Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kemajuan teknologi dalam bidang produk makanan terjadi karena adanya
perkembangan bioteknologi. Bahan dasar yang ditemukan semakin banyak, maka
semakin banyak pula jenis makanan atau campuran dengan rasa tertentu yang dapat.
Contohnya cairan cuka atau asam cuka untuk menambahkan rasa asam dalam
makanan. Masyarakat Indonesia mengonsumsi cuka dalam makanan sehari-hari
sudah tidak asing lagi. Cuka biasanya ditambahkan dalam semangkuk bakso,
digunakan untuk membuat acar, atau pun dibuat sebagai pelengkap hidangan
pempek. Cuka pada awalnya bukanlah digunakan untuk menambahkan rasa asam
pada makanan tetapi digunakan untuk pembersih di industri.
Cuka lebih mudah didapatkan dan sering digunakan sebagai bahan
tambahan makanan yang dikonsumsi. Cuka industri merupakan salah satu cairan
yang dapat digunakan untuk membersihkan noda atau kerak yang terdapat pada
keramik kamar mandi. Terlepas dari bahaya atau tidaknya cuka industri bagi tubuh
manusia, perlu diketahui bahwa cuka industri hanya sekedar memberi rasa asam,
bukan sebagai penambah vitamin dan mineral yang signifikan. Kandungan cuka
semata-mata hanya air dan asam asetat murni, yang berisi kandungan mineral yang
sangat sedikit dengan ketiadaan vitamin di dalamnya.
Alternatif bagi cuka industri yang dapat dipertimbangkan, yakni cuka
buah, Contohnya cuka apel yang banyak sekali manfaatnya bagi tubuh terutama
untuk kosmetik. Cuka apel bisa kita temui hampir disemua supermarket dengan
harga yang bervariasi. Kandungan cuka apel dapat membantu perawatan kulit dan
juga digunakan untuk menyembuhkan penyakit. Masyarakat khususnya kalangan
wanita menggunakan cuka apel sebagai perawat kulit. Cuka apel efektif digunakan
untuk menghilangkan jerawat beruntusan diwajah. Kandungan asam yang terdapat
dicuka apel dapat melawan jerawat yang ada dikulit. Proses pembuatan cuka apel
banyak melalui tahap salah satunya fermentasi. Jenis apel yang digunakan dalam
pembuatan cuka apel yaitu bervariasi, salah satunya yaitu apel wangling.
1
2

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa saja kriteria mutu yang ada pada cuka apel?
2. Apa saja kandungan yang terdapat di dalam buah apel?
3. Bagaimana pengaruh parameter terhadap kualitas cuka apel?

1.3. Tujuan .
1. Mengetahui kriteria mutu yang ada pada cuka apel.
2. Mengetahui kandungan yang terdapat di dalam buah apel.
3. Mengetahui pengaruh parameter terhadap kualitas cuka apel.

1.4. Manfaat .
1. Dapat mengetahui kriteria mutu yang ada pada cuka apel.
2. Dapat mengetahui kandungan yang terdapat di dalam buah apel.
3. Dapat mengetahui pengaruh parameter terhadap kualitas cuka apel.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Apel Wanglin


