Email : syafriahmad95@yahoo.co.id
Abstract
Matematika selama ini masih dianggap oleh banyak kalangan hanya berguna
untuk melakukan perhitungan dalam bentuk operasi aritmetika saja. Masih
ada anggapan bahwa matematika identik dengan berhitung, misalnya
melakukan operasi perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan
(KABATAKU), serta kering atau miskin dengan pendidikan karakter. Pada
hal jika ditelusuri lebih jauh dan mendalam matematika mempunyai andil
yang sangat besar dalam membentuk karakter mulia (karakter-cerdas)
peserta didik pada semua level atau jenjang pendidikan. Matematika ternyata
kaya atau banyak mengajarkan sifat-sifat atau karakter mulia misalnya
konsisten (istiqomah), jujur (siddik), dapat dipercaya (amanah), kreatif, dan
karakter mulia lainnya. Kuncinya guru dalam pembelajaran matematika di
sekolah dituntut secara kreatif mengembangkan pendidikan karakter mulia
tersebut.
Key word : Matematika, karakter mulia (karakter-cerdas), peserta didik.
PENDAHULUAN
Membicarakan persoalan karakter merupakan hal yang sangat urgen dan mendasar
dalam kehidupan manusia. Karakter merupakan “mustika hidup” yang membedakan
manusia dengan hewan atau binatang. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik dari segi
individual maupun sosial adalah orang-orang yang mempunyai akhlak, moral, dan budi
pekerti yang baik (Zubaedi, 2011). Kesejahteraan sebuah bangsa bermula dari karakter kuat
manusia-manusia yang hidup di dalamnya ( warga negaranya). Telah dibuktikan oleh sejarah
bahwa bangsa-bangsa yang memiliki karakter kuat dan tangguh lazimnya tumbuh
berkembang makin maju dan sejahtera. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang lemah karakter
warganya umumnya akan terpuruk dan tertinggal dalam segala aspek kehidupan (Saptono,
2011). Karakter merupakan bagian integral yang harus dibangun , agar generasi muda
memiliki sikap dan pola pikir yang berlandaskan moral yang kokoh dan benar (Prayitno dan
Khaidir, 2010). Mengingat begitu urgennya karakter tersebut, maka institusi pendididikan
memiliki tanggung jawab yang besar untuk menanamkannya melalui proses pembelajaran.
Lebih jauh seperti dipaparkan oleh Zubaedi (2011) bahwa penguatan pendidikan karakter
dalam konteks kekinian sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di
negara kita. Saat ini sedang menggejala dan terjadi krisis yang konkret dan sangat
mencemaskan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita yang paling berharga yaitu
siswa atau peserta didik. Krisis itu antara lain pergaulan seks bebas, tawuran antar pelajar,
pencurian remaja, kebiasaan menyontek, pornografi, masalah narkoba, perkosaan, dan
sebagainya. Perilaku orang dewasa juga setali tiga uang, senang dengan konflik dan
kekerasan atau tawuran, perilaku korupsi yang merajalela (telah mendarah-daging), dan
perselingkuhan. Senada dengan Zubaedi, Abdullah Sani dan Kadri (2016) juga menyatakan
banyak orang saat ini yang tersangkut dengan kasus korupsi tanpa merasa bersalah
sedikitpun juga.
Tambahan pula seperti yang dinyatakan oleh Koesoema A (2015) bahwa hampir semua
guru dan orang tua setuju bahwa pendidikan karakter merupakan bagian penting dalam
sebuah proses pendidikan. Jika kita membaca bagaimana situasi katakter lemah masyarakat
kita saat ini, seperti maraknya perkelahian antar pelajar dan mahasiswa, tindak kekerasan
yang terjadi, baik di jalanan maupun di sekolah, perilaku tidak jujur yang tercermin dalam
tindak korupsi (menurut istilah Nurdin 2014 telah mendarah -kuku di Indonesia),
penyalahgunaan jabatan, budaya menyontek dan plagiarisme, ketidak dewasaan pribadi
seperti tercermin dalam penyalahgunaan obat-obatan , penyimpangan perilaku seksual di
kalangan remaja, dan masih banyak daftar karakter lemah bangsa kita bisa dilanjutkan di sini.
