Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

IJMA’ DAN QIYAS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

pada Mata Kuliah Usul Fiqih

Dosen Pengampu : M. Rodli M.pd.

Oleh :

1. Much. Nasih Amin (2013115210)


2. Riyan rosyada (2013115211)
3. Kherianah (2013115205)
4. Mufrodah (2013115218)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN PEKALONGAN)

2016

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penyusunan makalah Cross Culture Understanding (CCU)
tentang Personal Value dalam rangka mendukung proses pembelajaran ini dapat
terselesaikan.
Makalah Cross Culture Understanding (CCU) tentang Personal Value ini
berisi tentang materi .
Makalah ini dapat terselesaikan karena adanya keaktifan dari kelompok
dan berbagai pihak. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang mendukung kami, diantaranya M. Rodli, M.pd selaku Dosen
pengampu dan teman-teman Ekonomi Syariah kelas G, serta tim penyusun yang
telah bekerja keras untuk menyelesaikan makalah ini. Namun dalam penyusunan
masih jauh dari kata sempurna. Sehingga kami mengharap kritik dan sarannya
dari pembaca yang budiman, sehingga kami dapat memperbaikinya dilain
kesempatan.
Akhirnya, makalah ini diharapkan dapat membantu proses pembelajaran
khususnya di ekonomi syariah kelas G.

Pekalongan, 17 Pebruari 2016

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

2
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
2. Syarat-syarat Ijma’
3. Landasan (sanad) Ijma’
4. Macam-macam Ijma’
5. Dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma’

BAB I

3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari
Yang Maha Sempurna, kemudian tersampaikan melalui Nabi Muhammad
SAW, dengan Al-Quran sebagai pedomannya. Kemudian sumber hukum
agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits.
Al Quran dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi
umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Namun, seiring dengan berkembangnya zaman ada saja hal-hal yang
tidak terdapat solusinya dalam Al Quran dan Hadits. Oleh karena itu ada
sumber hukum agama islam lain, diantaranya adalah Ijma’ dan Qiyas. Namun,
Ijma’ dan Qiyas tetap merujuk pada Al Qur’an dan Hadits, karena Ijma’ dan
Qiyas merupakan penjelasan dari keduanya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ijma’ sebagai sumber hukum Islam?
2. Bagaimana Qiyas sebagai sumber hukum Islam?
3. Apa saja macam-macam Ijma’?
4. Apa saja macam-macam Qiyas?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kehujjahan Ijma’ sebagai sumber hukum;
2. Untuk mengetahui kehujjahan Qiyas sebagai sumber hukum.

BAB II

4
PEMBAHASAN
A. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Definisi ijma’ menurut bahasa terbagi menjadi dua arti:
1) Bermaksud atau berniat.
2) Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah ber-ijma’
bila mereka bersepakat terhadap sesuatu.
Adapun perbedaan antara kedua arti di atas yang pertama bisa
dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya
bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang
bersepakat dengan dirinya sendiri.
Sedangkan ijma’ menurut, istilah para ulama ushul berbeda pendapat
dalam mendefinisikan ijma’ di antaranya:
1) Pengarang kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ adalah
kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam
suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
2) Pengarang kitab tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa
ijma’ adalah kesepakatan mutjahid suatu masa dai ijma’ Muhammad
SAW terhadap masalah syara’. (Al-Ghifari)
3) Menurut Abdul Karim Zaidan adalah kesepakatan para mujtahid dari
kalangan umat islam tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah
Rasulullah wafat.
2. Syarat-syarat Ijma’
1) Yang bersepakat adalah para mujtahid
Secara umum mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang
mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil
syara’.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam atau mereka yang
belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu
pula penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah
hukum-hukum syara’.

5
2) Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak,
meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan
ijma’, karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila
dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud
kesepakatan ijma’, termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari
mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqh, sebagian besar itu telah
mencakup hukum keseluruhan.
3) Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat
Muhammad SAW tidak bisa dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya
umat para Nabi lain yang ber-ijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad
SAW tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk
melakukan kesalahan.
4) Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi
senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang
baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.
Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at.
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya
dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-lain.
3. Landasan (Sanad) Ijma’
Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum bilamana
dalam pembentukannya mempunyai landasan syara’ yang disebut sanad
(landasan) ijma’.
Para ulama Fiqh sepakat atas ke-absahan Al-Quran dan Sunnah
sebagai landasan ijma’.
4. Macam-macam Ijma’
Macam-macam ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam,
yaitu:
1) Ijma’ Sharih (bersih atau murni)