Apel merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari daerah Asia
Barat dengan iklim temperate. Tanaman apel termasuk dalam divisi Spermatophyta,
subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Rosales, famili Rosaceae,
genus Malus, dan spesies Malus sylvestris Mill. Malus sylvestris Mill mempunyai
bermacammacam kultivar yang memiliki kekhasan tersendiri. Beberapa kultivar
apel unggulan yang terdapat di Indonesia yaitu Rome Beauty, Manalagi, Anna,
Princess Noble, dan Wanglin/Lali jiwo (Nurismanto dkk, 2014).
Apel merupakan buah yang terdiri dari bermacam-macam ukuran, warna,
dan tekstur. Apel digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti di
Cina dan Amerika untuk mecegah dan mengobati konstipasi, mengontrol diare,
membersihkan gigi mengurangi demam dan penyakit lainnya. Buah apel juga
bermanfaat untuk mengatur konsistensi feses, dalam hal diare maupun sembelit.
Para ahli menghubungkan khasiat ini dengan kandungan apel yaitu pectin. Pada
pencernaan, pectin bermanfaat mengabsorbsi air dan membentuk gelatin sehingga
mudah dikeluarkan sebagai feses. Buah apel memiliki tiga macam warna kulit
seperti warna merah, warna hijau, atau warna kuning. Kulit buah apel memiliki
tekstur yang lembut, dan daging buah teksturnya lebih keras (De Garmo,1984).
Morfologi buah apel adalah berbentuk bulat sampai lonjong, bagian pucuk
buah berlekuk dangkal, kulit agak kasar dan tebal, pori-pori buah kasar dan
renggang, buni, dan mengkilat. Buah apel berwarna merah di luar saat matang,
namun ada juga yang berwarna hijau atau kuning. Dagingnya keras, banyak bibit di
dalamnya dan banyak kandungan kimia (Caturryanti dkk, 2008).
Apel Wanglin berasal dari Jepang dan dapat dijumpai di Batu, Malang.
Bentuknya mirip apel princess noble dan warna kulit buahnya mirip apel granny
smith. Daging buahnya empuk dan renyah, daging buah yang tua berwarna putih
dengan rasa kurang manis dan aroma kurang tajam. Daging buah ini akan berubah
warna menjadi krem dan rasanya menjadi manis segar dengan aroma tajam setelah

3
4

diperam selama 2-3 minggu. Produksinya tidak sebanyak apel jenis lainnya, setelah
berumur enam tahun total produksinya hanya 6 kg per pohon setiap tahun. Manfaat
dari apel ini yaitu, sebagai buah meja, mencegah sariawan gusi, dapat dibuat cuka
atau cider melalui fermentasi, mencegah penyakit gangguan lambung dan tumor
dalam jangka panjang, dan sebagai kayu bakar (Pelczar, 1993).

2.2. Kriteria Cuka Apel


Cuka apel telah ada sejak 10.000 tahun yang lalu untuk kecantikan dan
perawatan kesehatan. Institut Kanker Nasional Amerika Serikat mengatakan bahwa
apel mengandung flavonoid paling tinggi dibandingkan dengan buah lain. Zat ini
mampu menurunkan resiko terkena penyakit kanker paru-paru. Quercetin sejenis
flavonoid terkandung dalam apel membantu mencegah pertumbuhan sel kanker
prostat bagi pria. Keunikanny saat dikonsumsi secara berlebihan, cuka apel tidak
mengakibatkan efek samping. Darah resisten terhadap asam, sehingga kelebihan
asam dibuang. Kondisi darah yang basa memudahkan tubuh terserang penyakit.
Kriteria mutu cuka yang utama yaitu kandungan asam asetatnya, di Amerika Serikat
konsentrasi asam asetat minimal yang berlaku adalah 4% (b/v) (Atro dkk, 2015).
Kriteria dalam pemilihan cuka apel yang baik ada empat yaitu, berwarna
keruh kecoklatan, hal ini menunjukkan cuka apel benar-benar terbuat dari buah apel
murni yang matang pohon. Kematangan apel ini sangat berpengaruh terhadap
manfaat dan kekhasiatan dari cuka apel itu sendiri. Cuka apel yang bening, itu
berarti kandungan apelnya sedikit dan manfaatnya pun bisa dibilang hampir tidak
ada. Aroma khas apel dan berbau seperti tape menunjukkan proses fermentasi
berjalan secara alami, yaitu kurang lebih 35 hari. Cuka apel yang berbau pecing,
agak busuk atau aroma apelnya kurang terasa, itu berarti proses fermentasi yang
terjadi kurang sempurna (Nurismanto dkk, 2014).
Kriteria selanjutnya yaitu memiliki endapan “mother” dibawah botol.
Endapan atau “mother” ini mutlak harus ada, karena ini adalah biang cuka apel.
Terkandung unsur sehat yang sangat bermanfaat untuk menggempur berbagai
penyakit. Cuka apel ini pantas dipertanyakan, jika endapan “mother” tidak ada.
Bersifat pekat dan tidak bisa diminum langsung. Cara minumnya harus diencerkan
dulu dengan air matang. Cuka apel yang siap saji boleh dikonsumsi, tapi tentu
5

