sampel dengan interval tertentu dari kearangka sampel yang telah ditentukan. Misalnya peneliti ingin
melakukan observasi terhadap pedagang sebuah pasar yang jumlahnya 2000 kios, dan jumlah kios yang
ditetapkan sebagai sampel adalah 20 kios.
o Pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pendaftaran terhadap seluruh anggota populasi dan
diberi nomor secara acak.
o Tetapkan jumlah anggota kelompok (k) dihitung dengan rumus:
Pilih secara acak sebuah angka pada tabel random yang nantinya menjadi Random Start, yang nilainya
lebih besar dari 1, tapi lebih kecil dari nilai k (1> Random Start > k=100). Dalam hal ini nilai Random
Start yang terpilih adalah “10042” (baris 5 kolom 1), dimana dua angka terakhir bilangan tersebut (“42”)
nilainya lebih besar dari “1” dan lebih kecil dari “100” (1 > 42 < 100).
Satuan-satuan sampling lainnya dipilih secara sistematis dengan menambahkan angka yang terpilih
dengan nilai k (k=100):
Dengan demikian satuan-satuan sampling yang terpilih adalah 0042, 0142, 0242, 0342, 0442, 0542, 0642,
0742, 0842, 0942, 1042, 1142, 1242, 1342, 1442, 1542, 1642, 1742, 1842, 1942.
Cara Pengambilan Sampel pada Systematic Random Sampling untuk Populasi Terbatas –
AsikBelajar.Com. Pada umumnya pengambilan sampel dengan metode acak sistematis
(Systematic Random Sampling) bagi populasi yang jumlah anggotanya terbatas dilakukan melalui
tahapan berikut:
Menentukan ukuran sampel (n) yang akan diambil dari keseluruhan anggota populasi (N).
Membagi anggota populasi menjadi k kelompok dengan ketentuan k harus lebih kecil atau
sama dengan N/n. Nilai k lebih besar dari N/n akan menyebabkan ukuran sampel yang
diinginkan tidak dapat diperoleh (kurang dari n). Bila ternyata besarnya populasi (N) tidak
diketahui, k tidak dapat ditentukan secara akurat, dengan demikian harus dilakukan
pendugaan nilai k yang dibutuhkan untuk menentukan ukuran sampel sebesar n
Mnentukan secara acak satu unit sampel pertama dari kelompok yang pertama yang
terbentuk. Unit sampel kedua, ketiga dan selanjutya kemudian secara sistematis dari
kelompok kedua, ketiga dan selanjutnya.
Ads by optAd360
Contoh:
Dari 100 orang karyawan ingin diambil secara acak sistematis 10 karyawan sebagai sampel.
Penyelesaiannnya dapat dilakukan sbb:
1. Menentukan banyaknya kelompok: k=100/10= 10, berarti ada 10 kelompok (tidak boleh lebh
dari 10 kelompok).
2. Memberi nomor urut secara acak pada 100 orang karyawan tersebut dari 1, 2, 3 sampai 100.
3. Membagi keseluruhan anggota populasi menjadi 10 kelompok. Maka akan diperoleh kelompok
pertama (kelompok A) berisi karyawan dengan nomor urut 1 hingga 10, kelompok kedua
(kelompok B) dengan nomor urut 11 hingga 20, dst sampai kelompok J.
4. Mengambil satu unit sampel secara acak pada kelompok A (pertama) misalnya terambil
karyawan nomor 3. Setelah itu dilakukan pengambilan sampel pada kelompok yang berikutnya
untuk satuan sampel yang berada segaris (memiliki jarak yang sama) dengan sampel nomor 3
tersebut. Anggota populasi yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah anggota populasi
yang mempunyai nomor sbb:
————————————————————————–
Kelompok: A B C D E F G H I J
No.Terpilih: 3 13 23 33 43 53 63 73 83 93
————————————————————————–
Jadi pengambilan sampel yang dilakukan benar-benar secara acak hanyalah pada pengambilan
sampel pertama dari kelompok pertama. Sesudah sampel pertama tersebut terambil, maka sampel
kedua, ketiga dst diambil secara sistematis dari kelompok kedua, ketiga dst.
