pasien febris
BAB I
PENDAHULUAN
).
Secara garis besar ada dua kategori demam yaitu demam infeksi dan
demam non infeksi. Demam infeksi merupakan demam yang terjadi sebagai
respon tubuh terhadap peningkatan set-point seperti flu, radang tenggorokan,
gondongan, campak, demam berdarah, demam Thypoid, GE dan
sebagainya. Demam noninfeksi yaitu peninggian suhu tubuh karena
pembentukan panas berlebihan tetapi tidak disertai peningkatan set-
point seperti pada penderita gondok/keracunan aspirin (Widjaja, 2001).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengemukakan jumlah kasus demam di
seluruh dunia mencapai 18-34 juta, Anak merupakan yang paling rentan terkena
demam, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir
semua daerah endemik, insidensi demam banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun
(Niken jayanti,2011).
Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam di frekuensi
menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia
dari tahun 1981sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita
sekitar 35,8%. (Suriadi, 2010)
Dari hasil survey awal yang di lakukan peneliti pada tanggal 28
Oktober 2011 di UPT Puskesmas Mantup tahun 2011 jumlah pasien demam
(Thypoid, Febris, GE) yang di rawat inap pada bulan Juli sebanyak 49 orang atau
(30,4%) penderita,dan pada bulan Agustus sebanyak 55 orang atau (34,2%)
sedangkan pada bulan September sebanyak 57 orang atau (35,4%), dan rata – rata
suhu tubuh pada pasien febris sekitar 37,5°C - 40°C.
Dari data di atas menunjukkan dari bulan ke bulan jumlah
penderitaThypoid,Febris,GE yang mengalami febris semakin meningkat itu
artinya masih banyaknya pasien febris dengan suhu tubuh tinggi.
Adapun faktor-faktor yang dapat digunakan dalam penurunan suhu tubuh
febris diantaranya obat-obatan tradisional, obat antipiretik, serta kompres panas dan
dingin, (Kozier, 2000). Kompres hangat basah, kompres hangat kering (buli-buli),
kompres dingin basah (air biasah), kompres dingin kering (kirbat es), bantal dan
selimut listrik, lampu penyinaran, busur panas (Yohmi, 2008).
Kenyataan lain yang ditemukan dilapangan, pelaksanaan kompres sebagai
salah satu tindakan mandiri untuk menangani demam masih juga sering dilupakan,
dan kalaupun dilaksanakan, kompres kebanyakan dilakukan di daerah dahi
( frontal ) (Suriadi, 2010), padahal pada kenyataanya tubuh yang memiliki aliran vena
besar lebih peka terhadap penurunan suhu tubuh, seperti leher,ketiak ( Axila ). Organ
intra abdomen merupakan reseptor yang lebih peka terhadap suhu dingin (Artur C
Gayton 2002). Sedangkan daerah vena besar, dirasakan cukup efektif karena adanya
proses vasodilatasi dengan pemberian kompres hangat dan kompres air biasa untuk
menurunkan suhu tubuh dipermukaan tubuh. selain itu juga pemberian kompres
hangat dan kompres air biasah pada daerah axillaris lebih mudah dilakukan daripada
pada daerah organ intra abdomen maupun daerah leher dan dahi (frontal).
Kompres hangat merupakan metode untuk menurunkan suhu tubuh (Barbara
R Hegner, 2003). Sesuai dengan reseptor suhu tubuh bagian dalam, maka penurunan
suhu tubuh dengan pendinginan dapat dilakukan pada bagian Hypotalamus, medula
spinalis, organ dalam abdomen dan di sekitar vena-vena besar (Artur C.Guyton,
1997).
Pemberian kompres hangat dan kompres air biasa pada daerah axilaris lebih
efektif karena pada daerah axilaris banyak terdapat pembulu darah besar dan banyak
terdapat kelenjar keringat apokrin (Elizabeth J. Crowin,2002). Sesuai dengan teori
radiasi,vasodilatasi perifer juga meningkatkan aliran darah ke kulit untuk memperluas
penyebaran suhu tubuh yang meningkat keluar. Dengan kompres hangat dan kompres
air biasah pada daerah yang mempunyai vascular yang banyak, maka akan
memperluas daerah yang mengalami vasodilatasi. Vasodilatasi yang kuat pada kulit,
akan memungkinkan percepatan perpindahan panas dari tubuh ke kulit, akan
memungkinkan percepatan perpindahan panas dari tubuh ke kulit, hingga delapan kali
lipat lebih banyak (Anas Tamsuri,2007).