berbeda manfaatnya dengan yang murni. kandungan nutrisi, vitamin dan mineral
dalam cuka apel adalah asam amino, kalium (potasium), magnesium, kalsium,
vitamin dan beta karoten, zat asam serta enzim, dan pektin. Komponen cuka apel
kaya serat dan mengandung potasium yang berfungsi menjaga keseimbangan
tingkat potasium dan sodium dalam tubuh (Dewi, 2018).
Cuka apel mengandung banyak nutrisi menyehatkan, seperti beta karoten
(sejenis antioksidan penengkal kanker), boron (bekerja seperti estrogen untuk
mencegah hilangnya mineral dari tulang, membantu pendayagunaan vitamin D).
Kalsium (menjaga tulang dan gigi tetap kuat dan sehat, membantu mengatur kerja
jantung), berbagai enzim (membantu pencernaan makanan), zat besi (memainkan
peran di dalam sistem kekebalan tubuh dan penting untuk kemampuan mengingat).
Magabesa (penting untuk menjaga tingkat kolesterol), karbohidrat dan asam amino.
Cuka apel membantu menjaga keseimbangan asam/alkali dalam tubuh. Asam
hidroklorit pada cuka apel dapat membantu pencernaan (Pelczar, 1993).
Cuka apel yang bersifat asam juga menjadi lingkungan pertumbuhan yang
baik bagi bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat yang tumbuh tersebut mampu
memetabolisme karbohidrat sederhana sehingga dihasilkan energi untuk
pertumbuhan bakteri, sedangkan metabolit sisa metabolisme monosakarida oleh
bakteri asam laktat berupa asam laktat, asam asetat dan asam organik lain mampu
menurunkan pH pikel mentimun (Zubaidah, 2010).

2.3. Kandungan Flavonoid Apel


Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada
tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang
potensial sebagai antioksidan (fitokimia) sehingga dapat melindungi kolesterol
LDL melawan proses oksidasi lipid. Intake dari bahan makanan sumber flavonoid
tersebut dilaporkan mempunyai hubungan yang berbanding terbalik dengan level
kolesterol LDL dalam darah. senyawa flavonoid sampai saat ini belum
dimanfaatkan secara optimal dan masih digunakan secara terbatas dikarenakan
senyawa flavonoid tidak stabil terhadap perubahan pengaruh oksidasi, cahaya, dan
perubahan kimia, sehingga apabila teroksidasi, strukturnya akan berubah dan
fungsinya sebagai bahan aktif akan menurun (De Garmo, 1984).
6

