Ny. Taichan, 62 tahun, datang ke klinik rawat jalan RSUD Raden Mattaher
Jambi karena gatal-gatal yang mengganggu pada tubuhnya sejak dua minggu yang
lalu. Gatal tersebut terasa panas dan perih, di lipatan-lipatan tubuh, seperti jari-
jari, ketiak, dan lipatan kulit di bawah payudara, dan tidak terasa di bagian kulit
lainnya misalnya perut atau wajah. Gatal terasa memberat apabila Ny. Taichan
berkeringat. Dari rekam medis Ny. Taichan, dokter dapat melihat bahwa ternyata
Ny. Taichan pernah berobat sekitar setahun yang lalu ke klinik dokter, dengan
mengalami poliuria, polifagia, dan polidipsia sejak dua bulan sebelum berobat
waktu itu. Sejak itu Ny. Taichan tidak kontrol teratur dan tidak minum obat
teratur. Pemeriksaan penunjang saat ini yang dibawa yaitu gula darah dua jam
sesudah makan 225mg/dL, dan gula darah puasa 179mg/dL. Dokter saat ini
mendiagnosis bahwa gejala gatal-gatal yang diderita Ny. Taichan adalah karena
penyakit diabetesnya tidak diobati dengan rutin sehingga muncul komplikasi lain
saat ini.
KLARIFIKASI ISTILAH
Poliuria : kelebihan frekuensi diuresis akibat kelebihan produksi air seni1
INDENTIFIKASI MASALAH
b. Pemeriksaan fisik :
Jawab :
Normal Hasil
Gula darah dua jam 225 mg/dl <140 mg/dl Diabetes
setelah makan
Gula darah puasa 179 mg/dl <100 mg/dl Diabetes
Etiologi
ANALISIS MASALAH
Patofisiologi :
a) Resistensi Insulin
Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus DMT2
secara genetik adalah resistensi insulin dan defek fungsi sel beta
pankreas. Resistensi insulin merupakan kondisi umum bagi orang-
orang dengan berat badan overweight atau obesitas. Insulin tidak dapat
bekerja secara optimal di sel otot, lemak, dan hati sehingga memaksa
pankreas mengkompensasi untuk memproduksi insulin lebih banyak.
Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat guna
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa
darah akan meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia kronik pada DMT2 semakin merusak sel beta di satu
sisi dan memperburuk resistensi insulin di sisi lain, sehingga penyakit
DMT2 semakin progresif. Secara klinis, makna resistensi insulin
adalah adanya konsentrasi insulin yang lebih tinggi dari normal yang
dibutuhkan untuk mempertahankan normoglikemia. Pada tingkat
seluler, resistensi insulin menunjukan kemampuan yang tidak adekuat
dari insulin signaling mulai dari pre reseptor, reseptor, dan post
reseptor. Secara molekuler beberapa faktor yang diduga terlibat dalam
patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada protein
kinase B, mutasi protein Insulin Receptor Substrate (IRS), peningkatan
fosforilasi serin dari protein IRS, Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3
Kinase), protein kinase C, dan mekanisme molekuler dari inhibisi
transkripsi gen IR (Insulin Receptor).11
b) Disfungsi Sel β Pankreas
Pada perjalanan penyakit DMT2 terjadi penurunan fungsi sel beta
pankreas dan peningkatan resistensi insulin yang berlanjut sehingga
terjadi hiperglikemia kronik dengan segala dampaknya. Hiperglikemia
kronik juga berdampak memperburuk disfungsi sel beta pankreas.
Sebelum diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas dapat
memproduksi insulin secukupnya untuk mengkompensasi peningkatan
resistensi insulin. Pada saat diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta
pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang adekuat untuk
mengkompensasi peningkatan resistensi insulin oleh karena pada saat
itu fungsi sel beta pankreas yang normal tinggal 50%. Pada tahap
lanjut dari perjalanan DMT2, sel beta pankreas diganti dengan jaringan
amiloid, akibatnya produksi insulin mengalami penurunan sedemikian
rupa, sehingga secara klinis DMT2 sudah menyerupai DMT1 yaitu
kekurangan insulin secara absolut.
Sel beta pankreas merupakan sel yang sangat penting diantara sel
lainnya seperti sel alfa, sel delta, dan sel jaringan ikat pada pankreas.
Disfungsi sel beta pankreas terjadi akibat kombinasi faktor genetik dan
faktor lingkungan. Jumlah dan kualitas sel beta pankreas dipengaruhi
oleh beberapa hal antara lain proses regenerasi dan kelangsungan
hidup sel beta itu sendiri, mekanisme selular sebagai pengatur sel beta,
kemampuan adaptasi sel beta ataupun kegagalan mengkompensasi
beban metabolik dan proses apoptosis sel.
Pada orang dewasa, sel beta memiliki waktu hidup 60 hari. Pada
kondisi normal, 0,5 % sel beta mengalami apoptosis tetapi diimbangi
dengan replikasi dan neogenesis. Normalnya, ukuran sel beta relatif
konstan sehingga jumlah sel beta dipertahankan pada kadar optimal
selama masa dewasa. Seiring dengan bertambahnya usia, jumlah sel
beta akan menurun karena proses apoptosis melebihi replikasi dan
neogenesis. Hal ini menjelaskan mengapa orang tua lebih rentan
terhadap terjadinya DMT2.