Menurut Koentjaraningrat dan mochtar Lubis ( baca: Saptono, 2011) terdapat sejumlah
karakter lemah bangsa kita , yaitu : meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya pada
diri sendiri, tidak berdisiplin, mengabaikan tanggung jawab, munafik/hipokrit, lemah
kreativitas, etos kerja buruk, suka fiodalisme, dan tidak punya perasaan malu. Orang tidak
takut melakukan perbuatan dosa karena rasa malu yang sudah menipis dan merasa tidak di
awasi oleh Allah S.W.T. Dengan demikian kita pasti sepakat bahwa sudah saatnya
pendidikan karakter dilaksanakan secara sistematis, strategis, utuh dan holistik/menyeluruh di
semua jenjang pendididkan, sehingga program pendidikan karakter semakin menjadi efektif.
Di dunia pendidikan, khususnya di sekolah diharapkan kepada semua guru dalam proses
pembelajaran meng-infuskan/meng-integrasikan atau “memahatkan” pendidikan karakter
pada mata pelajaran yang diampunya. Dimana jika dicermati semua mata pelajaran yang
diberikan di sekolah mengandung unsur-unsur pendidikan karakter yang baik dan mulia.
Dengan demikian seperti yang dinyatakan oleh Zubaedi (2011); Prayitno dan Khaidir (2010)
bahwa apapun aktivitas pembelajaran yang diupayakan guru , aktivitas-aktivitas
pembelajaran tersebut haruslah mampu memfasilitasi pembentukan dan pengembangan
peserta didik berkarakter baik dan mulia (karakter-cerdas). Salah satu cara yang relevan
diterapakan adalah peng-integrasian atau” peng-infusan” karakter atau nilai-nilai ke dalam
kegiatan pembelajaran setiap mata pelajaran yang tertera dalam kurikulum sekolah, karena
dalam semua mata pelajaran tersebut banyak mengandung unsur-unsur pendidikan karakter
baik dan mulia (karakter-cerdas).
Namun kenyataannya selama ini, ada kesan pendidikan karakter hanya terdapat dalam
mata pelajaran pendidikan Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) saja. Di
samping itu juga ada kesan bahwa mata pelajaran lain hanya mengajarkan pengetahuan
(kognitif) semata sesuai dengan bidang ilmu, teknologi atau seni. Dalam hal ini misalnya
diambil mata pelajaran “Matematika” ada kesan bahwa matematika kering dari
pembentukan karakter mulia (karakter-cerdas), hanya membekali peserta didik dengan
pengetahuan tentang seluk beluk aritmetika dan rumus-rumus yang dituangkan dalam operasi
perkalian, pembagian, penjumlahan dan pengurangan (KABATAKU) yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari, serta penyelesaian rumus matematika. Hal ini dapat dilihat seperti
penjelasan Manfaat (2010) bahwa banyak orang berkomentar buat apa belajar matematika
muluk-muluk, kita tidak akan menggunakan itu, kita hanya butuh berhitung. Pada hal mata
pelajaran matematika kaya atau banyak mengajarkan unsur-unsur pendidikan karakter mulia
(karakter –cerdas), termasuk mengenal Tuhan Yang Maha Esa dengan matematika
(Manfaat, 2010; Syihab, 2010). Karakter-karakter mulia (karakter-cerdas) apa sajakah
yang dapat “di-infuskan atau di-pahatkan “ dengan mata pelajaran matematika di
sekolah? Kemudian bagaimakah pengintegrasiannya dalam pembelajaran matematika
di sekolah?