Quercetin merupakan salah satu flavonoid yang dipercaya dapat


melindungi tubuh dari beberapa penyakit degeneratif dengan mencegah proses
peroksidasi lemak. Apel hijau banyak mengandung vitamin, seperti vitamin A, B,
C, mineral, serat serta senyawa flavonoid salah satunya kuersetin. Quersetin adalah
suatu molekul serbaguna, contohnya sebagai antioksidan, neurologikal, antivirus,
anti inflamasi, hepatoprotektif, melindungi sisterm reproduksi tubuh dan agen anti
obesitas. Kemampuan flavonoid sebagai antioksidan belakangan ini banyak diteliti,
karena flavonoid memiliki kemampuan untuk merubah atau mereduksi radikal
bebas dan juga sebagai anti radikal bebas. Varietas apel yang berbeda mengandung
kadar quercetin yang berbeda pula. Varietas apel yang berbeda akan mengandung
total fenol dan total flavonoid yang berbeda pula (Caturryanti dkk, 2008).
kebutuhan harian tubuh akan flavonoid quercetin harus dipenuhi yang
berperan sebagai antioksidan, maka disarankan untuk mengkonsumsi buah apel
segar sebanyak 100 – 250 gram/hari, atau mengonsumsi jus apel sebanyak 200–500
ml/hari atau mengonsumsi smoothie apel sebanyak 300–900 ml/hari. Kelompok
senyawa phenol yang paling penting adalah flavonoid. Kulit apel mengandung
senyawa-senyawa flavonoid seperti Catechin, procyanidin, phloridzin, phloretin
glycoside, caffeic acid,chlorogenic acid, quercetin glycosides dan cyaniding
glycoside. Flavonoid menunjukkan aktivitas antioksidan yang dapat menyebabkan
berkuranganya peroksida lipid akibat radikal bebas dibentuk oleh 𝐶𝐶𝑙4. Quercetin
merupakan subkelas flavonoid golongan flavonol yang dibedakan karena struktur
kimia dan karakteristiknya. Quercetin memiliki aktivitas antioksidan yang lebih
besar daripada vitamin A dan E secara in vitro (Ma’sum, 2006).
Kandungan flavonoid dalam buah apel dapat mengurangi peradangan asma
secara masuk akal melalui sifat antioksidan, anti alergi, dan antiinflamasi. Satu
flavonoid tertentu, khellin, yang dikenal karena sifat bronkodilatornya, digunakan
secara historis untuk mengobati asma. Tanaman dapat memiliki aktivitas
antioksidan apabila mengandung senyawaan yang mampu menangkal radikal bebas
seperti fenol dan flavonoid. Metabolit sekunder yang bersifat antioksidatif
diantaranya adalah alkaloid, flavonoid, senyawa fenol, steroid, dan terpenoid. Buah
apel mengandung beberapa zat yang diketahui mempunyai kemampuan untuk
7

menghambat pertumbuhan bakteri yaitu polifenol, flavonoid, saponin, pektin, dan


yodium. Flavonoid adalah suatu golongan metabolit sekunder yang tersebar merata
dalam dunia tumbuh-tumbuhan, golongan fenol alam terbesar (Dewi, 2018)
Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai
antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Senyawa-senyawa ini dapat
ditemukan pada batang, daun, bunga dan buah. Flavonoid dalam tubuh manusia
berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker.
Manfaat lainnya adalah untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas
vitamin C, anti-inflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik.
Tingginya kandungan flavonoid seperti quercetin memberikan efek perlindungan
terhadap penyakit jantung dan asma (Zubaidah, 2010).
Flavonoid dalam buah apel yang diberikan pada keadaan asma dapat
menghambat aktivasi IL5 sehingga jumlah eosinofil dan pada tubuh akan enzim
proteolitik berkurang sehingga hipertropi otot polos bronkiolus akan berkurang dan
menyebabkan perbaikan gambaran histopatologi paru. Flavonoid juga dapat
menghambat proliferasi sel T sehingga tidak menginduksi sel B untuk
menghasilkan IgE, maka tidak akan terjadi degranulasi sel mast dan produksi enzim
protease yang berlebih di dalam buah apel (Nurismanto dkk, 2014).
2.4. Parameter yang Mempengaruhi Kualitas Cuka Apel
Tahap Penyimpanan apel sebelum difermentasi kondisi temperature suhu
penyimpanan sangat berpengaruh dimana akan mempengaruhi kualitas asam cuka.
Tahap fermentasi factor waktu proses fermentasi sering diabaikan sehingga tidak
menghasilkan asam cuka dengan kualitas maksimum. Penyimpanan dalam lemari
es pendingin lebih baik daripada tempat terbuka dengan suhu kamar. Mikroba dapat
dengan mudah merusak buah yang akan akan difermentasi sehingga kondisi apel
menjadi kurang baik apabila menggunakan suhu kamar. Apel yang disimpan dalam
lemari pendingin akan terjaga kondisinya karena mikroba sulit merusak buah
sehingga kondisi buah akan tetap baik. Jumlah alkohol yang dihasilkan dari proses
fermentasi lebih rendah pada suhu ruang dari pada alkohol yang dihasilkan oleh
proses fermentasi dalam suhu ruang pendingin. Jumlah asam asetat yang dihasilkan
dari fermentasi alcohol dalam suhu ruang lebih tinggi (Ma’sum, 2006).
8

