Jawab :
Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah
ALLAH SWT. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan
amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7).
Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
‘Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk
apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan
dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan’’.
1. harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang
amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
3. Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan
memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28)
Ketiga, Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (‘amal) ataua mata pencaharian
(Ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267)
‘’Mencari rezki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain’’(HR Thabrani)
‘’jika telah melakukan sholat subuh janganlah kalian tidur, maka kalian tidak akan
sempat mencari rezki’’ (HR Thabrani).
Keempat, dilarang mencari harta , berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-
Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan
sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok
orang kaya saja (al-Hasyr: 7)
Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-
Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri
merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6),
melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap
menyuap (HR Imam Ahmad).
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai
orang yang berlebih-lebihan” QS 7:31)
“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula)
engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti engkau menjadi tercela dan
menyesal” (QS 17:29)
Disini, kita dapat melihat bahwa Allah SWT mengajarkan kita konsep hidup
“pertengahan” yang luar biasa, untuk hidup dalam batas-batas kewajaran, tidak
boros/berlebih-lebihan dan tidak pula kikir.
Membelanjakan harta dengan tujuan untuk mencari ridho Allah dengan berbuat
kebajikan. Misalnya, untuk mendirikan tempat peribadatan, rumah yatim piatu, menolong
kerabat, memberikan pinjaman tanpa imbalan, atau memberikan bantuan dalam bentuk
apapun yang diperlukan oleh mereka yang membutuhkan.
“Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang diajak untuk menginfakkan (hartamu) di jalan
Allah. Lalu diantara kamu ada orang yang kikir, dan barangsiapa yang kikir maka
sesungguhnya dia kikir kepada dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya, dan
kamulah yang membutuhkan (karunia-Nya). Dan jika kamu berpaling(dari jalan yang
benar), Dia akan menggantikan (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan
(durhaka) seperti kamu” (QS 47:38)
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang
menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan
bagi siapa yang dia kehendaki, Dan Allah berjanji barangsiapa melakukan kebajikan akan
dilipatgandakan pahalanya dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui” QS 2:261)
Allah SWT mendorong manusia agar peduli kepada orang lain yang lebih membutuhkan
sehingga akan tercipta saling tolong menolong antar sesama. Sesungguhnya, uang yang
diinfakkan adalah rezeki yang nyata bagi manusia karena ada imbalan yang dilipat
gandakan Allah (di dunia dan di akhirat), serta akan menjadi penolong di hari akhir nanti,
pada saat tidak ada sesuatu pun yang dapat menolong kita, sebagaimana hadit ini:
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga
perkara: shadaqah jariyah (infaq dan shadaqah), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh
yang mendoakan,” HR Muslim
“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa
bagi mereka, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS 9:103)
Setiap manusia yang beriman memiliki harta melampaui ukuran tertentu, diwajibkan
untuk mengeluarkan sebagian hartanya (zakat) untuk orang yang tidak mampu, sehingga
dapat tercipta keadilan sosial, rasa kasih sayang dan rasa tolong menolong.
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia
memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui” QS 2:280
3. Bagaimana cara memperoleh harta yang sesuai dengan syariah?
Jawab :
Berikut adalah cara atau etika mencari harta yang sesuai dengan syariah:
f. Menghindari yang syubhat (suatu yang kurang jelas atau samar hukumnya).
Didalam berkerja biasanya kita dihadapkan dengan yang syubhat atau suatu yang
kurang jelas hukum kehalalan dan keharamannya seperti unsur dari pihak luar.
4. Apa yang dimaksud dengan akad ?
Jawab :
Akad menurut bahasa artinya ikatan atau persetujuan, sedangkan menurut istilah
akad adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang menyerahkan) dengan
orang lain (yang menerima) untuk pelaksanaan suatu perbuatan. Contohnya : akad jual
beli, akad sewa menyewa, akad pernikahan.
3. . Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda
akad maka berbedalah tujuan pokok akad.
4. Shighat al-aqd, ialah ijab Kabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari
salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan
akad. Kabul ialah perkataam yang keluar dari pihak yang berakad pula yang
diucapkan setelah adanya ijab.
Syarat-syarat akad
Syarat-syarat ang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam
berbagai akad\
1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka akad orang tidak cakap
(orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros dan lainnya
akadnya tidak sah.