Kompres dengan air hangat dengan menggunakan suhu 26 – 34ºC (80 – 93ºF).
Kompres air hangat atau suam-suam kuku maka suhu di luar terasa hangat dan tubuh
akan menginterpretasikan bahwa suhu diluar cukup panas. Dengan demikian tubuh
akan menurunkan kontrol pengatur suhu di otak supaya tidak meningkatkan pengatur
suhu tubuh lagi. Di samping itu lingkungan luar yang hangat akan membuat
pembuluh darah tepi dikulit melebar atau mengalami vasodilatasi, juga akan membuat
pori-pori kulit terbuka sehingga akan mempermudah pengeluaran panas dari tubuh
(Suriadi, 2001).
Kompres dengan air biasa pada daerah axillaris dengan menggunakan
suhu 18 – 26ºC (65 – 80ºF). Tujuannya untuk menurunkan suhu tubuh dipermukaan
tubuh anak. Turunnya suhu tubuh dipermukaan tubuh ini dapat terjadi karena panas
tubuh digunakan untuk menguapkan air pada kain kompres. Jangan menggunakan air
es karena justru akan membuat pembuluh darah menyempit dan panas tidak dapat
keluar. Menggunakan alkohol dapat menyebabkan iritasi dan intoksikasi (keracunan),
(Yohmi, 2008). Dengan hal ini di harapkan, proses penyesuain suhu tubuh dengan
lingkungan akan berlangsung lebih cepat. Namun, sebagai seorang perawat
pemberian intervensi keperawatan lebih di tekankan pada pemberian tindakan
mandiri, di luar penangan kolaborasi farmakologi. Hal ini dapat dilihat dari intervensi
keperawatan pada diagnose keperawatan hipertermia (Anas Tamsuri,2006).
Demam dapat membahayakan apabila timbul demam tinggi. Demam
tinggi atau hipereksia adalah demam yang mencapai 41,1°C (106°F) atau
lebih. Pada demam tinggi dapat terjadi alkalosis respiratorik, asidosis
metabolik, kerusakan hati, kelainan EKG, dan berkurangnya aliran darah otak
(Wash, 2000). Selain itu juga dampak yang dapat di timbulkan jika febris
tidak di tangani menyebabkan kerusakan otak, hiperpireksia yang akan
menyebabkan syok, epilepsy, retardasi mental atau ketidakmampuan belajar,
(Andrea Reich,2011).
Pada suhu yang tinggi bisa membahayakan bila suhu rektal diatas 41°C untuk
waktu yang lebih lama akan timbul sejumlah kerusakan otak permanen dan berakibat
fatal (Ganong, 2000). Oleh karena itu penanganan demam perlu ditekankan sehingga
pengobatan atau tindakan kompres penurun suhu tubuh sangat dianjurkan secepat
mungkin diberikan untuk menghindari akibat yang lebih parah (Guyton, 2002).
Ada banyak cara yang dilakukan untuk mengobati demam. Cara yang paling
sering digunakan tentu saja meminum obat penurun demam seperti paracetamol
ataupun ibuprofen. Selain itu tentu saja mengobati penyebab demam, bila karena
infeksi oleh bakteri maka diberikan antibiotik untuk membunuh bakteri. Tetapi obat-
obatan saja tidak cukup, sehingga perlu dilakukan kompres untuk membantu
menurunkan demam ( Sulastowo, 2008 ).
Selain cara diatas upaya – upaya yang dapat kita lakukan untuk menurunkan
suhu tubuh yaitu mengenakan pakaian yang tipis, banyak minum, banyak istirahat,
beri kompres, beri obat penurun panas. Ada beberapa teknik dalam memberikan
kompres dalam upaya menurunkan suhu tubuh antara lain kompres hangat basah,
kompres hangat kering ( buli – buli ), kompres dingin basah, kompres air biasa,
kompres dingin kering ( kirbat es ), bantal dan selimut listrik, lampu penyinaran,
busur panas ( Yohmi, 2008 )
Dari uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan study dengan
metode keperawatan pasien febris, yang di maksud peneliti metode keperawatan
pasien febris adalah”Kompres hangat dan kompres air biasa pada daerah axillaris
terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien febris”.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5. Stress
Rangsangan pada system syaraf sympatik dapat meningkatkan
produksi epinefrin dan norepinefrin. Dengan demikian akan meningkatkan
aktifitas metasbolisme dan produksi panas.