Pengaruh konsentrasi cuka apel terhadap mutu pikel mentimun (Cucumis


sativus L). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yang terdiri dari
5 perlakuan yaitu konsentrasi cuka apel 1%, 2%, 3%, 4% dan 5%. Perlakuan
konsentrasi cuka apel memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pH pikel
mentimun. Konsentrasi cuka apel memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap semua perlakuan. Konsentrasi cuka apel yang semakin tinggi, maka nilai
derajat keasaman (pH) pada pikel yang dihasilkan semakin menurun. Cuka apel
memiliki pH asam yaitu 3,2 sehingga penambahan dengan konsentrasi yang
semakin tinggi akan memberikan suasana yang semakin asam terhadap pikel.
Kualitas cuka yang baik memiliki pH berkisar antara 2,8-3,8 (Dewi, 2018).
Konsentrasi cuka apel memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
nilai total asam pikel mentimun. Konsentrasi tinggi pada cuka apel yang diberikan
maka nilai total asam pikel mentimun semakin tinggi. Pikel mentimun merupakan
produk makanan asam yang berasal dari penambahan cuka apel dengan pH rendah.
Konsentrasi cuka apel yang semakin tinggi menyebabkan terjadinya penurunan pH
pikel mentimun akan menyebabkan hasil yang berbanding terbalik dengan total
asam yang dihasilkan yaitu total asam semakin meningkat. Peningkatan total asam
terjadi pada konsentrasi yang berbeda disebabkan adanya peningkatan pertumbuhan
bakteri pembentuk asam laktat dalam kondisi anaerob (Atro dkk, 2015).
Cuka apel merupakan hasil fermentasi asam asetat dan alkohol dari buah
apel. Asam asetat adalah komposisi kimia yang paling mendominasi di dalam cuka
apel. Produk cuka harus mengandung minimal 4% keasaman di Negara Amerika
Serikat. Senyawa yang berbeda dalam setiap asam cuka, yang disebabkan karena
adanya perbedaan bahan baku apel yang digunakan serta perlakuan yang berbeda
saat proses fermentasinya. Jumlah asam pada pikel yaitu 0,5-2,7 sehingga perlakuan
konsentrasi cuka apel yang memenuhi yaitu konsentrasi 4% dengan nilai total asam
sebesar 0,43, menurut SNI 01-3784-1995 (Ma’sum, 2006).
Konsentrasi cuka apel tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap warna pikel mentimun pada metode hedonik dan skoring. Tingkat hedonik
dan skoring pada warna pikel mentimun. Metode hedonik pada perlakuan
9

konsentrasi cuka apel 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5% memiliki nilai rerata yaitu 3,2; 3;
3,1; 3,2; dan 3, metode skoring memiliki nilai rerata 3; 3; 3,05; 3,1; dan 3,2 yaitu
dengan kriteria yang agak disukai oleh panelis dengan warna yaitu agak putih.
Proses blanching dilakukan sebelum fermentasi pikel mentimun yang bertujuan
untuk menginaktifkan enzim penyebab pencoklatan pada produk. Proses blanching
dapat menginaktifkan enzim yang tidak diinginkan yang mungkin dapat merubah
warna, tekstur, citarasa maupun nilai nutrisinya (Pelczar, 1993).
Konsentrasi cuka apel memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
aroma pikel mentimun pada metode hedonik dan skoring. konsentrasi cuka apel
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat hedonic dan skoring
pada aroma pikel mentimun. Metode hedonik perlakuan konsentrasi 1% dan 2%
menghasilkan rerata 2,35 dan 2,45 dengan kriteria tidak sukai oleh panelis.
Konsentrasi 3%, 4% dan 5% menghasilkan rerata 3,2; 3,4; dan 3,5 dengan kriteria
agak sukai panelis. Sedangkan metode skoring menunjukkan perlakuan konsentrasi
cuka apel 1%, 2%, 3%, 4%, dan 5% memiliki nilai rerata yaitu 2,55; 3; 3,15; 3,45;
dan 3,7 dengan kriteria tidak beraroma khas pikel pada konsentrasi 1% dan agak
beraroma khas pikel pada konsentrasi 2%, 3%, 4%, dan 5%. Konsentrasi cuka apel
yang digunakan semakin tinggi maka dapat menghasilkan aroma asam khas pikel
akan semakin meningkat disetiap konsentrasi (Caturryanti dkk, 2008).
Peningkatan asam berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis, dimana
panelis lebih menyukai pikel mentimun pada penambahan konsentrasi cuka apel
sebanyak 4% dengan nilai purata tertinggi yaitu 3,4. Aroma asam khas pikel ini
dapat berasal dari aroma asam cuka apel serta didukung dengan bakteri asam laktat
yang tumbuh pada pikel selama proses fermentasi. Fermentasi berlangsung bakteri
asam laktat dapat menghasilkan produk akhir metabolik organik lain seperti asam
laktat, asam asetat, etanol serta sejumlah kecil asam volatil. Aroma suatu produk
terjad karena adanya sejumlah komponen volatile yang terdapat pada bahan yang
dihasilkan selama proses fermentasi (Zubaidah, 2010).
Konsentrasi cuka apel memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
rasa pikel mentimun pada metode hedonik dan skoring. Nilai rasa pada pikel
mentimun menggunakan metode hedonic menunjukkan pada semua perlakuan
10

memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Perlakuan konsentrasi 1%, 2% dan 3%


dengan nilai rerata yaitu 2,3; 2,75; dan 2,95 menghasilkan kriteria yang tidak
disukai oleh panelis. Konsentrasi 4%, dan 5% dengan nilai rerata hedonik yaitu
3,25; dan 3,25 menghasilkan kriteria agak sukai panelis. Metode skoring perlakuan
konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4% dan 5% memberikan pengaruh yang berbeda nyata.
Perlakuan konsentrasi 1%, nilai rerata skoring yaitu 2,8 dengan kriteria tidak berasa
asam. Konsentrasi 2%, 3% dan 4%, nilai rerata skoring yaitu 3,45; 3,75; 3,95
dengan kriteria agak berasa asam serta berasa asam pada nilai konsentrasinya adalah
5% dengan nilai rerata skoring yaitu 4,15 (Dewi, 2018).
Panelis lebih menyukai pikel dengan rasa yang lebih asam yaitu pada
konsentrasi 4% dan 5%. Rasa asam pada pikel disebabkan karena penambahan cuka
apel yang berasa asam sehingga semakin tinggi cuka apel yang digunakan, semakin
asam produk yang dihasilkan serta penurunan pH dan peningkatan total asam juga
menunjukkan tingkat keasaman pikel. Fermentasi beberapa sayuran seperti
mentimun akan menghasilkan asam laktat. Asam laktat ini dapat menurunkan pH,
dapat mengawetkan, serta menyebabkan perubahan aroma serta citarasa produk.
Konsentrasi cuka apel terhadap total bakteri asam laktat memberikan pengaruh yang
berbeda nyata terhadap total bakteri asam laktat yang tumbuh. Konsentrasi cuka
apel menghasilkan bakteri asam laktat pada perlakuan secara berturut-turut.
Pertumbuhan bakteri asam laktat meningkat seiring meningkatnya konsentrasi cuka
apel yang digunakan (Nurimanto dkk, 2014).
Hubungan perlakuan konsentrasi cuka apel terhadap total bakteri asam
laktat. Peningkatan bakteri asam laktat ini dapat disebabkan karena adanya bakteri
asam laktat yang tumbuh secara alami terdapat pada pikel mentimun selama
fermentasi. Penambahan cuka apel dengan konsentrasi yang sesuai akan
menciptakan kondisi asam yang akan mendorong pertumbuhan bakteri asam laktat
dan menekan pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan. Bakteri asam laktat
merupakan bakteri acidofilik yang tumbuh optimum pada pH rendah (3-4) pada
suhu 40° - 60° C, sehingga pH pikel mentimun yang rendah ini sangat mendukung
pertumbuhan bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat juga memiliki kemampuan
untuk merombak senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana (Atro dkk, 2015).
11