6
Yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu
peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat
dalam fatwa, dan dalam memutus suatu perkara. Tiap-tiap mujtahid itu
merupakan sumber hukum, jelas terlihat dari pendapat mereka. Semua
mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian
menyepakati salah satunya.
2) Ijma’ Sukuti
Adalah ijma’ dimana para ulama mujtahid berdiam diri tidak
mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain, dan diamnya itu sebagai
pertanda persetujuan atas pendapat mujtahid lain, bukan karena takut
atau malu. Pengertian itu menurut Hanafiyah dan Hanabilah,dan
mereka mengatakan bahwa ijma’ sukuti sah dijadikan sumber hukum.
Karena apabila mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka
harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya
secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyah ijma’ sukuti
tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya,
diamnya sebagian para mujtahid belum tentu menandakan setuju,
karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa, atau boleh jadi
juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang
punya pendapat itu karena dianggap senior. Jadi ijma’ sukuti adalah
bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan
ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.
5. Dalil-dalil yang menunjukkan kehujjahan Ijma’
1) Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:
‫مارأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬
Artinya:“Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka
menurut pandangan Allah juga baik.”
2) Sabda Rasulullah Saw
‫ال تجمع امتى على ضاللة‬
Artinya:“UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat.”

7
3) Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam
Syafi’i dari sahabat Umar bin Khatab R.A :
‫اال فمن سره بحجة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من االثنين ابعد‬
Artinya:“Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka
bergabunglah (ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-
orang yang menyendiri. Ia akan lebih jauh dari 2 orang dari pada
orang yang menyendiri.”
Firman Allah Swt :
‫ومن يشاقف الرسول من بعد ما تبين الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله‬
‫جهنم وسأت مصيرا ( النساء‬
Artinya:“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenarannya baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-
orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia k edalam neraka jahanam
dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang
mukmin adalah harom. Karena berarti dia telah menentang Allah dan
Rasul-Nya dengan ancaman neraka jahanam. Dengan demikian
mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib. Jika jamaah orang
mukmin mengatakan “ini halal” jika ada orang yang menyatakan hal
tersebut sebagai suatu yang “haram” maka dia tidak mengikuti jalan
orang mukmin.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti
pendapat orang-orang mukmin berati suatu hal yang di
tetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian Ijma’ dapat di
jadikan hujjah yang harus di pergunakan untuk menggali hukum syara’
(istinbath) dari nash-nash syara’.

6. Kemungkinan terjadi Ijma’


Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma’
dan nilai argumentasinya. Mengapa? Karena terjadinya perbedaan

8
pendapat dalam mengartikan ijma’. Diantaranya berpendapat bahwa: Ijma’
adalah kesepakatan para Mujtahid pada setiap masa terhadap hukum
syara’ jika demikian maka ijma’ tersebut tidak mungkin terjadi.
Tetapi jika yang di maksud ijma’ adalah kesepakatan
para mujtahid terhadap hukum-hukum syara’ tetap di tetapkan berdasarkan
dalil nash yang qoth’i.
Seperti Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat
menghadapi qiblat, kewajiban puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain.
Maka hal tersebut mungkin terjadi. Dalam hal ini yang menjadi
argumentasi (hujjah) bukan ijma’, melainkan dalil-dalil nash qoth’i.
Dengan demikian ijma’ tidak memiliki peran apa-apa karena ijma’ bisa di
katakan berfungsi jika ia mampu meningkatkan hukum yang
bersifat dhonny menuju Qoth’i. Hukum-hukum seperti di sebutkan di atas
seperti wajibnya shalat, puasa dan sebagainya pada dasarnya sudah
bersifat qoth’i. Kemudian siapakah orang-orang yang ijma’nya bisa di
terima? Dan bagaimana kriteria mujtahid yang ijma’nya dapat diterima?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini beliau imam Syafi’i membuka
dialog dalam kitab Jima’ul Ilmu : “Siapakah di antara ulama ijma’nya
dapat di jadikan hujjah ialah orang-orang yang di akui (di angkat) oleh
penduduk suatu negara sebagai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya dapat di
terima oleh penduduk tersebut dengan senang hati. Akan tetapi jawaban
tersebut di angkat oleh imam Syafi’i, karena tidak ada ulama’ yang
memiliki sifat-sifat diatas walaupun ada ahli fiqh yang di akui sebagian
penduduk dalam suatu negara namun di anggap orang bodoh yang tidak
berhak memberikan fatwa oleh sebagian penduduk lain. Apalagi ulama’
yang fatwanya di terima secara bulat oleh seluruh penduduk antar negara.
Dengan adanya pernyataan-pernyataan di atas beliau Imam Syafi’i
cenderung menolak ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1) Para Fuqoha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan,
sehingga mereka tidak mungkin dapat bertemu.