Rumus umumnya adalah: Z = x/SDX, dimana: Z = z skor, x = deviasi skor X, SD = standar deviasi dari
skor x. Dalam rangka menkonversi z skor menjadi nilai standar z, langkah-langkah yang mesti di lakukan
adalah sebagai berikut:
1. Menjumlahkan skor variabel XI sampai dengan X3 (∑X1, ∑X2, ∑X3)
2. Mencari skor rata-rata hitung (mean) dari masing-masing varibel dengan rumus MeanX1= (∑X1)/N (satu
persatu untuk masing-masing variabel);
3. Mencari deviasi (x) X1, X2, dan X3. Dengan rumus:
X1 =X1- MX1, dst.
4. Menguadratkan deviasi X1 sampai X3 kemudian di jumlahkan sehingga diperoleh ∑X1, ∑X2 dan X3.
5. Mencari deviasi standar untuk ketiga variabel tersebut.
Lalu, menghitung z skor sesuai dengnan rumus yang telah tertera di atas.
Z skor yang di peroleh oleh masing-masing testee di jumlahkan, maka kemudian akan diketahui testee
yang memilih z skor yang positif dan yang negatif.
Berikut penerapannya,. Dari data sebelumnya maka dapat diuraikan sebagai berikut:
Langkah I, II, dan III.
Testee X1 X2 X3 X1 X2 X3
akbar 80 124 48 3.8 0.92 -18.56
rahmat 73 128 51 -3.2 4.92 -15.56
yaya 68 123 44 -8.2 -0.08 -22.56
riswan 64 160 42 -12.2 36.92 -24.56
boneng 71 100 55 -5.2 -23.08 -11.56
jaya 73 120 56 -3.2 -3.08 -10.56
kunin 75 125 57 -1.2 1.92 -9.56
eding 68 114 49 -8.2 -9.08 -17.56
funti 70 103 51 -6.2 -20.08 -15.56
fardi 66 109 47 -10.2 -14.08 -19.56
haya 88 100 60 11.8 -23.08 -6.56
reski 77 120 70 0.8 -3.08 3.44
awal 89 150 78 12.8 26.92 11.44
kiki 90 110 90 13.8 -13.08 23.44
wawan 76 130 79 -0.2 6.92 12.44
jerni 60 140 76 -16.2 16.92 9.44
jermi 76 122 87 -0.2 -1.08 20.44
wasni 67 134 90 -9.2 10.92 23.44
mimin 88 140 70 11.8 16.92 3.44
maskai 98 143 64 21.8 19.92 -2.56
miskal 88 100 67 11.8 -23.08 0.44
marwah 77 120 68 0.8 -3.08 1.44
hamid 65 124 90 -11.2 0.92 23.44
muhaimin 68 126 88 -8.2 2.92 21.44
riswandi 90 112 87 13.8 -11.08 20.44
N = 25 1905 3077 1664
MX 76.2 123.08 66.56
Dimaksud dengan T score adalah angka skala yang menggunakan mean sebesar 50 (M = 50)
dan standar deviasi sebesar 10 (SD = 10). T score dapat diperoleh dengan jalan memperkalikan
z score dengan angka 10, kemudian ditambah dengan 50. T score dicari dengan maksud untuk
meniadakan tanda minus yang terdepan di depan nilai z score, sehingga lebih mudah dipahami oleh
mereka yang masih asing atau awam terhadap ukuran-ukuran statistik.
T score = 10z + 5 atau
T score = 50 + 10 z
Mengubah Z score pada data sebelumnya menjadi T Score
No Nama Total Z T Score
score (50 + 10 z)
Demikianlah beberapa cara mengubah atau mengonversi skor-skor mentah hasil tes menjadi
skor standar relatif. Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar relatif yang
mendasarkan diri pada prestasi kelompok ini sangat cocok diterapkan pada tes-tes sumatif (ulangan
umum dalam rangka kenaikan kelas, ujian akhir semester, ujian seleksi penerimaan calon siswa, dan
sebagainya) yang pada kebiasaannya skor-skor yang diraih oleh peserta didik adalah sangat rendah
sehingga kebanyakan peserta didik “jatuh” dalam tes tersebut.