Pada masa dewasa, jumlah sel beta bersifat adaptif terhadap
perubahan homeostasis metabolik. Jumlah sel beta dapat beradaptasi
terhadap peningkatan beban metabolik yang disebabkan oleh obesitas
dan resistensi insulin. Peningkatan jumlah sel beta ini terjadi melalui
peningkatan replikasi dan neogenesis, serta hipertrofi sel beta.
Ada beberapa teori yang menerangkan bagaimana terjadinya
kerusakan sel beta, diantaranya adalah teori glukotoksisitas,
lipotoksisitas, dan penumpukan amiloid. Efek hiperglikemia terhadap
sel beta pankreas dapat muncul dalam beberapa bentuk. Pertama
adalah desensitasi sel beta pankreas, yaitu gangguan sementara sel beta
yang dirangsang oleh hiperglikemia yang berulang. Keadaan ini akan
kembali normal bila glukosa darah dinormalkan. Kedua adalah ausnya
sel beta pankreas yang merupakan kelainan yang masih reversibel dan
terjadi lebih dini dibandingkan glukotoksisitas. Ketiga adalah
kerusakan sel beta yang menetap.
Pada DMT2, sel beta pankreas yang terpajan dengan hiperglikemia
akan memproduksi reactive oxygen species (ROS). Peningkatan ROS
yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan sel beta pankreas.
Hiperglikemia kronik merupakan keadaan yang dapat menyebabkan
berkurangnya sintesis dan sekresi insulin di satu sisi dan merusak sel
beta secara gradual.1
Epidemiologi :
Data WHO menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit tidak menular
pada tahun 2004 yang mencapai 48,30% sedikit lebih besar dari angka
kejadian penyakit menular, yaitu sebesar 47,50%. Bahkan penyakit tidak
menular menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia (63,50%).
(Faktor Risiko Diabetes Mellitus di Indonesia (Analisis Data Sakerti
2007), Dita Garnita, FKM UI, 2012). Sebagai bagian dari agenda untuk
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, negara anggota telah
menetapkan target untuk mengurangi angka kematian akibat penyakit tidak
menular (termasuk diabetes), menjadi sepertiganya, agar dapat mencapai
Universal Health Coverage (UHC) dan menyediakan akses terhadap obat-
obatan esensial yang terjangkau pada tahun 2030.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995-2001 dan
Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa penyakit tidak menular seperti
stroke, hipertensi, diabetes melitus, tumor, dan penyakit jantung
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Pada tahun 2007,
sebesar 59,5% penyebab kematian di Indonesia merupakan penyakit tidak
menular. Selain itu, persentase kematian akibat penyakit tidak menular
juga meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 41,7% pada tahun 1995, 49,9%
pada tahun 2001, dan 59,5% pada tahun 2007.
Jika dibandingkan dengan tahun 2013, prevalensi DM berdasarkan
diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun hasil Riskesdas 2018
meningkat menjadi 2%. Prevalensi DM berdasarkan diagnosis dokter dan
usia ≥ 15 tahun yang terendah terdapat di Provinsi NTT, yaitu sebesar
0,9%, sedangkan prevalensi DM tertinggi di Provinsi DKI Jakarta sebesar
3,4%. Prevalensi DM semua umur di Indonesia pada Riskesdas 2018
sedikit lebih rendah dibandingkan prevalensi DM pada usia ≥15 tahun,
yaitu sebesar 1,5%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi DM tertinggi
semua umur berdasarkan diagnosis dokter juga masih di DKI Jakarta dan
terendah di NTT.
Gambar 1. Pravelensi Diabetes Melitus Berdasarkan Diagnosis Dokter pada Penduduk
Semua Umur dan Pravelensi Rutin Periksa Kadar Gula Darah (KGD) Tahun 2018.
Gambar diatas membandingkan prevalensi diabetes melitus pada semua umur dengan
rutin periksa kadar gula darah di Indonesia, dimana dapat diketahui bahwa kesadaran
untuk memeriksa kadar gula darah secara rutin pada penderita diabetes sudah cukup baik,
karena prevalensinya lebih tinggi dibandingkan penderita DM semua umur.12
Olahraga
B. Terapi Farmakologi
Terapi Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe
1. Pada DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita
rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai
penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin
eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam
tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita
DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30%
ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
Pada prinsipnya, sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh untuk
menstabilkan kadar gula darah. Apabila kadar gula di dalam darah
tinggi, sekresi insulin akan meningkat. Sebaliknya, apabila kadar gula
darah rendah, maka sekresi insulin juga akan menurun. Dalam keadaan
normal, kadar gula darah di bawah 80 mg/dl akan menyebabkan
sekresi insulin menjadi sangat rendah.