9
2) Terjadinya perbedaan pendapat diantara para fuqoha yang tersebar di
berbagai daerah di seluruh negara-negara islam.
Tidak ada kesepakatan ulama tentang orang-orang yang di
terima ijma’nya.
Dengan demikian ijma’ yang dapat di jadikan argumentasi (Hujjah)
hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih
berdomisili dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara
sehingga memungkinkan terjadinya ijma’. Akan tetapi pada masa tabi’in
berhubung sudah berpencar di berbagai negara hingga sulit mengadakan
pertemuan di antara mereka. Maka benarlah sesungguhnya jika ulama
mengatakan bahwa tidak ada ijma’ yang di sepakati dan di terima oleh
semua ulama, kecuali ijma’nya para sahabat. Dan dapat di simpulkan
bahwa masa sekarang ini tidak mungkin terjadinya ijma’.
B. Qiyas
1. Pengertian Qiyas

Qiyas secara bahasa adalah menggabungkan atau menyamakan


artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada
pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat,
bahaya, dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga di hukumi
sama.

Dalam Islam, Ijma’ dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat
hal-hal yang ternyata belum di tetapkan pada masa-masa sebelumnya.

‫تقدير الشئ بأخر ليعلم المساوات بينهما‬

Qiyas secara istilah adalah

‫رد الفرع الى االصل بعلة تجمعها فى الحكم‬

Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada

10
persamaan illat hukum. Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits.
Sebab dalam hukum islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits,
tapi kadang juga bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung
dalam nash. Beliau Imam Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada
kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya.” Namun jika
tidak ada ketentuan hukum yang pasti, maka haruslah di cari dengan cara
ijtihad. Ijtihad itu adalah qiyas.

Proses peng-qiyasan di lakukan dengan cara meng-analogikan


sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan
hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara
analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan
tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus
sama pula dengan hukum yang ditetapkan. A1-Qur’an menjelaskan
perbedaan hukum karena tidak adanya persamaan sifat dan perbuatan yaitu
firman Allah :

‫افلم يسيروا فى االرض فينظروا ليف كان عاقبة الذين من قبلهم دمر هللا عليهم وللكافرين امثالهم‬

Artinya:”Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka


bumi ini sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan orang-
orang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka
dan orang-orang kafir akan menerima akibat-akibat seperti itu.”

Yang kedua adalah analogi beda sifat, beda hukum.

‫ام حسب الذين احترجوا السيأت ان تجعلهم كا الذين أمنوا وعملوا الصالحات سواء محياهم ومما‬
(٢١: ‫تهم سأ ما يحكمون (الجاثية‬

Artinya:”Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa


kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan

11
mengerjakan amal sholeh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian
mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.”

Firman Allah yang berbunyi.

:‫ام نجعل الذين امنوا وعملوا الصالحات كا المفسدين فى االرض ام نجعل المتقين كا الفجار (الصاد‬
( ٢٨

Artinya:”Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan


mengerjakan amal sho!eh sama dengan orang-orang yang berbuat
kerusakan di muka bumi? Patutkah kami menganggap orang-orang yang
bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?”

Dengan ketiga dalil Al-Qur’an tersebut di atas sangat sesuai dengan


prinsip berfikir rasional yaitu menyamakan sesuatu karena adanya
persamaan dan membedakan sesuatu karena adanya faktor perbedaan.

Menurut pendapat Imam Al-Muzani seorang sahabat Imam Syafi’i


menyimpulkan pandangan beliau tentang qiyas yaitu : Para ahli hukum
dan masa Rasulullah hingga sekarang selalu mempergunakannya dalam
setiap masalah agama. Sesuatu yang setara dengan hak adalah hak dan
yang dengan setara bathil ya bathil pula. Ibnu Qoyyim sependapat dengan
hal tersebut.

Karena qiyas merupakan aktivitas akal, maka ada ulama yang


berbeda pendapat dengan jumhur ulama tentang tentang di gunakan atau
tidaknya qiyas. Dalam hal ini terdapat tiga kelompok besar yaitu:

1) Kelompok Jumhur menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-


hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al-Quran/Al-hadist pendapat
sahahabat (ijma’) ulama tapi hal tersebut di lakukan dengan tidak
berlebihan dan melampaui batas.

12
2) Madzab Dhohiriyah dan Syiah Imamiyah Sama sekali tidak memakai
qiyas, hanya terpaku pada teks.
3) Akhor/kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas. Terkadang
dalam kondisi atau masalah tertentu kelompok ini menerapkan qiyas
sebagai pen-taskhih dan ke-umuman Al-Qur’an dan Al Hadist.
2. Dalil Kehujjahan Qiyas
Tidak di ragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat
dan paling kuat. Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas
prinsip berpikir logis di samping tetap berpegang pada Al-qur’an dan
petunjuk Rasulullah. Dalil Al-qur’annya adalah sebagai berikut:
‫ياايها الذين امنوا اطيعوا هللا واطيعوا الرسول واول االمر منكم فإن تنازعتم فى سيء فردواه الى‬
‫هللا والرسول ان كنتم تؤمنون باهلل واليوم االخر‬
.(59 : ‫)النساء‬
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya
dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan
rasul (sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian.
Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena di dalamnya
terdapat ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan
tidak bukan adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa
sesungguhnya yang di kehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan
dengan jalan mencari illat hukum yang di namakan qiyas.
Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai berikut:
١١١: ‫لقد كان فى قصصهم عبرة (يوسف‬
“Sesungguhnya dalam kisah mereka terdapat pelajaran....”
Di dalam lafadz ‘itibar di atas di tafsirkan dengan makna Al-
itt’azh (mengambil pelajaran). Hal itu tidak lain adalah penetapan terhadap
firman Allah dan ciptaan-Nya yaitu bahwa sesuatu yang berlaku bagi
contoh, maka ia berlaku pula pada yang menjadi contohnya.

