tersebut di atas, maka eskalasi komitmen adalah
komitmen seorang manajer atau individu-individu untuk tetap melanjutkan dan
memperluas komitmen awalnya terhadap pelaksanaan suatu proyek investasi atau
usaha-usaha tertentu yang sudah tidak menguntungkan atau memberikan feedback
yang negatif, meskipun keputusan tersebut kemungkinan akan mengakibatkan
risiko kerugian yang lebih besar lagi di kemudian hari. Menurut Hermann et al.
(1999), escalation commitment merujuk pada sejumlah situasi dimana para
pembuat keputusan terus menjalankan dan menggunakan sumberdaya-
sumberdaya ekonomi perusahaan untuk suatu course of action setelah
memperoleh feedback negatif, yaitu informasi yang menganjurkan bahwa
tindakan-tindakan sebelumnya tidak memberikan efek seperti yang diinginkan.
Menurut Hermann et al. (1999), kebanyakan pendekatan untuk studi escalation
commitment tampaknya didasarkan pada premis bahwa investasi sumberdaya-
sumberdaya ekonomik yang terus berlanjut tersebut adalah irasional dan atau
disfungsional.
Sementara Ruchala (1999) mendefinisikan escalation commitment sebagai
suatu keputusan untuk melanjutkan investasi dalam suatu proyek yang gagal.
Escalation commitment mencerminkan suatu misalokasi yang ekstrim terhadap
sumberdaya-sumberdaya ekonomik perusahaan yang langka. dapat terjadi dalam
sejumlah situasi bisnis, mencakup merger dan akuisisi, pengenalan produk baru,
pengembangan dan instalasi terhadap peralatan atau proses baru, dan pengiklanan.
Escalation commitment terhadap keputusan awal tersebut dipengaruhi oleh faktor
yang sangat kompleks. Secara umum dapat dikatakan bahwa perilaku eskalasi
tersebut dipengaruhi oleh adanya harapan yang besar dari para manajer atau
individu-individu bahwa proyek yang telah dirintis tersebut akan memberikan
feedback yang tinggi di masa depan. Selain itu, perilaku eskalasi tersebut juga
karena dipengaruhi oleh persepsi para manajer/individu-individu yang merasa rugi
jika tidak melanjutkan suatu proyek investasi yang belum menguntungkan karena
mereka telah mengorbankan waktu, pikiran, tenaga dan biaya atau sumberdaya-
sumberdaya ekonomik perusahaan yang cukup banyak untuk berinvestasi pada
proyek tersebut.
Secara konseptual, ada dua paradigma yang menjelaskan penyebab
terjadinya perilaku escalation commitment (Bazerman 1994). Paradigma pertama
adalah unilateral escalation, yang menyatakan bahwa semua kekuatan justifikasi
yang mengakibatkan perilaku eskalasi yang tidak rasional berada dalam diri para
individual sendiri. Dengan kata lain, para individu melakukan escalation
commitment dikarenakan mereka terikat pada komitmen-komitmen awal mereka
sendiri. Staw (1976) menyimpulkan bahwa rasa bertanggung jawab oleh para
pembuat keputusan terhadap keputusan awalnya secara signifikan mengkaburkan
(biases) keputusan selanjutnya. Staw dan Ross (1978) menyimpulkan bahwa
kecenderungan untuk melakukan escalation commitment oleh para subyek yang
memiliki tanggung jawab tinggi terutama diumumkan ketika suatu penjelasan
dapat dikembangkan untuk kegagalan awal yang tidak dapat diprediksikan dan
dihubungkan pada tindakan pembuatan keputusan. Menurut Bazerman (1994),
perilaku eskalasi terjadi dalam kelompok dan individu-individu pelaku
organiasasi. Kecenderungan untuk melakukan eskalasi secara signifikan
dipengaruhi oleh 1) tingkat rasa kecewa para pembuat keputusan ketika feedback
negatif dari keputusan awal diperoleh; 2) pentingnya keputusan-keputusan yang
dipersepsikan, dan 3) relasi antar dua keputusan yang dipersepsikan.
Paradigma kedua adalah competitive escalation. Paradigma ini
menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan kompetitif tambahan mendorong
terjadinya proses escalation commitment keputusan. Sama seperti esensi
paradigma unilateral escalation, eskalasi komitmen dalam paradigma ini terjadi
karena para pengambil keputusan telah membuat suatu keputusan awal yang
mereka rasa sebagai suatu kebutuhan yang dibenarkan untuk masa depan, dan
para pembuat keputusan merasa bahwa mereka sudah terlalu banyak berinvestasi
dalam proyek tersebut sehingga rugi kalau tidak melanjutkan dan memperluas
proyek tersebut. Hastrat untuk mendapatkan keuntungan yang besar (“win”) di
masa depan memberikan motivasi tambahan bagi para manajer/individu untuk
melakukan eskalasi komitmen.
Menurut Bazerman (1994), ada empat faktor pendorong terjadinya
fenomena escalation commitment keputusan investasi.
1. perceptual biases. Bias ini terjadi karena manajer /individu-individu tetap
komitmen dengan keputusan sebelumnya meskipun kinerja aktual dari
proyek investasi di bawah target yang diharapkan. Manajer/individu-individu
cenderung lebih memperhatikan aspek-aspek atau informasi positif daripada
aspek-aspek atau informasi negatif berkenaan dengan prospek investasi
perusahaan setelah membuat keputusan awalnya. Caldwell dan O’Reilly
(1982) secara empiris menunjukkan bahwa para subyek yang secara bebas
memilih suatu tindakan tertentu akan menyaring informasi secara selektif
untuk mempertahankan komitmen awal yang telah mereka ambil.
2. Kedua, judgmental biases. Bias ini terjadi karena sekali seorang
manajer/individu-individu menyaring informasi yang akan digunakan dalam
pembuatan suatu keputusan berikutnya, mereka masih harus membuat
keputusan berikutnya. Pertimbangan pengambilan keputusan berikutnya
tersebut akan dipengaruhi oleh sejumlah informasi yang telah disaring dalam
keputusan sebelumnya. Argumen utama dari bias ini adalah suatu kerugian
investasi awal secara sistematis akan mendistorsi pertimbangan (judgement)
untuk melanjutkan sejumlah keputusan atau tindakan yang telah dipilih
sebelumnya.Logika dari argumen tersebut di atas tampaknya searah dengan