Teknik Pengambilan
Kelompok 3
ardin-nz.blgspot.com/2012/03/pengambilan-sampel-sistematik-da.html?m=1
Dik : N = 1000
n = 100
k = N/n
= 1000/100 = 10
Pertama kita urutkan nama-nama kepala sekolah sesuai abjad,
kemudian diberi nomor 1 sampai dengan 1000. selanjutnya unsur
pertama dipilih secara random dari interval 1-10. misalkan kita
dapatkan unsur pertama adalah s = 5, maka unsur-unsur
selanjutnya adalah :
Unsur kedua = 5 + 10 = 15
Unsur ketiga = 5 + 2.10 = 25
Unsur keempat = 5 + 3.10 = 35, dan seterusnya hingga diperoleh
unit sampel ke 100.
Hasilnya adalah 5, 25, 35, 45, 55, 65, 75, 85, 95, 105, 115, 125,
135, 145, 155, 165, 175, 185, 195, 205, 215, 225, 235, 245, 255,
265, 275, 285, 295, 305, 315, 325, 335, 345, 355, 365, 375, 385,
395, 405, 415, 425, 435, 445, 455, 465, 475, 485, 495, 505, 515,
525, 535, 545, 555, 565, 575, 585, 595, 605, 615, 625, 635, 645,
655, 665, 675, 685, 695, 705, 715, 725, 735, 745, 755, 765, 775,
785, 795, 805, 815, 825, 835, 845, 855, 865, 875, 885, 895, 905,
915, 925, 935, 945, 955, 965, 975, 985, 995.
Misalkan jumlah jumlah satuan-satuan elementer dalam populasi adalah N dan ukuran sampel
yang dikehendaki adalah n, maka hasil bagi N/n dinamakan interval sampel dan biasa diberi
simbol k. Selanjutnya, unsur pertama dalam sampel dipilih secara random dari satuan
elementer bernomor urut 1 sampai dengan k dari populasi. Jika yang terpilih adalah satuan
elementer bernomor urut s, maka unsur-unsur selanjutnya dalam sampel ditentukan sbb :
Unsur pertama = s
Unsur kedua = s + k
Unsur ketiga = s + 2k, dan seterusnya.
Contoh:
Kepala dinas pendidikan ingin mengetahui bagaimana motivasi
kerja kepala sekolah di kabupaten Banyumas yang berjumlah 1000
orang dan akan diambil sampel 100 orang kepala sekolah.
Bagaimana cara mengambil sampel menggunakan teknik
systematic random sampling ?
Systematic Random Sampling
Systematic Random Sampling (SRS) atau teknik penarikan sampel acak sistematis adalah teknik
pengambilan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut (Sugiyono,
2016, hlm. 123; 2010, hlm. 66). Pengambilan sampel acak sistematik hampir sama dengan sampel acak
sederhana (Sukmadianata, 2012, hlm. 257). Kasjono, H. S. (2009) menjelaskan bahwa SRS adalah suatu
pengambilan sampel, di mana hanya unsur pertama saja dari sampel dipilih secara acak, sedangkan
unsur-unsur selanjutnya dipilih secara sistematis menurut suatu pola tertentu. Pendapat lain
mengatakan bahwa SRS bukanlah metode acak, karena sampel yang diambil secara acak hanya unsur
yang pertama saja, sampel selanjutnya diambil berdasarkan interval tertentu. Sementara Cochran (2010,
hlm. 234) menyebutkan bahwa SRS ini sangat berbeda dengan penarikan sampel acak sederhana.