Penggunaan bakteri asam laktat dalam produk fermentasi, bertujuan untuk


meningkatkan karakteristik sensorik (flavor dan rasa), mempersingkat waktu
fermentasi dan mempertahankan mutu mikrobiologi. Bakteri asam laktat yang
tumbuh pada pikel mentimun biasanya dari golongan Lactobacillus dan
Lactococcuss. Fermentasi acar mentimun, pseudomonas mula-mula berkembang,
tetapi pertumbuhannya kemudian ditutupi oleh bakteri-bakteri Leuconostoc
mesenteroides, Streptococcus faecalis dan Pediococcus cereviciae yang
perkembangbiakannya lebih cepat dari pada Pseudomonas. Bakteri yang paling
tahan terhadap keasaman yang tinggi yaitu Lactobacillus plantarum yang bertahan
hingga proses akhir dari fermentasi (Caturryanti dkk, 2008).

2.5. Fermentasi Non-Alkohol


Cuka dapat dibuat dari hampir seluruh sumber karbohidrat terfermentasi,
termasuk anggur, sirup gula, sorghum, apel, pir, anggur, melon, kelapa, bir, madu,
dan lain lain. Fermentasi merupakan suatu cara untuk mengubah substrat menjadi
produk tertentu yang diinginkan dengan menggunakan bantuan mikroba. Produk
tersebut biasanya dimanfaatkan sebagai minuman atau makanan. Proses fermentasi
memerlukan mikroba sebagai inokulum, tempat fermentasi, substrat sebagai tempat
tumbuh, dan sumber nutrisi yang diperlukan oleh mikroba (Zubaidah, 2010).
Salah satu contoh fermentasi buah-buahan menjadi produk lain adalah
pembuatan cuka dari sari cuka apel yang diproses secara organik dari buah apel.
Cuka apel dihasilkan dari dua proses fermentasi, yaitu fermentasi alkohol yang
mengubah gula menjadi etanol oleh aktivitas khamir, biasanya oleh strain
Saccharomyces cerevisiae, dan fermentasi asetat oleh mikroorganisme kelompok
Acetobacter yang mengoksidasi etanol menjadi asam asetat. Kedua macam
fermentasi dalam pembuatan cuka apel berbeda satu sama lain dan tahap pertama
harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum tahap kedua dimulai (Pelczar, 1993).
Cuka buah merupakan salah satu produk pangan fermentasi yang dapat
dimanfaatkan sebagai pengawet, hal ini dimungkinkan karena kandungan asam
asetat yang bersifat sebagai anti mikroorganisme. cuka fermentasi berasal dari
cairan fermentasi yang dihasilkan oleh aktifitas mikroorganisme pada jaringan-
jaringan yang berkarbohidrat. Cuka dapat terbuat dari jenis buah-buahan, seperti
12