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam
pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β
pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta,
yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
peredaran darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah
membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan
insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk
ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan
sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga
tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya. Disamping
fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam sel, insulin
mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik
metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun metabolisme protein dan
mineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan lipolisis,
serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin
juga mempunyai peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan
replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin dapat
menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas pada
berbagai organ dan jaringan tubuh.
Cara Pemberian
Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang
umumnya dikemas dalam bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain,
penyuntikan dilakukan subkutan (di bawah kulit). Lokasi penyuntikan
yang disarankan ditunjukan pada gambar dibawah.
Gambar 1.1
Penyerapan insulin dipengaruhi oleh beberapa hal. Penyerapan paling cepat terjadi di
daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas dan bokong. Bila
disuntikkan secara intramuskular dalam, maka penyerapan akan terjadi lebih cepat,
dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan segera
setelah penyuntikan akan mempercepat waktu mula kerja (onset) dan juga
mempersingkat masa kerja.13
12. Apa komplikasi dan prognosis dari penyakit Ny. Taichan?
Jawab :
Komplikasi kronik :
a. Penyakit Jantung Coroner
Terjadi peningkatan risiko penyakit jantung koroner hingga 2-4 kali
pada pasien diabetes. Peningkatan risiko ini berhubungan dengan
durasi diabetes dan jenis kelamin dengan peningkatan tertinggi pada
wanita yang mengalami diabetes lebih dari 10 tahun. Untuk itu, dokter
perlu mengontrol tidak hanya gula darah pasien, tetapi juga tekanan
darah dan kadar kolesterol pasien, untuk mencegah terjadinya
komplikasi kardiovaskular pada pasien.
b. Retinopati Diabetic
Retinopati diabetik perlu diidentifikasi secara dini karena deteksi dini
dan penanganan yang tepat akan menurunkan risiko kebutaan akibat
komplikasi diabetes ini secara signifikan. Retinopati diabetik yang
tidak tertangani merupakan penyebab mayor kebutaan pada dewasa
usia 20-74 tahun di Amerika Serikat. Untuk itu, dokter harus merujuk
pasien untuk melakukan pemeriksaan mata minimal setahun sekali.
c. Neuropati diabetic
Komplikasi diabetes ini merupakan salah satu komplikasi yang paling
sering terjadi, mencapai 50% dari total pasien diabetes. Gejala
neuropati berupa gangguan sensori, motorik, dan otonom.
Komplikasi Akut :
a. Ketoasidosis Diabetik:
Komplikasi akut diabetes mellitus tipe 2 berupa ketoasidosis diabetik yang
terjadi akibat hiperglikemia berat akibat kontrol gula darah yang buruk.
Pasien akan merasakan rasa mual, muntah, nyeri abdomen, dan tidak enak
badan. Ketoasidosis yang tidak ditangani akan berlanjut menyebabkan
dehidrasi, hipotensi, dan penurunan kesadaran.
b. Hiperglikemia Hiperosmolar Nonketotik:
Komplikasi akut lainnya yang perlu diwaspadai adalah hiperglikemia
hiperosmolar nonketotik atau dikenal juga sebagai hyperosmolar
hyperglicemic state (HHS). Pada kondisi ini, terjadi hiperglikemia berat
namun tanpa adanya ketoasidosis yang berarti.
c. Hipoglikemia:
Selain kedua komplikasi di atas, dokter juga perlu mewaspadai akan risiko
terjadinya hipoglikemia berat akibat pengobatan pasien. Edukasi pasien
mengenai tanda gejala dan penanganan pertama untuk menghindari
terjadinya penurunan kesadaran akibat hipoglikemia.
Prognosis :
Perkiraan angka harapan hidup pengidap DM 2, pria, usia 55 tahun adalah
13,2 tahun untuk pasien yang merokok, tekanan darah sistolik 180 mmHg,
ratio total/HDL 8, dan HbA1C 10%. Sedangkan, angka harapan hidup
penderita DM 2, pria, usia yang sama adalah lebih lama, mncapai 21,1
tahun bilamana tidak merokok, tekanan darah sistolik 120 mmHg, ratio
total/HDL 4, dan HbA1C 6%. Untuk itu, pasien perlu diedukasi terus-
menerus untuk berhenti merokok, dan melakukan kontrol secara teratur
untuk follow up diabetes mellitusnya dan juga komorbid lain yang
mungkin terjadi seperti hipertensi dan dislipidemia.
1. Dorland, W. A.. (2002). Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: ECG.
3. Kuswadji (2007) Kandidiasis, dalam: Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi:
4. Saskia T., dan Mutiara, H. (2015). Jurnal Kedokteran UNILA: Infeksi Jamur
5. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7.
9. Sudoyo, Aru W, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 6.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal: 2329-2335
10. Adhi Djuanda, dkk. 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 117.
11. Decroli, Eva. Diabetes Melitus Tipe 2. Edisi 1. Padang: Pusat Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas; 2019.
Hal. 4-6
12. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Hari Diabetes
Sedunia In: PUSDATIN, editor. Jakarta: Kementerian Kesehatan; 2018. Hal. 1-6.