B. Kelebihan dan Kekurangan Systematic
Random Sampling
1. Kelebihan
Kelebihan dari metode ini dibandingkan penarikan sampel acak sederhana menurut Cochran
(2010, hlm. 234) adalah:
b. Secara intuisi, penarikan sampel sistematik dianggap lebih teliti dibandingkan dengan penarikan sampel
acak sederhana. Metode sistematik membagi populasi menjadi lapisan ke dalam n lapisan, yang terdiri
dari k unit pertama, k unit ke dua, dan seterusnya. Untuk mendapatkan sampel sistematik yang seteliti
mungkin (lebih akurat) bisa menggunakan penarikan sampel acak berlapis dengan satu unit perlapisan.
Perbedaannya adalah bila dengan sampel sistematik unit-unitnya muncul pada posisi yang relatif sama
di dalam lapisannya, sedangkan bila dengan sampel acak berlapis posisi di dalam lapisannya ditentukan
secara terpisah oleh pengacakan di dalam masing-masing lapisan. Seperti terlihat pada (Gambar 3.1)
Gambar 3.1
2k
4k
3k
5k
6k
x
x
Nomor unit
Pada gambar di atas terlihat bahwa sampel dengan metode SRS lebih menyebar dalam populasi
dibandingkan sampel dengan metode acak berlapis. Sehingga metode SRS dianggap lebih teliti
dibandingkan metode acak berlapis. Metode SRS dan metode sampel bertingkat/ berstrata/ berlapis,
keduanya bertujuan untuk memilih unit di sekitar pusat tingkat/ strata/ lapisan. Urutan sampel dimulai
dengan sebuah bilangan acak yang dipilih antara 1 dan k. Dengan rumus penentuan sebagai berikut: (k +
1) / 2 jika k ganjil dan k / 2 atau (k + 2) / 2 jika k genap (Madow, 1953).
b. Pemilihan sampel dapat dilakukan pada proses yang sedang berjalan, ketika jumlah populasi dari
kerangka sampel belum tersedia.
c. Dengan menggunakan sampel acak sistematis, sampel yang terpilih cenderung lebih tersebar dalam
keseluruhan populasi. Oleh karena itu sampel dianggap lebih mewakili populasinya dibandingkan sampel
dari metode acak sederhana.
d. Membutuhkan waktu serta biaya yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pengambilan sampel
acak sederhana.
2. Kekurangan
a. Setiap unit penelitian tidak mempunyai peluang yang sama untuk diambil sebagai sampel. Oleh karena
itu, populasi (N) harus besar sehingga pengambilan sampel mendekati acak lagi.
b. Populasi harus bersifat homogen karena jika terlalu heterogen atau banyak variasi, besar kemungkinan
sampel tidak mewakili populasi.
c. Bila terjadi suatu kecenderungan tertentu maka metode ini menjadi kurang sesuai atau tidak lagi acak,
padahal sampel seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Misalkan untuk memilih
sampel dengan hari menggunakan k=7, karena sampel akan selalu jatuh pada hari yang sama.
Salah satu kekurangan lain dari Systematic Random Sampling adalah biaya yang mungkin tinggi
yang disebabkan oleh kondisi geografis yang besar. Andaikata populasi tersebar dan berjauhan di daerah
yang besar, maka akan dibutuhkan biaya perjalanan untuk mencapai satu unit sampel menuju unit
sampel lainnya.
Dalam situs Australian Bureau of Statistics, dijelaskan bahwa Systematic Random Sampling bisa
jadi membutuhkan informasi mengenai setiap anggota populasi yang sangat besar. Jadi jika sampling
dilakukan dalam populasi yang besar, akan diperlukan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan
informasi akurat mengenai anggota sampel.
1. Menurut Sugiyono
Menurut Sugiyono, pemilihan sampel dilaksanakan dengan contoh sebagai berikut: misalnya anggota
populasi terdiri dari 100 orang. Dari semua anggota itu diberi nomor 1 sampai dengan nomor 100.
Pengampilan sampel dapat dilakukan dengan nomor ganjil saja, genap saja, atau kelipatan dari bilangan
tertentu, misalnya kelipatan dari bilangan lima. Untuk ini maka yang diambil sebagai sampel adalah
nomor 1, 5, 10, 15, 20, dan seterusnya sampai 100.