anggur, pisang, apel, dan buah-buahan lainnya yang mengandung gula ataupun
alkohol. Cuka apel diproses melalui pengekstrakan sari buah apel sebagai substrat
fermentasi alkohol. Proses fermentasi tahap awal (alkohol), mikroorganisme yang
digunakan adalah khamir, dimana khamir merombak gula menjadi alkohol dan
karbondioksida dan lamanya fermentasi tergantung pada jenis khamir, kadar gula
awal dan kadar alkohol akhir yang diinginkan. Kadar alkohol mempengaruhi
jalannya proses selanjutnya (fermentasi asam asetat) (Atro dkk, 2015).
Kadar alkohol cuka salak yang terendah terdapat pada perlakuan inokulasi
cuka salak dengan konsentrasi inokulum 10%. Hasil ini berbeda dengan inokulasi
cuka salak dengan konsentrasi inokulum 15 dan 20%. Hal ini diduga dipengaruhi
oleh ketersediaan kadar alkohol awal sebagai substrat untuk pembentukan asam
asetat. Apabila kadar alkohol substrat sesuai untuk pertumbuhan Acetobacter acetii,
maka substrat beralkohol sebagian besar akan dioksidasi menjadi asam asetat oleh
Acetobacter acetii dan yang lainnya menjadi alkohol sisa. Selama proses fermentasi
asetat, Acetobacter acetii merombak alkohol menjadi asam asetat sehingga jumlah
alkohol awal berkurang karena alkohol merupakan medium bakteri asam asetat
untuk hidup dan diubah menjadi asam asetat. Kadar alkohol yang baik digunakan
sebagai substrat dalam fermentasi asam asetat sebesar 5-7% (De Garmo, 1984).
Konsentrasi alkohol yang paling baik berkisar antara 10–13%, dimana
bakteri asam asetat yang mendominasi tumbuh dan bereproduksi mikroflora alami
yang diidentifikasi sebagai strain Acetobacter dari buah persik Iran. Mikroflora ini
dapat digunakan sebagai starter dalam fermentasi cuka. Acetobacter sp. (ASVO3)
ditemukan diisolasi dari sari buah nenas yang menghasilkan cuka setelah 23–25
hari. Pengisolasian dilakukan terhadap Acetobacter sp. dari apel, cherry Jamaica,
mangga, nenas dan rambutan untuk menghasilkan cuka buah (Dewi, 2018).
Pengolahan apel telah mengenal pembuatan cuka apel, namun dalam
pembuatannya masih memiliki kekurangan-kekurangan terutama dalam tahap
penyimpanan dan tahap fermentasi. Fermentasi yang dilakukan pada proses
pembuatan cuka apel ada dua yaitu fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat.
Fermentasi non alkohol jarang digunakan bahkan hamper tidak pernah dilakukan,
karena fermentasi biasanya menggunakan alkohol (Ma’sum, 2006).
13

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1. Pisau
2. Hot plate
3. Panci
4. Kain saring
5. Baskom
6. Talenan
3.1.2. Bahan
1. Apel 500 gram
2. Gula 250 gram
3. Air 1000 mL/ 1 L
4. Yeast (ragi)

3.2. Prosedur Percobaan


1. Cuci apel hingga bersih kemudian diiris tipis-tipis.
2. Irisan apel direbus dengan menggunakan air yang mendidih.
3. Tambahkan gula dan api kompor dikecilkan. Didiamkan selama 30 menit
agar aroma buah apel keluar.
4. Sari apel dipisahkan dari buahnya lalu setelah dingin dimasukkan ke dalam
botol.
5. Ragi atau yeast dimasukkan ke dalam sari apel dan ditutup dengan kain
saring. Fermentasi sari apel selama 1-2 minggu akan membentuk alkohol.
DAFTAR PUSTAKA

Atro, R. A., dkk. 2015. Keberadaan Mikroflora Alami dalam Fermentasi Cuka Apel
Hijau (Malus sylvestris Mill.) Kultivar Granny Smith. Jurnal Biologi
Universitas Andalas. 4(3): 158-161.
Caturryanti, D., dkk. 2008. Pengaruh Varietas Apel dan Campuran Bakteri Asam
Asetat terhadap Proses Fermentasi Cider. Agritech. 28(2): 70-74.
De Garmo, E. P. 1984. Engineering Economy 7th Ed. New York: Mac Millan
Publishing Company.
Dewi, D. L. 2018. Pengaruh Konsentrasi Cuka Apel terhadap Mutu Pikel Mentimun
(Cucumis Sativus L.). Artikel Ilmiah. 2(1): 3-8.
Ma’sum, Z. 2006. Pengaruh Konsentrasi Cuka Apel terhadap Mutu Pikel Mentimun
(Cucumis Sativus L.). Buana Sains. 6(2): 195-198.
Nurismanto, R., dkk. 2014. Pembuatan Asam Cuka Pisang Kepok
(Musaparadisiaca L.) dengan Kajian Lama Fermentasi dan Konsentrasi
Inokulum (Acetobacteracetii). Jurnal Rekapangan. 8(2): 149-154.
Pelczar, M. J. 1993. Microbiology. New York: Mc Graw Hill Book Company Inc.
Zubaidah, D. 2010. Kajian Perbedaan Kondisi Fermentasi Alkohol dan Konsentrasi
Inokulum pada Pembuatan Cuka Salak (Salacca Zalacca). Jurnal
Teknologi Pertanian. 11(2): 94-100.

Anda mungkin juga menyukai