6. Lingkungan
Perbedaan suhu lingkungan dapat mempengaruhi sistem pengaturan
suhu seseorang. Jika suhu diukur didalam kamar yang sangat panas dan
suhu tubuh tidak dapat dirubah oleh konveksi, konduksi atau radiasi, suhu
akan tinggi.
Demikian pula, jika klien keluar ke cuaca dingin tanpa pakaian yang
cocok, suhu tubuh akan turun (Kozier, 2000). Sedangkan Barabara R Hegner
(2003) menjelaskan bahwa suhu tubuh dipengaruhi oleh:
1) Penyakit
2) Suhu eksternal/lingkungan
3) Obat-obatan
4) Usia
5) Infeksi
6) Jumlah waktu dalam sehari
7) Latihan
8) Emosi
9) Kehamilan
10) Sirklus menstruasi
11) Aktivitas menangis
Gambar 2.1 Diagram efektor pengaturan suhu pada kulit, otot dan arteri.
Pada manusia, efektor pengaturan suhu yang utama adalah arteriola
dermal, kelenjar kringat dan otot rangka dan termasuk juga didalamnya
menggigil serta perubahan suhu sehubungan dengan respon perilaku.
Semua input kontrol berasal dari pusat termoregulasi didalam hypothalamus,
yang berfungsi sebagai pusat integrasi informasi suhu dideteksi didalam
semua bagian tubuh oleh sensor yang disebnutthermoreseptor. Dari
thermoreseptor ini, informasi suhu ini dikirim ke hypotalamus untuk dianalisa.
Beberapa neuron didalam hypothalamus juga secara langsung sensitive
terhadap suhu. Hal ini memberikan kontribusi yang penting untuk proses
sejak hypotalamus secara langsung memantau tingkat panas didalam darah
yang mengalir melalui otak (Nowak, 1999).
2.1.9 Jaras sensoris (Suhu)
Jenis serat eferen primer yang menghantarkan sensasi kulit terutama
menghantarkan impuls rangsang suhu adalah serat C. Serat ini terletak
dikolumna dorsalis dan lamina dikornu dorsalis. Pada umumnya suhu
dihantarkan melalui traktus spinotalamikus lateralis, dilanjutkan keventralis.
Impuls suhu direlai melalui nucleus spinalis N. Trigeminus
(Ganong, 2000) Sewaktu memasuki medulla spinalis, sinyal akan menjalar
dalam traktus lissauer sebanyak beberapa segmen diatas dan dibawah. Dan
secepatnya akan berakhir terutama pada lamina I,II,III radiks dorsalis.
Sesudah ada percabangan satu atau lebih neuron dalam medulla spinalis,
maka sinyal akan dijalarkan keserabut thermal asenden yang menyilang
ketraktus sensoris anterolateral sisi berlawanan dan akan berakhir di (1) Area
retikuler batang otak dan (2) Kapiler ventrobasal thalamus. Beberapa sinyal
suhu dari kapiler ventrobasal akan dipancarkan menuju korteks
somatosensorik. Adakalanya, dengan penelitian mikroelektrode ditemukan
suatu neuron pada area somato sensoris I yang dapat langsung berespon
terhadap stimulus dingin atau hangat pada daerah kulit yang spesifik
( Guyton, 2002).
Gambar 2.2 : Jaras untuk rasa raba, nyeri dan suhu yang berasal dari kulit. System
anterolateralis (ventralis dan lateralis spinotalamikus dan jaras asenden
lainnya) juga menuju formasioretikularis mesensefalon dan nucleus
nonspesifik thalamus.