Pemilihan sampel dilaksanakan dengan cara seluruh anggota populasi diberi nomor dari satu sampai
terakhir. Anggota sampel dipilih secara sistematis dengan menggunakan rentang tertentu. Rentang
ditentukan berdasarkan perhitungan jumlah populasi dibagi jumlah sampel yang diinginkan.
Ada beberapa cara untuk melihat penarikan sampel sistematik. Dengan N=nk, sampel sistematik k yang
mungkin ditujukan dalam kolom pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1
Nomor 1 2… i… k
Sampel
y1 y2 yi yk
… … … …
Rata-rata
Dari tabel ini populasi telah dibagi ke dalam k unit-unit penarikan sampel yang besar, masing-masing
terdiri atas n unit asli. Cara pemilihan sebuah sampel sistematik yang letaknya secara acak adalah hanya
dengan memilih satu unit dari unit-unit penarikan sampel yang besar secara acak. Jadi penarikan sampel
tunggal yang kompleks yang merupakan keseluruhan sampel.Sampel sistematik adalah sebuah sampel
acak sederhana dari satu unit kelompok dari sebuah populasi dengan k kelompok unit.
a. Tentukan dahulu interval sampel (k) yang menunjukan hasil bagi jumlah satuan elementer populasi
dibagi sampel (N/n).
b. Unsur pertama dari sampel lalu dipilih secara acak diantara satuan elementer bernomor urut i dan k dari
populasi.
c. Andaikan yang terpilih itu adalah satuan elementer bernomor urut s, maka unsur-unsur selanjutnya
dalam sampel dapat ditentukan, yaitu :
Unsur pertama =s
Unsur ketiga = s + 2k
Andaikan satuan satuan elementer dalam satuan populasi berjumlah 50, yang diberi no urut 1
sampai 50, dan besar sampel yang akan diambil 10, maka = 50/10=5.
Unsur pertama dari sampel harus dipilih secara acak diantara satuan satuan elementer 1 dan 5.
Andaikan yang terpilih sebagai unsur pertama adalah nomor 3, maka unsur-unsur yang lainnya dari
sampel adalah satuan satuan nomor 8, 13, 18, 23, 28, 38, 43, dan 48. (Kasjono, 2009)
Sampel data dari 7 SMA Negeri yang dipilih harus dilakukan secara acak, artinya setiap SMA
Negeri memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih. Begitupun, dengan pemilihan sekolah swasta.
2. Dalam penelitian mengenai “Efektivitas Penggunaan Biaya Operasional Sekolah (BOS) terhadap Mutu
Pendidikan Sekolah Dasar di Kecamatan Subang Kabupaten Subang”
Untuk penelitian ini diketahui bahwa, terdapat 77 Sekolah Dasar di Kecamatan Subang
Kabupaten Subang. Jika diambil proporsi 30% sampling dengan teknik SRS maka sekolah yang dijadikan
sampling sebanyak 23 sekolah (30% x 77= 23). Sekolah-sekolah tersebut terpilih secara acak, artinya
setiap Sekolah Dasar memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih.
Pada gambar 3.2 sampai dengan 3.6 terlihat proses perolehan sampling dengan menggunakan
program Excel.
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Cara Membulatkan Nilai k
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Berdasarkan hasil dari program Excell di atas, maka SD yang akan dipakai menjadi sampel
penelitian adalah SD-SD yang diberi tanda kuning seperti terlihat pada gambar 3.6.
3. Dalam Penelitian “Hubungan Kualitas Sarana Prasarana Kelas terhadap Motivasi Siswa di Sekolah
Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Bandung ”
Dalam penelitian ini diketahui bahwa terdapat 52 SMP Negeri dan dua MTs, total populasi
adalah 54 sekolah. Jika diambil proporsi 20 % sampling dengan teknik SRS, maka sekolah yang dijadikan
sampling sebanyak 11 sekolah (20% x 54= 10,8 dibulatkan menjadi 11). Sekolah yang dijadikan sampel
(baik SMP maupun MTs) dipilih secara acak. Artinya setiap SMP dan MTs memiliki kesempatan yang
sama untuk terpilih.
