PENDAHULUAN
1.3. Tujuan .
1. Mengetahui kriteria mutu yang ada pada cuka apel.
2. Mengetahui kandungan yang terdapat di dalam buah apel.
3. Mengetahui pengaruh parameter terhadap kualitas cuka apel.
1.4. Manfaat .
1. Dapat mengetahui kriteria mutu yang ada pada cuka apel.
2. Dapat mengetahui kandungan yang terdapat di dalam buah apel.
3. Dapat mengetahui pengaruh parameter terhadap kualitas cuka apel.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
diperam selama 2-3 minggu. Produksinya tidak sebanyak apel jenis lainnya, setelah
berumur enam tahun total produksinya hanya 6 kg per pohon setiap tahun. Manfaat
dari apel ini yaitu, sebagai buah meja, mencegah sariawan gusi, dapat dibuat cuka
atau cider melalui fermentasi, mencegah penyakit gangguan lambung dan tumor
dalam jangka panjang, dan sebagai kayu bakar (Pelczar, 1993).
berbeda manfaatnya dengan yang murni. kandungan nutrisi, vitamin dan mineral
dalam cuka apel adalah asam amino, kalium (potasium), magnesium, kalsium,
vitamin dan beta karoten, zat asam serta enzim, dan pektin. Komponen cuka apel
kaya serat dan mengandung potasium yang berfungsi menjaga keseimbangan
tingkat potasium dan sodium dalam tubuh (Dewi, 2018).
Cuka apel mengandung banyak nutrisi menyehatkan, seperti beta karoten
(sejenis antioksidan penengkal kanker), boron (bekerja seperti estrogen untuk
mencegah hilangnya mineral dari tulang, membantu pendayagunaan vitamin D).
Kalsium (menjaga tulang dan gigi tetap kuat dan sehat, membantu mengatur kerja
jantung), berbagai enzim (membantu pencernaan makanan), zat besi (memainkan
peran di dalam sistem kekebalan tubuh dan penting untuk kemampuan mengingat).
Magabesa (penting untuk menjaga tingkat kolesterol), karbohidrat dan asam amino.
Cuka apel membantu menjaga keseimbangan asam/alkali dalam tubuh. Asam
hidroklorit pada cuka apel dapat membantu pencernaan (Pelczar, 1993).
Cuka apel yang bersifat asam juga menjadi lingkungan pertumbuhan yang
baik bagi bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat yang tumbuh tersebut mampu
memetabolisme karbohidrat sederhana sehingga dihasilkan energi untuk
pertumbuhan bakteri, sedangkan metabolit sisa metabolisme monosakarida oleh
bakteri asam laktat berupa asam laktat, asam asetat dan asam organik lain mampu
menurunkan pH pikel mentimun (Zubaidah, 2010).
konsentrasi cuka apel 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5% memiliki nilai rerata yaitu 3,2; 3;
3,1; 3,2; dan 3, metode skoring memiliki nilai rerata 3; 3; 3,05; 3,1; dan 3,2 yaitu
dengan kriteria yang agak disukai oleh panelis dengan warna yaitu agak putih.
Proses blanching dilakukan sebelum fermentasi pikel mentimun yang bertujuan
untuk menginaktifkan enzim penyebab pencoklatan pada produk. Proses blanching
dapat menginaktifkan enzim yang tidak diinginkan yang mungkin dapat merubah
warna, tekstur, citarasa maupun nilai nutrisinya (Pelczar, 1993).
Konsentrasi cuka apel memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
aroma pikel mentimun pada metode hedonik dan skoring. konsentrasi cuka apel
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat hedonic dan skoring
pada aroma pikel mentimun. Metode hedonik perlakuan konsentrasi 1% dan 2%
menghasilkan rerata 2,35 dan 2,45 dengan kriteria tidak sukai oleh panelis.
Konsentrasi 3%, 4% dan 5% menghasilkan rerata 3,2; 3,4; dan 3,5 dengan kriteria
agak sukai panelis. Sedangkan metode skoring menunjukkan perlakuan konsentrasi
cuka apel 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5% memiliki nilai rerata yaitu 2,55; 3; 3,15; 3,45;
dan 3,7 dengan kriteria tidak beraroma khas pikel pada konsentrasi 1% dan agak
beraroma khas pikel pada konsentrasi 2%, 3%, 4%, dan 5%. Konsentrasi cuka apel
yang digunakan semakin tinggi maka dapat menghasilkan aroma asam khas pikel
akan semakin meningkat disetiap konsentrasi (Caturryanti dkk, 2008).
Peningkatan asam berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis, dimana
panelis lebih menyukai pikel mentimun pada penambahan konsentrasi cuka apel
sebanyak 4% dengan nilai purata tertinggi yaitu 3,4. Aroma asam khas pikel ini
dapat berasal dari aroma asam cuka apel serta didukung dengan bakteri asam laktat
yang tumbuh pada pikel selama proses fermentasi. Fermentasi berlangsung bakteri
asam laktat dapat menghasilkan produk akhir metabolik organik lain seperti asam
laktat, asam asetat, etanol serta sejumlah kecil asam volatil. Aroma suatu produk
terjad karena adanya sejumlah komponen volatile yang terdapat pada bahan yang
dihasilkan selama proses fermentasi (Zubaidah, 2010).