PEMBAHASAN
Manfaat (2010) memaparkan bahwa kegunan belajar matematika bisa dipilah menjadi
dua macam. Dalam hal ini kegunaan/manfaat yang bisa dirasakan langsung dan kegunaan
atau manfaat yang tidak langsung (terselip). Lebih jauh diprediksi oleh Manfaat (2010)
bahwa secara persentase kegunaan/ manfaat yang dirasakan secara langsung belajar
matematika sekitar 20%, dan sekitar 80% adalah manfaat tidak langsung. Kegunaan/manfaat
yang tidak langsung inilah yang biasanya tidak disadari oleh kebanyakan orang, meskipun
sebenarnya manfaat itu telah ia dapatkan . Inilah penyebab kenapa orang banyak berkomentar
“ untuk apa belajar matematika muluk-muluk, toh kita tidak akan menggunakan yang muluk-
muluk itu. Kita hanya butuh berhitung (aritmetika)”. Apa yang mereka sebutkan itu
sebenarnya hanyalah bagian dari 20% sebagian kecil saja.
Untuk memperkokoh argumen di atas sekarang perhatikan ilustrasi dalam bentuk dialog
berikut (Manfaat, 2010):
Penanya : Untuk apa Anda belajar matematika? Jawaban A: Saya belajar matematika
untuk menghitung uang, membaca waktu, menghitung waktu yang berbeda GMT,
menghitung kembalian uang, berbelanja, menghitung luas rumah, luas lapangan,
jarak, dan sebagainya. Itulah gunanya matematika. Sedangkan jawaban B : Saya
belajar matematika untuk melatih cara berpikir dan memecahkan masalah.
Jika dicermati Jawaban A mencerminkan manfaat yang 20%. Sedangkan jawaban B
adalah termasuk yang 80% yang barangkali tidak banyak orang menyadarinya. Sekarang
dicoba menelusuri bagian-bagian lain yang masih termasuk dalam kategori 80% termasuk
unsur-unsur karakter mulia (karakter-cerdas). Disadari atau tidak, menurut Manfaat (2010);
Zubaedi (2011); koesoema A (2015); Prayitno dan Khaidir (2010) matematika ternyata juga
mengajarkan atau menanamkan karakter mulia ( karakter-cerdas) di antaranya sebagai berikut
: Konsisten (istiqomah); Jujur (siddiq); dapat dipercayai (amanah); kreatif; religius
(penanaman konsep keprimaan atau keutamaan danYang Maha Esa ada dimana-mana serta
keikhlasan); lihai bernalar atau berpikir logis; kerja keras; kesederhanaan; keseimbangan
hidup dunia dan akhirat; pemecahan masalah hidup dengan banyak solusi; anjuran gemar
membaca (dampak latihan membaca soal cerita matematika); kerja sama; tanggung jawab;
hidup hemat; mematuhi aturan;dan lain-lain. Berikut ini dipaparkan sebagian dari
karakter-karakter yang dapat di-infuskan atau ditanamkan dalam matematika
tersebut:
Konsisten (Istiqamah).
Runtuhnya suatu bangsa adalah karena telah hilangnya sifat konsisten (istiqomah) warga
negaranya. Hukum atau peraturan diputar balikkan untuk kepentingan hawa nafsu serakah.
Bahkan jika perlu peraturan lama yang merupakan dasar dari segala hukum dirubah total
untuk disesuaikan dengan kehendak golongan atau pribadi. Jika ini yang terjadi maka alamat
suatu bangsa akan runtuh atau hancur. Demikian urgennya karakter/sifat konsisten ini (
Manfaat, 2010; Zubaedi, 2011; Saptono, 2011; Koesoema A, 2015).
Matematika, sesuai dengan sifat dasarnya, seperti pemaparan Manfaat (2010) menganut
kebenaran konsistensi, secara tidak langsung akan menanamkan sifat itu kepada kita dan
peserta didik yang mempelajarinya. Misalnya kebenaran teorema T2 didasarkan atas
kebenaran teorema T1 yang kedudukannya di atas Teorema2 (T2). Begitu juga kebenaran
teorema T1 didasarkan atas kebenaran teorema T0 yang kedudukannya di atas teorema T1.