2. Pelaksanaan
1) Jelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan
2) Cuci tangan
3) Keringkan dengan handuk
4) Gunakan sarung tangan
5) Atur posisi pasien
6) Tentukan letak aksila dan bersihkan daerah aksila dengan menggunakan
tissu
7) Turunkan termometer pada daerah aksila dan lengan pasien fleksi di atas
dada
8) Setelah 3-10 menit termometer diangkat dan dibaca hasilnya
9) Catat hasil
10) Bersihkan termometer dengan kertas tisu
11) Cuci dengan air sabun, disenfektan, bilas dengan air bersih, dan keringkan
12) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan
2.2 Febris
2.2.1 Defenisi Febris
Febris atau Demam adalah suhu inti tubuh meningkat hingga
sekurang-kurangnya 38,3º C (rectal). Pada orang demam, peningkatan suhu
seperti mengingatkan beberapa kerusakan dalam system control pengaturan
suhu. Pada kenyataannya, system berfungsi secara normal, tetapi dalam
dasar set poin yang baru. Pada demam, set point IC diatur naik yang
menyebabkan efektor akan meningkatkan respon suhu tubuh. Tanda dan
gejala utama kejadian demam konsisten dengann respon yang diharapkan
ketika suhu tubuh menurunkan set point. Pucat dan dinghin adalah hasil dari
vasokonstriksi dermal, yang berarti mengembalikan heat loss didalam setting
suhu yang tinggi. Menggigil dan berselimut dibawah bed cover juga berarti
meningkatkan suhu pada tingkat set point baru. Ketika set point normal
dikembalikan, mekanisme heat loss berasal dari penurunan demam.
Berkeringat yang berlebihan, kemerahan pada dermal dan melepaskan
bedcover, semuanya berarti mengurangi suhu untuk menurunkan nilai set
point (Nowak, 1999).
2.2.2 Mekanisme Dasar Terjadinya Febris
Pireksia dihubungkan dengan beberapa perbedaan kondisi
penyakit. Dari sini dapat diketahui bahwa factor eksternal dapat
mmepengaruhi secara langsung pusat regulasi suhu tubuh dihypotalamus
untuk menaikkkan set point. Meskipun demikian, hal ini bukan merupakan
masalah. Hal ini menunmjukkan bahwa beberapa fasktor eksteranal
menstimulasi sebuah pola respon umum, yang dihasilkan dalam peningkatan
set point. Meskipun terdapat banyak ketidakjelasan tentang tahap intermediet
didalam proses, namun hal ini diketahui bahwa semua jernis factor produksi
demam dapat menyebabkan produksi dan pelepasan bebereapa pirogen
internal (substansi pneyebab dermam). Sekali dilepasakan, pirogen indogen
(EP) ini memiliki sisa kejadian yang berperan penting untuk menaikkan
pengaturan kembali setr point suhu pada hypoptalamus (Gambar 2.2)
(Nowak, 1999).
Trauma / Ischemic injury
Inflamasi
Infeksi
Endogenus Pirogen
Exogen pyrogen
Set point elevasi
Fever
Gambar 2.3 : Mekanisme Endogenus Pyrogen (EP) didalam patogenesis
demam.
1) Pirogen Eksogen.
Sebuah host pada substansi eksogen mampu menyebabkan demam
dengan menstimulasi pirogen eksogen jika dikenalkan oleh tubuh. Hal ini
secara kolektif disebut pirogen eksogen. Prototype pirogen eksogen adalah
endotoksin, sebuah komponen Lipopolisakarida (LPS) dari dinding sel pada
bakteri gram negative. Pada bakteri ini, bentuk LPS adalah membran lipid
bagian luar yang dihubungkan hanya jika bakteri mengalami injuri atau
dibunuh. Karena LPS adalah panas stabil, maka kejadian sterilisasi panas
pada substansi yang berisi bakteri gram negative tidak akan mengeluarkan
efek pirogenik. Jika diinjeksikan pada manusia fungsi LPS dapat
menyebabkan “demam infeksi”. Hal ini merupakan komplikasi umum pada
cairan intravena, khususnya ketika pada awalnya tidak diketahui mekanisme
dasar demam. Kejadian ini dapat dicegah jika cairan dipersiapkan dalam
kondisi steril dan dirawat secara khusus untuk memindahkan kembali LPS.