Konsentrasi cuka apel memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
rasa pikel mentimun pada metode hedonik dan skoring. Nilai rasa pada pikel
mentimun menggunakan metode hedonic menunjukkan pada semua perlakuan
10
anggur, pisang, apel, dan buah-buahan lainnya yang mengandung gula ataupun
alkohol. Cuka apel diproses melalui pengekstrakan sari buah apel sebagai substrat
fermentasi alkohol. Proses fermentasi tahap awal (alkohol), mikroorganisme yang
digunakan adalah khamir, dimana khamir merombak gula menjadi alkohol dan
karbondioksida dan lamanya fermentasi tergantung pada jenis khamir, kadar gula
awal dan kadar alkohol akhir yang diinginkan. Kadar alkohol mempengaruhi
jalannya proses selanjutnya (fermentasi asam asetat) (Atro dkk, 2015).
Kadar alkohol cuka salak yang terendah terdapat pada perlakuan inokulasi
cuka salak dengan konsentrasi inokulum 10%. Hasil ini berbeda dengan inokulasi
cuka salak dengan konsentrasi inokulum 15 dan 20%. Hal ini diduga dipengaruhi
oleh ketersediaan kadar alkohol awal sebagai substrat untuk pembentukan asam
asetat. Apabila kadar alkohol substrat sesuai untuk pertumbuhan Acetobacter acetii,
maka substrat beralkohol sebagian besar akan dioksidasi menjadi asam asetat oleh
Acetobacter acetii dan yang lainnya menjadi alkohol sisa. Selama proses fermentasi
asetat, Acetobacter acetii merombak alkohol menjadi asam asetat sehingga jumlah
alkohol awal berkurang karena alkohol merupakan medium bakteri asam asetat
untuk hidup dan diubah menjadi asam asetat. Kadar alkohol yang baik digunakan
sebagai substrat dalam fermentasi asam asetat sebesar 5-7% (De Garmo, 1984).
Konsentrasi alkohol yang paling baik berkisar antara 10–13%, dimana
bakteri asam asetat yang mendominasi tumbuh dan bereproduksi mikroflora alami
yang diidentifikasi sebagai strain Acetobacter dari buah persik Iran. Mikroflora ini
dapat digunakan sebagai starter dalam fermentasi cuka. Acetobacter sp. (ASVO3)
ditemukan diisolasi dari sari buah nenas yang menghasilkan cuka setelah 23–25
hari. Pengisolasian dilakukan terhadap Acetobacter sp. dari apel, cherry Jamaica,
mangga, nenas dan rambutan untuk menghasilkan cuka buah (Dewi, 2018).
Pengolahan apel telah mengenal pembuatan cuka apel, namun dalam
pembuatannya masih memiliki kekurangan-kekurangan terutama dalam tahap
penyimpanan dan tahap fermentasi. Fermentasi yang dilakukan pada proses
pembuatan cuka apel ada dua yaitu fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat.
Fermentasi non alkohol jarang digunakan bahkan hamper tidak pernah dilakukan,
karena fermentasi biasanya menggunakan alkohol (Ma’sum, 2006).
13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Atro, R. A., dkk. 2015. Keberadaan Mikroflora Alami dalam Fermentasi Cuka Apel
Hijau (Malus sylvestris Mill.) Kultivar Granny Smith. Jurnal Biologi
Universitas Andalas. 4(3): 158-161.
Caturryanti, D., dkk. 2008. Pengaruh Varietas Apel dan Campuran Bakteri Asam
Asetat terhadap Proses Fermentasi Cider. Agritech. 28(2): 70-74.
De Garmo, E. P. 1984. Engineering Economy 7th Ed. New York: Mac Millan
Publishing Company.
Dewi, D. L. 2018. Pengaruh Konsentrasi Cuka Apel terhadap Mutu Pikel Mentimun
(Cucumis Sativus L.). Artikel Ilmiah. 2(1): 3-8.
Ma’sum, Z. 2006. Pengaruh Konsentrasi Cuka Apel terhadap Mutu Pikel Mentimun
(Cucumis Sativus L.). Buana Sains. 6(2): 195-198.
Nurismanto, R., dkk. 2014. Pembuatan Asam Cuka Pisang Kepok
(Musaparadisiaca L.) dengan Kajian Lama Fermentasi dan Konsentrasi
Inokulum (Acetobacteracetii). Jurnal Rekapangan. 8(2): 149-154.
Pelczar, M. J. 1993. Microbiology. New York: Mc Graw Hill Book Company Inc.
Zubaidah, D. 2010. Kajian Perbedaan Kondisi Fermentasi Alkohol dan Konsentrasi
Inokulum pada Pembuatan Cuka Salak (Salacca Zalacca). Jurnal
Teknologi Pertanian. 11(2): 94-100.