Teorema T0 adalah pernyataan tertinggi yang disebut aksioma yang kebenarannya telah
disepakati dan tidak perlu dibuktikan. Begitulah aturan dalam matematika. Tidak dibenarkan
merubah T0 untuk disesuaikan dengan pernyataan T5 misalnya . Demikian juga halnya
dengan penggunaan notasi, matematika juga konsisten. Jika diawal penulisan ditetapkan p
dan q untuk menotasikan proposisi 1 dan proposisi 2 dalam logika, maka dalam penulisan
kebawahnya juga harus menggunakan simbol tersebut untuk menotasikan proposisi yang
sama.
Kebiasaan tersebut secara tidak langsung akan berpengaruh kepada sikap kita dan sikap
peserta didik dalam keseharian, kita menjadi terbiasa bersikap konsisten (istiqamah).
Konsisten dengan apa yang tuliskan, konsisten dengan apa yang kita ucapkan atau bicarakan,
serta konsisten pula dengan apa yang menjadi kesepakatan bersama.
Zaman sekarang tidak mudah untuk tidak menaruh sikap buruk sangka (curiga). Ketika
ada orang datang kepada kita dengan menyodorkan kotak sumbangan untuk yayasan X,
mungkin sebagian hati kita ada curiga tentang kebenarannya. Begitu juga ketika ada penjual
produk X yang mengatakan keaslian produknya dengan harga yang relatif murah
menawarkan kepada kita, mungkin juga was-was tentang keasliannya, jangan-jangan produk
palsu. Jika ditelusuri masih banyak kasus-kasus serupa dalam bentuk penipuan. Kenapa kita
menjadi tidak mudah untuk bersikap percaya? Karena terlalu banyak orang berdusta, menipu
alias tidak jujur. Bagaimana dengan matematika? Seperti yang dinyatakan oleh Manfaat
(2010) orang boleh meragukan suatu pernyataan tertentu dalam matematika. Tetapi satu yang
pasti, pernyataan (teorema) dalam matematika baru dapat diklaim sebagai suatu pernyataan
yang bernilai benar jika pernyataan itu dapat dibuktikan kebenarannya. Hal ini berarti tidak
ada “dusta atau bohong” dalam matematika. Sebagai contoh sebagaimana dinyatakan oleh
Manfaat (2010) ketika kita mengatakan kepada orang lain bahwa “ 0,131313...adalah sebuah
bilangan rasional. Jika ada orang yang masih meragukannya, maka kita harus dapat
menunjukkan kebenaran dari apa yang kita ucapkan itu seperti berikut:
𝒂
Definisi : Bilangan rasional adalah bilangan yang dapat dituliskan dalam bentuk 𝒃
dimana a dan b adalah bilangan bulat dan b tidak sama dengan nol.
100 x = 13,1313...
x = 0,1313... 99x = 13
13
99x = 13 x= 99
13
Ternyata bilangan 0,131313...adalah hasil pembagian dari 99. Jadi terbukti bilangan rasional.
Jadi seorang matematikawan adalah seorang yang jujur . Jika sudah terbukti
kebenarannya, maka ia akan mengatakan baha itu benar. Jika belum terbukti maka ia akan
mengatakan bahwa itu masih dugaan (hipotesisa). Sikap seperti ini secara tidak langsung
akan tertanam dalam diri kita atau peserta didik kita. Kita akan menjadi seorang yang jujur,
dan dan orang lain akan mempercayai kita karena amanah.
Apakah matematika juga mengajarkan agar kita menjadi orang kreatif dan problem
solver? Jawabannya Ya. Dalam matematika seringkali kita dituntut untuk berpikir kreatif,
lebih dari satu cara dalam menemukan solusi dari suatu persoalan matematika. Kita dalam
matematika sering merubah bentuk tanpa merubah nilai. Bentuk boleh bermacam-macam,
namun nilai tetap sama. Misalnya untuk menyatakn bilangan “3” dapat ditulis dengan variasi
yang sangat banyak sekali, dapat ditulis : 1x3, √9, 4-1, 6:2, 10-7, 3+3-3, 13-10, dan
sebagainya. Begitu pula tentukan dua bilangan yang jika dikalikan menghasilkan bilangan
delapan. Jawabannya bisa 1x8, 2x4, 8x1, dan 4x2 ; di dapat lebih dari satu jawaban yang
benar.