Ketika manusia secara sempurna sensitive terhadap LPS maka area luas
dari organisme lain dan substansi – substansi dapat muncul sebagai pirogen
eksogen termasuk virus, bakteri, jamur dan area luas dari substasni antigen
atau toksik. Beberapa agen terapi, salah satunya karena kelebihan dosis
(misalnya Aspirin, atropine, chlorpromazine) atau sensitifitas pasien (misalnya
cimetidin, ibuprofen, penicillin) mungkin pirogenik. Aspirin menarik didalam
konteks ini sejak biasa digunakan sebagai antipiretik.
2) Pirogen Endogen
Sebuah eksogen pirogen menghasilkan demam melalui isinya untuk
menstimuasi produksi dan pengeluaran pirogen Endogen (EP). Substansi ini
diproduksi didalam respon inflamasi yang ditampakkan pada reseptor
dihypotalamus untuk menyebabkan peningkatan perubahan/peralihan pada
set point suhunya. Sumber relevan secara klinis dari EP yang telah
diidentifikasi meliputi PMN, Lymphosit dan makrofag. EP meliputi IL-1
(Interleukin-1), TNF α (Tumor Nekrosis Faktor), IFNα (Interferon alpha) dan
substansi yang dikandungnya yang disebut Makrofag Inflamatori Protein-1
(MIP-1). Karakteristik terbaik adalah IL-1 dan TNFα. IL I diproduksi oleh
sejumlah besar sel didalam respon injuri atau aktifasi inflamatori dan
khususnya melalui aktifitas makrofag yang memperlihatkan diri menjadi
sumber prinsip pada IL-1 didalam peranannya seabagai pirogen endogen.
Yang pasti, diamana dicatat dalam bakerimia yang merupakan penjelasan
terbaik oleh produksi EP berhubungan denagan aktifasi monosit bebas dan
makrofag tunggal didalam liver, limpa dan jaringan lainnya.
Sesungguhnya, pirogen endogen diproduksi dan dikeluarkan oleh sel
fagosit tubuh. Didalam respon pada stimulasi pirogenik, sel ini menghasilkan
dan melepaskan EP. Kecuali pada tumor maligna. Sel nonfagosit pada tumor
ini (misal leukemia dan penyakit Hodgkin) dapat melepaskan EP. Mekanisme
ini dapat menjelaskan kejadian demam secara umum pada beberapa pasien
tumor, tetapi mekanisme lain mungkin lebih baik dilibatkan. EP hanya
dilepaskan setelah berhenti mengikuti tanda stimulasi sel fagosit.
Keterlambatan periode terakhir ini sekitar 1 jam sesudah suhu tubuh siap
untuk meningkat. Pelepasan EP sesudah stimulasi dapat dilanjutkan sampai
dengan 15 jam. EP hanya butuh beberapa menit untuk menimbulkan tanda
pireksia. EP bekerja didalam menerangkan mekanisme regulasi suhu
hypotalamus. Sebuah nukleus thermosensitif (nucleus preoptik) didalam
hypothalamus anterior menerima input stimulatory dari reseptor hangat dan
dingin dikulit, pusat tubuh dan hypothalamus seperti yang terjadi pada EP.
Kombinasi sensor/thermostat ini mengeluarkan signal kehypoptalamus
posterior, yang kelihatannya untuk mengisi set point system. Hypotalamus
posterior memberikan feedback konstan pada permukaan dan temperatur
pusat. Diketahui menyimpang dari set point dan kemudian mengatur output
ke kortical hypothalamus dan pusat batang otak yang dapat menghasilkan
respon korektif.
Suhu dihubungkan dengan signal intra hypotalamus tergantung dari
beberapa tahap intermediate (perantara) meliputi prostaglandin E (PGE),
nonamin (Serotonin partikulary), c AMP (Cyclic Adenosin Monophosphate)
dan mungkin c GMP (Cyclic Guanosine Monophosphate). IL-1, TNFα dan
INFα semua bertindak melalui jalur yang diperantarai oleh sintesis
prostaglandin. Dalam kenyataannya, tingkat kenaikan prostaglandin didalam
darah (yang mungkin dihubungkan dengan inflamasi) memicu kenaikan set
point didalam jalan yang sama dimana serotonin atau c AMP diinjeksi didalam
hypothalamus (Nowak,
1999).