F. Ringkasan Materi
Kasjono, H. S. (2009) menjelaskan bahwa SRS adalah suatu pengambilan sampel, di mana hanya
unsur pertama saja dari sampel dipilih secara acak, sedangkan unsur-unsur selanjutnya dipilih secara
sistematis menurut suatu pola tertentu. Adapun kelebihan SRS menurut Cochran (2010, hlm. 234),
yaitu: 1) Lebih mudah mengambil sampel, 2) Penarikan sampel dianggap lebih teliti dibandingkan
dengan penarikan sampel acak sederhana. Adapun kekurangan SRS menurut Kasjono (2009)
diantaranya:
1. Setiap unit penelian tidak mempunyai peluang yang sama untuk diambil sebagai sampel,
3. Bila terjadi suatu kecenderungan tertentu maka metode ini menjadi kurang sesuai.
Referensi
Sugiyono.(2016). Metode penelitian pendidikan (pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.
PEMBAHASAN
Standard Score atau nilai standar adalah nilai yang ditunjukkan dengan suatu skala
untuk menunjukkan bagaimana perbandingan satu individu dengan individu lain dalam
satu kelompok. Ketika menghitung nilai Standar deviasi dalam pengukuran variabilitas,
kita bekerja dengan angka kasar, sesuai dengan satuan pengukuran yang digunakan dalam
distribusi nilai, seperti cm, kg dan sebagainya.
Berbeda dengan hal itu, nilai standar tidak tergantung kepada satuan pengukuran
yang digunakan oleh distribusi nilai. Ada dua jenis skor baku, yaitu z score dan T score.
Salah satu nilai standar yang paling sering digunakan adalah Z -score yaitu suatu bilangan
yang menunjukan berapa jauh suatu nilai (angka kasar) menyimpan g dari mean dalam
satuan ukuran standar deviasi.
B. Z skor
Z skor adalah besarnya penyimpangan skor individu dari rata-rata dibagi standar deviasi. Rata-rata skor
standar sama dengan 0 dengan standar deviasi. Z score adalah skor yang menunjukkan sejauh mana
skor mentah bersumber dari satuan simpangan baku.
No Nilai x Z-Score
1 156 -1.37
2 160 -0.78
3 170 0.69
4 165 -0.05
5 175 1.42
6 166 0.10
Diketahui :
Untuk mencari nilai Z-skor sebagaimana dalam table diatas dapat diselesaikan sebagai berikut :
Z-score untuk X
C. T Skor
T skor adalah bentuk lain dari skor standar dimana rata-rata ditentukan 50 dengan standar
deviasi 10. T skor pada dasarnya adalah skor Z yang ditulis dengan format lain.
Skor T d i b u a t apabila skor Z nilainya di bawah s k o r mean distribusi.
Perhitungannya yaitu mengalikan skor Z dengan 10 lalu ditambah 50(misal, (-1 x 10) + 50 =
40).
T score = 50 + 10 z
T skor digunakan apabila angka dari data Z-skor tidak bulat dan terdiri dari plus dan minus,
untuk memudahkan dijadikan T-skor, disamping itu T-skor dapat juga digunakan untuk mengkonversi
data yang satuannya adalah waktu maka tanda +(plus) diganti dengan – (minus) sehingga data layak
untuk dianalisis.
Contoh :
Tabel 2. dari data tinggi lompot dan kecepatan lari
1 156 12.0
2 160 11.8
3 170 11.3
4 165 11.5
5 175 11.0
6 166 11.6
N 6 6
X Y
Untuk mencari nilai T skor sebagaimana dalam table diatas dapat diselesaikan sebagai berikut :
T skor untuk Y karena datanya intervensi (waktu) maka tanda plus diganti dengan minus sebagai berikut
T-skor untuk X : Ti= 50
Z skor umumnya digunakan untuk mengubah skor-skor mentah yang diperoleh dari berbagai
jenis pengukuran yang berbeda-beda. Dengan menggunakan z score, maka peserta yang memiliki
kemampuan lebih tinggi adalah peserta didik yang z scorenya bertanda positif (+). Sebaliknya, yang
bertanda (-) adalah peserta didik yang memiliki kemampuan lebih lemah dari lainnya.