Sebagai contoh lagi, andaikan kita diminta untuk menyelesaikan persamaan kuadrat
berikut :
x2 + 4x+ 1=0
Biasanya kita menggunakan cara pemfaktoran .Tapi ini tidak mungkin difaktorkan langsung,
karena Diskriminan atau D nya tidak bilangan kuadrat. Tetapi dengan manipulasi sedikit saja
persoalan tersebut dapat diselesaikan. Kita bebas merubah bentuk asal tidak merubah nilai
bukan? Perhatikan penyelesaian berikut:
x2 + 4x + 1 = 0
x2 + 4x = -1
Kedua ruas ( kiri dan kanan) kita tambahkan dengan kuadrat setengah koefisien x, menjadi :
x2 +4x+ 22 = -1 + 22
( x + 2)2 = 3
x +2 = √3
x = √3 – 2
Cara ini lazim disebut dengan cara melengkapkan kuadrat. Ini adalah diantara contoh ide
kreatif dari matematika. Kebiasaan seperti ini akan membuat peserta didik terlatih untuk
berpikir kreatif dalam kehidupan yang semakin kompetitif. Orang yang yang tidak kreatif
akan digilas oleh globalisasi dan kemajuan ipteks yang semakin pesat.
Belajar matematika perlu melibatkan potensi intelektual, emosional, dan spritual secara
simultan. Seorang matematikawan sejati adalah jika ilmunya menjadikan ia semakin dekat
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini bisa diwujudkan dengan cara memahami konsep
matematika dalam konteks agama (baca: Islam). Sebagai contoh, dalam matematika ada
konsep bilangan prima. Bilangan prima biasa didefinisikan sebagai bilangan yang hanya
mempunyai dua faktor (pembagi habis), yaitu 1 dan bilangan itu sendiri. Sedangkan
lawannya biasa disebut bilangan komposit, yaitu bilangan yang mempunyai faktor lebih dari
dua bilangan. Perhatikan contoh berikut :
Melihat fakta ini bagaimana seorang yang beragama (baca: Islam) melihat atau
menafsirkannya? Adakah nilai-nilai religius atau nilai-nilai spritual yang dapat dilihat? Satu
adalah Allah S.W.T, dan bilangan yang lain adalah kita sendiri (manusia). Perhatikanlah! Ia
dikatakan prima ( manusia utama/sempurna) jika ia sangat dekat dengan Tuhannya, tidak ada
sesuatu yang menghalanginya (pembatas atau hijab). Sebaliknya jika semakin jauh dengan
Tuhan , ada jarak atau hijab, maka semakin tidak prima. Manusia prima adalah manusia yang
sangat dekat dengan Tuhannya. Bilangan prima bilangan yang mengajarkan kepada manusia
untuk menjadi manusia sempurna (ahsani taqwim). Interpretasi seperti ini sah-sah saja (
Manfaat, 2010; Syihab, 2010). Seorang guru bisa menyampaikan fakta ini kepada peserta
didik : jika kamu ingin menjadi manusia prima (insan kamil atau manusia sempurna), maka
dekatlah dengan Yang Maha Esa yaitu Allah S.W.T.
Sebagai contoh yang lain (baca: Manfaat, 2010) sebagai berikut: perhatikan persamaan di
bawah ini :
(1- y)
x+ =3
2
1. Identitas
a. Kelas : V SEKOLAH DASAR
a. Pseserta didik memahami perlunya alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
diperhitungkan secara objektif-benar. Rumus-rumus luas banguna datar dalam
konstelasi kealaman Tuhan Yang Maha Esa yang perlu disikapi secara arif, benar,
untuk memberikan kehormatan yang tinggi terhadap Sang Pencipta.
b. Substansi rumus-rumus luas bangun datar berupa kaidah-kaidah materi tersebut
secara objektif , konkret menggunakan cara-cara yang jujur dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual.
c. Contoh-contoh kejadian nyata terkait dengan rumus-rumus perhitungan luas bangun
datar dalam bidang pekerjaan bagian pertanian, bangunan gedung, dan sebagainya.