konsep framing effects2 dalam prospect theory yang dikembangkan

Kahneman dan Tversky (1979) dan Tversky dan Kahneman (1981)3. Dalam
pengantar tentang prospect theory (PT), Kahneman dan Tversky (1979)
menyatakan bahwa framing atas sejumlah alternatif pilihan keputusan dapat
mempengaruhi riskiness dari outcome keputusan. Tversky an Kahneman
(1981) menyatakan bahwa orang mengandalkan sejumlah heuristik dan bias
yang terbatas dalam pembuatan keputusan yang kompleks, dan masing-
masing bias dan heuristik yang diidentifikasi tersebut agaknya tergantung
pada formulasi ide awal.
3. impression management. Esensi dari bias ini adalah para manajer/individu-
individu tetap komitmen untuk melanjutkan suatu proyek investsai yang
tidak menguntungkan karena takut jika proyek investasi tersebut dihentikan
maka investor, pemilik, klien atau publik akan menilai penghentian tersebut
sebagai suatu indikasi (signaling) kesalahan manajemen dalam membuat
keputusan awal dan juga sebagai kegagalan manajemen dalam melaksanakan
proyek tersebut. Dengan kata lain, bias ini terjadi karena manajemen
berusaha untuk “menyelamatkan mukanya” (save face). Hasil studi Caldwell
dan O’Reilly (1982) memperkuat argumentasi ini. Caldwell dan O’Reilly
menemukan bahwa para individu secara selektif tidak hanya menerima
informasi, tapi juga secara selektif menyajikan kepada yang lainnya. Secara
khusus, para individu yang membuat suatu komitmen awal untuk suatu
tindakan atau keputusan tertentu lebih mungkin menyajikan konfirmasi
daripada diskonfirmasi informasi kepada yang lainnya.
4. Keempat, competitive irrationality. Faktor keempat ini merujuk pada suatu
situasi dimana dua pihak diikutsertakan dalam suatu aktivitas yang secara
jelas tidak rasional berkenaan dengan outcomes yang diharapkan dari dua
belah pihak, namun secara jelas dapat mengidentifikasi tindakan-tindakan
irasional spesifik oleh pihak lain. Contohnya adalah tender atau lelang
proyek. Sejumlah orang menyatakan bahwa tender/lelang suatu proyek
investasi adalah irasional, sementara yang lain menyatakan bahwa hal
tersebut adalah masuk akal. Dengan kata lain, dorongan untuk melakukan
escalation commitment terhadap suatu proyek investasi disebabkan oleh
persaingan yang tidak rasional antar manajer investasi yang selalu berusaha
untuk melanjutkan dan memperluas proyek investasi mereka masing- masing
meskipun proyek dari salah satu pihak sudah tidak menguntungkan lagi.
Skema berkenaan dengan empat faktor psikologis penyebab terjadinya
perilaku escalation commitment keputusan yang irasional tersebut disajikan dalam
Gambar 1.
Gambar 1: Empat penyebab (Bazerman, 1994: 89)