T skor dapat diperoleh dengan jalan memperkalikan z skor dengan angka 10, kemudian
ditambah dengan 50. T skor dicari dengan maksud untuk meniadakan tanda minus yang terdepan di
depan nilai z skor, sehingga lebih mudah dipahami oleh mereka yang masih asing atau awam terhadap
ukuran-ukuran statistik.
Z skor dan T skor sebagai cara mengubah atau mengonversi skor-skor mentah hasil tes menjadi
skor standar relatif. Pengolahan dan pengubahan skor mentah hasil tes menjadi nilai standar relatif yang
mendasarkan diri pada prestasi kelompok ini sangat cocok diterapkan pada tes-tes sumatif (ulangan
umum dalam rangka kenaikan kelas, ujian akhir semester, ujian seleksi penerimaan calon siswa, dan
sebagainya) yang pada kebiasaannya skor-skor yang diraih oleh peserta didik adalah sangat rendah
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nilai standar adalah nilai yang ditunjukkan dengan suatu skala untukmenunjukkan
bagaimana perbandingan satu individu dengan individu lain dalam satu kelompok. Ketika
menghitung nilai Standar deviasi dalam pengukuran variabilitas, kita bekerja dengan
angka kasar, sesuai dengan satuan pengukuran yang digunakan dalam distribusi nilai,
seperti cm, kg dan sebagainya.
Ada dua jenis skor baku, yaitu Z skor dan T skor. Z skor adalah besarnya penyimpangan skor
individu dari rata-rata dibagi standar deviasi. Rata-rata skor standar sama dengan 0 dengan standar
deviasi. Z skor adalah skor yang menunjukkan sejauh mana skor mentah bersumber dari
satuan simpangan baku.
T skore digunakan apabila angka dari data Z-skor tidak bulat dan terdiri dari plus dan minus,
untuk memudahkan dijadikan T-skor, disamping itu T-skor dapat juga digunakan untuk mengkonversi
data yang satuannya adalah waktu maka tanda +(plus) diganti dengan – (minus) sehingga data layak
untuk dianalisis.
B. Saran
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, baik dari segi penyajian bahan maupun
dalam segi penulisan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran pembaca agar karya
tulis ini bisa menjadi berguna bagi pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Mata kuliah Satistik. Silabus dan handout mata kuliah statistic lanjutan 2, Padang: UNP
Z = (Yi - Ῡ)/SD
Z = Z-score
Yi = skor mentah
Ῡ = Mean awal
SD = deviasi standar awal
Jika sudah selesai, maka SPSS akan menampilkan output berupa statistik
deskriptif data kita. Abaikan dulu output tersebut dan kembali lagi ke
data awal kita. Jika kita lihat di sebelah kanan sudah muncul 3 variabel
baru, yakni ZPA, ZNA, dan ZSWLS. Ini adalah z-score baru kita. Z-score
ini memiliki mean = 0 dan SD=1. Skor berkisar antara -3 sampai +3.
Karena skor kita sudah berubah menjadi skor standar maka kita sudah
dapat menjumlahkan skor tersebut, yakni dengan rumus PA-NA+SWLS.
T-score yang kita peroleh tidak lagi memiliki tanda negatif. Distribusi skor
ini memiliki mean=50 dan SD=10. Ulangi prosedur ini untuk variabel NA
dan SWLS.
Jika kita sudah mendapatkan T-score ketiga variabel, maka kita tinggal
menjumlahkan saja skor tersebut sesuai dengan panduan skoring, yakni
PA-NA+SWLS. Komputasi di SPSS dapat dilakukan di menu Transform –
Compute variable, kemudian pada target variabel kita beri nama TSWB dan
pada numeric expression kita masukan TPA-TNA+TSWLS, dan klik OK.
Dengan demikian variabel baru yang kita peroleh merupakan nilai SWB
yang sudah terstandar dan dapat digunakan untuk uji hipotesis lanjutan.