Untuk itu diperlukan ketepatan yang penuh kedisiplinan, kejujuran, dan
pertanggungjawaban.
d. Pengalam dan minat pribadi peserta didik berkenaan dengan rumus-rumus
perhitungan luas bangun datar. Implementasi rumus-rumus luas bangun datar yang
dapat dilakukan sendiri atau bersama orang lain yang bersifat kesejawatan.
4.Strategi Pembelajaran.
a. Kondisi aktual atau kontekstual yang ditampilkan guru di awal kegiatan pembelajaran
misalnya mencontohkan perlunya penggunaan rumus luas bangun datar atau
penggunaan rumus-rumus yang salah yang pernah ditemui di lapangan tempat bekerja
, atau di mana saja, yang dbutuhkan waktu jual beli tanah atau yang menimbulkan
salah perhitungan, salah paham, dan kericuhan, serta bagaimana memperbaikinya.
b. Strategi pembelajaran yang bernuansa BMB3 diselenggarakan melalui penerapan
penggalian dimensi-dimensi belajar , yaitu dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
bisa menjadi bisa, dari tidak biasa menjadi biasa, dari tidak mau menjadi mau, dari
tidak ikhlas menjadi ikhlas yang terungkapkan melalui aktivitas peserta didik dalam
menganalisis pernyataan, berpendapat, bertanya, menjawab dan lain-lain selama
proses pembelajaran berlangsung. Dalam dinamika pembelajaran seperti itu, Proses
BMB3 diimplementasikan secara terintegrasikan pada diri masing-masing peserta
didik, yaitu berpikir, merasa, bersikap, bertindak, dan bertanggung jawab.
4.Kegiatan Penutupan.
Guru menekankan penggunaan rumus-rumus bangun datar dengan cara terbaik dan
menyenangkan berbagai pihak yang berkepentingan.
PENUTUP
DAFTAR RUJUKAN.
Abdullah Sani, Ridwan, dan Kadri, Ridwan. 2016. Pendidikan Karakter, Mengembangkan
Karakter Anak yang Islami. Jakarta : Bumi Aksara.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Depdiknas.
Hudoyo, Herman. 2000 . Matematika untuk PGSD. Jakarta : Depdiknas
Koesoema, Doni. 2015. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yokyakarta : PT
Kanisius.
Manfaat, Budi. 2010. Membumikan Matematika, dari Kampus ke Kampung. Cirebon :
Eduvision Publishing.
Marjohan, et al. 2012. Biografi keilmuan PRAYITNO dalam Ranah Konseling dan
Pendidikan. Padang : UNP Press.
Nurdin, Muhammad. 2014. Pendidikan Anti Korupsi. Yokyakarta : Ar-ruzz Media.
Prayitno dan Khaidir, Afriva. 2010. Pendidikan Karakter-Cerdas Wujud Penghayatan dan
Pengamalan Nilai-Nilai Karakter-cerdas. Padang : UNP Press.
Rahim, Farida. 2011. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta : Bumi Aksara.
Rizali, Ahmad, Djati sidi, Indra dan Dharma, Satria. 2009. Dari Guru Konvensional menuju
Guru Profesional. Jakarta : PT Gramedia.
Saptono. 2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter, wawasan, strategi, dan langkah
praktis. Salatiga: Erlangga.
Shihab, M. Quraish. 2011. DIA DIMANA-MANA, Tangan Tuhan Di Balik Setiap Fenomena.
Jakarta : Lentera Hati
Syihab, Dodi. 2010. Alquran Sandi Kecerdasan. Jakart : Aldi Prima.
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan. Jakarta : Predana Media Group.