13
Analoginya yaitu apabila seorang pegawai di jatuhi hukuman karena
menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada teman-teman sekantor
“Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu, maka ambilah
sebagai pelajaran.” Maka dapat di pahami dari kata-kata Sang Kepala
tersebut kamu akan sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu
akan di hukum sebagaimana hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah
hadist Rasulullah SAW:
: ‫ قال‬,‫ قال له ليف تقضى اذا عرض له قضاء‬.‫م لما اراد ان يبعثه الى اليمن‬.‫ان رسول هللا ص‬
‫ الحمد هلل الذى وفق رسول‬: ‫م على صدره قال‬.‫اقضى بكتاب هللا فإن لم أجد فبسنة رسول هللا ص‬
‫م‬.‫هللا لما يرضى رسول هللا ص‬
Artinya:“Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika hendak mengutus Muadz
menuju negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi
putusan? Muadz menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab
Allah. Jika saya tidak menemukannya, saya memutuskan berdasarkan
Sunnah Rasulullah Saw, kemudian jika saya tidak menemukannya, maka
saya akan ber-ijtihad dan saya tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah
Saw menepuk-nepuk dadanya dan berkata:“Segala puji adalah bagi Allah
yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah kepada apa yang di
ridhoi oleh Rasulullah Saw”.
Dari hadist di atas Rasulullah Saw mengakui Muadz untuk ber-
ijtihad, bila dia tidak menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi
putusan baik Al-Qur’an ataupun As-Sunnah. Sedang ijtihad adalah
mencurahkan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum. Dan Ijtihad
juga meliputi qiyas.
Dengan adanya dalil kehujjahan qiyas di atas, dapat kita simpulkan
bahwasannya pada saat sekarang pun qiyas masih terjadi.

BAB III
PENUTUP

14
A. Kesimpulan
1. Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat islam tentang
hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat.
2. Syarat-syarat Ijma’:
a. Yang bersepakat adalah para mujtahid;
b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid;
c. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW;
d. Dilakukan setelah wafatnya Nabi; dan
e. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at.
3. Macam-macam Ijma’:
a. Ijma’ Sharih (bersih atau murni); dan
b. Ijma’ Sukuti.
4. Qiyas ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya
kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah di
tetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat
hukumnya.
a. Rukun qiyas
1. Ashl;
2. Al-Far’u;
3. ‘Illat; dan
4. Hukum al-Ashl.
b. Pembagian Qiyas:
1. Dari segi kekuatan ‘illat;
2. Dari segi kejelasan ‘illatnya Dari segi kejelasan ‘illatnya;
3. Dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum;
4. Dari segi di jelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu; dan
5. Dari segi metode yang digunakan dalam ashl dan furu’.

DAFTAR PUSTAKA
1) Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim

15
2) Syafe’i, Rachmat. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:Pustaka Setia.
3) Abu Zahrah, Muhammad. 2007. Ushul Fiqh. Jakarta:Pustaka Firdaus.
4) Wahhab Khallaf, Abdul. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang:Dina Setia.
5) Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta:Prenada Media.
6) Op. Cit, Rahmad,.
7) Wahab Khallaf, Abdul. 1995. Ilmu Usul Fikih. Jakarta:Rineka Cipta.
8) Hadi, Saeful. 2009. Ushul Fiqh. Yogyakarta:Sabda Media.
9) Op.Cit, Satria.
10) Suhartini, Andewi. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta:Direktorat Jendral Pendidikan
Islam.
11) Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta:Logos Wacana Ilmu.
12) Wahhab Khallaf, Abdul. 1991. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul
Fiqh). Jakarta:Rajawali Pers.
13) Al-Ghazali, Muhammad. 1994. Bukan Dari Ajaran Islam. Surabaya:PT Bina
Ilmu.
14) Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta:PT Bulan
Bintang.
15) Mardani. 2010. Hukum Islam. Jakarta:pustaka pelajar.
16) Op. Cit, Nasrun.
17) Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta:logos wacana ilmu.

16

Anda mungkin juga menyukai