perceptual
biases

Commitment Judgemental
to an initial biases
decision Nonrational
Impression escalation of
Management commitment

Competitive
Irrationality

Gambar 1
memperlihatkan bahwa kecenderungan manajer/individu-individu manajer
melakukan eskalasi komitmen yang irasional disebabkan oleh bias perseptual, bias
pertimbangan, impression management dan competitive irrasionality. Empat
faktor penyebab perilaku escalation commitment irasional tersebut disebabkan
oleh komitmen manajer/individu-individu perusahaan pada suatu keputusan awal
yang yang telah ditetapkan.
Selain empat faktor di atas, faktor-faktor psikologis dan sosial yang melekat pada
setiap individu manajer, seperti sikap atau attitude (beliefs, opinions, values dan
habits) dan perubahan sikap (yang diakibatkan oleh stimuli dari lingkungan dan
persepsi pribadi), motivasi, persepsi, pembelajaran dan personalitas (Siegel dan
Ramanauskas-Marconi, 1989), serta kreativitas, imajinasi dan pilihan (Hogarth,
1987),
juga berperan besar dalam mendorong perilaku escalation commitment yang tidak
rasional. Sejumlah hasil studi empiris menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mendorong terjadinya perilaku escalation commitment manajer/individu-individu
sangat beragam. Fox dan Staw (1979) melapoka bahwa job insecurity dan policy
resistance dari pihak lain menyebabkan para pembuat keputusan melakukan
escalation commitment. Ross dan Staw (1986) melaporkan ada empat faktor
pemicu terjadinya eskalasi komitmen, yaitu:
1. program forces (analisis tentang kemungkinan sukses),
2. psychological forces (kebutuhan untuk membenarkan keputusan-
keputusan awal seseorang dalam menghadapi feedback yang gagal),
3. social forces (hastrat agar tampak desesif atau tegas atau untuk menjaga
image sukses dalam menghadapi oposisi potensial)
4. structural forces (membangun dukungan organisasional, politis dan
institusional untuk sejumlah kebijakan/tindakan yang dilakukan).
Hasil studi Schaubroeck dan William (1993a, 1993b) menemukan bahwa
faktor-faktor personalitas, seperti control orientation dan Type A personality,
memoderasi pengaruh eskalasi komitmen.