Umur
Diurnal varition
Latihan
Hormon
Strees
Lingkungan
-
obat tradisional
Keterangan:
: Yang diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 2.4 : Kerangka konsep penelitian perbedaan pemberian kompres hangat dan
kompres air biasa pada daerah axilaris terhadap penurunan suhu tubuh
pada pasien febris di UPT Puskesmas Mantup Lamongan, Tahun 2011.
Teknis, berhubungan dengan pasien,pemberian kompres hangat dan
kompres air biasa pada daerah axillaris terhadap penurunan suhu tubuh, di
UPT Puskesmas Mantup Lamongan, tahun 2011.
2.5 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau
pertanyaan penelitian, suatu pernyataan asumsi tentang hubungan antara
dau variabel atau lebih lebih yang diharapkan bisa menjawab suatu
pertanyaan dalam penelitian (Nursalam, 2008).Hypotesis yang ditetapkan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut,
H1. : Ada Perbedaan Efektifitas Antara Pemberian Kompres Hangat dan
Kompres air biasa Pada Daerah Axillaris Terhadap Penurunan Suhu Tubuh
Pada Pasien Febris Di UPT Puskesmas Mantup Lamongan.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Tabel 3.2 Perbedaan Efektifitas Pemberian Kompres Hangat Dan Kompres Air Biasa
Pada Daerah Axillaris Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Pasien Febris
pasien.
S O P pemberian
daerah axillari
-Waktu
pengompresan 30
mendapatkan terapi
obat antiperetik
-frekuensi
pengompresan 15-20
menit
Variable Derajat suhu tubuh -pasien di ukur suhu ceklist,termometer Rasio -
Dependen: pasien sebelum dan tubuhnya pre dan axilla
tubuh terhadap
rangsangan kompres
hangat dengan
Dimana :
U = Nilai uji Mann-Whitney
N1= sampel 1
N2= sampel 2
Ri = Ranking ukuran sampel
. Piranti yang digunakan menganalisis adalah secara komputerisasi
dengan program SPSS.
2) Uji Hipotesis
Uji hipotesis yang digunakan adalah hipotesis Kerja atau hipotesis
Alternatif dengan taraf signifikansi a=0,05 atau 5% dengan kriteria sebagai
berikut:
(1) H1 diterima
Yang artinya Ada perbedaan efektifitas pemberian kompres
hangat dan kompres air biasa pada daerah axillaris terhadap penurunan suhu
tubuh pada pasien febris di UPT Puskesmas Mantup Lamongan.
(2) H1 ditolak
Yang artinya Tidak ada perbedaan efektifitas pemberian kompres
hangat dan kompres air biasa pada daerah axillaris terhadap penurunan suhu
tubuh pada pasien febris di UPT Puskesmas Mantup Lamongan.
3.8 Etika Penelitian
Setelah mendapat ijin dari pembimbing dan Kepala UPT Puskesmas
Mantup Lamongan, peneliti kemudian memberikan lembar kuesioner kepada
subyek yang akan diteliti dengan menekankan pada masalah etika, meliputi:
3.8.1 Informed Consent atau lembar persetujuan penelitian
Peneliti meminta izin terlebih dahulu kepada subyek yang akan diteliti
baik melalui lembar persetujuan maupun secara lisan atas kesediaan
dijadiakan subyek penelitian. Jika subyek menolak untuk diteliti maka peneliti
tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.
3.8.2 Anonimity atau tanpa nama
Merupakan masalah etika dalam penelitian keperawatan.Untuk
menjaga kerahasiaan identitas subyek, maka peneliti tidak akan
mencantumkan nama subyek, pada lembar pengumpulan data atau lembar
kuesioner yang diisi hanya diberi nomer kode tertentu.
3.8.3 Confidentiality atau kerahasiaan
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan dari hasil
penelitian baik informasi maupun masalah – masalah lainya. Semua
informasi yang telah di kumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
6 komentar:
1.
Balas
Balasan
1.
referensi ny mana
Balas
2.
Balas
3.
Balas
4.
Balas
5.
terimakasih :)
Balas
Beranda
LAMAN
Beranda
pada daerah axillaris terhadap penurunan suhu tubuh pada pasien febris
ARSIP BLOG
▼ 2012 (1)
o ▼ Oktober (1)
MENGENAI SAYA
Nur Hadi