Solusi menghindari Escalation Commitment


Para ilmuwan dan konsultan bisnis telah menyajikan sejumlah pandangan
tentang bagaimana menangani atau mengindari perilaku manajer yang cenderung
melakukan eskalasi komitmen dalam pengambilan keputusan investasi proyek.
Secara umum dikatakan bahwa dalam setiap situasi pengambilan keputusan
investasi, para manajer/individu-individu perlu menyadari bahwa waktu dan biaya
yang telah mereka investasikan dalam suatu proyek yang tidak memberikan
feedback seperti diharapkan adalah “sunk costs”. Artinya, semua waktu dan biaya
yang telah digunakan tersebut adalah historical costs yang tidak dapat diperoleh
kembali dan seharusnya tidak diperpertimbangkan lagi dalam pengambilan
keputusan berikutnya. Para manajer/individu seharusnya perlu
mempertimbangkan semua alternatif tindakan dengan hanya mengevaluasi costs
dan benefits masa depan yang berhubungan dengan masing-masing alternatif
tersebut (Heath, 1995).
Untuk mengurangi perilaku eskalasi, para manajer perlu mengindentifikasi
perilaku yang tidak rasional yang ada dalam diri mereka masing-masing, tidak
melihat perilaku tersebut dan siap untuk berubah (Bazerman (1994). Menurut
Bazerman (1994), kunci untuk menghilangkan perilaku eskalasi komitmen adalah
kemampuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor psikologis yang menyebabkan
perilaku eskalasi. Faktor-faktor psikologis tersebut adalah bias perseptual, bias
pertimbangan keputusan dan impresi manajemen untuk “menyelematkan muka”
dari
penilaian stakeholders bahwa mereka melakukan kesalahan dalam
pengambilan keputusan awal. Selain ketiga faktor tersebut, faktor lainnya adalah
competitive irrationality.
Untuk mengeliminasi bias perseptual, maka diperlukan sejumlah prosedur
korektif. Perusahaan perlu secara hati-hati mencari cara untuk mendiskonfirmasi
informasi dan juga untuk mengkonfirmasi informasi yang secara intuitif mereka
cari. Ini perlu diumumkan secara khusus dalam serangkaian keputusan dimana
mereka memiliki suatu tendensi alamiah untuk melakukan eskalasi. Selain itu,
penetapan sistem monitoring yang dapat membantu perusahaan mengecek
persepsi manajer investasi sebelum suatu pertimbangan atau keputusan berikutnya
dilakukan dapat bermanfaat. Karena itu, jika suatu tujuan yang dapat
mengevaluasi keterbukaan para manajer investasi untuk diskonfirmasi informasi,
maka hambatan perseptual untuk nonescalatory behavior dalam dikurangi atau
dieliminasi.
Untuk mengeliminasi bias pertimbangan atau keputusan tersebut,
perusahaan perlu mendapatkan individu manajer yang mampu menilai keputusan-
keputusan baru dari suatu reference point netral yang mengeliminasi perilaku risk-
seeking ekstrim yang teramati antar para subyek yang memiliki tanggung jawab
tinggi (yaitu para pembuat keputusan yang sudah memasukkan dana atau
sumberdaya ekonomi untuk serangkaian tindakan). Pergeseran titik referensi ini
dapat dilakukan dengan meyakinkan para pembuat keputusan bahwa investasi
awal sudah terbukti rugi, dan bahwa keputusan kedua memberikan masalah baru
sehingga perlu diuji secara obyektif. Jika hasil pengujian menunjukkan tidak
layak, maka perusahaan perlu memperkenalkan seorang pembuat keputusan yang
baru untuk membuat keputusan selanjutnya.
Berkenaan dengan bias yang diakibatkan oleh perilaku impresi
manajemen, maka untuk mengeliminasinya perusahaan perlu menciptakan sistem-
sistem baru yang mampu menghargai (reward) para pembuat keputusan yang baik.
Para manajer perlu disadarkan bahwa impression management pada tingkat biaya
keputusan berkualitas tinggi dalam perusahaan tidak akan ditolerasi. Perusahaan
perlu berusaha keras untuk membuat nilai-nilai individu karyawan (manajer) lebih
dekat dengan nilai-nilai organisasional (organizational values) melalui reward
systems. Jika perusahaan menginginkan keputusan-keputusan invetsasi yang
terbaik, maka para manajernya perlu didorong untuk membuat keputusan-
keputusan yang terbaik pula untuk mengelola karir mereka di masa depan. Jika
reward systems didasarkan pada hasil yang dicapai atau pada kualitas keputusan
yang dihasilkan, para manajer akan menghindari hasil-hasil yang buruk melalui
eskalasi komitmen dan mereka akan termotivasi untuk membuat keputusan-
keputusan yang sebaik
mungkin tanpa berpegang teguh pada keputusan awal mereka (Staw dan Ross
1987).
Untuk mengeliminasi perilaku competitive irrationality, rekomendasi yang
diberikan adalah para manajer perlu hati-hati dalam investasi proyek yang tampak
seperti memberikan banyak peluang menguntungkan. Peluang-peluang tersebut
dapat saja menjadi “perangkap” bagi perusahaan dan para manajer sendiri jika
tindakan-tindakan lain tidak dipertimbangkan secara cermat. Karena itu,
pertimbangan terhadap faktor-faktor lain secara cermat dan komprehensif, dan
penerapan suatu sistem monitoring dan control perusahaan secara efektif dapat
membantu mengeliminasi perilaku irasionalitas persaingan antar manajer
investasi.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa untuk mengurangi perilaku
escalation commitment, perusahaan (dewan komisaris dan dewan direksi) harus
memecahkan masing-masing kasus/masalah pada level individu dan organisasi.
Namun, perlu diingat bahwa untuk mengurangi perilaku eskalasi para manajer
atau individu-individu pelaku organisasi, perusahaan harus menyadari bahwa
mereka sedang mencoba untuk meng-counter eskalasi komitmen sehingga langka-
langkah yang ditempuh perlu dilakukan secara hati-hati dan cermat. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari ketakutan dari para manajer untuk melakukan
terobosan- terobosan baru yang kreatif dan inovatif untuk meningkatkan nilai
perusahaan dan juga nilai pasar para manajer sendiri .
Karena itu, yang perlu ditanamkan perusahaan kepada para manajernya
adalah bahwa mereka, selain harus membuat suatu keputusan yang strategis dan
taktis dan mengimplementasikannya secara konsekuen, juga harus terbuka dan
berkemauan untuk menurunkan atau membatalkan komitmen awal mereka dan
beralih ke course of action lain jika rencana pertama tidak berjalan seperti
diharapkan. Ini berarti bahwa perusahaan perlu secara terus-menerus menilai
kembali rasionalitas dari komitmen-komitmen masa depan dari para manajernya.
Para manajer atau individu juga perlu belajar untuk mengidentifikasi dan
menyadari kegagalan-kegagalan awal mereka. Mereka perlu berpikir dan
bertindak secara rasional dan ekonomis dalam pertimbangan pengambilan
keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan suatu investasi proyek yang
belum memberikan feedback ekonomi atau memberikan feedback negatif seperti
diproyeksikan semula.Selain itu, sejumlah hasil studi empiris juga menunjukkan
bahwa problema tidak tercapainya tujuan suatu investasi proyek sehingga
mendorong escalation commitment dari para manajer adalah karena lemahnya
(poor) perencanaan, monitoring, pengendalian, estimasi, dan analisis serta desain
yang dilakukan perusahaan (Hermann et al. 1999). Hermann et al. (1999)
menyarankan agar
perusahaan perlu menetapkan sistem pengendalian dan memiliki struktur hirarhis
dari sejumlah tujuan, sub tujuan, strategi, sasaran, taktik dan aksi-sksi (moves)
untuk mengurangi escalation commitment.
Ghosh (1997) melaporkan bahwa persiapan terhadap laporan kemajuan (progress
report) suatu proyek dan penyajian informasi yang relevan dan reliabel tentang
benefits masa depan dari pengeluaran-pengeluaran investasi inkremental untuk
suatu proyek secara signifikan dapat mengurangi escalation commitment. Ghosh
menganjurkan bahwa perusahaan perlu menetapkan prosedur-prosedur
pengendalian (control procedures) untuk mengurangi tendensi escalation

Anda mungkin juga menyukai